Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

PROSPEK PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DONGGALA

Disusun oleh :

NELLY KUSRIANTY
No. Mhs : 21/476417/SPT/214
Program Studi : Doktoral Peternakan

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
LATAR BELAKANG

Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu


sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk
dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih (2005), ada
beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu:
1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan
tenaga kerja yang berkualitas tinggi, 2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi
yang luas dan luwes, 3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap
perubahan pendapatan yang tinggi, dan 4) dapat membuka lapangan pekerjaan.

Pembangunan peternakan ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil ternak


yang sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, menciptakan lapangan
pekerjaan serta meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak. Berdasarkan dan
mengacu pada visi pembangunan peternakan, maka telah digariskan Misi
Pembangunan Peternakan yaitu : 1) memfasilitasi penyediaan pangan asal ternak
yang cukup baik secara kuantitas maupun kualitasnya, 2) memberdayakan
sumberdaya manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya
saing tinggi, 3) menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan
peternakan, 4) membantu menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis
peternakan dan 5) melestarikan serta memanfaatkan sumber-daya alam pendukung
peternakan (Aryogi. L., dkk, 2008).

Sementara itu tujuan khusus pembangunan peternakan tersebut adalah 1)


meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit ternak, 2) mengembangkan usaha
budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak, 3)
meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan, 4) meningkatkan
jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) dan
5) meningkatkan pelayanan prima pada masyarakat peternakan (Bahri et al., 2008).
Pembangunan peternakan di Indonesia dimulai dari peternakan rakyat.
Peternakan rakyat memegang peranan penting dalam pengembangan sapi potong
lokal dimana ternak tersebut dipelihara. Sulawesi Tengah memiliki Sapi Donggala
yang merupakan sapi lokal yang sering kali digunakan sebagai ternak pekerja dan
ternak potong. Sapi Donggala sebagai ternak potong untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani masyarakat di Sulawesi Tengah. Provinsi Sulawesi Tengah tahun
2020 memiliki populasi sapi potong sebanyak 391.418 ekor atau 2,24% dari
populasi sapi di Indonesia yang berjumlah 17.466.792 ekor sapi potong (BPS
Sulawesi Tengah, 2021).

Warna tubuh sapi Donggala adalah merupakan salah satu ciri morfologinya.
Warna badannya yang terbanyak adalah putih keabuan, putih kemerahan, merah
bata dan coklat muda kekuningan. Sapi Donggala terbentuk dari hasil campuran
persilangan acak antara sapi PO, Madura dan Bali. Berdasarkan performans
eksteriornya, bahwa sapi Donggala sebenarnya merupakan sapi Ongole yang
kemurnian genetiknya relative masih terjaga, tetapi telah beradaptasi secara
fisiologis dan genetis dengan kondisi agroekosistem wilayah dan pola pemeliharaan
oleh peternaknya. Warna tubuh putih pada sapi Donggala ternyata tidak dominan
hal ini merupakan salah satu ciri sapi PO yang warna tubuhnya hampir selalu
resesif dengan warna tubuh sapi yang disilangkan dengannya (Pratiwi et al., 2009).
ANALISIS KEBERLANJUTAN

Sapi Donggala dilapangan mampu bertahan pada suhu yang ekstrim, karena
kondisi Sulawesi Tengah yang dilalui garis khatulistiwa sehingga membuat suhu
lebih tinggi dibanding daerah yang tidak dilalui garis khatulistiwa. Sapi Donggala
karena memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga berpotensi untuk dikembangkan
melalui teknologi reproduksi. Salah satu teknologi yang sering digunakan untuk
peningkatan populasi dan produktivitas ternak adalah IB atau Inseminasi Buatan.
Kualitas semen sangat mempengaruhi keberhasilan IB. Sapi Donggala merupakan
hasil persilangan sapi PO dengan bangsa sapi yang lain seperti sapi Bali dan sapi
Madura sehingga karakteristik semennya juga memiliki kesamaan dengan tetuanya.
Kualitas semen sapi PO jantan pada umur 2,5 sampai 3,5 tahun mempunyai
fertilitas yang baik, yaitu motilitas individu 60% dan viabilitas 70% (Luthfi M., dkk.,
2020).

Performance sapi Donggala menunjukkan ketidaksesuaian antara umur dan


ukuran tubuh, sehingga Body Score Condition (BCS) sapi Donggala 2,5. Pada
kondisi tersebut ternak jantan dan betina akan mengalami penurunan fungsi
reproduksi. Seperti sapi Donggala yang memiliki jarak melahirkan lebih dari
setahun. Salah satu yang menyebabkan kegagalan sapi betina beranak setiap
tahun adalah faktor pejantan. Seekor pejantan harus dapat menghasilkan
spermatozoa dengan tingkat kesuburan dan libido yang tinggi serta fisik yang baik,
sehingga dapat mengawini induk sapi hingga terjadi kebuntingan (Soeharsono. M.,
2014). Sehingga dibutuhkan sebuah teknologi untuk lebih mengoptimalkan
spermatozoa dari pejantan, seperti inseminasi buatan atau IB.

Usaha pembibitan ternak sapi potong Donggala belum menjadi usaha pokok
bagi petani, tetapi masih sebagai usaha sambilan. Peternak dengan mata
pencaharian utama adalah sebagai petani. Proporsi tingkat umur peternak rata-rata
berumur 40 - 50 tahun dengan tingkat pendidikan SMP – SMA. Ditinjau dari aspek
usia termasuk kisaran produktif dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA. Oleh
karennya dimungkinkan dapat dengan mudah menerima inovasi teknologi usaha
tani menuju perubahan baik perubahan secara individu maupun kelompok. Hal ini
merupakan gambaran umum penduduk di perdesaan, dimana Sebagian besar
bergantung pada sektor pertanian dan didukung oleh peternakan.
Tenaga kerja keluarga yang terlibat dalam pengelolaan ternak sapi rata rata 2
orang dimana peran bapak/kepala keluarga sangat dominan (92,82%). Sedangkan
keterlibatan anggota keluarga lainnya (ibu, anak) dalam pengelolaan usaha ternak
relatif lebih sedikit. Hal ini terlihat dari curahan waktu yang diberikan dalam
pemeliharaan ternak tersebut. Semakin banyak waktu yang dicurahkan maka
semakin dominan peranannya didalam pengelolaan usaha. Semua peternak tidak
menggunakan tenaga kerja luar untuk mengelola usaha ternaknya, hal ini
merupakan salah satu ciri dari usaha yang bersifat usaha sambilan dimana
pengeluaran biaya (cost) produksi ditekan seminimal mungkin.

PROSPEK PENGEMBANGAN

Keunggulan sapi Donggala bahwa sistem pemeliharaannya sangat mudah


dan sederhana dengan biaya kecil yang terbiasa di lepas sepanjang hari, tahan
kekeringan/ panas/ beberapa penyakit dan parasit), umur produktif Panjang induk
mampu beranak sampai 10 kali, pejantan masih kuat mengawini sampai umur 20
tahun) dan reproduksinya tinggi hampir tiap tahun beranak. (Pratiwi et al., 2009).

Hasil penelitian bahwa induk sapi Donggala mempunyai BCS rata-rata 3,09.
Hal ini menunjukkan bahwa induk sapi tersebut kondisi baik secara eksterior
sehingga dimungkinkan tingkat keberhasilan reproduksi yang tinggi. anoestrus post
partum (APP) atau birahi setelah melahirkan bagi induk sapi sebesar 2,78 bulan,
sedangkan induk dikawinkan pada birahi kedua dengan ratarata 3,44 bulan setelah
melahirkan. Sistem perkawinan secara kawin alam menggunakan pejantan lokal
yang tersedia di kandang kelompok. Disamping itu inseminasi buatan mulai
dikenalkan bagi responden yang tidak memiliki ternak jantan. Tingkat keberhasilan
perkawinan ditinjau dari service per conception bahwa induk sapi Donggala nilai S/C
rata-rata 1,28 untuk sampai terjadi kebuntingan dan tergolong baik. Dengan asumsi
lama kebuntingan Sembilan bulan maka jarak lahir induk sapi potong rata-rata 16,50
bulan. Soeharsono et al., (2010) melaporkan bahwa S/C sapi potong lokal sebesar
1,9 kali dengan calving interval 14,08 bulan. Panjang pendeknya CI ini kemungkinan
dipengaruhi oleh periode kosong atau days open periode. Jarak lahir yang panjang
panjang, lebih banyak disebabkan karena mempunyai APP dan DO yang cukup
Panjang dan akan menyebabkan CI panjang. Pratiwi et al., (2009) melaporkan
bahwa performans reproduksi induk sapi Donggala mencapai birahi pertama umur
20-24 bulan dengan beranak pertama umur 29 - 33 bulan, APP 12 - 18 minggu,
siklus estrus 3-4 minggu dan calving interval 12-16 bulan pada kondisi system
pemeliharaan secara ekstensif.

MODEL PENGEMBANGAN

Pemenuhan nutrisi pakan juga merupakan salah satu faktor yang


mempengaruhi kondisi induk di samping ketepatan dalam penyapihan pedet. Pedet
yang terlalu lama disusukan induknya dengan pakan yang diberikan kurang
mencukupi kebutuhan nutrisi, dapat menyebabkan post partum estrus menjadi
terlambat dan calving interval (jarak kelahiran)-nya juga menjadi panjang sehingga
peternak merugi. Perbaikan pakan diikuti penyapihan pedet yang ideal (pedet mulai
disapih antara umur 2-3 bulan) merupakan alternatif untuk memperbaiki kondisi
induk sapi agar mampu menghasilkan keturunan yang bermutu dengan jarak
beranak yang dapat diperpendek (Nuschati et al., 2000). Dengan perbaikan
manajemen diharapkan Calving Interval (CI) tidak lebih dari 12 bulan, sehingga
periode kosong atau days open period tidak lebih dari 80-85 hari (Peters, 1984).
Induk sapi Donggala yang dipelihara ekstensif mampu memberikan performan
ukuran tubuh yang standar seperti sapi Peranaan Ongole (PO) dan mempunyai
tingkat reproduktifitas baik dengan nilai BCS tinggi dan S/C yang rendah, dan DO
serta CI relatif tinggi. Performan induk sapi Donggala sebagai sumber daya genetik
lokal perlu mendapat perhatian sehingga reproduktivitas induk perbaikan mutu
genetik akan dapat dilakukan. Perbaikan reproduktifitas induk dapat dilakukan
dengan pemberian pakan tambahan berupa pakan konsentrat dan didukung dengan
sapi pejantan yang baik sebagai pemacek untuk mengantisipasi terjadinya
perkawinan dengan pejantan yang mempunyai hubungan kekerabatan (inbreeding).
DAFTAR PUSTAKA

Aryogi, L. Affandhy, E. Ramjali, D. B. Wijono, B. Tiesnamurti, A. Rasyid dan D. M.


Dikman. 2008. Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Lokal Melalui
Peningkatan Mutu Genetik dan Pelestarian Plasma Nuftah. Laporan
Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong. Puslitbang Peternakan. Badan
Litbang Pertanian

Bahri, S., B. Setiadi, dan I. Inounu. 2004. Arah penelitian dan pengembangan
peternakan tahun 2005-2009. hlm. 6-10. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Nuschati.U., Subiharta, D. Wiloeto, B. Utomo, D. Pramono, Ernawati, Sunarso, Yon


Supriyondo, Sri Hardiyati, Riyanto dan Suharno. 2000. Pengkajian Sistem
Usahatani Sapi Potong di Lahan kering Jawa Tengah. Laporan Hasil
Pengkajian BPTP Jateng, Ungaran.

Peters, A. R. 1984. Reproductive activity of the cow in the postpartum period. 1.


Factors affecting the length of the postpartum acyclic period. British Veterinary
Journal 140.

Pratiwi, W. C., L. Affandhy, U. Umiyasih, A. Rasyid, D. M. Dikman, dan B.


Triesnamurti. 2009. Peta Genetik Sumber Bibit Sapi Potong Lokal -
Kekerabatan ≥ 2 SDG Sapi Potong dan Koleksi 1000 Dosis Straw. Laporan
Penelitian. Loka Penelitian Sapi Potong. Puslitbang Peternakan. Badan
Litbang Pertanian.

Saragih, B., 2000. Kumpulan Pemikiran Agribisnis Berbasis Peternakan. Pustaka


Wirausaha Muda, Bogor.

Soeharsono, M. Takdir, dan F.F. Munier, 2014. Performan Induk Sapi Lokal
Donggala Yang Dipelihara Secara Ekstensif Di Lembah Palu Sulawesi
Tengah. Prosiding, Inovasi Pertanian Ramah Lingkungan. Balitbang
Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai