Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Perah di Indonesia


Kambing termasuk ternak ruminansia kecil yang bertanduk dari ordo
Artiodactyla, sub-ordo Ruminantia, family Bovidae, genus capra dan bangsa Caprini
(Gall, 1981). Tujuan pemeliharaan kambing yang dilakukan di Indonesia adalah 90%
untuk menghasilkan daging (Sodiq dan Abidin, 2009). Sebanyak minimal 99%
peternakan ruminansia kecil yang ada di Indonesia dipelihara pada peternakan rakyat
(Sodiq dan Sumaryadi, 2002), yang umumnya dilakukan oleh petani penggarap
dengan jumlah 2 – 10 ekor (Devendra dan Burns, 1994).
Waluyo (2009) menyatakan, bahwa ternak kambing merupakan ruminansia
kecil yang mempunyai arti besar bagi rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak.
Ditinjau dari aspek pengembangannya ternak kambing sangat potensial bila
diusahakan secara komersial, hal ini disebabkan ternak kambing memiliki beberapa
kelebihan dan potensi ekonomi antara lain : tubuhnya relatif kecil, cepat mencapai
dewasa kelamin, pemeliharaannya relatif mudah, tidak membutuhkan lahan yang
luas, investasi modal usaha relatif kecil, mudah dipasarkan sehingga modal usaha
cepat berputar. Ternak kambing juga memiliki kelebihan lain yaitu : reproduksinya
efisien dan dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun, memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan, tahan terhadap panas dan beberapa penyakit serta prospek
pemasaran yang baik.
Permasalahan utama dalam pengembangan ternak ruminansia menurut
Sehabudin dan Agustian (2001) adalah peningkatan produksi dan produktivitas, serta
tingkat pemotongan yang tinggi (Setiadi, 1996). Populasi kambing di Indonesia pada
tahun 2004 sebesar 12.780.961 ekor dan pada tahun 2008 sebesar 15.147.432 ekor
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2008), hal ini menunjukkan adanya peningkatan
populasi sebesar 18,52% selama empat tahun atau 4,63% per tahun. Peningkatan
populasi ini memberi sumbangan yang berarti dalam memenuhi permintaan pasar
terhadap produk hasil ternak kambing saperti daging dan susu.
Pemeliharaan kambing oleh peternak di pedesaan berfungsi sebagai tabungan,
tambahan penghasilan, pengisi waktu luang, merangsang pemanfaatan pekarangan
dan penggunaan kotoran sebagai pupuk kandang (Devendra, 1993), selain juga untuk
menanggulangi kebutuhan akan protein hewani dan mengurangi langkah

3
pengimporan susu (Ayuningsih, 1994). Apabila ternak ini dikembangkan secara luas
akan dapat meningkatkan gizi masyarakat di pedesaan melalui konsumsi susu
kambing (Chaniago dan Hastono, 2001).
Djajanegara et al. (1993) menyebutkan, karena tingginya kegiatan
pengimporan susu dan masih rendahnya produksi susu sapi di dalam negeri, serta
kurangnya toleransi saluran pencernaan sebagian masyarakat terhadap susu sapi,
maka peningkatan produksi susu kambing menjadi penting dilakukan. Perwujudan
itu semua tidak terlepas dari halangan yang ada, seperti belum populernya kambing
perah, ketidaksukaan akan bau dan rasa susu, kurangnya pengetahuan teknis
pemeliharaan kambing perah dan bila ternak ini dikomersilkan menjadi kurang
efisien dibandingkan dengan ternak sapi perah, karena dengan ukuran tubuhnya yang
kecil akan menyerap biaya untuk tenaga kerja yang lebih besar dan kebutuhan hidup
pokok yang harus dipenuhi pun menjadi lebih banyak (Stemmer et al., 1998).

Kambing Etawah
Kambing Etawah berasal dari India yaitu di wilayah Jamnapari. Kambing
Etawah masuk ke Indonesia sejak tahun 1908 dibawa oleh Pemerintah Hindia
Belanda dengan tujuan grading-up terhadap kambing lokal Indonesia. Kambing ini
termasuk kambing jenis besar, tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil daging dan
susu. Kambing Etawah memiliki postur tubuh besar, telinga panjang menggantung,
bentuk muka cembung serta bulu yang panjang di bagian paha belakang (Sodiq dan
Abidin, 2009). Rata-rata produksi susu yang dihasilkan kambing Etawah 3,8
kg/ekor/hari atau 235 kg/masa laktasi selama 261 hari dengan kandungan lemak susu
4,2 % (Diem dan Lentner, 1994).

(a) Jantan (b) Betina


Gambar 1. Kambing Etawah

4
Performa kambing Etawah memiliki panjang telinga 25-41 cm (Widagdo,
2010). Tinggi kambing jantan 90-127 cm, sedangkan betina 70-92 cm. Berat badan
pejantan dapat mencapai 68-120 kg, sedangkan betina 60-80 kg. Lingkar testis
kambing jantan dapat mencapai 23 cm (Widagdo, 2010). Kambing jantan berjenggot
dengan rahang bawah menonjol. Pola warna bulu dominan putih bervariasi dengan
hitam, merah, coklat kekuningan atau kombinasi keduanya (Subandriyo et al., 1995).

Kambing Kacang
Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dan Malaysia
(Davendra dan Burns, 1994). Performa kambing Kacang menurut Widagdo (2010)
adalah badan kecil dengan tinggi gumba pada jantan 60-65 cm dan betina 50-56 cm,
bobot badan dapat mencapai 25 kg untuk jantan dan 20 kg untuk betina, telinga
tegak, berbulu lurus dan pendek, baik betina maupun jantan memiliki tanduk yang
pendek.
Kambing Kacang merupakan bangsa kambing yang tahan derita, lincah,
mampu beradaptasi dengan baik, serta tersebar luas di wilayah kambing itu berada
(Devendra dan Burns, 1994). Di Indonesia, kambing Kacang merupakan bangsa
kambing yang tersebar di seluruh pelosok pedesaan dan merupakan kambing yang
pertama kali dipelihara oleh orang pribumi (Sudono dan Abdulgani, 2002).

(a) Jantan (b) Betina


Gambar 2. Kambing Kacang

Kegunaan utama kambing Kacang adalah sebagai penghasil daging


(Devendra dan Burns, 1994) dan kulit (Gall, 1981). Meskipun ambingnya
berkembang dengan baik akan tetapi produksi susunya relatif sedikit, yaitu hanya 0,1
– 0,4 ℓ/ekor/hari (Sodiq dan Abidin, 2009). Kambing Kacang merupakan ternak
potong yang bermutu tinggi, subur dan cocok untuk daerah pedesaan yang masih

5
jarang penduduknya dangan pola peternakan ekstensif (Sudono dan Abdulgani,
2002).

Kambing Peranakan Etawah (PE)


Kambing PE merupakan hasil kawin tatar (grading-up) antara kambing
Kacang dengan kambing Etawah, sehingga mempunyai sifat di antara tetuanya
(Atabany, 2001). Menurut Devendra dan Burns (1994) persilangan kambing PE telah
dilakukan sejak kurang lebih 80 tahun lalu dengan tujuan memperbaiki mutu
kambing lokal dan sekarang keturunannya sudah mampu beradaptasi dengan
lingkungan Indonesia. Produksi susu yang dihasilkan kambing PE adalah 0,452-2,2
kg/ekor/hari dengan masa laktasi cukup beragam yaitu antara 92-256 hari dengan
rataan 156 hari (Sodiq dan Abidin, 2009), peneliti lain Sutama dan Budiarsana
(1997) mengatakan, bahwa masa laktasi kambing PE antara 210-300 hari.

(a) Jantan (b) Betina


Gambar 3. Kambing Peranakan Etawah

Ukuran-Ukuran Tubuh Kambing PE

Jenis kambing PE bentuk fisiknya lebih mirip dengan kambing Etawah, jika
bentuk fisiknya lebih mendekati kambing Kacang dan ukurannya lebih kecil maka
disebutkambing Bligon atau lebih dikenal dengan nama Jawarandu. Performa
kambing PE diantaranya yaitu bobot badan kambing PE jantan 35-40 kg dan betina
30-35 kg (Ludgate, 1989). Tinggi badan kambing PE jantan adalah antara 65-70 cm
sedangkan betina 55-60 cm (Hardjosubroto, 1994). Panjang telinga kambing PE
adalah 18-19 cm (Markel dan Subandriyo, 1997). Warna kambing PE mempunyai
kombinasi coklat sampai hitam atau abu-abu (Sudono dan Abdulgani, 2002).

6
Produksi susu kambing PE adalah 1,5-3,7 liter/ekor/hari dengan masa laktasi selama
7-10 bulan (Blakely dan Bade, 1998).
Lembah Gogoniti Farm (2008), performa kambing PE yaitu badan besar,
tinggi gumba pada jantan 90-110 cm, sedangkan betina 70-90 cm. Bobot badan
hidup jantan adalah antara 65-90 kg, untuk betina 45-70 kg. Panjang badan pada
ternak jantan yaitu antara 85-105 cm, sedangkan untuk betina 65-85 cm. mempunyai
kepala yang tegak dengan garis profil tubuh melengkung, dengan tanduk mengarah
ke belakang dan ujung sedikit melingkar serta telinga lebar menggantung panjang
terkulai, lembek serta melipat ke dalam pada ujungnya. Panjang telinga pada jantan
adalah antara 25-41 cm, sedangkan untuk betina 8-14 cm. Bentuk muka adalah
cembung dan dagu berjanggut serta terdapat gelambir di bawah leher. Warna bulu
pada umumnya dominan putih dengan belang hitam, coklat, coklat totol putih atau
hitam totol putih. Produksi susu induk adalah antara 0,5-3 liter/ekor/hari.
Produksi susu dipengaruhi oleh mutu genetik, umur induk, ukuran dimensi
ambing, bobot hidup, lama laktasi, tatalaksana yang diberlakukan terhadap ternak
(perkandangan, pakan, kesehatan), iklim setempat, daya adaptasi, aktivitas
pemerahan, ukuran besar ambing nyata meningkatkan produksi susu (Phalepi, 2004).
Parameter mutu genetik meliputi reproduksi ternak dan produksi ternak serta
karakteristik fisik ternak meliputi bobot badan, panjang badan, lingkar dada, tinggi
badan (Departemen Pertanian, 2004).

Kelenjar Ambing
Sekresi susu merupakan fungsi faali kelenjar ambing (mammary gland) dan
yang dimaksud dengan susu adalah cairan fisiologis yang mengandung zat-zat
makanan yang berkualitas tinggi dan dikeluarkan oleh ternak betina (Frandson,
1993). Kelenjar ambing ternak betina mulai berkembang pada waktu kehidupan
feotal. Puting-puting susunya terlihat pada waktu dilahirkan. Bila hewan betina
tumbuh, ambingnya membesar sebanding dengan besarnya tubuh (Padmadewi,
1993).
Di dalam tubuh sapi, air susu dibuat oleh kelenjar susu di dalam ambing.
Ambing sapi terbagi dua yaitu ambing kiri dan ambing kanan, selanjutnya masing-
masing ambing terbagi dua yaitu kuartir depan dan kuartir belakang
(Widyastuti,2000). Tiap-tiap kuartir mempunyai satu puting susu. Kelenjar susu

7
tersusun dari gelembung-gelembung susu sehingga berbentuk seperti setandan buah
anggur. Dinding gelembung merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu. Bahan
pembentuk air susu berasal dari darah (Frandson, 1993). Air susu mengalir melalui
saluran – saluran halus dari gelembung susu ke ruang kisterna dan ruang puting susu.
Dalam keadaan normal, lubang puting susu akan tertutup. Lubang puting menjadi
terbuka akibat rangsangan syaraf atau tekanan sehingga air susu dari ruang kisterna
dapat mengalir keluar (Hensel, 1981).
Sudono (2002) mengatakan, bahwa gerakan menyusui dari pedet, usapan atau
basuhan air hangat pada ambing merupakan rangsangan pada otak melalui jaringan
syaraf. Selanjutnya otak akan mengeluarkan hormon oksitosin ke dalam darah.
Hormon oksitosin menyebabkan otot-otot pada kelenjar susu bergerak dan lubang
puting membuka sehingga susu mengalir keluar. Hormon oksitosin hanya bekerja
selama 6-8 menit, oleh karena itu pemerahan pada seekor sapi harus dilakukan
dengan cepat dan selesai dalam waktu 7 menit (Sagi et al, 1980).
Bentuk dan ukuran ambing kambing seperti bentuk telur, dengan puting susu
berbentuk silinder atau corong. Kambing dengan ambing yang terjumbai memiliki
kecenderungan untuk menghasilkan susu yang tinggi (Sudono, 2002). Volume
ambing memiliki hubungan yang erat dengan jumlah susu yang dihasilkan Maylinda
dan Basori (2004).

Produksi Susu

Beberapa hewan yang menunjukkan kemampuan memproduksi susu


digolongkan sebagai ternak perah. Atabany (2002) mendefinisikan ternak perah
sebagai ternak yang mampu memproduksi susu melebihi kebutuhan anaknya dan
dapat mempertahankan produksi susu sampai jangka waktu tertentu, meskipun
anaknya sudah disapih atau lepas susu. Jenis ternak perah yang ada, antara lain sapi
perah, kambing perah dan kerbau perah.
Pembentukan susu disebutkan oleh Toelihere (1985) berasal dari konstituen-
konstituen darah dan beberapa diantaranya yang terdapat di dalam susu memiliki
bentuk yang serupa dengan yang terdapat di dalam darah. Pengaliran susu dapt
terjadi secara tiba-tiba sekitar 1-2 menit sesudah permulaan penyusunan. Penampilan
produksi susu kambing dari beberapa pengamatan, tertera pada Tabel 1.

8
Menurut Sudono (1999), produksi susu induk, selain dipengaruhi oleh fektor
genetik, kemungkinan juga oleh pengaruh tatalaksana, makanan dan iklim. Devendra
dan Burns (1994) menyatakan, tahun musim beranak, jumlah laktasi dan umur
pertama kali beranak secara nyata mempengaruhi produksi susu.

Tabel 1. Penampilan Produksi Susu Kambing pada Beberapa Pengamatan

Bangsa Produksi Produksi Lama Lama Sumber


Susu Harian Susu Laktasi Kering
Total Kandang
(kg/ekor/hari) (kg/laktasi) ------------(hari)----------
PE - - 162.30 40,00-60,00 Widyandari
(2002)
PE 0,99 166,53 170,07 104,61
Saanen 1,29 355,99 267,42 63,18 Atabany (2001)
PE 0,90-1,50 - 188,00 45,00-60,00 Ardia (2000)
PE - - 192,00 - Diwyanto dan
Inounu (2001)
- - - 210-300 60,00 Blakely dan
Bade (1998)
PE 0,76-1,026 257,49 251,8 - Subhagiana
(1998)

Subhagiana (1998) menyebutkan produksi susu total kambing PE selama


laktasi dari penelitiannya terjadi pada tingkat produksi rendah 136,05 kg, sedang
198,07 kg, dan tinggi 253,37 kg. Tingkat produksi susu tinggi yang terjadi,
kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan ambing yang lebih besar selama
kebuntingan dan kelebihannya dalam mengorbankan bobot tubuh selama laktasi
untuk menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi.
Produksi susu kambing PE mencapai puncaknya hari ke-11 setelah beranak,
sedangkan pada Saanen dicapai hari ke-35 setelah beranak (Atabany et al., 2001).
Sementara itu, pada kambing Kacang dari pengamatan Silitonga dan Kuswandi
(1994) di kandang penelitian Cilebut, melaporkan bahwa produksi susu
maksimumnya dicapai pada minggu ke-3-4 setelah beranak dan minggu berikutnya
akan menurun kembali. Widyandari (2002) melaporkan, puncak produksi susu
kambing PE dari pengamatannya terjadi antara minggu ke- 2-5 masa laktasi dan akan
menurun sampai laktasi berakhir.

9
Pakan
Kambing merupakan hewan ruminansia dengan saluran pencernaan yang
sama dengan domba dalam hal ukuran, anatomi dan fungsinya. Kambing merupakan
jenis ruminansia yang lebih efisien daripada domba atau sapi. Kambing dapat
mengkonsumsi bahan kering yang relatif lebih banyak untuk ukuran tubuhnya (5-7%
dari berat badan), bila dibandingkan dengan konsumsi bahan kering sapi yang hanya
sebesar 2-3% dari berat badannya. Kambing juga lebih efisien dalam mencerna
pakan yang mengandung serat kasar dibandingkan dengan domba atau sapi. Seekor
kambing memerlukan 1-1,5 kg daun-daunan atau jerami setiap hari yang berkualitas
baik, ditambah 0,25 kg ransum konsentrat berkadar protein 16% untuk setiap liter
susu yang dihasilkan (Blakely dan Bade, 1998).
Sudono dan Abdulgani (2002), menyatakan bahwa ransum yang dimakan
oleh kambing tergantung dari ukuran tubuh, bangsa kambing, umur, serta jenis
kelaminnya. Campuran hijauan makanan yang terdiri atas berbagai macam dedaunan
dan rerumputan, lebih baik daripada hijauan pakan ternak yang hanya terdiri atas satu
jenis hijauan saja. Hal ini bertujuan agar kekurangan zat makanan dari bahan pakan
ternak yang satu dapat dipenuhi oleh bahan pakan yang lainnya. Hijauan pakan
ternak untuk kambing dewasa tanpa diberi konsentrat berkisar antara 5-8 kg per ekor
per hari.

Korelasi dan Regresi


Menurut Sudjana (1996), analisis korelasi adalah studi yang membahas
tentang derajat hubungan antara peubah-peubah, sedangkan ukuran yang digunakan
untuk mengetahui derajat hubungan tersebut, disebut koefisien korelasi. Steel dan
Torrie (1995) menyebutkan korelasi sebagai suatu ukuran derajat bervariasinya dua
peubah secara bersama-sama atau ukuran keeratan hubungan antara kedua peubah
tersebut yang penggunaannya (X dan Y) tidak lagi dimaksudkan berimplikasi adanya
peubah bebas dan tidak bebas.
Menurut Steel dan Torrie (1995), korelasi yang ada antara dua ciri (X dan Y)
sangat mungkin bukan akibat saling pengaruh-mempengaruhi secara langsung, akan
tetapi satu atau lebih faktor lain yang mempengaruhi kedua ciri tersebut. Korelasi
linier yang sempurna (bernilai +1 atau -1) dari hubungan fungsional antara kedua

10
peubah kemungkinan terjadi karena kekurang hati-hatian dalam melakukan analisis
dan kesalahan pembulatan (Steel dan Torrie, 1995).
Cara lain untuk melihat hubungan X dan Y, dijelaskan oleh Steel dan Torrie
(1995) adalah melalui sebuah garis lurus yang disebut garis regresi. Garis lurus ini
berhubungan dalam titik-titik dalam diagram korelasi, sehingga pendugaan Y dari X
ditentukan dengan menggunakan garis regresi ini. Sudjana (1996) menjelaskan
tentang analisis regresi sebagai studi yang menyangkut hubungan fungsional antara
peubah-peubah yang dinyatakan dalam bentuk persamaan matematika.
Koefisien determinasi merupakan proporsi jumlah kuadrat total yang dapat
dijelaskan oleh peubah bebas (Steel dan Torrie, 1995). Menurut Aunuddin (1989),
semakin dekat koefisien determinasi pada nilai 1, maka semakin dekat pula titik
pengamatan ke garis regresinya dan bila koefisien determinasinya sama dengan
100%, maka semua titik pengamatan akan tepat berada di garis regresi.

11

Anda mungkin juga menyukai