Anda di halaman 1dari 120

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA

MARISSA AMBARINANTI A14303029

SKRIPSI

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

ii

RINGKASAN

MARISSA AMBARINANTI. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia. Dibawah bimbingan MANGARA TAMBUNAN. Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia. Hampir 97 % penduduk Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi untuk mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok utama. Selain merupakan negara pengkonsumsi beras, Indonesia juga merupakan negara produsen beras terbesar ke tiga di dunia. Hal ini didukung oleh kondisi alam, iklim, dan topografi yang mendukung dilakukannya usahatani padi di Indonesia. Indonesia pernah mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 dan berhasil menjadi net eksportir beras, tetapi setelah periode swasembada tersebut produksi beras Indonesia berfluktuasi dengan laju pertumbuhan yang cenderung menurun sedangkan laju pertumbuhan konsumsi terus meningkat, sehingga Indonesia lebih sering tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan beras domestiknya. Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras. Fluktuasi pada produksi dan predikat Indonesia sebagai negara pengimpor beras mengakibatkan ekspor beras Indonesia cenderung menurun dan bahkan terhapus. Namun demikian pada tahun 2004 hingga 2005, ekspor beras meningkat cukup signifikan yaitu dari 4.495 ton pada tahun 2004 menjadi 44.285 ton pada tahun 2005. Hal ini memberikan harapan dan peluang bagi Indonesia untuk mempertahankan dan mengembangkan ekspor beras yang ada mengingat pada dasarnya Indonesia merupakan salah satu negara produsen beras terbesar. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia, (2) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series selama peride waktu 30 tahun (1976-2005). Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, BULOG, dan Departemen Perdagangan. Model analisis data yang digunakan adalah model regresi berganda dengan persamaan tunggal. Persamaan ini diduga dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Minitab 14. Berdasarkan hasil estimasi model secara keseluruhan, pendugaan dan pengujian model ekonomi dengan kriteria statistik yang ada menunjukkan hasil yang sangat baik, dimana parameter-parameter dalam setiap persamaan memberikan tanda yang sesuai dengan harapan dan cukup logis dari sudut pandang ekonomi. Nilai koefisien determinasi (R2 ) yang diperoleh untuk model produksi adalah sebesar 98,6 persen dan nilai koefisien determinasi (R2 ) yang diperoleh untuk model ekspor adalah sebesar 71,0 persen. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman masing- masing variabel endogen dapat dijelaskan dengan baik oleh variabel-variabel eksogen yang terdapat dalam model. Masalah autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinier tidak terdapat dalam kedua model yang dianalisis.

iii

Hasil analisis regresi pada model produksi menunjukkan bahwa f aktorfaktor ya ng mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan volume produksi beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat tiga variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia, yaitu luas areal panen padi Indonesia (pada taraf 0,01), harga dasar gabah (0,01), dan pupuk urea (pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata adalah variabel curah hujan dengan nilai P value 0,815. Hasil analisis regresi pada model ekspor menunjukkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia terdiri dari produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga beras eceran, dan konsumsi beras per kapita. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan volume ekspor beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat dua variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia, yaitu produksi beras Indonesia (pada taraf 0,2) dan konsumsi beras per kapita (pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan nilai P value 0,539 dan harga beras eceran dengan nilai P value 0,883. Adapun saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menciptakan kebijakan yang mendukung pertanian di indonesia, misalnya dengan memberikan subsidi pup uk bagi para petani dengan cara yang bijak dan tepat sehingga tersedia dalam jumlah dan harga yang memadai, mengingat pupuk urea merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. Selain itu menetapkan kebijakan harga dasar gabah yang melindungi petani, sehingga hal tersebut memberikan insentif bagi petani untuk meningkatan produksi padi, (2) Perlu diupayakan peningkatan luas areal tanam padi untuk meningkatkan produksi padi Indonesia, sehingga produksi beras pun akan meningkat. Selain itu perlu diupayakan adanya diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, (3) Membina, menjaga, dan mengembangkan pasar ekspor beras yang sudah ada. Mengorientasikan produksi beras bukan hanya untuk konsumsi tetapi juga untuk mulai mengembangkan ekspor beras, dan (4) Saran bagi penelitian selanjutnya adalah mencoba melakukan penelitian ini dengan metode two stage least square (2SLS) dengan menggunakan model persamaan simultan. Dapat juga mencoba dengan membagi rentang waktu penelitian antara waktu sebelum terjadinya krisis ekonomi dengan waktu setelah terjadi krisis ekonomi.

iv

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: Marissa Ambarinanti A14303029

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Judul

: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA : Marissa Ambarinanti : A14303029

Nama NRP

Menyetujui, Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc NIP. 130 345 010

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr NIP. 131 124 013

Tanggal Lulus :

vi

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2007

Marissa Ambarinanti A14303029

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1985. Penulis merupakan anak ke lima dari enam bersaudara pasangan Bapak Indarjo dan Ibu Juminten. Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Katholik Eka Prasetia Reni Jaya pada tahun 1990 dan memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1991 di SD Eka Prasetia, Reni Jaya. Kemudian pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan kelas 5 SD di SD Negeri Pondok Petir 03, Sawangan. Pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Ciputat. Pendidikan sekolah menengah atas ditempuh penulis di SMU Negeri 1 Ciputat pada tahun 2000-2003. Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai

mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen dalam Komisi Kesenian.

viii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Faktor- faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga membahas perkembangan kondisi perberasan baik di Indonesia maupun dunia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis berharap semoga hasil yang telah disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Bogor, Mei 2007

Penulis

ix

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama menulis skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pimpinan, bimbingan, bantuan, arahan, dan dukungan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. TUHAN ALLAH sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi bagi penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran membimbing, mendukung, dan memberikan kritik serta saran kepada penulis dalam menulis skripsi ini. 3. Dr. Ir. Harianto, MS sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan kritik serta saran kepada penulis bagi kesempurnaan skripsi ini. 4. Ir. Murdianto, MSi sebagai dosen penguji wakil departemen yang telah memberikan kritik serta saran kepada penulis bagi kesempurnaan skripsi ini. 5. Keluarga terkasih, Ayah, Ibu, kakak-kakak, serta adik yang telah memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan kepada penulis selama proses belajar ini. 6. Keluarga terkasih, Papa Hadi, Mama Botty, Aldes, dan Dyota yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan keceriaan kepada penulis selama proses belajar ini. 7. Bapak Rasidin Karo-karo Sitepu yang memberikan masukan dan bantuan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi. 8. Sahabat-sahabat tersayang: Sardina, Rosa, Welly, Nela, Ferdy, Silvy, Christine, Kak Eva, Tati, Ance, Ade Eva, Fitri, Rendy, Bolon, Bang

Eprim, Robin, Roy Sinaga, dan Mas Sandi yang telah memberikan semangat, dukungan, dan bantuan kepada penulis 9. Eyang dan teman-teman yang tinggal bersama penulis di Wisma Rosa: Mbak Fitri, Dimmy, Via, Nitha, Pak Eko, Neny, ibu Yus, dan sebagainya. 10. Teman-teman dari EPS 40, EPS 41, EPS 39, AGB 40 dan AGB41 11. Teman-teman di Komisi Kesenian PMK IPB.

xi

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL....................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Perumusan Masalah.................................................................... 1.3 Tujuan......................................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian ............ BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 2.1 Beras Sebagai Pangan Pokok Utama ....................................... 2.2 Penelitian Terdahulu ................................................................ 2.2.1 Penelitian Mengenai Beras ........................................... 2.2.2 Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk Pertanian........................................................................ 2.2.3 Pemilihan Metode Analisis ........................................... 2.2.4 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ...... BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................... 3.1.1 Teori Penawaran dan Permintaan.................................. 3.1.2 Fungsi Produksi............................................................. 3.1.3 Teori Perdagangan Internasional................................... 3.1.4 Fungsi Ekspor................................................................ 3.1.5 Analisis Regresi Berganda ............................................ 15 17 20 22 22 22 27 28 33 36 viii xi xii xiii 1 1 6 8 8 9 10 10 11 11

xii

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional............................................ 3.3 Hipotesis Penelitian................................................................. BAB IV. METODE PENELITIAN ............................................................ 4.1 Jenis dan Sumber Data ............................................................ 4.2 Metode Analisis Data .............................................................. 4.2.1. Perumusan Model......................................................... 4.2.2. Pengujian Model dan Hipotesis .................................... 4.2.2.1 Goodness Of Fit (Kesesuaian Model) ............. 4.2.2.2 Uji Statistik ...................................................... 4.2.2.2.1 Uji F................................................. 4.2.2.2.2 Uji t.................................................. 4.2.2.2.3 Uji Normalitas ................................. 4.2.2.2.4 Uji Multikolinieritas ........................ 4.2.2.2.5 Uji Heteroskedastisitas .................... 4.2.2.2.6 Uji Autokorelasi .............................. 4.2.2.2.7 Pengukuran Elastisitas .................... 4.2.3 Model Alternatif ............................................................ BAB V. POTENSI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS .......................... 5.1 Kondisi Perberasan Indonesia ................................................ 5.1.1 Perkembangan Produksi Beras Indonesia ..................... 5.1.2 Perkembangan Konsumsi Beras Indonesia ................... 5.1.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Indonesia ....... 5.2 Kondisi Perberasan dunia ........................................................ 5.2.1 Perkembangan Produksi Beras Dunia .......................... 5.2.2 Perkembangan Konsumsi Beras Dunia ......................... 5.2.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Dunia ........... 5.3 Keadaan Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar ................................................

38 42 43 43 44 46 47 47 47 48 49 50 51 51 52 53 54 56 56 60 63 65 69 69 70 72 75

xiii

BAB VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA .........................................

78

6.1 Uji Empiris Model Ekonometrika Faktor- faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras Indonesia ................................

78

6.2 Uji Empiris Model Ekonometrika Faktor- faktor yang Mempengaruhi Ekspor Beras Indonesia................................... 6.3 Definisi Variabel yang Digunakan .......................................... BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 7.1 Kesimpulan............................................................................... 7.2 Saran ......................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN .................................................................................................

84 90 92 92 93 94 97

xiv

DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman

1. Perkembangan Volume Ekspor Beras (Kg) Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2000-2004 ............................................................... 4

2. Perkembangan Produksi Beras, Luas Panen Padi, Produkstivitas, dan Ekspor Beras Tahun 2001-2005 ............................................................ 5

3. Produksi padi (GKG) menurut Pulau di Indonesia Tahun 20012005 (000 ton) ............................................................................................. 61 4. Perkembangan Produk si Padi dan Beras Tahun 2000-2005 ........................ 62 5. Jumlah Penduduk dan Tingkat Konsumsi beras di Indonesia...................... 64 6. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Beras Indonesia Tahun 2000-2005..................................................................................................... 67

7. Produksi, Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada dan Ketergantungan impor: Rataan 4 periode 1995-2005 ........................... 68 8. Produksi Beras Dunia Tahun 2001-2004 ..................................................... 70 9. Konsumsi Beras Dunia Tahun 1999/2000-2002/2003 ................................. 71 10. Perkembangan Ekspor Beras Dunia Tahun 2001-2004 ............................. 73 11. Perkembangan Impor Beras Dunia Tahun 2001-2004 ............................... 74 12. Perkembangan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar........................................................................................... 76 13. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi Beras Indonesia............................. 80

14. Hasil Pendugaan Persamaan Ekspor Beras Indonesia ............................... 86

xv

DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman 29 30 32

1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional ........................................ 2. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional 2 ..................................... 3. Mekanisme Pengaruh Kurs Terhadap Volume Ekspor .......................... 4. Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar ............................................................................................

77

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Teks

Halaman

1. Lampiran 1. Produksi Padi, Produksi Beras, Luas Panen Padi, Konsumsi Beras Domestik, dan Ekspor Beras Tahun 1976-2005 ........... 98 2. Lampiran 2. Perkembangan Harga Dasar Gabah, Harga Eceran Beras, Harga Beras Dunia, dan Nilai Tukar Rupiah ................................ 99 3. Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia.... 100 4. Lampiran 3. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia ............................................................. 101 5. Lampiran 4. Hasil Analisis Regresi Fungsi Ekspor Beras Indonesia...... 102 6. Lampiran 5. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Fungsi Ekspor Beras Indonesia ........................................................................................ 103

xvii

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bangsa Indonesia dan memiliki sejarah panjang dalam kebijakan ekonomi politik Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia. Hampir 97 % penduduk Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi untuk mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok utama. Oleh karena tingginya permintaan terhadap beras dan ketersediaannya yang relatif terbatas, maka beras dapat disebut sebagai komoditas ekonomi, bahkan beras juga sering dijadikan sebagai alat sosial dan politik. Indonesia merupakan negara pengkonsumsi beras terbanyak setelah Cina dan India. Keadaan ini menyebabkan Indonesia harus berusaha memproduksi beras untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Selain merupakan negara pengkonsumsi beras, Indonesia juga merupakan negara produsen beras ke tiga di dunia (Deptan, 2004). H al ini didukung oleh kondisi alam, iklim, dan topografi yang mendukung dilakukannya usahatani padi di Indonesia. Selain Indonesia, negara- negara yang menjadi negara produsen beras adalah Thailand, Vietnam, India, Pakistan, China, dan Amerika Serikat. Produksi beras Indonesia umumnya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras domestik, sehingga produksi beras merupakan salah satu faktor utama yang menopang ketahanan pangan Indonesia.

Pada era orde baru, yaitu sekitar tahun 1960-an hingga awal 1990-an Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil mengantar sektor pertanian terutama beras dari keadaan kekurangan menuju swasembada beras. Pemenuhan kebutuhan sendiri ini berlangsung pada era 1980-an, bahkan pada tahun 1984 hingga tahun 1994 Indonesia adalah net-eksportir beras. Hal ini terjadi karena program Revolusi Hijau yang digalakkan pemerintah orde baru mulai tahun 1970. Sebelum Revolusi Hijau, produktivitas padi di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata Asia. Setelah penerapan teknologi Revolusi Hijau produktivitas padi Indonesia selalu berada di atas rata-rata Asia, akan tetapi setelah swasembada beras tercapai tahun 1984 senjang produktivitas padi Indonesia dengan rata-rata Asia semakin mengecil. Hal ini antara lain disebabkan mulai melandainya produktivitas padi Indonesia sedangkan produktivitas negara Asia lainnya terutama Cina dan Vietnam masih meningkat (Kasryno et al., 2002). Selama periode tahun 1990 hingga 2003 produksi beras Indonesia berfluktuasi dan cenderung menurun, seperti terlihat pada lampiran 1. Selama periode 1995 2001 rata-rata produksi beras Indonesia sebesar 32,02 juta ton. Selama periode tersebut, produksi tertinggi dicapai pada tahun 1996 yaitu sebesar 33,22 juta ton dan terendah pada tahun 1998 hanya sebesar 31,01 juta ton. Pada periode yang sama rata-rata konsumsi beras Indonesia sebesar 26,8 juta ton, dimana konsumsi tertinggi dicapai pada tahun 1998 yaitu sebesar 28,5 juta ton dan konsumsi terendah pada tahun 2000 yaitu hanya sebesar 23,4 juta ton. Konsumsi yang cenderung meningkat ini selain disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang relatif masih tinggi, juga karena konsumsi per kapita terhadap berasnya masih tinggi. Sebagai contoh pada tahun 1999 konsumsi per

kapita penduduk Indonesia masih sekitar 122,76 kg/tahun. Idealnya, konsumsi per kapita penduduk Indonesia harusnya sebesar 80-90 kg/tahun (Suryana et al., 2001) . Usaha untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri terus dilakukan dengan mengimplementasikan berbagai program diantaranya Sistem Usahatani Berbasis Padi Berorientasi Agribisnis (SUTPA) pada 1995-1999, namun demikian kenaikan tersebut belum mencukupi kebutuhan cadangan beras nasional sehingga impor beras terus meningkat. Kelemahan dan kekurangan program tersebut terus diperbaiki dalam program selanjutnya, misalnya pada tahun 1998 lahir program Intensifikasi yang Berwawasan Agribisnis (Inbis), dan Peningkatan Mutu Intensifikasi (PMI). Program Ketahanan Pangan yang diluncurkan tahun 2000 disertai dengan pembenahan paradigma dalam rencana strategis pembangunan tanaman pangan tahun 2001-2004. Selain itu, Departemen Pertanian merancang dua program/proyek yaitu Program Pengembangan Agribisnis (PA) dan Program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP) (Situmorang, 2005). Meskipun berbagai program peningkatan produksi beras telah

diimplementasikan, namun demikian produksi beras nasional tetap belum mampu mencukupi kebutuhan domestik. Jumlah produksi beras Indonesia sebenarnya sudah dapat memenuhi kebutuhan konsumsi domestik, akan tetapi laju pertumbuhan konsumsi domestik lebih tinggi dari laju pertumbuhan produksi beras domestik. Oleh karena itu stok cadangan beras nasional harus selalu terpenuhi untuk tujuan emergensi dan stabilitas harga beras. Sehingga meskipun produksi beras dalam negeri masih dapat memenuhi kebutuhan konsumsi domestik, Indonesia tetap melakukan impor beras untuk melengkapi ketersediaan

beras dalam negeri. Indonesia menjadi negara pengimpor beras semenjak tahun 1988, dan merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Pada dekade lahirnya World Trade Organization (WTO) pada dekade 1990-1999 Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun dan fenomena ini berlangsung hingga tahun 2003. Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras untuk beras jenis-jenis tertentu. Indonesia mengekspor berasnya dalam bentuk (a) Broken rice (beras pecah); (b) Semi milled or wholly milled rice, whether or not polished or glazed (beras setengah giling atau giling penuh); (c) Husked (brown) rice (beras pecah kulit); dan (d) Rice in the husk (paddy or rough) (gabah). Negara tujuan ekspor beras Indonesia antara lain, Singapura, Malaysia, East Timor, dan Filipina, seperti yang terlihat dalam tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Volume Ekspor Beras (Kg) Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2000-2004. No 1 2 3 4 5 Negara Singapura Malaysia Timor-Timur Filipina Lainnya Total 2000 2001 2002 2003 2.064 130 148.088 476.760 874 1.431 1.081.118 275.950 800 1.900 1.719.127 49.603 0 1.444.500 2.412.823 34.200 4.667.198 3.777.325 5.958.449 397.666 4670.936 5.222.424 11.319.605 1.234.179 2004* 88.000 78.917 46 0 803.953 970.916

Sumber: BPS, diolah Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan * : Data sampai bulan Juli 2004

Pada tahun 2004 produksi beras Indonesia meningkat dan mencapai 34 juta ton, hal ini disebabkan oleh peningkatan luas areal panen padi dengan melakukan pencetakan sawah-sawah baru. Pada saat yang sama ekspor beras yang dilakukan oleh Indonesia juga meningkat dari 1.234 ton pada tahun 2003 menjadi 4.495 ton pada tahun 2004 seperti yang terlihat dalam tabel 2. Kemudian pada tahun 2005 ekspor beras meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumnya, yaitu

dari 4.495 ton pada tahun 2004 menjadi 44.285 ton pada tahun 2005. Peningkatan ekspor beras pada tahun 2005 lebih disebabkan oleh adanya peningkatan pada harga beras dunia yaitu dari 225 US$/ton pada tahun 2004 menjadi 265 US$/ton dan peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dollar dari Rp.9.290,00/US$ menjadi Rp.9.900/US$. Tabel 2. Perkembangan Produksi Beras, Luas Panen Padi, Produkstivitas, dan Ekspor Beras Tahun 2001-2005 Produksi Beras Luas Areal Produktivitas (ton) Panen Padi (ha) (ton/ha) 2001 31.790.293 11.499.997 4,38 2002 32.438.507 11.521.166 4,47 2003 32.809.663 11.477.357 4,54 2004 34.075.735 11.922.974 4,54 2005 34.055.458 11.818.913 4,57 Sumber: Badan Pusat Statistik dan Departemen Pertanian. Tahun Ekspor Beras (ton) 5.222 11.320 1.234 4.495 44.285

Peningkatan ekspor beras merupakan hal baru yang menggembirakan bagi Indonesia, karena selama periode tahun 1994 hingga 2003 ekspor beras berfluktuasi dan cenderung menurun. Peningkatan ekspor merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya ekspor maka pertumbuhan ekonomi dapat dipacu dan cadangan devisa negara menjadi bertambah. Peningkatan ekspor dapat dilakukan dengan cara merangsang produksi domestik. Dalam perdagangan internasional apabila terjadi peningkatan perdagangan domestik suatu komoditi dengan asumsi terjadi kelebihan produksi pada komoditi tersebut (over supply), maka kelebihan tersebut dapat diekspor ke luar negeri. Hal ini berarti dengan semakin meningkatnya produksi, maka volume ekspor juga meningkat (Salvator, 1997).

1.2 Perumusan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sangat berpotensi untuk memproduksi beras. Pertanian merupakan salah satu sumber daya alam terbesar yang dimiliki oleh Indonesia. Hampir seluruh masyarakat bermatapencaharian sebagai petani, hingga bangsa Indonesia dijuluki sebagai negara agraris. Keadaan alam, topografi, dan iklim yang ada di Indonesia sangat mendukung diupayakannya usahatani padi baik padi sawah maupun padi ladang. Selama ini produksi beras Indonesia sangat berfluktuasi. Sekitar tahun 1984 pertania n Indonesia menjadi sorotan dunia, hal itu dikarenakan Indonesia mampu berswasembada beras. Namun demikian, tahun-tahun berikutnya hasil produksi beras Indonesia terus mengalami penurunan. Konsep pembangunan yang tidak berkelanjutan dan pengalihan sektor pembangunan ke sektor industri dianggap sebagai salah satu penyebabnya. Hal ini ditandai dengan banyaknya konversi lahan pertanian ke non pertanian yang menyebabkan luas areal tanam padi semakin berkurang. Selain faktor konversi lahan, jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah setiap tahun secara langsung mengindikasikan peningkatan konsumsi penduduk. Selain itu faktor lain yang menyebabkan penurunan produksi beras Indonesia adalah fenomena penurunan rendemen beras. Penurunan rendemen beras menyebabkan menurunnya hasil dan total produksi padi dalam bentuk beras sehingga berdampak negatif baik dalam profitabilitas usahatani maupun produksi beras nasional (Suryana et al., 2001). Saat ini Indonesia sedang mengembangkan pertaniannya dengan konsep pertanian yang berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan. Penerapan teknologi modern pun dilakukan. Dari sisi teknologi yang digunakan

dalam pertanian, sebenarnya Indonesia tidak kalah dengan negara-negara produsen beras lainnya. Pembangunan pertanian yang dimulai dari hulu (saprotan, obat-obatan, pupuk, bibit, dll), kemudian on farm (cara bercocok tanam), sampai dengan hilir (pengolahan dan pemasaran), serta didukung dengan sarana pelayanan dan jasa diharapkan mampu meningkatkan sektor pertanian Indonesia. Sehingga pada tahun 2004, pertanian Indonesia mampu mengantarkan Indonesia mencapai produksi beras tertinggi selama republik Indonesia berdiri.. Perdagangan dunia akan lebih cenderung pada spesialisasi perdagangan, dalam arti suatu negara akan memperdagangkan produk-produk yang merupakan keunggulan komparatifnya. Sebagai negara yang memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi beras, Indonesia seharusnya memiliki peluang yang lebih besar dalam berswasembada beras dan mengekspor beras dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Pada kenyataannya Indonesia lebih sering tergantung pada impor untuk mencukupi kebutuhan berasnya, bahkan Indonesia dikategorikan sebagai negara besar dalam mengimpor beras. Keadaan tersebut menyebabkan resiko

perkembangan ekspor beras Indonesia semakin lama semakin menurun bahkan terhapus. Potensi Indonesia untuk memproduksi beras dalam negeri

mengindikasikan bahwa seharusnya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negeri dan menjadikan beras sebagai komoditi unggulan sehingga Indonesia dapat memenuhi kebutuhan konsumsi domestik dan mengupayakan ekspor beras dalam rangka menambah devisa negara. Peningkatan ekspor beras Indonesia yang cukup signifikan pada periode 2004-2005 mengindikasikan

adanya perbaikan dalam sektor pertanian khususnya padi, sehingga ekspor beras dapat dijadikan sebagai fenomena baru yang layak dipertahankan dan dikembangkan. Selama ini produksi sektor pertanian tanaman pangan khususnya beras, hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik dan tidak berorientasi untuk ekspor. Namun demikian peningkatan ekspor beras yang cukup signifikan pada tahun 2004 hingga 2005 memberikan harapan baru bagi Indonesia, dimana Indonesia sebagai negara produsen beras selayaknya mampu mempertahankan dan mengembangkan potensi produksi dan ekspor yang ada. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat ditarik suatu permasalahan yang menarik untuk dia nalisis, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi beras Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: 1. Menyediakan informasi bagi pemerintah, produsen beras domestik, dan masyarakat secara umum tentang perkembangan produksi dan ekspor

beras selama kurun waktu 30 tahun yaitu pada periode 1976-2005, serta faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia. 2. Sebagai sumber referensi, penyedia informasi, dan penambah wawasan bagi mahasiswa dalam melakukan studi lanjutan. 3. Sebagai sarana bagi pengembangan wawasan dan pengaplikasian ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama melakukan stud i di Institut Pertanian Bogor. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor- faktor yang

mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia. Penelitian ini membahas mengenai produksi beras dan ekspor beras secara umum, tidak secara khusus ke negara tujuan tertentu. Ekspor beras yang dianalisis dalam penelitian ini adalah beras secara umum, bukan beras dengan jenis tententu seperti, (a) Broken rice (beras pecah); (b) Semi milled or 4 wholly milled rice, whether or not polished or glazed (beras setengah giling atau giling penuh); (c) Husked (brown) rice (beras pecah kulit); dan (d) Rice in the husk (paddy or rough) (gabah). Dengan keterbatasan data, maka penelitian dibatasi menggunakan data periode 1976-2005.

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beras Sebagai Pangan Pokok Utama Beras adalah hasil olahan dari produk pertanian yang disebut padi (Oryza Sativa, L). Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan makanan pokok bagi bangsa Asia, khususnya Indonesia, Thailand, Malaysia, Vietnam, Jepang, dan Myanmar. Pangan pokok adalah pangan yang muncul dalam menu sehari- hari, mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar. Sedangkan pangan pokok utama ialah pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk serta dalam situasi normal tidak dapat diganti oleh jenis komoditas lain (khumaidi 1997). Sebagai bahan pangan pokok, ketersediaan beras dalam jumlah dan kandungan gizi yang cukup memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu ketersediaan beras perlu diupayakan kelestariannya dan keserasiannya dengan dinamika ekosistem tropik. Menurut Dawe (1997) dan Tsujii (1998) dalam Amang dan Sawit (1999) karakteristik beras adalah sebagai berikut: i. 90 persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia, hal ini berbeda dengan gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia. ii. Beras yang diperdagangkan di pasar dunia tipis (thin market ) yaitu antara 4-5 % total produksi, berbeda sekali dengan sejumlah komoditas lainnya seperti gandum(20%), jagung (15%), dan kedelai (30%). Pada umumnya volume beras yang diperdagangkan merupakan sisa konsumsi dalam

11

negara. Semakin tidak stabilnya harga beras dunia (atau harga beras dalam negeri suatu negara), semakin besar tingkat self-sufficiency besar yang dianut oleh suatu negara, demikian juga rumah tangga tani di Asia. iii. Harga beras sangat tidak stabil dibandingkan komoditas pangan lainnya, misalnya gandum. iv. 80 % perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu Thailand, AS, Vietnam, Pakistan, Cina, dan Myanmar. Oleh karena itu pasar beras internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan oligopoli tersebut. v. Indonesia merupakan negara net importir terbesar beras pada peride tahun 1997-1998 yaitu sekitar 31% dari total beras yang diperdagangkan dunia. vi. Hampir banyak negara di Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan political goods. Pemerintah akan goncang apabila harga beras tidak stabil dan tinggi.

2.2 Penelitian Terdahulu 2.2.1 Penelitian Mengenai Beras Pada tahun 2005, Simbolon (2005) melakukan penelitian tentang integrasi pasar beras domestik dengan pasar beras dunia dan pengaruh adanya tarif impor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) secara umum terjadi integrasi antara pasar beras domestik dengan pasar beras dunia. Namun derajat integrasi tersebut berbeda menurut varietas atau jenis beras: ha rga satu varietas beras domestik (yaitu setra) terintegrasi kuat dengan ketiga jenis beras dunia (yaitu broken 5 persen, broken 25 persen, dan broken 35 persen) dan lima harga varietas beras

12

domestik (yaitu Muncul, IR 64, IR I, IR II, IR III) terintegrasi lemah dengan harga ketiga jenis beras dunia tersebut. (2) tarif impor yang diterapkan oleh pemerintah dalam perdagangan beras ternyata meningkatkan harga beras di pasar beras domestik. Tetapi peningkatan harga tersebut tidak mampu menekan volume impor beras. (3) lonjakan volume impor yang terjadi pada tahun 1998 hanya berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik varietas IR II, yang merupakan varietas dengan volume perdagangan terbanyak kedua setelah varietas IR 64. Situmorang (2005) meneliti tentang faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia. Situmorang mengemukakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia adalah jumlah penggunaan urea, harga impor beras, produksi padi, dan lag harga gabah; variabel jumlah penggunaan urea dan lag produktivitas berpengaruh nyata terhadap produktivitas. Impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga impor beras, produksi beras, jumlah penduduk, nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika, dan lag impor beras; hanya variabel harga impor beras yang berpengaruh nyata terhadap impor beras Indonesia. Harga impor beras Indonesia dipengaruhi oleh harga beras dunia, tarif impor, dan lag harga impor; selain tarif impor semua variabel berpengaruh nyata terhadap harga impor beras Indonesia. Azziz (2006) yang melakukan penelitian tentang impor beras serta pengaruhnya terhadap harga beras dalam negeri. Penelitian tersebut bertujuan menganalisis pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri dan menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi harga beras dalam negeri, termasuk kebijakan pemerintah. Azziz mengemukakan bahwa impor beras secara nyata

mempengaruhi harga beras dalam negeri dengan tingkat kepercayaan 15 % dan

13

berpengaruh negatif; dimana ketika impor beras meningkat maka harga beras dalam negeri akan menurun tetapi memiliki respon yang inelastis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri; nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan produksi beras nasional. Menurut Azziz (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras secara negatif adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, harga beras impor dan harga terigu. Sedangkan faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras secara positif adalah harga beras dalam negeri, dan kebijakan impor beras dimana ketika impor beras dapat dilakukan tanpa dilakukan tanpa tarif impor, impor beras lebih besar daripada ketika tarif impor beras sudah diterapkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dengan menerapkan tarif untuk impor beras sudah efektif dalam upaya mengurangi volume beras impor yang masuk ke Indonesia. Selain itu hasil ramalannya dengan model peramalan memperlihatkan trend yang menurun dan volume impor beras yang masuk menunjukkan besaran yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dalam lima periode ke depan tidak akan melakukan impor beras. Dampak kebijakan perdagangan dan liberalisasi perdagangan terhadap permintaan dan penawaran beras di Indonesia telah dianalisis oleh Sitepu (2002). Sitepu menganalisis simultan. dengan Hasil menggunakan analisisnya model ekonometrika bahwa dengan kebijakan

persamaan

menunjukkan

perdagangan dan liberalisasi perdagangan tersebut tidak efisien dan tidak tepat untuk dilaksanakan karena keuntungan yang diterima produsen sehingga total net

14

surplus menurun. Kebijakan tersebut merugikan petani kecil dan memperburuk distribusi pendapatan. Hasil analisis Sitepu (2002) juga menunjukkan bahwa jumlah impor beras secara nyata dipengaruhi oleh harga impor (taraf nyata 10 persen), produksi beras Indonesia (taraf nyata 20 persen), stok beras awal tahun (taraf nyata 5 persen), jumlah penduduk (taraf nyata 10 persen). Sedangkan pengaruh dari GDP dan impor beras tahun lalu tidak berbeda nyata dari nol. Mulyana (1998) melakukan penelitian yang berjudul Keragaan

Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada menuj u Era Perdagangan Bebas: Suatu Simulasi. Dalam analisisnya, produksi domestik disegregasikan ke dalam lima wilayah, yaitu Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan sisa wilayah Indonesia sedangkan analisis permintaan dilakukan secara agregat nasional. Model impor beras yang digunakan Mulyana (1998) menyertakan variabel harga beras domestik, harga beras i mpor, total produksi beras, stok beras awal tahun, nilai tukar rill rupiah terhadap dollar, bunga pinjaman Bulog dan impor beras tahun lalu sebagai variabel independen. Berdasarkan model impor yang terbentuk, diperoleh hasil bahwa impor beras responsif terhadap perubahan stok beras awal tahun, produksi beras, tren waktu dan impor beras tahun lalu, tetapi tidak responsif terhadap harga beras dan harga impor. Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa Bulog telah berhasil melakukan stabilisasi lewat mekanisme pengelo laan stok, pengadaan dan operasi pasar beras, disertai dengan elastisnya intervensi harga konsumen terhadap harga impor dan produksi, serta relatif stabilnya harga gabah dan beras di pasar domestik

15

menunjukkan bahwa pasar beras diproteksi secara ketat. Selain itu, pada kenyataannya negara-negara importir dan eksportir beras utama sangat protektif terhadap pasar beras domestik masing- masing negara dan peran indonesia sebagai stabilitas dan destabilator pasar beras dunia relatif lebih besar. Ketidakstabilan pasar beras dunia, biaya impor yang besar pada krisis ekonomi dan potensi peningkatan produksi di luar Jawa dan Bali melalui pengembangan teknologi produksi dan pasca panen merupakan justifikasi bagi upaya swasembada beras pada masa mendatang. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan yang sama tidak selalu direspon dengan arah yang sama di tiap-tiap wilayah. Kombinasi antara liberalisasi perdagangan dan penghapusan peran Bulog akan lebih menurunkan produksi dan konsumsi beras dan swasembada beras tidak tercapai dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum siap dalam meliberalisasikan pasar berasnya. Dengan adanya liberalisasi perdagangan tersebut, Indonesia tidak bisa lagi mencapai swasembada absolut, tetapi akan menjadi net eksportir beras pda tahun 2013. 2.2.2 Penelitian Mengenai Produksi dan Ekspor Produk Pertanian Saleh (2005) mencoba melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor tomat segar Indonesia dengan menggunakan data time series kurun w aktu 1984-2003. Penelitian tersebut dianalisis dengan pendekatan ekonometrika model regresi linier berganda dengan menggunakan software minitab 14. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran produksi dan ekspor tomat segar Indonesia serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya dan seberapa besar pengaruh-pengaruh tersebut. Hasil analisis

16

menunjukkan bahwa variabel- variabel yang berpengaruh nyata terhadap ekspor tomat segar Indonesia adalah ekspor tomat tahun sebelumnya, dan harga tomat domestik tahun sebelumnya pada taraf nyata 10 persen. Harga tomat ekspor tahun sebelumnya memiliki hubungan yang negatif dengan ekspor tomat, nilai ini tidak sesuai dengan nilai dugaan yang diharapkan dimana seharusnya harga tomat ekspor tahun sebelumnya memiliki hubungan yang positif dengan ekspor tomat. Sambudi (2005) melakukan yang berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Kopi Arabika Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data time series selama periode tahun 1992-2002. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi linier berganda. Pada model penawaran produksi digunakan model fungsi CobbDouglas dan pada model fungsi penawaran ekspor digunakan model fungsi linier. Kedua model tersebut diduga dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil pendugaan Sambudi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi produksi kopi Arabika Indonesia adalah luas lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk urea, dan pestisida. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kopi Arabika Indonesia harga ekspor, harga domestik, nilai tukar, produksi, dan lag ekspor. Lubis (2006) dalam penelitiannya mencoba meneliti faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia. Penelitiannya tersebut bertujuan mengetahui perkembangan ekspor nenas segar Indonesia, menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor serta pengaruhnya terhadap ekspor beras nenas segar Indonesia. Data yang

17

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data times series tahunan dari tahun 1996-2004 dan data cross section yang berupa data negaranegara importir nenas segar. Lubis (2006) menggunakan metode deskriptif digunakan untuk melihat perkembangan ekspor nenas segar Indonesia, sedangkan model kuantitatif dengan analisis regresi data panel dengan Metode Fixed Effect digunakan untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor nenas segar Indonesia. Hasil dugaan model nenas segar Indonesia dengan menggunakan Metode Fixes Effect menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap ekspor nenas segar Indonesia adalah harga ekspor, produksi nenas, pendapatan per kapita negara- negara tujuan ekspor, volume ekspor dalam bentuk nenas segar olahan, dan volume nenas segar tahun sebelumnya. 2.2.3 Pemilihan Metode Analisis Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi impor ilegal daging sapi dan susu Indonesia dengan pendekatan regresi linier berganda yang dilakukan oleh Amelia (2006), mencoba menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor ilegal daging sapi dan susu ke Indonesia oleh negara-negara eksportir, mengkaji implikasi dari impor ilegal daging sapi dan susu terhadap perekono mian sektor perternakan domestik, dan memberikan alternatif kebijakan apa yang harus diambil pemerintah dalam mengurangi impor ilegal daging sapi dan susu. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa times series periode tahun 1980-2004. Analisis yang digunakan adalah pendekatan ekonometrika yang diduga dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan model regresi linier berganda. Proses pengolahan data dilakukan

18

dengan menggunakan program minitab 14. Dari hasil analisis diketahui bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi volume impor ilegal daging sapi terdiri: pendapatan perkapita penduduk Indonesia, harga daging sapi impor, indeks trnsparansi, tarif, serta konsumsi daging sapi domestik, pada taraf nyata 1-15 persen. dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata dalam peningkatan dan penurunan volume impor ilegal untuk daging sapi, dimana variabel eksogen pembentuk model tersebut yang memiliki nilai elastis adalah konsumsi daging sapi domestik berpengaruh positif terhadap peningkatan volume impor ilegal, yang menindikasikan bahwa konsumsi domestik bersifat responsif terhadap peningkatan volume impor ilegal daging sapi. Sedangkan faktor- faktor yang mempengaruhi volume impor ilegal susu dipengaruhi oleh faktor- faktor eksogen berupa, pendapatan perkapita Indonesia, produksi domestik, nilai tukar rupiah, indeks transparansi Indonesia, serta bea masuk (tarif) impor susu bubuk Indonesia. Hasil analisis menyatakan bahwa perkapita Indonesia, produksi domestik, indeks transparansi Indonesia, serta bea masuk (tarif) impor susu berpengaruh nyata pada taraf nyata 1-10 persen. Novansi (2006) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia. Penelitian tersebut membahas perkembangan ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia menurut negara tujuan ekspor dan pengaruh faktor- faktor (harga dometik, harga ekspor, nilai tukar rupiah, volume ekspor ke negara lain dan volume ekspor periode sebelumnya) terhadap volume ekspor beberapa buahbuahan penting Indonesia.

19

Dalam penelitiannya tersebut Novansi menggunakan data bulanan dari Januari 2002 sampai dengan Desember 2004. metode deskriptif untuk melihat perkembangan ekspor dan metode kuantitatif yaitu analisis regresi linier berganda untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan ekspor beberapa buah penting Indonesia seperti pisang, manggis, mangga, dan rambutan selama tahun 2002-2003 cenderung menurun. Sedangkan faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beberapa buah-buahan penting Indonesia menunjukkan tidak semua peubah bebas yang digunakan dalam model berpengaruh nyata terhadap volume ekspor. Resmisari (2006) juga menggunakan regresi linier berganda untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi ekspor teh PT Perkebunan Nusantara VIII. Variabel dependen yang digunakan adalah volume ekspor teh PTPN VIII ke masing- masing negara tujuan. Sedangkan variabel independen meliputi volume produksi, harga harga ekspor periode t, harga ekspor periode sebelumnya (t-1), harga kopi periode t, nilai tukar rupiah terhadap dollar, lag ekspor, dan nilai tukar negara tujuan terhadap dollar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata pada taraf lima persen ke tiga negara tujuan adalah variabel harga ekspor periode t. Variabel tersebut juga bersifat elastis untuk setiap negara. Ini berarti bahwa variabel harga ekspor merupakan variabel yang perlu diperhatikan PTPN VIII untuk melakukan ekspor ke tiga negara. Pemilihan model didasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu, untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor

20

beras Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, model regresi berganda dinilai lebih sederhana dan mampu menunjukkan berapa persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Selain itu model ini dapat melihat apakah variabel- variabel independennya berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen dengan melihat uji-F dan uji-t, serta perhitungannya lebih sederhana. Metode ini diduga dengan Ordinary Least square (OLS). Oleh karena itu, penelitian mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia menggunakan metode analisis yang sama, yaitu metode Ordinary Least square (OLS) dengan model regresi berganda. 2.2.4 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2005), Azziz (2006), Sitepu (2002), dan Mulyana (1998) membahas tentang impor beras, mulai dari faktorfaktor yang mempengaruhinya sampai pada tingkat responsitasnya terhadap berbagai variabel lainnya dengan berbagai metoda dan alat analisis. Situmorang (2005) dan Sitepu (2002) melakukan analisisnya dengan metode Two Stage Least Square (2SLS) dengan persamaan simultan menggunakan Software Eviews, Azzis (2006) melakukan penelitiannya dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan software minitab 14 untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras dan menggunakan metode peramalan times series untuk melakukan peramalan. Sedangkan penelitian ini membahas tentang produksi dan ekspor beras Indonesia, yaitu faktor- faktor yang mempengaruhinya. Pada umumnya penelitian-penelitian terdahulu menggunakan data time series tahunan yang kurang dari tiga puluh tahun dan data bulanan selama kurun waktu bebarapa tahun saja, sedangkan penelitian ini menggunakan data time

21

series selama kurun waktu tiga puluh tahun yaitu dari tahun 1976 sampai dengan tahun 2005. Penelitian ini mencoba menganalisis faktor- faktor yang

mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan model regresi linier berganda dengan menggunakan software minitab 14.

22

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Penawaran dan Permintaan Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan yang positif yaitu jika harga naik maka jumlah komoditi yang ditawarkan semakin banyak. Adapun sumber penawaran meliputi produksi pada waktu tertentu dan persediaan (stok) pada waktu sebelumnya. Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut: QSK = f (PK, PS, PI, G, T, TX) ....................................................... Dimana : QSK PK PS PI G T TX
= Penawaran

(1)

komoditi

= Harga komoditi yang bersangkutan = Harga komoditi substitusi dan komplementer = Harga faktor produksi = Tujuan perusahaan = Tingkat penggunaan teknologi = Pajak dan subsidi

23

1. Harga komoditi yang bersangkutan (PK) Suatu hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa harga sejumlah komoditi mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus. Hal ini karena peningkatan harga komoditi menyebabkan peningkatan keuntungan yang akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya. Jadi peningkatan harga dari suatu komoditi akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi tersebut. Dengan demikian perubahan harga suatu komoditi akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran. 2. Harga komoditi substitusi dan komplementer (P S) Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Perubahan harga pada komoditi substitusi dan komplementer akan mempengaruhi jumlah penawaran pada komoditi yang bersangkutan. Peningkatan harga komoditi substitusi akan menyebabkan berkurangnya jumlah penawaran komoditi bersangkutan. Dan sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan menyebabkan peningkatan jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan. Sedangkan penurunan pada harga komoditi komplementer akan menyebabkan penurunan pula pada jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan, sebaliknya peningkatan pada harga komoditi komplementer akan menyebabkan peningkatan komoditi yang bersangkutan. 3. Harga faktor produksi (PI) Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Dengan meningkatnya harga faktor produksi maka keuntungan yang

24

diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini menyebabkan perusahaan akan mengurangi jumlah produksinya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa peningkatan harga faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu komoditi, akan menyebabkan berkurangnya jumlah komoditi ya ng ditawarkan. 4. Tujuan perusahaan (G) Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa tujuan perusahaan. Tujuan suatu perusahaan tidak semata- mata memaksimumkan keuntungan saja. Jika perusahaan lebih meme ntingkan volume produksi, perusahaan dapat menghasilkan dan menjual lebih banyak. 5. Tingkat penggunaan teknologi (T) Teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Jika perusahaan menggunakan teknologi baru, fungsi produksi akan bergeser ke atas yang berarti produksi meningkat dan kur va biaya akan bergeser ke bawah yang berarti biaya produksi berkurang. Keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih besar. Jadi dapat disimpulkan, jumlah komoditi yang ditawarkan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksinya. 6. Pajak dan subsidi (TX) Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Maka penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan

meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat.

25

Penawaran pasar dari suatu komoditi merupakan fungsi dari harga komoditi itu sendiri dengan koefisien arah ( slope) yang positif. Jika harga komoditas tersebut naik maka jumlah komoditas yang ditawarkan akan meningkat. Sebaliknya, jika harga komoditas tersebut menurun maka jumlah komoditi yang ditawarkan akan menurun. Perubahan pada harga komoditi tersebut menyebabkan pergerakan sepajang kurva penawaran. Sedangkan pengaruh dari perubahan harga faktor produksi, teknologi, dan tujuan perusahaan adalah faktor yang dapat menggeser kurva penawaran. Menurut Pappas dan Hirschey (1995) dalam Purnamasari (2005),

permintaan adalah sejumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu, yang dapat digambarkan dengan fungsi berik ut: QDK = f (PK, PS, I, S, JP) ............................................................ Dimana : QDK PK PS I S JP = Permintaan komoditi = Harga komoditi itu sendiri = Harga komoditi lain = Pendapatan = Selera = Populasi penduduk (2)

1. Harga komoditi itu sendiri (PK) Dengan asumsi cateris paribus, peningkatan harga komoditi yang bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan sebaliknya. Permintaan dan harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan yang negatif.

26

2. Harga komoditi lain (P S) Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi substitusi akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya. Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan komoditi yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan. 3. Pendapatan (I) Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk

komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya. 4. Selera (S) Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera. Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu. 5. Populasi penduduk (JP) Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi. Hubungan antara penawaran dan permintaan suatu komoditi merupakan petunjuk penting dalam teori ekonomi, yang memperlihatkan berbagai jumlah barang dan jasa yang diminta atau dibeli oleh konsumen dan yang ditawarkan oleh produsen secara bersamaan sebagai pengaruh adanya perubahan harga barang dan jasa yang bersangkutan atau faktor- faktor lainnya.

27

3.1.2 Fungsi Produksi Suatu proses produksi melibatkan suatu hubungan yang erat antara faktorfaktor produksi yang digunakan dengan produk yang dihasilkan. Produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa (Lipsey, 1993). Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus- menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Menurut Salvator (1997), fungsi produksi merupakan hubungan matematis antara input dan output. Menurut Doll and Orazem (1984), fungsi produksi selain menggambarkan hubungan antara input dan output, juga menggambarkan tingkat dimana sumberdaya diubah menjadi produk. Ada banyak hubungan input dan output dalam pertanian karena input yang diubah menjadi output akan berbedabeda di antara tipe tanah, hewan, teknologi, curah hujan, dan faktor lainnya. Tiap hubungan input output menggambarkan kuantitas dan kualitas yang berbeda dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu. Nicholson (2002) dalam Purnamasari (2005) menyatakan bahwa fungsi produksi

memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan Tenaga kerja (L). Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dengan cara yang berbeda; dalam bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang berhubungan dengan output; dengan membuat daftar input dan hasil output secara numerik dalam tabel; dalam bentuk grafik atau diagram; dan dalam bentuk persamaaan aljabar. Menurut Doll and Orazem (1984), secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f (X1 , X2 , ..., Xn ) ................................................................. (3)

28

Dimana Y adalah output dan X1, ..., Xn adalah input- input yang berbeda yang terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f menggambarkan bentuk hubungan dari input menjadi output. 3.1.3 Teori Perdagangan Internasional Perdagangan antar negara atau perdagangan internasional sudah ada sejak dahulu namun masih dalam jumlah dan ruang lingkup yang terbatas. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya taraf kehidupan yang bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat. Peranan perdagangan internasional sangat penting, karena pada saat ini tidak ada satu negara pun yang berada dalam kondisi autarki, yaitu negara yang hidup terisolasi, tanpa mempunyai hubungan perdagangan dengan negara lain. Terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan

internasional diantaranya keterbatasan suatu negara dalam sumberdaya alam, sumberdaya modal, tenaga kerja, dan teknologi. Perbedaan dalam penawaran dan permintaan antar negara juga turut menyebabkan terjadinya perdagangan internasional. Teori perdagangan internasional me ngkaji dasar-dasar terjadinya

perdagangan internasional serta keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan perdagangan internasional membahas alasan-alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta hal- hal yang menyangkut proteksionisme baru (new protectionism ) (Salvator, 1997). Secara teoritis, suatu negara (sebut saja negara A) akan mengekspor suatu komoditi (beras) ke negara lain (misalnya negara B ) apabila harga domestik di

29

negara A (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik di negara B (Gambar 1 ). Struktur harga yang relatif lebih rendah di negara A tersebut disebabkan karena adanya kelebihan penawaran (excess supply) yaitu produsi domestik melebihi konsumsi domestik, sebesar BE. Dalam hal ini faktor produksi di negara A relatif berlimpah. Dengan demikian negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Negara B mengalami kekurangan suplai beras karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess demand), sebesar BE sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada kesempatan ini negara B berkeinginan untuk membeli komoditi beras dari negara lain yang harganya lebih murah.

Px /Py Sa Ekspor B Pa 0 Negara A A Da E

Px /Py Sw A Pw A* E* D

Px /Py Sb Pb B A Impor E Db

Perdagangan Internasional

Negara B

Gambar 1. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional


Sumber: Salvatore, 1997

Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara A dan negara B, maka akan terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara A akan mengekspor beras ke negara B. dapat dilihat pada gambar 1, sebelum terjadinya perdagangan internasional, harga di negara A adalah sebesar Pa

30

sedangkan di negara B adalah sebesar P b. Suplai di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih besar dari Pa, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari Pb. Pada saat harga internasional sama dengan P w maka di negara B terjadi kelebihan permintaan sebesar BE, sedangkan di negara A terjadi kelebihan suplai sebesar BE. Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara A dan kelebihan permintaan di negara B akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional, yaitu sebesar P w. Dengan adanya perdagangan tersebut maka negara A akan mengekspor beras sebesar BE, dan negara B akan mengimpor beras sebesar BE. Negara A Perdagangan Internasional Negara B Sb Sa Da Sa1 Pw1 Pa Pa1 E* E** Sw Sw1 Db Eb

Q1

Q2

F B

E G

Gambar 2. Kurva Terjadinya Perdagangan Internasional 2.


Sumber: Salvator, 1997.

Berdasarkan gambar 2, dapat dilihat adanya saling ketergantungan antar negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Seandainya oleh karena satu atau beberapa hal menyebabkan penawaran ekspor suatu komoditi di negara A meningkat sebagaimana yang ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran

31

dari Sa menjadi Sa1. Pergeseran kurva penawaran ke kanan dapat disebabkan karena terjadinya peningkatan produksi. Pergeseran kurva penawaran Sa menjadi Sa1 menyebabkan harga domestik menjadi turun. Oleh karena harga domestik relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga internasional maka secara ekonomis adalah lebih menguntungkan bila mengekspor, dan ini ditunjukkan oleh pergeseran kurva penawaran ekspor dari Sw menjadi Sw1. akibatnya harga di pasar internasional turun menjadi di bawah P menjadi Pw1. penurunan harga di pasar internasional ini menyebabkan permintaan domestik di negara B meningkat, sehingga akan terjadi pningkatan jumlah impor menjadi FG oleh negara B yang besarnya sama dengan jumlah peningkatan ekspor oleh negara A menjadi FG. Kenaikan ekspor impor ini ditunjukkan dalam perdagangan dunia yang meningkat dari 0Q1 menjadi 0Q2. Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada gambar 2. Kondisi nilai tukar seperti terdepresiasinya rupiah terhadap dollar juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan kurva penawaran bergeser ke kanan. Nilai tukar menggambarkan daya saing suatu negara dalam perdagangan internasional. Terdepresiasinya rupiah terhadap dollar membuat harga beras Indonesia relatif lebih murah sehingga mendorong terjadinya peningkatan jumlah penawaran ekspor (Mankiw, 2000). Mekanisme pengaruh perubahan kurs terhadap volume ekspor dapat dilihat pada gambar 3.

32

Pengeluaran E

Pengeluaran aktual

? NX

Pengeluaran direncanakan

Kurs e

Kurs, e

e1 e2

e1 e2

NX1

NX2 (ekspor bersih)

Y1

Y2 (output)

Sw Da Sa P Sw1

Db

Sb

Dw

F B

Q1 Q2

F B

E G

Negara A

Perdagangan Internasional

Negara B

Gambar 3. Mekanisme Pengaruh Kurs Terhadap Volume Ekspor


Sumber: Mankiw, 2000.

33

Seandainya di negara A terjadi deperesiasi kurs yang terlihat pada penurunan kurs dari e1 menjadi e2. Penurunan kurs yang terjadi ini menyebabkan terjadinya peningkatan output pada kurva IS. Peningkatan output ini terjadi karena adanya peningkatan ekspor bersih sebagaimana ditunjukkan pada gambar perpotongan Keynesian. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa penurunan kurs (depresiasi) menyebabkan terjadinya peningkatan volume ekspor. Selanjutnya dapat dijelaskan pula bagaimana mekanisme peningkatan volume ekspor yang disebabkan penurunan kurs pada gambar perdagangan internasional. Semula sebelum terjadinya penurunan kurs, besarnya nilai excess supply di negara A sebesar BE. Setelah terjadinya penurunan kurs menyebabkan terjadinya peningkatan excess supply menjadi FG. Kondisi ini mengakibatkan kurva suppy dunia mengalami pergeseran dengan titik awal yang sama. Pergeseran kurva supply dunia dari Sw menjadi Sw1 menyebabkan tingkat harga dunia yang terjadi lebih rendah dan volume perdagangan internasional meningkat dari 0Q1 menjadi 0Q2 . negara pengimpor merespon perubahan harga ini dengan meningkatkan jumlah impornya. Besarnya volume ekspor negara A setelah depresiasi kurs (FG) sama dengan besarnya volume impor negara B (FG). 3.1.4 Fungsi Ekspor Ekspor suatu negara merupakan selisih produksi domestik dikurangi konsumsi domestik ditamb ah dengan stok pada akhir tahun lalu, secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut: Xt = PBt KBt + SBt
.............................................................................

(4)

34

Dimana: Xt PBt KBt SBt-1 = Jumlah ekspor tahun ke t = Jumlah produksi domestik pada tahun ke t = Jumlah konsumsi domestik pada tahun ke t = jumlah stok awal tahun ke t atau akhir tahun lalu (tahun ke t-1) Jumlah produksi beras tahun ke t (PBt) pada dasarnya ditentukan inputinputnya yaitu luas areal panen padi (LPt), penggunaan pupuk urea (PUt), iklim yang terjadi selama satu tahun dan dalam hal ini adalah curah hujan rata-rata (CHt ), dan penggunaan teknologi (yang ditunjukkan oleh produktivitas (PVt)). Dengan melihat faktor-faktor tersebut maka fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut: PBt = f (LPt, PUt, CHt, PVt,) ................................................................. (5)

Produksi yang dihasilkan tersebut sebagian besar akan dikonsumsi mengingat jumlah penduduk yang besar sehingga kebutuhan pangan pun besar. Besar konsumsi tersebut (KBt) tergantung pada harga beras domestik (HEt), Jumlah penduduk (JPt), Pendapatan per kapita (YPt), harga komoditi substitusi (dalam hal ini jagung (HJt)) dan selera (yang ditunjukkan oleh konsumsi per kapita (CPt)). Dengan demikian maka fungsi konsumsi dapat dituliskan sebagai berikut : KBt = f (HEt, JPt, YPt, HJt, CPt) ........................................................... (6)

Dari penjelasan-penjelasan tersebut maka ekspor (Xt ) suatu komoditi pertanian dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan struktural sebagai berikut: Xt = f (LPt, PUt, CHt, PVt, HEt, JPt, YPt, HJt, CPt, SBt) .. .................. (7)

35

Selain dipengaruhi oleh faktor- faktor dalam negeri, jumlah ekspor tahun ke t juga dipengaruhi oleh faktor- faktor yang berasal dari luar negeri. Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap jumlah ekspor tahun ke t yaitu tingkat nilai tukar (Exchange Rate (ERt)), dan harga beras internasional (HDt). Dengan demikian maka fungsi ekpor menjadi : Xt = f (LPt, PUt, CHt, PVt, HEt, JPt, YPt, HJt, CPt, SBt, ERt, HDt)...(8) Berdasarkan teori tersebut di atas maka pada saat fungsi ekspor tersebut digunakan pada komoditas beras pada penelitian ini ada beberapa peubah yang dikeluarkan dari fungsi ekspor karena diduga berpengaruh sangat kecil dan ada peubah yang sulit diduga. Selain itu juga karena ketidaktersediaan data yang diperlukan. Beberapa variabel yang tidak dimasukkan dalam analisis yaitu: 1. Luas Panen Padi (LPt), curah hujan (CHt), pupuk urea (PUt), harga dasar gabah (HGt), stok beras (SBt), dan teknologi atau produktivitas (PVt). Pada penelitian ini, variabel- variabel seperti luas panen padi (LPt), curah hujan (CHt), pupuk urea (PUt), stok beras (SBt), dan teknologi atau produktivitas (PVt) sudah terwakili oleh variabel produksi beras (PBt), sehingga tidak perlu dimasukkan kembali ke dalam model persamaan ekspor. 2. Jumlah penduduk (JPt), pendapatan per kapita (YPt), dan konsumsi beras domestik (KBt). Pendapatan per kapita (Ypt) dan konsumsi beras domestik telah diwakili oleh tingkat konsumsi beras per capita (CPt). Peningkatan jumlah penduduk akan mempengaruhi tingkat konsumsi domestik. Oleh karena variabel konsumsi beras per kapita telah mewakili konsumsi beras domestik, maka variabel jumlah penduduk tidak perlu dimasukkan kembali ke dalam model.

36

3. Harga komoditi substitusi atau harga jagung (HJt) Variabel harga komoditi substitusi atau harga jagung (HJt) tidak dimasukkan ke dalam model persamaan karena diduga berpengaruh sangat kecil terhadap volume ekspor beras Indonesia. 4. Harga beras interna sional atau harga beras dunia (HDt) Variabel harga beras internasional (HDt) tidak dimasukkan ke dalam persamaan karena variabel tersebut sudah terwakili oleh adanya variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar (ERt). Nilai tukar rupiah terhadap dollar (ERt) menyatakan berapa besar nilai rupiah yang harus dikorbankan untuk mendapatkan dollar Amerika Serikat, yang dinyatakan dengan satuan rupiah per dollar AS (Rp/US$). Nilai tukar ini menggambarkan daya saing suatu negara dalam melakukan perdagangan internasional. Pada saat nilai tukar rupiah meningkat yang berarti nilai rupiah melemah, maka secara teori permintaan terhadap dollar meningkat sehingga peningkatan permintaan terhadap dollar akan meningkatkan ekspor. Dari teori tersebut maka fungsi ekspor dapat dirumuskan sebagai berikut: Xt = f (PBt, ERt, HEt, CPt ) ........................................................ Sedangkan fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut: PBt = f (LPt, HGt, PUt, CHt) ........................................................ 3.1.5 Analisis Regresi Berganda Analisis regresi linier berganda adalah analisis yang berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel (variabel dependen) yang satu atau lebih variabel lain (variabel independen) dengan maksud menaksir dan atau meramalkan nilai variabel dependen berdasarkan nilai yang diketahui dari variabel (10) (9)

37

yang menjelaskan (variabel independen). Model regresi yang terdiri lebih dari satu variabel independen disebut model regresi berganda (Gujarati, 1991). Pendekatan yang paling umum digunakan dalam menentukan garis yang paling cocok disebut Metode Kuadrat Terkecil atau Ordinary Least Square (OLS). Metode kuadrat terkecil digunakan untuk menghitung persamaan garis lurus yang meminimisasi jumlah kuadrat jarak antara titik data X-Y dengan garis ya ng diukur ke arah vertikal Y. Dengan menggunakan OLS, dapat diperoleh intersep dan slope sehingga diperoleh garis regresi yang menunjukkan trend data secara baik. Dalam mengevaluasi apakah model ya ng digunakan sudah baik atau belum, terdapat beberapa kriteria ya ng memerlukan pengujian secara statistik. Indikator untuk melihat kebaikan model adalah R2 , F-hitung, dan t-hitung.ukuran ini digunakan untuk menunjukkan signifikan atau tindakannya model yang diperoleh secara keseluruhan. Dalam model regresi berganda dapat terjadi keterkaitan antar variabel bebas yang disebut multikolinieritas. Multikolinieritas merupakan keadaan dimana variabel- variabel independen pada regresi berganda saling berhubungan erat. Kekuatan multikolinieritas diukur melalui faktor varian inflasi. Dalam analisis regresi dengan data time series dan cross-section terdapat masalah autokorelasi. Autokorelasi timbul karena sederetan pengamatan dari waktu ke waktu saling berkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga suatu nilai kejadian pada periode waktu sebelumnya akan mempengaruhi nilai pada kejadian peride waktu berikutnya. Pengujian autokorelasi tersebut dilakukan dengan uji Durbin Watson.

38

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Beras merupakan komoditas pangan yang dijadikan sebagai bahan pangan utama oleh sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia. Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa, sehingga dalam

keberlangsungannya ketersediaan beras menjadi hal yang sangat penting bagi suatu negara. Negara Indonesia merupakan negara produsen utama beras ke tiga di dunia. Hal tersebut didukung oleh keadaan alam di Indonesia yang sangat potensial untuk menanam padi. Namun demikian n egara- negara produsen beras lainnya seperti Vietnam dan Thailand telah mampu berswasembada beras, bahkan menjadi eksportir beras utama pada tahun 2002 sampai sekarang. Sedangkan Indonesia yang memiliki lahan lebih luas dari Thailand dan Vietnam sulit sekali mempertahankan swasembada beras yang pernah dicapai pada tahun 1984 bahkan Indonesia cenderung lebih sering bergantung pada impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan berasnya. Selain melakukan impor beras, Indonesia juga melakukan ekspor beras untuk beras jenis tertentu. Produksi beras di Indonesia berfluktuasi dengan laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Produksi beras ya ng berfluktuasi tersebut mempengaruhi ekspor beras Indonesia. Sehingga dengan ketidakstabilan produksi beras dalam negeri, ekspor beras Indonesia cenderung menurun dan bahkan terhapus. Adanya peningkatan ekspor yang cukup signifikan pada tahun 2004-2005 membuka peluang dan harapan bagi Indonesia untuk mempertahankan keadaan tersebut dan bahkan untuk mengembangkannya, mengingat pada dasarnya

39

Indonesia me mang memiliki potensi untuk memproduksi beras. Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi beras seharusnya mampu meningkatkan produksinya dan mulai berusaha untuk mengembangkan ekspor beras yang sudah ada. Oleh karena itu kebutuhan unt uk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor beras Indonesia tersebut penting untuk dilakukan guna mengetahui kebijakan strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produksi beras Indonesia dan ekspor beras yang sudah ada. Pada dasarnya produksi beras merupakan perkalian antara faktor rendemen beras (konversi beras) dengan produksi padi. Berdasarkan pada komponen input yang digunakan dalam usahatani padi dan insentif bagi petani untuk menanam padi, produksi beras Indonesia diduga dipengaruhi oleh luas areal panen padi, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Produksi padi pada dasarnya tergantung pada luas areal panen padi dan produktivitas padi. Sehingga variabel luas areal panen padi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. Sedangkan h arga dasar gabah merupakan harga yang dapat memberikan insentif bagi petani untuk menanam padi, sehingga ketika harga dasar gabah akan meningkat, produksi beras pun akan meningkat. Selain luas panen padi dan harga gabah, faktor lain yang dapat diperhitungkan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia adalah pupuk urea dan curah hujan. Hal ini didasari pada suatu pemikiran dimana pupuk urea merupakan salah satu komponen input utama dalam memproduksi padi sehingga penggunaan pupuk urea akan sangat menentukan

40

produktivitas padi yang dihasilkan dan akan mempengaruhi produksi beras Indonesia, sedangkan curah hujan merupakan suatu iklim yang sangat mendukung usahatani padi. Sedangkan ekspor beras Indonesia diduga dipengaruhi oleh produksi beras, nilai tukar, harga eceran beras atau harga beras domestik, dan konsumsi beras per kapita. Produksi beras dan konsumsi beras per kapita diduga merupakan faktor yang mempengaruhi ekspor karena ekspor beras dilakukan pada saat terjadi surplus produksi. Variabel konsumsi beras per kapita menunjukkan besarnya selera masyarakat dalam mengkonsumsi beras, dan dapat mewakili variabel konsumsi beras domestik. Sedangkan harga beras eceran atau harga beras domestik dijadikan pertimbangkan karena harga eceran diduga mempengaruhi keputusan ekspor, dimana ketika harga beras eceran meningkat, insentif utuk melakukan ekspor akan berkurang karena akan lebih menguntungkan jika menjual beras di pasar domestik. Nilai tukar mata uang suatu negara terhadap dollar dijadikan pertimbangan untuk mengukur nilai pembelian dan penjualan barang ke luar negeri, sehingga nilai tukar mata uang suatu negara mencerminkan daya saing negara tersebut di pasar internasional. Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka harga beras dunia dapat diwakili oleh variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar. Dengan semakin meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, maka nilai rupiah akan semakin menurun dan mendorong penawaran ekspor. Harga barang-barang domestik yang diperdagangkan di pasar internasiona l akan berdaya saing karena memiliki harga yang dirasakan lebih murah bagi negara-negara tujuan ekspor, dan hal tersebut akan mendorong peningkatan ekspor beras Indonesia.

41

Indonesia Sebagai Produsen Beras Selain melakukan impor juga melakukan ekspor beras Fluktuasi Produksi beras Fluktuasi ekspor yang cenderung menurun

Peningk atan Ekspor pada periode 2004-2005

Pendugaan faktor- faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras Indonesia

Pendugaan faktor- faktor yang Mempengaruhi Ekspor Beras Indonesia

Analisis Regresi Berganda

Pengujian terhadap Faktorfaktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia

Hasil Dugaan: Faktor Dominan yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Beras Indonesia

Bagan 1. Alur Kerangka Berpikir

42

3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang ada, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi beras Indonesia adalah luas areal panen padi, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Dimana semua variabel tersebut memiliki korelasi positif terhadap produksi beras Indonesia. 2. Faktor- faktor yang diduga mempengaruhi ekspor beras Indonesia adalah produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga eceran beras/harga beras domestik, dan konsumsi beras per kapita. Dimana produksi beras Indonesia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar memiliki korelasi positif terhadap ekspor beras Indonesia, sedangkan harga beras eceran atau harga beras domestik dan konsumsi beras per kapita memiliki korelasi negatif terhadap ekspor beras Indonesia.

43

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data time series. Data time series meliputi data tahunan selama 30 tahun (tahun 1976-2005). Semua data yang dikumpulkan diperoleh dari Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statistik, Badan Urusan Logistik, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, serta literaturliteratur dan situs-situs yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Bogor. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di Jakarta dan Bogor terdapat instansi- instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Badan Pusat Statistik, Badan Urusan Logistik, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi yang menyediakan kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari sampai Maret 2007. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data yang digunakan dalam analisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia, antara lain adalah: volume ekspor beras (ton), produksi beras (ton), produksi padi (ton), h arga dasar gabah (Rp/kg), curah hujan (mm/tahun), harga beras eceran (Rp/kg), luas areal panen padi (Ha), produktivitas padi (Ton/Ha), volume impor beras, penggunaan pupuk urea ( k g/ha), harga jagung (Rp/ton), konsumsi beras per kapita (kg/kapita/tahun), nilai tukar rupiah terhadap

44

dollar (Rp/US$), harga beras dunia (US$/ton), dan indeks harga konsumen Indonesia.

4.2 Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia adalah metode kuantitatif dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dengan model regresi linier berganda. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel dan Minitab 14. Sedangkan metode deskriptif dalam penulisan digunakan untuk memberikan penjelasan tentang gambaran umum perkembangan perberasan, baik di Indonesia maupun di dunia. Selain itu metode deskriptif juga digunakan untuk menginterpretasi data. Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi dan ekspor beras Indonesia adalah model regresi berganda dengan persamaan tunggal karena bentuk ini mampu menunjukkan berapa persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen dengan nilai R2 . Selain itu model ini dapat melihat apakah variabel- variabel independennya berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen dengan melihat uji-F dan uji- t serta perhitungannya lebih sederhana. Bentuk umum dari fungsi regresi tersebut adalah: Y = ao + ? ai Xi + Ei Dimana: Y = variabel dependen ao = intersep

45

ai = parameter penduga Xi Xi = variabel independen yang menjelaskan variabel Y Ei = pengaruh sisa (error term ) Model tersebut diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square/ OLS) yang didasarkan pada asumsi-asumsi berikut (Supranto (1984) dalam Resmisari (2006)): 1. Nilai rata-rata kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E (ei ) = 0 untuk i = 1, 2, 3, ..., n 2. Varian (ei) = E (ej) = s 2 , sama untuk semua kesalahan pengganggu (homoskedastisitas). 3. Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu berarti kovarian (ei, ej) = 0, i ? j. 4. Variabel bebas Xi, X2 , ..., Xk konstan dalam sampling yang terulang dan bebas terhadap kesalahan pengganggu, E (Xi, ei) = 0. 5. Tidak ada kolinearitas ganda di antara variabel bebas X. 6. ei N (0 ; s 2 ), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal dengan rata-rata nol dan varian s 2 . Dengan dipenuhinya asumsi di atas, maka koefisien regresi (parameter) yang diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias (BLUE= Best Linier Unbiased Estimator). Pengujian dilakukan terhadap variabel- variabel independen yang diduga berpengaruh besar terhadap produksi dan ekspor beras Indonesia.

46

4.2.1. Perumusan Model Berdasarkan pada kerangka pemikiran teoritis, dan berbagai spesifikasi model yang telah dicoba, maka model ekonometrik produksi dan penawaran ekspor beras Indonesia secara umum diduga sebagai berikut: PBt = a0 + a1 LPt + a2 HGt + a3 PUt + a4 CHt + t .............................. Xt = a0 + a1 PBt + a2 ERt + a3 HEt + a4 CPt + t ..................................... Dimana: Xt PBt LPt HGt PUt CHt ERt HEt CPt a0 ai = volume ekspor beras Indonesia (ton) = produksi beras Indonesia (ton) = luas areal panen padi Indonesia (Ha) = harga dasar gabah (Rp/kg) = pupuk urea (Kg/Ha) = curah hujan rata-rata (mm/tahun) = nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Rp/US$) = harga beras domestik atau harga beras eceran (Rp/kg) = konsumsi beras domestik (kg/cap/tahun) = intersep = koefisien regresi (i = 1, 2, 3, ...) = error (9) (10)

Nilai koefisien regresi yang diharapkan untuk model produksi adalah: a1 , a2 , a3 , dan a4 dan > 0 Nilai koefisien regresi yang diharapkan untuk model ekspor adalah: a1 dan a2 >0, a3 dan a4 < 0.

47

4.2.2 Pengujian Model dan Hipotesis 4.2.2.1 Goodness Of Fit (Kesesuaian Model) Goodness Of Fit (kesesuaian model) dihitung dengan nilai koefisien determinasi (R2 ). Koefisien determinasi (R2 ) bertujuan untuk mengukur keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut: R2 =
Jumlah Kuadrat regresi Jumlah Kuadrat Galat = 1 Jumlah Kuadrat to tal Jumlah Kuadrat Total
2 Selang R yang digunakan adalah 0<R2 <1. R2 = 1 berarti semua variasi 2 respon dari variabel dapat dijelaskan dengan fungsi regresi, sedangkan R =0

berarti tidak satupun variasi pada variabel dapat dijelaskan oleh fungsi regresi. Dalam kenyataannya nilai R2 berada dalam selang 0 sampai 1 dengan intrepretasi relatif terhadap ekstrim 0 dan 1. Nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1, maka model tersebut semakin baik. 4.2.2.2 Uji Statistik Untuk menguji apakah secara statistik variabel independen yang digunakan berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen, digunakan uji statistik-F dan uji statistik-t. Penggunaan uji statistik-F dilakukan untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter dalam fungsi produksi dan fungsi volume ekspor. Uji statistik-t digunakan untuk menguji koefisien regresi dari masing- masing variabel independen secara terpisah, apakah variabel ke- i berpengaruh nyata terhadap variabel dependen (Gujarati, 1991).

48

4.2.2.2.1 Uji F Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Pengujian yang dilakukan menggunakan distribusi F dengan membandingkan antara nilai kritis F dengan nilai F-hitung yang terdapat pada hasil analisis. Langkah- langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap variasi nilai variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi nilai variabel independen adalah sebagai berikut: 1. Perumusan Hipotesis H0 = variasi perubahan nilai variabel independen tidak dapat menjelaskan variasi perubahan nilai variabel dependen. H1 = variasi perubahan nilai variabel independen dapat menjelaskan variasi perubahan nilai variabel dependen. 2. Perhitungan nilai kritis F-tabel dan F-hitung

Jumlah kuadrat regresi


Fhitung =

k Jumlah kuadrat sisa

(n - k - 1)

Dimana: n = jumlah pengamatan (j = 1, 2, 3, ,n) k = jumlah peubah bebas (i = 1, 2, 3,...,k) 3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0 Fhitung < Ftabel : terima H0 Fhitung > Ftabel : tolak H0 4. Apabila keputusan yang diperoleh adalah tolak H 0 maka dapat disimpulkan bahwa variasi perubahan nilai variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi

49

perubahan nilai semua variabel independen. Artinya, semua variabel independen secara bersama-sama dapat berpengaruh terhadap variabel dependen. 4.2.2.2.2 Uji t Pengujian hipotesis dari koefisien dari masing- masing peubah bebas dilakukan dengan uji t. Langkah-langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap koefisien regresi adalah: 1. Perumusan hipotesis H0 : ai =0 H1 : ai < 0 atau ai >0 2. Penentuan nilai kritis Nilai kritis dapat ditentukan dengan mengunakan tabel distribusi normal dengan memperhatikan tingkat signifikansi (a) dan banyaknya sampel yang digunakan. 3. Nilai t- hitung masing- masing koefisien regresi dapat diketahui dari hasil perhitungan komputer. Statistik uji yang digunakan dalam uji-t adalah :
t

hitung=

ai S(ai )

Dimana: ai = nilai koefisien regresi atau parameter

S(ai) = standar kesalahan dugaan parame ter Kriteria uji: t hitung < t tabel : terima H0 t hitung > t tabel : tolak H0

50

4. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan letak nilai t - hitung masingmasing koefisien regresi pada kurva normal yang digunakan dalam penentuan nilai kritis. Jika letak t- hitung suatu koefisien regresi berada pada daerah penerimaan H0 , maka keputusannya adalah menerima H0 . artinya koefisien regresi tersebut tidak berbeda dengan nol. Dengan kata lain, variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap nilai variabel dependen. Sebaliknya jika thitung menyatakan tolak H0 maka koefisien regresi berbeda dengan nol dan berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. 4.2.2.2.3 Uji Normalitas Salah satu metode yang digunakan untuk menguji apakah error term menyebar normal atau tidak adalah dengan menggunakan Metode Kolmogorov Smirnov. Langkah- langkah dalam pengujian ini adalah: 1. Perumusan model H0 : sebaran data normal H1 : sebaran data tidak normal 2. Rumus Uji Kolmogorov Smirnov (KS) adalah: X2 = 4 x (Dmax)2 x Dimana: m = kelompok data 1 n = kelompok data 2 D = perbedaan maksimal kelompok data 3. Penentuan penerimaan atau penolakan H0 KS hitung < KS tabel maka terima H0 KS hitung > KS tabel maka tolak H0

(m n ) (m n )

51

4.2.2.2.4 Uji Multikolinieritas Dalam model regresi yang mencakup lebih dari dua variabel independen, sering dijumpai adanya kolinear ganda (multikolinear). Adanya multikolinear
2 menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walaupun nilai R tinggi,

tanda koefisien tidak sesuai dengan teori dan dengan metode OLS, penduga koefisien mempunyai simpangan baku yang sangat besar. Pengujian multikolinieritas dapat dilakukan dengan memperhatikan nilai Variance Inflation factor (VIF) untuk koefisien regresi ke-j yang dapat dirumuskan sebagai berikut: VIF =

( 1 R )
2 j

, j= 1, 2, 3,..., k

Rj2 yang dimaksud adalah koefisien determinasi dari regresi variabel independen ke j pada k-1 variabel independen sisanya untuk k = 2 variabel independen, rj2 adalah kuadrat dari korelasi sampel r. Jika variabel prediktor X ke j tidak berkaitan dengan X sisa, maka Rj2 = 0. Jika terdapat hubungan, maka VIFj > 10. Nilai VIF mendekati 10 (< 10) menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinier pada variabel independen. 4.2.2.2.5 Uji Heteroskedastisitas Variabel atau keragaman dalam deret waktu cenderung meningkat dengan tingkat deret. Variabilitas dapat meningkat apabila variabel berkembang pada tingkat yang konstan dibandingkan jumlah yang konstan sepanjang waktu. Variabel yang tidak konstan disebut heteroskedastisitas. Pengujian untuk menganalisis masalah heteroskedastisitas antara lain adalah dengan metode uji homogenitas Barlett. Pengujian dengan metode Barlett menggunakan rumus:

52

viS 2 i 2 ( vi ) ln - vi ln S i Evi B= 1 1 vi vi 1+ [3(k 1)]

Si2 =

(X
j =1

ni

ij

X)

n i 1

Keterangan: B hitung = nilai uji Barlett hitung K ni Vi S2 i = jumlah variabel = jumlah sampel variabel i = derajat kebebasan (ni - 1) = ragam variabel i

Dengan hipotesis: H0 H1 = data homogen = data tidak homogen

Jika B hitung < B tabel maka terima H0 Jika B hitung > B tabel maka tolak H0 4.2.2.2.6 Uji Autokorelasi Dalam analisis regresi dengan data time series dan cross-section terdapat masalah autokorelasi. Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakah error pada suatu persamaan bersifat independen atau dependen. Pengujian kemungkinan adanya autokorelasi dilakukan dengan uji d Durbin Watson.

53

Rumus Durbin Watson:

d=

(e - e )
t t -1 t= 2

e
t =1

, dimana 0<d<4

Nilai hitung statistik d dibandingkan dengan nilai d tabel, yaitu dengan batas bawah (dL) dan batas atas (dU). Hasil perbandingan akan menghasilkan kesimpulan seperti sebagai berikut: 1. Jika d < dL, berarti ada autokorelasi positif 2. Jika d > 4-dL, berarti ada autokorelasi negatif 3. Jika dL < d < 4-dU, berarti tidak terjadi autokorelasi positif ataupun negatif 4. Jika dL = d = dU atau 4-dU = d = 4-dL, berarti tidak dapat disimpulkan. 4.2.2.2.7 Pengukuran Elastisitas Pengukuran elastisitas dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh peubah dependen terhadap peubah independen (Koutsoyiannis, 1977). Elastisitas adalah derajat kepekaan peubah dependen terhadap perubahan yang terjadi pada peubah independen yang mempengaruhinya. Nilai elastisitas dari model linear berganda diperoleh dari perhitungan berikut: E (Yt Xit ) = Dimana: E (Yt Xit ) ai Xi Yt = Elastisitas variabel Yt terhadap variabel Xit = koefisien regresi variabel independen Xi = Rata-rata variabel independen Xi = Rata-rata variabel dependen (Yt ) a (Xit ) (Yt )

54

Apabila nilai elastisitas lebih besar dari 1 (E >1) dikatakan elastisitas (responsif) karena perubahan satu persen variabel independen mengakibatkan perubahan variabel dependen lebih dari satu persen. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0 < E < 1) dikatakan inelastis (tidak responsif) karena perubahan satu persen variabel independen akan mengakibatkan perubahan variabel independen kurang dari satu persen. Sedangkan nilai elastisitas sama dengan nol (E = 0) artinya inelastis sempurna, dan nilai elastisitas tak hingga (E = ~) artinya elastisitas sempurna, dan jika nilai elastisitas sama dengan satu (E = 1) disebut elastis uniter. 4.2.3 Model Alternatif Satu asumsi penting dalam model regresi linier adalah bahwa gangguan (disturbance) ui yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoscedastic, yaitu semua gangguan tadi memiliki varians yang sama. Jika asumsi itu tidak dapat dipenuhi maka dapat dikatakan terjadi penyimpangan. Penyimpangan terhadap faktor pengganggu disebut heteroskedastisitas. Keadaan

heteroskedastisitas tersebut a kan mengakibatkan penduga OLS yang diperoleh tetap memenuhi persyaratan tidak bias. Selain itu juga varians yang diperoleh menjadi tidak efisien, artinya cenderung membesar sehingga tidak lagi merupakan varians yang terkecil. Kecenderungan membesarnya varians tersebut akan mengakibatkan uji hipotesis yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang baik (tidak valid). Dengan demikian model perlu diperbaiki dulu agar pengaruh dari heteroskedastisitasnya hilang (Firdaus, 2004 dalam Resmisari, 2006) Salah satu cara untuk menyempurnakan model adalah dengan

mentransformasikan model asli ke dalam model yang baru, sehingga diharapkan

55

akan mempunyai e dengan varians yang konstan. Untuk mengatasi terjadinya heteroskedastisitas yang terdapat dalam model, dapat dilakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma. Transformasi model dalam bentuk logaritma dapat mengurangi masalah heteroskedastisitas, hal ini disebabkan karena transformasi yang memampatkan skala untuk pengukuran variabel, mengurangi perbedaan nilai dari sepuluh kali lipat menjadi perbedaan dua kali lipat (Gujarati, 1991). Model produksi beras yang diperoleh dengan mentransformasi model dalam bentuk logaritma natural adalah: Ln-PBt = a0 + a1 ln-LPt + a2 ln-HGt + a3 ln-PUt + a4 ln-CHt + et Model ekspor beras yang diperoleh dengan mentransformasi model dalam bentuk logaritma natural adalah: Ln Xt = a0 + a1 ln-PBt + a2 ln-ERt + a3 ln-HEt + a4 ln-CPt + et Manfaat tambahan dari transformasi logaritma bahwa koefisien

kemiringan ai mengukur elastisitas variabel endogen terhadap variabel eksogen, yaitu persentase perubahan dalam variabel endogen untuk persentase perubahan dalam variabel eksogen.

56

V. POTENSI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS

5.1 Kondisi Perberasan Indonesia Indonesia merupakan negara agraris sehingga sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah sebagai petani. Hal ini didukung oleh keadaan alam indonesia yang sangat potensial dijadikan lahan pertanian untuk komoditi pertanian daerah tropis. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam tatanan perekonomian Indonesia karena sesuai dengan predikat Indonesia sebagai negara agraris. Hal itu terbukti pada saat Indonesia mengalami krisis multidimensional hanya sektor pertanian yang mampu survive bahkan mampu menjadi penyangga sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peranan penting sektor pertanian di dalam perekonomian Indonesia adalah terutama dalam bentuk penyediaan kesempatan kerja dan kontribusinya terhadap pembentukan PDB dan ekspor (Tambunan, 2003). Oleh karena itu sektor petanian merupakan suatu sektor penting yang harus dipertahankan dan dikembangkan di Indonesia. Indonesia menyandang predikat sebagai negara produsen beras terbesar ke tiga di dunia (Sawit, 2006). Hal ini didukung oleh potensi alam, iklim, dan topografi yang sangat potensial untuk dilakukannya usahatani padi di Indonesia. Selain itu menurut (Rachman et al., 2004), Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam memproduksi beras. Dari sisi usahatani, produktivitas padi per hektar Indonesia merupakan yang tertinggi setelah China, sementara dari sisi biaya produksi per kilogram,

57

usahatani padi Indonesia termasuk yang efisien, yaitu sekitar Rp.688 per kg beras atau setara dengan US$ 81 per ton (kurs 1 US$ = Rp.8500). Dengan biaya usahatani yang relatif rendah dan produktivitas per hektar yang relatif tinggi, maka usahatani padi Indonesia cukup kompetitif dibandingkan dengan negaranegara penghasil beras lainnya. Luas pertanaman padi di Indonesia diperkirakan mencapai 1112 juta ha, yang tersebar di berbagai tipologi lahan seperti sawah (5,10 juta ha), lahan tadah hujan (2,10 juta ha), ladang (1,20 juta ha), dan lahan pasang surut. Lebih dari 90% produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah (Badan Pusat Statistik 2000), dan lebih dari 80% total areal pertanaman padi sawah telah ditanami varietas unggul (Badan Pusat Statistik, 2000). Dari sisi ketersediaan lahan, menurut Hutapea dan Mashar (2003), lahan kering yang tersedia di Indonesia pada saat ini sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkalai di Pulau Jawa dari kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, E.,2002 dalam Hutapea dan Mashar 2003). Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak potensi alam Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal.

58

Perekonomian beras (rice economy) secara signifikan merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 1960-an

(Timmer,1996 dalam Amang dan Sawit, 1999). Dalam rangka penyediaan pangan nasional dan sumber lapangan kerja transisi, Indonesia terus berusaha mendorong peningkatan produksi beras dalam negeri dan mengelola stok beras nasional untuk tujuan emerjensi dan stabilisasi harga (Sawit, 2006). Produksi beras atau padi dalam negeri sangat penting untuk menghindari tingginya resiko ketidakstabilan harga dan suplai beras dari pasar dunia, disamping terkait erat dengan usaha pengentasan kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau Jawa (Karawang, Cianjur), Bali, Madura, Sulawesi, dan akhir-akhir ini Kalimantan. Pada tahun 1992 luas panen padi mencapai 11,10 ha dengan rata-rata hasil 4,35 ton/ha/tahun. Produksi padi nasional adalah 48,24 ton. Pada tahun itu hampir 22,5 % produksi padi nasional dipasok dari Jawa Barat. Dengan adanya krisis ekonomi, sentra padi Jawa Barat seperti Karawang dan Cianjur mengalami penurunan produksi yang berarti. Sekitar tahun 1984 pertanian Indonesia menjadi sorotan dunia, hal itu dikarenakan Indonesia mampu berswasembada beras. Tetapi tahun-tahun berikutnya hasil pertanian padi Indonesia terus mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan yang menurun. Konsep pembangunan yang tidak berkelanjutan dan pengalihan leading sector pembangunan ke bidang industri dianggap sebagai salah satu penyebabnya.

59

Potensi produksi beras yang masih diliputi oleh berbagai kendala ini, membuat Indonesia memilih untuk mengembangkan konsep swasembada on trend dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) Kebutuhan beras Indonesia sangat besar karena sebagian sumber kebutuhan pokok pangan masyarakat didominasi oleh beras dan elastisitas permintaan terhadap beras masih positif. (2) Kebutuhan pangan atau beras nasional mencapai hampir dua setengah kali jumlah beras yang beredar di pasar beras dunia dan kebutuhan tersebut meningkat terus, sehingga Indonesia tidak dapat sepenuhnya menggantungkan diri dari impor. (3) Kondisi wilayah Indonesia sangat luas dan terdiri dari ribuan pulau, serta dengan sarana infrastruktur yang belum semuanya memadai, sehingga apabila ada gangguan dalam produksi beras, maka pemenuhan kebuhan beras dapat dijamin melalui impor. Disisi lain sebenarnya Indonesia memiliki potensi cukup besar untuk mencapai kemandirian pangan jika dikaitkan dengan potensi peningkatan produksi padi. Penelitian menunjukkan bahwa produktivitas padi masih dapat ditingkatkan melalui inovasi teknologi di berbagai agroekosistem padi, baik di lahan sawah irigasi, lahan kering, lahan sawah tadah hujan, maupun lahan rawa pasang surut. Selain melalui inovasi teknologi, kemandirian pangan akan lebih cepat dicapai kalau masyarakat mulai belajar memanfaatkan sumber pangan selain beras (diversifikasi) (Balitbang, 2004). Selain itu menurut Sumarno (2006), Indonesia sebenarnya memiliki potensi ekspor beras, namun potensi tersebut perlu direalisasikan dengan

60

mengupayakan perluasan lahan pertanian padi. Peningkatan produktivitas tanpa dibarengi oleh peningkatan luas areal tanam padi tidak akan mengahasilkan produksi yang maksimum. 5.1.1 Perkembangan Produksi Beras Indonesia Produksi beras dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, walaupun mempunyai kecenderungan laju pertumbuhannya melandai. Sejak periode tahun 1993 hingga tahun 2001 laju peningkatan produksi pangan, terutama beras mengalami penurunan. Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun (Hutapea dan Mashar, 2003) Perkembangan luas areal panen selama kurun waktu 1990-2001 relatif tidak banyak berubah dengan laju pertumbuhan hanya 0,31 persen/tahun. Luas areal panen terendah terjadi pada tahun 1991 (10,28 juta ha) dan tertinggi pada tahun 1998 (11,730 juta ha). Bahkan laju produktivitas padi hanya 0,04 persen/tahun, dengan kisaran antara 4,17 ton/ha (1998) sampai dengan 4,52 ton/ha (1999). Laju pertumbuhan produksi pada kurun waktu tersebut sebesar 0,32 persen/tahun dengan kisaran produksi antara 44,69 juta ton hingga 51,17 juta ton GKG, setara dengan 29,04 juta ton hingga 33,21 juta ton beras. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yakni 1,35 % per tahun pada periode tahun 1990-2000. Kenyataan ini menyebabkan

61

produksi dalam negeri hanya cukup untuk pemenuhan konsumsi beras domestik, bahkan untuk cadangan nasional setiap tahun selalu ada realisasi impor beras dari luar negeri. Tabel 3. Produksi padi (GKG) menurut Pulau di Indonesia Tahun 2001-2005 (000 ton) Daerah Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Irian Jaya Luar Jawa Indonesia
Keterangan: * : angka sementara Angka di dalam kurung menyatakan persentase terhadap produksi nasional.

2000 11.819 (22,77) 29.120 (56,11) 2.776 (5,35) 3.000 (5,78) 5.065 (9,76) 117 (0,23) 22.778 (43,89) 51.898

2001 11.286 (22,37) 28.312 (56,11) 2.695 (5,34) 3.074 (6,09) 4.982 (9,87) 108 (0,22) 22.148 (43,89) 50.460

2002 11.542 (22,42) 28.607 (55,56) 2.647 (5,14) 3.169 (6,16) 5.438 (10,56) 85 (0,17) 22.881 (44,44) 51.489

2003 12.136 (23,28) 28.167 (54,03) 2 .725 (5,23) 3.357 (6,44) 5.602 (10,74) 149 (0,29) 23.970 (45,97) 52.137

2004 2005* 12.665 12.620 (23,42) (23,25) 29.635 29.763 (54,79) (55,06) 2.807 2.590 (5,19) (4,79) 3.656 3.604 (6,76) (6,67) 5.171 5.296 (9,56) (9,80) 151 180 (0,28) (0,33) 24.452 24.292 (45,21) (44,94) 54.088 54.056

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000-2005

Produksi padi Indonesia pada dasarnya tergantung pada dua variabel, yaitu luas areal panen dan produkstivitas per satuan luas. Produksi dalam negeri sampai saat ini masih didominasi oleh pulau Jawa yaitu sekitar 56 % persen dari total produksi nasional. Pada tabel 3, terlihat bahwa selama ini produksi padi dalam negeri masih tergantung pada produksi di pulau Jawa, karena 56 persen produksi padi berada di pulau Jawa, selebihnya tersebar 22 persen di pulau Sumatera, 10 persen di pulau Sulawesi dan 5 persen di pulau Kalimantan. Pulau Jawa mendapat proporsi paling besar dalam pengusahaan padi. Hal ini didukung oleh topografi, dan kesuburan tanah di pulau Jawa yang sangat cocok untuk usahatani padi. Selain itu tenaga kerja yang dibutuhkan dalam sektor pertanian juga lebih banyak

62

terdapat di pulau Jawa mengingat pulau Jawa merupakan pulau yang terpadat penduduknya. Pulau Jawa merupakan sentra produksi padi yang utama dan berperan sebagai penyangga produksi beras nasional. Luas tanaman di pulau Jawa cenderung menurun. Hambatan peningkatan luas tersebut karena: 1) pertambahan penduduk yang relatif tinggi akan meningkatkan permintaan terhadap lahan perumahan dan infrastruktur. 2) Industrialisasi diperkirakan akan cenderung berlokasi di pulau Jawa yang memiliki fasilitas infrastruktur yang lebih baik. Hambatan lain yang menyebabkan usaha peningkatan hasil per hektar lebih sukar diduga karena harga pupuk dan pestisida/insektisida yang meningkat, sehingga pemakaian pupuk tidak berimbang (Suryana et al., 2001). Tabel 4. Perkembangan Produksi Padi dan Beras Tahun 2000-2005 Tahun Luas Panen Padi (ha) 11.793.475 11.499.997 11.521.166 11.477.357 11.922.974 11.818.913 Produksi Padi (ton) 51.989.852 50.460.782 51.489.694 52.078.830 54.088.468 54.056.282 Produktivitas Padi (ton) 4,40 4,38 4,47 4,54 4,54 4,57 Produksi Beras (ton) 32.696.277 31.790.293 32.438.507 32.809.663 34.075.735 34.055.458

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber: Badan Pusat Statistik.

Laju pertumbuhan produksi pangan nasional dalam dasawarsa terakhir rata-rata cenderung terus menurun. Luas lahan pertanian di Indonesia semakin lama semakin berkurang oleh karena adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian. Konversi lahan ini dilakukan sebagai bentuk implikasi dari pertambahan jumlah penduduk yang menuntut bertambahnya kebutuhan manusia akan pemukiman dan barang-barang kebutuhan lainnya. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap produksi padi dalam negeri mengingat luas lahan adalah

63

salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi padi. Kenyataan tersebut dapat dilihat pada tabel 4. Namun demikian, dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi padi nasional, pemerintah tengah mempromosikan pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis usahatani padi. Berbagai program promosi yang dilaksanakan secara berkelanjutan adalah sebagai berikut: (a) Pengembangan infrastruktur mendukung usahatani padi dan peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan, (b) Peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju, (c) Melaksanakan ekstensifikasi lahan pertanian terutama di luar Jawa, dan (e) Peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pasca panen dan pemasaran. Pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut ternyata telah mendorong peningkatan produksi padi. Pada tahun 2003, produksi padi mencapai 52,08 juta ton gabah kering giling, atau meningkat sekitar 0,70 persen dibanding produksi tahun 2002. Adapun produktivitas padi pada tahun 2003 meningkat menjadi 45,38 kuintal/ha, atau naik sekitar 1,29 persen dibandingkan tahun 2002. Tahun 2004, produksi padi nasional mencapai 54,09 juta ton gabah kering giling, setara 34 juta ton beras (konversi 0,632), merupakan produksi beras tertinggi selama Republik ini berdiri. Tahun 2004 Indonesia dapat dikatakan mampu swasembada beras, mengulangi keberhasilan swasembada tahun 1984. 5.1.2 Perkembangan Konsumsi Beras Indonesia Beras merupakan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan tetap mendominasi pola makan orang Indonesia. Dari 11 jenis pola pangan pokok rumah tangga di Indonesia, pola pangan pokok beras adalah yang dominan di

64

setiap propinsi. Perubahan jenis pangan pokok hanya terjadi pada komoditas bukan beras, seperti antara jagung dengan umbi- umbian dan sebaliknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa preferensi rumah tangga terhadap beras sangat besar dan sulit diubah (Mardianto dan Ariani, 2004). Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai lebih dari 219 juta jiwa dengan angka pertumbuhan 1,7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Jika tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan maka akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar. Tabel 5. Jumlah Penduduk dan Tingkat Konsumsi beras di Indonesia Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah Penduduk (jiwa) 201.537.838 204.789.931 208.436.800 211.063.000 213.722.300 214.374.096 217.072.346 219.205.000 Konsumsi Beras Domestik (ton) 28.501.481,05 25.140.011,93 23.401.199,54 24.515.474 24.611.977,95 24.687.037,92 25.505.827 25.461.186,84

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pada tabel 5 dapat diketahui bahwa konsumsi beras perkapita penduduk Indonesia sangat tidak stabil. Pada peride tahun 1998 hingga tahun 2005 konsumsi beras domestik tertinggi adalah pada tahun 1998, kemudian terjadi penurunan konsumsi yang sangat signifikan pada tahun 1999, yang semula sebesar 28,5 juta ton menjadi 25,14 juta ton. Penurunan ini sangat besar

kemungkinannya disebabkan oleh kondisi krisis ekonomi dan bukan karena mulai

65

beralihnya konsumsi beras ke non beras. Selain itu hal ini juga disebabkan oleh konsumsi beras per kapita per tahun antara penduduk pedesaan relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan penduduk perkotaan, karena banyaknya jumlah penduduk yang mempunyai golo ngan pendapatan rendah di desa jika dibandingkan dengan perkotaan, sedangkan penduduk kota lebih cenderung menyukai jumlah makanan cepat saji yang sebetulnya bukan berbahan baku dari beras (Sitepu, 2002). Fenomena penurunan konsumsi ini terus berlangsung tahun 2000, kemudian konsumsi beras kembali berfluktuasi hingga tahun 2005. Namun jika dilihat secara keseluruhan, terjadi penurunan konsumsi beras yang sangat signifikan dari 28,5 juta ton pada tahun 1998 menjadi 25,46 juta ton pada tahun 2005. Hal ini terjadi akibat mulai berubahnya pola konsumsi masyarakat terutama masyarakat perkotaan yang lebih suka mengkonsumsi roti atau berbagai sayuran dengan tujuan mengatur pola diet khusus. 5.1.3 Perkembangan Ekspor dan Impor Beras Indonesia Analisis perkembangan ekspor sektor pertanian dilakukan sebagai upaya dalam mengevaluasi kinerja dan capaian pembangunan sektor pertanian secara kuantitatif dalam meningkatkan kontribusinya terhadap penerimaan negara. Sektor pertanian dalam hal ini meliput i subsektor tanaman pangan, khususnya padi atau beras. Subsektor tanaman pangan merupakan satu-satunya subsektor yang belum berorientasi ekspor. Fokus peningkatan produktivitas komoditas tanaman pangan lebih diarahkan pada penguatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Karena itu dalam perdagangan internasional lebih diupayakan penekanan pada

66

bagaimana meningkatkan produksi, diversifikasi produk khususnya untuk produk substitusi impor. Perkembangan volume ekspor beras Indonesia selama periode tahun 1976 hingga tahun 2005 yang dapat dilihat pada lampiran 1 menunjukkan kecenderungan berfluktuasi secara signifikan. Pada periode tahun 1976 hingga 1983 Indonesia hampir sama sekali tidak melakukan ekspor beras. Hal ini karena pada periode tersebut Indonesia belum mampu untuk berswasembada pangan dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, Indonesia harus melakukan impor. Namun pada periode 1984 hingga tahun 1985 mengalami peningkatan yang relatif signifikan. Hal ini terjadi karena pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan sehingga ekspor beras dapat dilakukan tanpa mengorbankan konsumsi beras domestik. Pada tahun 1985 hingga tahun 2000 ekspor beras mengalami fluktuasi yang cenderung menurun, bahkan pada tahun 1995 ekspor beras Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifikan dibandingkan tahun 1994 yaitu dari sebesar 233 ribu ton menjadi 10 ton. Hal ini terjadi karena terjadinya peningkatan konsumsi perkapita dari 139,6 pada tahun 1994 menjadi 171,16 pada tahun 1995, selain itu terjadi peningkatan jumlah panduduk sebesar 1,6 % dari tahun sebelumnya. Keadaan ini membuat Indonesia harus mengorientasikan produksi berasnya kepada pemenuhan kebutuhan konsumsi beras domestiknya terlebih dahulu, sehingga ekspor beras menurun secara signifikan. Pada tabel 6 terlihat bahwa peningkatan ekspor beras kembali dicapai oleh Indonesia pada periode tahun 2001 hingga 2002, namun pada tahun 2003 ekspor beras Indonesia turun kembali menjadi 1.234 ton, sedangkan pada tahun 2004

67

ekspor beras Indonesia kembali meningkat menjadi 4.495 ton dan pada akhir 2005 ekspor beras Indonesia meningkat cukup signifikan menjadi 44.285 ton. Peningkatan ekspor beras selama dua tahun terakhir ini terjadi karena adanya peningkatan produksi beras akibat adanya perluasan luas areal tanam melalui pencetakan sawah-sawah baru pada tahun 2004. Selain itu peningkatan ekspor beras tersebut juga dipicu oleh peningkatan harga beras internasional dan nilai tukar rupiah terhadap dollar yang terjadi pada periode 2004-2005. Tabel 6. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Beras Indonesia Tahun 2000-2005 Volume Ekspor Beras (ton) 4.671 5.222 11.320 1.234 4.495 44.285 Sumber: Departemen Pertanian. Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Nilai Ekspor Beras (US$/ton) 907.000 997.000 1.643.000 679.000 1.465.186 8.941.927

Dari rata-rata ekspor beras Indonesia pada tahun 2000-2003, beras Indonesia paling banyak diekspor ke negara Philippina (17,34 %), kemudian diikuti dengan East Timur (7,89 %), Malaysia (6,06 %), dan negara-negara lainnya (Deptan, 2004). Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia telah mampu mengembangkan potensinya sebagai negara produsen beras, meskipun beras yang diekspor adalah beras jenis tertentu yang kualitasnya memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor beras Indonesia. Pada periode 1998-1999, terjadi penurunan produksi padi akibat adanya bencana El Nino yang bersamaan dengan krisis ekonomi, sehingga impor beras tertinggi yaitu mencapai 3,8 juta ton/tahun, dengan tingkat ketergantungan impor hampir 11%. Namun, impor beras menurun drastis pada periode 2004-2005,

68

karena Indonesia melarang impor beras, kecuali beberapa jenis beras untuk penggunaan tertentu (Tabel 7). Pada periode ini, rata-rata impor hanya 206 ribu ton/tahun, dengan tingkat swasembada mencapai 99,5% (Sawit, 2006). Tabel 7. Produksi, Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada dan Ketergantungan impor: Rataan 4 periode 1995-2005 Rataan/ Tahun 1995-1997 1998-1999 2000-2003 2004-2005 Tingkat Tingkat Swasembada Ketergantungan (%) Impor (%) 94,6 5,4 89,3 10,7 96,1 3,9 99,5 0,5

Produksi 32.252 31.633 32.356 34.174

Impor 1.920,1 3.844,9 1.310,0 205,5

Ekspor 3,5 4,2 2,9 21,6

Sumber : Badan Pusat Statistik

Berdasarkan tabel 7 di atas, volume impor beras Indonesia selama dua tahun terakhir mengalami penurunan yang cukup signifikan. Keadaan ini disebabkan oleh adanya upaya peningkatan produktivitas padi melalui penambahan luas areal tanam padi dan peningkatan efisiensi dalam biaya produksi usahatani padi. Dalam dua tahun terakhir ini, Indonesia hampir mampu 100% berswasembada beras. Keadaan ini membuat pemerintah Indonesia pun melemparkan sinyal bahwa impor beras akan dihentikan (Sawit, 2006). Hal ini mengindikasikan bahwa impor beras dapat berpeluang untuk dihapuskan apabila Indonesia mampu lebih meningkatkan produktivitas padi dan efisiensi. Swasembada on trend merupakan salah satu program yang ditetapkan untuk meningkatkan produksi beras domestik dalam rangka upaya memenuhi kebutuhan konsumsi domestik dan mencapai swasembada pangan.

69

5.2 Kondisi Perberasan Dunia 5.2.1 Perkembangan Produksi Beras Dunia Beras merupakan komoditas strategis bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi sebagian besar negara-negara Asia, karena (1) usahatani padi masih diusahakan oleh jutaan petani, (2) bagi sebagian negara, seperti Vietnam, Burma, Thailand, India dan China, beras merupakan salah satu penyumbang devisa negara yang cukup besar, dan (3) bagi masyarakat berpendapatan rendah, dimana jumlah golongan berpendapatan tersebut masih dominan di Asia, beras masih merupakan bahan pangan pokok yang utama. Hampir semua negara penghasil beras di Asia gencar mengembangkan inovasi teknologi untuk mendorong peningkatan produktivitas dan efisiensi produksi. China semakin gencar mengembangkan padi hibrida dengan potensi hasil yang mencapai 17,92 ton per hektar, sedangkan India sedang

mengembangkan padi rekayasa genetika yang disebut dengan golden rice, dimana beras tersebut mengandung beta carotene (provitamin A) yang dapat digunakan untuk membantu upaya penyelamatan jutaan anak-anak India yang kekurangan vitamin A. Thailand, Vietnam dan Philipina saat ini juga sangat gencar mengembangkan varietas unggul padi untuk lahan kering dan rawa/pasang surut (Mardianto dan Ariani, 2004). Produksi beras dunia tahun 2002 meningkat dibandingkan tahun 2001 dari 398,1 juta ton menjadi 398,6 juta ton sejalan dengan meningkatnya produksi beras di negara-negara produsen utama seperti Vietnam, Thailand, dan Myanmar, namun kembali turun pada tahun 2003 menjadi 378,3 juta ton dan meningkat kembali pada tahun 2004. Bahkan pada tahun 2004 produksi beras dunia

70

mencapai 395,8 juta ton, naik 4,4 % dari tahun sebelumnya. Walaupun perkembangan luas panen padi dunia cukup berfluktuasi pada tahun-tahun tertentu namun karena produktivitasnya selalu bergerak naik maka laju produksi padi dunia juga cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa China merupakan negara dengan share produksi terbesar (32 % dari total produksi beras dunia) dan kemudian diikuti oleh India dengan share produksi sebesar 21 % dari total produksi total beras dunia. Indonesia merupakan produsen beras ke tiga dunia dengan share produksi sebesar 9 %. Hal ini didukung oleh keadaan alam ketiga negara yang berpotensi untuk menghasilkan beras. Tabel 8. Produksi Beras Dunia Tahun 2001-2004 Negara 2001 131 536 84 871 32 960 25 086 20 473 17 057 86 124 398 107 Tahun (000 ton) 2002 2003 124 306 122 180 93 080 72 700 32 960 33 411 24 310 25 187 21 036 21 527 17 499 17 198 85474 86 110 398 665 378 313 Share Ratio (%) 33 21 9 6 5 4 22 100

China India Indonesia Bangladesh Vietnam Thailand Lainnya Total

2004 121 438 86 667 34 571 25 917 21 403 17 792 88 069 395 856

Sumber: USDA, Diolah Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004

5.2.2 Perkembangan Konsumsi Beras Dunia Lonjakan permintaan beras di dunia sulit dibendung, dengan

bertambahnya jumlah penduduk, semakin bertambah pula jumlah konsumsi, terutama negara China, India, Indonesia, termasuk Amerika Serikat. Meskipun China, India, dan Indonesia merupakan negara produsen beras yang utama, namun demikian kebutuhan konsumsi domestik ketiga negara juga sangat tinggi,

71

sehingga produksi domestik lebih dahulu difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa China merupakan negara pengkonsumsi beras yang tertinggi, hal ini karena China memiliki populasi terbesar di dunia, sehingga tergolong paling banyak mengkonsumsi beras. Kemudian disusul dengan negara India dan indonesia yang populasi penduduknya juga besar. Namun demikian secara keseluruhan dari tahun ke tahun konsumsi beras menunjukkan tren yang meningkat. Untuk itu maka produksi beras pun meningkat selaras dengan kenaikan permintaan. Berbagai negara berupaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi berasnya dengan mendorong produksi beras dalam negeri. Tabel 9. Konsumsi Beras Dunia Tahun 1999/2000-2002/2003 Negara China India Indonesia Banglades Vietnam Thailand Burma Filipina Jepang Brasil Korsel AS Mesir Iran Uni Eropa Korea Utara Taiwan Afrika Selatan Lain- lain Total dunia 1999/2000 133.763 82.670 35.400 23.766 16.771 9.300 9.330 8.400 9.450 7.956 4.986 3.846 2.856 3.019 2.190 2.000 1.315 531 40.788 398.337 2000/2001 134.356 75.851 35.877 25.790 17.275 9.400 9.350 8.750 9.000 7.956 5.000 3.676 3.015 3.050 2.207 1.837 1.265 525 42.168 396.348 2001/2002 134.595 82.251 36.358 26.250 17.400 9.500 9.400 8.900 9.000 7.958 5.100 3.889 3.150 3.075 2.215 1.500 1.150 550 41.696 403.937 2002/2003 134.800 84.000 36.790 26.250 17.700 9.600 9.475 9.105 9.000 8.000 5.100 3.969 3.275 3.100 2.190 1.950 1.150 600 42.607 408.661

Sumber : USA Rice Federation

Produksi beras sebagian besar dihasilkan oleh negara-negara Asia. Produksi beras tersebut diorientasikan terlebih dahulu untuk memenuhi

72

kebutuhan konsumsi domestik, kemudian ketika konsumsi domestik telah terpenuhi dan tercipta surplus produksi, maka surplus produksi tersebut akan diekspor ke negara lain. 5.2.3 Perkemba ngan Ekspor dan Impor Beras Dunia Banyak negara produsen beras yang mengorientasikan produksi berasnya selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga untuk diekspor. Ekspor beras merupakan implikasi adanya surplus produksi beras suatu negara. Oleh karena itu surplus beras yang diperdagangkan di pasar dunia tidak stabil karena pengaruh musim dan ketahanan pangan masing- masing negara. Situasi seperti ini mengisyaratkan bahwa sebagian besar produksi beras dunia digunakan untuk konsumsi domestik, sehingga surplus yang diperdagangkan sangat terbatas. Sejak tahun 2001, Thailand merupakan negara pengekspor terbesar dengan realisasi ekspor sebesar 7,5 juta ton, kemudian disusul oleh Vietnam yang menempati urutan ke dua sebagai negara pengekspor beras dengan realisasi ekspor sebesar 3,5 ton, dan pada urutan ke tiga ada USA dengan realisasi ekspor sebesar 2,5 juta ton. Namun demikian keadaan ini tidak bertahan lama. Pada tahun 2002, posisi ke dua sebagai negara pengekspor beras ditempati oleh India dengan total realisasi ekspor sebesar 6,6 juta ton, dan pada urutan pertama tetap diduduki oleh Thailand dengan realisasi ekspor sebesar 7,2 juta ton meskipun jumlah ini lebih sedikit dibanding tahun sebelumnya. Ekspor beras dunia tahun 2004 terbesar tetap dipasok oleh Thailand sebesar 8,9 juta ton sehingga Thailand merupakan eksportir terbesar dunia. Sedangkan pada tahun 2004, Vietnam memasok sebesar 4 juta ton (eksportir

73

terbesar ke dua), Amerika Serikat memasok sebesar 3 juta ton, dan China memasok sebesar 1,3 juta ton. Keadaan tersebut dapat terlihat pada tabel 10. Sedangkan pada tahun 2005 Thailand masih merupakan negara

pengekspor beras terbesar dunia dengan realisasi ekspor beras me ncapai 7 juta ton. Hal ini terjadi karena hanya separuh produksi beras Thailand yang dikonsumsi oleh masyarakatnya. Urutan kedua sebagai negara pengekspor beras ditempati oleh Vietnam, dengan volume ekspor beras sebesar 5 juta ton. Selanjutnya, Amerika Serikat dan India menempati urutan ketiga dan keempat, dengan volume ekspor masingmasing sebesar 3,7 juta ton dan 3,5 juta ton, kemudian disusul oleh Pakistan sebesar 2,8 juta ton (Outlook Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, 2007). Tabel 10. Perkembangan Ekspor Beras Dunia Tahun 2001-2004 Negara Tahun (000 ton) 2001 7.521 1.936 2.541 3.528 1.847 2.417 4.633 24.423 2002 7.245 6.650 3.295 3.245 1.963 1.603 3.866 27.867 2003 7.552 4.421 3.843 3.795 2.583 1.958 3.498 27.650 2004 8.942 2.542 3.192 3.900 1.263 1.858 3.404 25.099 Share Ratio (%) 30 15 12 14 7 7 15 100

Thailand India USA Vietnam China Pakistan Lainnya Total

Sumber : Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004

Sedangkan pada tabel 11 tidak semua negara produsen beras menjadi negara pengekspor. Indonesia misalnya merupakan salah satu produsen utama dunia, namun bukan merupakan negara pengekspor beras. Hal ini terjadi karena tingginya konsumsi domestik terhadap komoditas beras. Lain halnya dengan negara-negara lainnya yang menjadi negara pengimpor beras, negara-negara

74

tersebut mengimpor beras karena negaranya tidak memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi beras atau hanya dapat memproduksi beras dalam jumlah yang relatif sedikit, sehingga untuk mencukupi kebutuhan pangan beras domestik, mereka harus melakukan impor. Dari tabel 11 dapat dilihat bahwa dari volume beras yang diperdagangkan di pasar internasional pada kurun waktu tahun 2001 hingga 2004 sebanyak 30 % diserap oleh enam negara importir beras, yaitu Indonesia (9 %), Nigeria (6 %), Philipina (4 %), Iraq (4 %), EU-25 ($ %). Total impor keenam negara tersebut pada tahun 2001 adalah sebesar 24,4 juta ton dan terus mengalami peningkatan sampai tahun 2003. Beras yang diimpor adalah total berbagai jenis beras yang diperdagangankan di pasar internasional. Tabel 11. Perkembangan Impor Beras Dunia Tahun 2001-2004 Negara Tahun (000 ton) 2001 1.500 1.906 1.175 959 1.189 765 16.929 24.423 2002 3.500 18.973 1.250 17.178 1.173 964 17.905 27.867 2003 2.750 1.600 1.300 672 1.189 900 19.239 27.179 2004 1.238 1.425 992 1.100 1.008 963 18.454 25.179 Share Ratio (%) 9 6 4 4 4 3 70 100

Indonesia Nigeria Philipina Iraq EU-25 Iran Lainnya Total

Sumber : Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004

Pada tahun 2004, impor beras oleh negara- negara pengimpor cenderung menurun, hal ini terlihat dari total impor beras yang dihasilkan oleh negara-negara tersebut pada tahun 2004 hanya sebesar 25,1 juta ton yang menurun sebanyak 2 juta ton dibandingkan denga n tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena terjadi

75

peningkatan produksi beras pada negara-negara pengimpor beras, sehingga kebutuhan konsumsi sebagian besar telah terpenuhi oleh produksi domestik.

5.3 Keadaan Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar. Perkembangan harga beras domestik pada periode tahun 1995 hingga 2005 menunjukkan angka yang berfluktuasi. Perkembangan harga beras domestik cenderung tidak stabil sejak awal krisis ekonomi pada Juli 1997. Para peneliti menyimpulkan bahwa ketidakstabilan harga beras dalam negeri ditentukan oleh faktor ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap dollar (US$) daripada berkurangnya suplai beras dalam negeri (Amang dan Sawit, 1999). Harga beras internasional atau harga beras dunia sangat bergantung pada pasokan beras dari negara Thailand dan Vietnam karena kedua negara tersebut merupakan negara besar dalam mengekspor beras. Patokan harga beras internasional adalah harga beras (FOB) kualitas 25 persen Broken di Bangkok. Pada saat panen raya, harga beras di pasaran internasional akan cenderung menurun. Sebaliknya, pada saat musim paceklik, harga beras di pasaran internasional akan cenderung meningkat. Trend harga beras di pasar dunia pada dasawarsa 1974-1980 meningkat sebesar 1,85 persen per tahun, pada dasawarsa 1981-1990 sebesar 0,98 persen per tahun, dan pada dasawarsa 1991-2001 menurun sebesar -3,56 persen per tahun (Purwoto et al., 2002). Pada tabel 12 terlihat bahwa mulai tahun 1997 harga beras internasional cenderung menurun. Penurunan ini terkait erat dengan musim panen raya di sejumlah negara penghasil beras seperti Thailand, Vietnam, dan Cina yang

76

panennya bersamaan dengan musim paceklik di Indonesia (Amang dan Sawit, 1999). Hal ini mengakibatkan banyaknya beras yang masuk ke pasar dalam negeri. Selain itu nilai tukar rupiah terhadap dollar menunjukkan tren yang meningkat dimana nilai rupiah semakin melemah. Dengan keadaan tersebut, meskipun harga beras di pasar internasional cenderung menurun, namun karena nilai rupiah melemah, maka harga beras internasional tetap lebih tinggi dari harga beras domestik. Fenomena ini berlangsung hingga tahun 2003. Tabel 12 . Perkembangan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar Tahun Harga Beras Harga Beras Nilai Tukar Domestik Internasional Rupiah (Rp/kg) (US$/kg) Terhadap dollar 1995 776,38 0,304 2.308 1996 880 0,331 2.383 1997 1.063,8 0,289 4.650 1998 2.099,03 0,275 8.025 1999 2.665,58 0,216 7.100 2000 2.215 0,173 9.595 2001 2.449 0,153 10.400 2002 2.842 0,175 8.940 2003 2.759 0,182 8.465 2004 2.795 0,225 9.290 2005 3.332 0,265 9.900 Sumber: Badan Pusat Statistik. Pada tahun 2004 harga beras internasional cenderung meningkat dari 0,182 US$/kg pada tahun 2003 menjadi 0,225 US$/kg. Selain itu harga beras domestik juga meningkat walaupun hanya meningkat sebesar Rp.36,00 dari Rp.2.759.,00 menjadi Rp.2.795,00. Pada saat yang sama nilai tukar rupiah terhadap dollar meningkat dari Rp.8.465,00/US$ menjadi Rp.9.290,00/US$ yang mengindikasikan nilai rupiah yang melemah. Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk melakukan ekspor beras sebagai implikasi dari harga beras internasional yang meningkat dan nilai rupiah yang melemah, meskipun harga

77

beras domestik juga meningkat. Hal ini berlangsung hingga tahun 2005 sehingga ekspor beras meningkat cukup signifikan.
Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
19 80 19 82 19 88 19 90 19 96 19 98 20 04 19 78 19 86 19 94 20 02 1 9 7 6 1 9 8 4 1 9 9 2 2 0 0 0

H E t ,H D t ,E R t

Tahun HEt HDt Ert

Gambar 4. Pergerakan Harga Beras Domestik, Harga Beras Internasional, dan Nilai Tukar Peningkatan dan penurunan harga beras di tingkat konsumen domestik dalam dasawarsa terakhir 1995-2001 praktis tidak dipengaruhi oleh dinamika harga beras di pasar dunia, tetapi dipengaruhi sepenuhnya oleh dinamika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Penurunan harga beras di pasar dunia pada dasawarsa 1991-2001 pada hakekatnya merupakan konsekuensi logis pemberlakuan liberalisasi perdagangan global sejak awal dasawarsa 1990-an. Dalam era liberalisasi perdagangan global, penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia tidak secara otomatis akan menurunkan harga komoditas pangan serupa di tingkat konsumen domestik selama persentase penurunan harga komoditas pangan di pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan dengan persentase kenaikan nilai tukar (persentase depresiasi nilai tukar) (Purwoto et al., 2006).

78

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN EKSPOR BERAS INDONESIA

6.1 Uji Empiris Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras Indonesia Berdasarkan model yang dirumuskan yaitu model linier berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS), maka pada bagian ini disajikan nilai-nilai dan hasil pendugaan model secara keseluruhan yaitu koefisien determinasi (R2 ), uji F, uji t statistik, uji multikolinier, dan uji korelasi. Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai implikasi ekonomi dari tanda dan besaran parameter dugaan serta nilai-nilai elastisit as yang relevan untuk setiap persamaan dalam model. Pada penelitian ini model persamaan faktor- faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia dimodifikasi menjadi bentuk logaritma natural karena dengan mengubah bentuk model persamaan menjadi bentuk logaritma natural menghasilkan estimasi nilai koefisien determinasi (R2 ) yang jauh lebih baik daripada nilai koefisien determinasi (R2 ) yang dihasilkan pada bentuk model persamaan linier biasa, selain itu transformasi model tersebut meniadakan heteroskedastisitas pada model. Pada umumnya keragaan hasil model ekonometrik produksi beras Indonesia sangat baik, dimana memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 98,6 % untuk persamaan produksi beras Indonesia. Nilai R2 sebesar 98,6 % pada model persamaan produksi beras Indonesia menjelaskan bahwa kemampuan variabel

79

eksogen dalam menjelaskan variabel endogennya sebesar 98,6 % dan sisanya sebesar 1,4 % dijelaskan oleh variabel eksogen di luar model. Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel tak bebas (endogen). Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat nilai P value pada Analysis of Variance yaitu sebesar 0,000 yang menunjukkan bahwa variabel- variabel penjelas yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,01 secara bersama-sama terhadap volume produksi beras Indonesia. Selain itu pengujian parameter dapat pula dilakukan dengan melihat nilai F hitung model tersebut. Pada model tersebut dihasilkan nilai F hitung sebesar 442,86 yaitu lebih besar dibanding nilai F tabel sebesar 4,18 pada taraf nyata 0,01. Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama luas areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi peubah-peubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersamasama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya. Selain itu berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin Watson yang dihitung dengan menggunakan program Minitab 14, persamaan faktor- faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia memiliki nilai DW sebesar 1,66077. Nilai ini berada diantara dL (0,94) dan 4 - dU (1,51), dimana nilai ini mencerminkan tidak terdapatnya autokorelasi dalam model persamaan tersebut. Pengujian terhadap masalah normalitas, dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Pada grafik KolmogorovSmirnov di lampiran 4

80

terlihat bahwa titik-titik galat yang ada tergambar segaris. Hal ini juga dibuktikan dengan P value (0,15) yang lebih besar dari (5 persen). Maka dapat dinyatakan bahwa galat model faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia menyebar secara normal. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi Ordinary Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang mengharuskan galat menyebar secara homogen. Dengan melihat grafik residual versus the fitted values seperti yang terlihat dalam lampiran 4 dimana galat menyebar dan tidak membentuk pola, maka dapat disimpulkan bahwa galat menyebar secara homogen. Tabel 13. Hasil Pendugaan Persamaan Produksi Beras Indonesia Variabel Konstanta Luas areal panen (ln-LPt) Harga dasar gabah (ln- HGt) Pupuk urea (ln-PUt) Curah hujan (ln-CHt) Koefisien -3,451 1,26647 0,10423 0,16919 0,001546 t-Hitung -2,69 15,21 5,32 12,57 0,24 P value 0,013 0,000 0,000 0,000 0,815 3,0 1,4 2,9 1,0 VIF

R-sq R-sq (adj) F statistik Durbin Watson

98,6 % 98,4 % 442,86 1,66077

F tabel P value model

4,18 0,000

Dari hasil perhitungan analisis regresi di atas, maka dapat dijelaskan pengaruh masing- masing variabel eksogen terhadap variabel endogen yang berupa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:

81

1. Luas Areal Panen Padi Indonesia (ln-LPt) Koefisie n regresi variabel luas areal panen padi Indonesia adalah sebesar 1,26647. Karena model persamaan dalam bentuk logaritma natural, maka nilai koefisien regresi langsung menunjukkan nilai elastisitasnya. Nilai elastisitas variabel luas areal panen padi bernilai 1,26647 yang berarti bahwa peningkatan areal panen padi sebesar 1 % akan meningkatkan volume produksi beras Indonesia sebesar 1,26647 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai lebih besar dari satu, yang artinya perubahan pada luas areal panen padi responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada luas areal panen padi akan mengakibatkan perubahan sebesar lebih besar dari satu persen pada produksi beras Indonesia. Tanda positif pada variabel luas areal panen padi Indonesia sesuai denga n parameter dugaan yang diharapkan, karena peningkatan luas areal panen padi akan meningkatkan produksi beras. Hasil perhitungan P value variabel luas areal panen padi Indonesia bernilai 0,000 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa luas areal panen padi Indonesia sangat berpengaruh terhadap penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia, dengan kata lain luas areal panen padi Indonesia merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. 2. Harga dasar gabah (ln- HGt) Koefisien regresi variabel harga dasar gabah Indonesia adalah sebesar 0,10423. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel harga dasar gabah bernilai 0,10423 yang berarti bahwa peningkatan harga dasar gabah sebesar 1 % akan meningkatkan volume produksi beras Indonesia sebesar 0,10423 %. Nilai

82

elastisitas tersebut bernilai lebih kecil dari satu, yang artinya perubahan pada harga dasar gabah tidak responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada harga dasar gabah akan mengakibatkan perubahan sebesar lebih kecil dari satu persen pada produksi beras Indonesia. Tanda positif pada nilai koefisien tersebut sesuai dengan nilai parameter dugaan yang diharapkan, dimana ketika pemerintah menetapkan harga dasar gabah yang melindungi petani, yaitu dengan meningkatkan harga dasar gabah, maka petani akan meningkatkan produksi padi sehingga produksi beras juga akan meningkat.. Hasil perhitungan P value variabel harga dasar gabah bernilai 0,000 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa harga dasar gabah berpengaruh nyata terhadap penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia. Ketika pemerintah meningkatkan harga dasar gabah, maka hal ini akan menjadi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksinya. 3. Pupuk urea (ln-PUt) Koefisien regresi variabel pupuk urea adalah sebesar 0,16919. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel pupuk urea bernilai 0,16919 yang berarti bahwa peningkatan penggunaan pupuk urea sebesar 1 % akan meningkatkan volume produksi beras Indonesia sebesar 0,16919 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai kurang dari satu, yang artinya perubahan pada penggunaan pupuk urea tidak responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada penggunaan pupuk urea akan mengakibatkan perubahan sebesar kurang dari satu persen pada produksi

83

beras Indonesia. Tanda positif pada variabel pupuk urea sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan, dimana secara teori ketika penggunaan pupuk urea yang merupakan input bagi beras meningkat, maka produksi beras akan meningkat. Hasil perhitungan P value variabel pupuk urea bernilai 0,000 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap produksi beras Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa penggunaan pupuk urea berpengaruh nyata terhadap penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia, dengan kata lain pengunaan pupuk urea merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. 4. Curah hujan (ln-CHt) Koefisien regresi variabel curah hujan adalah sebesar 0,001546. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel curah hujan bernilai 0,001546 yang berarti bahwa peningkatan curah hujan rata-rata sebesar 1 % akan meningkatkan volume produksi beras Indonesia sebesar 0,001546 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai l ebih kecil dari satu, yang artinya perubahan pada curah hujan rata-rata tidak responsif terhadap perubahan produksi beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada curah hujan rata-rata akan mengakibatkan perubahan sebesar lebih kecil dari satu persen pada produksi beras Indonesia. Tanda positif pada variabel curah hujan sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hasil perhitungan P value variabel curah hujan bernilai 0,815 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa curah hujan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan atau peningkatan produksi beras Indonesia, dengan kata lain curah hujan bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. Pada

84

kenyataannya yang terjadi di lapang, sebagian besar pertanian Indonesia sudah tidak terlalu bergantung pada curah hujan karena telah memiliki sistem irigasi yang baik. Sistem irigasi ini telah mampu menyimpan air (cadangan air), sehingga ketika musim kemarau tiba, pertanian tetap berproduksi.

6.2 Uji Empiris Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Beras Indonesia Berdasarkan model yang dirumuskan yaitu model linier yang telah dimodifikasi menjadi model logaritma natural dengan metode Ordinary Least Square (OLS), maka pada bagian ini disajikan nilai-nilai dan hasil pendugaan model secara keseluruhan yaitu koefisien determinasi (R2 ), uji F, uji t statistik, uji multikolinier, dan uji korelasi. Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai implikasi ekonomi dari tanda dan besaran parameter dugaan serta nilai-nilai elastisitas yang relevan untuk setiap persamaan dalam model. Pada penelitian ini model persamaan faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia dimodifikasi menjadi bentuk logaritma natural karena dengan mengubah bentuk model persamaaan menjadi bentuk logaritma natural menghasilkan estimasi nilai koefisien determinasi (R2 ) yang jauh lebih baik daripada nilai koefisien determinasi (R2 ) yang dihasilkan pada bent uk model persamaan linier biasa, selain itu transformasi model tersebut meniadakan heteroskedastisitas pada model. Pada umumnya keragaan hasil model awal ekonometrik volume ekspor beras Indonesia cukup baik, dimana memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 71,0 % untuk persamaan ekspor beras Indonesia. Nilai R2 sebesar 71,0 % pada volume ekspor beras Indonesia menjelaskan bahwa kemampuan variabel eksogen

85

dalam menjelaskan variabel endogennya sebesar 71,0 % dan sisanya sebesar 29,0 % dijelaskan oleh variabel eksogen di luar model. Pengujian parameter secara keseluruhan untuk faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersamasama antara variabel bebas (variabel eksogen) dengan variabel tak bebas (endogen). Pengujian ini dapat dilakukan dengan melihat nilai P value pada Analysis of Variance yaitu sebesar 0,000 yang menunjukkan bahwa variabelvariabel penjelas yang ada di dalam model berpengaruh nyata pada taraf 0,01 secara bersama-sama terhadap volume ekspor beras Indonesia. Selain itu pengujian parameter dapat pula dilakukan dengan melihat nilai F hitung model tersebut. Pada model tersebut dihasilkan nilai F hitung sebesar 15,28 yaitu lebih besar dibanding nilai F tabel sebesar 4,18 pada taraf nyata 0,01. Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah, harga eceran beras/harga beras domestik, dan volume impor beras berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi peubahpeubah eksogen dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya. Selain itu berdasarkan uji autokorelasi dengan menggunakan Durbin Watson yang dihitung dengan menggunakan program Minitab 14, persamaan faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia memiliki nilai DW sebesar 1,69902. Nilai ini berada diantara dL (0,94) dan 4 - dU (1,51), dimana nilai ini mencerminkan tidak terdapatnya autokorelasi dalam model persamaan tersebut. Hal ini berarti model tersebut telah memenuhi salah satu syarat yang terdapat dalam metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square (OLS),

86

dimana tidak terdapat autokorelasi antar kesalahan pengganggu yang berarti kovarian. Tabel 14. Hasil Pendugaan Persamaan Ekspor Beras Indonesia Variabel Konstanta Produksi beras (ln-PBt) Nilai Tukar Rupiah (ln-Ert) Harga Eceran Beras (ln- HEt) Konsumsi Beras per Kapita (lnCPt) R-sq R-sq (adj) F statistik Durbin Watson 70,1 % 66,3 % 15,28 1,69902 F tabel P value model 4,18 0,000 Koefisien t-Hitung -130.97 9,063 0,879 -0,404 -1.6297 -1,36 1,64 0,62 -0,15 -4,11 P value 0,185 0,114 0,539 0,883 0,000 6,0 8,1 2,1 1,4 VIF

Pengujian terhadap masalah normalitas, dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Pada grafik KolmogorovSmirnov di lampiran 6 terlihat bahwa titik-titik galat yang ada tergambar segaris. Hal ini juga dibuktikan dengan P value (0,15) yang lebih besar dari (5 persen). Maka dapat dinyatakan bahwa galat model faktor- faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia menyebar secara normal. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam asumsi Ordinary Least Square (OLS) adalah syarat homoskedastisitas yang

mengharuskan galat menyebar secara homogen. Dengan melihat grafik residual versus the fitted values seperti yang terlihat dalam lampiran 6 dimana galat menyebar dan tidak membentuk pola tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa galat menyebar secara homogen.

87

Dari hasil perhitungan di atas maka dapat dijelaskan pengaruh masingmasing variabel eksogen terhadap variabel endogen berupa faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Produksi Beras Indonesia (ln-PBt) Koefisien regresi variabel produksi beras Indonesia adalah sebesar 9,063. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel produksi beras bernilai 9,063 yang berarti bahwa peningkatan produksi beras sebesar 1 % akan meningkatkan volume ekspor beras Indonesia sebesar 9,063 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai lebih dari satu, yang artinya perubahan pada produksi beras responsif terhadap perubahan volume ekspor beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada produksi beras akan mengakibatkan perubahan sebesar lebih dari satu persen pada volume ekspor beras Indonesia. Oleh karena itu perlu diupayakan peningkatan produksi beras agar ekspor pun bisa meningkat. Tanda positif pada variabel produksi beras Indonesia sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hasil perhitungan P value variabel produksi beras Indonesia bernilai 0,114 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,2 terhadap volume ekspor beras Indonesia. Hal tersebut menjelaskan bahwa produksi beras Indonesia

berpengaruh nyata terhadap penurunan atau peningkatan volume ekspor beras Indonesia, dengan kata lain produksi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia. 2. Nilai Tukar Rupiah (ln-ERt) Koefisien regresi variabel nilai tukar rupiah adalah sebesar 0,879. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar

88

adalah 0,879 yang berarti bahwa peningkatan nilai tukar rupiah sebesar 1 % akan meningkatkan volume ekspor beras Indonesia sebesar 0,879 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai kurang dari satu, yang artinya perubahan pada variabel nilai tukar rupiah tidak responsif terhadap perubahan volume ekspor beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada nilai tukar rupiah akan mengakibatkan perubahan sebesar kurang dari satu persen pada volume ekspor beras Indonesia. Tanda positif pada koefisien variabel nilai tukar rupiah sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan, dimana secara teori meningkatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang berarti melemahnya nilai rupiah akan menyebabkan permintaan terhadap dollar meningkat, sehingga ekspor cenderung dilakukan dan ekspor beras pun akan meningkat. Selain itu dengan meningkatnya nilai tukar, berarti daya saing produk negara Indonesia di pasar internasional lebih tinggi sehingga mendorong peningkatan ekspor. Hasil perhitungan P value variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah 0,539 yang berarti bahwa variabel nilai tukar rupiah tidak berpengaruh secara nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia. Hal ini berarti nilai tukar bukan menjadi faktor utama yang mempengaruhi peningkatan atau penurunan volume ekspor beras. 3. Harga Beras Domestik atau Harga Beras Eceran (ln-HEt) Koefisien regresi harga beras domestik atau harga eceran beras adalah sebesar -0,404. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel harga beras domestik atau harga eceran beras bernilai -0,404 yang artinya bahwa peningkatan harga beras domestik sebesar 1 % akan menurunkan volume ekspor beras Indonesia sebesar -0,404 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai kurang dari satu,

89

yang artinya perubahan pada harga beras domestik tidak responsif terhadap perubahan volume ekspor beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada harga beras domestik akan mengakibatkan perubahan sebesar kurang dari satu persen pada volume ekspor beras Indonesia. Tanda negatif pada koefisien variabel harga beras domestik atau harga beras eceran sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal tersebut menjelaskan bahwa ketika harga beras domestik cenderung rendah atau menurun, maka ekspor beras cenderung tinggi karena produsen beras atau pedagang akan memilih mencari keuntungan dengan melakukan ekspor daripada menjual beras di dalam negeri. Hasil perhitungan P value variabel harga beras domestik atau harga beras eceran bernilai 0,883 yang berarti tidak berpengaruh nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia. Hal ini berarti bahwa penurunan atau peningkatan pada harga beras domestik tidak mempengaruhi secara nyata peningkatan atau penurunan volume ekspor beras Indonesia. 4. Konsumsi beras per kapita (ln-CPt) Koefisien regresi variabel konsumsi beras per kapita adalah sebesar 1,6297. Nilai tersebut menunjukkan nilai elastisitas variabel konsumsi beras per kapita bernilai -1,6297 yang artinya bahwa peningkatan konsumsi beras per kapita sebesar 1 % akan menurunkan vo lume ekspor beras sebesar 1,6297 %. Nilai elastisitas tersebut bernilai lebih dari satu, yang artinya perubahan pada konsumsi beras per kapita responsif terhadap perubahan volume ekspor beras Indonesia karena perubahan sebesar satu persen pada konsumsi beras per kapita akan

90

mengakibatkan perubahan sebesar lebih dari satu persen pada volume ekspor beras Indonesia. Tanda negatif pada koefisien variabel konsumsi beras per kapita sesuai dengan parameter dugaan yang diharapkan. Hal tersebut menjelaskan bahwa ekspor beras dilakukan ketika terjadi surplus produksi. Ketika konsumsi per kapita yang menunjukkan selera masyarakat untuk mengkonsumsi beras menurun, maka kelebihan produksi akan digunakan untuk ekspor. Hasil perhitungan P value variabel konsumsi beras per kapita bernilai 0,000 yang berarti berpengaruh nyata pada taraf 0,01 terhadap volume ekspor beras Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi beras per kapita merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia.

6.3 Definisi Variabel yang Digunakan 1. Produksi beras Indonesia adalah jumlah total produksi beras di Indonesia yang dinyatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005. 2. Luas areal panen padi adalah luas areal panen padi yang dinyatakan dengan satuan hektar (Ha). 3. Harga dasar gabah adalah kebijakan harga yang diterapkan oleh pemerintah untuk melindungi petani, yang telah dideflasi (1995 = 100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg). Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005.

91

4. Pupuk urea dalam penelitian ini adalah jumlah pupuk urea yang digunakan dalam usahatani padi, yang merupakan pupuk utama dalam produksi padi. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005 5. Curah hujan merupakan jumlah curah hujan rata-rata tiap tahun yang diwakili oleh jumlah curah hujan di sentar produksi padi Indonesia, yaitu di pulau Jawa yang dinyatakan dalam satuan mm per tahun (mm/tahun). Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005 6. Volume Ekspor beras adalah jumlah seluruh beras yang di ekspor ke luar negeri, tidak termasuk ekspor legal, dinyatakan dalam satuan ton. Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005. 7. Nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah perbandingan dari perubahan mata uang terhadap mata uang negara lain, dinyatakan dalam satuan Rupiah per Dollar Amerika (Rp/US$) . Periode waktu yang digunakan adalah tahun 19762005. 8. Harga beras eceran adalah harga rata-rata beras di pasar domestik Indonesia yang telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dinyatakan dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg). Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005. 9. Konsumsi beras per kapita adalah rata-rata jumlah beras yang dikonsumsi oleh seseorang, yang menunjukkan selera masyrakat dalam menkonsumsi beras, dinyatakan dalam satuan kilogram per kapita per tahun (Kg/kapita/tahun). Periode waktu yang digunakan adalah tahun 1976-2005.

92

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi beras Indonesia terdiri dari luas areal panen padi Indonesia, harga dasar gabah, pupuk urea, dan curah hujan. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan volume produksi beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat tiga variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap produksi beras Indonesia, yaitu luas areal panen padi Indonesia (pada taraf 0,01), harga dasar gabah (0,01), dan pupuk urea (pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata adalah variabel curah hujan dengan nilai P value 0,815. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia terdiri dari produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga beras eceran, dan konsumsi beras per kapita. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan volume ekspor beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat dua variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia, yaitu produksi beras Indonesia (pada taraf 0,2) dan konsumsi beras per kapita (pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak berpengaruh nyata

93

adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan nilai P value 0,539 dan harga beras eceran dengan nilai P value 0,883.

7.2 Saran 1. Menciptakan kebijakan yang mendukung pertanian di indonesia, misalnya dengan memberikan subsidi pupuk bagi para petani dengan cara yang bijak dan tepat sehingga tersedia dalam jumlah dan harga yang memadai, mengingat pupuk urea merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi produksi beras Indonesia. Selain itu menetapkan kebijakan harga dasar gabah yang melindungi petani, sehingga hal tersebut memberikan insentif untuk meningkatan produksi padi. 2. Perlu diupayakan peningkatan luas areal tanam padi untuk meningkatkan produksi padi Indonesia, sehingga produksi beras pun akan meningkat. Selain itu perlu diupayakan adanya diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi pada beras. 3. Membina, menjaga, dan mengembangkan pasar ekspor beras yang sudah ada. Mengorientasikan produksi beras bukan hanya untuk konsumsi tetapi juga untuk mulai mengembangkan ekspor beras. 4. Saran bagi penelitian selanjutnya adalah mencoba melakukan penelitian ini dengan metode two stage least square (2SLS) dengan menggunakan model persamaan simultan. Dapat juga mencoba dengan membagi rentang waktu penelitian antara waktu sebelum terjadinya krisis ekonomi dengan waktu setelah terjadi krisis ekonomi. bagi petani

94

DAFTAR PUSTAKA

Amang Beddu dan M. Husein Sawit. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. IPB Press: Jakarta.

Amelia, Indah Yulianti. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Impor Ilegal Daging Sapi dan Susu Indonesia. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Ekonomi Pertanian.

Azziz, Arisf abdul. 2006. Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap Harga Beras Dalam Negeri. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistik 2000. Statistik Indonesia 1999. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Menyemarakkan Tahun Padi Internasional 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman pangan.

Departemen Pertanian, 2004. Database Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan.

Doll, John, and Frank Orazem. 1984. Production Economic. USA: John Wiley and Sons.

Gujarati, Damodar. 1991. Ekonometrika dasar. Jakarta: Erlangga.

Iswardono. 1994. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta: Gunadarma.

Kasryno, dkk. 2002. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi.

Khumaidi, Muhammad. 1997. Beras Sebagai Pangan Pokok Utama Bangsa Indonesia, Keunikan dan Tantangannya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

95

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics. Harper and Row publisher Inc. New York, USA.

Lipsey, Richard. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jakarta: Binarupa Aksara.

Lubis, Syafrida Kesuma. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Nenas Segar Indonesia. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga

Mardianto, Sudi, dan Mewa Ariano. 2004. Kebijakan Proteksi dan Komoditas Beras di Asia dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi.

Mulyana, Andy. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Menuju Perdagangan Bebas, Suatu Analisis Simulasi. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Novansi. 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Beberapa Buah-buahan Penting Di Indonesia. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. 2006. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian.

Purnamasari, Rika. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Kedelai di Indonesia. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Purwoto, Adreng dkk. 2006. Korelasi Harga dan Derajat Integrasi Spasial Antara Pasar Dunia dan Pasar Domestik untuk Komoditas Pangan Dalam Era Liberalisasi Perdagangan (Kasus Propinsi Sulawesi Selatan). Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Rachman, dkk. 2004. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Padi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi.

96

Saleh, Yopi. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Tomat Indonesia. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bo gor.

Salvator, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi ke lima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sambudi, Selo. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Ekspor Kopi Arabika Indonesia. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Sawit, Husein. 2006. Indonesia Dalam Tatanan Perubahan Perdagangan Beras Dunia. Jurnal. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Simbolon, John sri Cay. 2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan Pasar Beras Dunia dan Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Sitepu, Rasidin Karo-Karo. 2002. Dampak Kebijakan Perdagangan dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Permintaan dan Penawaran Beras Di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana.

Situmorang, Manris Tua. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Beras Indonesia. Skripsi. Jurusan ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Sumarno, 2006. Adakah Peluang untuk Ekspor Beras Bagi Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sinar tani Edisi 3-9 Mei 2006 No. 3148.

Suryana, Achmad dkk. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEMFEUI.

Tambunan, Tulus T H. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Cetakan 1. Jakarta: Ghalia Indonesia.

97

98

Lampiran 1. Produksi Padi, Produksi Beras, Luas Panen Padi, Konsumsi Beras Domestik, dan Ekspor Beras Tahun 1976-2005 Tahun 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 PPt 23.300.939 23.347.132 25.771.570 26.282.663 29.651.905 32.774.176 33.583.677 35.303.106 38.136.446 39.032.945 39.726.761 40.078.195 41.676.170 44.725.582 45.178.751 44.688.247 48.240.009 48.181.087 46.641.524 49.744.140 51.101.506 49.377.054 49.236.692 50.866.387 51.898.852 50.460.782 51.489.694 52.078.830 54.088.468 54.056.282 PBt 15.844.639 15.876.050 17.524.668 17.872.211 20.163.296 22.286.440 22.836.900 24.006.112 25.932.783 26.542.403 27.014.197 27.253.173 28.339.796 30.413.396 29.366.188 29.047.361 31.356.006 31.317.707 30.316.991 32.333.691 33.215.979 31.107.544 31.019.116 32.045.824 32.696.277 31.790.293 32.438.507 32.809.663 34.075.735 34.055.458 LPt 8.368.759 8.359.569 8.929.169 8.803.564 9.005.065 9.381.839 8.988.455 9.162.469 9.769.580 9.902.293 9.988.453 9.922.594 10.138.155 10.521.207 10.502.419 10.281.519 11.103.317 11.012.776 10.733.830 11.438.764 11.569.729 11.140.594 11.730.325 11.963.204 11.793.475 11.499.997 11.521.166 11.477.357 11.922.974 11.818.913 KBt 15.731.443,45 16.724.960,67 16.976.031,84 18.266.922,24 19.235.251,8 20.067.926,34 21.405.122,91 22.794.867,13 22.671.028,12 23.693.722,82 24.895.415,44 22.338.652,27 26.882.856,39 25.366.786,33 23.079.944,54 25.821.995,12 29.954.735,13 25.318.549,35 26.478.639,77 32.984.720,79 25.854.255,41 27.347.728,83 28.501.481,05 25.140.011,93 23.401.199,54 24.515.474 24.611.977,95 24.687.037,92 25.505.827 25.461.186,84 Xt 0 0 0,40 0 0 0 0 0 10.979 405.120 241.000 119.000 20.000 139.000 18.000 100.000 73.000 564.000 233.000 10 200 60 1.980 2.700 4.671 5.222 11.320 1.234 4.495 44.285

Sumber: Badan Pusat Statistik

Keterangan: PPt PBt LPt KBt Xt = Jumlah Produksi Padi Tahun t (ton) = Jumlah Produksi Beras Tahun t (ton) = Luas Panen Padi (ha) = Konsumsi beras domestik (ton) = Volume Ekspor Beras Tahun t (ton)

99

Lampiran 2. Perkembangan Harga Dasar Gabah, Harga Eceran Beras, Harga Beras Dunia, dan Nilai Tukar Rupiah Tahun 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Keterangan: HGt HEt HDt ERt = Harga dasar gabah (Rp/kg) = Harga beras eceran (Rp/kg) = Harga Beras dunia (US$/ton) = Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar (US$) HGt 68,5 71 75 85 105 120 135 145 165 175 175 190 210 250 270 295 330 340 360 400 450 525 767 1.400 1.500 1.500 1.519 1725 1.725 1.750 HEt 128,48 132,62 140,46 170,31 198,39 226,19 254,92 304,24 330,97 322,07 345,24 386,86 469,2 486,56 525,17 562 603,68 592,25 660,37 776,38 880 1.063,8 2.099,03 2.665,58 2.215 2.449 2.842 2.759 2.795 3.332 HDt 222.5 237.3 335.3 308.5 395.1 417.3 250.9 246.61 235.23 198.14 172.1 202.35 283.23 296.51 254 244.13 235.17 215.63 270.78 304.25 331.8 289.96 275.99 216.21 172.83 152.76 175.13 181.55 225.43 265.43 ERt 421 420 417 632 634 643 692 994 1076 1131 1655 1652 1729 1805 1901 1922 2062 2110 2200 2308 2383 4650 8025 7100 9595 10400 8940 8465 9290 9900

Sumber: Badan Pusat Statistik

100

Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia

Regression Analysis: ln-PBt versus ln-LPt, ln-HGt, ln-PU, ln-CHt


The regression equation is ln-PBt = - 3.45 + 1.27 ln-LPt + 0.104 LN-HGt + 0.169 ln-PU + 0.00155 LNCHt

Predictor Constant ln-LPt ln-HGt ln-PU ln-CHt

Coef -3.451 1.26647 0.10423 0.16919 0.001546

SE Coef 1.283 0.08327 0.01958 0.01346 0.006523

T -2.69 15.21 5.32 12.57 0.24

P 0.013 0.000 0.000 0.000 0.815

VIF 3.0 1.4 2.9 1.0

S = 0.0294955

R-Sq = 98.6%

R-Sq(adj) = 98.4%

PRESS = 0.0437938

R-Sq(pred) = 97.20%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 4 25 29 SS 1.54112 0.02175 1.56287 MS 0.38528 0.00087 F 442.86 P 0.000

Source ln-LPt ln-HGt ln-PU ln-CHt

DF 1 1 1 1

Seq SS 1.39423 0.00950 0.13733 0.00005

Unusual Observations Obs 23 27 30 ln-LPt 16.3 16.3 16.3 ln-PBt 17.2501 17.2949 17.3435 Fit 17.3325 17.2918 17.3555 SE Fit 0.0097 0.0291 0.0254 Residual -0.0824 0.0031 -0.0120 St Resid -2.96R 0.64 X -0.80 X

R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1.66077

101

Lampiran 4. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Analisis Regresi Fungsi Produksi Beras Indonesia

1) Uji Normalitas
P roba bili ty P lot of RES I1
Norma l
99 Me an StD ev N KS P - Value -5 .92 119 E-1 6 0.0 273 8 30 0.12 3 >0.15 0

95 90 80

Perc ent

70 60 50 40 30 20 10 5

-0.100

-0.075

-0.050

-0.025 0.000 RESI1

0.025

0.050

2) Uji Homoscedasticity
Re si dua ls Ve rsu s the Fit ted Val ues
( response is LN-PBt) 0.050 0.025 0.000 Residual -0.025 -0.050 -0.075 -0.100 16.5 16.6 16.7 16.8 16.9 17.0 Fitte d V alue 17.1 17.2 17.3 17.4

102

Lampiran 5. Hasil Analisis Regresi Fungsi Ekspor Beras Indonesia

Regression Analysis: ln-Xt versus ln-PBt, ln-ERt, ln-HEt, ln-CPt


The regression equation is ln-Xt = - 131 + 9.06 ln-PBt + 0.88 ln-ERt - 0.40 ln-HEt - 1.63 ln-CPt

Predictor Constant ln-PBt ln-ERt ln-HEt ln-CPt

Coef -130.97 9.063 0.879 -0.404 -1.6297

SE Coef 96.12 5.529 1.412 2.727 0.3964

T -1.36 1.64 0.62 -0.15 -4.11

P 0.185 0.114 0.539 0.883 0.000

VIF 6.0 8.1 2.1 1.4

S = 2.82753

R-Sq = 71.0%

R-Sq(adj) = 66.3%

PRESS = 262.888

R-Sq(pred) = 61.81%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total DF 4 25 29 SS 488.49 199.87 688.37 MS 122.12 7.99 F 15.28 P 0.000

Source ln-PBt ln-ERt ln-HEt ln-CPt

DF 1 1 1 1

Seq SS 334.28 15.90 3.19 135.11

Unusual Observations Obs 30 ln-PBt 17.3 ln-Xt 10.698 Fit 11.301 SE Fit 2.500 Residual -0.603 St Resid -0.46 X

X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1.69902

103

Lampiran 6. Uji Normalitas dan Uji Homoscedasticity Fungsi Ekspor Beras Indonesia

1) Uji Normalitas

P r oba bil it y P lot o f RE S I1


Norm a l
99 Me an StD ev N KS P - Value 3.0 05 00 4E -1 4 2 .62 6 30 0 .10 0 >0 .15 0

95 90 80

Perc ent

70 60 50 40 30 20 10 5

- 5.0

- 2.5

0.0 RES I1

2.5

5.0

7.5

2) Uji Homoscedasticity
Res idual s Ver sus th e F itted Valu es
( re sponse is ln- Xt) 5.0

2.5 Residual

0.0

-2.5

-5.0 0 5 Fitte d Valu e 10 15

Anda mungkin juga menyukai