Anda di halaman 1dari 3

PENDAHULUAN

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman.

(UU no.18 tahun 2012 )

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan pada
industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika dan alat kesehatan. Dengan
menggunakan teknologi modern, industri-industri tersebut kini mampu memproduksi dalam
skala yang sangat besar mencakup berbagai produk dengan "range" yang sangat luas.

Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan entry barrier yang makin tipis
dalam perdagangan internasional, maka produk-produk tersebut dalam waktu yang amat singkat
dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu
menjangkau seluruh strata masyarakat.

Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk termaksud cenderung terus meningkat,


seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola konsumsinya. Sementara itu
pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk
secara tepat, benar dan aman. Di lain pihak iklan dan promosi secara gencar mendorong
konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak rasional.

Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen
tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan
keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau terkontaminasi oleh
bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara
amat cepat.

(https://pom.go.id/new/view/direct/background)

Pemalsuan pangan adalah upaya sengaja mengganti, menambah, mengubah atau


merepresentasikan secara keliru suatu bahan dan/atau produk pangan, kemasan pangan, serta
memberikan informasi tidak benar pada label, untuk tujuan menipu konsumen demi keuntungan
ekonomi”( Haryadi,2015 )
Adapun pengertian adulterasi pangan menurut Prevention of Food Adulteration/PFA (1954
) & Potter (1987 ) makanan dapat dikatakan / dianggap palsu jika :
1) Makanan yang dijual tidak alami dari segi bahan maupun kualitasnya
2) Makanan berisi bahan yang mempengaruhi kualitas atau bahan tersebut jika diproses
menimbulkan efek bahaya,
3) Bahan yang lebih murah atay yang bermutu rendah disubstitusikan secara keseluruha ke
dalam makanan,
4) Makanan tersebut berisi racun atau bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan,
5) Makanan telah diolah , dikemas, atau dijaga pada keadaan yang tidak sehat yang mana dapat
menyebabkan terkontaminasi atau berbahaya bagi kesehatan,
6) Makanan diperolah dari binatang yang berpenyakit,
7) Makanan diarahkan pada radiasi,
8) Makanan secara keseluruhan atau sebagian terdapat kotoran , tengik, menjijikkan , busuk,
binatang busuk atau berpenyakit , atau bahan sayuran yang dipenuhi serangga atau
sebaliknya yang tidak layak untuk dikonsumsi manusia,
9) Pengemas makanan disusun dari bahan yang merusak atau beracun yang mana membuat
makanan tersebut berbahaya bagi kesehatan,
10) Makanan berisi zat pengawet atau pewarna yang dilarang , atau zat pengawet atau
pewarna yang diijinkan tetapi dalam jumlah yang melebihi batas yang ditentukan,
11) Kualitas dan kemurnian makanan jauh dibawah standart yang ditentukan , atau unsur
pokok berada dalam proporsi standart lain.

Adulterasi makanan telah dianggap sebagai problem serius yang tidak hanya menurunkan
kualitas produk pangan, namun juga menghasilkan resiko penyakit. Food adulteration diartikan
sebagai pemasukan bahan-bahan yang tidak bermanfaat bagi kesehatan; merugikan; atau yang
tidak dibutuhkan oleh tubuh sehingga pada akhirnya bahan-bahan tersebut hanya akan merusak
dan menurunkan mutu produk pangan. Persoalan adulterasi pangan menyebabkan status pangan
menjadi tidak aman dan tidak hygiene, yang kemudian memicu efek signifikan terhadap
kesehatan tanpa disadari.

World Health Organization (WHO) mengeluarkan resolusi pada tahun 2002 mengenai
adanya ancaman nyata penyebaran agen kontaminan fisik, kimia, atau radioaktif melalui
makanan yang ditujukan untuk membahayakan masyarakat. Contoh kejadian terkait food
defense adalah kontaminasi menggunakan kultur Salmonella typhimurium pada restoran salad
bar yang mengakibatkan 751 orang terkena salmonellosis pada tahun 1984 di Amerika
Serikat (Torok et al.,1997).
Pada perkembangannya, ancaman kontaminasi pada pangan dapat terjadi karena tindakan
yang disengaja. Spink & Moyer (2011) menjelaskan bahwa risiko pada pangan akibat tindakan
yang disengaja adalah risiko food fraud dan risiko food defense. Food fraud terdiri dari
beberapa subtipe, salah satunya adalah economically motivated adulteration (EMA)
yaitu adanya penambahan adulterant dengan bertujuan meningkatkan nilai suatu produk
pangan sehingga mendapatkan keuntungan ekonomi. Kejadian terkait food fraud di Indonesia
antara lain daging gelonggongan, madu palsu, biskuit dan cokelat yang mengandung ganja,
serta bakso daging sapi yang diganti dengan daging celeng (Hariyadi, 2015). Selain itu,
adanya penggunaan yang salah (misuse) sejumlah bahan kimia berbahaya pada pangan
seperti boraks, formalin, rhodamin B, dan kuning metanil (Dewanti & Hariyadi, 2012).
Salah satu produk pangan yang pernah mengalami kejadian kontaminasi disengaja adalah
susu segar. Jenis kontaminasi yang dilakukan umumnya terkait pemalsuan, antara lain
penambahan air, santan, air kelapa, air cucian beras, dan air tajin (Saleh, 2004) serta
penambahan melamin pada susu sapi di Tiongkok pada tahun 2008 (Gossner et al., 2009)

Alasan utama yang mendorong praktek adulterasi yakni demi menaikkan pemasukan
dengan cara menambah volume produk. Survey ilmiah pada tahun 2011 menunjukkan
pengungkapan kasus susu yang dioplos dengan air di India. Pengoplosan tersebut menggunakan
air sebanyak 70% kasus, bubuk kunyit dan bubuk kapur 43%, bubuk cabai merah plus pewarna
buatan sebanyak 100% kasus, dan penambahan gula dengan bubuk kapur sebanyak 37%. Seiring
pertumbuhan populasi penduduk, adulterasi menjadi langkah yang ditempuh sebagian oknum
untuk memenuhi target produksi pangan.( (This entry was posted in Artikel on Februari 10,
2021 by Gizi.-Fak.Kes Univ Darussalam Gontor ).

Salah satu contoh praktek adulterasi pada produk saos kemasan bermerek "Indosari" dan
"Sinarsari" dengan cara mengganti bahan dasar cabai dan tomat dengan kimia tertentu . Bahan
dasar dari saus produksi pabrikan rumah tangga itu bukan dari cabai atau tomat, melainkan
menggunakan bahan kimia sebagai pengganti rasa pedas, serta memakai bahan pengawet dan
pewarna untuk bahan tekstil. Bahan-bahan kimia saus yang ditemukan di lokasi pabrik, yakni
ekstrak cabai leoserin capsikum, ampas tapioka, ekstrak bawang putih, bibit cairan tomato,
saksrin, garam, pewarna sunset, pewarna jenis poncau dan potasium fosfat.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20150127/12/395843/saus-sambal-palsu-badan-pom-bandung-
ngaku-tak-berwenang.-ini-penjelasannya.

Dengan ditemukannya banyak kasus praktek adulterasi pangan dapat memberikan


dampak negative bagi kesehatan masyarakat , maka masyarakat harus lebih berhati hati dalam
memilih dan mengkonsumsi pangan kemasan.
Tujuan dari pembelajaran ini adalah
1) untuk mengetahui faktor penyebab masalah adulterasi / pemalsuan pangan
2) untuk mengetahui dampak dari praktek adulterasi terhadap kesehatan jika tidak
ditanggulangi
3) untuk mengetahui upaya intervensi pencegahan / penanggulangan pemalsuan pangan /
adulterasi
4) untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi keberhasilan upaya penanggulangan
pemalsuan pangan / adulterasi

Anda mungkin juga menyukai