SEPTIVIRGIN WULANSARI
05071010024
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pempek adalah salah satu bentuk diversifikasi produk perikanan yang
disukai dan sudah dikenal oleh masyarakat, tidak hanya di Palembang tapi juga di
daerah lain. Di daerah asalnya, pempek dikonsumsi hampir setiap hari. Selain itu,
pempek juga sering disajikan dalam berbagai acara baik formal maupun nonformal. Kebanyakan orang dari luar kota Palembang mencari makanan ini sebagai
oleh-oleh. Kendala yang dihadapi pempek sebagai oleh-oleh adalah umur produk
yang relatif singkat.
Pempek yang disimpan pada suhu ruang biasanya bertahan selama lebih
kurang dua hari, selebihnya pempek akan berlendir, berbau tengik dan rasanya
tidak enak. Untuk mempertahankan kualitas pempek, biasanya pempek dilapisi
dengan tapioka pada permukaan pempek agar permukaan pempek tetap kering.
Hal ini biasa dilakukan pada pempek yang akan dibawa ke luar kota Palembang.
Kekurangan lainnya dari penggunaan tepung tapioka adalah membuat pempek
menjadi kurang menarik, perlu dilakukan pencucian dan pemanasan ulang
sebelum dikonsumsi. Oleh sebab itu pempek belum bisa didistribusikan ke tempat
yang jauh dengan waktu tempuh yang lama untuk tiba di tempat tujuan
(Saputra dan Yulianti 2003 dalam Hilpini 2006).
Kemasan yang dapat mempertahankan kualitas pempek dalam waktu yang
cukup lama serta menjaga tampilan agar tetap menarik sangat diperlukan untuk
pendistribusian pempek. Salah satu alternatif kemasan yang dapat digunakan
adalah dengan menggunakan edible coating sebagai bahan pelapis menggantikan
tepung. Menurut Gennadios dan Weller (1990) dalam Permana (2000), edible
coating merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang bisa dimakan. Bahan
ini dapat digunakan di permukaan atau di antara produk dengan cara dibungkus,
direndam, disikat atau disemprot untuk memberikan tahanan yang selektif
terhadap transmisi gas dan uap air dan memberi perlindungan terhadap kerusakan
mekanis. Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai edible coating antara
lain kitosan.
Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin yakni produk
samping limbah (zero waste) dari pengolahan industri perikanan, yaitu limbah
pembekuan udang (bagian kulit dan kepala). Kitosan dapat digunakan sebagai
pengawet karena sifat-sifat yang dimiliki yaitu dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme perusak sekaligus melapisi produk (coating) sehingga terjadi
interaksi minimal antara produk dan lingkungannya. Keunggulan pengawet alami
kitosan lebih baik dibanding dengan formalin yang meliputi aspek organoleptik,
daya awet, keamanan pangan serta nilai ekonomis. Keunggulan lain dari kitosan
adalah sifatnya yang hidrokoloid, tidak berasa dan berbau (Jusnita, 2007). Hal
inilah yang menyebabkan kitosan dapat diaplikasikan sebagai alternatif kemasan.
Berdasarkan penelitian menurut Irianto et al. (2009), diketahui bahwa
hasil uji total jumlah bakteri yang menempel pada ikan asin yang dilapisi kitosan
menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang dilapisi formalin.
Hasil ini didukung oleh uji organoleptik yang meliputi rasa, bau, penampakan dan
tekstur yang juga memberikan hasil lebih baik. Pada konsentrasi kitosan 1,5 %
dapat mengurangi jumlah lalat yang signifikan. Daya simpan kitosan ikan asin
yang diberikan perlakuan kitosan dapat bertahan selama 3 bulan yang hampir
sama dengan ikan asin yang diberi perlakuan dengan formalin. Menurut Suptijah
et al. (2008), pelapisan fillet ikan patin dengan menggunakan kitosan sebagai
edible coating menunjukkan laju penurunan nilai organoleptik lebih lambat bila
dibandingkan dengan fillet ikan patin tanpa perlakuan kitosan. Melihat
kemampuan kitosan sebagai pengawet pada berbagai produk, maka akan
dilakukan penggunaan kitosan sebagai edible coating pada pempek sebagai upaya
memperpanjang umur pempek yang sebelumnya telah dibekukan dengan variasi
kitosan menggunakan penyimpanan suhu ruang.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan
berbagai konsentrasi kitosan terhadap masa simpan pempek pada suhu ruang.
C. Hipotesis
Diduga penggunaan berbagai konsentrasi kitosan berpengaruh terhadap
masa simpan pempek pada suhu ruang
bersama cuka. Dalam pemuatan pempek, daging ikan sebagai sumber protein,
tepung berfungsi untuk menyatukan daging ikan dan air sehingga dapat dibentuk
adonan, memberi tekstur dan mengikat air (Komariah, 1995).
Pempek merupakan produk sejenis gel yang bertekstur kenyal dan elastis.
Elastisitas produk gel dari ikan dipengaruhi oleh jenis kesegaran dan komposisi
ikan yang digunakan serta metode pengolahannya. Komponen penyusun daging
ikan yang sangat berpengaruh dalam pembentukan gel adalah protein aktomiosin
(myofibril) dan protein sarkoplasma (myogen) yang bersifat larut dalam air, tetapi
tidak larut dalam larutan garam (deMan 1997 dalam Bachtiyar 2007). Menurut
Astawan et al. (2005), gel ikan pada pempek yang diperoleh dengan memanaskan
pasta pada suhu tinggi dan waktu singkat lebih kuat dibandingkan dengan gel
yang diperoleh melalui pemanasan suhu rendah dan waktu yang lama.
Prinsip pengolahan pempek terdiri dari penggilingan daging, pencampuran
bahan, pembentukan pempek dan pemasakan. Kadar protein, lemak dan
karbohidrat pempek dapat bervariasi sesuai dengan proporsi ikan dan tapioka
yang digunakan. Menurut Iljas (1995), semakin banyak ikan yang ditambahkan
maka protein pempek yang dihasilkan juga akan meningkat. Komposisi gizi
pempek cukup baik sebagai makanan selingan. Adapun komposisi pempek dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia pempek (dalam 100 gr bahan yang dapat dimakan)
Komponen
Protein
Lemak
Karbohidrat
Air
Serat
Abu
Kalsium
Komposisi
4,2 %
1,4 %
31,6 %
61,4 %
0,2 %
1,2 %
100 mg
Fosfor
Besi
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin C
Kalori
55 mg
3,3 mg
0
0,03 mg
0
156 (kal)
4)-D-glukopiranosa)
O.
Sedangkan
kitosan
adalah
poli-(2-amino-2-deoksi--(1-4)-D-
menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 8593%. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus
amino yang bermuatan positif sehingga kitosan bersifat polikationik. Adanya
gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan
menyebabkan kitosan memiliki kemampuan sebagai pengawet dan penstabil
warna, sebagai floculant dan membantu proses reserve osmosis dalam penjernihan
air,
sebagai
aditif
untuk
produk
agrokimia
dan
pengawet
(Sugita et al., 2009). Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.
a) Kitin
(1 4)-2-acetamido-2-deoxy--D-glucopyranosyl
benih
b) Kitosan
(1 4)-2-acetamido-2-deoxy--D-glucopyranosyl
(1 4)-2-amino-2-deoxy--D-glucopyranosyl
Gambar 1. Struktur kimia (a) kitin dan (b) kitosan
Kitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung
tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder.
Adanya gugus fungsi ini menyebabkan kitosan mempunyai rektifitas kimia yang
tinggi. Sifat inilah yang menyebabkan kitosan mampu mengikat air dan minyak.
Karena kemampuan tersebut, kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental
atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk
tekstur (Brzeski, 1987). Sifatnya yang dapat membentuk film yang kuat, elastis,
fleksibel dan sulit dirobek menjadikan edible dimanfaatkan sebagai bahan
pengemas (Butler et al., 1996).
Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan
diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi (karena mengandung gugus
OH dan gugus NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna dan
penukar ion). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik, tidak larut
dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan
HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada
konsentrasi 10% (Sugita et al., 2009).
Kitin dan kitosan mempunyai sifat fungsional dan sifat kimia yang unik.
Kitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik), alkohol serta tidak larut dalam
asam maupun alkali encer. Kitin dapat larut dengan proses degradasi
menggunakan asam-asam mineral pekat, seperti asam formiat anhidrous, namun
tidak jelas apakah semua jenis kitin dapat larut dalam asam formiat anhidrous.
Mudah tidaknya kitin terlarut sangat tergantung pada derajat kristalisasi, karena
hanya -kitin yang terlarut dalam asam formiat anhidrous. Sifat kitin yang penting
untuk aplikasinya adalah kemampuan mengikat air dan minyak yang hilang dari
polimer kitin, interaksi antara ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat.
Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang
mempunyai sifat kimia yang lebih baik, yaitu kitosan. Kitosan tidak larut dalam
air namun larut dalam asam, memiliki viskositas cukup tinggi ketika dilarutkan,
sebagian besar reaksi karakteristik kitosan merupakan reaksi karakteristik kitin.
Adapun berbagai solvent yang digunakan umumnya tidak beracun untuk aplikasi
dalam bidang makanan. Solvent yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah
asam format/air, asam asetat/air, asam laktat/air dan asam glutamat/air
(Lee 1974 dalam Sembiring 2011).
Aplikasi kitosan dalam bidang pertanian dan pangan kitin dan kitosan
digunakan antara lain untuk antimikrob, antijamur, serat bahan pangan, penstabil,
pembentuk gel, pengemulsi produk olahan pangan dan menurunkan kadar
kolesterol. Dalam bidang kesehatan dapat berperan sebagai antibakteri, anti
koagulan dalam darah, pengganti tulang rawan, pengganti saluran darah, anti
tumor (penggumpal) sel-sel leukimia (Sugita et al., 2009). Chen et al. (1996)
meneliti aplikasi kitosan sebagai antimikrobial untuk pengemas dan Kittur et al.
(1998) menggunakan kitosan sebagai bahan dasar pengemas berupa coating dan
film.
Pelapisan dengan kitosan dapat menghambat atau mempertahankan
senyawa senyawa yang dapat menimbulkan bau atau aroma makanan seperti
glukosa-6 fosfat,
prolina,
aldehid,
metri
edible film dibentuk secara terpisah terlebih dahulu baru digunakan untuk
mengemas produk. Krochta dalam Rahardyani (2011), menyatakan bahwa
kemasan edible plastic yang selanjutnya disebut sebagai edible film, mempunyai
karakteristik potensial untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap pangan
bergizi tinggi lebih awet atau lama disimpan serta memenuhi tuntutan lingkungan
semakin meningkat. Dalam hal gizi, edible film dapat menambah nilai gizi dari
pangan yang dikemas. Edible film juga mampu mengatur transmisi uap air, CO 2,
O2 dan gas, sehingga mampu memperpanjang masa simpan dari produk yang
dikemas. Penggabungan antioksidan atau anti mikroba yang terkontrol pada
edible film atau edible coating dapat memberikan masa simpan produk yang lebih
lama.
Bahan dasar pembuatan edible coating adalah hidrokoloid (protein,
polisakarida), lipid
lipid). Protein dapat diperoleh dari jagung, kedelai, keratin, kolagen, gelatin,
kasein, protein susu, albumin telur, dan protein ikan. Polisakarida dapat diperoleh
dari selulosa dan turunannya (metil selulosa, karboksil metil selulosa, hidroksi
progfil metil selulosa), tepung dan turunannya, pektin ekstrak ganggang laut
(aginat, karagenan, agar), gum (gum arab, gum karaya), xanthan, chitosan, dan
lain-lain (Gennadios dan Weller 1990 dalam Permana 2000).
Komponen lain yang cukup
gliserol, monogliserida
asetat,
polietilen-glikol, sukrosa
dan
lain-lain.
Penambahan komponen ini diperlukan untuk mengatasi sifat rapuh film yang
disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. plastilizer didefinisikan
yang
mempunyai
ditambahkan ke senyawa lain akan mengubah sifat dan mekanik senyawa itu
(Gennadios dan Weller 1990 dalam Permana 2000).
Menurut Kester dan Fennema (1989), plastilizer ditambahkan untuk
mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan film terutama
jika disimpan pada suhu rendah. Penambahan plastilizer akan menghindarkan film
dari keretakan selama penanganan maupun penyimpanan yang dapat mengurangi
sifat-sifat tahanan film. Jenis plastilizer yang digunakan adalah gliserol.
Gliserol merupakan senyawa polyol yang memiliki tiga gugus hidroksil
dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimianya adalah C3H8O3, berat
molekul gliserol 92,10, masa jenisnya 1,23 gr/
Dapat dimakan
Biaya umumnya rendah
Kegunaannya dapat mengurangi limbah
Mampu meningkatkan sifat organoleptik, mekanik dan nutrisi pada makanan.
Mampu menambah nilai nutrisi makanan (terutama oleh film yang terbuat
6.
dari protein)
Dapat berfungsi sebagai carier atau zat pembawa untuk senyawa antimikroba
7.
dan antioksidan.
Dapat digunakan sebagai pembungkus primer makanan, bersama-sama
dengan film yang tidak dapat dimakan.
pertukaran zat aktif atau metabolit kedalam dan keluar sel menjadi terganggu
(Pelczar dan Chan 1986 dalam Wardhani 2008).
Edible coating adalah produk yang ramah lingkungan tanpa efek negatif,
tidak seperti bahan pengemas sintetis yang tidak dapat didegradasi. Edible coating
menjadi salah satu alternatif dalam pengemasan produk untuk menjaga kualitas
dan memperpanjang daya awetnya. Edible coating dan edible film merupakan satu
terobosan baru yang dapat menjawab tantangan yang berkembang dalam
pemasaran makanan yang bergizi, aman, berkualitas tinggi, stabil dan ekonornis
(Krochta 1994 dalam Muttaqin 2008).
Bahan dasar pembentuk pelapis edible sangat mempengaruhi sifat-sifat
pelapis edible itu sendiri. Pelapis edible yang berasal dari hidrokoloid memiliki
ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik,
namun memiliki ketahanan terhadap uap air yang sangat rendah akibat sifat
hidrofiliknya. Oleh karena itu protein dan polisakarida tidak dapat digunakan
sebagai barrier terhadap bahan yang mempunyai Aw permukaan tinggi
(Wong
prolina,
aldehid,
metri
biodegradable,
biokompatibilitas,
biofunctionality,
dan
bersifat
antimikroba (Wang, 1992). Ada beberapa teknik aplikasi edible coating pada
produk pangan menurut Krochta et al. (1994) dalam Muttaqin (2008), yaitu :
1. Pencelupan (dipping)
Biasanya teknik ini digunakan pada produk yang memiliki permukaan
kurang rata. Setelah pencelupan kelebihan bahan coating dibiarkan terbuang.
Produk kemudian dibiarkan dingin hingga edible coating menempel. Teknik ini
telah diaplikasikan pada daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran.
2. Penyemprotan (spraying)
Teknik ini menghasilkan produk dengan lapisan yang lebih tipis atau lebih
seragam daripada teknik pencelupan. Teknik ini digunakan untuk produk yang
mempunyai dua sisi permukaan, seperti pizza.
3. Pembungkusan (casing)
Teknik ini digunakan untuk membuat film yang berdiri sendiri, terpisah
dari produk. Teknik ini diadopsi dari teknik yang dikembangkan untuk non-edible
coating.
4. Pengolesan (brushing)
Teknik ini dilakukan dengan cara mengoles edible coating pada produk.
A.
B.
pembuatan pempek, larutan kitosan (edible coating) dan bahan analisis. Bahan
untuk pembuatan pempek yaitu daging giling ikan gabus (Channa striata),
tapioka, air dan garam. Sedangkan untuk pembuatan larutan kitosan yaitu serbuk
kitosan, asam asetat glasial 1% dan akuades. Analisis yang dilakukan
menggunakan bahan seperti asam sulfat pekat, larutan buffer, akuades, H3BO3,
HgO, H2SO4, HCl, larutan BaCl2, larutan butterfields phospate buffered, larutan
PCA (Plate Count Agar), K2SO4, Mg(NO3)2, NaCl, dan NaOH.
Alat yang akan digunakan untuk membuat pempek adalah baskom,
kompor, mangkok, panci, penggorengan, piring, pisau, saringan, sendok, spatula,
talenan, dan timbangan analitik. Untuk membuat larutan kitosan (edible coating)
adalah gelas ukur, pengaduk, labu ukur, dan timbangan analitik. Sedangkan alat
Color reader CR-10, batang pengaduk, cawan petri, cawan porselen, desikator,
erlemeyer, gelas ukur, jarum ose, labu Kjeldahl, labu ukur, oven, pemanas, pipet
tetes, pH-meter, tabung reaksi, dan timbangan analitik digunakan untuk analisis.
C.
Metode Penelitian
D.
Cara Kerja
Adapun tahapan penelitian yang akan dilakukan terdiri dari tiga tahap
yaitu tahap pembuatan pempek, pembuatan larutan edible coating dan pelapisan.
1.
Cara kerjanya adalah daging ikan gabus yang telah halus sebanyak 1 kg dicampur
dengan air dingin sebanyak 500 ml, setelah homogen masukkan garam halus
secukupnya aduk kembali. Tepung tapioka dimasukkan sebanyak 1 kg berlahanlahan sambil diaduk sampai tercampur rata. Adonan kemudian dibentuk lonjong
dengan mengunakan tangan. Proses akhir pempek yang telah jadi direbus dalam
air mendidih sampai mengapung ( 20 menit), angkat dan tiriskan.
2. Tahap II (pembuatan larutan edible coating)
Cara kerja dari penelitian ini berdasarkan metode yang digunakan oleh
Sembiring (2011) yang kemudian telah dimodifikasi. Cara kerjanya adalah
sebagai berikut, kitosan yang masih dalam bentuk serbuk sebanyak (1 gr, 1,5 gr,
dan 2 gr), kemudian dilarutkan dengan asam asetat glasial 1% sampai terbentuk
larutan tersuspensi 40 ml, lalu ditambah akuades hingga volumenya mencapai
100 ml.
3.
pencelupan dengan larutan kitosan 1%, 1,5%, dan 2% selama waktu pencelupan
yaitu sekitar 5 menit (Hadi, 2008), kemudian didinginkan. Lalu dilakukan
pengujian parameter sesuai dengan perlakuan. Kemudian pempek yang telah
dilapisi disimpan pada suhu ruang dalam kantong bening dan diletakkan di dalam
kardus.
E.
meliputi: analisis kimia, analisis fisik (uji warna), analisis mikrobiologi (TPC) dan
uji organoleptik (uji mutu hedonik). Analisis kimia meliputi analisis kadar air,
kadar protein, kadar karbohidrat, analisis aw (water activity), dan pengukuran
pH. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai pempek tidak layak lagi
dikonsumsi.
1. Analisis kimia
Analisa kimia yang akan dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar
protein, kadar karbohidrat, analisis aw (water activity), pengukuran pH.
a.
Adapun prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada dalam
sampel. Kemudian sampel ditimbang sampai didapat bobot konstan yang
diasumsikan semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih
bobot sebelum dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air yang
diuapkan. Adapun prosedur analisis kadar air sebagai berikut:
a.
Cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada
suhu 100-105 C, kemudian didinginkan selama 15 menit dalam desikator
untuk menghilangkan uap air dan ditimbang.
b.
c.
d.
e.
X 100 %
b.
H2SO4 pekat.
Sampel didihkan selama satu jam sampai cairan menjadi jerni kemudian
didinginkan. Isi dalam labu dituangkan ke dalam alat destilat, labu dibilas
dengan akuades (20 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam labu destilat
c.
d.
kondensor.
Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200ml destilat yang bercampur
dengan H3BO3 dan indikator dalam labu erlenmeyer.
e.
f.
g.
faktor konversi.
Perhitungan persentase protein :
Kadar Karbohidrat
Perhitungan kadar karbohidrat yang akan dilakukan berdasarkan SNI 01-
e.
f.
g.
h.
i.
0,1N.
Dilakukan langkah sama dengan larutan blanko.
Adapun perhitungan kadar karbohidrat sebagai berikut:
Ml Na2S2O3 = ml Na2S2O3 (Blanko-sampel) x N. Na2S2O3 x10
Mg Glukosa = bilangan konversi + (ml Na2S2O3 x Faktor Konversi)
Kadar karbohidrat =
x 100%
meter diaktifkan dan elektroda dari pH-meter dimasukkan ke dalam larutan buffer
terlebih dahulu untuk kalibrasi alat. Kemudian dimasukkan ke dalam larutan
sampel yang akan dianalisa pH-nya.
2.
Analisis Fisik
Analisis fisik yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah uji warna.
Analisis warna akan dilakukan dengan menggunakan alat Color reader CR-10
berdasarkan Munsell (1997). Cara kerja pengujiannya sebagai berikut:
1.
2.
Hidupkan Color Reader CR-10 kemudian sampel diletakkan pada ujung alat.
Tekan tombol start hingga didapatkan data yang tertera pada layar alat terdiri
3.
3. Analisis Mikrobiologi
Analisis mikrobiologi yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah
Total Plate Count (TPC). Pengujian Total Plate Count (TPC) akan dilakukan
sesuai dengan SNI 01-2332.3-2006, prosedur perhitungan mikroba dengan metode
pour plate adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
kanan.
Setelah agar menjadi padat, untuk penentuan mikroorganisme cawan tersebut
6.
Keterangan :
C
[ ( 1 x n1 ) ] + [ ( 0,1 x n2) ] x (d)
= Jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml/ koloni per gram
n1
n2
F. Analisa Statistik
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik. Pengolahan
data dilakukan secara kuantitatif menggunakan teknik pengolahan data analisa
statistik parametrik dan analisa statistik non parametrik.
1. Analisa Statistik Parametrik
Dari hasil yang akan diperoleh, selanjutnya data dianalisa menggunakan
statistik parametrik dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), menurut Gomez
dan Gomez (1995). Dengan persamaan sebagai berikut :
Yij = + i + ij
Keterangan :
Yij
= nilai pengamatan
= nilai rata-rata
ij
KTG
r
Keterangan :
q
KTG
= jumlah ulangan
KTG
x100%
Y
Keterangan :
KK
= koefisien keragaman
penampakan, aroma, rasa, warna, dan tekstur dihitung secara statistik. Analisis
statistik yang digunakan adalah analisis statistik non parametrik model Kruskal
Wallis.
H
k
12
r
3 (n+1)
n(n 1) i 2 i ni
Keterangan :
H : nilai Kruskal-Wallis dari hasilperhitungan
rt : jumlah rank dari kategori/perlakuan ke i
ni : Banyaknya ulanganpada kategori/perlakuan ke-i
k : banyaknya kategori/perlakuan (i=1,2,3,..,k)
n :Jumlah seluruh data (N=n1+n2+n3+..+nk)
Keterangan :
Ri = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i
Rj = Rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j
K = Banyaknya perlakuan
N = Jumlah total data yamng dibandingkan
Lampiran 1
SCORESHEET UJI MUTU HEDONIK
Beri tanda () pada kolom yang tersedia
Parameter
penampakan
Aroma
Rasa
Warna
Penilaian
Utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan
rata, tidak berlendir, sangat mengkilat
Utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan
kurang rata, tidak berlendir, mengkilat
Utuh, rapi, permukaan kurang rata,
ketebalan kurang rata, tidak berlendir,
agak mengkilat
Utuh, kurang rapi, permukaan kurang
rata, ketebalan kurang rata, berlendir,
kurang mengkilat
Kurang utuh, kurang rapi, kurang rata,
ketebalan kurang rata, sangat berlendir,
tidak mengkilat
Sangat tercium aroma ikan dan tidak
tercium bau asam
Tercium aroma ikan dan tidak tercium
bau asam
Agak tercium aroma ikan dan sedikit
tercium bau asam.
Agak tidak tercium aroma ikan dan
asam
Tidak tercium aroma ikan dan asam.
Terasa ikan, gurih, dan tidak terasa asam
Terasa ikan, kurang gurih dan tidak
terasa asam
Kurang terasa ikan, gurih dan tidak
terasa asam
Tidak terasa ikan, gurih dan agak terasa
asam
Tidak terasa ikan, tidak gurih dan agak
terasa asam
Putih
Nilai
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
Kode sampel
468
379
135
246
Tekstur
Putih kekuningan
Sedikit kuning
Kuning
Kuning kecoklatan
Kenyal, kompak, padat
Kenyal, kompak, kurang padat
Kenyal, kurang kompak, kurang padat
Kurang kenyal, kurang kompak, kurang
padat
Tidak kenyal, tidak kompak, tidak padat
4
3
2
1
5
4
3
2
1
Kester, J.J. dan O.R. Fennema. 1989. Edible films and coatings : A review. Food
Tecknol 40 (12) : 47-59.
Kittur, F.S., K.R. Kumar dan R.N. Tharanathan. 1998. Functional packaging
properties of chitosan film. Z. Lebesm Unters Forsch A 206: 44-47.
Komariah, S. 1995. Telaah teknologi proses dan pengemasan pada industri kecil
pempek dan kerupuk kemplang palembang. Laporan praktik lapangan.
Fakultas Pertania. Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi
D.
1989.
Keracunan
sodium
nitrit.
(Online).
(http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_keracunannitrit.php. html diakses
12 Maret 2011).
Munsell. 1997. Colour Chart for Plant Tissu Mecbelt Division of Kalmorgen
Instrument Corporation. Baltimore Maryland.
Muttaqin, S. 2008. Karakteristik Kitosan Rajungan dan Aplikasinya Sebaga
Edible Coatinng pada Ikan Cucut (Carcharhinus sp.) Asin. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Permana, R. (2000). Pengaruh suhu terhadap karakteristik buah apel malang
(Mallus pumilla) yang dilapisi edible coating selama penyimpanan.
Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Prasetiyo, K.W. 2004. Pemanfaatan limbah cangakang udang. (Online).
(http://www.kompas.com/teknologi/index.html diakses 12 Februari 2013)
Rahardyani, R. 2011. Efek daya hambat kitosan sebagai edible coating terhadap
mutu daging sapi selama penyimpanan suhu dingin. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sembiring, WB. 2011. Penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan edible
coating serta pengaruh penyimpanan suhu ruang terhadap mutu dan daya
awet empek-empek. Skripsi. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian
Bogor.
Shahidi, F., Arachi, J. K. V. dan Jeon, Y. J. 1999. Food application of chitin and
chitosan. Review. Trends in Food Science and Technology. 10: 37-51.
Sugita, P., Wukirsari, T., Sjahriza, A., Wahyono, D. 2009. Kitosan sumber
biomaterial masa depan. IPB Press. Bogor.
Suptijah P, Gushagia Y, dan Sukarsa DR. 2008. Kajian efek daya hambat kitosan
terhadap kemunduran mutu fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus)