Anda di halaman 1dari 8

TEKNOLOGI HASIL

PERTANIAN TRADISIONAL
MELAYU

CINCALOK

Dosen pengampuh: Drs. H. Zuhdi Maaruf M.Pd

Disusun oleh :

Kris Fanindyah ( 2206113488 )

TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS RIAU TAHUN 2022


BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia terkenal dengan keberagamannya, termasuk soal kuliner. Salah satu
daerah di kepulauan Indonesia adalah Riau. Formulasi makanan merupakan salah
satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kualitas makanan, misalnya dengan
menambahkan bumbu masak. Beberapa contoh bumbu masak alami yang sering
digunakan misalnya: bawang merah, bawang putih, cabai merah, jahe, kunyit dan
lengkuas. Penambahan bumbu masak selain dapat menambah cita rasa pada
makanan fermentasi, juga dapat bersifat sebagai antioksidan ataupun antimikroba
yang berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan pembusuk
(Rahayu et al., 2014).

Salah satu makanan fermentasi khas Kalimantan Barat adalah cincalok. Cincalok
dibuat dari udang rebon, gula dan garam dengan perbandingan tertentu serta
disimpan selama waktu tertentu. Hasil uji organoleptik tentang formulasi cincalok
dengan penambahan serbuk bawang putih 1% dan serbuk cabai 1% menunjukkan
bahwa responden lebih menyukai cincalok dengan penambahan serbuk bawang
putih (Syahmuardiandi, 2011).

Fermentasi pada cincalok dinilai selesai jika tekstur udang yang digunakan telah
hancur, menghasilkan udang yang berwarna merah muda, rasa asam yang
menonjol, dan muncul aroma asam yang khas. Kualitas cincalok dapat dinilai
melalui uji organoleptik berupa uji kenampakan berdasarkan warna, bentuk, bau,
dan rasa. Penurunan kualitas akhir cincalok dapat diketahui dengan uji total volatile
base (TVB) yang merupakan suatu uji untuk melihat perubahan mutu suatu produk
tinggi protein dengan mengukur senyawa basa yang menguap (Syaputra et al.,
2007)
BAB II

2.1 Isi Teori Dan Pembahasan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan cincalok dalam


menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus serta
mengetahui pengaruh waktu fermentasi terhadap kualitas dan aktivitas antibakteri
cincalok. Proses pembuatan cincalok pada penelitian ini dilakukan dengan
fermentasi spontan. Bahan yang digunakan adalah udang rebon segar nasi dan
garam. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan
variasi waktu fermentasi yaitu hari ke-0, 7, 14, 21 dan 28. Parameter uji pada
penelitian ini meliputi uji aktivitas antibakteri cincalok, perhitungan jumlah BAL,
nilai pH, total asam, kadar protein, TVB, serta uji organoleptik cincalok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cincalok mampu menghambat bakteri E.


coli. Kemampuan cincalok dalam menghambat bakteri patogen ditunjukkan oleh
zona bening di sekitar medium agar. Luas zona hambat paling besar didapatkan
pada cincalok yang difermentasi selama 14 hari. Variasi waktu fermentasi
berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri terhadap E. coli, jumlah BAL, nilai pH,
total asam, kadar protein cincalok.

Fermentasi pada cincalok terjadi secara spontan dengan memanfaatkan


mikrobia alami dari lingkungan, salah satu mikrobia yang memegang peran penting
dalam fermentasi adalah bakteri asam laktat (BAL). Mikrobia penghasil asam laktat
yang biasa ditemui pada cincalok adalah Lactobacillus sp. dan Streptococcus sp.,
selain itu dapat dijumpai beberapa mikrobia lainnya seperti jamur, bakteri patogen,
dan bakteri pembusuk yang dapat menurunkan kualitas cincalok (Achmad et al.,
2013). Penelitian yang dilakukan oleh Yanti dan Dali (2013) menunjukkan bahwa
genus BAL yang terdapat pada produs fermentasi spontan yakni Lactobacillus,
Streptococcus, Enterococcus, Pediococcus, Tetragenococcus, Leuconostoc, dan
Lactococcus. Waktu fermentasi dapat memengaruhi jumlah koloni bakteri yang
terdapat pada produk fermentasi.
Hal tersebut disebabkan karena BAL menghasilkan asam yang dapat
berperan sebagai antibakteri dan mampu mengganggu sistem transportasi nutrisi
bakteri patogen dan pembusuk sehingga tidak dapat melakukan aktivitas
metabolismenya (Mardalena, 2016). Asam yang dihasilkan pada produk fermentasi
menunjukkan kehadiran BAL yang mampu meningkatkan kualitas produk
fermentasi (Khairina et al., 2017). Jumlah asam pada produk fermentasi semakin
meningkat saat BAL berada pada fase eksponensial (Mardalena, 2016).

Selain asam, BAL menghasilkan senyawa antibakteri seperti bakteriosin,


karbondioksida dan hidrogen peroksida sehingga dapat meningkatkan masa simpan
produk (Holzapfel et al., 2001). Bakteri asam laktat yang terdapat pada makanan
fermentasi dapat dimanfaatkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Gram
positif dan Gram negatif yang dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis (Karlina
et al., 2013).

Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang dapat


menyebabkan gastroenteritis dan mampu hidup dalam kondisi aerob atau fakultatif
anaerob (Melliawati, 2009). Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram
positif yang menjadi penyebab keracunan makanan karena mampu memproduksi
toksin yang mampu bertahan pada suhu tinggi dan suhu rendah (Jawetz et al.,
2001). Hasil penelitian menunjukkan BAL yang diisolasi dari cincalok dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Samboja et al., 2019).

Penelitian ini berbeda dengan penelitian Samboja et al. (2019) karena pada
penelitian ini yang diuji adalah kemampuan produk cincalok dalam menghambat
pertumbuhan bakteri patogen selama waktu fermentasi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kemampuan cincalok dalam menghambat pertumbuhan bakteri
E. coli dan S. aureus serta mengetahui pengaruh waktu fermentasi terhadap kualitas
dan aktivitas antibakteri pada makanan fermentasi.
Ektraksi bertujuan untuk menarik senyawa yang diinginkan dari sampel cincalok
yang telah difermentasi 1 minggu menggunakan pelarut yang sesuai. Cincalok
diekstraksi menggunakan pelarut aseton yang telah dilaporkan menarik lebih
banyak senyawa astaxanthin dibanding pelarut etanol, metanol, petroleum eter,
klorofom maupun heksana .

Sampel cincalok fermentasi 1 dan 2 minggu masing-masing dihaluskan untuk


mengecilkan ukuran sampel sehingga luas permukaan sampel semakin besar yang
akan meningkatkan jumlah astaxanthin yang tersari. Larutan baku dibuat dengan
menimbang sejumlah astaxanthin standar yang dilarutkan dalam aseton pro-analys
hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 0,6; 1; 1,4; 1,8; dan 2,2 ppm. Pada
penelitan ini penentuan panjang gelombang maksimum menggunakan konsentrasi 1
ppm yang diukur pada panjang gelombang visibel (400 – 750 nm). Hasil yang
diperoleh yaitu 477 nm yang telah sesuai dengan teori sebelumnya. Adapun hasil
pengukuran 5konsentrasi berbeda menghasilkan nilai r yaitu 0,998 yang telah
memenuhi syarat menurut Farmakope Indonesia V dan ICH (r 0,998) sehingga
diperoleh persamaan kurva baku y = 0,3164x + 0,0313. Persamaan kurva baku
tersebut digunakan untuk menentukan kadar astaxanthin dalam cincalok 1 minggu
dan 2 minggu, dimana diperoleh rata-rata kadar berturut-turut yaitu 3,267 mg/100 g
berat basah sampel dan 0,883 mg/100 g berat basah sampel.

Hasil tersebut mengatakan bahwa kadar astaxanthin dalam cincalok fermentasi 1


minggu lebih besar dibandingkan cincalok yang difermentasi 2 minggu. Proses
fermentasi umumnya dapat menyebabkan peningkatan gizi dan kualitas pada
produk fermentasi tersebut serta dapat meningkatkan kandungan senyawa organik
karena BAL yang tumbuh mendegradasi substrat pada bahan baku fermentasi
(13,26). BAL yang hidup pada pH rendah (4 – 4,8) sedangkan bakteri patogen yang
tunbuh pada pH 6 – 8 menyebabkan BAL tumbuh sedangkan bakteri patogen
cenderung mati. Pada penelitian sebelumnya, dilaporkan kandungan senyawa
astaxanthin dalam udang rebon yang diambil dari tempat yang sama memiliki
kandungan astaxanthin sebanyak 2,548 mg/100 g berat basah(untan). Oleh karena
itu, dapat dikatakan kandungan astaxanthin pada produk cincalok 1 minggu terjadi
peningkatan namun terjadi penurunan pada minggu ke-2.

Hal ini diduga karena proses fermentasi yang berlangsung selama 1 minggu
menghasilkan senyawa hasil fermentasi yang paling optimal karena pertumbuhan
BAL yang telah memasuki fase log, dimana BAL yang bertugas mendegradasi
substrat tumbuh dengan cepat karena adanya ketersediaan nutrisi dalam jumlah
yang banyak, sedangkan bakteri patogen cenderung mati karena telah teseleksi oleh
perubahan pH pada produk cincalok yang semakin menurun.

Lamanya waktu fermentasi mempengaruhi pertumbuhan bakteri untuk


mendegradasi substrat, dimana semakin lama waktu fermentasi pada waktu tertentu
maka semakin banyak pula bakteri tersebut tumbuh untuk mendegradasi substrat.
Pada penelitian ini, cincalok 1 minggu diduga BAL telah tumbuh secara optimal
yang mendegradasi bahan baku cincalok lebih banyak, namun semakin lama waktu
fermentasi juga dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan nutrisi bagi bakteri
untuk tumbuh yang dapat mempengaruhi proses degradasi udang rebon yang telah
memasuki fase kematian.

Fermentasi yang terlalu lama tidak disarankan karena dapat menyebabkan


terakumulasinya asam organik yang lebih banyak sehingga menyebabkan pH yang
semakin menurun dan mempengaruhi kadar senyawa astaxanthin dalam cincalok.
Pada penelitian ini, rendahnya kadar astaxanthin dalam cincalok 2 minggu dapat
terjadi karena perubahan pH yang berada diluar pH stabilitas astaxanthin dan
menyebabkan senyawa astaxanthin terdegradasi atau rusak. Penurunan kadar juga
dapat disebabkan karena pertumbuhan bakteri yang telah memasuki fase kematian
dengan kondisi berkurangnya ketersediaan nutrisi bagi bakteri untuk tumbuh
sehingga bakteri tidak dapat mendegradasi substrat secara optimal. Hasil kadar
yang diperoleh dari analisis Paired Sample T-Test menunjukkan nilai sig. (2-tailad)
0,000
BAB III

3.1 KESIMPULAN

Produk cincalok yang merupakan produk khas kalimantan barat ini


memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli
namun tidak mampu menghambat bakteri S. aureus. Membuat produk hasil
olahannya memiliki manfaat yang sangat baik bagi tubuh jika tepat cara
mengkonsumsinya. Fermentasi selama 14 hari menghasilkan aktivitas
antibakteri terhadap E. coli terbesar. Variasi waktu fermentasi berpengaruh
terhadap aktivitas antibakteri terhadap E. coli, viabilitas BAL, nilai pH,
total asam, kadar protein serta TVB cincalok.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, D. I., Nofiani, R., dan Ardiningsih, P. 2013. Karakterisasi bakteri asam
laktat Lactobacillus sp. RED1 dari cincalok formulasi. Jurnal Kimia Katulistiwa 1(1): 1
- 5.

Agustina, S. 2014. Pengaruh kuantitas garam pada pembuatan bekasam terhadap


tingkat keasaman, degradasi protein, dan pelunakan tulang ikan. Skripsi S-1. Politeknik
Negeri Sriwijaya, Palembang.

Andarti, I. Y. dan Wardani, A. K. 2015. Pengaruh lama fermentasi terhadap


karakteristik kimia, mikrobiologi, dan organoleptik miso kedelai hitam (Glycine max
(L)). Jurnal Pangan dan Agroindustri 3(3): 889 – 898.

Arfianty, B. N., Farisi, S., dan Ekowati, C, N. 2017. Dinamika populasi bakteri dan total
asam pada fermentasi bekasam ikan patin (Pangasius hypopthalmus). Jurnal Biologi
Eksperimen dan Keanekaragaman Hayati 4(2): 43 – 49.

Barodah, L. L., Sumardianto., dan Susanto, E. 2017. Efektivitas serbuk Sargassum


polycystum sebagai antibakteri pada ikan lele (Clarias sp.) selama penyimpanan dingin.
Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan 6(1): 10 – 20.

Cakrawati, D. dan Kusumah, M. A. 2016. Pengaruh penambahan CMC sebagai


senyawa penstabil terhadap yoghurt tepung gembili. Agrointek 10(2): 76 – 84.

Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Statistik Perikanan Indonesia. Direktorat


Perikanan, Jakarta. Hasanah, U. 2014. Bakteri asam laktat dari daging ikan peda sebagai
agen probiotik dan enzim kolesterol reduktase. Jurnal Keluarga Sehat

Anda mungkin juga menyukai