Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman.
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada
industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika dan alat kesehatan. Dengan
menggunakan teknologi modern, industri-industri tersebut kini mampu memproduksi dalam
skala yang sangat besar mencakup berbagai produk dengan "range" yang sangat luas.
Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan entry barrier yang makin tipis
dalam perdagangan internasional, maka produk-produk tersebut dalam waktu yang amat singkat
dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu
menjangkau seluruh strata masyarakat.
Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen
tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan
keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh
bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara
amat cepat.
(https://pom.go.id/new/view/direct/background)
Adulterasi makanan telah dianggap sebagai problem serius yang tidak hanya menurunkan
kualitas produk pangan, namun juga menghasilkan resiko penyakit. Food adulteration diartikan
sebagai pemasukan bahan-bahan yang tidak bermanfaat bagi kesehatan; merugikan; atau yang
tidak dibutuhkan oleh tubuh sehingga pada akhirnya bahan-bahan tersebut hanya akan merusak
dan menurunkan mutu produk pangan. Persoalan adulterasi pangan menyebabkan status pangan
menjadi tidak aman dan tidak hygiene, yang kemudian memicu efek signifikan terhadap
kesehatan tanpa disadari.
World Health Organization (WHO) mengeluarkan resolusi pada tahun 2002 mengenai
adanya ancaman nyata penyebaran agen kontaminan fisik, kimia, atau radioaktif melalui
makanan yang ditujukan untuk membahayakan masyarakat. Contoh kejadian terkait food
defense adalah kontaminasi menggunakan kultur Salmonella typhimurium pada restoran salad
bar yang mengakibatkan 751 orang terkena salmonellosis pada tahun 1984 di Amerika
Serikat (Torok et al.,1997).
Pada perkembangannya, ancaman kontaminasi pada pangan dapat terjadi karena tindakan
yang disengaja. Spink & Moyer (2011) menjelaskan bahwa risiko pada pangan akibat tindakan
yang disengaja adalah risiko food fraud dan risiko food defense. Food fraud terdiri dari
beberapa subtipe, salah satunya adalah economically motivated adulteration (EMA)
yaitu adanya penambahan adulterant dengan bertujuan meningkatkan nilai suatu produk
pangan sehingga mendapatkan keuntungan ekonomi. Kejadian terkait food fraud di Indonesia
antara lain daging gelonggongan, madu palsu, biskuit dan cokelat yang mengandung ganja,
serta bakso daging sapi yang diganti dengan daging celeng (Hariyadi, 2015). Selain itu,
adanya penggunaan yang salah (misuse) sejumlah bahan kimia berbahaya pada pangan
seperti boraks, formalin, rhodamin B, dan kuning metanil (Dewanti & Hariyadi, 2012).
Salah satu produk pangan yang pernah mengalami kejadian kontaminasi disengaja adalah
susu segar. Jenis kontaminasi yang dilakukan umumnya terkait pemalsuan, antara lain
penambahan air, santan, air kelapa, air cucian beras, dan air tajin (Saleh, 2004) serta
penambahan melamin pada susu sapi di Tiongkok pada tahun 2008 (Gossner et al., 2009)
Alasan utama yang mendorong praktek adulterasi yakni demi menaikkan pemasukan
dengan cara menambah volume produk. Survey ilmiah pada tahun 2011 menunjukkan
pengungkapan kasus susu yang dioplos dengan air di India. Pengoplosan tersebut menggunakan
air sebanyak 70% kasus, bubuk kunyit dan bubuk kapur 43%, bubuk cabai merah plus pewarna
buatan sebanyak 100% kasus, dan penambahan gula dengan bubuk kapur sebanyak 37%. Seiring
pertumbuhan populasi penduduk, adulterasi menjadi langkah yang ditempuh sebagian oknum
untuk memenuhi target produksi pangan.( (This entry was posted in Artikel on Februari 10,
2021 by Gizi.-Fak.Kes Univ Darussalam Gontor ).
Salah satu contoh praktek adulterasi pada produk saos kemasan bermerek "Indosari" dan
"Sinarsari" dengan cara mengganti bahan dasar cabai dan tomat dengan kimia tertentu . Bahan
dasar dari saus produksi pabrikan rumah tangga itu bukan dari cabai atau tomat, melainkan
menggunakan bahan kimia sebagai pengganti rasa pedas, serta memakai bahan pengawet dan
pewarna untuk bahan tekstil. Bahan-bahan kimia saus yang ditemukan di lokasi pabrik, yakni
ekstrak cabai leoserin capsikum, ampas tapioka, ekstrak bawang putih, bibit cairan tomato,
saksrin, garam, pewarna sunset, pewarna jenis poncau dan potasium fosfat.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20150127/12/395843/saus-sambal-palsu-badan-pom-bandung-
ngaku-tak-berwenang.-ini-penjelasannya.