Anda di halaman 1dari 149

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA

INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

OLEH:
CITRA PUSPASARI
H14101124

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN

CITRA PUSPASARI. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di


Indonesia (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO).

Dilihat dari sisi demografi, Indonesia dengan populasi penduduk yang


besar saat ini mencapai lebih dari 210 juta jiwa, merupakan pasar yang potensial
bagi produk mi instan. Peluang pasar industri mi instan masih cukup besar terlihat
dari kapasitas produksi mi instan dari perusahaan yang telah beroperasi pada
tahun 2003 mencapai 1,7 juta ton. Hasil riset pada tahun 2004 menunjukkan
bahwa dari sisi konsumsi, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi mi
instan per kapita (56-57 bungkus) per tahun terbesar ketiga di dunia setelah Korea
dan Jepang sedangkan di dunia Indonesia merupakan negara produsen mi instan
terbesar kedua setelah Cina dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10 persen dari
tahun 1999 sampai tahun 2000. Potensi pasar mi instan yang ada pada tahun 1999
sampai dengan 2003 sebenarnya mencapai 2,5 juta ton sampai dengan 2,6 juta ton
dengan penyerapan mi instan rata-rata baru sebesar 34,4 persen.Volume ekspor
terus meningkat dengan laju perubahan sebesar 15,5 persen per tahun dan 16,2
persen untuk nilai ekspornya. Volume impor juga meningkat 40 persen per tahun
dan 31,1 persen untuk nilai impornya.
Persaingan yang semakin ketat membuat produsen mi instan melakukan
persaingan yang tidak sehat. Adanya dugaan praktek monopoli seperti penguasaan
bahan baku mi instan yang dilakukan oleh Indofood melalui PT Bogasari Flour
Mills akan menghambat pertumbuhan industri kecil. Adanya kebijakan impor
tepung terigu sebagai bahan baku pembuatan mi secara tidak langsung
mempengaruhi keberadaan produsen mi instan di Indonesia. Apalagi setelah krisis
moneter menyebabkan nilai mata uang rupiah terdepresiasi yang berdampak pada
harga tepung terigu dalam negeri karena kebutuhan tepung terigu dalam negeri
sebagian besar masih dipenuhi melalui impor. Dengan harga bahan baku dan
biaya produksi yang meningkat mengharuskan produsen meningkatkan harga mi
instan untuk meminimalkan kerugian.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur,
perilaku dan kinerja industri mi instan di Indonesia serta menganalisis implikasi
kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Peneltian ini juga bertujuan untuk menganalisis hubungan antar struktur dengan
kinerja.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data-data
tersebut di antaranya diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), PT Capricorn
Indonesia Consult Inc. (CIC), Corinthian Infopharma Corpora (CIC), Departemen
Perindustrian (Depperin) dan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) Institut
Pertanian Bogor. Pengumpulan data juga dilakukan dengan mengambil data-data
dari buku, kliping, jurnal ekonomi, laporan-laporan penelitian industri tepung
terigu dengan studi kasus industri mi instan melalui penelitian kepustakaan serta
data elektronik melalui internet. Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan
bantuan software E-Views 4.1 dan menggunakan metode analisis Ordinary Least
Square (OLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi empat perusahaan
terbesar (CR4) dan ekspor memberikan pengaruh yang negatif terhadap Price Cost
Margin (PCM). Kedua variabel tersebut berpengaruh negatif karena jika pada saat
krisis moneter menjual produk dengan harga yang murah akan menurunkan
keuntungan namun volume penjualannya meningkat dan bahan baku yang
digunakan masih tergantung oleh impor dimana impor dinilai dengan dolar.
Sedangkan ekspor juga dinilai dengan dolar dan adanya biaya-biaya seperti pajak
ekspor yang tinggi serta regulasi dalam negeri yang sulit menyebabkan biaya
produksi mi instan dengan harga jual mi instan yang diekspor sama sehingga tidak
berpengaruh terhadap keuntungan. Variabel impor berpengaruh negatif namun
tidak signifikan karena adanya politik dumping dengan menetapkan tarif masuk
barang yang tinggi. Sedangkan efisiensi-X, produktivitas, produktivitas periode
sebelumnya dan pertumbuhan memberikan berpengaruh positif terhadap PCM
disebabkan suatu perusahaan memproduksi sebuah produk dengan sumber daya
yang lebih sedikit sehingga perusahaan lebih efisien untuk meningkatkan
kapasitas produksi.
Berdasarkan data-data yang telah diolah, struktur pasar yang terjadi di
industri mi instan termasuk ke dalam struktur pasar oligopoli ketat. Rata-rata CR4
yang diperoleh pada periode penelitian yaitu sebesar 51,71 persen. Nilai Minimum
Efficient Scale (MES) sebesar 25,58 persen. MES yang lebih besar dari 10 persen
menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan pada
industri mi instan (struktur-perilaku-kinerja) yaitu dengan mengeluarkan
kebijakan impor bahan baku mi instan. Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh
pemerintah yaitu dengan mengeluarkan kebijakan dalam investasi, ekspor, impor
dan dalam bidang pengawasan bahan baku dan produksi. Kebijakan-kebijakan itu
dilakukan agar industri mi instan di Indonesia berjalan secara sehat mengingat
persaingan dalam industri mi instan sangat ketat.
ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA
INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

Oleh
CITRA PUSPASARI
H14101124

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH


BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2006

Citra Puspasari
H14101124
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Citra Puspasari lahir pada tanggal 12 Oktober 1983 di


Jepara. Penulis anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Supomo dan Aisah.
Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan Sekolah
Dasar Jatingaleh Dalam I Semarang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5
Semarang dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di
SMUN 4 Semarang dan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2001 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi
pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan
mengembangkan pola pikir sehingga dapat menjadi sumber daya yang berguna.
Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
skripsi ini adalah “Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di
Indonesia”. Industri mi instan merupakan topik yang sangat menarik karena
industri tersebut mempunyai persaingan yang ketat dalam pasar dan merupakan
salah satu industri makanan yang dalam waktu relatif cepat dapat menghadapi
dampak dari krisis ekonomi. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama
kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, yang telah memberikan bimbingan baik
secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr., yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran
dan kritikan Beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan
skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Toni
Irawan, S.E., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun
demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya
merupakan tanggung jawab penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang
tua penulis, yaitu Bapak Supomo dan Ibu Aisah serta Kakak penulis atas
kesabaran, nasehat, doa dan dorongan semangat yang diberikan bagi penulis,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Thaufiq Abadi atas
bantuannya selama penyusunan skripsi ini dalam memberikan dorongan semangat
bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua peserta Seminar Hasil
Penelitian yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membantu penulis
dalam melakukan perbaikan penyusunan skripsi ini. Semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2006

Citra Puspasari
H14101124
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 13
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................ 14
2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri ................................................... 14
2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja ........................................... 15
2.2.1. Struktur Pasar ..................................................................... 21
2.2.2. Perilaku Pasar ...................................................................... 31
2.2.3. Kinerja Pasar ....................................................................... 33
2.3. Defenisi Mi Instan ......................................................................... 35
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...................................................... 38
2.5. Kerangka Pemikiran....................................................................... 40
2.6. Hipotesis......................................................................................... 42
III. METODE PENELITIAN....................................................................... 44
3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 44
3.2. Metode Analisis ............................................................................. 45
3.2.1. Analisis Struktur Pasar (Market Structure).......................... 45
3.2.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) ........................................ 48
3.2.3. Kinerja Pasar (Market Performance) ................................... 49
3.2.4. Hubungan Struktur dan Kinerja ........................................... 49
3.3. Analisis Time Series (Runtun Waktu) ........................................... 53
3.3.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) ............................................ 53
ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA
INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

OLEH:
CITRA PUSPASARI
H14101124

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN

CITRA PUSPASARI. Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di


Indonesia (dibimbing oleh ARIEF DARYANTO).

Dilihat dari sisi demografi, Indonesia dengan populasi penduduk yang


besar saat ini mencapai lebih dari 210 juta jiwa, merupakan pasar yang potensial
bagi produk mi instan. Peluang pasar industri mi instan masih cukup besar terlihat
dari kapasitas produksi mi instan dari perusahaan yang telah beroperasi pada
tahun 2003 mencapai 1,7 juta ton. Hasil riset pada tahun 2004 menunjukkan
bahwa dari sisi konsumsi, Indonesia merupakan negara dengan konsumsi mi
instan per kapita (56-57 bungkus) per tahun terbesar ketiga di dunia setelah Korea
dan Jepang sedangkan di dunia Indonesia merupakan negara produsen mi instan
terbesar kedua setelah Cina dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10 persen dari
tahun 1999 sampai tahun 2000. Potensi pasar mi instan yang ada pada tahun 1999
sampai dengan 2003 sebenarnya mencapai 2,5 juta ton sampai dengan 2,6 juta ton
dengan penyerapan mi instan rata-rata baru sebesar 34,4 persen.Volume ekspor
terus meningkat dengan laju perubahan sebesar 15,5 persen per tahun dan 16,2
persen untuk nilai ekspornya. Volume impor juga meningkat 40 persen per tahun
dan 31,1 persen untuk nilai impornya.
Persaingan yang semakin ketat membuat produsen mi instan melakukan
persaingan yang tidak sehat. Adanya dugaan praktek monopoli seperti penguasaan
bahan baku mi instan yang dilakukan oleh Indofood melalui PT Bogasari Flour
Mills akan menghambat pertumbuhan industri kecil. Adanya kebijakan impor
tepung terigu sebagai bahan baku pembuatan mi secara tidak langsung
mempengaruhi keberadaan produsen mi instan di Indonesia. Apalagi setelah krisis
moneter menyebabkan nilai mata uang rupiah terdepresiasi yang berdampak pada
harga tepung terigu dalam negeri karena kebutuhan tepung terigu dalam negeri
sebagian besar masih dipenuhi melalui impor. Dengan harga bahan baku dan
biaya produksi yang meningkat mengharuskan produsen meningkatkan harga mi
instan untuk meminimalkan kerugian.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur,
perilaku dan kinerja industri mi instan di Indonesia serta menganalisis implikasi
kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Peneltian ini juga bertujuan untuk menganalisis hubungan antar struktur dengan
kinerja.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data-data
tersebut di antaranya diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), PT Capricorn
Indonesia Consult Inc. (CIC), Corinthian Infopharma Corpora (CIC), Departemen
Perindustrian (Depperin) dan Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) Institut
Pertanian Bogor. Pengumpulan data juga dilakukan dengan mengambil data-data
dari buku, kliping, jurnal ekonomi, laporan-laporan penelitian industri tepung
terigu dengan studi kasus industri mi instan melalui penelitian kepustakaan serta
data elektronik melalui internet. Selanjutnya data-data tersebut diolah dengan
bantuan software E-Views 4.1 dan menggunakan metode analisis Ordinary Least
Square (OLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi empat perusahaan
terbesar (CR4) dan ekspor memberikan pengaruh yang negatif terhadap Price Cost
Margin (PCM). Kedua variabel tersebut berpengaruh negatif karena jika pada saat
krisis moneter menjual produk dengan harga yang murah akan menurunkan
keuntungan namun volume penjualannya meningkat dan bahan baku yang
digunakan masih tergantung oleh impor dimana impor dinilai dengan dolar.
Sedangkan ekspor juga dinilai dengan dolar dan adanya biaya-biaya seperti pajak
ekspor yang tinggi serta regulasi dalam negeri yang sulit menyebabkan biaya
produksi mi instan dengan harga jual mi instan yang diekspor sama sehingga tidak
berpengaruh terhadap keuntungan. Variabel impor berpengaruh negatif namun
tidak signifikan karena adanya politik dumping dengan menetapkan tarif masuk
barang yang tinggi. Sedangkan efisiensi-X, produktivitas, produktivitas periode
sebelumnya dan pertumbuhan memberikan berpengaruh positif terhadap PCM
disebabkan suatu perusahaan memproduksi sebuah produk dengan sumber daya
yang lebih sedikit sehingga perusahaan lebih efisien untuk meningkatkan
kapasitas produksi.
Berdasarkan data-data yang telah diolah, struktur pasar yang terjadi di
industri mi instan termasuk ke dalam struktur pasar oligopoli ketat. Rata-rata CR4
yang diperoleh pada periode penelitian yaitu sebesar 51,71 persen. Nilai Minimum
Efficient Scale (MES) sebesar 25,58 persen. MES yang lebih besar dari 10 persen
menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan pada
industri mi instan (struktur-perilaku-kinerja) yaitu dengan mengeluarkan
kebijakan impor bahan baku mi instan. Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh
pemerintah yaitu dengan mengeluarkan kebijakan dalam investasi, ekspor, impor
dan dalam bidang pengawasan bahan baku dan produksi. Kebijakan-kebijakan itu
dilakukan agar industri mi instan di Indonesia berjalan secara sehat mengingat
persaingan dalam industri mi instan sangat ketat.
ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA
INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

Oleh
CITRA PUSPASARI
H14101124

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH


BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juni 2006

Citra Puspasari
H14101124
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Citra Puspasari lahir pada tanggal 12 Oktober 1983 di


Jepara. Penulis anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Supomo dan Aisah.
Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan Sekolah
Dasar Jatingaleh Dalam I Semarang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5
Semarang dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di
SMUN 4 Semarang dan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2001 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi
pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan
mengembangkan pola pikir sehingga dapat menjadi sumber daya yang berguna.
Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (UMPTN) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
skripsi ini adalah “Analisis Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan Di
Indonesia”. Industri mi instan merupakan topik yang sangat menarik karena
industri tersebut mempunyai persaingan yang ketat dalam pasar dan merupakan
salah satu industri makanan yang dalam waktu relatif cepat dapat menghadapi
dampak dari krisis ekonomi. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama
kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, yang telah memberikan bimbingan baik
secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Ibu
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr., yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran
dan kritikan Beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan
skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Toni
Irawan, S.E., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun
demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya
merupakan tanggung jawab penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang
tua penulis, yaitu Bapak Supomo dan Ibu Aisah serta Kakak penulis atas
kesabaran, nasehat, doa dan dorongan semangat yang diberikan bagi penulis,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Saudara Thaufiq Abadi atas
bantuannya selama penyusunan skripsi ini dalam memberikan dorongan semangat
bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua peserta Seminar Hasil
Penelitian yang telah memberikan saran dan kritik yang sangat membantu penulis
dalam melakukan perbaikan penyusunan skripsi ini. Semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2006

Citra Puspasari
H14101124
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 13
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................ 14
2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri ................................................... 14
2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja ........................................... 15
2.2.1. Struktur Pasar ..................................................................... 21
2.2.2. Perilaku Pasar ...................................................................... 31
2.2.3. Kinerja Pasar ....................................................................... 33
2.3. Defenisi Mi Instan ......................................................................... 35
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...................................................... 38
2.5. Kerangka Pemikiran....................................................................... 40
2.6. Hipotesis......................................................................................... 42
III. METODE PENELITIAN....................................................................... 44
3.1. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 44
3.2. Metode Analisis ............................................................................. 45
3.2.1. Analisis Struktur Pasar (Market Structure).......................... 45
3.2.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) ........................................ 48
3.2.3. Kinerja Pasar (Market Performance) ................................... 49
3.2.4. Hubungan Struktur dan Kinerja ........................................... 49
3.3. Analisis Time Series (Runtun Waktu) ........................................... 53
3.3.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) ............................................ 53
3.4. OLS (Ordinary Least Square)........................................................ 55
3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika .................................................... 57
IV. GAMBARAN INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA .................... 62
4.1. Sejarah Perkembangan ................................................................... 62
4.1.1. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Dunia.......................... 62
4.1.2. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Jepang ........................ 64
4.1.3. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Indonesia.................... 66
4.2. Gambaran Umum Industri Mi Instan ............................................. 66
4.2.1. Modal Asing Dalam Industri Mi Instan ............................... 69
4.2.2. Profil Perusahaan Mi Instan ................................................. 72
4.3. Saluran Distribusi Industri Mi Instan............................................. 78
V. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 80
5.1. Struktur Pasar ................................................................................. 80
5.1.1. Konsentrasi Pasar ................................................................. 82
5.1.2. Hambatan Masuk Pasar........................................................ 83
5.2. Perilaku Pasar................................................................................. 85
5.2.1. Strategi Harga....................................................................... 85
5.2.2. Strategi Produk..................................................................... 86
5.2.3. Strategi Promosi ................................................................... 88
5.3. Kinerja Pasar .................................................................................. 90
5.4. Hubungan Struktur Dan Kinerja .................................................... 91
5.5. Implikasi Kebijakan ...................................................................... 96
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 100
6.1. Kesimpulan .................................................................................... 100
6.2. Saran .............................................................................................. 102
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 106
LAMPIRAN .................................................................................................... 107
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1.1. Urutan Negara Produsen Mi Instan di Dunia, Tahun 1999-2000 ............. 3


1.2. Konsumsi dan Potensi Pasar Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003 ........... 3
1.3. Perkembangan Produksi Mi Instan Indonesia Tahun 1999 sampai
Tahun 2003 ............................................................................................... 5
1.4. Produksi Mi Instan Menurut Produsen Tahun 2000 ................................. 5
1.5. Ukuran Pasar dan Nilai Pasar Mi Instan Tahun 2003 ............................... 6
1.6. Ekspor dan Impor Mi Instan Tahun 1999 sampai Tahun 2003................. 7
1.7. Kinerja Produksi Mi Instan Nasional Tahun 2002.................................... 9
2.1. Tipe-Tipe Struktur Pasar ........................................................................... 22
2.2. Tipe-tipe Pasar........................................................................................... 23
2.3. Pengukuran-Pengukuran Konsentrasi Perusahaan .................................... 26
2.4. Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk dari Tahun 1995 Sampai
Tahun 2003 ............................................................................................... 43
4.1. Kapasitas Produksi Produsen Mi Instan Aktif Tahun 2004 ...................... 72
4.2. Modal Asing dalam Bisnis Mi Instan di Indonesia Tahun 2004............... 74
4.3. Perusahaan Yang Sudah Mendapat Ijin Produksi Mi Instan
Tahun 2004 ............................................................................................... 75
5.1. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Mi Instan di
Indonesia .................................................................................................. 98
5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen ............................................... 99
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
2.1. Pendekatan Tradisional Structure Conduct Performance (S-C-P) ........... 19
2.2. Paradigma Structure Conduct Performance (S-C-P)................................ 20
2.3. Klasifikasi Berdasarkan Wadah, Pengemasan, Rasa dan Pembuatan....... 38
2.4. Skema Alur Pemikiran Konseptual........................................................... 45
4.1. Saluran Distribusi Industri Mi Instan ....................................................... 84
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Nilai CR1 dan CR4 Industri Mi Instan di Indonesia (1986-2003) ................ 114
2. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Mi Instan Indonesia
(1986-2003).................................................................................................. 115
3. Price-Cost-Margin Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003).................... 116
4. Nilai Efisiensi-X Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) ....................... 117
5. Ekspor dan Impor Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) ..................... 118
6. Nilai Produktivitas Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003) .................... 119
7. Trend Permintaan Mi Instan Dunia.............................................................. 120
8. Hasil Estimasi Regresi Industri Mi Instan ................................................... 121
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mi instan telah menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian masyarakat

Indonesia. Kenaikan konsumsi mi instan yang juga sebagai salah satu sumber

karbohidrat disebabkan karena selera masyarakat terhadap pangan berubah seiring

dengan semakin maraknya jenis pangan olahan yang siap saji dan praktis, serta

dapat diperoleh dengan mudah. Perubahan gaya hidup masyarakat juga

berpengaruh pula pada gaya makan.

Selain itu tingginya konsumsi mi instan dikarenakan produk mi instan

yang dihasilkan sangat beragam dan promosinya juga kuat. Banyak ragam jenis

dan cara memasak dari mi. Produk mi dapat dengan cepat diolah, disajikan dan

dengan kemasan yang bagus serta variasi harga yang memungkinkan masyarakat

untuk melakukan pilihan-pilihan produk mi sesuai dengan kemampuan.

Konsumen produk mi juga meliputi semua golongan, tidak hanya golongan atas

tetapi juga menengah dan bawah. Selain itu mi instan juga mudah dijumpai

diberbagai tempat tidak hanya di swalayan tetapi juga di pasar tradisional atau

warung kecil di pedesaan.

Di lihat dari sisi demografi, Indonesia dengan populasi penduduk yang

besar saat ini mencapai lebih dari 210 juta jiwa, merupakan pasar yang potensial

bagi produk mi instan. Namun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk

tersebut, konsumsi mi instan per kapitanya masih rendah di kisaran 1 bungkus per
minggu. Hal ini yang menyebabkan banyak produsen yang menganggap peluang

pasar industri mi instan masih cukup terbuka lebar dan menjanjikan.

Dari sisi bahan baku, meskipun bahan baku industri mi instan masih

dikuasai oleh Indofood melalui PT Bogasari Flour Mills dan semua segmen

pasarnya dibuat dari harga rendah hingga premium, namun pemain baru dalam

industri ini terus bermunculan mencari celah-celah pasar yang ada. Selain itu

kondisi perekonomian Indonesia yang mulai membaik turut mendorong

menciptakan pasar yang menjanjikan, bahkan kini banyak produsen giat

mempromosikan produk mi instannya.

Industri mi instan berkembang pesat hingga mencapai 20 produsen dengan

31 pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia dengan dua ratus merek lebih dan

kapasitas produksi mencapai 13,5 milyar bungkus per tahun, naik 29 persen dari

tahun 1995 yang baru 10,5 milyar bungkus per tahun. Kapasitas produksi ini

diperkirakan akan meningkat sejalan dengan beroperasinya beberapa pabrik baru

yang sedang dibangun saat ini.

Pada tahun 2004 ditunjukkan bahwa dari sisi konsumsi, Indonesia

merupakan negara dengan konsumsi mi instan per kapita (56-57 bungkus) per

tahun terbesar ketiga di dunia setelah Korea dan Jepang yang konsumsi mi instan

mencapai 100 bungkus per kapita per tahun. Indonesia merupakan negara

produsen mi instan terbesar kedua setelah Cina dengan tingkat pertumbuhan

sebesar 10 persen dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2000. Urutan negara

produsen mi instan di dunia dapat dilihat pada Tabel 1.1.


Tabel 1.1. Urutan Negara Produsen Mi Instan di Dunia, Tahun 1999-2000
Produksi 1999 Produksi 2000 Pertumbuhan
No Negara
(Juta Bungkus) (Juta Bungkus) (Persen)
1. Cina 29060 31966 10.00
2. Indonesia 11000 12100 10.00
2. Jepang 7150 7685 7.48
4. Korea Selatan 3635 3999 10.01
5. Thailand 1520 1672 10.00
Sumber : Capricorn Indonesia Consult, 2002

Total konsumsi mi instan di Indonesia selama periode 1999 sampai 2003

meningkat dengan laju perubahan rata-rata 10,7 persen per tahun dari 718 ribu ton

atau sekitar 9 milyar bungkus pada tahun 1999 menjadi 1,1 juta ton atau sekitar

13,5 milyar bungkus pada tahun 2003. Jika diasumsikan semua penduduk

mengkonsumsi mi instan rata-rata dalam seminggu tiga bungkus seukuran 80

gram atau setara dengan 12,48 kg per tahun, berarti potensi pasar mi instan yang

ada pada tahun 1999 sampai dengan 2003 sebenarnya mencapai 2,5 juta ton

sampai dengan 2,6 juta ton. Berarti penyerapan mi instan selama kurun waktu

tersebut rata-rata baru sebesar 34,4 persen. Hal ini masih jauh dibandingkan Korea

Selatan dan Jepang yang tingkat konsumsinya mencapai 100 bungkus per kapita

per tahun. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.2. Konsumsi Mi Instan di

Indonesia.

Tabel 1.2. Konsumsi dan Potensi Pasar Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003
Tahun Konsumsi Peluang pasar
1999 718017.7 2507878.6
2000 803688.7 2533755.9
2001 871429.3 2560812.4
2002 951956.3 2589504.7
2003 1077334.8 2622021.3
Potensi mi instan (%) 34.4 65.6
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
Produksi mi instan juga mengalami peningkatan pesat sejalan dengan

meningkatnya permintaan dan konsumsi masyarakat. Selama periode tersebut laju

peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yaitu sebesar 13,6 persen. Hal ini

terjadi karena pada tahun 1996 produk mi instan merupakan makanan yang sangat

populer di Indonesia yang ditandai dengan semakin banyaknya produsen-

produsen baru yang masuk ke dalam industri mi instan (Capricorn Indonesia

Consult, 2002).

Hingga akhir tahun 2003, tercatat 31 perusahaan yang aktif masuk dalam

industri mi instan dengan kapasitas produksi sekitar 1,7 juta ton atau sekitar 23,7

milyar bungkus. Sementara 17 perusahaan lagi sudah keluar dari persaingan dan

13 perusahaan lagi bersiap masuk ke industri ini. Dari 31 perusahaan tersebut, 5

perusahaan diantaranya mendapat fasilitas penanaman modal asing (PMA), yaitu

PT ABC President Enterprises Indonesia, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT I

Tsun Food Indonesia, PT Jakaranatama Food Industry dan PT Nissin Mas.

Selama periode 1999 sampai 2003, produksi mi instan secara umum meningkat

dengan laju perubahan rata-rata 10,8 persen per tahun. Pada tahun 1999

produksinya baru mencapai 730 ribu ton atau sekitar 10,4 milyar bungkus yang

terus meningkat seiring meningkatnya permintaan dan pada tahun 2003

produksinya menjadi 1,1 juta ton atau sekitar 15 milyar bungkus. Dilihat dari

tingkat pemanfaatan kapasitas yang ada (utility) pada tahun 2003 baru mencapai

64,1 persen. Pada 2003, kenaikan produksi tersebut erat kaitannya dengan

bermunculannya merek-merek baru mi instan di pasar yang dengan terus-menerus

mengiklankan di layar televisi. Selain itu kenaikan produksi juga disebabkan oleh
peningkatan realisasi produksi beberapa produsen yang mulai meningkatkan

usahanya. Produksi mi instan di Indonesia tahun 1999 sampai 2003 dapat dilihat

pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3. Perkembangan Produksi Mi Instan Indonesia Tahun 1999 sampai 2003
Tahun Produksi
1999 730002.2
2000 817149.7
2001 886717.4
2002 969988.4
2003 1097855.4
utility (%) 64.1
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Berdasarkan pangsa pasarnya produksi mi instan di Indonesia saat ini

masih dikuasai oleh PT Indofood Sukses Makmur. Pangsa pasar Indomie pada

tahun 2003 mencapai 325,2 ribu ton atau sekitar 30,2 persen dari total pasar

sebesar 1,1 juta ton (Corinthian Infopharma Corpora, 2004). Produksi mi instan

Indonesia menurut produsen pada tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4. Produksi Mi Instan Menurut Produsen, 2000


Produksi Ekivalent Share
Nama Perusahaan
(Ton) (Juta Bungkus) (Persen)
PT Indofood Sukses Makmur Tbk. 695152.9 9930.8 85.1
PT ABC President Enterprises 31260.9 446.6 3.8
Indonesia
PT Jakaranatama Food Industry 20981.1 299.7 2.6
PT Supmi Sakti/ Nestle Indonesia 15374.4 219.6 1.9
PT Nissin Mas 12576.0 179.7 1.5
PT Sentrafood Indonusa Corp. 11600.0 165.7 1.0
PT Sentraboga Inti Selera 8320.0 118.9 1.0
PT Saritama Tunggal 7737.7 105.3 0.9
PT Dellifood Sentosa Corp. 8926.7 99.0 0.8
PT Serena Indopangan Industri 2400.0 34.3 0.3
Produsen lainnya 5184.0 74.1 0.6
Total 819149.7 11673.7 99.9
Sumber : Capricorn Indonesia Corpora, 2002
Dengan semakin banyaknya pemain baru dalam industri mi instan maka

Indofood sudah mulai menurun pangsa pasarnya, walaupun Indofood masih tetap

pemegang pangsa pangsa pasar mi instan tertinggi yaitu 75 persen yang pada

tahun 2002 mencapai hingga 88 persen. Ukuran pasar dan nilai pasar mi instan

2003 dapat dilihat pada Tabel 1.5.

Tabel 1.5. Ukuran Pasar dan Nilai Pasar Mi Instan, 2003


Ukuran Ekivalen
Peranan Nilai Pasar Peranan
No Merek Pasar (Juta
(Persen) (Rp. Juta) (Persen)
(Ton) Bungkus)
1. Indomie 325220.7 4028.0 30.2 3959201.6 35.7
2. Sarimi 178731.7 2239.4 16.6 1638949.0 14.8
3. Supermi 101704.8 1367.0 9.4 996766.8 9.0
4. Sakura 70860.0 1181.0 6.6 541419.5 4.9
5. Gaga 100 44012.2 440.1 4.1 444522.9 4.0
6. ABC 43718.8 619.9 4.1 522102.1 4.7
7. Salam mi 36679.9 501.9 3.4 386759.6 3.5
8. Mi sedap 28384.5 362.4 2.6 248176.5 2.2
9. Alhami 14541.8 172.1 1.3 126085.5 1.1
10. Selera Rakyat 13226.2 225.1 1.2 129899.9 1.2
11. Nissin mi 12606.9 191.6 1.2 119921.2 1.1
12. Gaga mi 11575.2 192.9 1.1 118336.0 1.1
13. Lainnya 196072.2 3136.7 18.2 1871905.2 16.9
Total 1077334.8 14658.2 100.0 11104045.8 100.0
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Dari segi pemasaran, meskipun masih kecil jika dibandingkan dengan

produksinya, namun secara rata-rata volume ekspor terus meningkat dengan laju

perubahan sebesar 15,5 persen per tahun dan 16,2 persen per tahun untuk nilai

ekspornya. Demikian pula pada sisi impor, meskipun volumenya masih sangat

kecil, namun secara rata-rata volume impor selama periode tersebut meningkat 40

persen per tahun dan nilai impornya meningkat 31,1 persen per tahun. Ekspor dan

impor mi instan tahun 1999 sampai 2003 akan ditunjukkan pada Tabel 1.6.
Tabel 1.6. Ekspor dan Impor Mi Instan Tahun 1999 sampai 2003
Ekspor Impor
Tahun
Volume Nilai Volume Nilai
(Ton) (Ribu US$) (Ton) (Ribu US$)
1999 12514 9350.8 532 453.7
2000 14514 10453.8 1053 797.1
2001 16620 12569.6 1332 963.5
2002 19949 14352.8 1917 1313.0
2003 22273 17018.8 1752 1201.9
Perubahan (%) 16 16.2 40 31.1
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan rumah tangga dengan kesadaran

gizi dan penganekaragaman makanan yang ditunjang oleh keadaan ekonomi yang

semakin membaik serta berkembangnya bisnis di bidang produk mi instan

merupakan keadaan yang mendukung kondisi permintaan di pasar domestik.

Selain itu adanya orientasi ekspor ke pasar luar negeri telah mampu menciptakan

lahan investasi yang lebih terbuka lebar untuk industri pengolahan mi instan,

termasuk perluasan dan modernisasi industri-industri yang sudah ada.

1.2. Perumusan Masalah

Industri mi instan adalah salah satu dari banyak industri berorientasi pasar

domestik yang menunjukkan loncatan yang tajam dalam konsentrasi pasar yang

dapat menjadi indikasi adanya tindakan anti persaingan. Tahun 1975 industri mi

mempunyai rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar 44 persen, tetapi

meningkat menjadi 75 persen pada tahun 1985 dan menjadi 96 persen pada tahun

1995.

PT Sarimi Asli dimiliki oleh Salim Group, yang melalui PT Bogasari

Flour Mills mendapatkan monopoli penggilingan gandum, bahan baku utama

industri mi instan. Pada pertengahan tahun 1980-an, Salim Group lewat PT


Indofood mengambil alih PT Sanmaru dan kemudian PT Supermi. Sejak saat itu

PT Indofood telah menjadi penghasil mi instan terbesar di Indonesia. PT Indofood

kemudian mengalihkan distribusi dari seluruh produknya dari distributor

independen ke Indomarco, suatu perusahaan distribusi milik Salim Group.

Sebelum deregulasi pasar terigu, semua penghasil mi yang membeli terigu

dari Bulog, termasuk group Salim harus membayar harga yang sama. Karena

group Salim mendapat keuntungan dari penjualannya ke Bulog, maka perusahaan

tersebut telah memiliki bahan baku utamanya, yaitu tepung terigu dengan harga

yang lebih rendah. Makin banyak terigu yang digunakan Indofood maka makin

banyak gandum yang dapat diimpor dan diproses oleh Bogasari secara

menguntungkan. Keunggulan biaya group Salim telah memungkinkannya menjual

mi lebih banyak dengan menurunkan harga dan menambah penjualan (Laporan

Kebijakan Persaingan Indonesia, 1999).

Bila dilihat dari siapa produsen mi instan pasti sudah bisa terlihat bahwa

Indofood group sebagai penguasa industri mi instan. Indofood Group merupakan

sub group dari Salim Group yang memerger 18 perusahaan makanan olahan

sebagai divisi dari Salim Group. Sedangkan perusahaan pesaingnya diantaranya

adalah PT ABC President, PT Jakaranatama, PT Nissin Mas, PT Artha Millenia,

dan PT Delly Food. Total kapasitas produksi secara nasional pada tahun 2002

adalah sebesar 950.600 ton dan ternyata mi instan bermerek Indomie mampu

diproduksi sebesar 4,3 milyar bungkus dari 9,5 milyar bungkus total produksi mi

instan atau sekitar 45 persen total produksi.


Munculnya produsen baru mi instan akan membuat persaingan akan

menjadi semakin kompetitif antar perusahaan. Hingga tahun 2003, tercatat 31

perusahaan yang aktif bersaing dalam industri mi instan dengan kapasitas

produksi sekitar 1,7 ribu ton atau 23,7 milyar bungkus. Sementara 17 perusahaan

lagi sudah keluar dari persaingan dan 13 perusahaan lagi yang bersiap untuk

masuk industri mi instan. Dari sini terlihat bahwa dalam industri mi instan

persaingan semakin ketat dan apabila perusahan tersebut tidak dapat

mempertahankan kinerjanya maka perusahaan itu akan tersisih karena kalah

bersaing dengan perusahaan lain yang lebih berkembang. Kinerja produksi mi

instan nasional tahun 2002 dapat disajikan pada Tabel 1.7.

Tabel 1.7. Kinerja Produksi Mi Instan Nasional, 2002


Kinerja Produksi Mi Instan Nasional 2002 (Ton)
Perusahaan Kelompok Merek Kapasitas
PT Indofood Indofood Indomie,Supermi, Sakura, 782000
Sukses Makmur Super Cup, 3 Ayam, Pop
Bihun, Pazto, Chatz Mie, My
Noodlelez
PT Myojoprima Indofood Myojo
Lestari
PT Jakaranatama Wicaksana Michiyo, Gaga Mi 100, Gaga 33600
Mi Soto
PT Nissin Mas Roda Mas Nissin Mas, Doraemon, Cup 31000
Newdless
PT ABC President ABC ABC, President, Top Rame 48000
PT Artha Millenia Orang Tua Happy Mie 47500
PT Nestle Nestle Maggi 10000
Indonesia
PT Delly Food SC Miduo, Mi Gelas, Roma 40000
PT Sentra Food IC. Medco Salam Mie 36000
PT Asia Inti Selera Mikita, Ayam 2 Telor 46200
Sumber : Capricorn Indonesia Consult, 2002

Kinerja pasar dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar. Kinerja yang

baik terutama mencakup harga yang rendah, efisiensi, inovasi dan keadilan. Pada
umumnya konsentrasi industri yang terjadi di negara-negara maju disebabkan oleh

kekuatan untuk menguasai pasar. Meskipun salah satu dari perusahaan tersebut

menguasai (untuk beberapa waktu) sebagian pasar, yang lain akan segera

mengejar kembali dan menyeimbangkan modal serta keuntungan. Persaingan

keras seperti ini yang berlangsung terus menerus akan mengendalikan usaha

perusahaan dan memaksa harga turun mendekati tingkat biayanya, hal ini yang

terjadi di dalam industri mi instan.

Produksi aktual mi instan di Indonesia selama lima tahun belakangan ini

mengalami peningkatan dengan laju perubahan rata-rata 10,8 persen per tahun.

Pada 1999, produksi sebesar 730 ribu ton dan meningkat menjadi 1,1 juta ton

pada 2003. Selama periode tersebut laju peningkatan tertinggi terjadi pada 2003,

yang meningkat 13,2 persen dibanding tahun sebelumnya. Lonjakan produksi

tersebut erat kaitannya dengan bermunculannya merek-merek baru mi instan di

pasar. Dalam industri mi instan untuk mempertahankan produknya maka

perusahaan akan melakukan promosi-promosi dengan pemberian hadiah atau

diskon, namun hal itu ternyata dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat

pada industri mi instan nasional. Pemberian hadiah atau diskon yang semakin

tidak realistis akan menyebabkan produsen mi instan harus mensubsidi harga mi

instan agar tetap terjangkau oleh masyarakat dengan menjual mi di bawah harga,

karena harga mi instan tidak pernah mengalami kenaikan secara signifikan.

Sedangkan, kenaikan harga bahan baku mi instan lebih tinggi dan lebih cepat

dibandingkan kenaikan harga produk mi instan.


Di negara berkembang konsentrasi terjadi karena kekuasaan pemerintah

dalam perencanaan ekonomi, kebijakan impor, proteksi yang berlebihan dan

fasilitas lisensi. Semakin banyaknya industri mi instan saat ini, kemungkinan

terjadinya persaingan yang tidak sehat yang menyebabkan industri mi instan yang

mungkin memiliki pangsa pasar yang lebih kecil tidak dapat memasuki pasar

karena perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang lebih besar melakukan

kecurangan. Kecurangan itu dapat berupa persengkokolan dalam menetapkan

harga atau melakukan perang tarif sehingga akan menghambat perusahaan lain

untuk masuk pasar. Pada tahun 2003 baik Departemen Keuangan maupun Badan

Pusat Statistik (BPS) belum memberi kejelasan mengenai penetapan dan

pembagian tarif bea masuk bagi mi instan. Namun pada 2004 Dirjen Bea dan

Cukai serta Departemen Keuangan telah menerbitkan tarif bea masuk bagi

industri mi instan, sehingga ada kejelasan agar penetapan tarif dapat berjalan adil

sesuai pembagian kelompok komoditinya dan tidak ada penyalahgunaan tarif bea

masuk.

Seperti pada pengadaan bahan baku mi instan sampai saat ini masih

dikuasai oleh Indofood yang bahan bakunya disuplai oleh PT Bogasari Flour

Mills. Tetapi tidak dengan perusahaan lain mereka harus membeli bahan baku

dengan harga yang jauh lebih tinggi. Di sini Indofood lebih diuntungkan dengan

biaya produksi yang lebih rendah dan Indofood sebagian besar telah menguasai

pangsa pasar, maka keuntungan yang didapat akan jauh lebih tinggi.

Apabila tidak ada pengawasan yang ketat akan menciptakan suatu bentuk

persaingan yang tidak sehat dimana akan merugikan pesaing lain. Perusahaan
besar dapat memproduksi produk yang lebih murah dibanding perusahaan kecil

jika kurva biaya industri menunjukkan skala ekonomis yang besar, maka suatu

perusahaan akan mencapai biaya rata-rata yang terendah dengan pangsa pasar

yang tinggi. Harga yang lebih murah ini tentunya akan menarik perhatian

konsumen guna beralih ke barang tersebut. Selanjutnya permintaan barang

tersebut akan naik dan membuat keuntungan (return) perusahaan bertambah

besar.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan

yang ada, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk struktur pasar industri mi instan di Indonesia?

2. Bagaimana perilaku pasar industri mi instan di Indonesia?

3. Bagaimana kinerja industri mi instan di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian mengenai industri mi instan ini

adalah :

1. Menganalisis struktur pasar industri mi instan di Indonesia.

2. Menganalisis perilaku pasar industri mi instan di Indonesia.

3. Menganalisis kinerja industri mi instan di Indonesia.

4. Bagaimana implikasi kebijakan pada industri mi instan di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai tambahan informasi bagi

pelaku ekonomi khususnya bagi pelaku industri mi instan untuk melakukan


persaingan yang sehat yang berbasis pada ketentuan-ketentuan dasar persaingan.

Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna dalam pengambilan keputusan yang

rasional dan logis bagi pelaku industri mi instan dalam menjalankan usahanya

supaya tidak menghambat pesaing lain untuk masuk pasar dan sebagai bahan

rujukan untuk penelitian selanjutnya. Bagi penulis merupakan proses belajar

untuk lebih kritis dalam menganalisis suatu permasalahan yang sedang terjadi di

sektor industri dan dapat lebih memberikan wawasan yang lebih luas mengenai

industri mi instan di Indonesia.


II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam penelitian mengenai industri mi instan di Indonesia serta struktur,

perilaku dan kinerjanya, perlu disajikan kajian-kajian teoritis yang berkaitan

dengan struktur pasar dan bentuk persaingan sehingga dapat menjelaskan

bagaimana hubungan struktur-perilaku-kinerja suatu industri yang saling bersaing

dalam pasar. Analisis definisi pasar terdiri dari tiga langkah: pertama,

mendefinisikan pasar produk yang relevan; selanjutnya pasar geografis yang

relevan; dan terakhir menentukan semua perusahaan yang turut serta dalam pasar

produk dan geografis yang relevan. Definisi pasar mengemukakan semua produk

yang dapat dianggap sebagai subtitusi yang berarti bagi produk yang sedang

dipelajari. Definisi pasar geografis ialah mendefenisikan areal geografis dari

pasar. Analisis menentukan perusahaan yang aktif yaitu perusahaan tersebut

sanggup menawarkan produk-produk untuk dijual di pasar yang relevan dalam

periode waktu yang wajar (Asian Development Bank, 2001).

2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri

Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang

menghasilkan barang-barang yang homogen, atau barang-barang yang

mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Secara makro, industri adalah

kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah (Hasibuan, 1994).

Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi.

Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaaan yang secara relatif

lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi


struktur pasar, perilaku dan kinerja pasar. Dalam ekonomi industri terdapat dua

sisi yang menarik, di satu sisi ekonomi industri merupakan seperangkat konsep

dan analisa mengenai persaingan dan monopoli dengan berbagai macam pasar

yang berada di antara keduanya. Di sisi lain, ekonomi industri juga berkaitan

dengan pasar riil yang sangat diramaikan oleh adanya persaingan antar perusahaan

(Jaya, 2001).

Beberapa alasan ekonomi industri menjadi semakin penting untuk

dipelajari, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang

berkembang. Pertama, praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi

dalam kegiatan bisnis dan praktek-praktek perilakunya menimbulkan kerugian

bagi konsumen. Kedua, semakin tinggi konsentrasi industri cenderung

mengurangi persaingan antar perusahaan sehingga menciptakan perilaku yang

kurang efisien. Ketiga, konsentrasi industri yang tinggi membawa konsentrasi

kekayaan yang melemahkan usaha-usaha pemerataan, baik dilihat dari pemerataan

pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan berusaha. Keempat, kaitan

struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah ekonomi membawa lebih

jauh intervensi pemerintah. Kelima, kajian-kajian tentang struktur-perilaku dan

kinerja industri tidak terlepas dari masalah-masalah produksi dan distribusi

( Hasibuan, 1994).

2.2. Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja

Bain (1956) menyatakan bahwa dalam hubungan analisis struktur-

perilaku-kinerja tidak lagi terbatas pada variabel mikro, seperti konsentrasi pasar

produk, permodalan, bentuk-bentuk persaingan, serta masalah-masalah biaya dan


efisiensi alokasi, tetapi telah mulai berkenaan dengan variabel ekonomi makro,

seperti kebijaksanaan pemerintah tentang proteksi, rintangan masuk, rintangan

perdagangan, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan investasi asing.

Beberapa aspek yang dipelajari dalam kaitannya dengan struktur-perilaku-

kinerja industri.

1. Aspek kebebasan memilih dan berusaha walaupun masih ada intervensi

pemerintah yang pada akhirnya akan berubah menjadi suatu bentuk

persaingan,

2. Aspek peluang yang sama, baik dalam pengertian sebagai pembeli dan

penjual, maupun dalam kesempatan, dan pemerataan pendapatan,

3. Aspek keadilan dan kewajaran terhadap praktek-praktek bisnis yaitu melalui

pelarangan praktek-praktek bisnis yang tidak wajar dan adanya kepastian

hukum,

4. Aspek kesejahteraan masyarakat, yaitu efisiensi alokasi sumber-sumber

ekonomi, kesempatan kerja, kestabilan harga, kesehatan, dan lingkungan yang

bersih,

5. Aspek kemajuan, yaitu adanya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan.

Untuk mengamati hubungan antara struktur-perilaku-kinerja dalam

ekonomi industri maka dapat dilihat dari hubungan struktur dan kinerja industri,

pengamatan kinerja dan perilaku yang kemudian dikaitkan lagi dengan struktur,

menelaah kaitan struktur terhadap perilaku dan kemudian baru diamati kinerjanya,

kinerja tidak perlu diamati lagi, oleh karena telah dijawab dari hubungan struktur

dan perilakunya. Struktur pasar menggambarkan pangsa pasar dari perusahaan-


perusahaan. Struktur pasar merupakan kunci penting dari pola konsep

konvensional dalam ekonomi industri. Struktur pasar juga mempengaruhi perilaku

dari perusahaan. Struktur dan perilaku akhirnya akan mempengaruhi kinerja pasar.

Yang utama dari struktur-perilaku-kinerja adalah determinan-determinan yang

membentuk struktur itu sendiri, yaitu skala ekonomi dan disekonomi (Hasibuan,

1994).

Martin (1993) berpendapat bahwa pendekatan struktur-perilaku-kinerja

digunakan untuk menganalisa hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja

industri mi instan. Teori struktur, perilaku dan kinerja industri menyebutkan

bahwa struktur, perilaku dan kinerja mempunyai tiga kategori utama untuk

melihat monopoli dan persaingan yang terjadi di pasar. Dalam versi sederhana,

struktur pasar bersifat eksogen dan menentukan perilaku perusahaan dalam pasar

tersebut dan selanjutnya akan menentukan kinerja. Aspek-aspek struktur adalah

jumlah perusahaan, ukuran besarnya perusahaan, kondisi hambatan masuk,

sedangkan perilaku mencakup masalah kolusi, perilaku, inovasi, kebijakan harga,

output dan iklan (Yunianti, 2001).

Pada analisis struktur, perilaku dan kinerja terdapat dua model pendekatan

Structure Conduct Performance (SCP). Pertama, SCP School yang menekankan

bahwa kekuatan pasar dari perusahaan merupakan sumber penyebab buruknya

kinerja pasar dan pasar berada pada kondisi persaingan tidak sempurna dengan

demikian pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk membatasi perilaku

perusahaan. SCP School menekankan bahwa tingkat konsentrasi dan keuntungan

yang tinggi diintepretasikan sebagai indikator penguasaan dan penyalahgunaan


penguasaan pasar. Dengan demikian masyarakat akan merasakan dampak

negatifnya dan pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan untuk membatasi

perilaku perusahaan. Kedua, SCP Chicago School menyatakan bahwa sumber

utama terjadinya kekuatan monopoli adalah pemerintah, sehingga agar tercapai

kinerja pasar yang diinginkan sebaiknya di serahkan pada mekanisme pasar

(Alistair, 2004). Paradigma Chicago meyakini bahwa keberhasilan perusahaan

(firm success) yang diukur dengan tingkat keuntungan dan pangsa pasarnya

mengindikasikan kepuasan konsumen, bukan kinerja yang buruk (Daryanto,2003).

Pandangan lainnya adalah The New Industrial Economics yang

menekankan pada peran perilaku yaitu apresiasi terhadap dimensi strategis dari

keputusan perusahaan. Perusahaan tidak hanya bereaksi dan beradaptasi terhadap

kondisi eksternal, tapi juga berusaha agar lingkungan ekonomi berada pada posisi

yang dapat memberi keuntungan dengan pertimbangan bahwa pesaingnya juga

akan melakukan hal yang sama.

Paradigma SCP berpendapat bahwa konsentrasi pasar yang tinggi

membuat perusahaan lebih mudah untuk menguasai pasar dan menghasilkan

keuntungan atau margin yang tinggi. Penguasaan pasar yang tinggi cenderung

menghasilkan kinerja pasar yang buruk, yaitu konsumen harus membayar harga

yang sangat tinggi (Daryanto, 2003).

Dasar paradigma SCP sendiri dicetuskan oleh Edward S. Mason, seorang

dosen di University of Harvard tahun 1930-an. Tahun 1979, Scherer juga turut

mengembangkan pendekatan SCP menjadi lebih luas dengan penjelasan yang

logis, sehingga mempengaruhi para ekonom-ekonom dunia saat itu untuk


memandang SCP sebagai suatu cara yang biasa digunakan dalam menganalisis

suatu industri (Shepherd, 1992). Berikut merupakan gambar pendekatan

tradisional struktur-perilaku-kinerja.

KONDISI STRUKTUR PERILAKU KINERJA


DASAR

Gambar 2.1. Pendekatan Tradisional Structure Conduct Performance (S-C-P)

Sumber: Daryanto, 2004

Dalam ekonomi industri struktur pasar menggambarkan pangsa pasar dari

perusahaan. Dan untuk memperluas pangsa pasar, suatu perusahaan menghadapi

sejumlah rintangan. Setiap struktur pasar berada di antara monopoli (pangsa pasar

yang tinggi dan rintangan masuk yang tinggi) dan persaingan murni (pangsa pasar

kecil dan rintangan masuk kecil). Struktur industri manufaktur erat kaitannya

dengan tiga hal, yakni tingkat diversifikasi produk, intensitas pemakaian faktor-

faktor produksi, termasuk SDA dan orientasi pasar. Gambar 2.2. menunjukkan

bahwa struktur dan perilaku kemudian mempengaruhi kinerja pasar. Kinerja yang

baik terutama mencakup harga yang rendah, efisiensi, inovasi dan keadilan.

Kondisi dasar yang diwakili oleh elastisitas permintaan dapat melihat struktur,

semakin elastis ada kecenderungan struktur pasar yang semakin terkonsentrasi.

Struktur pasar yang semakin terkonsentrasi antara lain akan menyebabkan adanya

kecenderungan dalam kekakuan harga. Hal ini dapat berpengaruh pada perilaku

pasar.
UKURAN-UKURAN
Kondisi Permintaan Kondisi Penawaran
Elastisitas Permintaan Skala Ekonomi
Elastisitas silang dari Ekonomi Vertikal
permintaan

STRUKTUR
Ukuran distribusi Perusahaan
Pangsa Pasar
Konsentrasi
Rintangan masuk
Elemen-elemen lain

PERILAKU
Kerja sama dengan pesaing
Strategi melawan pesaing
Iklan

KINERJA
Harga-biaya dan Kemajuan teknologi
pola keuntungan Keseimbangan dalam
X-efisiensi pendistribusian
Pengalokasian Pengaruh-pengaruh
yang efisien lainnya

Gambar 2.2. Paradigma Structure Conduct Performance (S-C-P)

Sumber : Jaya, 2001

Dalam penelitian-penelitian empiris pada umumnya tingkah laku

perusahaan seringkali diabaikan. Pengujian hipotesis dengan pola hubungan

seperti di atas selalu terbentur variabel tingkah laku yang sulit diukur dan

dijabarkan sehingga sulit untuk mendapatkan hasil pengujian yang berarti untuk

hubungan antara struktur dan perilaku. Oleh karena itu, perkiraan atas kinerja

industri dapat diketahui melalui unsur-unsur pasar yang dimasukkan sebagai

variabel bebas.
Pengujian hipotesa pola hubungan struktur dan kinerja dapat dilakukan

dengan menggunakan salah satu indikator tertentu dari struktur pasar seperti

tingkat konsentrasi penjual dan menggunakan PCM sebagai indikator kinerja.

Tetapi akan lebih baik bila memasukkan unsur-unsur struktur pasar yang lain

dalam pengujian.

2.2.1. Struktur Pasar

Defenisi pasar adalah sebagai suatu kelompok penjual dan pembeli yang

mempertukarkan barang yang dapat disubtitusikan. Kemampuan subtitusi barang

merupakan kunci pokok sehingga ekonomi muncul sebagai daya tarik bagi pasar-

pasar individu. Tiap pasar dibatasi oleh dua dimensi yaitu jenis produk dan daerah

geografis (Jaya, 2001). Struktur pasar merupakan suatu variabel yang digunakan

untuk menentukan perilaku perusahaan dan interaksi antara perilaku dan struktur

pasar menentukan kinerja. Selanjutnya kinerja mempunyai pengaruh terhadap

pembentukan struktur. Dalam struktur pasar selain memperhatikan jumlah

perusahaan juga harus memperhatikan ukuran atau besaran distribusi dari

perusahaan tersebut.

Secara teoritis struktur pasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu

persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Persaingan tidak sempurna

dibedakan menjadi tiga yaitu persaingan monopoli, oligopoli dan monopolistik.

Struktur pasar dapat dilihat dari tiga hal yaitu jumlah perusahaan, tipe produksi

dan hambatan masuk (Hasibuan, 1994). Ringkasan tipe-tipe struktur pasar dapat

dilihat pada Tabel 2.1.


Tabel 2.1. Tipe-Tipe Struktur Pasar
Jumlah Hambatan
Tipe Pasar Tipe Produksi
Perusahaan Masuk
1. Persaingan Sempurna Banyak Homogen Bebas
2. Persaingan Tidak
Sempurna
a. Persaingan Banyak Diferensiasi Bebas
Monopolistik
b. Oligopoli Sedikit Diferensiasi Terbatas
c. Monopoli Satu atau kolusi Diferensiasi Sangat terbatas
Sumber: Hasibuan, 1994

Dalam struktur pasar terdapat beberapa elemen-elemen yang termasuk

didalamnya yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan-hambatan untuk

masuk. Ketiga elemen tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dibawah ini.

1. Pangsa Pasar (Market Share)

Pangsa pasar adalah perbandingan antara hasil penjualan suatu perusahaan

dengan total penjualan industri. Setiap perusahaan memiliki pangsa pasarnya

sendiri, dan besarnya berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan

seluruh pasar. Pangsa pasar mencerminkan proksi keuntungan bagi perusahaan

karena pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar

dalam menghadapi persaingan dan sebaliknya. Pangsa pasar dapat dihitung

dengan beberapa cara yaitu berdasarkan nilai penjualan, unit penjualan, unit

produksi dan kapasitas produksi. Pada produk yang bersifat homogen biasanya

pangsa pasar diukur dengan menggunakan unit atau volume penjualan sedangkan

pada pasar yang produknya heterogen pangsa pasar dihitung terhadap total

penjualan. Beberapa tipe pasar dengan kondisi pangsa pasar dapat dilihat pada

Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Tipe-tipe Pasar
Tipe Pasar Kondisi Utama Contoh
Monopoli murni Suatu perusahaan yang memiliki 100 PLN, TELKOM, PAM
persen dari pangsa pasar.
Perusahaan yang Suatu perusahaan yang memiliki 50- Surat kabar lokal atau
dominan (dominant 100 persen dari pangsa pasar dan nasional, film kodak,
firm) tanpa pesaing yang kuat. batu baterai.
Oligopoli ketat Penggabungan empat perusahaan Bank-bank lokal,
terbesar yang memiliki pangsa pasar siaran TV, bola lampu,
60-100 persen. Kesepakatan di antara sabun, toko buku,
mereka untuk menetapkan harga rokok kretek dan
relatif mudah. semen.
Oligopoli longgar Penggabungan empat perusahaan Kayu, perkakas rumah
terbesar yang memiliki 40-60 persen tangga, mesin-mesin
pangsa pasar, kesepakatan mereka kecil, perangkat keras,
untuk menetapkan harga sebenarnya majalah, batu baterai,
tidak mungkin. obat-obatan.
Persaingan Banyak pesaing yang efektif, tidak Pedagang eceran,
monopolistik satu pun yang memiliki lebih dari 10 penjual pakaian
persen pangsa pasar.
Persaingan murni Lebih dari 50 persen pesaing yang Sapi dan unggas
mana tidak satupun yang memiliki
pangsa pasar yang berarti.
Sumber : Jaya, 2001

Shepherd (1992) menyatakan pangsa pasar yang mencapai 100 persen

termasuk dalam monopoli murni, jika satu perusahaan mempunyai pangsa pasar

lebih dari 40 persen dan tidak mempunyai pesaing yang berarti termasuk dalam

perusahaan dominan. Jika pangsa pasar mencapai lebih dari 60 persen termasuk

dalam oligopoli ketat. Semakin besar pangsa pasar maka semakin besar pula hak

monopoli bagi perusahaan yang bersangkutan. Derajat kekuatan pasar pada

umumnya akan muncul ketika pangsa pasar mencapai 15 persen, pada tingkatan

yang lebih tinggi yaitu 25-30 persen derajat monopoli menjadi signifikan, dan

pada tingkat 50-60 persen biasanya perusahaan mempunyai kekuatan pasar yang

sangat besar. Kesuksesan perusahaan biasanya selain digambarkan oleh profit


tetapi juga oleh besarnya pangsa pasar. Secara umum terdapat hubungan yang

positif antara pangsa pasar dan keuntungan (Yunianti, 2001).

2. Konsentrasi (Concentration)

Konsentrasi industri merupakan suatu variabel yang dapat diukur dan pada

umumnya pengukuran ini lebih banyak dilakukan untuk derajat struktur oligopoli

(Hasibuan, 1994). Konsentrasi sering digunakan sebagai ukuran tingkat

persaingan. Konsentrasi juga sering dipakai sebagai alat analisis struktur pasar,

perilaku dan kinerja perusahaan yang beroperasi di dalamnya dan secara tidak

langsung menjadi indikator perilaku anti persaingan atau kolusi (Satriawan dan

Wigati, 2002). Geroski (1991) mengungkapkan bahwa pesaing baru dalam

industri atau pasar akan mengurangi konsentrasi pasar apabila ukuran perusahaan

tersebut relatif sama besar dengan ukuran perusahaan-perusahaan yang ada di

industri atau pasar tersebut. Keluarnya perusahaan dari suatu industri atau pasar

akan meningkatkan konsentrasi apabila ukuran perusahaan yang keluar relatif

kecil dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam industri tersebut.

Pengukuran konsentrasi tersebut dapat memperlihatkan perubahan-

perubahan namun perubahan tersebut kurang terlihat dalam jangka pendek.

Menurut Shepherd dalam Yunianti (2001) mengemukakan bahwa konsentrasi

adalah penjumlahan pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan terbesar yang

sering diukur pada empat perusahaan terbesar. Nilai konsentrasi pasar dapat

menunjukkan derajat oligopoli. Studi empiris yang dilakukan oleh Bain

menunjukkan adanya hubungan positif antara kondisi entry dan konsentrasi pasar

terhadap kekuatan pasar dimana semakin tinggi konsentrasi pasar dan semakin
sulit suatu industri baru untuk memasuki pasar maka kekuatan pasar akan semakin

tinggi.

Greer dalam Hasibuan (1994) menjelaskan bahwa ada empat sebab pokok

adanya konsentrasi, yakni pertama, nasib baik (luck); kedua, sebab teknis; ketiga,

karena kebijaksanaan pemerintah; dan keempat, kebutuhan bisnis, sehingga ada

kebijaksanaan perusahaan untuk mengambil keputusan tertentu. Bird (1999)

menyatakan hipotesis konsentrasi-kolusi bahwa industri dengan jumlah

perusahaan sedikit dan rasio konsentrasi empat perusahaan (CR4, merupakan

pangsa pasar empat perusahaan terbesar) di atas 75 persen mempunyai masalah

dengan persaingan dibanding industri dengan jumlah perusahaan yang lebih

banyak dan konsentrasi dibawah 50 persen.

Konsentrasi dapat diukur dengan menggunakan indeks konsentrasi yaitu

statistik yang dikembangkan untuk menghasilkan ukuran ringkasan struktur pasar.

Ukuran pasar konsentrasi yang umumnya digunakan adalah persentase dari

seluruh jumlah pengiriman yang dipasok oleh empat perusahaan terbesar. Ukuran

lain adalah Hirschmann-Herfindahl Index (HHI) yang menimbang pangsa pasar

rata-rata dari semua perusahaan dalam sebuah industri (Asian Development Bank,

2001). Indeks konsentrasi memiliki kelemahan yaitu ketidakmampuan untuk

menunjukkan atau memberikan gambaran ukuran atau kontribusi dari masing-

masing perusahaan di pasar. Walters dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa

indeks konsentrasi mempunyai kelemahan dari perhitungan konsentrasi adalah

bahwa nilai konsentrasi (CR) tidak dapat menunjukkan tentang kondisi potensial
dari entry. Pengukuran-pengukuran konsentrasi perusahaan dapat dilihat pada

Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Pengukuran-Pengukuran Konsentrasi Perusahaan

Pengukuran Rumus ρ
Rasio konsentrasi n
CR = ∑ MS i
i =1

Indeks Hirshcman-Herfindahl n
H= ∑ MSi 2
i =1

Indeks Rosenbluth 1
R= n
-1
(2∑ i. pi )
i =1
Indeks Entrophy n
1
E= ∑ p.i log( pi )
i =1
Sumber: Jaya, 2001

Dimana : Msi = jumlah perusahaan terbesar

ρi = pangsa pasar perusahaan ke-i (%)

n = jumlah perusahaan terbesar

Menurut Martin dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa apabila empat

perusahan terbesar menguasai 40 persen atau lebih terhadap total penjualan

termasuk ke dalam pasar oligopoli.

Pengukuran indeks konsentrasi :

a. Rasio Konsentrasi yang standar memerlukan data mengenai ukuran pasar

secara keseluruhan dan ukuran perusahaan-perusahaan yang memimpin dalam

pasar.

b. Indeks Hirschman-Herfindahl merupakan penjumlahan kuadrat pangsa pasar

semua perusahaan dalam suatu industri.

c. Indeks Rosenbluth didasarkan pada peringkat setiap perusahaan dan pangsa

pasarnya.
d. Indeks Entropy mengukur semua pangsa pasar semua perusahaan dalam

industri.

Teori ekonomi memperkirakan bahwa kekuatan pasar lebih berlaku dalam

pasar yang menunjukkan tingkat konsentrasi yang tinggi. Kekuatan perusahaan

dicerminkan oleh sedikitnya perusahaan yang menguasi pasar atau adanya

perusahaan dominan dalam suatu industri.

3. Hambatan Untuk Masuk (Barrier To Entry)

Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat

didefenisikan sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat

pendatang (entrant) baru untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan

yang sudah ada. Dalam defenisi ini, kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan

skala ekonomi dapat menjadi barrier to entry.

Menurut Bain (1956) penentu utama kondisi entry adalah skala ekonomi

yang besar, diferensiasi produk dan keuntungan biaya absolut antara perusahaan

yang ada dengan yang baru. Kondisi entry sangat menentukan degree of

competition baik yang aktual maupun yang potensial sehingga dapat diduga

mempengaruhi kinerja dan struktur. Pesaing potensial adalah perusahaan-

perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan

menjadi pesaing yang sebenarnya (Jaya, 2001).

Menurut Geroski dalam Satriawan dan Wigati, 2002 entry dapat

didefenisikan sebagai:

(1) masuknya perusahaan baru kedalam suatu industri;


(2) entry ditandai dengan didirikannya perusahaan baru dalam satu industri yang

serupa oleh perusahaan yang masih beroperasi dalam industri tersebut;

(3) pengambilalihan (akuisisi) suatu perusahaan oleh perusahaan lain satu lingkup

industri;

(4) penggabungan beberapa macam produk oleh perusahaan yang masih

beroperasi dalam industri tersebut sehingga menciptakan pangsa pasar baru;

(5) masuknya perusahaan yang dimiliki oleh pemodal asing ke industri dalam

negeri.

Weiss (1965) mendefenisikan entry mencakup dua hal yaitu nama

perusahaan baru dan terdapat bangunan baru dalam suatu industri. Sedangkan

Besanko et al. (1996) menyatakan bahwa entry dapat didefenisikan sebagai

masuknya suatu produk baru jasa baru yang ditawarkan oleh perusahaan telah atau

baru beroperasi ke dalam suatu pasar atau industri.

Ada beberapa hal umum mengenai hambatan masuk pasar yang harus

diketahui. Pertama, hambatan-hambatan yang timbul dalam kondisi pasar yang

mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat legal maupun kondisi yang dapat

berubah dengan cepat. Kedua, hambatan dibagi mulai dari tingkatan tanpa

hambatan sama sekali seperti pasar persaingan sempurna, hambatan rendah,

hambatan sedang, sampai hambatan tingkat tinggi dimana tidak ada lagi jalan

untuk masuk pasar, seperti pada pasar dimana terdapat perusahaan yang menjadi

monopolis. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu yang kompleks. Peranan

hambatan untuk masuk suatu pasar masih diperdebatkan. Beberapa ahli ekonomi

memandangnya sebagai suatu yang penting. Tetapi pandangan utama saat ini
menyatakan rintangan-rintangan dan pesaing baru merupakan hal kedua yang

mungkin memodifikasi pengaruh pangsa pasar dan pemusatan. Hanya dalam

kasus tertentu pesaing yang potensial menguasai pasar.

Shepherd dalam Juwita (2004) membagi hambatan untuk masuk menjadi

dua jenis, yaitu : hambatan eksogen dan hambatan endogen.

1). Hambatan Eksogen

Hambatan untuk masuk ke dalam pasar yang sifatnya berada diluar kontrol

dari leading firms dan merupakan suatu penyebab fundamental yang tidak dapat

diubah.

(a). Capital (Modal)

Perusahaan yang dominan dan ukurannya lebih besar akan memperoleh

keuntungan berupa biaya yang murah dan persediaan modal yang cukup. Hal ini

akan menjadi hambatan untuk masuk bagi industri yang bersifat padat modal

(capital intensive).

(b). Skala Ekonomi

Skala ekonomi yang besar akan membuka pendatang baru untuk

berproduksi pada tingkat yang sama. Penambahan output oleh perusahaan baru

mungkin relatif lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah permintaannya.

Akibatnya harga produk akan jatuh, bahkan mungkin jatuh dibawah kurva biaya

perusahaan baru tersebut. Jadi, tidak ada tempat bagi perusahaan baru selama

perusahaan lama dapat memenuhi jumlah permintaan yang efisien.


(c). Diferensiasi Produk

Diferensiasi produk muncul karena strategi periklanan dan pemasaran

yang bertujuan untuk memberikan pilihan bagi konsumen terhadap produk

(merek) tertentu.

(d). Diversifikasi

Perusahaan yang melakukan diversifikasi dapat melimpahkan sumber daya

yang berlebih pada setiap cabang untuk mencegah masuknya pendatang baru.

(e). Intensitas Penelitian dan Pengembangan

Pendatang baru yang ingin berpartisipasi dalam pasar yang mengandalkan

keunggulan teknologi memerlukan biaya penelitian dan pengembangan yang

besar.

(f). High Durability of Firm Specific Capital

Sunk cost adalah investasi yang dikeluarkan oleh investor yang tidak

memiliki kegunaan lain selain untuk proyek tersebut, atau dimana investasi

tersebut tidak dapat dijual kembali untuk kegiatan industri lain. Sunk cost yang

besar akan mengurangi keinginan dari pendatang baru untuk masuk ke dalam

pasar karena resiko yang terlalu besar.

(g). Integrasi Vertikal

Jika integrasi vertikal efisien, pesaing harus masuk dalam dua tingkatan

atau lebih agar dapat menyesuaikan dengan struktur biaya perusahaan lama. Hal

ini membutuhkan banyak modal, penelitian dan pengembangan yang sering

menaikkan resiko.
2). Hambatan Endogen

Termasuk ke dalam hambatan endogen antara lain kebijakan harga dari

establish firm, penciptaan kelebihan kapasitas, image dari loyalitas merk suatu

produk, strategi penguasaan produk, strategi bahan baku.

Peranan hambatan untuk masuk suatu pasar masih diperdebatkan (Jaya,

2001). Apabila ada kebebasan keluar-masuk, akan sulit untuk menyingkirkan

perusahaan-perusahaan dalam industri terutama harga di atas biaya marjinal dan

tingkat keuntungan. Adanya keuntungan yang dihasilkan dengan persaingan non-

harga, tanpa hambatan sama sekali, bebas masuk, yang mana akan terus berlanjut

sampai tingkat keuntungan menurun.

2.2.2. Perilaku Pasar

Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan

untuk mencapai tujuan tertentu. Scherer (1990) menyatakan terdapat tiga kriteria

untuk melihat perilaku industri yaitu strategi harga, kondisi entry dan tipe produk.

Martin dalam Yunianti (2001) menyatakan bahwa perilaku strategis perusahaan

hanya ada pada pasar oligopoli. Perilaku industri dapat dilihat pada strategis

perusahaan dalam mementukan jumlah dominasi output, penentuan harga,

advertensi, pemilihan teknologi, kegiatan dalam pasar dan juga dalam kebijakan

produk. Sedangkan menurut Jaya (2001) pada perusahaan ada beberapa perilaku

yang terjadi antara lain penetapan harga, strategi produksi, kolusi dan penawaran

vertikal.

Salah satu contoh nyata perilaku yang terjadi di perekonomian Indonesia

adalah oligopoli. Perilaku oligopoli merupakan suatu fenomena yang rumit,


namun peranan oligopoli dalam pasar-pasar riil umumnya tidak terlalu besar

(Jaya, 2001). Perilaku perusahaan dalam oligopoli memiliki beberapa

kemungkinan. Pertama, dalam suatu industri yang bersifat oligopoli, perusahaan-

perusahaan akan menempatkan diri dalam kerjasama rapi yang bertindak sebagai

perusahaan monopoli dengan menetapkan harga jual yang tinggi dan sedikit

inovasi. Kedua, perusahaan-perusahaan akan terlibat dalam perang harga dan

inovasi tiada henti. Sedangkan kemungkinan yang ketiga adalah perusahaan-

perusahaan tersebut berada diantara kedua kemungkinan pertama dan kedua.

Perilaku perusahaan-perusahaan juga mengenal adanya integrasi vertikal,

merger. Integrasi vertikal dapat menimbulkan ekonomisasi dan berdampak anti

persaingan. Merger vertikal dan peraturan vertikal dalam pasar termasuk

pemeliharaan harga penjualan kembali yang merupakan isu persaingan. Alasan-

alasan untuk melakukan integrasi vertikal dan merger antara lain adalah untuk

meningkatkan pangsa pasar, pertumbuhan, mendapatkan laba yang lebih tinggi,

efisiensi dan juga untuk mengurangi ketidakpastian usaha. Integrasi dan

konglomerasi termasuk dalam kegiatan merger (Hasibuan, 1994).

1. Integrasi Vertikal

Hasibuan (1994) mendefenisikan integrasi vertikal adalah penggabungan

perusahaan-perusahaan yang mempunyai kelanjutan proses produksi. Jenis

integrasi juga dapat dibagi dua, yakni integrasi ke hulu (up stream) dan integrasi

ke hilir (down stream). Perusahaan yang menerapkan strategi integrasi vertikal ke

hulu (up stream) adalah perusahaan yang memproduksi sendiri input yang

dibutuhkannya. Sedangkan integrasi vertikal ke hilir (down stream) adalah


perusahaan yang memutuskan untuk menyalurkan output yang dihasilkan kepada

konsumen melalui perusahaan yang terintegrasi dengannya.

Jaya (2001) menyatakan bahwa integrasi vertikal diluar dugaan sulit

diukur, salah satu metodenya adalah menghitung tahap-tahap produksi semakin

banyak tahapan yang dicakup, semakin besar integrasinya.

2. Merger

Secara umum kegiatan integrasi dapat temasuk dalam merger, tetapi

dengan syarat ada keterkaitan dalam kelanjutan proses produksi. Pengertian

merger lebih luas yaitu satu atau lebih perusahaan yang tidak sejenis dan juga

tidak ada kaitan kelanjutan proses produksi dapat melakukan penggabungan

(Hasibuan, 1994).

Efek-efek dari merger-merger vertikal adalah keseimbangan antara dua

hal:

2. Penghematan bersih yang diperoleh dengan merger yang tidak dapat diperoleh

dengan pertumbuhan langsung atau kontrak jangka panjang,

3. Efek-efek antikompetitif yang dapat terjadi seperti meningkatkan halangan

memasuki pasar.

Pada kenyataannya pangsa pasar yang tinggi menimbulkan anggapan

bahwa biaya-biaya sosial dari merger vertikal melebihi keuntungan.

Ketidakseimbangan biasanya tidak begitu besar dan beberapa kasus tertentu akan

condong ke arah lain, belum ada cara pengukuran keseimbangan tersebut dan

karenanya tingkat-tingkat permulaan pada pangsa pasar hanya dapat diperkirakan.

Konsensus diantara para ahli mungkin berada dalam batas 15 persen sampai 30
persen pangsa pasar untuk kedua perusahaan. Batasan-batasan antitrust yang

terjadi saat ini berkisar antara 10 persen sampai 20 persen, merger vertikal antara

dua perusahaan dengan pangsa pasar 20 persen akan ditentang dan pada akhirnya

tidak diperbolehkan (Jaya, 2001).

2.2.3. Kinerja Pasar

Setiap perusahaan pasti akan mempunyai tujuan untuk menguasai pasar,

tujuan itu yang disebut dengan kinerja. Kinerja secara lebih rinci dapat dilihat

dari laba, efisiensi, pertumbuhan (termasuk perluasan pasar), kesempatan kerja,

prestise profesional, kesejahteraan personalia, dan juga kebanggaan kelompok.

Kinerja tergabung antara kinerja ekonomi dan non ekonomi (Hasibuan, 1994).

Kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek, namun

biasanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu, efisiensi, kemajuan teknologi,

dan keseimbangan dalam distribusi (Jaya, 2001).

Daryanto (2004) mengungkapkan yang dimaksud dengan kinerja adalah:

1. Apakah perusahaan-perusahaan meningkatkan kesejahteraan ekonomi?

2. Apakah mereka bekerja secara efisien, menghindari pemborosan faktor-faktor

produksi yang langka sifatnya?

3. Apakah alokasi faktor-faktor produksi telah efisien secara ekonomis?

4. Apakah perusahaan-perusahaan secara efektif meningkatkan kesempatan kerja

dan pertumbuhan ekonomi?

Ada beberapa pertimbangan yang digunakan untuk menjadikan perusahaan

tertentu mempunyai kinerja yang baik sebagai barometer harga. Pertama, jika

terjadi persaingan yang kurang sehat dalam suatu industri oligopoli. Kedua, dapat
mengurangi kerja administrasi, karena perhitungan ongkos-ongkos yang berulang-

ulang. Ketiga, perusahaan yang menjadi barometer itu telah menunjukkan prestasi

yang bagus, yang hampir tidak meleset ramalan-ramalannya (Hasibuan, 1994).

Menurut Jaya (2001) dalam kinerja pasar terdapat konsekuensi dan kekuatan pasar

yaitu kemampuan perusahaan-perusahaan untuk mempengaruhi harga produk-

produk yang mereka jual kepada konsumen. Pada kenyataannya kekuatan pasar

dapat mempengaruhi secara mencolok terhadap harga, keuntungan, inovasi,

keadilan dan nilai-nilai lainnya. Dalam kinerja juga memperhatikan pertumbuhan

dan kelayakan hal ini dikarenakan pertumbuhan dan kelayakan membutuhkan

suatu usaha yang cermat, menunjukkan bagian-bagiannya dan kemungkinan

pengaruh-pengaruh monopoli yang ditimbulkannya.

2.3. Deskripsi Produk Mi Instan

Berdasarkan kondisi sebelum dikonsumsi, mi dapat digolongkan ke dalam

beberapa kelompok, yaitu mi basah (boiled noodle), mi kering (steam and fried

noodle), mi mentah (raw chinese noodle) serta mi instan (instan noodle).

Mi adalah produk makanan setengah jadi yang terbuat dari campuran

tepung terigu berkadar protein tinggi dengan bahan tambahan lain seperti air,

telur, bumbu tertentu, pewarna makanan dan bahan pengawet makanan.

Berkembangnya teknologi pangan berpengaruh juga terhadap produk mi yang

dihasilkan dan dijual di pasaran. Sekarang ini mi tidak hanya terbuat dari tepung

terigu saja, tetapi mi dapat juga dibuat dari berbagai jenis tepung biji-bijian.

Mi basah adalah mi yang biasa dijual di pasar tradisional dan supermarket.

Mi basah biasanya berwarna kuning segar, memiliki tekstur kenyal dan aromanya
khas. Pembuatan mi basah dapat dilakukan sendiri di rumah dengan menggunakan

alat khusus untuk membuat mi. Perbedaan mi basah dengan mi instan adalah

digunakannya minyak goreng dalam proses pembuatan mi basah yang berfungsi

untuk melembabkan mi, sedangkan mi instan dibuat dengan melalui beberapa

proses dalam pabrik sehingga mempunyai rasa dan bentuk yang lebih tahan lama.

Mi instan adalah mi kering buatan pabrik. Mi ini hanya bisa diproduksi

oleh pabrik karena proses pengeringannya menggunakan alat pengering tertentu.

Mi instan buatan pabrik dijual dalam berbagai kemasan menarik. Ada yang masih

perlu pengolahan tertentu, tapi ada juga yang tinggal ditambah air panas dan siap

dikonsumsi.

Mi instan secara umum adalah sejenis makanan berbentuk pasta yang

bahan bakunya berasal dari tepung terigu yang diolah dengan merebus dalam air

panas yang kemudian diberi bumbu sesuai dengan selera yang ada dalam

kemasannya untuk siap disantap (Corinthian Infopharma Corpora, 2004).

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3551-2000 yang

dikeluarkan oleh Dewan Standarisasi Nasional, mi instan (instan noodle)

didefinisikan sebagai mi yang dibuat dari adonan tepung terigu atau tepung beras

atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan

lainnya, dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses pregelatinisasi

dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses

dehidrasi lainnya (Corinthian Infopharma Corpora, 2004).

Mi instan disini adalah mi yang bermerek (branded) yang berbentuk pasta

diolah dari tepung terigu dan biasanya dikemas sedemikian rupa dengan plastik,
aluminium foil, cup, box dan sebagainya. Instan sendiri dicirikan dengan adanya

penambahan bumbu dan memerlukan proses rehydrasi untuk siap dikonsumsi

(Corinthian Infopharma Corpora, 2004).

Mi instan terbuat dari tiga bahan baku yaitu tepung terigu, minyak sayur,

dan bumbu penyedap (seasoning). Secara sederhana proses pembuatan mi instan

diawali dengan menyediakan bahan baku yang akan digunakan, kemudian

dilakukan proses pencampuran antara air, bahan baku yang akan digunakan

kemudian dilakukan proses pencampuran antara air, bahan baku utama dan bahan

baku tambahan yang bertujuan untuk membentuk tekstur (mixing). Selanjutnya

dilakukan pessing, yaitu proses yang menghasilkan lembaran-lembaran untaian mi

dan siap untuk pengukusan (steaming). Pengukusan dilakukan untuk membunuh

bakteri dan merupakan proses yang menentukan tekstur mi. Setelah itu dilakukan

proses pemotongan dan siap untuk proses penggorengan (cutting). Proses

selanjutnya adalah pendinginan untuk kemudian siap dikemas (cooling), yang

berfungsi untuk melindungi produk dari pengaruh luar (Corinthian Infopharma

Corpora, 2004).

Defenisi mi instan menurut Japan Agricultural Standards (JAS) adalah mi

instan dibuat dari bahan tepung beras atau tepung gandum yang diberi tambahan

bumbu atau rempah-rempah. Mi diproses sedemikian rupa untuk meningkatkan

elastisitas dan viskositas, kemudian mi didehidrasikan, ditambahkan aroma

kemudian mi instan siap diolah. JAS mengklasifikasikan mi instan menurut

wadah, pengemasan, rasa dan pembuatan dimana pada dasarnya mi instan dibagi
dalam dua jenis yaitu mi dalam kemasan plastik dan mi dalam kemasan gelas

(cup)

Mi instan

Mi dalam kemasan plastik Mi dalam kemasan gelas/cup

Mi instan Mi instan Mi instan


ala Cina ala Jepang ala Barat Mi instan ala Mi instan ala
Cina Jepang

Mi goreng
Mi goreng Mi goreng Mi goreng yang
yang yang yang digelatinisasi
digelatinisasi digelatinisasi digelatinisasi

Mi rebus Mi rebus
yang tidak Mi rebus yang
digelatinisasi Mi rebus yang digelatinisasi
yang digelatinisasi
digelatinisasi
Mi rebus
yang
digelatinisasi

Gambar 2.3. Klasifikasi berdasarkan wadah, pengemasan, rasa dan pembuatan

Sumber : Japan Agriculture Standards (JAS)

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Yunianti (2001) melakukan penelitian mengenai Implikasi Kebijakan

Tepung Terigu Terhadap Industri Tepung Terigu dan Industri Makanan: Studi

Kasus Industri Mi Instan bertujuan untuk memberikan gambaran pengaruh

kebijakan pemerintah terhadap struktur, perilaku dan kinerja industri tepung terigu

serta menganalisis kebijakan-kebijakan perusahaan terhadap industri tepumg

terigu serta menganalisis kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap industri tepung


terigu dan industri makanan berbasis tepung terigu. Hasil penelitiannya mengenai

struktur, perilaku dan kinerja industri mi instan. Pertama, pada industri mi instan

campur tangan pemerintah secara langsung sangat terbatas, industri mi instan

sangat terkonsentrasi, adanya deregulasi tata niaga tepung terigu tahun 1998

ternyata tidak mengubah struktur industri mi instan secara drastis, adanya

hubungan vertikal antara industri hulu dengan industri hilirnya. Kedua, pada

industri mi instan mempunyai konsentrasi tinggi yaitu kurang lebih 89 persen dan

berada pada pasar yang lebih kompetitif karena sifat produknya yang consumer

good, dengan memberikan kontribusi tepung terigu sebesar 16 persen dari total

penjualan bersih maka divisi mi instan dapat memberikan kontribusi yang lebih

besar yaitu 34 persen dari total penjualan. Ketiga, adanya kebijakan proteksi pada

barang antara yang merupakan bahan baku utama telah mempengaruhi struktur

industri penghasil barang akhir yang mempunyai hubungan vertikal.

Alistair (2004) melakukan penelitian pada industri tepung terigu mengenai

Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja pada Industri Tepung Terigu di

Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa struktur pasar tepung terigu di Indonesia adalah bentuk pasar yang dikuasai

oleh satu perusahaan dominan yang setiap tahunnya meraih pangsa pasar lebih

dari 50 persen. Hambatan masuk pada industri ini cukup tinggi jika dilihat dari

perangkat-perangkat legal dan kondisi alamiah yaitu adanya peraturan SNI wajib

bagi tepung terigu dan MES yang sangat tinggi. Perilaku yang terjadi

menggambarkan perusahaan yang mendominasi pasar memiliki strategi produk

dan promosi yang paling berkembang sedangkan penetapan harga biasanya


dilakukan dengan melihat harga bahan baku di pasar internasional yang kemudian

dikoordiansikan di antara para produsen tepung terigu. Kinerja yang dilihat dari

utilitas kapasitas produksi menggambarkan bahwa produsen tepung terigu tidak

memaksimalkan kapasitas produksinya. Hasil lainnya yang didapat dari penelitian

ini adalah meskipun setelah deregulasi pada tahun 1998 industri tepung terigu

masih dikuasai oleh perusahaan dominan namun rupanya tidak menjadi suatu

masalah besar bagi produsen lain. Masalah utama bagi para produsen lokal adalah

meningkatnya volume impor yang melakukan praktek dumping maupun yang

tidak memenuhi peraturan SNI.

Robert (1995) meneliti mengenai Struktur-Perilaku-Kinerja pada industri

pemintalan dengan judul Hubungan Struktur dengan Kinerja Pasar (Studi Empiris

pada Industri Pemintalan). Penelitian ditujukan untuk melihat pengaruh struktur

berdasarkan pangsa pasar, konsentrasi dan Hirschman-Herfindahl Index terhadap

kinerja industri tekstil yang diproksi dengan Price-Cost-Margin. Hasil penelitian

yang meregresikan variabel CR, efisiensi-X dan produktivitas terhadap PCM

terdapat hubungan positif antara pangsa pasar dengan keuntungan perusahaan-

perusahaan di dalam pasar. Dengan terbuktinya pangsa pasar yang mempengaruhi

keuntungan, menunjukkan adanya suatu kekuatan pasar yang memungkinkan

terjadinya perilaku kolusif di antara pelaku.

2.5. Kebijakan Yang Terkait Dengan Industri Mi Instan

Struktur pasar yang semakin terkonsentrasi mempunyai perilaku yang

eksploitatif, seperti pengaturan harga, adanya hambatan masuk pasar yang

menyebabkan industri semakin tidak atau kurang efisien, sehingga tingkat


kesejahteraan masyarakat menurun. Oleh karena itu tujuan utama dilakukan

kebijakan oleh pemerintah adalah untuk membantu kelemahan-kelemahan yang

dialami mekanisme pasar.

Kebijakan Pemerintah

Sejak tahun 1983 pemerintah mengeluarkan paket-paket deregulasi yang

dapat mencerahkan iklim investasi dan perdagangan, baik di dalam maupun di

luar negeri. Kebijakan ini sebagian besar ditujukan untuk membangun industri dan

mengembangkan iklim investasi yang baik. Dengan demikian diharapkan pada

masa-masa yang akan datang sektor industri dapat menjadi tulang punggung

perekonomian Indonesia.

Peraturan yang menunjang pembangunan sektor industri juga mulai

diperbaiki seperti peraturan tentang mutu, periklanan dan label serta pengawasan

kualitas dan keamanan bahan baku serta produk itu sendiri.

1. Kebijakan dalam Investasi

Keputusan Presiden No.31 Tahun 1995 yang termuat dalam paket

deregulasi bulan Mei 1995 (Pakmei 1995) tentang daftar bidang usaha yang

tertutup bagi penanaman modal (daftar negative list). Dalam paket tersebut

industri mi instan tidak termasuk dalam daftar negatif investasi tersebut. Hal ini

berarti industri mi instan masih terbuka untuk investor baru domestik PMDN,

PMA, maupun non PMA atau PMDN.


2. Kebijakan dalam Bidang Ekspor

Ditemukannya produk-produk dari Eropa terutama Belgia yang

terkontaminasi bahan kimia polychlorinated byphenyls (PCBs) dan carcenogin

dioxin yang bisa menyebabkan kanker. Adanya kejadian ini maka Indonesia

segera memberlakukan larangan impor. Importir dari Singapura hanya diizinkan

menjual produk manufaktur asal Eropa yang diimpor sebelum 20 Januari 1999.

Dalam UU No.7 Tahun 1996 tentang pangan pasal 36 (ayat 1) disebutkan bahwa

setiap pangan yang dimasukkan ke wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib

memenuhi ketentuan dalam UU dan peraturan pelaksananya. Ayat (2) setiap orang

dilarang memasukkan pangan di dalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan

di dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam UU dan PP.

Pasal 37 berbunyi :

(a) dengan telah diuji dan atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi

keamanan, mutu, dan atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal,

(b) pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan atau pemeriksaan,

(c) pangan terlebih dulu diuji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan,

mutu, dan atau gizi sebelum peredarannya.

3. Kebijakan dalam Bidang Impor

Berdasarkan Pakmei 1995, produk mi instan tidak termasuk barang yang

terkena tataniaga impor. Hal ini diperkuat dengan paket Januari 1996 dan paket

November 1997. Dengan demikian impornya boleh dilakukan oleh para importir
umum (IU) dan tidak harus oleh importir terdaftar (IT). Berikut jadwal penurunan

tarif bea masuk dari tahun 1995 sampai tahun 2003.

Tabel 2.4. Jadwal Penurunan Tarif Bea Masuk dari Tahun 1995 Sampai Tahun
2003
Sebelum
Pakmei
Pakmei 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
1995
1995
5% T t T t t ≤ 5%
10% 5% t T t t ≤ 5%
15% 10% t 5% t t ≤ 5%
20% 15% t 10% t 5% ≤ 5%
25% 20% 15% T 10% t T t T ≤ 10%

30% 25% 20% t 15% t 10% t T ≤ 10%

35% 30% 25% t 20% t 15% t 10% ≤ 10%

40% 30% 25% t 20% t 15% t 10% ≤ 10%

Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Keterangan : t : yaitu tetap


≤ : yaitu setinggi-tingginya

Tarif bea masuk mi instan mengalami penurunan secara bertahap. Hingga

1994 (Pakjun 1994) tarif bea masuk mi instan berkisar antara 5 sampai 20 persen

sedangkan bea masuk tambahan telah ditiadakan sejak 1991 dan dengan paket

deregulasi Mei 1995 terjadi penurunan bea masuk. Bea masuk mi instan di

turunkan menjadi 5 persen yang berlanjut sampai sekarang.

4. Kebijakan dalam Bidang Pengawasan Bahan Baku dan Produksi

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 386/Menkes/SK/IV/1994

disebutkan bahwa untuk memproduksi makanan termasuk mi instan harus

mendapat izin dari Menteri Kesehatan dan sebelum diedarkan harus didaftarkan

lebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan dari Depkes RI. Persetujuan yang

dimaksud dalam peraturan tersebut adalah produknya memenuhi standar mutu


atau persyaratan yang ditetapkan oleh menteri di negara asalnya (bagi produk

impor) tidak dilarang peredarannya, tidak berbahaya atau mengganggu kesehatan

manusia, bebas dari hama atau penyakit yang dapat menular pada manusia, hewan

dan tumbuh-tumbuhan.

Ketentuan dalam peraturan Menteri Kesehatan No.79/Men

Kes/Per/III/1978 tentang wadah, pembungkus, penandaan, etiket, label serta

periklanan.

Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, isinya

bahwa pengusaha yang dengan sengaja memperdagangkan produk yang tidak

layak dikonsumsi atau berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Peraturan Menteri Kesehatan No.239/ MenKes/Per/V/1985 tentang zat

warna yaitu bahan yang digunakan untuk memberi warna atau memperbaiki

warna bahan atau barang.

2.6. Kerangka Pemikiran

Posisi Indofood sebagai produsen mi instan terbesar di Indonesia hingga

saat ini belum ada yang menandingi. Perusahaan ini sudah terlanjur besar dan

menguasai pasar dalam periode waktu yang cukup lama, sehingga sulit bagi

perusahaan lain untuk menyamainya. Posisi pesaingnya masih jauh dibawah

produk-produk kelompok Indofood.

Setelah terjadi perubahan politik dan juga mulainya dibuka kran impor

tepung terigu, para pesaing Indofood ini tampaknya mulai bergerak. Mereka

cukup agresif dalam mengambil bagian pasar Indofood, dan kondisi ini memang

telah mulai menggerogoti posisi pasar Indofood. Tetapi kelihatannya masih perlu
waktu lama untuk bisa mengambil bagian lebih dari 50 persen bagian Indofood

dari yang sekarang sekitar 85 persen. Kondisi yang demikian telah menyebabkan

persaingan pasar yang ketat, para konsumen juga semakin bebas memilih produk

dengan harga yang relatif rendah dan bervariatif.

Persaingan yang ketat dapat dilihat dari kondisi struktur pasarnya yang

kemudian dari struktur akan mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan.

Ketiga kondisi tersebut pada akhirnya akan berujung pada implikasi kebijakan

yang dibuat oleh pemerintah maupun badan-badan pengawas yang terkait.

Dimana implikasi kebijakan tersebut akan berpengaruh pada perilaku perusahaan.

Industri mi instan

Struktur Perilaku Kinerja

Implikasi Kebijakan

Gambar 2.4. Skema Alur Pemikiran Konseptual

Pada Gambar 2.4. memperlihatkan kerangka pemikiran konseptual yang

akan dianalisis dalam penelitian ini. Permasalahan utama yaitu bagaimana

persaingan dalam industri mi instan yang dilihat dari struktur-perilaku-kinerja dan

pengaruh implikasi kebijakan yang akan dianalisis dengan menggunakan

persamaan PCM dengan variabel-variabel eksogen yang membangun persamaan

tersebut.
2.7. Hipotesis

Berdasarkan keberadaan industri mi instan saat ini, dan teori-teori yang

mendasari penelitian ini, maka hipotesis yang diajukan adalah :

(1) konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) memiliki hubungan yang positif

terhadap tingkat laba (PCM). Semakin tinggi konsentrasi empat perusahaan

terbesar (CR4) maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang akan

diperoleh perusahaan. Sedangkan tingkat konsentrasi memiliki hubungan yang

negatif dengan tingkat persaingan dimana ketika tingkat konsentarsi

meningkat maka akan menurunkan tingkat persaingan dan sebaliknya;

(2) efisiensi-X memiliki hubungan yang positif terhadap PCM. Efisiensi-X berarti

biaya pada tingkat yang minimum yang memungkinkan. Semakin efisien

suatu perusahaan maka memungkinkan suatu perusahaan untuk memproduksi

sebuah produk dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama karena

efisiensi merupakan pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh

perusahaan dalam jangka panjang akan lebih murah. Dengan adanya efisiensi

maka tingkat keuntungan perusahaan akan meningkat;

(3) produktivitas memiliki hubungan yang positif dengan PCM. Produktivitas

merupakan perbandingan antara nilai output dengan nilai input tenaga kerja.

Semakin tinggi nilai output akan meningkatkan nilai produktivitas suatu

perusahaan. Produktivitas yang meningkat menunjukkan kinerja yang

meningkat pula. Kinerja yang meningkat akan menambah penghasilan dan

keuntungan bagi perusahaan;


(4) intensitas ekspor memiliki hubungan yang positif dengan PCM. Kemampuan

perusahaan untuk melakukan ekspor yang tinggi dan yang dapat mencegah

tindakan mengimpor kembali barang yang telah diekspor akan meningkatkan

intensitas ekspor sehingga akan meningkatkan tingkat keuntungan perusahaan;

(5) intensitas impor memiliki hubungan yang negatif dengan PCM. Adanya

persaingan barang impor dapat mengurangi kekuatan pasar yang ada dalam

industri dalam negeri. Keberadaan barang impor dapat mendorong produsen

dalam negeri untuk menurunkan harga (sejauh masih di atas biaya produksi)

agar tidak kehilangan pangsanya dalam pasar domestik. Semakin tingginya

intensitas impor berarti penerimaan yang didapat suatu perusahaan akan

semakin menurun hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang

akan diterima perusahaan juga akan semakin menurun;

rata-rata tingkat pertumbuhan nilai produksi yang mewakili kondisi permintaan

pasar (GRS) memiliki hubungan positif dengan PCM.


III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Dalam pelaksanaan penelitian diperlukan data-data yang akurat untuk

membahas dan menganalisis hasil penelitian. Data untuk penelitian ini adalah data

sekunder. Data sekunder diambil dari data-data yang sudah diolah pada instansi-

instansi terkait yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), PT Corinthian Infopharma

Corpora, Departemen Perindustrian, dan Lembaga Sumber Daya Informasi (LSI).

Pengumpulan data juga dilakukan dengan mengambil data-data dari data skripsi,

buku dan berbagai sumber yang menunjang penelitian ini.

Data yang digunakan untuk analisis Structure Conduct Performance (SCP)

secara deskriptif adalah data dari tahun 1999 sampai 2003, yaitu ketika persaingan

dan produsen mi instan semakin berkembang. Sedangkan data statistik yang

diestimasi merupakan data time series dengan jumlah observasi 18 yaitu tahun

1986 sampai 2003 dan diolah menggunakan software E-Views 4.1. data yang

diperoleh masih dalam bentuk nominal yang harus diubah kedalam bentuk riil

dengan membagi data nominal dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB).

IHPB adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya perubahan harga

pada tingkat harga perdagangan besar atau harga grosir dari komoditi-komoditi

yang diperdagangkan disuatu negara atau daerah. Komoditi tersebut merupakan

produksi-produksi dalam negeri yang dipasarkan di dalam negeri ataupun

diekspor dan komoditi yang diimpor. IHPB yang digunakan pada penelitian ini

adalah IHPB dengan tahun dasar 1993 (1993=100) yang diperoleh dari BPS.
3.2. Metode Analisis

Analisis data yang telah didapatkan dilakukan dengan baik secara deskriptif

dengan memberikan gambaran dari hasil penelitian maupun secara kuantitatif

dengan melihat pengaruh variabel-variabel yang saling berhubungan.

Model penelitian yang digunakan untuk melihat bagaimana perkembangan

industri mi instan di Indonesia adalah dengan menggunakan pendekatan SCP

(Structure-Conduct-Performance) dengan metode OLS (Ordinary Least Square).

Penggunaan metode OLS dikarenakan OLS merupakan metode yang paling

populer dan sangat berpengaruh dalam analisis garis regresi serta memiliki

ketepatan estimasi. Estimator-estimator yang diperoleh dengan menggunakan

metode least square dikenal dengan estimator-estimator least square. Estimator-

estimator least square tersebut memilki sifat-sifat sebagai berikut:

1. Estimator-estimator OLS hanya mengeskpresikan nilai-nilai yang dapat

diamati (yaitu, Y dan X) sehinga mudah dihitung,

2. Estimator-estimator itu merupakan estimator-estimator titik. Untuk sampel

tertentu, tiap estimator hanya memberikan satu nilai tunggal pada parameter

populasi yang relevan. Berbeda dengan estimator-estimator dalam interval

yang memberikan kemungkinan-kemungkinan berbagai nilai-nilai pada

parameter-parameter populasi yang tidak diketahui,

3. Sekali estimator-estimator dengan OLS diperileh dari daata sampel, garis

regresi sampel dapat ditentukan dengan mudah.

Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis penelitian yaitu sebagai

berikut.
3.2.1. Analisis Struktur Pasar (Market Structure)

Elemen utama dalam struktur pasar adalah :

a. Pangsa Pasar

Setiap perusahaan mempunyai pangsa pasar yang berbeda-beda yaitu berkisar

antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar

menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualannya.

si
msi = x 100 (3.1)
stot

Dimana :

msi = Pangsa pasar perusahaan i (%)

si = Penjualan perusahaan i

stot = Penjualan total seluruh perusahaan

b. Konsentrasi Industri

Tingkat konsentrasi dapat dihitung dengan dua cara yaitu Concentration Ratio

(CR) dan Indeks Hirschman–Herfindahl (HHI). Dimana CR menggambarkan

struktur pasar sedangkan penggunaan HHI untuk mengetahui industri mi instan

berada pada struktur pasar yang bagaimana berdasarkan interval indeksnya.

• Rasio Konsentrasi (CR)

Rasio konsentrasi merupakan persentase dari total output industri atau

pendapatan penjualan. Rasio konsentrasi sejumlah perusahaan besar mengukur

pangsa relatif dari total output industri yang dipertanggungjawabkan oleh

perusahaan-perusahaan itu

m
CR m = ∑ MS i (3.2)
i =1
Semakin besar angka persentasenya (mendekati 100 persen) berarti

semakin besar konsentrasi industri dari produk tersebut. Jika rasio konsentrasi

suatu industri mencapai 100 persen berarti bentuk pasarnya adalah monopoli.

• Indeks Hirschman – Herfindahl (HHI)

Pengukuran ini didasarkan pada jumlah total dan distribusi ukuran dari

perusahaan-perusahaan dalam industri. Dihitung dengan penjumlahan kuadrat

pangsa pasar semua perusahaan dalam suatu industri.

n (3.3)
HHI = ∑ MS i2
i =1

Dimana pada persamaan (3.2) dan (3.3):

CRm = Rasio konsentrasi sebanyak m perusahaan (%)

HHI = Indeks Hirschman – Herfindahl

MSi = Pangsa pasar perusahaan ke-i (%)

m = Jumlah perusahaan terbesar

n = Jumlah total seluruh perusahaan yang berada pada industri

HHI akan mempunyai nilai 1 jika suatu perusahaan menguasai penjualan industri

100 persen. HHI mempunyai nilai 1/n jika masing-masing perusahaan dalam

industri mempunyai jumlah penjualan yang sama.

c. Hambatan Masuk Pasar

Hambatan masuk pasar dapat disebabkan oleh adanya persaingan bisnis mi

instan yang semakin ketat. Masih adanya perusahaan mi instan yang berperan

secara dominan menyebabkan peluang pasar perusahaan yang lain semakin kecil

karena dikuasainya sebagian besar pangsa pasar mi instan serta adanya perang
harga antara para produsen menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat.

Adanya respon terhadap otonomi daerah menyebabkan para pelaku industri

memunculkan produk-produk mi instan dengan dengan cita rasa daerah sehingga

setiap daerah telah memiliki cita rasa yang berbeda-beda dan itu juga merupakan

sebagai penghambat bagi pelaku industri mi instan yang lain untuk menjual

produknya ke daerah-daerah. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat

hambatan masuk adalah dengan mengukur skala ekonomis yang didekati melalui

output perusahaan yang menguasai pasar lebih dari 50 persen. Nilai output

tersebut kemudian dibagi dengan output total industri. Data ini disebut sebagai

Minimum Efficiency Scale (MES).

Output perusahaan terbesar


MES = (3.4)
Output total

3.2.2. Perilaku Pasar (Market Conduct)

Elemen-elemen dalam perilaku pasar adalah:

a. Strategi Harga dan Produk

Strategi penetapan harga suatu industri tergantung dari beberapa faktor

produksi, terutama bahan baku. Semakin banyak masyarakat yang mengkonsumsi

mi instan berarti semakin banyak pula impor gandum atau tepung terigu yang

didatangkan dari luar negeri serta bahan-bahan pendukung dalam pembuatan mi

instan. Strategi harga bagi industri mi instan dapat dilakukan dengan membuat

harga yang bersaing dan terjangkau mulai dari kalangan bawah sampai atas.

Sedangkan strategi produk dapat dilakukan dengan membuat produk-produk yang

High-End artinya adanya spesifikasi produk untuk konsumen menengah ke atas


dan ke bawah serta menciptakan produk yang berkaitan dengan peristiwa-

peristiwa khusus dan bersifat occasional (temporer). Dalam hal ini yang akan

dilihat apakah terdapat strategi khusus dalam menentukan produk yang akan

dijual, seperti adanya diversifikasi produk ataupun kesepakatan jumlah penawaran

produk.

b. Strategi promosi

Strategi promosi dilakukan melalui advertensi (periklanan). Iklan dilakukan

oleh perusahaan untuk menarik konsumen memakai produknya dan untuk

mendapatkan brand image di masyarakat. Strategi promosi dapat berupa antara

lain promosi berhadiah langsung yaitu berupa pemberian diskon atau hadiah.

c. Tindakan Vertikal

Tindakan vertikal yang dimaksud adalah penguasaan serangkaian proses

produksi barang tertentu mulai hulu sampai hilir (integrasi vertikal). Penguasaan

bahan baku serta pangsa pasar dengan mengeluarkan berbagai jenis merek untuk

menghambat pesaing lain untuk masuk pasar. Dengan demikian merek-merek

yang sering dijumpai adalah hanya merek-merek yang sama.

3.2.3. Kinerja Pasar (Market Performance)

Analisis kinerja dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost-

Margin (PCM), efisiensi-X dan utilisasi kapasitas produksi. PCM dinyatakan

sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga di atas biaya

produksi. PCM juga didefinisikan sebagai persentase keuntungan dari kelebihan

penerimaan atas biaya langsung.


P − AVC Nilai tambah − Upah Total
PCM = = (3.5)
P Barang yang dihasilkan

Pengukuran efisiensi dapat dilakukan dengan menghitung rasio nilai tambah

dengan nilai input ataupun dengan cara mengukur atau melihat tingkat utilisasi

kapasitas produksi perusahaan-perusahaan di industri tersebut.

Nilai tambah industri (3.6)


X − eff =
Nilai input industri

Utilisasi kapasistas produksi (3.7)


Utilisasi =
Kapasitas produksi

3.2.4. Hubungan Struktur dan Kinerja

Struktur suatu pasar dapat menjelaskan bagaimana kinerja pasar dimana

setiap industri memiliki struktur dan kinerja yang berbeda-beda. Struktur pasar

yang optimal dapat memberikan atau menciptakan suatu kombinasi yang baik

bagi suatu kinerja. Sedangkan struktur yang alami (natural structure) adalah

struktur yang hanya terdapat dalam pasar yang nyata, struktur alami cenderung ke

arah oligopoli yang ketat. Untuk melihat hubungan struktur dan kinerja dalam

penelitian ini menggunakan model regresi berganda (Ordinary Least Square).

Variabel endogen adalah proksi dari keuntungan industri yaitu PCM (persen).

Variabel eksogen yang digunakan adalah rasio konsentrasi (persen), nilai

efisiensi-X (persen), produktivitas (persen), jumlah ekspor (ton), jumlah impor

(ton) dan pertumbuhan (persen).

Penggunaan variabel PCM sebagai proksi keuntungan telah dilakukan

oleh Collins dan Preston (1968,1969), lalu kemudian digunakan pula oleh
Shepherd (1972) dan kini PCM semakin banyak digunakan dalam penelitian-

penelitian ilmiah. Rasio konsentrasi juga telah banyak digunakan sebagai variabel

struktur yang akan mempengaruhi profitabilitas, antara lain digunakan oleh

Shepherd (1992) dan Katrak dalam Alistair (2004) sebagai variabel bebas utama

yang menentukan keuntungan pasar. Di Indonesia penelitian menggunakan rasio

konsentrasi sebagai variabel struktur juga digunakan Robert (1995) yang

dijelaskan pada persamaan (3.11).

PCM = α 0 - α 1Kt + α 2CRmt - α 3St + α 4AIt + α 5RGt (3.8)

Profit Rate = α 0 + α 1CRmt + α 3St + α 4AIt + α 5Gt (3.9)

Penggunaan variabel efisiensi-X didasarkan pada pendapat Shepherd

(1979) yang mengatakan bahwa kinerja merupakan fungsi dari pangsa pasar,

konsentrasi, hambatan masuk, efisiensi internal, dan kondisi eksternal. Efisiensi-X

dan produktivitas juga digunakan oleh Robert (1995) dan Alistair (2004) dalam

model PCM (persamaan (3.11)).

Variabel ekspor dan impor digunakan oleh Chou (1986) sebagai faktor

yang juga menentukan profitabilitas (persamaan (3.10)) dengan variabel bebasnya

menggunakan indeks Hirschman-Herfindahl (Hd), rata-rata tingkat pertumbuhan

nilai produksi industri yang mewakili kondisi permintaan pasar (GRS), pangsa

pasar domestik perusahaan untuk mencapai skala efisiensi minimum (MESMS),

intensitas impor (Tm), intensitas ekspor (Tx), variabel dummy yang mewakili

perusahaan negara (PE), dan rasio jumlah perusahaan asing terhadap total jumlah

perusahaan yang ada (FDI). Model yang digunakan Chou dalam penelitiannya

adalah:
PCM = α 0 + α 1HD + α 2MESMS + α 3GRS + α 4PE - α 5Tm - α 6Tx

- α 7FDI (3.10)

PCM = α 0 + α 1CRmt + α 2X-efft + α 3Prodt + α 4Txt + α 5Tmt (3.11)

Dimana pada persamaan (3.8) sampai (3.11):

Kt = Intensitas modal,

CRt = Rasio konsentrasi,

St = ukuran perusahaan,

AIt = Intensitas iklan,

RGt = Pertumbuhan pendapatan,

Gt = Pertumbuhan,

GRS = Pertumbuhan,

HD = Indeks Hirschman-Herfindahl,

MESMS = Skala efisiensi minimum,

PE = Perusahaan negara,

FDI = Rasio jumlah perusahaan asing terhadap total jumlah perusahaan,

Tmt = Intensitas impor,

Txt = Intensitas ekspor,

X-efft = Efisiensi-X,

Prodt = Produktivitas.

Dalam penelitian mengenai Struktur-Perilaku-Kinerja Industri Mi Instan di

Indonesia, variabel HD diganti dengan variabel CR4. Variabel MESMS dan FDI

tidak digunakan dalam model karena keterbatasan data. Variabel dummy PE tidak

dimasukkan ke dalam penelitian karena didalam industri mi instan di Indonesia


tidak ada perusahan negara. Berdasarkan model-model hubungan struktur dan

profitabilitas yang telah dijelaskan pada persamaan (3.8) sampai (3.11), maka

pada penelitian ini model yang digunakan adalah pada persamaan (3.12).

PCMt = α 0 + α 1CR4t + α 2X-efft + α 3Prodt + α 4Prodt-1 + α 5GRSt + α 6 LXt -

α 7LMt+Ut (3.12)

Dimana :

Nilai tambah − Upah


PCMt = , rasio keuntungan industri yang
Barang yang dihasilkan

mencerminkan kelebihan atas biaya langsung pada tahun ke-t (%),

PCMt-1 = Rasio keuntungan industri yang mencerminkan kelebihan atas biaya

langsung pada periode sebelumnya (%),

CRmt = Konsentrasi pasar dari m perusahaan dalam suatu industri pada tahun

ke-t (%),

Nilai tambah industri


X-efft = , rasio efisiensi yang dinyatakan sebagai
Nilai input industri

perbandingan antara nilai tambah dan nilai input industri pada tahun

ke-t untuk mengukur efisiensi internal industri (%),

Nilai output
Prodt = , produktivitas yang dinyatakan sebagai
Nilai input tenaga ker ja

perbandingan nilai output dan nilai tenaga kerja pada tahun ke-t,

GRSt = Rata-rata tingkat pertumbuhan nilai produksi industri yang mewakili

kondisi permintaan pasar pada tahun ke-t (%),

LMt = Logaritma nilai komoditi yang diimpor (ton),

LXt = Logaritma nilai komoditi yang diekspor (ton),


α0 = Intercept,

α 1, α 2, α 3, α 4, α 5, α 6 = Koefisien kemiringan parsial,

ut = Unsur gangguan.

3.3.Analisis Time Series (Runtun Waktu)

Uji stasioneritas dimaksudkan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan

data yang dianalisis, apakah mempunyai pola yang stabil, stasioner atau tidak

Apabila ditemukan data yang tidak memiliki sifat-sifat di atas, maka berbagai

indikator yang menyertai hasil analisis empiris atau hasil analisis model regresi

tidak menunjukkan sifat-sifat yang valid.

Pengujian akar unit (unit root) dilakukan untuk mengetahui kestasioneran

data, apakah data itu stasioner atau tidak stasioner. Untuk mengetahui ada

tidaknya unit root yaitu dengan menggunakan uji ADF (Augmented Dickey-

Fuller) pada program E-Views 4.1. data dikatakan stasioner jika nilai ADF test

statistik lebih kecil dari nilai Tabel Mackinnon.

Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 : data tidak stasioner (mengandung unit root).

H1 : data stasioner (tidak mengandung unit root).

Penolakan hipotesis nol menunjukkan data yang dianalisis adalah

stasioner. Variabel dikatakan tidak stasioner, jika terdapat hubungan antara

variabel tersebut dengan waktu atau trend. Model yang mengandung variabel

yang tidak stasioner sering menimbulkan masalah regresi lancung (spurious

regression), yaitu dimana hasil estimasi yang diperoleh dari model secara

stastistik signifikan tetapi pada kenyataannya secara ekonomi tidak memiliki arti
apapun, atau tidak sesuai dengan teori ekonomi yang ada. Setelah data diketahui

tidak stasioner, langkah selanjutnya yaitu dengan uji derajat integrasi.

Perbedaan antara data time series yang stasioner dan yang tidak yaitu, jika

stasioner dampak shock atau guncangan yang terjadi pada data time series yang

stasioner bersifat sementara. Sejalan dengan waktu, dampak dari shock tersebut

akan berkurang dan data time series akan kembali ke long run mean yang

berfluktuasi di sekitar mean (rata-rata) tersebut. Perilaku dari data time series

yang stasioner adalah sebagai berikut :

1). Mean dari data menunjukkan perilaku yang konstan.

2). Data stasioner menunjukkan varians (ragam) yang konstan.

3). Correlogram (diagram korelasi) yang menyempit seiring dengan penambahan

waktu.

Data yang tidak stasioner adalah data yang cenderung mengalami

perubahan yang mendasar seiring dengan berjalannya waktu (time dependent).

Perilaku data yang tidak stasioner yaitu sebagai berikut :

1). Data time series yang tidak stasioner tidak memiliki long run mean.

2). Memiliki ketergantungan terhadap waktu, dan varians akan memperbesar

tanpa batas seiring dengan perubahan waktu.

3). Correlogram dari data tersebut cenderung melebar.

3.4. Ordinary Least Square (OLS)

Ekonometrika adalah integrasi dari teori ekonomi, matematika dan

statistik, untuk menduga nilai parameter dari hubungan-hubungan ekonomi dan

menguji teori ekonomi (Koutsoyiannis,1978). Sedangkan menurut Roefiq, (2002)


analisis regresi adalah suatu metode yang berguna untuk menentukan pola

hubungan satu variabel yang disebut sebagai variabel dependen dengan satu atau

lebih variabel independen. Tujuan analisis regresi adalah untuk memperkirakan

nilai rata-rata dari variabel dependen apabila nilai variabel yang menerangkan

sudah diketahui. Dari persamaan regresi yang telah diperoleh, terlebih dahulu

harus diuji apakah memenuhi kriteria yang ditetapkan, dalam arti tidak terjadi

penyimpangan yang cukup serius dari asumsi-asumsi yang diperlukan dalam

model regresi. Beberapa asumsi yang harus diuji terlebih dahulu dalam model

regresi adalah: Kenormalan, Multikolinearitas, Heteroskedastisitas dan

Autokorelasi. Jika asumsi yang ada dalam penerapan model regresi dapat

terpenuhi, maka dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) akan

dapat dihasilkan koefisien regresi yang memenuhi sifat-sifat Best Linear

Unbiased Estimator (BLUE), yaitu koefisien regresi yang linear, tidak bias,

konsisten (walaupun sampel diperbesar menuju tak terhingga, taksiran yang

didapat akan tetap mendekati nilai parameternya), serta efisien (memiliki varians

yang minimum).

Dalam menggambarkan hubungan yang terjadi antar variabel yang kita

duga dapat diwujudkan dengan membuat model. Model sendiri adalah

representasi dari keadaan nyata. Suatu model dikatakan baik jika memenuhi

kriteria yang ditetapkan, dalam arti tidak terjadi penyimpangan yang cukup serius

dari asumsi-asumsi yang diperlakukan dalam model regresi. Kriteria-kriteria yang

dikatakan baik sebagai berikut :


1). Kriteria Ekonomi

Kriteria ini ditentukan oleh dasar-dasar ekonometrika dan berhubungan

dengan tanda dan besar parameter dari hubungan ekonomi. Model yang diperoleh

akan dievaluasi berdasarkan teori-teori ekonomi yang ada (Koutsoyiannis,1978).

2). Kriteria Statistik

Kriteria ini menyangkut uji statistik untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel eksogen terhadap variabel

endogen pada masing-masing persamaan maupun secara bersamaan, kemampuan

variabel eksogen dalam menjelaskan variasi atau keragaman variabel endogen.

3). Kriteria Ekonometrika

Kriteria Ekonometrika didasari oleh asumsi-asumsi dari OLS sebagai

berikut (Gujarati,1978) :

a). Nilai rata-rata kesalahan pengganggu sama dengan nol, yaitu E (ei) = 0 untuk I

= 1,2,3,…n.

b). Varian (ej) = E(Ej) = σ2 sama untuk kesalahan pengganggu (asumsi

homoskedastisitas).

c). Tidak ada autokorelasi antara kesalahan pengganggu yang berarti kovarian

(ei,ej) = 0; i ≠ j.

d). Variabel eksogen X1, X2, X3, …, Xn konstan dalam sampling yang terulang dan

bebas terhadap kesalahan pengganggu, E(Xi,ei) = 0.

e). Tidak ada kolinier ganda diantara variabel eksogen X.


f. ei ≈ N(0,σ2), artinya kesalahan pengganggu mengikuti distribusi normal

dengan rata-rata nol dan varian σ2.

Dengan dipenuhinya asumsi diatas, maka koefisien atau parameter yang

diperoleh merupakan penduga linier terbaik yang tidak bias atau Blue Linier

Unbiased Estimator (BLUE).

3.5. Uji Statistika dan Ekonometrika

Uji statistik dan ekonometrika dilakukan untuk melihat hasil regresi yang

didapatkan setelah melakukan pengujian-pengujian, apakah hasil regresi tersebut

telah memenuhi asumsi-asumsi dalam uji statistik dan ekonometrika sehingga

didapatkan model yang dikatakan baik.

Pertama, kriteria statistik yaitu menyangkut uji terhadap koefisien dari

variabel penduga atau variabel bebas melalui uji t. Koefisien penduga perlu

berbeda dari nol secara signifikan atau P-value sangat kecil. Uji kedua adalah Uji

F atau uji model secara keseluruhan. Uji F ini dilakukan untuk melihat apakah

semua koefisien regresi berbeda dengan nol atau model diterima. Pengujian ketiga

yaitu melihat koefisien determinasi R2 atau R2 adjusted. Koefisien determinasi ini

menunjukkan kemampuan garis regresi menerangkan variasi variabel terikat

(proporsi (persen) variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variabel

bebas). Nilai R2 atau R2 adjusted berkisar antara 0 sampai dengan 1, semakin

mendekati satu semakin baik.

Kedua, kriteria ekonometrika yaitu menyangkut pelanggaran asumsi

Ordinary Least Square (OLS) yaitu meliputi multikolinearitas, heteroskedastisitas


dan autokorelasi. Jika asumsi tersebut telah dipenuhi maka akan memperoleh nilai

parameter yang BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).

Ketiga, kriteria ekonomi yaitu uji tanda dan besaran untuk melihat

kecocokan tanda variabel dan nilai koefisien penduga dengan teori atau nalar.

a. Uji t

Pengujian ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel bebas.

H0 : b1 = 0 atau bi = 0

H1 : b1 ≠ 0 atau bi ≠ 0

Kriteria uji :

Probability t-statistic 〈 α , maka tolak H0

Probability t-statistic 〉 α , maka terima H0

Jika H0 ditolak, maka variabel bebas berpengaruh nyata pada taraf α terhadap

variabel tak bebasnya. Sebaliknya, jika H0 diterima berarti variabel bebas tidak

berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.

b. Uji F

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model penduga yang

diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam fungsi.

Hipotesis :

H0 : b1 = 0 atau bi = 0

H1 : minimal ada salah satu b1 ≠ 0 atau bi ≠ 0

Kriteria uji :

Probability F-statistic 〈 taraf nyata ( α ), maka tolak H0

Probability F-statistic 〉 taraf nyata ( α ), maka terima H0


Jika H0 ditolak, berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata

terhadap variabel terikat dan model layak digunakan. Sebaliknya jika H0 diterima,

maka tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata.

c. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas muncul apabila diantara masing-masing variabel

independen saling berhubungan secara linear artinya adanya korelasi yang kuat

pada sesama variabel bebas (eksogen). Uji Multikolinearitas dilakukan dengan

melihat koefisien korelasi antar variabel eksogen yang terdapat pada matriks

korelasi. Suatu model tidak mengandung gejala multikoliniearitas apabila nilai

mutlak koefisien korelasi antar variabel eksogen lebih besar dari |0.8|.

Multikolinearitas muncul apabila di antara masing-masing variabel

independen saling berhubungan secara linear. Jika hubungan itu sangat erat yaitu

(r= 1), berarti terjadi multikolinearitas sempurna, yang berakibat tidak dapat

ditentukannya koefisien dari variabel independen dan standar deviasi dari

koefisien tersebut menjadi sangat besar. Jika dari hasil pengujian statistikanya

didapatkan R2 besar, F-test besar, dan t-test juga besar, berarti tidak terjadi

multikolinearitas. Kalaupun terjadi, maka derajat multikolinearitasnya rendah.

d. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas merupakan suatu kondisi dimana nilai varian dari

variabel eksogen tidak memiliki nilai yang sama. Untuk mengetahui ada tidaknya

masalah heteroskedastisitas yaitu dengan melihat nilai Obs* R-square, jika nilai

Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka persamaan

tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. Namun dengan adanya


Heteroskedastisitas, taksiran parameter berdasarkan Ordinary Least Square (OLS)

akan tetap unbiased dan konsisten tetapi tidak efisien, artinya memiliki varians

yang lebih besar dari varian yang minimum. Gejala adanya Heteroskedastisitas

dapat ditunjukkan oleh probability Obs*R-square pada uji White

Heteroskedasticity.

H0 : γ = 0

H1 : γ = 0

Kriteria uji :

probability Obs*R-square 〈 α , maka tolak H0

probability Obs*R-square 〉 α , maka terima H0

Jika H0 ditolak, maka terdapat gejala heteroskedastisitas pada model. Sebaliknya

jika H0 diterima, maka pada model tidak terdapat gejala heteroskedastisitas.

e. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah hasil estimasi model

tidak mengandung korelasi serial di antara disturbance term. Autokorelasi adalah

tingkat hubungan linier antara pengamatan ke-t dengan pengamatan ke t + k,

dimana k adalah selisih waktu (lag). Autokorelasi terjadi jika nilai error tidak

bersifat bebas antara yang satu dengan yang lainnya. Artinya terjadi korelasi antar

error, sehingga model yang baik menghasilkan error yang acak dan tidak berpola.

Akibatnya varian (keragaman) yang diperoleh under estimate. Untuk mendeteksi

autokorelasi, dapat digunakan uji Durbin-Watson atau dengan melihat nilai Obs*

R-squared pada Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test, jika nilai Obs*R-


squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka persamaan tidak

memiliki autokorelasi.

Hipotesis :

H0 : ρ = 0

H1 : ρ = 0

Kriteria uji :

probability Obs*R-square 〈 α , maka tolak H0

probability Obs*R-square 〉 α , maka terima H0

Jika H0 ditolak maka terjadi autokorelasi (positif atau negatif) dalam model.

Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada autokorelasi dalam model.


IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MI INSTAN DI INDONESIA

4.1. Sejarah Perkembangan

4.1.1. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Dunia

Mi merupakan salah satu jenis makanan yang paling populer di Asia

khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Mi pertama kali dibuat dan

diproduksi di daratan Cina kira-kira 5000 tahun yang lalu dibawah kekuasaan

dinasti Han. Dari Cina, mi berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan,

Indocina dan Asia Tenggara, bahkan meluas ke seluruh dunia, termasuk Amerika

Serikat dan Dataran Eropa. Mi mulai diperkenalkan oleh Marcopolo ke Eropa

setelah Marcopolo melanglang buana ke Cina. Di Eropa sendiri, khususnya Italia

sekarang dikenal dengan nama spagheti. Semua jenis mi di negara tersebut

bervariasi, ada yang tipis hingga melebar. Namun mi umumnya dihidangkan

panjang-panjang. Dalam tradisi Cina ini sebagai simbol agar berumur panjang dan

umumnya dihidangkan dalam perayaan besar seperti acara ulang tahun.

Sebenarnya seni menggiling gandum dan pembuatan roti telah terlebih dahulu

berkembang di Timur Tengah yaitu Mesopotamia, Mesir, dan Persia. Logikanya

mi juga mula-mula dikembangkan dan diajarkan sebagai lembaran roti yang tidak

mengembang, yang di negara Cina tampaknya mendapat perhatian sangat khusus

dalam pengembangannya. Perkembangan permintaan mi instan di dunia dapat

dilihat pada Lampiran 7.


4.1.2. Sejarah Perkembangan Mi Instan (Ramen Instan) di Jepang

Nama ramen sendiri berasal dari sebuah merek mi instan pertama yang

dikeluarkan di Jepang yaitu” Chicken Ramen”. Pada awalnya mi ramen muncul

dalam kemasan mi yang sudah diberi bumbu sehingga konsumen hanya perlu

menambahkan air panas, namun dalam perkembangannya pada awal tahun 1960-

an mi ramen kemudian dibuat dalam kemasan dengan mi dan bumbu yang belum

tercampur sehingga konsumen bisa menambahkan bumbu sesuai selera mereka

sendiri, bumbu bisa ditambah dengan sayuran kering dan bahan tambahan lain

seperti daging atau bakso dan memberikan efek kuah yang lebih kental.

Variasi mi ramen lebih beragam di akhir tahun 1960-an. Produsen mulai

berlomba mengeluarkan produk yang berbeda satu sama lain dalam usaha

memenuhi selera konsumen. Produsen lain mengeluarkan produk mi ramen

dengan rasa dan bumbu rempah-rempah yang berbeda satu sama lain. Cara baru

dalam variasi produk mi ramen adalah mi ramen yang dikeringkan dengan udara

panas bukan dengan cara digoreng seperti mi ramen konvensional. Cara ini

diyakini bisa membuat mi ramen lebih mendekati tekstur mi basah yang segar dan

bumbu yang lebih terasa, namun kemudian diketahui jika bumbu yang kurang

terasa bukan disebabkan oleh penggorengan mi ramen sehingga inovasi lain yang

dilakukan oleh produsen adalah dengan mencampur bumbu dengan bahan cair

seperti minyak zaitun maupun minyak tumbuhan lain.

Awal tahun 1970, muncul mi ramen dalam kemasan gelas (cup). Mi ramen

dalam kemasan cup memberikan kemudahan bagi konsumen sehingga bisa

dinikmati kapan saja dan dimana saja. Kehadiran mesin penjualan otomatis
disertai dengan air panas membuat mi ramen bisa dikonsumsi di ruang terbuka

seperti ketika sedang berolah raga atau ketika sedang piknik. Inovasi lain berupa

mi ramen setengah porsi sehingga mi bisa dinikmati sebagai makanan ringan.

Pada akhir tahun 1970-an kemasan mi ramen semakin inovatif dengan munculnya

mi ramen kemasan persegi dan kemasan mangkok. Mi ramen konvensional yang

dikemas dalam plastik juga semakin berkembang dengan munculnya mi ramen

telur dan mi ramen dengan bumbu sup dalam kemasan terpisah. Pada masa ini

juga muncul mi ramen dalam berbagai rasa lokal atau daerah.

Pada tahun 1980-an, muncul mi ramen dengan cita rasa tinggi. Satu porsi

mi ramen jenis ini harganya dua kali harga mi ramen biasa. Bahkan ada mi ramen

yang dijual seharga hampir US$ 6. Meskipun harga mi ramen cita rasa tinggi ini

dijual lebih mahal namun ternyata penjualannya 40 persen dari total penjualan mi

ramen di seluruh Jepang. Mi ramen dengan porsi 1,5 kali ukuran mi ramen biasa

muncul di akhir tahun 1980-an ketika remaja yang sering mengunjungi kafe

menginginkan porsi mi ramen yang lebih besar.

Tahun 1990-an mi ramen jenis lain muncul, mi segar dengan cita rasa yang

mendekati mi tradisional. Sampai dengan tahun 1995 sebanyak 5,19 milyar porsi

ramen telah terjual mi ramen sekarang dikonsumsi sebagai makanan yang biasa

dikonsumsi oleh seluruh rakyat Jepang.

4.1.3. Sejarah Perkembangan Mi Instan di Indonesia

Mi instan diciptakan oleh Momufuku Ando pada 1958, yang kemudian

mendirikan perusahaan Nissin dan memproduksi produk mi instan pertama di

dunia Chikin Rame (ramen (sejenis mi jepang) rasa ayam). Peristiwa penting
lainnya terjadi pada 1971 dimana Nissin memperkenalkan mi gelas, produk mi

instan dalam wadah (styrofoam) tahan air yang bisa digunakan untuk memasak mi

tersebut. Inovasi berikutnya termasuk menambahkan sayuran kering ke gelas,

melengkapi hidangan mi tersebut.

4.2. Gambaran Umum Industri Mi Instan

Mulanya industri mi instan di Indonesia diawali dari industri mi basah dan

mi kering sekitar dekade 1950-an hingga 1960-an. Baru pada April 1968, dengan

berdirinya PT Lima Satu Sankyu yang menjadi cikal bakal industri mi instan di

Indonesia. Perusahaan ini mulanya berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) dan

merupakan gabungan antara pengusaha domestik yaitu antara Sjarif Adil Sagala,

SH (65 persen), Eka Widjaja Moeis (25 persen) dengan Sankyu Shakushin

Kabushiki Kaisha (15 persen) dari Jepang, negara dimana asal mulanya mi instan

berasal. Pada 1997, perusahaan ini berganti nama menjadi PT Lima Satu Sankyu

Indonesia dan kemudian berubah lagi menjadi PT Supermi Indonesia, sesuai

dengan merek mi instan andalannya, yaitu Supermi. Bahkan Supermi sempat

menjadi brand generik untuk mi instan (instan noodle) sampai akhir dekade 1980-

an.

Kemudian pada 1970, pasar mi instan diramaikan lagi dengan berdirinya

PT Sanmaru Food Manufacturing sebagai salah satu anak perusahaan baru dari

Jangkar Jati Group yang memproduksi mi instan dengan merek Indomie. Disusul

kemudian dengan berdirinya PT Sarimi Asli Jaya (Salim Group) pada 1982

dengan lokasi pabrik di Tangerang, Jawa Barat. Perusahaan ini memproduksi mi

instan dengan merek Sarimi.


Selanjutnya industri ini semakin ramai dengan mulai beroperasinya PT

Sampurna Pangan Indonesia (Sidoarjo) pada 1972 yang kini menjadi PT Heinz

Suprama, PT Khong Guan Biscuit Factory Indonesia Ltd (Jakarta) pada 1976, PT

Radiance Food Indonesia Corp. (Jakarta) dan Pandu Sari I (Purbalingga) pada

1977, PT Siantar Top Tbk (Sidoarjo) pada 1978, PT Asia Megah Food

Manufacturing (Padang) pada 1980, PT Supmi Sakti (Tangerang), PT

Jakaranatama Food Industri (Bogor), PT ABC President Enterprises Indonesia

dan produsen-produsen lain.

Sejak saat itu, pasar mi instan mulai ditandai dengan persaingan yang

sangat ketat. Terutama setelah Indofood (Salim Group) bergabung dengan Jangkar

Jati Group pada 1984, dengan membentuk PT Indofood Interna Corporation.

Perusahaan inilah yang merupakan cikal bakal Indofood Group yang bernaung di

bawah bendera PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Langkah selanjutnya terjadi

pengkristalan lagi dalam industri mi instan ketika pada 1986 PT Indofood Interna

Corporation melalui anak perusahaannya PT Lambang Insan Makmur mengambil

alih PT Supermi Indonesia.

Usaha penguasaan pasar mi instan oleh Indofood atau Salim Group tidak

berhenti sampai disini saja. Pada 1992, Salim Group telah mengambil alih seluruh

saham Jangkar Jati Group di PT Indofood Interna Corporation. Dan puncaknya

adalah ketika Indofood mencabut produknya di jaringan distributor PT Wicaksana

Overseas dan dialihkan ke PT Indomarco Adiprima. Sejak saat itu dominasi

Indofood dengan mi instan merek Indomi, Supermi dan Sarimi semakin

menguasai pasar mi instan di pasar domestik. PT Indofood Sukses Makmur, Tbk


menjadi produsen dengan kapasitas produksi terbesar yang mencapai 15 milyar

bungkus per tahun atau sekitar 1,1 juta ton atau sekitar 64,5 persen dari total

kapasitas produksi nasional.

Produsen dengan kapasitas terbesar selanjutnya adalah PT Jakaranatama

Food Industry dengan kapasitas produksi sebesar 91,9 ribu ton per tahun atau

sekitar 5,4 persen, kemudian PT Siantar Top Tbk dengan kapasitas sebesar 82,9

ribu ton per tahun atau sekitar 4,8 persen, PT Sentrafood Indonusa Corporation

dengan kapasitas sebesar 56 ribu ton atau sekitar 3,3 persen, PT ABC President

Enterprises Indonesia dengan kapasitas sebesar 54,6 ribu ton atau sekitar 3,2

persen, PT Arta Milenia Pangan Makmur dengan kapasitas sebesar 47,5 ribu ton

atau sekitar 2,8 persen dan perusahaan-perusahaan lainnya dapat dilihat pada

Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Kapasitas Produksi Produsen Mi Instan Aktif, 2004


Kapasitas
Ekivalen Share
PERUSAHAAN Produksi
(Juta Bungkus) (Persen)
(Ton)
PT Indofood Sukses Makmur, Tbk 1106072 15000 64.5
PT Jakaranatama Food Industry, Tbk 91880 1108 5.4
PT Siantar Top, Tbk 82900 1266 4.8
PT Sentrafood Indonusa Corporation 56000 766 3.3
PT ABC President Enterprises Indonesia 54583 832 3.2
PT Arta Milenia Pangan Makmur 47500 809 2.8
PT Nissin Mas 31000 471 1.8
PT Olagafood Sukses Mandiri 30456 360 1.8
PT Sentraboga Inti Selera 30000 410 1.8
PT Suryapangan Indonusa 23000 288 1.3
PT I Tsun Food Indonesia 14400 230 0.8
PT Barokah Inkopontreu 14400 219 0.8
PT Serena Indopangan Industri 6000 96 0.4
Estimasi Perusahaan Lainnya 125566 1881 7.3
Total 1713757 23736 100
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
4.2.1. Modal Asing Dalam Industri Mi Instan

Adanya orientasi ekspor ke pasar luar negeri telah mampu menciptakan

lahan investasi yang lebih terbuka lebar untuk industri pengolahan mie, termasuk

perluasan dan moderenisasi industri-industri yang sudah ada. Yang dimaksud

dengan perluasan usaha adalah perusahaan yang telah terjun di industri mi insatn

dan akan menambah kapasitas produksinya atau perusahaan yang merencanakan

akan mempromosikan merek dan atau variasi rasa baru untuk produk minya.

Sedangkan pengertian investasi baru adalah perusahaan yang akan masuk ke

bisnis mi.

Bisnis mi instan nampaknya menarik investor asing untuk berinvestasi.

Dari 31 perusahaan yang aktif dalam industri mi instan, 5 perusahaan diantaranya

adalah dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) lima perusahaan dengan

modal asing tersebut merupakan produsen besar dalam industri mi instan dan juga

produk makanan dan minuman di Indonesia. Investor yang masuk berasal dari

Jepang, Taiwan, Hongkong, Australia dan Virgin Islands.

Sebelumnya ada investor dari Swiss yaitu Nestle S.A dan Soprapha S.A

melalui PT Supmi Sakti yang kemudian diambil alih oleh PT Nestle Indonesia

dengan merek Maggi Mi. Kemudian dari Jepang ada Myojo Foods Co. Ltd. dan

Mitsui Co. Ltd. dengan mitra lokal PT Prima Intipangan Sejati dan PT Mitsui

Expor Indonesia melalui PT Myojo Prima Lestari dengan merek UMMAH dan

dari Belanda ada Maatschappij Voor International Beleggingen (Mavibel) melalui

PT Unilever Indonesia, Tbk dengan merek Mi&Mi, namun ketiga merek ini kini
tidak diproduksi lagi. Modal asing dalam bisnis mi instan di Indonesia dapat

ditunjukkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Modal Asing dalam Bisnis Mi Instan di Indonesia, 2004


Lokasi Modal Mitra
Produsen Negara Merek
Pabrik Asing Lokal
PT ABC Karawang Cayman Hongkong PT ABC ABC, GURIMI,
President President Central Food PRESIDENT
Enterprises Holding Industry
Kingstar Australia PT Anugerah
Australia Tama
Pty. Ltd. Binacitra
PT Soemadev
Corporation
PT Indofood Jakarta Nissin Food Jepang Salim Group Indomi,
Sukses Product Pemerintah RI Supermi,
Makmur, Tbk Co.Ltd. Publik Sarimi, Sakura
First
Pasific Hongkong
Co.Ltd.
PT I Tsun Sidoarjo Mr. Yang Taiwan - I TSUN,
Food Chung KA HONG
Indonesia Ching
Mr. Lee
Cheng
Hsung
PT Ciawi Batavia Virgin PT Pilarinti Gaga, Gaga Star
Jakaranatama Investment Islands Pentamegah Mi, Gaga Mi
Food British PT Eka Soun, Gaga 100
Industry Virgin Damudatama
Islands Ltd
PT Nissin Cikarang Nissin Food Jepang PT Indofood Nissin, Top
Mas Bekasi Product Sukses Ramen, Cup
Nisshoiwo Jepang Makmur, Tbk Noodles, TR
Corp. Mi, Newdles,
Jumbo-Jumbo
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Banyaknya perusahaan dan industri yang tidak dapat bertahan dari bisnis

mi instan secara tidak langsung merupakan seleksi bagi perusahaan-perusahaan itu

sendiri. Industri yang mampu bersaing akan terus berkembang, sedangkan industri

yang tidak mampu bersaing akan gulung tikar atau akan mengurangi produksi

untuk sementara waktu. Selain itu produsen yang kurang mampu menekan biaya
produksi, biasanya akan tersingkir kecuali produk yang dihasilkan telah memiliki

brand loyalti yang cukup tinggi. Seperti yang dialami PT Unilever Indonesia

dengan merek Mi & Mi yang sebelumnya sempat mengancam posisi PT Indofood

Sukses Mandiri Tbk, akhirnya tidak dapat bertahan. Meskipun demikian

munculnya Mi & Mi sempat mengkhawatirkan PT Indofood Sukses Mandiri Tbk

yang tidak mau kalah bersaing dengan mengeluarkan Chatz Mi yang sekarang

juga ikut kandas. Apalagi perusahaan lainnya PT Heinz Suprama dengan

mengeluarkan Kadabra yang tidak bisa bertahan juga. Pada tahun 2004 banyak

perusahaan yang ingin meramaikan industri mi instan diantaranya dapat dilihat

pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Perusahaan Yang Sudah Mendapat Ijin Produksi Mi Instan 2004
Kapasitas
No Perusahaan Status Tahun Ijin
(Ton)
1 PT Darmex Oil & Fats PMDN 2003
2 PT Fulso Food Industries PMDN 1995 7200
3 PT Gema Guntur Perkasa PNC 2003 20220
4 PT Goro Batara Sakti PMDN 1996 30000
5 PT Hexapratama Food Industry PMDN 1995 3750
6 PT Multirasa Prima PMDN 1997 3000
7 PT Native Prima Canned Food Industry PMDN 1997 5940
8 PT Nong Shim Sekar PMA 1995 7000
9 PT Profita Aneka Sariboga PMA 2003 1014
10 CV Ronald Agung PMA 1995 13120
11 PT Sinar Terang Inti Tunggal PMDN 1997 20000
12 PT Swada Andhika PMDN 1996 20000
13 PT Swandayani Raya PMDN 1996 20000
Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004
4.2.2. Profil Beberapa Perusahaan Mi Instan

Di Indonesia tercatat 31 perusahaan yang aktif bersaing dalam industri mi

instan. Untuk mengetahui bagaimana kondisi pangsa pasar perusahaan dalam

pasar maka profil perusahaan sangat dibutuhkan. Profil perusahaan dapat

diindikasikan untuk mengetahui keberadaan persaingan antar produsen mi instan.

Banyaknya perusahaan mi instan dan adanya keterbatasan data yang diperoleh

dalam penelitian ini mengenai profil perusahaan sehingga hanya dituliskan

beberapa profil perusahaan mi instan yang ada di Indonesia.

4.2.2.1. PT Indofood Sukses Makmur Tbk.

PT Indofood Sukses Makmur secara resmi berdiri pada 14 Agustus 1990

dengan nama PT Panganjaya Intikusuma dengan modal awal Rp.150 milyar

setelah mengambil alih saham PT Sarimi Asli Jaya (Sarimi) dan PT Supermi

Indonesia (Supermi). Pada Juni 1992, sebesar 51 persen saham diambil alih oleh

PT Indocement Tunggal Prakasa dan pada 5 Februari 1994 perusahaan berganti

nama menjadi PT Indofood Sukses Makmur. Pada pertengahan Februari 1994,

sebanyak 18 perusahaan dalam Indofood Group bergabung (merger) ke PT

Indofood Sukses Makmur. Adapun ke 18 perusahaan yang bergabung tersebut

terdiri dari 10 anak perusahaan milik Indofood Group, enam perusahaan yang

berdiri sendiri dan dua perusahaan lainnya yang merupakan anak perusahaan

milik PT Indofood Interna Corporation.

Selanjutnya setelah bergabung pada Maret 1994, Indofood memperoleh

statusnya sebagai perusahaan PMA sebagai hasil dari restrukturisasi

permodalannya. Pada 24 Juni 1994, Indofood menawarkan sahamnya kepada


masyarakat (go public) sehingga namanya berubah menjadi PT ISM Tbk. Juli

1995, PT ISM Tbk mengambil alih seluruh aset PT Bogasari Flour Mills dari

induk perusahaannya, PT Indocement Tunggal Prakasa. Saat ini PT ISM Tbk

adalah produsen mi instan yang meliputi pembuatan mi dan pembuatan bumbu mi

instan serta pengolahan gandum menjadi tepung terigu. Adapun produk mi instan

yang dikeluarkan oleh PT Indofood Sukses Makmur antara lain, yaitu MIQU,

Sarimi, Supermi, Supercup, Indomi, Sakura, Chatzmi, Jumbo, Supermi Premium,

Indomi Premium, Sarimi Besar, Ummah dan My Noodles Kids.

4.2.2.2. PT Jakaranatama Food Industry

PT Jakaranatama Food Industry didirikan pada tanggal 20 Juni 1980

dengan modal dasar Rp.150 juta dan mulai beroperasi pertama kali pada tahun

1993 dengan memproduksi mi instan. Pada tahun 1993 PT Jakaranatama Food

Industry berkecimpung dalam industri pengolahan dengan memproduksi mi

instan, mi telur dan snack. Produknya seperti Gaga Mi, Gaga Star Mi, Gaga Soun,

Michiyo, Arjuna dan Ini Mi (tidak diproduksi lagi). Pada tahun 1995 PT

Jakaranatama Food Industry masuk dalam bisnis bumbu instan nasi goreng

dengan merek Gaga yang dipasarkan tahun 1997. Saat ini perusahaan telah

memperkerjakan sekitar 664 orang tenaga kerja aktif.

4.2.2.3. PT ABC President Enterprises Indonesia

PT ABC President Enterprises Indonesia didirikan di Jakarta pada tanggal

20 Oktober 1992 dengan modal awal US$ 6 juta. Perusahaan ini mulai beroperasi

pertama kali dengan memproduksi mi instan pada tahun 1993 dan berstatus
perusahaan PMA. Perusahaan ini memperkerjakan sekitar 807 orang tenaga kerja

aktif dengan produknya antara lain, yaitu Guri Mi, ABC, dan Mi President.

4.2.2.4. PT Siantar Top Tbk.

PT Siantar Top pada awalnya bernama perusahaan makanan Siantar Top

didirikan di Surabaya (Jawa Timur) pada tahun 1972 dengan status sebagai Sole

Proprietory Company pada saat itu perusahaan hanya mengelola satu home

industry dan tradisional dengan memproduksi kerupuk tradisional dan kacang

olahan. Perusahaan ini mulai beroperasi pada tahun 1978 dan pada tahun 1979 PT

Siantar Top membangun pabrik di daerah Rungkut (Surabaya). Pada 12 Mei 1987

nama dan status perusahaan dirubah menjadi PT Siantar Top Industri dengan

modal awal sebesar Rp.500 juta. Pada bulan Maret 1988 nama perusahaan ini

dirubah lagi menjadi PT Siantar Top dan pada tahun 1989 perusahaan

membangun pabrik di daerah Waru Sidoarjo. Selanjutnya pada Desember 1994,

modal awal perusahaan ini ditingkatkan lagi menjadi Rp.100 milyar kemudian

pada 16 Agustus 1996, perusahaan melakukan Stuck Split dan Company Tbk.

Baru kemudian pada November 1996, PT Siantar Top go public dengan menjual

28,42 persen sahamnya kepada masyarakat melalui BEJ dan BES. Sejak saat itu

modalnya meningkat menjadi Rp.47,5 milyar. Perusahaan ini berstatus PMDN

dan memperkerjakan 4500 orang tenaga kerja. Pada tahun 1997 PT Siantar Top

membangun pabrik di daerah Lubuk Pakam, Deli Serdang (Sumatera Utara).

Produknya antara lain, yaitu Fajar Mi, Puji Mi, Jaya Mi, Sui Mi, Mister

Mi, Wilco Mi, Yoki Mi, Go&Go, Saleh Mi, Saleh Mi 105, Idola 105, Besto, Besto

105, N-Gy, Tasto Mi dan Sinchan Mi. PT Siantar Top merupakan anggota dari
Siantar Top Group, sebuah kelompok perusahaan yang berkembang pesat

dipimpin oleh bapak Shindo Sudimono. Aktivitas utama dari group ini adalah di

bidang industri dan pemasaran makanan dan plastik.

4.2.2.5. PT Olagafood Industry Makanan dan Minuman

PT Olagafood Industry Makanan dan Minuman didirikan pada 5 Mei 1997

di Medan Sumatera Utara dengan modal awal Rp.210 milyar. Pertengahan tahun

1999 perusahaan memproduksi mi instan dengan kapasitas produksi 360 juta pak

per tahun atau sekitar 30,5 ribu ton (mi instan perusahaan ini rata-rata berukuran

85 gram). Perusahaan ini berstatus National Private Company (NPC), perusahaan

ini mengeluarkan produk mi instan antara lain Alhami, Santre Mi dan Maitri.

4.2.2.6. PT Nissin Mas

PT Nissin Mas didirikan pada 28 Februari 1992 di Jakarta dengan modal

awal US$ 6 juta. Perusahaan ini berstatus PMA dan perusahaan ini

memperkerjakan 200 orang tenaga kerja. Produk mi instannya antara lain Nissin

Mi, Nissin Pedas Pedazz, Nissin Top Ramen dan Nissin Jumbo.

4.2.2.7. PT Karunia Alam Segar

PT Karunia Alam Segar didirikan di Surabaya, Jawa Timur pada 11

Desember 1996 dengan modal awal Rp. 3 milyar dan mulai beroperasi pada tahun

1999. Pada bulan April 2003 group Wings dan group Djarum bergabung dalam

PT Karunia Alam Segar. Pendiri perusahaan ini adalah PT Mitrajaya Ekaprana

(perusahaan swasta nasional). Perusahaan ini berstatus Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN) dan mempunyai 109 orang tenaga kerja dengan produknya

adalah mi instan Sedaap.


4.2.2.8. PT Khong Guan Biscuit Factory Indonesia

PT Khong Guan Biscuit Factory Indonesia didirikan pada 6 September

1956 bernama Giok San Kangsie dengan berstatus Naamlodze Vennootschap

(N.V) dengan modal awal Rp.1,6 juta. Pada tahun 1969 perusahaan ini mengalami

perubahan menjadi PT Khong Guan Biscuit Factory Indonesia setelah mengalami

beberapa perubahan. Pada 2 Maret 1976 perusahaan ini berubah namanya menjadi

PT Khong Guan Biscuit Indonesia dan berstatus PMDN. Perusahaan ini

mempunyai 10.009 orang tenaga kerja dan mempunyai produk mi instan Khong

Guan.

4.2.2.9. PT Heinz Suprama (PT Sampurna Pangan Indonesia)

PT Heinz Suprama yang dulunya bernama PT Sampurna Pangan

Indonesia didirikan pada 4 Maret 1971 dengan modal awal Rp.100 juta.

Perusahaan ini mulai beroperasi sejak tahun 1972 dan setelah tahun 1995

perusahaan melakukan ekspansi dengan menambah kapasitas produksi mi kering

sebesar 200 ton. Pada tahun 2000 PT Sampurna Pangan Indonesia berubah

namanya menjadi PT Heinz Suprama yang berstatus National Private Company

(NPC). Perusahaan ini mempunyai 1100 orang tenaga kerja dan produknya antara

lain, yaitu Kadabra, Duta Mi dan Surya Mi.

4.2.2.10. PT Megah Putra Sejahtera

Didirikan pada tahun 1969 dengan nama Toko Liem yang memproduksi

kopi, dimana ini merupakan cikal bakal perusahaan yang mendapat fasilitas

PMDN. Pada 4 Oktober 1972 Toko Liem ini berubah menjadi CV Usaha Dagang

dan Industri Megah, selanjutnya pada 1 November 1990 status perusahaan


berubah dari CV menjadi PT yang sekaligus berubah namanya menjadi PT Megah

Brothers dan sebulan kemudian pada 3 Desember 1990, nama perusahaan berubah

lagi menjadi PT Megah Putra Sejahtera yang berstatus PMDN dan mulai tahun

1991 PT Megah Putra Sejahtera mulai memproduksi mi instan. Perusahaan ini

mempunyai 390 orang tenaga kerja.

4.2.2.11. PT Asia Inti Selera Tbk.

PT Asia Inti Selera Tbk. Didirikan pada tahun 1953 dengan nama PT Mi

Asia. Modal awal perusahaan sebesar Rp. 360 milyar, perusahaan ini mulai

beroperasi sejak tahun 1953 di bidang mi kering. Pada tahun 1974 pabrik yang

lama dipindahkan ke Cimanggis, Bogor. Kemudian pada tahun 1990 PT Mi Asia

mulai memproduksi mi instan dan sejak tanggal 26 Januari 1990 namanya

berubah menjadi PT Asia Inti Selera. Tahun 1995 perusahaan melakukan

diversifikasi usaha lagi untuk memproduksi snack. Saat ini kapasitas produksi

pabrik tersebut adalah mi kering sebesar 37.500 ton, mi instan 10.500 ton dan

snack 1.500 ton per tahun. Hasil produksi untuk mi kering dipasarkan dengan

merek Ayam Dua Telor, sedangkan mi instan dipasarkan dengan merek Haha Mi,

Mikita dan Bossmi.

PT Asia Inti Selera berstatus Perusahaan Swasta Nasional (BRO) dengan

jumlah tenaga kerja sebanyak 300 orang. Kemudian pada bulan Mei 1997 PT Asia

Inti Selera menjadi perusahaan yang go public dengan menjual 33,33 persen

sahamnya ke masyarakat.
4.2.2.12. PT Sentrafood Indonusa

PT Sentrafood Indonusa merupakan anak perusahaan Medco Grup dengan

merek Salam Mi. Kapasitas produksi Salam Mi sejak diluncurkan tahun 1996 baru

mencapai 5 persen dari kapasitas nasional. Produk Salam Mi sebelumnya masih

dibuat di pabrik lain melalui kontrak produksi di Karawang dan Surabaya, namun

mulai tahun 1997 Salam Mi diproduksi di pabriknya sendiri, karena memang

pabrik baru milik PT Sentrafood baru selesai dibangun awal tahun 1997 di

Karawang.

4.2.2.13. PT Supmi Sakti

PT Supmi Sakti didirikan sejak 20 April 1981 dengan merek dagang

Doremi dan Sup Mi Ayam. PT Supmi Sakti juga bekerja sama dengan Nestle

untuk memproduksi mi instan merek Maggi, namun produksinya masih kecil.

Sejak 12 Januari 1995, 80 persen saham PT Supmi Sakti telah diakuisisi oleh

Nestle NA.

4.3. Saluran Distribusi Industri Mi Instan

Sebagian besar produsen menggunakan perantara pemasaran untuk

memasarkan produknya dengan cara membangun suatu saluran distribusi, yaitu

sekelompok organisasi yang saling tergantung dalam keterlibatan mereka pada

proses yang memungkinkan suatu produk atau jasa tersedia bagi penggunaan atau

konsumsi oleh konsumen atau pengguna industrial.

Saluran distribusi mempunyai beberapa fungsi penting. Pertama, sebagai

katalisator penjualan bagi perusahaan. Kedua, ketersediaan produk dan layanan

yang memuaskan dari peritel (produsen) akan meningkatkan tingkat layanan


pelanggan. Ketiga, penggunaan saluran distribusi dengan reputasi dan layanan

yang baik akan ikut meningkatkan reputasi dan citra produk.

Saluran distribusi sangat bervariasi tergantung besar kecilnya skala

industri. Produsen mi instan yang berskala kecil atau rumah tangga biasanya

mempunyai skope pasar yang relatif terbatas, sehingga pemasaran dan

distribusinya langsung ditangani oleh perusahaan yang bersangkutan.

Sedangkan produsen mi instan yang berskala menengah dan besar

umumnya mempunyai wilayah pemasaran yang lebih luas, sehingga untuk

memperlancar penyaluran produknya ke konsumen cenderung menunjuk

distributor tertentu. Untuk memasarkan produknya ke pasar ekspor dengan

menunjuk eksportir umum, maupun dilakukan sendiri (eksportir produsen).

Bahkan terkadang eksportir dan distributor masih dalam satu kelompok usaha.

Distributor sendiri selanjutnya membentuk cabang-cabang atau sub-sub

distributor untuk memasarkan produk ke tingkat retail yang lebih rendah.

Distributor menyalurkan produk ke supermarket, minimarket, hipermarket,

wholesaler, grosir, hotel, restaurant dan sebagainya. Selanjutnya wholesaler

meneruskannya ke retailer seperti toko dan warung-warung yang pada akhirnya

akan bermuara ke konsumen. Sedangkan supermarket langsung meneruskan

kepada konsumen. Selain dengan saluran distribusi yang sudah ada ada alternatif

lain yang dapat digunakan yaitu perusahaan mambuka badan usaha baru yang

merupakan anak perusahaan dan berfungsi sebagai penyalur untuk memasarkan

produknya. Dengan cara ini pemasaran produk dapat dipantau dengan cermat oleh

induk perusahaan, namun perusahaan harus menyediakan modal dan segala


keperluan untuk pendirian perusahaan baru.Saluran distribusi dalam industri mi

instan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Produsen atau pabrik Eksportir


(merangkap distributor atau eksportir)

Distributor

Grosir inti Sub distributor

Star outlet Hipermarket

Wholesaler atau grosir Supermarket


atau pasar swalayan atau minimarket
atau operasi kanvas

Retailer atau pengecer


(toko, warung dsb.)

Konsumen

Gambar 4.1. Saluran Distribusi Industri Mi Instan


Sumber: Corinthian Infopharma Corpora, 2004

Keunggulan sistem dengan menggunakan distributor ini, produsen hanya

menentukan segmen pasar yang dituju dan target pencapaian penjualan dalam satu

periode tertentu, sedangkan strategi dan pemasaran produk, sepenuhnya

merupakan tanggung jawab distributor yang ditunjuk. Sedangkan kelemahannya

yaitu harga jual produk menjadi lebih mahal, karena perusahaan harus membayar

semua biaya saluran distribusi yang dilewati oleh produk tersebut.


V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Struktur Pasar

Industri mi instan di Indonesia berawal mulai dekade 1950-an sampai

dekade 1960-an yang diawali dengan industri mi basah dan mi kering. Baru

setelah dekade 1960-an banyak bermunculan industri mi instan yang diawali

dengan berdirinya PT Lima Satu Sankyu pada tahun 1968 yang menjadi cikal

bakal industri mi instan di Indonesia.

Melihat struktur industri mi instan di Indonesia tentunya masyarakat telah

banyak mengenal Indofood Group sebagai rajanya industri mi instan. Banyak

jenis mi instan yang telah dikeluarkan oleh Indofood, Indofood Group sendiri

merupakan sub Group dari Salim Group yang memerger 18 perusahaan makanan

olahan sebagai divisi dari Salim Group. Perusahaan tersebut memerger 6 produsen

mi instan di antaranya PT Sanmaru, PT Pangan Jaya Abadi, PT Lambang Insan

Makmur, dan PT Sarimi Asli Jaya. PT Indofood Sukses Makmur dan PT Myojo

Prima Lestari adalah dua perusahaan milik Indofood Group dengan jumlah

kapasitas 782.000 ton. Tak dielakkan lagi bahwa pangsa pasar PT Indofood

Sukses Makmur terhadap pasar mi instan di dalam negeri mencapai lebih dari 80

persen. Kondisi ini mencerminkan bahwa dominasi Indofood Group terhadap

produsen mi instan yang lain diduga telah menciptakan suatu tindakan monopoli

yang masih diperdebatkan oleh pakar hukum dan pejabat pemerintah.

Struktur pasar mi instan dapat dilihat dari berbagai hal antara lain

perkembangan penjualan mi instan di Indonesia, namun karena adanya


keterbatasan data penjualan mi instan tidak dapat disajikan. Selain dari data

penjualan struktur pasar mi instan juga dapat dilihat dari tingkat konsentrasi rasio

empat perusahaan terbesar yang datanya dapat dilihat pada lampiran 1.

Berdasarkan data konsentrasi pasar yang diperoleh dari BPS, rata-rata

konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) dari tahun 1986 sampai dengan

tahun 2003 adalah sebesar 51,71 persen. Konsentrasi rasio empat perusahaan

terbesar tertinggi terdapat di tahun 1993 yaitu sebesar 96,13 persen hal ini diduga

karena pada 1992, Salim Group telah mengambil alih seluruh saham Jangkar Jati

Group di PT Indofood Interna Corporation. Dan puncaknya adalah ketika

Indofood mencabut produknya di jaringan distributor PT Wicaksana Overseas dan

dialihkan ke PT Indomarco Adiprima. Dengan demikian maka PT Indofood

Sukses Makmur semakin menguasai pasar mi instan domestik dengan nilai

produksinya yang meningkat. Setelah adanya penggabungan tersebut berarti

perusahaan baru akan mengalami kesulitan untuk memasuki pasar karena adanya

kekuatan pasar yang dimiliki oleh Indofood untuk menguasai pasar menyebabkan

sedikit sekali perusahaan baru yang berani bersaing artinya tingkat persaingannya

menurun sehingga menyebabkan naiknya tingkat konsentrasi rasio perusahaan mi

instan.

Kondisi struktur pasar mi instan di Indonesia berada pada kondisi dimana

dilihat dari konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar yaitu perusahaan yang

mempunyai pangsa 50 persen sampai 100 persen dari pangsa pasar dan tanpa

pesaing yang kuat. Menurut Martin dalam Yunianti, 2001 apabila empat

perusahaan terbesar menguasai 40 persen atau lebih terhadap total penjualan maka
struktur pasarnya tergolong oligopoli ketat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa

struktur pasar industri mi instan di Indonesia adalah oligopoli ketat karena

berdasarkan data yang didapat konsentrasi empat perusahaan mi instan terbesar

adalah sebesar 51,71 persen dimana sebagian besar pangsa pasarnya dikuasai oleh

Indofood.

5.1.1. Konsentrasi Pasar

Persaingan dalam industri sangat mempengaruhi kebijakan dan kinerja

perusahaan. Dalam persaingan yang oligopolis, perusahaan mempunyai kekuatan

yang cukup besar untuk mempengaruhi pasar. Persaingan yang sempurna

biasanya memaksa perusahaan menjadi follower, termasuk dalam harga

produknya.

Konsentrasi merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-

perusahaan oligopolis di mana mereka menyadari adanya saling ketergantungan.

Tingkat konsentrasi dipandang sebagai indikator untuk menilai sehatnya satu

industri. Penelitian ini menggunakan perhitungan konsentrasi rasio (CR). CR4

adalah konsentrasi rasio yang didapat dengan menjumlahkan pangsa pasar dari

empat perusahaan terbesar dan CR1 adalah konsentrasi rasio dari pangsa pasar

satu perusahaan terbesar. Data mengenai CR4 dan CR1 industri mi instan di

Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berdasarkan konsentrasi rasio CR4 dan CR1 yang terdapat pada lampiran

maka dapat diketahui bahwa dari tahun 1986 sampai tahun 2003 industri mi instan

di Indonesia memiliki tingkat konsentrasi rasio rata-rata (CR4) sebesar 51,71

persen dan tingkat konsentrasi tertinggi didapat di tahun 1993 yaitu sebesar 96,13
persen. Sebelum adanya kebijakan impor tepung terigu tingkat konsentrasi rasio

empat perusahaan mi instan sangat berfluktuasi yaitu berkisar antara 41 persen

hingga mencapai 96 persen. Sesuai data yang didapat dari BPS nilai rata-rata

tingkat konsentrasi satu perusahaan terbesar adalah sebesar 25,65 persen dimana

tingkat konsentrasi rasio satu perusahaan tertinggi juga didapat di tahun 1993

sebesar 92,91 persen kemudian di tahun 1989 sebesar 40,39 persen.

5.1.2. Hambatan Masuk Pasar

Masuknya perusahaan pendatang baru akan menimbulkan sejumlah

implikasi bagi perusahaan yang sudah ada, misalnya kapasitas yang menjadi

bertambah, terjadinya perebutan pangsa pasar (market share) serta perebutan

sumberdaya produksi yang terbatas. Kondisi ini menimbulkan ancaman bagi

perusahaan yang telah ada. Menurut Umar (2000) ada beberapa faktor yang bisa

menghambat masuknya pendatang baru ke dalam suatu industri, yaitu skala

ekonomi, diferensiasi produk, kecukupan modal, biaya peralihan, akses ke saluran

distribusi, ketidakunggulan biaya independen dan peraturan pemerintah.

Jika ada hambatan masuk pasar pesaing potensial tidak dapat masuk ke

pasar yang bersangkutan. Ada dua jenis hambatan masuk pasar bagi pesaing

potensial, yaitu hambatan masuk pasar privat akibat dominasi pelaku usaha yang

bergerak pada pasar yang bersangkutan dan hambatan masuk pasar karena

kebijakan-kebijakan negara (pemerintah). Hambatan masuk pasar privat antara

lain adalah hambatan akibat dikuasainya produk suatu barang, baik dalam proses

produksi dari hulu ke hilir maupun pendistribusiannya. Sehingga karena begitu

kokohnya pelaku usaha tertentu dalam sektor tertentu mengakibatkan pelaku


usaha potensial tidak mampu menembus ke pasar yang bersangkutan. Bahkan

pesaing potensial sulit masuk, walaupun pasarnya secara teoritis sudah terbuka,

karena secara faktual pasar bersangkutan sudah dikuasai, baik pasar hulunya dan

hilirnya maupun pendistribusiannya. Dan jika pesaing potensial tersebut mencoba

masuk ke pasar yang bersangkutan, biasanya berdasarkan perhitungan laba rugi

dalam jangka waktu tertentu tidak akan menguntungkan, oleh karena itu pesaing

potensial enggan masuk, karena perkiraan margin labanya baru dapat diperoleh

dalam jangka waktu yang lama.

Misalnya di sektor mi instan yang didominasi oleh PT Indofood Sukses

Makmur. Karena begitu kuatnya PT Indofood menguasai sektor mi instan dan

mempunyai kemampuan keuangan yang kuat serta mempunyai integrasi vertikal

yang kuat akan mempersulit masuknya pesaing potensial, walaupun secara teoritis

pasar mi instan sudah terbuka bagi setiap pelaku usaha.

Jadi, pada kondisi tertentu walaupun pasar yang bersangkutan sudah

terbuka, tetapi pesaing potensial enggan masuk, karena pesaing faktual sudah

menekan pada pasar yang bersangkutan. Sedangkan mi instan impor juga akan

sulit menyamai kedudukan mi instan produk PT Indofood, karena rasa mi instan

impor berbeda dengan mi instan PT Indofood. Produk mi instan PT Indofood

rasanya sudah disesuaikan dengan selera Indonesia. Sedangkan rasa mi instan

impor perlu disesuaikan dengan selera Indonesia, seperti mi instan Thailand,

Korea, Jepang, dan yang lain. Mi instan impor bisa perlahan-lahan mengambil

alih pasar mi instan Indofood, jika harganya lebih murah dan rasanya sesuai

dengan selera Indonesia serta melakukan iklan besar-besaran untuk menarik


perhatian konsumen, sehingga konsumen mau beralih ke produk mi instan impor

tersebut.

Berdasarkan teori diketahui bahwa untuk dapat mempertahankan

eksistensi dalam industri mi instan di Indonesia maka para pesaing potensial harus

memiliki ukuran efisiensi minimum (MES) yang setara dengan yang dimiliki oleh

perusahaan terbesar. Ukuran efisiensi minimum (MES) adalah ukuran paling kecil

dimana biaya diminimumkan dan MES sering berfungsi untuk mendefinisikan

ukuran dari perusahaan paling kecil dalam pasar. Sebuah pasar dikatakan efisien

menurut alokasi jika harga yang bersedia dibayar pelanggan untuk unit terakhir

yang dijual menyamai hanya untuk ekstra bagi masyarakat untuk memproduksi

unit terakhir itu. Sedangkan pasar dikatakan efisien menurut produktivitas jika

biaya total diminimumkan untuk setiap tingkat output.

Nilai MES didapatkan dari perbandingan antara nilai output perusahaan

terbesar dengan nilai output total. Besarnya MES tahun 1986 sampai tahun 2003

dapat dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan Lampiran 2 dan teori yang ada maka

dapat diketahui bahwa jika produsen baru yang ingin bersaing dalam industri mi

instan maka minimal output yang harus dihasilkan adalah rata-rata sebesar 25,58

persen dari total output mi instan di Indonesia. Menurut Comanor dan Wilson

(1967) dalam Alistair (2004), MES yang lebih besar dari 10 persen

menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri.


5.2. Perilaku Pasar

5.2.1. Strategi Harga

Harga adalah sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan manfaat

yang didapat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa yang nilainya

ditetapkan oleh pembeli dan penjual melalui tawar-menawar atau ditetapkan oleh

penjual untuk satu harga yang sama terhadap semua pembeli. Harga yang

ditetapkan perusahaan akan berada pada suatu titik antara harga yang terlalu

rendah dan yang terlalu tinggi. Biaya produk menentukan harga terendah, persepsi

konsumen terhadap nilai produk menentukan harga tertinggi dan perusahaan harus

dapat menentukan harga diantara kedua titik tersebut untuk menentukan harga

yang paling baik dan penentuan harga bisa berdasarkan persaingan (Umar, 2000).

Penentuan harga jual suatu produk tidak terlepas dari biaya produksi yang

merupakan faktor utama, disamping faktor lainnya seperti saluran distribusi,

strategi pemasaran, resiko dan promosi produk. Saluran distribusi yang rumit juga

akan menjadikan harga menjadi lebih mahal. Adanya strategi pemasaran juga

akan membutuhkan banyak biaya-biaya untuk mempertahankan pasar.

Berdasarkan harga jual, produk mi instan dibagi menjadi tiga segmen pasar mi

instan yaitu dengan harga eceran terendah di bawah Rp 500 per bungkus, mi

instan dengan harga eceran antara Rp 500 sampai Rp 750 per bungkus dan mi

instan dengan harga eceran di atas Rp 750 per bungkus.

Sejak terjadinya krisis yang diawali pertengahan tahun 1997 biaya

kemasan meningkat karena terdepresiasinya nilai mata uang rupiah terhadap

dollar karena sebagian besar bahan baku kemasan yang digunakan masih diimpor
sehingga mau tidak mau akan mendorong kenaikan harga mi instan. Selain itu

kenaikan tarif dasar listrik (TDL), air, telepon dan bahan bakar minyak (BBM)

ikut memicu kenaikan harga-harga barang secara umum. Pada industri mi instan

biaya kemasan dihitung berdasarkan nilai produk mi instan tersebut. Jika nilai

produk mi instannya murah maka biaya kemasannya otomatis menjadi tinggi dan

sebaliknya.

Faktor lain yang mempengaruhi harga jual seperti adanya produk impor

dan distributor. Agar distributor tidak mengambil keuntungan sendiri maka

produsen memberikan penghargaan atas sejumlah penjualan yang dilakukan

dengan cara ini diharapkan harga tidak mudah meningkat dari setiap jalur

distribusi yang dilewati. Dengan harga yang meningkat maka segmentasi pasar

akan menjadi semakin sempit artinya produk tersebut hanya bisa dinikmati oleh

golongan tertentu seperti golongan menegah ke atas.

5.2.2. Strategi Produk

Produk adalah suatu yang bisa ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan

perhatian, untuk dibeli, digunakan atau dikonsumsi sebagai pemenuh keinginan

atau kebutuhan. Strategi produk bisa dilihat dari dua sisi yaitu:

1. Atribut Produk

Pengembangan sebuah produk mengharuskan perusahaan menetapkan

manfaat-manfaat apa yang akan diberikan produk itu. Manfaat-manfaat ini bisa

dipenuhi oleh atribut produk misalnya mutu, desain, merek, label dan kemasan

(Umar, 2000).
a. Mutu produk menunjukkan kemampuan sebuah produk untuk menjalankan

fungsinya, ciri produk merupakan sarana kompetitif untuk membedakan

produk perusahaan dengan pesaing, sedangkan desain dapat memberikan

kegunaan atau manfaat produk serta coraknya. Jadi tidak hanya penampilan

yang diperhatikan tetapi juga dibutuhkan produk yang mudah, aman, tidak

mahal untuk digunakan, sederhana dan ekonomis dalam produksi dan

distribusi,

b. Merek. Konsumen memandang merek sebagai bagian penting dari produk

karena dengan merek dapat menambah nilai produk,

c. Kemasan. Kemasan adalah kegiatan merancang dan memproduksi wadah atau

pembungkus untuk suatu produk. Hal terpenting dalam membuat atau

mengembangkan kemasan adalah bahwa kemasan tersebut harus mempunyai

fungsi sebagai pelindung produk, menyatakan mutu tertentu dari produk atau

perusahaan dan menjaga agar kemasan tetap selalu up to date,

d. Label. Suatu label juga harus mempunyai berbagai fungsi antara lain label

harus dapat mengidentifikasi produk atau merek, label juga harus menjelaskan

tingkat mutu produk dan label harus dapat mendeskripsikan beberapa hal

tentang produk seperti siapa, dimana, kapan, komposisinya dan bagaimana

cara memakainya.

2. Daur Hidup Produk

Setelah produk baru dikeluarkan perusahaan ingin agar produknya tetap

berada di pasar dalam waktu lama dan menghasilkan penjualan yang baik karena

setiap produk pasti memiliki daur hidup yang berbeda. Pola penjualan dalam suatu
daur hidup produk ditandai oleh empat tahap, dimulai dari tahap pengenalan

produk di pasar, tahap pertumbuhan yang ditandai dengan meningkatnya laba dan

penjualan, dan tahap penurunan yang ditandai dengan menurunnya penjualan

dengan cepat.

Strategi produk diperlukan untuk meningkatkan volume penjualan dan

menarik minat para konsumen, strategi produk dapat dilakukan dengan cara

menciptakan cita rasa baru misalnya cita rasa daerah, membuat kemasan dan

ukuran produk mi instan yang menarik sesuai dengan momentum penting tertentu

misalnya pada saat Idul Fitri, Natal, Imlek, acara ulang tahun dan hari kasih

sayang.

Membuat produk-produk yang lebih bervariasi dan berkualitas yaitu

dengan menjaga mutu produk agar tetap menjadi yang terbaik sehingga konsumen

akan loyal terhadap produknya. PT Jakaranatama untuk pertama kalinya berani

mengeluarkan produk dengan kemasan yang lebih besar tetapi harga jualnya tidak

berbeda jauh dengan mi-mi instan lain. Tidak hanya rasa tapi ukuran dan

kemasan juga mampu menarik perhatian konsumen. Dengan tampil beda PT

Jakarana Tama sampai saat ini masih bisa bertahan.

5.2.3. Strategi Promosi

Promosi produk dilakukan produsen untuk menginformasikan kepada

konsumen tentang adanya suatu produk di pasar dan meyakinkan mereka untuk

membeli dan mengingatkan selalu produk tersebut. Tujuan utama promosi ini

adalah untuk menarik perhatian agar produknya tetap disukai konsumen bahkan

kalau bisa merebut pangsa pasar dari produsen lainnya.


Strategi Promosi dapat dilakukan melalui empat komponen cara yaitu

periklanan atau iklan di media massa seperti koran, tabloid, majalah, televisi,

radio, papan reklame, kalender, katalog, acara-acara khusus, pameran. Dengan

melalui iklan diharapkan masyarakat mudah mengingat akan image produk

tersebut. Selain itu promosi juga dapat dilakukan dengan kegiatan pemasaran atau

penjualan. Promosi penjualan adalah intensif jangka pendek untuk meningkatkan

pembelian atau penjualan suatu produk atau jasa yang diharapkan pembelian yang

terjadi sekarang. Promosi dapat juga dilakukan melalui penjualan perorangan

yaitu melalui penjual-penjual kecil atau wiraniaga. Promosi juga dapat dilakukan

melalui pameran dan expo, demonstrasi memasak serta berbagai kegiatan seperti

penawaran potongan harga, undian berhadiah. Cara lain untuk menarik minat

konsumen adalah dengan melakukan hubungan masyarakat (humas) yang

bertujuan untuk membangun hubungan yang baik dengan publik melalui

publisitas, mengembangkan nama baik perusahaan, mengatasi timbulnya berita-

berita yang tidak baik.

Strategi promosi yang dilakukan oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk

adalah dengan melihat perilaku dan kultur konsumen. Indofood merealisasikan

dengan memproduksi sekitar 50 jenis mi instan yang berbeda berdasarkan rasa

khas yang dimiliki berbagai propinsi di seluruh Indonesia. Selain itu Indofood

juga memproduksi mi instan untuk banyak golongan.

5.3. Kinerja Pasar

Kinerja pasar mencerminkan bagaimana pengaruh kekuatan pasar terhadap

harga dan efisiensi. Tingkat keuntungan suatu perusahaan dapat dilihat dari
kinerja perusahaannya. Tingkat keuntungan dapat dicerminkan melalui Price-

Cost-Margin (PCM) dan tingkat efisiensi dapat dilihat melalui efisiensi-X. Data

mengenai nilai besarnya PCM dan efisiensi-X tahun 1986 sampai 2003 dapat

dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

Pada Lampiran 3 selama kurun waktu 18 tahun mulai tahun 1986 sampai

tahun 2003 didapat nilai rata-rata PCM industri mi instan sebesar 26,67 persen.

Nilai PCM yang didapat sangat berfluktuasi yaitu pada tahun 2000 besarnya PCM

bernilai negatif yaitu sebesar 7,06 persen hal ini dikarenakan pengeluaran untuk

tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan kapasitas barang yang dihasilkan.

Pada tahun 1998 PCM mencapai 44.98 persen angka ini merupakan nilai PCM

tertinggi dari tahun 1986 sampai tahun 2003 dalam industri mi instan. Kemudian

nilai PCM tertinggi kedua didapat di tahun 2001 yaitu sebesar 39,90 persen dan

nilai PCM tertinggi ketiga didapat di tahun 1992 yaitu sebesar 38,25 persen.

Nilai rata-rata efisiensi-X industri mi instan di Indonesia selama tahun

1986 sampai tahun 2003 dapat ditunjukkan pada Lampiran 4. Diperoleh nilai rata-

rata efisiensi-X dari tahun 1986 sampai tahun 2003 adalah sebesar 52,19 persen.

Nilai efisiensi tertinggi berada di tahun 1992 sebesar 80,06 persen. Berdasarkan

hasil yang didapat ditunjukkan bahwa industri mi instan di Indonesia mempunyai

nilai efisiensi-X (efisiensi internal) yang cukup tinggi. Berdasarkan teori yang ada

efisiensi internal yang tinggi menggambarkan perusahaan mempunyai kinerja

yang baik, baik dari sisi tenaga kerjanya maupun dari sisi perusahaan itu sendiri.
5.4. Hubungan Struktur dan Kinerja

Untuk melihat hubungan antara struktur dengan kinerja maka digunakan

analisis Struktur-Perilaku-Kinerja. Analisis SCP melihat bagaimana struktur dan

kinerja pasar, dimana struktur pasar adalah karakteristik dan komposisi pasar dan

industri dalam suatu perekonomian sedangkan kinerja pasar mengacu pada tingkat

keberhasilan pasar dalam memberikan manfaat kepada konsumen, misalnya

dengan memberikan harga yang rendah. Paradigma SCP berpendapat bahwa

penguasaan pasar yang tinggi cenderung menghasilkan kinerja pasar yang buruk ,

yaitu konsumen harus membayar harga yang sangat tinggi. Pendekatan SCP

mengatakan bahwa struktur akan mempengaruhi profitabilitas secara positif.

Struktur pasar dianalisis dengan mengunakan CR4 yang menunjukkan bahwa

industri mi instan termasuk ke dalam tipe oligopoli ketat.

Kinerja industri adalah hasil kerja yang dipengaruhi oleh struktur dan

perilaku industri. Di negara-negara yang sedang berkembang kinerja laba sulit

untuk diukur sehingga untuk memudahkan bagaimana melihat kinerja industri itu

digunakanlah variabel proksi keuntungan (PCM) untuk mengukurnya.

Hubungan struktur dan kinerja dapat dilihat dengan suatu model

ekonometrika yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, misalnya

tidak adanya autokolerasi, heteroskedastisitas dan multikolinearitas sehingga

model ekonometrika tersebut memang layak untuk digunakan. Hasil estimasi

model dan uji ekonometrika dapat dilihat pada Tabel 5.1.


Tabel 5.1. Hasil Dugaan Persamaan PCM pada Industri Mi Instan di Indonesia

Variabel Koefisien Prob T-statistic


D(CR4) -0.150710 0.2130
XEFF 0.416685 0.0088
D(PROD,2) 0.093031 0.0810
D(PROD(-1),2) 0.228412 0.0018
LEKSPOR -0.004662 0.9328
D(LIMPOR) -3.549973 0.4656
GRS 0.924177 0.0503
C 4.808103 0.5366
Adjusted R-squared 0.794310 Prob (F-Statistic) 0.005279
Uji Breusch-Godfrey Correlation LM Prob Obs*R-Squared 0.694413
Uji White Heteroskedasticity Prob Obs*R-Squared 0.378155
Keterangan : Menggunakan taraf nyata 10 %
Dari hasil regresi Tabel 5.1. diperoleh persamaan sebagai berikut :

PCM = 4.808103 - 0.150710 CR4t + 0.416685 XEFFt + 0.093031 PRODt +

0.228412 PRODt-1 - 0.004662 log EKSPORt - 3.549973 log IMPORt +

0.924177 GRSt

Pengujian autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Breusch-

Godfrey Correlation LM. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari

taraf nyata ( α ) yang digunakan maka hasil regresi ini tidak mengandung

autokorelasi. Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan ditunjukkan pada

Tabel 5.1. bahwa nilai probability obs*R-squared sebesar 0,694413 lebih besar

dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung

autokorelasi.

Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji White

Heteroskedasticity. Apabila nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf

nyata (α ) yang digunakan maka hasil regresi tidak mengandung


heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan ditunjukkan

pada Tabel 5.1. bahwa nilai probability obs*R-squared sebesar 0,378155 lebih

besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa hasil regresi pada penelitian ini tidak mengandung

heteroskedastisitas.

Syarat yang terakhir dalam metode Ordinary Least Square (OLS) adalah

pengujian multikolinearitas. Multikolinearitas muncul apabila di antara masing-

masing variabel independen saling berhubungan secara linear. Uji

Multikolinearitas dilakukan dengan melihat koefisien kolerasi antar variabel

eksogen yang terdapat pada matriks kolerasi. Suatu model tidak mengandung

gejala multikolinieritas apabila nilai mutlak koefisien korelasi antar variabel

eksogen lebih besar dari 0.8.

Tabel 5.2. Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen


D(CR4) XEFF D(PROD,2) D(PROD(-1),2) LEKSPOR D(LIMPOR) GRS
D(CR4) 1.000000 -0.225702 0.087977 0.108234 -0.145939 0.084288 0.541802
XEFF -0.225702 1.000000 0.246341 -0.073276 -0.053333 -0.357949 -0.380939
D(PROD,2) 0.087977 0.246341 1.000000 -0.512100 0.068384 -0.099889 0.033702
D(PROD(-1),2) 0.108234 -0.073276 -0.512100 1.000000 -0.098078 -0.310727 0.105764
LEKSPOR -0.145939 -0.053333 0.068384 -0.098078 1.000000 0.180454 -0.192395
D(LIMPOR) 0.084288 -0.357949 -0.099889 -0.310727 0.180454 1.000000 0.152505
GRS 0.541802 -0.380939 0.033702 0.105764 -0.192395 0.152505 1.000000

Dari hasil yang ditunjukkan pada Tabel 5.2. dalam model regresi ini tidak

ditemukan adanya gejala multikolinearitas hal ini dapat dilihat tidak adanya nilai

antar variabel eksogen yang nilainya lebih besar dari 0.8 artinya tidak terdapat

hubungan kausalitas pada variabel-variabel bebasnya.

Setelah dilakukan uji ekonometrika pada model penelitian langkah

selanjutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil dugaan persamaan PCM

pada industri mi instan (Tabel 5.1.). Berdasarkan hasil pengolahan model dengan
menggunakan software E-Views 4 telah didapatkan nilai koefisien determinasi

(Adjusted R-Square) sebesar 0,794310. Ini menunjukkan bahwa variasi endogen

yaitu PCM industri mi instan sebagai variabel terikat mampu dijelaskan sebesar

79.43 persen oleh variabel-variabel bebasnya (CR4, Xeff, Prod, Tx, Tm dan GRS)

secara bersamaan. Sisanya sebesar 20,57 persen dijelaskan oleh variabel lain di

luar model.

Nilai probability F-statistic adalah sebesar 0,005279. nilai tersebut lebih

kecil dari taraf nyata yang digunakan (10 persen) menunjukkan bahwa minimal

ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikat sehingga

model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter yang ada

dalam fungsi.

Berdasarkan hasil estimasi, CR4 tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap PCM. Dapat disimpulkan bahwa strategi menjual produk dengan harga

yang murah demi menjaga ketersediaan produk pada segmen pasar tertentu akan

berdampak pada volume penjualan yaitu walaupun tingkat penjualannya

meningkat tetapi membuat margin keuntungan menurun.

Efisiensi-X (Xeff) signifikan pada taraf 10 persen dan nilai koefisiennya

sebesar 0,416685 menunjukkan bahwa diduga setiap peningkatan efisiensi-X

sebesar satu persen, maka PCM sebagai indikator kinerja akan meningkat sebesar

0,416685 persen. Hal ini karenakan semakin efisien suatu perusahaan maka

memungkinkan untuk suatu perusahaan untuk memproduksi sebuah produk

dengan sumber daya yang lebih sedikit atau sama karena efisiensi merupakan

pengurangan biaya sehingga biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam


jangka panjang akan lebih murah. Dengan adanya efisiensi maka tingkat

keuntungan perusahaan akan meningkat.

Nilai produktivitas signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien

sebesar 0,093031 menunjukkan setiap kenaikan produktivitas sebesar satu persen

maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,093031 persen. Nilai produktivitas pada

periode sebelumnya signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai koefisien sebesar

0,228412 yang artinya setiap kenaikan produktivitas pada periode sebelumnya

sebesar satu persen maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,228412 persen. Hal

ini sesuai dengan hipotesis dimana semakin tinggi nilai output akan meningkatkan

nilai produktivitas suatu perusahaan. Produktivitas yang meningkat menunjukkan

adanya efisiensi dan kinerja yang meningkat pula. Kinerja yang meningkat akan

menambah penghasilan dan keuntungan bagi perusahaan.

Variabel ekspor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Hal

ini disebabkan karena bahan baku yang digunakan masih tergantung oleh impor

dimana impor dinilai dengan dolar. Sedangkan ekspor juga dinilai dengan dolar

dan adanya biaya-biaya seperti pajak ekspor yang tinggi serta regulasi dalam

negeri yang sulit menyebabkan biaya produksi mi instan dengan harga jual mi

instan yang diekspor sama sehingga tidak berpengaruh terhadap keuntungan.

Variabel impor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PCM. Sebab

adanya politik dumping dengan menetapkan tarif masuk barang yang tinggi. Hal

ini didukung oleh kemampuan konsumen dalam negeri yang tinggi. Artinya daya

beli konsumen dalam negeri tinggi, sehingga volume penjualan barang-barang di

dalam negeri juga dapat mengimbangi kerugian ke pasar luar negeri.


Variabel GRS berpengaruh signifikan pada taraf 10 persen dengan nilai

koefisien ynag cukup besar yaitu sebesar 0,924177. Artinya setiap kenaikan

pertumbuhan sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0,924177

persen. Karena jumlah penduduk setiap tahunnya akan semakin bertambah

sehingga tingkat konsumsinya akan semakin meningkat dan produsen mi instan

berusaha untuk memenuhi permintaan pasar dengan meningkatkan kapasitas

produksi. Meningkatnya penjualan akan berpengaruh juga pada peningkatan laba

perusahaan.

Walaupun dilanda krisis moneter hal ini tidak terlalu berpengaruh bagi

keberadaan industri mi instan di Indonesia. Karena semakin maju perkembangan

zaman masyarakat lebih suka dengan yang serba cepat dalam mengolah makanan

salah satunya contohnya didapat dari mi instan sebagai makanan pokok pengganti

yang praktis, murah harganya dan mudah didapat di warung-warung. Penjualan

mi instan terus meningkat dan semakin banyak bermunculan produsen mi instan

baru yang akan bersaing memasuki pasar. Hal ini menunjukkan bahwa industri mi

instan merupakan salah satu industri yang tahan terhadap kondisi krisis.

5.5. Implikasi Kebijakan

Peluang pasar mi instan yang cukup besar menyebabkan persaingan yang

ketat diantara para produsen mi instan di Indonesia. Persaingan yang ketat dapat

menimbulkan kecurangan diantara produsen mi instan. Untuk menghindari hal

tersebut perlu dibuat kebijakan-kebijakan. Berdasarkan hasil pengolahan variabel-

variabel yang digunakan dalam model maka dibuatlah beberapa implikasi


kebijakan yang terkait dengan variabel-variabel yang dipakai dalam penelitian ini

diantaranya :

1. pangsa pasar tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM karena biaya

penjualan membengkak, harga pasar tidak terkontrol dan saluran distribusi

yang masih kacau, maka kebijakan yang diambil adalah seiring dengan

berkembangnya perusahaan maka saluran distribusinya harus semakin

dikembangkan dengan didasari tujuan yang signifikan seperti memaksimalkan

jangkauan penjualan, ketersediaan produk dan margin perusahaan. Dengan

jalan merekrut lebih banyak distributor dan memperluas saluran. Semakin

banyaknya produk yang mirip maka perusahaan harus melakukan inovasi

dalam strategi saluran dan distribusi. Hal ini dikarenakan pertama, karena

alasan penjualan dan cakupan. Dengan saluran distribusi yang tepat dapat

meningkatkan penjualan, meningkatnya kemampuan lebih banyak pasar dan

lebih banyak pembeli dengan cepat. Kedua, demi keuntungan. Strategi

distribusi yang tepat akan menghemat cost of sales. Selain itu, terciptanya

kemampuan melayani lebih banyak pelanggan dengan cara yang lebih murah.

Ketiga, untuk alasan pembentukan loyalitas konsumen. Pemberian pilihan

saluran distribusi yang lebih banyak akan meningkatkan loyalitas pembeli.

Penggabungan produk dengan produk perusahaan rekanan dapat menciptakan

solusi yang lebih lengkap sehingga dapat memenuhi kebutuhan pembeli

dengan lebih sempurna.

2. produktivitas periode sekarang dan produktivitas pada periode sebelumnya

berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang diambil adalah


mengurangi jumlah karyawan dengan lebih mengembangkan sumber daya

manusia yang berkualitas dan berkompeten dalam bidangnya dengan

memberikan pelatihan-pelatihan sehingga akan lebih terampil dan produktif

dalam bekerja dan dapat meningkatkan margin bagi perusahaan.

3. efisiensi-X berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang

diambil adalah meningkatkan teknologi yang padat modal dan padat karya

dalam berproduksi, melakukan merger dengan perusahaan sejenis atau

melakukan integrasi vertikal dan menata ulang manajemen distribusi yang

dimiliki perusahaan sehingga dapat melayani pelanggan besar (hipermarket)

maupun yang lebih kecil.

4. ekspor tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang

diambil adalah meningkatkan promosi baik melalui above the line maupun

below the line, mengajukan produk mi instan menjadi standar internasional

akan kualitas mi instan yang diproduksi di Indonesia untuk mendapatkan

pengakuan resmi internasional sehingga produk mi instan dari Indonesia

mempunyai merek dagang internasional, produknya dapat diekspor dan

penyerapannya akan lebih besar dan akan berdampak pada peningkatan devisa

negara.

5. impor tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang

diambil adalah dengan mengatur keberadaan bahan baku utama mi instan dan

mi instan itu sendiri misalnya dengan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk

proteksi menggunakan tarif masuk terhadap komoditi impor dan proteksi non

tarif baik pembatasan secara kuantitatif dan pembatasan secara administrasi.


6. pertumbuhan berpengaruh signifikan terhadap PCM maka kebijakan yang

diambil adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas produk, menciptakan

inovasi produk, dengan mendirikan pabrik-pabrik baru, melakukan kerjasama

usaha dengan investor dalam dan luar negeri melalui penanaman modal untuk

memperluas skala usaha.


VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian mengenai industri mi instan di Indonesia maka dapat

diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut.

6.1. Kesimpulan

Melihat hasil penelitian yang sudah dianalisis dan melihat keberadaan

industri mi instan dalam kondisi persaingan yang ketat, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil analisis data dari tahun 1986 sampai tahun 2003 didapatkan

bahwa industri mi instan mempunyai konsentrasi rasio empat perusahaan

terbesar 51,71 persen. Nilai konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar

dicapai pada tahun 1993 yaitu sebesar 96,13 persen. Industri mi instan

memiliki struktur pasar oligopoli ketat. Penguasaan pasar industri mi instan

tetap dipegang oleh Indofood meskipun banyak muncul produk mi instan

baru. Sedangkan dalam industri mi instan pemerintah mengambil kebijakan

dengan membebaskan masuknya tepung terigu impor dimana tepung terigu

merupakan bahan baku utama pada industri mi instan dibukanya kran impor

menyebabkan kendala untuk masuk pasar semakin kecil.

2. Kinerja dapat dilihat dari tingkat keuntungan perusahaannya karena kinerja

pasar mencerminkan kekuatan pasar terhadap harga dan efisiensi. Berdasarkan

hasil analisis data nilai PCM tertinggi dicapai di tahun 1998 yaitu sebesar

44,98 persen. Sedangkan pada efisiensi-X didapat nilai efisiensi tertinggi

berada di tahun 1992 sebesar 80,06 persen. Berdasarkan hasil yang didapat
ditunjukkan bahwa industri mi instan di Indonesia mempunyai nilai efisiensi-

X (efisiensi internal) yang cukup tinggi.

3. Untuk melihat hubungan antara strukur dengan kinerja digunakan pendekatan

Structure Conduct Performance (SCP). Untuk melihat struktur pasar

digunakan variabel CR4 sedangkan untuk melihat kinerja pasar digunakan

variabel proksi keuntungan (PCM). Berdasarkan hasil estimasi didapatkan

bahwa variabel CR4 berhubungan negatif dengan PCM hal ini berlawanan

dengan hasil hipotesis yang dibuat sebelumnya. Variabel ekspor berhubungan

negatif dengan PCM hal ini juga berlawanan dengan hipotesis yang dibuat

sebelumnya.

4. Dari hasil pengolahan model dengan menggunakan metode Ordinary Least

Square (OLS) maka diperoleh hasil bahwa nilai koefisien CR4 berdampak

negatif dan tidak signifikan berarti variabel CR4 tidak berpengaruh terhadap

PCM, variabel efisiensi-X menunjukkan setiap peningkatan efisiensi-X

sebesar satu persen, maka PCM sebagai indikator kinerja akan meningkat

sebesar 0,416685 persen,

Nilai produktivitas menunjukkan setiap kenaikan produktivitas sebesar satu

persen maka akan meningkatkan PCM sebesar 0,093031 persen. Pada nilai

produktivitas pada periode sebelumnya juga signifikan pada taraf 10 persen

dengan nilai koefisien sebesar 0,228412 yang artinya setiap kenaikan

produktivitas sebesar satu persen maka akan meningkatkan PCM sebesar

0,228412 persen. Pada variabel ekspor mempunyai berdampak negatif dan

tidak signifikan berarti ekspor tidak berpengaruh terhadap PCM. Pada


hipotesis yang digunakan variabel impor memang memiliki tanda yang negatif

namun dalam hasil estimasi ternyata tidak signifikan pada taraf nyata yang

digunakan artinya bahwa variabel impor tidak berpengaruh terhadap PCM.

Pertumbuhan berpengaruh terhadap PCM dimana setiap kenaikan

pertumbuhan sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0,924177

persen.

5. Perilaku pasar dilihat dari strategi harga, strategi produk dan strategi promosi.

Strategi harga dipengaruhi oleh biaya produksi dan saluran distribusi, strategi

produk digunakan untuk meningkatkan volume penjualan dengan

mengeluarkan produk mi instan yang bervariasi dan berkualitas. Strategi

promosi dilakukan untuk menarik perhatian konsumen melalui iklan media

massa maupun cetak dan komunikasi langsung dengan masyarakat (humas).

6. Kebijakan yang diambil pemerintah berkenaan dengan komoditi mi instan

adalah dengan mengeluarkan kebijakan dalam investasi untuk memulikan

iklim investasi, kebijakan dalam bidang ekspor dan impor serta kebijakan

dalam bidang pengawasan bahan baku dan produksi.

7. Hasil estimasi menunjukkan ada empat variabel yang berpengaruh secara

signifikan terhadap tingkat PCM, yaitu efisiensi-X, produktivitas,

produktivitas periode sebelumnya dan pertumbuhan. Keempat variabel

tersebut sama-sama berpengaruh positif terhadap tingkat PCM.

6.2. Saran

Setelah melihat hasil kesimpulan dan tujuan yang ada maka dapat

dituliskan beberapa saran.


1. Antisipasi terhadap pangan baru seperti mi yang bahan bakunya tidak

diproduksi di dalam negeri harus diperhatikan dalam mengembangkan industri

dan menerapkan jenis teknologi yang akan dipilih. Pengembangan teknologi

seyogyanya mampu mengembangkan penggunaan jenis serealia dan umbi-

umbian yang dapat digunakan sebagai subtitusi atau pencampuran sehingga

ketergantungan terhadap impor terigu dapat ditekan. .

2. Produsen mi instan disarankan untuk menghentikan promosi termasuk

menghentikan perang harga dan perang diskon karena perang harga dapat

menyebabkan banyak produsen yang menjual mi dibawah standar harga dasar

(floor price) dari pedagang besar ke pengecer.

3. Kebijakan bahan baku mi instan seperti tepung lebih dikelola dan diperhatikan

dengan baik untuk mencegah persaingan yang tidak sehat antar produsen mi

instan.
DAFTAR PUSTAKA

Alistair, A. 2004. Analisis Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja Pada Industri


Tepung Terigu Di Indonesia Pasca Penghapusan Monopoli Bulog
[skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Asian Development Bank dan Departemen Perindustian dan Perdagangan. 2001.


Analisis Ekonomi Terhadap Persaingan Usaha. Laporan. Jakarta.

Bain, J. S. 1956. Barriers to New Competition. Harvard University Press,


Cambridge

Badan Pusat Statistik. 1986-2003. Statistik Industri Besar dan Sedang. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik. 1986-2003. Statistik Ekspor. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik. 1986-2003. Statistik Impor. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Besanko, D., Dranove, D., dan Shanley, M. 1996. The Economics of Strategy,
John Wiley dan Sons, Inc. New York.

Capricorn Indonesia Consult Inc., PT. 2002. “Prospek Industri dan Pemasaran Mi
Instan Di Indonesia”. Laporan Khusus, 294: 3-26.

Chou, T. 1986. ”Concentration, Profitability, and Trade in A Simultancous


Equation Analysis: The Case of Taiwan”. The Journal of Industrial
Economics, 4: 429-441.

Corinthian Infopharma Corpora, PT. 2004. Studi Tentang Industri dan Pemasaran
Mi Instan di Indonesia. Jakarta.

Daryanto, A. 2003. Contestable Market dan Bogasari. Di dalam: E. Gumbira Said


[editor]. Membangun Masa Depan Bogasari Yang Gemilang. Bogor:
MMA Institut Pertanian Bogor. 61-77.

Daryanto, A. 2004. Ekonomi Industri [Bahan Kuliah]. Fakultas Ekonomi dan


Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Geroski, P. A. 1991. Domestic and Foreign Entry in The United Kingdom: 1983-
1984, in Geroski, P. A., and Schwalbach, J., Entry and Market
Contestability: An International Comparison, Basil Blackwell, Oxford.
Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].
Erlangga, Jakarta.

Hasibuan, N. 1994. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi.


LP3ES, Jakarta.

J. 23 Agustus 2003. “Struktur Industri Mi Instan Dan Kandungan Impornya Perlu


Dibenahi”. Business News.

Japan Agricultural Standards. 2006. ”Sejarah Perkembangan Mi Instan (Ramen


Instan)” Dan Trend Perkembangan Mi Instan [IRMA].
http://www.instantramen.or.jp/english/history/history08.html [12 Februari
2006].

Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. BPFE, Yogyakarta.

Juwita, I. 2004. Analisis Ekonomi Industri Semen dan Undang-Undang


Persaingan Usaha (Pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja) [skripsi].
Fakutas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kartajaya, H. 2006. Saluran Kreatif. SWA. Ed. 09/XXII/4-17 MEI 2006. Hal. 98.

Koutsoyiannis, A. 1978. Theory of Econometrica. Edisi Kedua. Barnes dan Noble


Books, New Jersey.

Kusdian, D. E. 14 Agustus 2003. “Pasar Instan Noddle Masih Menyisakan


Peluang”, Bisnis Indonesia.

Kusdian, D. E. 15 Agustus 2003. “Pasar Mi Instan Masih Terbuka”, Bisnis


Indonesia.

Louglin, C., Marks, S., Shauki, A., dan Sirait, N. 1999. Laporan Kebijakan
Persaingan Indonesia. The Law and Improved Procurement Systems
(ELIPS). USAID-Pemerintah Indonesia.

Martin, S. 1993. Advanced Industrial Economics. Blackwell Publiser Inc.

Robert, E. 1995. Hubungan Struktur Dengan Kinerja Pasar: Studi Empiris Pada
Industri Pemintalan [skripsi]. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia,
Depok.

Rofieq, M. 2002. ”Pengujian Asumsi Dalam Penerapan Model Regresi”. Jurnal


Penelitian Edisi Ilmu-Ilmu Teknik, 13: 347-358.

Saraswati, S. 2006. Mereka Bersama Tough Job-nya. SWA. Ed. 09/XXII/4-17


MEI 2006. Hal. 44.
Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. ANDI. Yogyakarta.

Satriawan, E., dan Wigati, H. 2002. “Entry, Exit dan Tingkat Konsentrasi Pada
Industri Manufaktur di Indonesia, 1995-1997”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, 17: 74-84.

Scherer, F. M. 1990. Industrial Market Structure and Economics Performance.


Houghton Miffing. Boston.

Shepherd, W. G. 1992. The Economics of Industrial Organization. Third Edition.


Prentice Hall International.

Umar, H. 2000. Bussiness An Introduction. JBRC. PT Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta.

Weiss, L. W. 1965. An Evaluation of Mergers in Six Industries, The Review of


Economics and Statistics, pp. 172-181.

Yunianti, S. 2001. Implikasi Kebijakan Tepung Terigu Terhadap Industri Tepung


Terigu dan Industri Makanan: Studi Kasus Industri Mi Instan [tesis].
Program Pascasarjana. Universitas Indonesia, Jakarta.
Lampiran 1. Nilai CR1 dan CR4 Industri Mi Instan di Indonesia (1986-2003)
tahun CR1 (%) CR4 (%)
1986 26.49 44.43
1987 25.47 44.91
1988 27.76 46.21
1989 40.39 68.41
1990 28.97 57.64
1991 27.32 69.74
1992 26.26 67.16
1993 92.91 96.13
1994 19.19 47.05
1995 17.01 41.41
1996 19.32 46.92
1997 19.37 45.46
1998 21.64 50.93
1999 20.66 50.09
2000 13.77 43.82
2001 15.91 41.6
2002 9.65 34.79
2003 9.52 34.15
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah
Lampiran 2. Nilai Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Mi Instan
Indonesia (1986-2003)
Nilai Output Perusahaan
Nilai Output Total
Tahun Terbesar MES (%)
(000 Rp)
(000 Rp)
1986 20599359 77753194 26.49
1987 21700302 85194307 25.47
1988 23551315 84834528 27.76
1989 70278240 174015019 40.39
1990 67648514 233477659 28.97
1991 97377363 356442815 27.32
1992 125887883 479378711 26.26
1993 9424890000 10143584885 92.91
1994 171946516 896117268 19.19
1995 177454939 1043282092 17.01
1996 265315105 1373373532 19.32
1997 158442036 817865663 19.37
1998 405600336 1885887653 21.51
1999 319616280 1584943654 20.17
2000 231701505 1747393553 13.26
2001 244514535 1536891036 15.91
2002 159763033 1655551529 9.65
2003 153988689 1618232656 9.52
Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah
Lampiran 3. Price-Cost-Margin Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003)

Tahun Pengeluaran Tenaga Kerja Barang Yang Dihasilkan PCM riil


(000 Rp) (000 Rp) (%)
1986 6989042 77317996 26.69
1987 7428701 84253676 21.46
1988 6666410 82787125 21.25
1989 14488762 173310995 11.24
1990 16518707 233616074 19.81
1991 63512531 353690018 22.31
1992 30507646 477457042 38.25
1993 41039459 6900854350 34.31
1994 53141704 835198335 32.15
1995 115277987 956597388 26.54
1996 111239016 1247159025 35.17
1997 59025548 735232705 33.62
1998 21262216 1723458171 44.98
1999 55606842 1579420692 32.27
2000 732127237 1732433276 -7.06
2001 70233935 1329681477 39.90
2002 87251603 1634865323 21.21
2003 77928882 1587435461 25.95
Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah
Lampiran 4. Nilai Efisiensi-X Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003)

Tahun Nilai Tambah Nilai Input Xeff


(000 Rp) (000 Rp) (%)
1986 27622268 50130926 55.10
1987 25511562 59682770 42.75
1988 24260122 60574406 40.05
1989 33973770 140041247 24.26
1990 62803136 170674523 36.80
1991 142420336 214022480 66.54
1992 213152600 266226111 80.06
1993 2408777779 7734807106 31.14
1994 321622980 574494288 55.98
1995 369135685 674146407 54.76
1996 549864245 823509288 66.77
1997 306236494 511629169 59.86
1998 796449914 1089437739 73.11
1999 565352133 1019591521 55.45
2000 609864932 1137528621 53.61
2001 600768957 936122079 64.18
2002 433998234 1221553295 35.53
2003 489814625 1128418031 43.41
Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah
Lampiran 5. Ekspor dan Impor Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003)
Ekspor Impor
Tahun
(%) (%)
1986 1.74 1.50
1987 2.93 0.72
1988 13.27 0.49
1989 10.94 1.00
1990 19.83 0.88
1991 26.59 1.04
1992 30.08 1.30
1993 42.23 2.20
1994 44.33 3.06
1995 51.53 2.82
1996 85.12 3.18
1997 23.00 3.99
1998 1.28 0.15
1999 5.92 0.26
2000 9.76 0.53
2001 8.55 0.57
2002 9.73 0.86
2003 11.76 1.33
Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah
Lampiran 6. Nilai Produktivitas Industri Mi Instan Indonesia (1986-2003)

Tahun Nilai Output Nilai Input Tenaga Kerja Produktivitas


(000 Rp) (000 Rp) (%)
1986 77753194 6989042 11.13
1987 85194307 7428701 11.47
1988 84834528 6666410 12.73
1989 174015019 14488762 12.01
1990 233477659 16518707 14.13
1991 356442815 63512531 5.61
1992 479378711 30507646 15.71
1993 1014085032 41039459 24.71
1994 896117268 53141704 16.86
1995 1043282092 115277987 9.05
1996 1373373532 111239016 12.35
1997 817865663 59025548 13.86
1998 1885887653 21262216 88.70
1999 1584943654 55606842 28.50
2000 1747393553 732127237 2.39
2001 1536891036 70233935 21.88
2002 1655551529 87251603 18.97
2003 1618232656 77928882 20.77
Keterangan: Tahun Dasar 1993 (1993=100)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1986-2003, diolah
Lampiran 7. Trend Permintaan Mi Instan Dunia
No. Negara 2001 2002 2003 2004
1 Cina, Hong Kong 212.0 231.0 320.0 390.0
2 Indonesia 99.0 109.0 112.0 120.1
3 Jepang 53.5 52.7 54.0 55.4
4 Amerika Serikat 30.0 33.0 37.8 38.0
5 Korea Selatan 36.4 36.5 36.0 36.5
6 Filipina 18.0 20.0 22.0 25.0
7 Vietnam 11.4 17.0 23.0 24.8
8 Thailand 16.5 17.0 17.2 17.8
9 Rusia 6.0 15.0 15.0 15.2
10 Brazil 10.4 11.9 11.1 11.5
11 Mexico 5.3 6.4 7.5 10.0
12 Taiwan 9.0 9.4 10.0 9.5
13 Malaysia 5.8 7.4 8.2 8.7
14 Saudi Arabia, UAE 0.6 0.6 0.6 5.0
14 Nigeria 5.0
16 India 1.8 2.3 3.0 4.3
17 Inggris 2.3 2.5 2.6 2.6
18 Polandia, Hungaria, Czech 1.6 2.0 2.2 2.3
19 Kanada 1.5 1.5 1.5 1.8
20 Kamboja 1.3 1.3 1.3 1.7
21 Australia 1.5 1.5 1.5 1.5
22 Jerman 1.4 1.4 1.4 1.4
23 Singapura 1.2 1.2 1.2 1.2
24 Fiji and outskirt islands 0.8 0.8 0.8 0.8
25 Myanmar 0.7 0.7 0.7 0.7
25 Nepal 0.7 0.7 0.7 0.7
27 Afrika Selatan 0.5 0.5 0.5 0.5
28 New Zealand 0.4 0.4 0.4 0.4
29 Perancis 0.35 0.35 0.4 0.4
30 Norwegia, Finlandia, Swedia, Denmark 0.3 0.3 0.3 0.3
31 Netherlands 0.3 0.3 0.3 0.3
32 Peru 0.1 0.2 0.2 0.2
33 Belgia 0.1 0.1 0.1 0.1
34 Lainnya** 2.0 2.0 2.0 2.0
Total 530.8 585.0 693.5 795.7
*Perkiraan tahun 2003 direvisi.
**Italia, Spanyol, dll.

Sumber : Japan Agricultural Standards. 2006


Lampiran 8. Hasil Estimasi Regresi Industri Mi Instan
Uji Akar Unit (Unit Root Test)

Null Hypothesis: PCM has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.018147 0.0077
Test critical values: 1% level -3.886751
5% level -3.052169
10% level -2.666593
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(CR4) has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -14.81561 0.0000
Test critical values: 1% level -4.297073
5% level -3.212696
10% level -2.747676
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: XEFF has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.168686 0.0402
Test critical values: 1% level -3.886751
5% level -3.052169
10% level -2.666593
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(PRODUKTIVITAS,2) has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -27.83648 0.0001
Test critical values: 1% level -4.420595
5% level -3.259808
10% level -2.771129
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LXPOR has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.996492 0.0554
Test critical values: 1% level -3.886751
5% level -3.052169
10% level -2.666593
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: D(LIMPOR) has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.973850 0.0016
Test critical values: 1% level -3.959148
5% level -3.081002
10% level -2.681330
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Null Hypothesis: GRS has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=6)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.087346 0.0574
Test critical values: 1% level -4.200056
5% level -3.175352
10% level -2.728985
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Uji Autokolerasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:


F-statistic 0.127776 Probability 0.882834
Obs*R-squared 0.729378 Probability 0.694413

Uji Heteroskedastisitas

White Heteroskedasticity Test:


Obs*R-squared 15.00000 Probability 0.378155
Matriks Korelasi Antar Variabel Eksogen

D(PROD
D(CR4) XEFF D(PROD,2) XPOR D(LIMPOR) GRS
(-1),2)
D(CR4) 1.000000 -0.225702 0.087977 0.108234 -0.145939 0.084288 0.541802
XEFF -0.225702 1.000000 0.246341 -0.073276 -0.053333 -0.357949 -0.380939
D(PROD,2) 0.087977 0.246341 1.000000 -0.512100 0.068384 -0.099889 0.033702
D(PROD 0.108234 -0.073276 -0.512100 1.000000 -0.098078 -0.310727 0.105764
(-1),2)
XPOR -0.145939 -0.053333 0.068384 -0.098078 1.000000 0.180454 -0.192395
D(LIMPOR) 0.084288 -0.357949 -0.099889 -0.310727 0.180454 1.000000 0.152505
GRS 0.541802 -0.380939 0.033702 0.105764 -0.192395 0.152505 1.000000

Uji Stasioneritas

Variabel Tingkat Kestasioneran


PCM level
CR4 first difference
XEFF level
PROD second difference
LX level
LM first difference
GRS level

Hasil Estimasi Regresi

Dependent Variable: PCM


Method: Least Squares
Date: 03/28/06 Time: 16:10
Sample(adjusted): 1989 2003
Included observations: 15 after adjusting endpoints
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(CR4) -0.150710 0.109995 -1.370157 0.2130
XEFF 0.416685 0.116016 3.591617 0.0088
D(PRODUKTIVITAS,2) 0.093031 0.045660 2.037464 0.0810
D(PRODUKTIVITAS(-1),2) 0.228412 0.046827 4.877785 0.0018
XPOR -0.004662 0.053339 -0.087394 0.9328
D(LIMPOR) -3.549973 4.600581 -0.771636 0.4656
GRS 0.924177 0.391593 2.360044 0.0503
C 4.808103 7.401131 0.649644 0.5366
R-squared 0.897155 Mean dependent var 27.37667
Adjusted R-squared 0.794310 S.D. dependent var 12.95437
S.E. of regression 5.875211 Akaike info criterion 6.683888
Sum squared resid 241.6267 Schwarz criterion 7.061514
Log likelihood -42.12916 F-statistic 8.723350
Durbin-Watson stat 1.798268 Prob(F-statistic) 0.005279
Nilai Variabel Endogen dan Eksogen

Obs PCM CR4 XEFF PRODUKTIVITAS EXPOR IMPOR GRS

1986 26.69000 44.43000 55.10000 11.13000 0.290000 0.250000 171.2700


1987 21.46000 44.91000 42.75000 11.47000 0.800000 0.200000 0.100000
1988 21.25000 46.21000 40.05000 12.73000 3.780000 0.140000 0.000000
1989 11.24000 68.41000 24.26000 12.01000 3.430000 0.310000 1.050000
1990 19.81000 57.64000 36.80000 14.13000 6.780000 0.300000 0.340000
1991 22.31000 69.74000 66.54000 5.610000 10.15000 0.400000 0.530000
1992 38.25000 67.16000 80.06000 15.71000 12.45000 0.540000 0.340000
1993 34.31000 96.13000 31.14000 24.71000 18.43000 0.960000 20.16000
1994 32.15000 47.05000 55.98000 16.86000 20.76000 1.430000 -0.910000
1995 26.54000 41.41000 54.76000 9.050000 26.15000 1.430000 0.160000
1996 35.17000 46.92000 66.77000 12.35000 46.90000 1.750000 0.320000
1997 33.62000 45.46000 59.86000 13.86000 20.04000 3.480000 -0.400000
1998 44.98000 50.93000 73.11000 88.70000 12.50000 1.510000 1.310000
1999 32.27000 50.09000 55.45000 28.50000 36.09000 1.580000 -0.160000
2000 -7.060000 43.82000 53.61000 2.390000 71.09000 3.890000 0.100000
2001 39.90000 41.60000 64.18000 21.88000 90.06000 5.980000 -0.120000
2002 21.21000 34.79000 35.53000 18.97000 83.48000 7.410000 0.080000
2003 25.95000 34.15000 43.41000 20.77000 86.36000 9.760000 -0.020000
Sumber : BPS, 1986-2003, diolah.

Anda mungkin juga menyukai