Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MAKALAH INDIVIDU

ILMU TERNAK POTONG

STRATEGI PERKEMBANGAN SAPI BALI

NAMA : ONI AILA AZURAH


NIM : I011 20 1024
KELAS : B2

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kemampuan memilih atau menseleksi ternak untuk menghasilkan keturunan yang lebih
baik dari tetuanya merupakan faktor yang sangat penting dalam manajemen pembiakan sapi.
Seleksi merupakan suatu tindakan terencana yang dilakukan untuk memilih ternak yang
mempunyai sifat unggul dan mempunyai nilai ekonomi untuk dikembangkan.
Hewan ternak sapi Bali adalah salah satu ternak asli Indonesia yang berperan banyak dalam
memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Seperti namanya, sapi ini berasal
dari dari propinsi sebelah timur Indonesia yaitu Pulau Bali. Reproduksi sapi Bali dikenal
dengan sangat baik yaitu sapi Bali betina sudah dapat dikawinkan saat sudah mencapai umur
2-2,5 tahun. Pada umur itu, sapi sudah memiliki organ yang sangat sempurna, Jarak ssapi bali
melahirkan anak berkisar antara 12-14 bulan. Sapi bali memiliki tingkat karkas yang tinggi
dibandingkan dengan sapi lokal yang lain, yaitu sekitar 53,26%, Peranakan Ongole 46.9%.
Perbandingan antara daging dan tulang yaitu sekitar 4,4 :1.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan Bagaimana Strategi Pengembangan Sapi Bali di Indonesia dan Dunia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sapi Bali

Sapi bali merupakan bangsa sapi yang memiliki fertilitas tinggi meskipun berada pada
kondisi kekurangan nutrisi pakan dan mampu beradaptasi pada lingkungan yang kurang baik
(Toelihere, 2003). Sapi bali memiliki keistimewaan dalam hal daya reproduksi, persentase
karkas serta kualitas daging, tetapi memiliki keterbatasan dalam hal kecepatan pertumbuhan
dan ukuran bobot badan (Diwyanto dan Priyanti, 2008).
Karakteristik fisik dari sapi bali diantaranya adalah memiliki ukuran badan sedang,
berdada dalam, seringkali memiliki warna bulu merah, warna keemasan dan coklat tua namun
warna ini tidak umum. Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam. Pada bagian lutut ke bawah
berwarna putih dan terdapat warna putih di bawah paha dan bagian oval putih yang amat jelas
pada bagian pantatnya. Ciri fisik lainnya yang dapat ditemui pada sapi bali adalah terdapatnya
suatu garis hitam yang jelas, dari bahu dan berakhir di atas ekor. Warna bulu menjadi coklat
tua sampai hitam pada saat mencapai dewasa. Pada waktu lahir anak-anaknya yang jantan atau
betina keduanya memiliki warna bulu keemasan sampai warna coklat kemerah-merahan
dengan bagian warna terang yang khas pada bagian belakang kaki (Williamson dan Payne,
1993). Sapi ini merupakan hasil domestikasi dari banteng, dengan rata-rata berat pejantan 360
kg dan berat betina rata-rata 270 kg. Pada pejantan yang dikastrasi akan terjadi perubahan
warna bulu menjadi lebih gelap setelah 4 bulan dilakukan kastrasi, sedangkan pada betina yang
telah berumur 1 tahun akan memiliki warna bulu berwarna coklat (Rouse, 1969). Sapi bali
mencapai dewasa kelamin pada umur berkisar antara 12 bulan-24 bulan (Fordyce et al., 2003).
Umur kawin pertama pada sapi bali yang dianjurkan yakni pada umur 14 bulan-22 bulan
(Toelihere, 1977). Aspek reproduksi lainnya pada sapi bali diantaranya adalah tingkat kelahiran
yang merupakan salah satu aspek penting dalam usaha peternakan. Kondisi yang paling baik
adalah seekor induk mampu menghasilkan satu anak setiap tahunnya (Ball dan Peters, 2004).
Bamualim dan Wirdahayati (2003) menyebutkan bahwa sapi bali di Nusa Tenggara Barat
memiliki nilai tingkat kelahiran anak sebesar 75%-90%. Tingkat kelahiran dihitung dari jumlah
anak dibagi jumlah total sapi betina dewasa dalam satu tahun (Martojoyo, 2003).
Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia yang populasinya telah mencapai 2.632.124
ekor atau sekitar 26,92 % dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia (Anonimus,
1999). Penyebaran sapi Bali telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi
sapi Bali terbesar di Sulawesi selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok, namun kemurnian sapi
Bali tetap dipertahankan di Pulau Bali, sebagai sumber bibit yang pembinaannya dilakukan
oleh Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali). Hardjosubroto (1994) dan
Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi Bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi tinggi,
bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru,
sehingga dikenal sebagai sapi perintis. Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik
dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan sapi Bali sangatlah memungkinkan oleh
karena juga didukung oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi.
Martojo (1989) menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan
produksi daging dalam negeri, penggunaan sapi Bali diberbagai wilayah di Indonesia
mempunyai prospek yang sama baiknya.
Dalam perkembangan peternakan sapi Bali telah diperoleh beberapa kemajuan terutama
dalam menekan angka kematian pedet. Admadilaga (1975) menyatakan bahwa angka kematian
pedet sapi Bali sebesar 10–80%. Darmadja (1980) yang melakukan penelitian di Bali
memperoleh kematian pedet sebesar 7,33%, sedang Tanari (1999) pada lokasi yang sama
memperoleh angka kematian pedet yang lebih rendah sebesar 7,26% terhadap kelahiran atau
sebesar 1,84% dari populasi. Kemampuan lain yang dapat diandalkan untuk pengembangan
populasi sapi Bali adalah jarak beranak (calving interval) yang cukup baik yakni bisa
menghasilkan satu anak satu tahun. Djagra dan Arka (1994) memperoleh calving interval yakni
14 – 15 bulan. Sedang pada tahun 1999 (Tanari, 1999) memperoleh calving interval sebesar
12,19 ± 0,06 bulan hal tersebut diakibatkan karena manajemen reproduksi yang dilaksanakan
di Bali cukup baik yakni perkawinan rata-rata dilaksanakan dengan teknik inseminasi buatan,
ditunjang oleh biologi reproduksi dari sapi Bali yang cukup baik yakni fertilitasnya tinggi yakni
sekitar 83%.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perkembangan sapi potong
adalah sumber daya yang tersedia seperti sumberdaya alam, sumber daya manusia dan sumber
daya pakan ternak yang berkesinambungan, selanjutnya proses budidaya perlu mendapat
perhatian meliputi bibit, ekologi dan teknologi serta lingkungan yang strategis yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keberhasilan pengembangannya (Putu et al.,
1997). Jumlah rumah tangga peternak sapi potong hingga tahun 1993 hanya sekitar 1,2% dari
penduduk Indonesia atau sekitar 2.566.000 peternak (Anonimus, 1999). Jika masyarakat
diberdayakan maka potensi sumber daya manusia sangatlah besar.
Rencana pengembangan populasi sapi potong tidak terlepas dari daya dukung wilayah yang
meliputi dua hal yaitu ketersediaan ruang tempat ternak dibudidayakan dan ketersediaan pakan
ternak untuk kelangsungan hidupnya. Anonimus (1998) menyatakan bahwa diperkirakan
ketersediaan potensi pakan hijauan mengalami peningkatan sekitar 3% per tahun selama
periode tahun 1991-1996, yakni dari 31,3 juta ST (satuan ternak) pada tahun 1991 menjadi 36,3
juta ST pada tahun 1996. Oleh karenanya dengan keadaan struktur populasi yang ada sampai
tahun 1999 sebesar 9.099.500 ST, dapat diprediksi daya tampung tersisa sebesar 27.200,500
ST. Dari potensi ketersedian pakan maka kemungkinan pengembangan populasi kedepan
masih sangat memungkinkan.
Trikesowo et al. (1993) menyatakan bahwa yang termasuk dalam komponen
produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf
crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun
(yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan.

2.2 Pola Pengembangan Sapi Bali


Pola pengembangan peternakan rakyat pada prinsipnya terdapat dua model, yakni (i) Pola
Swadaya dan (ii) Pola Kemitraan. Pola swadaya merupakan pola pengembangan peternakan
rakyat yang mengandalkan swadaya dan swadana peternak, baik secara individu maupun
kelompok. Sedangkan pola kemitraan (PIR-NAK) merupakan kerjasama yang saling antara
perusahaan inti dengan peternak rakyat sebagai plasma (Anonimus, 1998). Dijelaskan pula
bahwa dalam kerjasama atau kemitraan ini, seluruh kegiatan pra-produksi, produksi hingga
pasca produksi dilakukan dengan kerjasama antara plasma dan inti. Pola pengembangan
peternakan rakyat ini akan menjadi landasan utama dalam penentuan alternatif kebijakan
pemerintah dalam menopang dan mendorong agribisnis peternakan rakyat berwawasan
agribisnis. Apabila persentase pengembangan ternak swadaya mendominasi pada peternakan
rakyat, maka peran pemerintah (government intervention) mempunyai derajat yang cukup
tinggi. Namun demikian apabila kemitraan mendominasi dalam pengembangan peternakan
rakyat, maka peran pemerintah relatif berkurang, karena swastanisasi usaha peternakan sudah
berkembang. Secara sederhana, peran pemerintah dibagi ke dalam tiga bagian, yakni (1)
motivator (development agent), (2) fasilitator/services, dan (3) regulator. Derajat intervensi
pemerintah dalam penentuan kebijakan pembangunan peternakan ditentukan oleh karekteristik
pola pengembangan usahaternak rakyat yang paling dominan.
Pemberdayaan masyarakat dalam konteks pengembangan peternakan rakyat merupakan
pengembangan agribisnis peternakan yang bertujuan untuk mensejahterakan petani dalam
mengejar ketinggalannya serta dapat meningkatkan produktivitas ternak khususnya ternak
ruminansia (sapi Bali).
Secara prinsip pemberdayaan dalam konteks suatu “proses” mengacu pada upaya proses
pemberdayaan ekonomi usaha ternak model mix-Farming, dari existing condition ke optimum
condition (part time) dan kemudian diarahkan pada usaha ternak yang sustainable (full time)
(Anonimus, 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa proses pemberdayaan tersebut mengacu pada
upaya; (1) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, (2) peningkatan pertumbuhan
populasi ternak ruminansia dan (3) upaya menopang terbentuknya “sentra produksi ternak
ruminansia di Indonesia”. Prinsip dasar dalam pelaksanaan usaha ternak adalah efesien dan
berdaya saing yang mampu mendorong usaha ternak sebagai usaha pokok serta mampu
mendukung peningkatan produksi daging ternak ruminansia di Indonesia.

2.3 Sistem Pemeliharaan Sapi Bali

Pemeliharaan sapi bali umumnya menggunakan tiga system, yaitu sistem Intensif, semi
Intensif dan Ekstensif. Sistem Pemeliharaan Secara Intensif biasanya dilakukan untuk tujuan
tertentu, misalnya untuk penggemukan sapi. Sapi bali yang dipelihara secara intensif
disediakan kandang yang memadai dan sanitasi serta pemeriksaan kesehatan tapi dilakukan
secara kontinyu; Sistem

Pemeliharaan Semi Intensif sapi yang dipelihara diikat dibawah pohon yang rimbun
dan diberi pakan secara kontinyu. Sapi sepenuhnya dibawah pengawasan oleh peternak,
terutama dalam hal sanitasi kandang/lingkungan, pakan, dan obat-obatan; dan pada Sistem
Pemeliharaan Ekstensif, sapi dipelihara dengan cara di gembalakan di padang penggembalaan.
Sapi yang di pelihara dikandangkan pada kandang yang sangat sederhana, berpagar, peratap
pelepah daun lontar dan berlantai tanah.
BAB III
PENUTUP

Sapi bali merupakan bangsa sapi yang memiliki fertilitas tinggi meskipun berada pada
kondisi kekurangan nutrisi pakan dan mampu beradaptasi pada lingkungan yang kurang baik.
Karakteristik fisik dari sapi bali diantaranya adalah memiliki ukuran badan sedang, berdada
dalam, seringkali memiliki warna bulu merah, warna keemasan dan coklat tua namun warna
ini tidak umum. Bibir, kaki dan ekor berwarna hitam. Pada bagian lutut ke bawah berwarna
putih dan terdapat warna putih di bawah paha dan bagian oval putih yang amat jelas pada
bagian pantatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Sumiyati1, IN.S. Miwada, dan N.L.N. Kebayantini. 2017. Penguatan Eksistensi Sapi Bali
Melalui Pendekatan Ipteks dan berorientasi Wisata Pedesaan di Desa Sobangan
Kecamatan Mengwi Kab. Badung. Buletin Udayana Mengabdi: 16(2).
Masykuri, Ahmad. 2013. Daya Saing Dan Strategi Pengembangan Sapi Bali di Kabupaten
Barru sebagai Daerah Sumber Bibit Murni. Tesis. Universitas Hasanuddin Makassar.
Hajirin, Husbeis, M., dan Suryahadi. 2020. Strategi Pengembangan Sapi Potong di Wilayah
Pengembangan Sapi Bali Kabupaten Barru. 15(1):48-61

Anda mungkin juga menyukai