Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISA PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIKA SOEGIJAPRANATA


SEMARANG

PENGUKURAN KADAR MINERAL TOTAL

Kelompok: D1

Abstrak

Kadar abu merupakan zat anorganik sisa dari proses pembakaran atau oksidasi senyawa
organik pada suatu bahan pangan. Kadar abu suatu bahan pangan berhubungan erat
dengan kadar mineral yang terkandung dalam bahan pangan. Jenis mineral dalam bahan
pangan digolongkan menjadi dua, yaitu mineral makro dan mikro. Mineral makro
merupakan mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah lebih dari 0,01%, sedangkan
mineral mikro merupakan mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah kurang dari
0,01%. Penentuan kadar mineral dilakukan dengan pembakaran sisa-sisa garam mineral
yang dikenal sebagai pengabuan. Pengabuan pada umumnya dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu secara langsung (cara kering) atau secara tidak langsung (cara basah).
Pengabuan cara kering dilakukan dengan mendestruksi senyawa organik dalam tanur
(furnance) pada suhu yang tinggi (500 ℃−600 ℃). Sedangkan pengabuan cara basah
dilakukan dengan cara mengoksidasi senyawa organik dalam bahan pangan
menggunakan oksidator kimiawi (pelarut organik) seperti asam kuat. Pengabuan yang
sempurna ditandai dengan diperolehnya abu berwarna putih keabu-abuan dan bebas dari
noda hitam. Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui prinsip analisa kadar abu dan
menentukan kadar abu dari ikan teri kering merek “Sari Laut” dan “Mitrama”, serta
untuk membandingkan kadar abu dari hasil analisa dengan standar nasional yang ada.
Prinsip kerja yang digunakan pada praktikum ini adalah pengabuan dengan cara kering.
Parameter yang akan dianalisis pada praktikum ini adalah persentase kadar abu ikan teri
kering merek “Sari Laut” dan “Mitrama”. Berdasarkan hasil pengamatan yang
diperoleh, kadar abu pada setiap kelompok baik yang menganalisis ikan teri kering
“Sari Laut” maupun “Mitrama” menunjukkan hasil yang berbeda-beda dengan selisih
yang tidak terlalu besar antara satu kelompok dengan yang lain. Berdasarkan SNI
8273:2016, syarat mutu ikan teri kering yang baik adalah mengandung kadar abu
maksimal sebesar 0,3%. Sehingga dapat dikatakan bahwa kadar abu yang diperoleh oleh
setiap kelompok tidak sesuai dengan SNI.

Kata kunci : Kadar Abu, Pengabuan, Teri Kering

1. PENDAHULUAN
1.2.1. Analisa Kadar Mineral Total
1.1. Tujuan Praktikum
Pada praktikum ini, metode yang
Praktikum ini bertujuan untuk digunakan untuk pengukuran kadar
mengetahui prinsip analisa kadar abu, mineral total adalah pengabuan cara
menentukan kadar abu dari beberapa kering (dry ashing). Prinsip metode ini
sampel makanan, serta untuk adalah dengan cara membakar bahan
membandingkan kadar abu dari hasil pangan dalam tanur (tungku pengabuan)
analisa dengan standar nasional yang pada suhu tinggi (sekitar
ada. 500 ℃−600 ℃) untuk menghilangkan
zat organik pengotor sampai
1.2. Prinsip Kerja mendapatkan abu berwarna putih keabu-

1
abuan yang memiliki berat konstan. diperoleh terdiri dari oksida logam yang
Sedangkan perhitungan kadar air pada berupa material dan garam-garam
prinsipnya adalah membagi berat anorganik. Oleh sebab itu, analisis
sampel setelah pengabuan dengan berat kadar abu dalam analisis pangan
sampel sebelum pengabuan kemudian merupakan hal yang penting untuk
dikali 100% untuk mendapatkan hasil dilakukan (Atma, 2018). Kadar abu
dalam bentuk persentase (%). dalam suatu produk pangan digunakan
sebagai indikator yang menunjukkan
2. HASIL PENGAMATAN baik atau tidaknya proses pengolahan
suatu produk pangan, sebagai parameter
2.1. Analisa Kadar Mineral Total penentu kualitas atau mutu gizi dari
bahan pangan, dan untuk mengetahui
Hasil pengamatan penentuan kadar jenis bahan-bahan yang digunakan
mineral total pada Teri Kering “Sari (Puspitasari, 2008; Kasim et al., 2018).
Laut” dan Teri Kering “Mitrama” dapat
dilihat pada Tabel 1 (terlampir). Kadar abu suatu bahan pangan
Berdasarkan Tabel 1 (terlampir), dapat berhubungan erat dengan kadar mineral
diketahui bahwa kelompok D1 hingga yang terkandung dalam bahan pangan,
D3 menggunakan Teri Kering “Sari kemurnian, dan kebersihan yang
Laut” sedangkan kelompok D4 hingga dihasilkan pada suatu bahan
D6 menggunakan Teri Kering (PERSAGI, 2009). Kadar abu dan
“Mitrama” dengan berat sampel awal mineral memiliki hubungan yang
yang sama, yaitu sebanyak 1 gram. Dari berbanding lurus, dimana semakin
hasil pengamatan tersebut, dapat dilihat tinggi kadar abu dalam suatu bahan
bahwa hasil penimbangan berat cawan pangan, maka kandungan mineral yang
kosong maupun berat cawan beserta terkandung juga semakin tinggi.
sampel setelah diabukan menunjukkan Semakin rendah kadar abu dalam suatu
hasil yang berbeda-beda pada setiap produk pangan, maka tingkat kemurnian
kelompok. Perbedaan hasil tersebut dan kebersihannya akan semakin tinggi.
mempengaruhi berat abu dan kadar abu Jenis mineral dalam bahan pangan
yang diperoleh pada masing-masing digolongkan menjadi dua, yaitu mineral
kelompok. Kadar abu yang paling tinggi makro dan mikro. Mineral makro
diperoleh oleh kelompok D1 yaitu merupakan mineral yang diperlukan
sebesar 16% dengan berat abu sebanyak tubuh dalam jumlah lebih dari 0,01%,
0,16 gram dan kadar abu yang paling seperti natrium (Na), sulfur (S), kalium
rendah diperoleh oleh kelompok D6 (K), fosfor (P), kalsium (Ca), dan
yaitu sebesar 9% dengan berat abu magnesium (Mg). Sedangkan mineral
sebanyak 0,09 gram. mikro merupakan mineral yang
diperlukan tubuh dalam jumlah kurang
3. PEMBAHASAN dari 0,01%, seperti zink (Zn), tembaga
(Cu), iodium (I), besi (Fe), dan mangan
Abu merupakan zat anorganik sisa dari (Mn) (Atma, 2018).
proses pembakaran atau oksidasi
senyawa organik pada suatu bahan Pada umumnya, penentuan kadar
pangan. Setiap bahan pangan mineral dalam bentuk asli dalam bahan
mengandung kadar abu dan senyawa pangan sangat sulit untuk ditentukan.
anorganik (mineral) dalam jumlah yang Maka dari itu, penentuan kadar mineral
berbeda-beda. Sebagian besar abu yang sering kali dilakukan dengan penentuan

2
sisa-sisa pembakaran garam mineral menghancurkan atau membakar seluruh
yang dikenal juga dengan pengabuan komponen-komponen organik sehingga
(Sahubawa & Ustadi, 2014). Pengabuan mempermudah dalam tahapan analisis
pada bahan pangan menyebabkan (Atma, 2018). Suhu yang digunakan
terdestruksinya senyawa-senyawa dalam proses pengabuan harus
organik dan anorganik sehingga akan disesuaikan dengan bahan yang akan
terjadi perubahan radikal pada senyawa dianalisis kadar abunya dan komponen
organik dan terbentuknya elemen logam yang terkandung dalam bahan tersebut.
dalam bentuk ion-ion negatif (Atma, Karena terdapat banyak elemen mineral
2018). yang mudah menguap pada suhu tinggi,
misalnya Na, S, Ca, K, P, dan Cl
Bahan pangan yang akan dianalisis (Puspitasari, 2008).
kandungan mineralnya harus melalui
tahap ekstraksi dengan pengabuan Pengabuan pada umumnya dapat
terlebih dahulu. Untuk bahan pangan dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
yang tinggi kadar air harus dikeringkan langsung (cara kering) atau secara tidak
terlebih dahulu sebelum pengabuan. langsung (cara basah) (Tiwow et al.,
Bahan pangan yang mengandung zat 2016). Pengabuan cara kering dilakukan
mudah menguap dan berlemak, dengan mendestruksi senyawa organik
pengabuan dapat dilakukan secara dalam tanur (furnance) pada suhu yang
bertahap. Hal ini bertujuan agar zat tinggi (500 ℃−600 ℃). Pengabuan
volatil tidak cepat menguap dan lemak cara kering biasanya digunakan untuk
tidak mudah rusak karena teroksidasi. penentuan total kadar abu, abu larut air,
Bahan pangan yang tinggi akan abu tidak larut air, dan abu tidak larut
karbohidrat seringkali akan timbul buih asam. Metode ini mempunyai
pada saat pengabuan sehingga perlu keunggulan dan kelemahan dalam
ditambahkan dengan zat antibuih, menganalisa kadar abu. Keuntungan
seperti minyak zaitun atau parafin. Hal menggunakan metode menggunakan
ini dilakukan karena jika timbul buih tanur ialah biayanya murah, cara yang
yang terlalu banyak, potensi ledakan dilakukan cukup sederhana, dapat
yang terjadi cukup besar (Apriyantono, menganalisis sampel dalam jumah yang
1989). Sedangkan untuk bahan pangan banyak secara bersamaan, dan tidak
tinggi protein, proses pengabuan dapat membutuhkan penambahan reagen
berlangsung dalam waktu yang lama, kimia. Sedangkan kelemahannya, antara
sehingga untuk mempercepat lain waktu yang diperlukan cukup lama
pengabuan dapat ditambahkan dengan dan suhu yang digunakan cukup tinggi
gliserin dan alkohol. Selain kedua bahan (Sahubawa & Ustadi, 2014).
tersebut, oksidator seperti H2O2 juga
dapat digunakan untuk mempercepat Sedangkan pengabuan cara basah
proses pengabuan (Puspitasari, 2008). dilakukan dengan cara mengoksidasi
senyawa organik dalam bahan pangan
Analisis kadar abu dalam bahan pangan dengan menggunakan oksidator
dilakukan melalui dua tahapan utama, kimiawi (pelarut organik) seperti asam
yaitu tahap ekstraksi dan tahapan kuat. Suhu yang digunakan dalam
analisis. Tahap ekstraksi pada analisis metode ini lebih rendah dibandingkan
kadar abu dilakukan dengan cara dengan metode cara kering. Metode ini
pengabuan. Ekstraksi dengan banyak digunakan untuk persiapan
pengabuan ini bertujuan untuk analisis sampel mineral jenis mikro.

3
Pengabuan cara basah sendiri dapat keabu-abuan dan bebas dari noda hitam
dibedakan menjadi dua jenis, yakni (Estiasih & Ahmadi, 2009). Setelah
pengabuan basah tunggal dan tahap pengabuan dilakukan, kemudian
pengabuan basah kombinasi. Perbedaan dilanjutkan dengan tahapan analisis.
keduanya hanya terletak pada Tahapan analisis kadar abu dapat
penggunaan jumlah oksidatornya. Pada dilakukan dengan empat metode, antara
pengabuan basah tunggal, oksidator lain dengan metode titrasi, gravimetri,
yang digunakan hanya satu seperti asam koloriometri, dan AAS (Atomic
sulfat atau asam nitrat. Sedangkan pada Absorption Spectoscopy) (Atma, 2018).
pengabuan basah kombinasi, oksidator
yang digunakan bisa dua atau lebih, Pada pengujian kadar abu ini, bahan
misalnya asam sulfat dengan asam nitrat yang digunakan adalah ikan teri kering
atau asam sulfat dengan asam nitrat. dengan merk “Sari Laut” dan
Keuntungan menggunakan metode ini “Mitrama”. Ikan teri kering merupakan
ialah waktu pengabuannya relatif cepat, ikan teri yang telah melalui beberapa
suhu yang digunakan tidak terlalu proses pengolahan, antara lain
tinggi, dapat digunakan untuk pencucian, penggaraman, dan
menganalisis sampel dalam jumlah pengeringan (Astawan, 2002).
kecil. Namun kelemahan dari metode Pengeringan pada ikan teri biasanya
ini adalah metode ini membutuhkan dilakukan dengan cara tradisional, yaitu
reagen kimia yang seringkali bersifat dengan menjemurnya di bawah sinar
membahayakan (Atma, 2018). matahari (Ohoiwutun et al., 2017). Dan
metode yang digunakan pada praktikum
Selain kedua cara pengabuan tersebut, ini adalah metode pengabuan kering
terdapat jenis pengabuan lain yaitu (termogravimetri).
pengabuan cara konduktrimetri. Metode
ini merupakan metode tidak langsung Praktikum ini diawali dengan
yang digunakan untuk menentukan total dilakukannya pemanasan cawan
elektrolit dalam suatu bahan pangan. porselin di dalam tanur pada suhu 550
Metode ini biasanya dilakukan pada ℃ selama 1 jam. Tanur merupakan alat
bahan yang bersifat nonelektrolit, laboratorium yang biasa digunakan
misalnya gula (Lestari et al., 2014). untuk menentukan kadar abu (senyawa
Prinsip dari metode ini ialah mineral anorganik atau kadar mineral)
penyusun abu yang terkandung dalam (Kumesan et al., 2017). Setelah
gula akan terdisosiasi dalam larutan, dipanaskan, cawan porselin dimasukkan
sedangkan gula yang sifatnya ke dalam oven selama 1 jam. Hal ini
nonelektrolit tidak akan terdisosiasi dilakukan untuk menghilangkan air
(Atma, 2018). Penggunaan metode yang masih menempel pada cawan
pengabuan bahan pangan tergantung porselin dan juga untuk mensterilkan
pada tujuan pengabuan, metode cawan porselin (Kumesan et al., 2017).
penentuan kandungan mineral yang Kemudian dimasukkan ke dalam
digunakan, dan jenis kandungan mineral desikator selama 15 menit. Hartutik
yang akan dianalisa (Estiasih & (2012) menyatakan bahwa desikator
Ahmadi, 2009). digunakan untuk mendinginkan bahan
setelah melalui proses pemanasan atau
Untuk pengabuan yang sempurna, pengabuan sebelum dilakukan
pembakaran dilakukan hingga abu yang penimbangan, menyimpan sampel
diperoleh berwarna seragam yaitu putih analisis, reagen, ataupun endapan, serta

4
mengeringkan bahan padat sehingga higroskopis seperti alumunium oksida,
tidak terpengaruh oleh kelembaban silica gel, dan kapur aktif sehingga
udara luar. Menurut Sudarmadji et al. dapat berfungsi untuk menyerap uap air
(1997), penyimpanan cawan porselin yang masih tersisa pada abu. Silica gel
dalam desikator bertujuan untuk berwarna biru masih bisa menyerap uap
memperoleh berat yang konstan pada air, sedangkan silica gel yang berubah
saat penimbangan dan mendinginkan warna menjadi merah muda perlu
cawan. Cawan porselin yang telah dipanaskan terlebih dahulu dalam oven
dimasukkan ke dalam desikator, di bersuhu 105℃ hingga warnanya
timbang sebagai berat cawan kosong. kembali berwarna biru (Fahmi & Abdul,
Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan 2016). Cawan beserta sampel ditimbang
ke dalam cawan porselin dan ditimbang sebagai berat cawan + abu kemudian
beratnya sebagai berat cawan + sampel. dapat dihitung persentase kadar abunya.
Cawan yang berisi sampel dipanaskan
secara bertahap selama 3-5 jam di Berdasarkan hasil pengamatan yang
dalam tanur bersuhu 550℃. Menurut diperoleh, kadar abu pada setiap
Nihayati (2016), pemanasan atau kelompok menunjukkan hasil yang
pembakaran dalam pengujian kadar abu berbeda-beda dengan selisih yang tidak
diperlukan karena bertujuan untuk terlalu besar antara satu kelompok
menghancurkan seluruh komponen- dengan yang lain. Jika dibandingkan
komponen organik. Dengan dengan standar nasional yang ada, yaitu
dilakukannya pembakaran, air dan SNI 8273:2016, kadar abu yang
senyawa volatil yang terkandung dalam diperoleh pada pengujian praktikum ini
bahan pangan akan menguap, senyawa tidak sesuai dengan standar yang ada.
organik akan terbakar dengan adanya Berdasarkan SNI 8273:2016, syarat
O2, serta akan menghasilkan CO2 dan mutu ikan teri kering yang baik adalah
N2. Tujuan dilakukan pembakaran mengandung kadar abu maksimal
secara bertahap yakni untuk sebesar 0,3%. Hal ini dapat terjadi
menguapkan sekaligus mendisosiasikan karena pengujian yang dilakukan oleh
atau mendekomposisikan senyawa yang praktikan berbeda dengan pengujian
dianalisis (Sunartaty & Ruka, 2017). yang dilakukan untuk SNI, sehingga
keduanya tidak dapat dibandingkan.
Pembakaran bahan pangan pada suhu Namun jika dibandingkan dengan
tinggi mengakibatkan senyawa organik standar internasional, yaitu USDA,
dan turunannya terdestruksi dan kadar abu ikan teri kering yang
menguap, hingga hanya tersisa unsur diperoleh dalam pengujian ini sesuai
mineral dan anorganiknya. Setelah itu dengan standar yang ada. Berdasarkan
dilakukan pengabuan hingga didapatkan data USDA, kadar abu maksimum pada
abu yang beratnya konstan serta abu ikan teri kering yang baik adalah 18,67
yang berwarna putih keabu-abuan tanpa gram per 100 gram atau setara dengan
noda hitam. Cawan berserta sampel 18,67%.
dimasukkan ke dalam oven selama 1
jam. Hal ini bertujuan untuk Dalam pengujian kadar abu ini, tidak
mendinginkan cawan secara bertahap terdapat data yang menyimpang antara
(Sudarmadji et al., 1989). Kemudian satu kelompok dengan yang lain. Jika
dimasukkan ke dalam desikator selama terdapat data yang menyimpang,
15 menit. Desikator merupakan wadah kemungkinan yang terjadi ialah
yang didalamnya sudah terdapat bahan terjadinya dun spoilage. Menurut

5
Astawan (2002), dun spoilage adalah kebersihan yang dihasilkan pada
pembusukan pada bahan pangan yang suatu bahan.
ditandai dengan terbentuknya pigmen  Pengabuan pada bahan pangan
keabu-abuan dan bintik abu pada menyebabkan terdestruksinya
permukaan daging ikan. senyawa-senyawa organik dan
anorganik.
Muchtadi (1997) menyatakan bahwa  Pengabuan pada umumnya dapat
terdapat beberapa faktor baik internal dilakukan dengan dua cara, yaitu
maupun eksternal yang dapat secara langsung (cara kering) atau
mempengaruhi kadar abu dalam bahan secara tidak langsung (cara basah).
pangan, salah satunya ialah suhu  Pengabuan cara kering dilakukan
pemanasan atau pembakaran yang dengan mendestruksi senyawa
digunakan. Semakin bertambahnya suhu organik dalam tanur (furnance)
pemanasan maka kadar abu yang pada suhu yang tinggi (
diperoleh akan cenderung semakin 500 ℃−600 ℃).
meningkat. Hal ini dapat terjadi karena  Pengabuan cara kering biasanya
kandungan air dalam bahan pangan digunakan untuk penentuan total
mengalami penurunan yang lebih besar kadar abu, abu larut, abu tidak larut
sehingga unsur-unsur yang tertinggal air, dan abu tidak larut asam.
akan meningkat, contohnya adalah  Pengabuan cara basah dilakukan
mineral. Sudarmadji & Suhardi (1997) dengan cara mengoksidasi senyawa
menambahkan bahwa kadar abu bahan organik dalam bahan pangan
pangan tergantung pada beberapa hal, dengan menggunakan oksidator
antara lain jenis bahan, apakah bahan kimiawi (pelarut organik) seperti
tersebut mengandung kadar air yang asam kuat.
tinggi atau mengandung senyawa volatil  Pengabuan cara basah banyak
dan berlemak. Faktor lain yang dapat digunakan untuk persiapan analisis
memperngaruhi ialah waktu. Waktu sampel mineral jenis mikro.
yang digunakan untuk pengabuan pada
 Pengabuan yang sempurna ditandai
setiap bahan yang akan diabukan
dengan diperolehnya abu berwarna
berbeda-beda. Selain waktu dan jenis
seragam yaitu putih keabu-abuan
bahan, suhu yang digunakan pada saat
dan bebas dari noda hitam.
pengabuan dan metode pengabuan yang
 Kadar abu yang diperoleh oleh
digunakan juga akan berpengaruh
setiap kelompok tidak sesuai
terhadap kadar abu yang terkandung
dengan standar SNI.
dalam bahan pangan.
 Faktor yang mempengaruhi kadar
4. KESIMPULAN abu dalam suatu bahan pangan
antara lain suhu, jenis bahan,
waktu, dan metode pengabuan yang
 Abu merupakan zat anorganik sisa
digunakan.
dari proses pembakaran atau
oksidasi senyawa organik pada  Semakin bertambahnya suhu
suatu bahan pangan. pemanasan maka kadar abu yang
diperoleh akan cenderung semakin
 Kadar abu suatu bahan pangan
meningkat.
berhubungan erat dengan kadar
mineral yang terkandung dalam  Bahan pangan yang tinggi kadar air
bahan pangan, kemurnian, dan harus dikeringkan terlebih dahulu
sebelum pengabuan.

6
 Bahan pangan yang mengandung Badan Standarisasi Nasional (BSN).
zat mudah menguap dan berlemak 2016. SNI Ikan Teri Asin Kering
dilakukan pengabuan secara (SNI 8273:2016). Badan
bertahap. Standarisasi Nasional. Jakarta.
 Semakin tinggi kadar abu dalam
suatu bahan pangan, maka Estiasih, T. dan Ahmadi. (2009).
kandungan mineral yang Teknologi Pengolahan Pangan.
terkandung juga semakin tinggi. Jakarta: Bumi Aksara.
 Semakin rendah kadar abu dalam
suatu produk pangan, maka tingkat Fahmi, H. dam Abdul L.N. (2016).
kemurnian dan kebersihannya akan Analisa Daya Serap Silika Gel
semakin tinggi. Berbahan Dasar Abu Sekam Padi,
 Kadar abu dalam suatu produk Jurnal Ipteks Terapan, 10(3):
pangan digunakan sebagai indikator 176-182.
yang menunjukkan baik atau
tidaknya proses pengolahan suatu Hartutik. (2012). Metode Analisis Mutu
produk pangan, sebagai parameter Pakan. Malang: UB Press.
penentu kualitas atau mutu gizi dari
bahan pangan, dan untuk Kasim, R., Siti A.L., Marleni L., dan
mengetahui jenis bahan-bahan yang Fadhilah P.M. (2018). Pengaruh
digunakan. Suhu Dan Lama Pemanggangan
Terhadap Tingkat Kesukaan Dan
Semarang, 11 November 2019 Kandungan Gizi Snack Food Bars
Praktikan, Berbahan Dasar Tepung Pisang
Kelompok D1 Goroho Dan Tepung Ampas
Tahu, JTech, 6(2): 41-48.

Helena Eurika 18.I1.0013 Kumesan, E.C., Engel V.P., dan Helen


Marcella Valentina 18.I1.0015 J.L. (2017). Analisa Total Bakteri,
Alfina Mutiara 18.I1.0016 Kadar Air Dan Ph Pada Rumput
Tasya Aldisa 18.I2.0001 Laut (Kappaphycus alvarezii)
Gloria Sherina 18.I2.0007 Dengan Dua Metode Pengeringan,
Jurnal Media Teknologi Hasil
Perikanan, 5(1): 124-129.
5. DAFTAR PUSTAKA
Lestari, L.A., Puspita M.L., dan Fasty
Apriyantono, A. (1989). Analisis A.U. (2014). Kandungan Zat Gizi
Pangan. Bogor: IPB Press. Makanan Khas Yogyakarta.
Yogyakarta: Gadjah Mada
Astawan, M. (2002). Ikan Asin, University Press.
Hidangan Banyak Penggemar,
Sedap Sekejap, 5:76-77. Muchtadi, T. R. (1997). Teknologi
Proses Pengolahan Pangan.
Atma, Y. (2018). Prinsip Analisis Fakultas Pangan dan Gizi. Bogor:
Komponen Pangan Makro dan IPB.
Mikro Nutrien. Yogyakarta: CV
Budi Utama. Nihayati, E. (2016). Peningkatan
Produksi dan Kadar Kurkumin

7
Temulawak. Malang: Universitas United State Department of Agriculture.
Brawijaya Press. (2019). Food Data Central: Fish,
Cod, Atlantic, Dried and Salted.
Ohoiwutun, M.K., Elisabeth C.O., dan United States.
Cawalinya L.H. (2017).
Peningkatan Kualitas Ikan Teri
Kering di Desa Sathean,
Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten
Maluku Tenggara, Jurnal Ilmiah
Pengabdian kepada Masyarakat,
3(2): 150-156.

PERSAGI. (2009). Kamus Gizi


Pelengkap Kesehatan Keluarga.
Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara.

Puspitasari. (2008). Biokimia Umum.


Jakarta: Gramedia.

Sahubawa, L. dan Ustadi. (2014).


Teknologi Pengawetan dan
Pengolahan Hasil Perikanan.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan


Suhardi. (1997). Prosedur
Analisis untuk Bahan Makanan
dan Pertanian. Liberty.
Yogyakarta.

Sunartaty, R. dan Ruka Y. (2017).


Pembuatan Abu Dan Karakteristik
Kadar Air Dan Kadar Abu Dari
Abu Pelepah Kelapa, Seminar
Nasional II USM, 1: 560-562.

Tiwow, V.M.A., Inda W.H., dan


Supriadi. (2016). Analisis Kadar
Kalsium (Ca) Dan Fosforus (P)
Pada Limbah Sisik Dan Sirip Ikan
Mujair (Oreochromis
mossambicus) Dari Danau Lindu
Sulawesi Tengah, J. Akad. Kim.,
5(4): 159-165.

8
9
10
6. LAMPIRAN
6.1. Tabel Pengamatan

Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan Penentuan Kadar Amilosa pada Berbagai Sampel
Kel. Sampel Absorbansi Konsentrasi Amilosa
(ppm)
1 Ebi Marina 0,0011 2058,6
2 Ebi Marina 0,0002 2037,6
3 Ebi Marina 0,0007 2049,2
4 Ebi Mitrama 0,0003 2039,8
5 Ebi Mitrama 0,0066 2188
6 Ebi Mitrama 0,0016 2070,4

Tabel 2. Analisis Serat Kasar


Kel. Bahan Berat Berat Berat Kertas Berat Kadar
Awal Kertas Saring + Serat Serat
(g) Saring Residu (g) Kasar (g) Kasar
Kosong (g) (%)
1 Ebi Marina 1,00 0,197 0,213 0,016 1,6%
2 Ebi Marina 1,00 0,189 0,203 0,014 1,4%
3 Ebi Marina 1,00 0,189 0,203 0,014 1,4%
4 Ebi Mitrama 1,00 0,194 0,215 0,021 2,1%
5 Ebi Mitrama 1,00 0,192 0,205 0,013 1,3%
6 Ebi Mitrama 1,00 0,196 0,212 0,016 1,6%

Tabel 3. Analisis Carbohydrate by Difference


Kel. Bahan Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar Kadar
Air (%) Abu (%) Protein Lemak Serat KH (%)
(%) (%) (%)
1 Ebi Marina 33,46% 15,56% 31,52% 2,86% 1,6% 16,60%
2 Ebi Marina 34,54% 15,60% 56,21% 2,50% 1,4% -8,85%
3 Ebi Marina 34,66% 15,86% 37,83% 1,55% 1,4% 10,10%
4 Ebi 30,88% 21,40% 47,28% 3,37% 2,1% -2,93%
Mitrama
5 Ebi 30,64% 21,24% 45,18% 1,98% 1,3% 0,96%
Mitrama
6 Ebi 30,78% 20,22% 43,42% 1,03% 1,6% 4,55%
Mitrama

Keterangan :
Kadar Air : dari % wet basis

11
Kadar Protein : dari % P
Kadar Lemak : dari % lemak 1
6.2. Laporan Sementara (terlampir)
6.3 Perhitungan x * 2000 = a ppm
Perhitungan : 1,0188 * 2000 = 2037,6 ppm
100
Konsentrasi Amilosa (ppm) 2037,6 x = 203,76 µgr
1000
Y = 0,0851x – 0,0865 203,76
Konsentrasi Amilosa = =
0,1
Rumus : x * 2000 = a ppm
2037,6 ppm
100
ax = b µgr
1000
b µgr
Konsentrasi amilosa =
0,1

KELOMPOK A3
Y = 0,0851x – 0,0865
KELOMPOK A1 0,0007 = 0,0851x – 0,0865
Y = 0,0851x – 0,0865
0,0872 = 0,0851x
0,0011= 0,0851x – 0,0865
x = 1,0246
0,0876 = 0,0851x
x = 1,0293
x * 2000 = a ppm
1,0246 * 2000 = 2049,2 ppm
x * 2000 = a ppm
100
1,0293 * 2000 = 2058,6 ppm 2049,2 x = 204,92 µgr
1000
100 204,92
2058,6 x = 205,86 µgr Konsentrasi Amilosa = = 2049,2
1000 0,1
205,86 ppm
Konsentrasi Amilosa = = 2058,6
0,1
ppm
KELOMPOK A4
Y = 0,0851x – 0,0865
KELOMPOK A2
0,0003= 0,0851x – 0,0865
Y = 0,0851x – 0,0865
0,0868 = 0,0851x
0,0002 = 0,0851x – 0,0865
x = 1,0199
0,0867 = 0,0851x
x = 1,0188 x * 2000 = a ppm

12
1,0199 * 2000 = 2039,8 ppm 218,8
Konsentrasi Amilosa = = 2188
100 0,1
2039,8 x = 203,98 µgr
1000 ppm
203,98
Konsentrasi Amilosa = = 2039,8
0,1
KELOMPOK A6
ppm
Y = 0,0851x – 0,0865
0,0016= 0,0851x – 0,0865
0,0881 = 0,0851x
KELOMPOK A5
x = 1,0352
Y = 0,0851x – 0,0865
0,0066= 0,0851x – 0,0865
x * 2000 = a ppm
0,0931 = 0,0851x
1,0352 * 2000 = 2070,4 ppm
x = 1,0940 100
2070,4 x = 207,04 µgr
1000
x * 2000 = a ppm 207,04
Konsentrasi Amilosa = = 2070,4
0,1
1,0940 * 2000 = 2188 ppm
100 ppm
2188 x = 218,8 µgr
1000
Analisa Serat Kasar

Rumus :
Berat Serat Kasar = (berat kertas saring + residu) – berat kertas saring kosong
Berat serat kasar
% Serat Kasar = × 100 %
berat awal
0,014
% Serat Kasar = × 100 %=1,4 %
1
Kelompok A1
Berat Serat Kasar = 0,213 −¿ 0,197 Kelompok A3
Berat Serat Kasar = 0,203 −¿ 0,189
= 0,016 g

0,016 = 0,014 g
% Serat Kasar = × 100 %=1,6 % 0,014
1 % Serat Kasar = × 100 %=1,4 %
1
Kelompok A2
Berat Serat Kasar = 0,203 −¿ 0,189
Kelompok A4
= 0,014 g
Berat Serat Kasar = 0,215 −¿ 0,194

13
= 0,021 g 0,013
% Serat Kasar = ×100 %=1,3 %
1
0,021
% Serat Kasar = ×100 %=2,1 %
1 Kelompok A6
Berat Serat Kasar = 0,212 −¿ 0,196
Kelompok A5
Berat Serat Kasar = 0,205 −¿ 0,192 = 0,016 g
= 0,013 g
0,016
% Serat Kasar = × 100 %=1,6 %
1

Carbohydrate by Difference
Carbohydrate by Difference = 100 – ( berat dalam gram [ air + abu + protein + lemak ]
dalam 100 gram makanan )

KELOMPOK A1 KELOMPOK A4
100 – (33,46 + 15,56 + 31,52 + 2,86) 100 – (30,88 + 21,40 + 47,28 + 3,37)
= 16,60 % = -2,93 %
KELOMPOK A2 KELOMPOK A5
100 – (34,54 + 15,60 + 56,21 + 2,50) 100 – (30,64 + 21,24 + 45,18 + 1,98)
= -8,85 % = 0.96%
KELOMPOK A3 KELOMPOK A6
100 – (34,66 + 15,86 + 37,83 + 1,55) 100 – (30,78 + 20.22 + 43,42 + 1,03)
= 10,10 % =4,55%

6.4. Foto Kemasan


Gambar 1. Tampak Depan Kemasan Ebi Marina

Gambar 2. Tampak Belakang Kemasan Ebi Marina

14
Gambar 3. Kemasan Ebi Mitrama

6.5. Tabel Kandungan Gizi Ebi berdasarkan USDA (2019)

6.6. Jurnal (terlampir)


6.7. Hasil Scan Plagiasi (terlampir)

15

Anda mungkin juga menyukai