Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KERBAU

Disusun oleh :
1.
2.
3.
4.

Ahmad Zaini
Siti Robiah
Nanda Rizal. S
Rismania

361541333006
361541333008
361541333019
361541333016

5.

Indah Ning Tiara

361541333017

6.

Lilik Nurhafidloh

361541333019

7.

Bagus Dwi Pratama

361541333025

8.

Gozi

361541333003

PROGRAM STUDI D-4 TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL TERNAK


POLITEKNIK NEGERI BANYUWANGI
2016
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Protein hewani sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan, kesehatan dan kecerdasan manusia.
Ternak sebagai sumber pangan (daging, telur dan susu) bagi manusiamemberikan kontribusi
yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan protein hewani. Persoalan tentang bagaimana cara
memenuhi kebutuhan akan pangan hewani asalternak ini sangat penting diperhatikan karena
menyangkut pemenuhan gizi bagi penduduk yang jumlahnya tinggi. Penduduk Indonesia
diperkirakan sebanyak 226 juta jiwa pada tahun 2008 dan akan meningkat menjadi 229 juta jiwa
pada tahun 2009 dan 232 juta jiwa pada tahun 2010.
Dalam upaya pemenuhan protein hewani, potensi ternak yang ada di Indonesia diperkirakan
belum dapat sepenuhnya memenuhi seluruh kebutuhan di dalam negeri sehingga perlu adanya
upaya pembibitan dalam mengembangkan sector peternakan. Dalam upaya pemenuhan
kebutuhan daging tersebut tidak harus disuplay dari ternak sapi akan tetapi kerbau juga memiliki
potensi yang baik untuk masyarakat, selain untuk dagingnya. Secara umum usaha ternak kerbau
telah lama dikembangkan oleh masyarakat sebagai salah satu mata pencaharian dalam skala
usaha yang masih relatif kecil. Usaha ternak kerbau ini dilakukan untuk tujuan produksi daging,
kulit dan tenaga kerja. Meskipun di beberapa wilayah tertentu produk daging kerbau sangat
diminati masyarakat, namun pada segmen pasar tertentu permintaan produk daging kerbau masih
relatif terbatas. Sepertidiketahui bahwa produktivitas ternak kerbau di Indonesia masih
relatifrendah, karena secara teknis masih terdapat beberapa kendala yang memerlukan pemikiran
untuk mengatasinya.
Masalah peternakan kerbau cukup bervariasi antara lain pola pemeliharaan tradisional,
berkurangnya lahan penggembalaan, tingginya pemotongan pejantan yang berdampak pada
kekurangan pejantan, pemotongan ternak betina produktif, kekurangan pakan dimusim tertentu,
kematian pedet yang cukup tinggi (sekitar 10%), rendahnya produktivitas, pengembangan system
pemeliharaan semi intensif yang masih terbatas, serta kesan negative terhadap kerbau. Namun
demikian, usaha ternak kerbau memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan terutama di

beberapa wilayah yang memiliki sumberdaya pakan melimpah. Oleh karena itu, perlu adanya
upaya
penyelamatan populasi dan pengembangannya yang dapat dilakukan melalui berbagai macam
usaha dari berbagai pihak antara lain pemberdayaan kelompok ternak dan penerapan teknologi
tepat guna seperti Inseminasi Buatan (IB), Intesifikasi Kawin Alam (INKA) serta program
pembibitan lainnya.
B. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
Untuk mengetahui potensi kerbau dalam kehidupan manusia
Untuk mengetahui factor kendala yang mempengaruhi dalam upaya pengembangan dan
pelestarian kerbau
Untuk mengetahui metode dalam upaya pengembangan dan pelestarian kerbau
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah
Dapat mengetahui potensi kerbau dalam kehidupan manusia
Dapat mengetahui factor kendala yang mempengaruhi dalam upaya pengembangan dan
pelestarian kerbau
Menambah wawasan kita dalam upaya pengembangan dan pelestarian kerbau
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu bagaimana upaya atau
metode yang akan kita lakukan dalam mengembangkan atau melestarikan kerbau dan faktor
apakah yamg mempengaruhi sehingga kerbau sulit untuk dikembangkan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau rawa merupakan salah satu plasma nutfah daerah Kalimantan Selatan. Kerbau ini
biasanya dipelihara di daerah yang banyak air atau dataran rendah berpaya- paya, serta memiliki
daya adaptasiyang baik terhadap lingkungan rawa yang banyak ditumbuhi semak-semak rumput
rawa (Dilaga 1987). Suhardono (2004) melaporkan, selama 5 tahun terakhir populasi kerbau
rawa menurun. Penurunan ini diduga berkaitan dengan system pengusahaannya yang masih
secara tradisional. Penyebab lainnya adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan
dan padang penggembalaan alami, penampilan produksi belum maksimal, angka kelahiran
rendah, dewasa kelamin dan selang beranak (calving interval) relatif panjang, dan kurang
tersedianya pejantan. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat biologis ternak tersebut (Baikuni 2002;
Yusdja et al. 2003; Hardjosubroto 2004; Diwyanto dan Handiwirawan 2006).
Selain itu, peran kerbau pada sistem usaha tani belum berorientasi agribisnis, bibit unggul
sangat terbatas, kualitas pakan rendah, daya tahan terhadap panas, parasit dan penyakit rendah,
serta teknologi tepat guna kurang tersedia (Diwyanto dan Subandriyo 1995). Walaupun produksi
kerbau rawa belum optimal, penampilan reproduksinya cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh
kemampuan induk dewasa yang dapat beranak dua kali setiap 2,50 tahun dengan bobot lahir
anak 2431 kg (Rohaeni et al. 2005), dan bobot badan anak umur setahun 176179 kg (Putu et
al. 1994) atau 150200 kg (Rohaeni et al. 2005). Musa (1988) mengemukakan, habitat rawa di
Kalimantan Selatan dapat dibedakan menjadi dua, yakni saat air pasang tinggi (high water
period) dengan padang (floating meadows), dan saat air surut dan padang penggembalaan mulai
kering dan hanya bagian tertentu yang tergenang air.
Berdasarkan pola air rawa tersebut maka pemeliharaan kerbau rawa dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu pada musim hujan saat padang penggembalaan digenangi air dan rumput
terapung banyak tersedia, serta pada musim kemarau saat air surut dan hanya beberapa bagian
saja yang airnya dalam, sehingga rumput yang tumbuh terapung berkurang (Hamdan et al. 2006).
Akibatnya, pada musim kemarau kerbau secara berkelompok mencari makan hingga mencapai
jarak beberapa kilometer dari lokasi kalang (Dilaga 1987; Putu et al. 1994; Suryana dan Hamdan
2006). Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk

meningkatkan populasi dan produktivitas kerbau rawa adalah dengan mengembangkan dan
melestarikannya. Pengembangan kerbau rawa dilakukan pada daerah-daerah rawa yang memiliki
padang penggembalaan alami. Di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), pengembangan kerbau
rawa selain sebagai penghasil daging, juga merupakan salah satu objek wisata, berupa
perlombaan atau pacuan kerbau di rawa.

BAB III
PEMBAHASAN

A. PERMASALAHAN DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KERBAU


Kerbau Memiliki beberapa keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari adanya kelemahan.
Perkembangan populasi kerbau terlihat agak lamban dibanding dengan ternak sapi. Secara
nasional perbandingannya sekitar 20% kerbau dan 80 % sapid an ratio ini masih berlangsung
sampai saat ini.
Kondisi tersebut diatas antara lain dapat disebabkan karena tingkat reproduksi kerbau
yang rendah, masa kebuntingan kerbau yang relative lebih lama, angka kelahiran kerbau rendah,
dewasa kelamin dan selang beranak relatif panjang dan kerbau memiliki persentase karkas lebih
rendah 3-5% dari karkas sapi karena ukuran kaki dan kepala yang lebih besar serta kulit yang
lebih tebal. Selain itu kerbau dikenal sebagai ternak silent heat yaitu sulit untuk mendeteksi
ternak betina yang estrus karena tidak menjukan tanda-tanda birahi. Produktifitas kerbau dalam
beberapa hal lebih rendah dibandingkan dengan sapi terkait dengan sifat-sifat biologis yang
dimilikinya.
Sifat-sifat biologis tersebut memperlihatkan bahwa pemeliharaan kerbau lebih cocok
dengan manajemen ekstensif sehingga sesuai untuk dikembangkan di peternakan rakyat dengan
sarana dan prasarana terbatas. Penurunan populasi juga diduga berkaitan dengan sistim
pengusahaannya yang masih secara tradisional. Penyeab lainnya adalah tinnginya jumlah
pemotongan, terbatas pakan dan padang penggembalaan alami akibat alih fungsi /konversi lahan
kepenggunaan lain (seperti perumahan dan industry).
B. UPAYA PENGEMBANGAN DAN PELESTARIAN KERBAU
Upaya untuk mempertahankan kelestarian dan kemurnian ternak asli perlu ditangani dalam
rangka mempertahankan sumber daya genetic ternak asli yang mempunyai keunggulan adaptasi
yang tinggi. Upaya pengembangan dapat dilakukan sesuai dengan potensi daerah yang didukung
dengan perbaikan teknologi (bibit, manajemen, pakan). Dalam upaya pelestarian perlu adanya
dukungan dan campur tangan pemerintah dalam hal regulasi dan kebijakan, penerapan teknologi

yang tepat, penguatan kelembagaan serta peningkatan keterampilan dan wawasan peternak.
Pembentukan village breeding centre dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok-kelompok
peternak dan ini adalah salah satu cara untuk memperbanyak populasi atau pembentukan pusatpusat/usaha pembibitan kerbau terutama pada wilayah yang memilki populasi kerbau banyak.
Upaya pelestarian lainnya adalah diperlukan adanya lomba keindahan, konteks ternak misalnya
dilihat dari performensnya dan bursa hewan, kegiatan ini sekaligus untuk menjaring bibit unggul.
a. Peran Benih/Bibit
Kerbau (Bubalus bubalis) adalah ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam
penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah
belahan utara tropika. Tujuan pemeliharaan kerbau sebagai tenaga kerja dan penghasil daging
serta susu. Pengembangan usaha kerbau mempunyai prospek yang sangat baik. Usaha ini
memungkinkan peternak memperoleh pendapatan harian yang berasal dari upah tenaga kerja dan
atau penjualan susu, pendapatan bulanan dari penjualan kompos dan pendapatan tahunan dari
penjualan anak kerbau. Selama delapan tahun terakhir, perkembangan kerbau diIndonesia belum
menggembirakan.
Populasi kerbau di Indonesia saat ini 40% berada di P.Jawa dengan kepemilikan 1-2
ekor/petani. Salah satu faktor penyebabrendahnya populasi adalah keterbatasan bibit unggul,
mutu pakan rendah, perkawinan silang dalam dan kurangnya pengetahuan peternak dalam
menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut. Untuk itu kebijakan pengembangan usaha
pembibitan kerbau diarahkan pada suatu kawasan, baik kawasan khusus maupun terintegrasi
dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan
dan pengawasannya. Proses produksi benih/bibit kerbau sesuai Permentan No. 36/2006 harus
dilakukan dengan memperhatikan aspek kesehatan hewan, kesejahteraan hewan, kesehatan
masyarakat veteriner, bioetika dan kelestarian lingkungan. Semen yang merupakan bagian dari
benih yang diproduksi untuk diedarkan harus berasal dari pejantan dari kelompok populasi dasar
dan atau telah dilakukan uji performans, uji zuriat dan atau mempunyai nilai pemuliaan tinggi
yang berasal dari tetua dan atau saudara kandung, dan atau saudara tiri. Sedangkan bibit yang
diproduksi untuk diedarkan harus memenuhi persyaratan teknis minimal atau standar mutu bibit

yang berlaku, diutamakan yang telah memiliki rekording/pencatatan (identifikasi, silsilah,


tanggal lahir, berat lahir, berat sapih), dan tidak cacat fisik dan organ reproduksi serta memenuhi
persyaratan kesehatan hewan. Usaha pembibitan saat ini belum banyak diminati, karena margin
usaha yang diperoleh relative sangat kecil, memerlukan modal dalam jumlah besar dan waktu
pengembalian yang relatif lama. Pembibitan kerbau selama ini dilakukan dalam skala usaha yang
relatif kecil, menyebar, serta dilakukan di kawasan yang tidak tersedia pakan, atau pakan
(rumput) harus dibeli dengan harga mahal. Oleh karena itu, untuk mendorong berkembangnya
usaha pembibitan ternak kerbau, diperlukan peran pemerintah berupa fasilitasi, regulasi dan
penetapan kawasan perbibitan serta penerapan inovasi teknologi yang aplikatif. Usaha agribisnis
yang perlu dikembangkan adalah penyediaan calon-calon induk, dan pejantan unggul terutama
untuk keperluan pejantan kawin alam. Pola perkawinan kerbau sebagian besar dilakukan secara
kawin alam, dengan rasio jantan : betina diusahakan 1 : 8-10 ekor. Untuk pengembangan pola
perkawinan IB pada ternak kerbau belum banyak dikenal di masyarakat karena deteksi berahi
pada kerbau sulit dilakukan (berahi kerbau sering terjadi pada malam hari).
b. Status Ketersediaan Bibit
Sesuai dengan alur ketersediaan bibit kerbau (Gambar 5), maka bibit kerbau dapat
mencukupi kebutuhan bibit untuk pertumbuhan populasi maupun kebutuhan daging kerbau yang
dipotong untuk tahun 2008 s/d 2010. Untuk ketersediaan bibit pejantan dari tahun ke tahun dapat
terpenuhi, bahkan kelebihan bibit pejantan cenderung meningkat setiap tahunnya (13,6%;
20,16%; dan 22,71%) dari kebutuhan. Sebaliknya bibit kerbau betina belum dapat memenuhi
kebutuhannya, kekurangan bibit betina cenderung menurun setiap tahunnya (18,75%; 13,99%;
dan 12, 17%).

Tabel 1.. Analisis Pemenuhan Kebutuhan bibit Kerbau tahun 2008 s/d 2010
No

Uraian

Pemenuhan Daging Dan Bibit Kerbau

.
Tahun 2008

Tahun 2009

Tahun 2010

Kebutuhan

27,212

29,800

32,500

Penyediaan

27,492

29,944

32,548

270

144

48

82.469

87,155

93,880

Ketuhan Bibit

67,055

74,962

82,458

Penyediaan Bibit

(15.302)

(12.193)

(11.422)

8,247

8,716

9,388

Kebutuhan Bibit

9,358

10,473

11,520

Penyediaan Bibit

1,121

1,757

2,132

+
4
Jumlah Penduduk

226,7

2293

231,9

Daging Kerbau (ton)

2
Bibit Ternak Kerbau Betina
(ekor)

+
Bibit Ternak Kerbau Jantan
(ekor)

Dari Tabel 1 diatas kelebihan penyediaan daging kerbau sebanyak 48 hingga 270 ton dapat
digunakan untuk substitusi kekurangan konsumsi daging sapi atau peningkatan konsumsi daging
kerbau. Akan tetapi perlu diperhatikan adanya kekurangan ternak bibit kerbau betina sekitar 11
s/d 15 ribu ekor per tahun, serta terjadinya inbreeding yang tinggi dengan pola kawin alam
tersebut apabila pengaturan penggunaan kerbau pejantan tidak dilakukan. Kelebihan penyediaan
bibit pejantan tersebut harus dapat dimanfaatkan sebagai penambah pemacek di kawasan
pembibit, terutama dalam memperbanyak konfigurasi genetik.
Oleh karena itu pola pengaturan penggunaan pejantan unggul di suatu kawasan pembibit
ternak harus diterapkan, tujuannya agar perkawinan sedarah (inbreeding) dapat dihindari.

Berdasarkan analisis kebutuhan bibit ternak kerbau jantan dan betina, maka dapat
dilakukanseleksi terhadap kerbau pejantan yang baik sebagai pemacek dan untukdigunakan di
daerah yang kurang kerbau pejantan. Kekurangan bibit kerbau betina dapat diupayakan melalui
penjaringan kerbau betina atau impor kerbau bakalan betina produktif yang diharapkan dapat
digunakan untuk menambah kerbau betina untuk dikembangbiakkan, dan mengintensifkan pola
pemeliharaan ternak kerbau yang sebagian masih liar atau digembalakan secara menggerombol
(pola ekstensif).
Peningkatan penyediaan bibit meliputi : (1) Penyediaan semen beku IB dapat dilakukan oleh
BIB pusat dan BIB-D, ataupun impor dalam rangka memperbanyak konfigurasi genetik (darah
baru) di dalam negeri; (2) Optimalisasi peran dan fungsi UPT, UPTD, VBC dalam penyediaan
bibit; (3) Penjaringan bibit kerbau dapat dilakukan melalui seleksi di tingkat peternak atau
kelompok peternak dalam suatu kawasan pembibitan ternak rakyat di perdesaan (VBC ),
penjaringan bibit terhadap pemenang kontes ternak, penjaringan bibit di pasar hewan atau rumah
potong hewan (RPH) ataupun di tempat pengumpulan ternak (holding ground); (4) Penggunaan
APBN dan APBD di daerah untuk perbibitan kerbau dilakukan dalam rangka pembentukan
sumber bibit baru maupun penguatan dan pengembangan kelompok yang sudah ada.
Optimalisasi kelembagaan dan SDM perbibitan, antara lain : (1) Peningkatan peran dan fungsi
para pelaku pembibitan; (2) Peningkatan sarana dan prasarana perbibitan; (3) Penerapan prinsipprinsip perbibitan dengan mengacu kepada pedoman dan petunjuk teknis perbibitan; (4)
Peningkatan kualitas SDM perbibitan melalui diklat/pelatihan, study banding; (5) Pengembangan
kelembagaan perbibitan, seperti : sinergisme dan kerjasama, penguatan tupoksi, dan koordinasi
antar pelaku pembibitan.
Kebijakan dan regulasi perbibitan meliputi : (1) Kebijakan teknis perbibitan antara lain :
optimalisasi peran dan fungsi UPT pusat dan daerah serta VBC yang sudah ada; pembentukan
pusat perbibitan baru di daerah potensial; pelaksanaan kontes ternak di tingkat propinsi dan
nasional secara reguler dalam rangka menseleksi dan mengamankan calon bibit terbaik;
pemeriksaan dan pengawasan mutu semen dan penyakit di UPT pusat dan daerah serta kawasan
perbibitan; pengaturan komposisi ternak dalam populasi; (2) Kebijakan tata ruang : pewilayahan
sumber bibit lokal; pengembangan perbibitan di pulau-pulau perbatasan Indonesia yang

mempunyai potensi sumber pakan; tata ruang yang ramah lingkungan, perlu adanya peraturan
daerah yang mengatur tentang kawasan usaha peternakan (kunak) maupun kawasan industri
peternakan

(Kinak);

dan

(3)

Kebijakan

regulasi

peraturan

pemanfaatan

limbah

perkebunan/agroindustri pertanian sebagai sumber pakan; pemotongan ternak bibit betina


produktif; pengawasan ekspor-impor; dan koordinasi sinergis lintas sektoral.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan populasi kerbau terlihat agak lamban dibanding dengan ternak sapi. Secara
nasional perbandingannya sekitar 20% kerbau dan 80 % sapid an ratio ini masih berlangsung
sampai saat ini. Pembibitan kerbau selama ini dilakukan dalam skala usaha yang relatif kecil,
menyebar, serta dilakukan di kawasan yang tidak tersedia pakan, atau pakan (rumput) harus
dibeli dengan harga mahal. Masalah dalam pengembangan kerbau disebabkan karena tingkat
reproduksi kerbau yang rendah, masa kebuntingan kerbau yang relative lebih lama, angka
kelahiran kerbau rendah, dewasa kelamin dan selang beranak relatif panjang dan kerbau
memiliki persentase karkas lebih rendah 3-5% dari karkas sapi karena ukuran kaki dan kepala
yang lebih besar serta kulit yang lebih tebal. Selain itu kerbau dikenal sebagai ternak silent heat
yaitu sulit untuk mendeteksi ternak betina yang estrus karena tidak menjukan tanda-tanda birahi.
Produktifitas kerbau dalam beberapa hal lebih rendah dibandingkan dengan sapi terkait dengan
sifat-sifat biologis yang dimilikinya.
B. Saran
Dalam upaya pelestarian perlu adanya dukungan dan campur tangan pemerintah dalam hal
regulasi dan kebijakan, penerapan teknologi yang tepat, penguatan kelembagaan serta
peningkatan keterampilan dan wawasan peternak. Pembentukan village breeding centre dapat
dilakukan dengan melibatkan kelompok-kelompok peternak dan ini adalah salah satu cara untuk
memperbanyak populasi atau pembentukan pusat-pusat/usaha pembibitan kerbau terutama pada
wilayah yang memilki populasi kerbau banyak. Upaya pelestarian lainnya adalah diperlukan
adanya lomba keindahan, konteks ternak misalnya dilihat dari performensnya dan bursa hewan,
kegiatan ini sekaligus untuk menjaring bibit unggul.

DAFTAR PUSTAKA

Baikuni. 2002. Karakteristik reproduksi dan potensi pengembangan ternak kerbau di Kabupaten Musi
Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Dilaga, S.H. 1987. Suplementasi kalsium dan fosfor pada kerbau rawa Kalimantan Tengah yang mendapat
ransum padi hiyang (Oryza sativa forma spontanea). Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor,
Diwyanto, K. dan Subandriyo. 1995. Peningkatan mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIV(4): 92101.
Hamdan, A., E.S. Rohaeni, dan A. Subhan. 2006. Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau rawa di
Kalimantan Selatan. hlm.170177. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau
Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 45 Agustus 2006. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal
Peternakan, Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Pemerintah Kabupaten
Sumbawa.
Hardjosubroto, W. 2004. Prospek sosial ekonomi peternakan kerbau di Indonesia. Makalah disampaikan
pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di
Indonesia. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatanbekerja sama dengan Pusat
Bioteknologi LlPI. Banjarmasin, 78 Desember 2004. 11 hlm.
Musa, A.F. 1988. Mengenal rumput terapung daerah rawa Kalimantan Selatan. Majalah Swadesi
Peternakan Indonesia, Juni 1988.
Putu, I.G.M., M. Sabrani, M. Winugoho, T. Chaniago, Santoso, Tarmudji, A.D. Supriyadi, dan P.
Oktaviana. 1994. Peningkatan produksi dan reproduksi kerbau kalang pada agroekosistem rawa
di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 54 hlm.
Suhardono. 2004. Penyakit dan upaya penanggulangannya untuk menekan kematian pada kerbau.
Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan
Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan
bekerja sama dengan Pusat Bioteknologi LlPI. Banjarmasin, 78 Desember 2004. 11 hlm.
Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil dan permasalahan peternakan. Forum Penelitian Agro
Ekonomi 21(1): 4456.

Anda mungkin juga menyukai