Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan sapi asli Indonesia yang diduga
sebagai hasil domestikasi dari banteng liar. Guntoro (2002) yakin bahwa
domestikasi tersebut terjadi di Bali sehingga disebut sapi bali. Keberadaan sapi
bali saat ini hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Provinsi DKI
Jakarta. Empat propinsi yang memiliki jumlah sapi bali terbesar di Indonesia
adalah Propinsi Sulawesi Selatan, NTB, Bali dan NTT. Mengingat jumlahnya
yang cukup besar dan penyebarannya yang cukup luas maka sapi bali merupakan
ternak sapi yang cukup penting dalam penyediaan daging konsumsi nasional.
Sapi bali merupakan plasma nutfah untuk menghasilkan bibit sapi
yang bermutu karena keunggulannya yang tidak dimiliki oleh sapi jenis lainnya
di dunia. Keunggulan sapi bali dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya
adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, seperti : dapat
memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah atau kurang baik, dapat hidup pada
kondisi yang kurang menguntungkan (lahan kering) sehingga dikenal sebagai
sapi perintis (Zulkharnaim et al., 2010).
Seiring dengan kemajuan pembangunan nasional dalam sektor peternakan,
Provinsi Nusa Tenggara Barat telah diprioritaskan sebagai salah satu daerah
sumber ternak potong dan sumber bibit sapi bali yang diharapkan mampu menjadi
penyedia kebutuhan nasional secara berkelanjutan dengan mempertahankan
kelestariannya. Pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Barat menghadapi
tantangan terutama dalam upaya mendukung Program Swasembada Daging Sapi.
Disamping itu dengan meningkatnya konsumsi daging sapid an produk
peternakan setiap tahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk,
peningkatan pendapatan dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya
gizi. Peningkatan permintaan daging tersebut harus diiringi dengan upaya
peningkatan produksi dan produktivitas ternak dalam negeri agar tidak terjadi

1
ketergantungan akan daging sapi import. Dalam upaya mempercepat peningkatan
produksi dan produktivitas ternak sapi di Nusa Tenggara Barat maka perlu
dilakukan melalui Teknologi Insemenasi Buatan.
Sapi bali telah dikenal sebagai bangsa (breed) sapi yang memiliki fertilitas
terbaik di dunia. Gejala berahi ditunjukkan dengan jelas dan mudah diketahui
sehingga perkawinannya pun lebih tepat bisa dilaksanakan baik secara alam
maupun dalam pelaksanaan teknologi insemenasi buatan (IB) atau yang dikenal
pula dengan istilah kawin suntik.
Kemampuan mengawini seekor pejantan terbatas, kawin alam juga dapat
menularkan penyakit serta berpotensi terjadi kawin sedarah (in breeding), oleh
sebab itu diperlukan Teknologi Insemenasi Buatan dengan menggunakan semen
beku dari pejantan unggul yang secara genetik dan fisiologis bagus hingga
diharapkan anak yang dilahirkan memiliki pertumbuhan yang baik, karena
pertumbuhan anak sangat tergantung genetik induk dan pejantan, selain itu
penularan penyakit dapat dikendalikan.
Insemenasi Buatan adalah upaya memasukkan semen/mani ke dalam
saluran reproduksi hewan betina yang sedang birahi dengan bantuan petugas
khusus menggunakan alat dengan tujuan supaya hewan menjadi bunting. Adapun
tujuan dilakukannya Insemenasi Buatan yakni meningkatkan wilayah pelayanan
perkawinan terutama wilayah terpencil dan tersebar, efisiensi penggunaan
pejantan, meningkatkan kelahiran ternak, meningkatkan mutu genetik ternak,
mencegah penularan penyakit. Keberhasilan dalam melaksanakan Insemenasi
Buatan dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya : kualitas semen beku,
pengetahuan dan keterampilan inseminator, status fisologis ternak betina akseptor,
ketepatan deteksi birahi dan waktu yang tepat.
Mengingat pentingnya pengetahuan Teknologi Insemenasi Buatan maka
melalui Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) berupa Praktek Kerja
Lapangan (PKL) di Balai Insemenasi Buatan Banyumulek, diharapkan dapat
memberikan pengalaman bagi calon dokter hewan agar dapat mengetahui tahap-
tahap Teknologi Insemenasi Buatan dari tahap koleksi semen, evaluasi kualitas

2
semen, processing semen beku, evaluasi Post Thawing Motility, hingga aplikasi
Insemenasi Buatan di lapangan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan PKL PPDH ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman profesi serta
penerapannya dalam praktik di lapangan.
2. Untuk lebih memahami mengenai Teknologi Insemenasi Buatan.
3. Memberi gambaran mengenai profesi yang akan digeluti oleh seorang
lulusan dokter hewan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Balai Insemenasi Buatan Banyumulek


Balai Insemenasi Buatan Banyumulek terletak di desa Lelede Kecamatan
Kediri Kabupaten Lombok Barat NTB yang berada dibawah Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pada awalnya
Balai Insemenasi Buatan Banyumulek merupakan Balai Laboratorium Produksi
Kesehatan Hewan. Kegiatan utama yang dilaksanakan di BIB Banyumulek yaitu
prosesing semen beku yang dimulai dari tahap persiapan, tahap koleksi semen,
tahap evaluasi, tahap produksi semen beku, penyimpanan hingga distribusi semen
beku. Terdapat 16 ekor pejantan unggul yaitu Haemsa (11001), Suriad (11002),
Rider (11003), Bayus (11004), Okasan (11005), Awe (11007), Afgan (11008),
Baros (11009), Asbas (10910), Bonong (10911), Gun-Gun (11118), Louis (11119),
Mansa (10508), Emsa (10509), Ario (10915), Kono (10912).
Adapun sasaran yang ingin dicapai BIB Banyumulek dalam kurun waktu 5
tahun kedepan, sebagai berikut :
1) Terwujudnya kontinuitas penyediaan mani beku sebanyak 96.000 dosis
secara bertahap baik melalui produksi, KSO dengan BIB Nasional
maupun pengadaan oleh kelembagaan Inseminator ataupun pihak
Kabupaten/Kota.
2) Tercapainya peningkatan pelayanan IB dari 30.000 dosis menjadi
60.000 dosis dengan rasio penggunaan semen beku sapi bali dan sapi
eksotik seimbang.
3) Meningkatkan produksi dan distribusi semen beku seksing dari 5000
dosis menjadi 30.000 dosis.
4) Meningkatnya angka kelahiran pedet hasil IB dari 16.000 ekor menjadi
42.000-45.000.
5) Meningkatnya jumlah akseptor IB melalui dukungan kelompok tani
ternak dari 25.000 akseptor menjadi 60.000 akseptor.

4
6) Meningkatnya rasio kelahiran pedet betina atau jantan melalui
introduksi semen beku seksing sesuai yang diharapkan.
7) Terbentuknya perhimpunan inseminator di seluruh kabupaten atau kota
sebagai wadah profesi yang diharapkan menjadi salah satu lembaga
yang mengakar dimasyarakat dari 2 menjadi 10 perhimpunan.

2.2 Visi dan Misi Balai Insemenasi Buatan Banyumulek


Visi merupakan suatu gambaran kondisi ideal tentang masa depan yang
realistis yang akan dicapai dengan menggerakkan seluruh kemampuan sumber
daya. Oleh karena itu eksistensi kelembagaan Balai Insemenasi Buatan
Banyumulek Provinsi Nusa Tenggara Barat sangat sentral dan strategis maka
disusunlah visi Terdepan dalam peningkatan produksi dan produktivitas sapi
bali.
Dalam upaya mewujudkan visi , maka Balai Insemenasi Buatan
Banyumulek Provinsi Nusa Tenggara Barat menetapkan misi,yaitu :
1) Mengembangkan budidaya peternakan sapi berbasis Teknologi Insemenasi
Buatan.
2) Mengembangkan kelembagaan peternak mendukung introduksi Teknologi
Insemenasi Buatan.
3) Mendorong terbentuk dan berkembangnya kelembagaan profesi petugas
teknis Insemenasi Buatan.
4) Mengembangkan peningkatan kapasitas dan keterampilan petugas teknis
IB dan kemampuan managerial pelayanan IB.

2.3 Sapi Bali


2.3.1 Tinjauan Umum Sapi Bali
Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami
perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (banteng). Warna sapi betina
dan anak atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di
sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi
kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati

5
hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna
coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha
(pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di
atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Payne dan
Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto dan Astuti,
1993). Ciri khas sapi bali adalah postur tubuh kecil, memiliki garis hitam pada
punggung yang sering disebut garis belut (sangat jelas pada pedet), bulu berwarna
coklat kekuningan (merah bata), pada jantan dewasa bulu akan berubah menjadi
coklat kehitaman, berwarna putih pada bagian tepi daun telinga bagian dalam,
kaki bagian bawah, bagian belakang pelvis dan bibir bawah (Feati, 2011).

Bangsa sapi bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson dan


Payne, 1993) sebagai berikut ; Phylum : Chordata, Sub-phylum : Vertebrata,
Class : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo : Ruminantia, Family : Bovidae,
Genus : Bos, Species : Bos sondaicus.
Sapi bali jantan maupun betina mempunyai tanduk, yang berbeda dalam
ukuran dan bentuknya dan ada beberapa variasi tipe tanduk pada kedua jenis
kelamin tersebut (Payne dan Rollinson, 1973). Panjang tanduk sapi jantan
biasanya 20 sampai 25 cm, bentuk tanduk yang ideal pada sapi jantan disebut
bentuk tanduk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari
dasar sedikit keluar (tumbuh ke arah samping), lalu membengkok ke atas dan
kemudian pada ujungnya membengkok sedikit ke arah luar. Pada yang betina,
bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan
tanduk satu garis dengan dahi arah ke atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke
belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke
dalam). Sapi bali yang tidak bertanduk tidak pernah ditemukan (Payne dan
Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto, 1994). Kepala
sapi bali termasuk panjang tetapi tidak lebar, kedua telinganya tegak dan
berukuran sedang (Payne dan Rollinson, 1973).

6
2.3.2 Asal Usul dan Penyebaran Sapi Bali
Sapi bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil
domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Menurut Rollinson (1984) proses
domestikasi sapi bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina.
Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di
Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia (Payne dan Rollinson, 1973).
Hardjosubroto dan Astuti (1993) mengemukakan bahwa di Indonesia saat ini,
banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung
Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Adanya banteng liar ini
memberikan peluang untuk perbaikan mutu sapi Bali atau untuk persilangan
dengan jenis sapi lain (National Research Council, 1983).
Tempat dimulainya domestikasi sapi bali masih terdapat perbedaan
pendapat, Meijer (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Jawa, namun
Payne dan Rollinson (1973) menduga asal mula sapi bali adalah dari Pulau Bali
mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi bali di Indonesia. Nozawa
(1979) menduga gen asli sapi bali berasal dari Pulau Bali yang kemudian
menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi
bali adalah di Pulau Bali, di samping pusat gen sapi zebu di India dan pusat gen
primigenius di Eropa.
Penyebaran sapi bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya
pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan
1927 (Herweijer, 1950). Kemudian pada sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman
besar-besaran sapi bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang
langsung didistribusikan kepada petani (Pane, 1991). Sejak saat itu, populasi sapi
bali berkembang dengan cepat sehingga sampai saat ini Propinsi Sulawesi Selatan
menjadi propinsi yang memiliki sapi bali dengan jumlah terbesar di Indonesia.
Untuk penyebaran sapi bali ke Lombok mulai dilakukan pada abad ke-19 yang
dibawa oleh raja-raja pada zaman itu (Hardjosubroto dan Astuti, 1993), dan
sampai ke Pulau Timor antara tahun 1912 dan 1920 (Herweijer, 1950).
Penyebaran sapi bali ke banyak wilayah di Indonesia kemudian dilakukan sejak

7
tahun 1962 (Hardjosubrotodan Astuti, 1993) dan saat ini telah menyebar hampir di
seluruh wilayah Indonesia.
Tidak hanya di wilayah Indonesia, sapi bali juga telah disebarkan ke
berbagai negara. Tercatat sapi bali telah diintroduksikan ke Semenanjung Cobourg
di Australia Utara di antara tahun 1827 dan 1849. Pernah juga dilakukan ekspor
secara reguler sapi bali kastrasi ke Hongkong untuk dipotong. Selain itu, pada
masa lalu, sapi bali juga pernah dikirim ke Philipina, Malaysia dan Hawai (Payne
dan Rollinson, 1973), telah juga dikirimkan ke Texas, USA dan New South Wales,
Australia sebagai ternak percobaan (National Research Council, 1983).

2.3.3 Karakteristik Sapi Bali


Pusat Kajian Sapi Bali Unud (2012) menyatakan bahwa sebagai satu
rumpun, ternak tertentu harus memiliki sifat karakteristik yang berbeda dengan
rumpun yang lain, seragam dan konstan dari generasi ke generasi. Sapi bali yang
telah dikenal sebagai salah satu bangsa sapi lokal Indonesia yang memiliki
beberapa keunggulan, memiliki sifat karakteristik yang berbeda dengan bangsa
sapi lain di dunia. Sapi bali sangat mudah dikenali dari fenotif warna yang
dimiliki, adanya tanduk pada kedua jenis kelamin (jantan dan betina) dengan
bentuk yang spesifik, ketahanan terhadap cuaca panas (heat tolerance yang
tinggi), mampu beradaptasi pada situasi pakan yang kurang baik atau kualitas
rendah (Pusat Kajian Sapi Bali Unud, 2012).

Sapi bali ketika baru lahir berwarna merah bata hampir pada seluruh
tubuhnya baik pada yang jantan maupun yang betina, kecuali bagian kaki dibawah
lutut dan bagian pantatnya berwarna putih, bulu ekor dan sepanjang garis
punggung (dari pundak sampai pangkal ekor), kaca hidung, tanduk dan kukunya
berwarna hitam, sedangkan bulu telinga bagian dalam berwarna putih. Setelah
mencapai dewasa kelamin sekitar umur 10 bulan pedet jantan mulai mengalami
perubahan warna menjadi hitam secara bertahap mulai dari bagian kepala menuju
ke belakang, sedangkan pedet betina warnanya tetap merah bata sampai akhir
masa hidupnya. Perubahan warna pedet jantan menjadi hitam seluruh tubunhya

8
(kecuali bagian kaki dan pantatnya yang berwarna putih) mengambil waktu
sekitar 10 bulan. Warna hitam pada sapi bali jantan dewasa akan tetap sampai
akhir hidupnya. Tetapi apabila sapi bali jantan ini dikastrasi maka warnanya akan
berubah kembali menjadi merah bata secara bertahap mulai dari belakang ke
depan. Ini merupakan ciri khusus warna sapi bali sebagai salah satu rumpun sapi
yang ada didunia (Meijer, 1962).
Namun dibeberapa daerah dijumpai adanya penyimpangan warna dari
warna standar yang telah disebutkan diatas, seperti albino (warna putih);
melanisme (injin) yaitu warna hitam dari sejak lahir baik pada sapi jantan
maupun sapi betina; warna kuning dengan pigmentasi kuku, tanduk, moncong
hidung serta kelopak mata berwarna merah muda (pink) dan bulu telinga bagian
dalam hitam dengan ujung kecoklatan dan petani Bali menyebutnya dengan nama
sampi gading. Disamping itu ada beberapa cacat warna dibagian tubuh tertentu
seperti : bulu ekor yang berwarna putih (panjut), warna putih pada dahinya
(cundang), warna kaki bagian bawah lutut yang seharusnya putih bersih tetapi
berwarna hitam pada sapi jantan atau merah bata pada sapi betina (mores).
Semua cacat warna ini berdampak negatif terhadap nilai ekonomis sapi itu sendiri
(Pusat Kajian Sapi Bali Unud, 2012).
Bentuk tanduk sapi bali yang standar adalah tumbuh kesamping kemudian
keatas dan ujungnya sedikit kedalam pada sapi yang jantan, sedangkan tanduk
betina lebih pendek daripada tanduk sapi jantan, tumbuh sedikit keatas kemudian
ke belakang dan ujungnya sedikit melengkung ke bawah (manggul gangsa).
Bentuk tanduk inilah yang paling disukai oleh peternak. Namun di lapangan
terkadang dijumpai beberapa variasi bentuk tanduk baik pada sapi yang jantan
maupun pada yang betina, tetapi kurang diminati oleh para petani (Pusat Kajian
Sapi Bali Unud, 2012). Sifat ini ditunjukkan oleh sapi yang dipelihara petani di
daerah Bali Timur (Kubu, Tianyar, Seraya Timur) dan Nusa Penida. Dalam
musim panas dan kering yang berkepanjangan, sapi bali tetap bertahan dan pada
waktu musim hujan dan hijauan/rumput mulai tersedia, pertumbuhan sapi dilokasi
tersebut kembali normal (mengalami compensatory growth) (Pusat Kajian Sapi
Bali Unud, 2012).

9
Apabila perkawinan berhasil (sapinya bunting) dan kemudian melahirkan
anak (pedet), maka perubahan terjadi pada tanduk sapi induk tersebut, yaitu
terbentuknya cincin tanduk yang melingkar mulai dari pangkal tanduknya.
Demikian seterusnya untuk kelahiran berikutnya, cincin tanduk terus bertambah,
sehingga jumlah kelahiran yang sudah terjadi pada induk sapi bali tertentu bisa
diketahui dengan melihat jumlah cincin tanduknya (Pusat Kajian Sapi Bali Unud,
2012).
Sebagai ternak penghasil daging, sapi bali mampu hidup dalam situasi
pakan yang kualitasnya rendah, tahan terhadap cuaca panas dan memiliki sifat
produksi dan reproduksi yang cukup baik. Gejala birahi mudah diketahui,
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi pada pemeliharaan dalam jumlah sedikit
seperti yang terjadi di Bali, persentase karkasnya tinggi dan pada pemeliharaan
intensif di feedlot responnya cukup baik. Sifat produksi maupun reproduksi
semua ternak ditentukan oleh potensi genetiknya dan lingkungan, dimana ternak
tersebut hidup atau dipelihara. Hal ini dapat dilihat dari performans sapi bali yang
cukup bervariasi dilaporkan dibeberapa daerah di Indonesia. Di Bali bobot badan
rata-rata sapi bali saat lahir, disapih, umur satu tahun, saat dewasa kelamin, dan
dewasa tubuh berturut-turut 16,8; 82,9; 127,5; 170,4 dan 303,3 kg. Sedangkan, di
Nusa Tenggara Timur berturut-turut 11,9; 79,2; 100,3; 179,8 dan 221,5 kg, dan di
Sulawesi Selatan berturut-turut 12,3; 64,4; 99,2; 125,2 dan 211,0 kg (Talib,
dkk.,2003).
Bila dibandingkan dengan sapi lokal Indonesia yang lain, sapi bali memiliki
karkas yang kompak dan persentasenya lebih tinggi. Barker (1975) menyatakan
sapi bali memiliki persentase karkas rata-rata 56,9% lebih tinggi bila
dibandingkan dengan sapi madura dengan persentase karkas 47,9% dan sapi
Ongole hanya 44,9%.
Kalau dilihat produksi susu selama enam bulan pertama fase menyusui, sapi bali
induk yang dipelihara di Bali mampu memproduksi 274,5 kg, sedangkan yang
dipelihara di Nusa Tenggara Timur hanya 164,7 kg dan yang di Sulawesi Selatan
hanya 164,0 kg (Talib, dkk., 2003). Perbaikan manajemen pakan dapat
meningkatkan produksi susu sapi bali. Menurut Oka (2003), sapi bali yang baru

10
melahirkan pertama kali dengan tambahan pakan konsentrat 60% pada
pemeliharaan dengan feedlot mampu memproduksi susu 1,6 kg per hari atau 288
kg dalam enam bulan pertama periode menyusui, sedangkan sapi bali pada
pemeliharaan yang sama tetapi hanya diberikan rumput saja hanya mampu
memproduksi susu sebanyak 1,1 kg per hari.
Peningkatan produksi susu tersebut berdampak pada bobot lahir pedet
yang dilahirkan yaitu yang induknya mendapat tambahan pakan konsentrat, bobot
lahir anaknya 36% lebih berat dibandingkan dengan bobot anak yang lahir dari
induk yang hanya diberi pakan rumput saja (18,75 vs 13,83 kg). Perbaikan mutu
pakan juga mampu mempercepat pertumbuhan sapi bali. Tambahan 4 kg
konsentrat per hari disamping pakan pokoknya berupa hijauan (rumput) terhadap
sapi bali jantan muda mampu memberikan pertambahan bobot badan harian
sebanyak 760 g dan kualitas daging (dilihat dari rasa, aroma, tekstur dan
warnanya) yang menyamai kualitas daging impor (Mastika, 2003).
Sapi bali telah dikenal sebagai bangsa (breed) sapi yang memiliki fertilitas
terbaik di dunia. Gejala berahi ditunjukkan dengan jelas dan mudah diketahui
sehingga perkawinannya pun lebih tepat bisa dilaksanakan baik secara alam
maupun dalam pelaksanaan teknologi insemenasi buatan (IB) atau yang dikenal
pula dengan istilah kawin suntik. Payne dan Rollinson (1973), Mulyono (1977)
dan Fattah (1998) melaporkan bahwa lama berahi sapi bali rata-rata 23 jam yang
berkisar antara 18-24 jam, ini lebih lama daripada bangsa sapi lain di dunia. Oleh
karena sifat inilah sapi bali memiliki kesempatan yang lebih lama untuk kawin
dan dengan demikian fertilitasnya lebih tinggi. Fertilitas sapi bali di Bali berkisar
antara 83-86% dan fertilitas sapi bali di Sulawesi Selatan 82%. Menurut Payne
dan Rollinson (1973) angka kelahiran (calving rate)sapi bali di Bali antara 80-
90%, angka ini jauh lebih tinggi daripada sapi silangan Brahman yang hanya 60-
70%. Pada pemeliharaan secara ekstensif seperti di NTB dan NTT (Lombok,
Sumbawa, Sumba, Flores, dan Timor) sifat reproduksi sapi bali agak rendah,
berkisar antara 64-78%, tetapi kondisi ini masih lebih tinggi daripada sapi Ongole
yang dipelihara bersama dengan sapi bali tersebut (Bamualim dan Wirdahayati,
2003).

11
Oleh karena itu untuk memperoleh sapi bali yang mampu memberi hasil
yang maksimal, maka dua faktor utama yang perlu mendapat perhatian yaitu
faktor genetik dan faktor lingkungan (meliputi pakan, manajemen, penyakit, cuaca
dan lain-lain). Potensi genetik sapi bali harus ditingkatkan dan kemudian diikuti
dengan pemberian lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya agar potensi
genetiknya mampu berkembang secara maksimal. Hal ini karena sebaik apapun
lingkungan yang diberikan (termasuk pakan) yang diberikan maka performans
yang diperoleh hanya akan sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya, dan
sebaliknya sebaik apapun potensi genetik yang dimiliki sapi bali, jika tidak
ditunjang oleh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya maka genetik yang
dimilikinya tidak terekspresi sesuai dengan potensinya yang berarti tidak akan
memberikan performans yang maksimal (Pusat Kajian Sapi Bali Unud, 2012).

2.4 Tahap-Tahap Prosesing Semen Beku

Nebel (2007), menyebutkan semen beku atau frozen semen adalah semen
yang disimpan pada suhu di bawah titik beku suhu (-79 C sampai -196 C). Salah
satu kerusakan pada spermatozoa selama proses kriopreservasi sampai pencairan
kembali adalah peroksidasi lipid (Waluyo, 2006). Pembekuan semen
(kriopreservasi) merupakan usaha untuk menjamin daya tahan spermatozoa dalam
waktu yang lama melalui proses pengolahan, pengawetan dan penyimpanan
semen sehingga dapat digunakan pada suatu waktu sesuai dengan kebutuhan.
Pembekuan adalah suatu fenomena pengeringan fisik, pada pembekuan
semen terbentuk kristal-kristal es, terjadi penumpukan elektrolit dan bahan terlarut
lainnya di dalam larutan atau di dalam sel. Pada umumnya masalah pengawetan
semen berkisar pada dua hal, yaitu pengaruh cold shock terhadap sel yang
dibekukan dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang
berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es. Kedua masalah tersebut akan
menyebabkan kerusakan pada spermatozoa.
Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama proses pembekuan
terjadi pada saat sel yang tersuspensi didinginkan hingga mencapai suhu -15 C,

12
kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel itu sendiri tidak
ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan
perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel
kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler
yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang
ekstraseluler.
Produksi semen beku adalah proses pembuatan semen beku, mulai dari
penampungan semen segar sampai siap digunakan untuk pelayanan IB. urutan
pembuatan semen beku meliputi : penampungan semen, pemeriksaan semen
segar, pengenceran, printing straw, filling dan sealing straw, pembekuan
(freezing).

2.4.1 Penampungan Semen Segar

Penampungan semen bertujuan untuk memperoleh semen yang jumlah


(volume)-nya banyak dan kualitasnya baik untuk diproses lebih lanjut untuk
keperluan inseminasi buatan. Secara umum penampungan semen adalah ejakulasi
yang dipengaruhi oleh faktor internal dan ekternal. Faktor internal yaitu hormon,
metabolisme, keturunan, makanan, umur, dan kesehatan secara umum dari
pejantan tersebut. Sedangkan faktor eksternal adalah suasana lingkungan, tempat
penampungan, manajemen, para penampung, cuaca, sarana penampungan
termasuk teaser dan lain-lain. Maka untuk mendapatkan semen yang memenuhi
syarat adalah mengamati dan memperhatikan perilaku setiap pejantan yang akan
ditampung semennya. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam melakukan
penampungan semen diantaranya :

1. Metode Pengurutan (Massage)


Metode penampungan semen melalui pengurutan dapat diterapkan pada
ternak besar (sapi, kerbau, kuda), dan pada ternak unggas (kalkun dan ayam).
Pada ternak besar metode pengurutan ampulla vas deferens diterapkan apabila
hewan jantan tersebut memiliki potensi genetik tinggi akan tetapi tidak mampu

13
melaku-kan perkawinan secara alam, baik karena nafsu seksualnya rendah atau
mempu-nyai masalah dengan kakinya (lumpuh atau pincang/cedera). Sedangkan
pada ternak ayam atau kalkun metode pengurutan punggung merupakan satu-
satunya metode penampungan yang paling baik hasilnya.

2. Metode Vagina Buatan (Artificial Vagina)


Vagina buatan adalah alat yang digunakan untuk menampung spermatozoa
dimana alat tersebut akan dikondisikan sebagaimana vagina asli dari ternak
tersebut. Struktur dari alat ini adalah sebagai berikut :
a. Lapisan luar yang terbuat dari bahan plastik atau karet.
b. Lapisan dalam terbuat dari bahan seperti balon yang lembut, karena lapisan
ini adalah tempat masuknya penis, sehingga tidak menyebabkan iritasi pada
penis.
c. Saluran tempat masuknya air dan udara.
d. Selongsong penampungan (cone).
e. Tabung digunakan untuk menampung sperma dan diletakkan diujung
selongsong.
Penampungan semen menggunakan vagina tiruan merupakan metode yang
paling efektif diterapkan pada ternak besar (sapi, kuda, kerbau) ataupun ternak
kecil (domba, kambing, dan babi) yang normal (tidak cacat) dan libidonya bagus.
Kelebihan metode penampungan menggunakan vagina tiruan ini adalah selain
pelaksanaannya tidak serumit dua metode sebelumnya, semen yang diha-
silkannya pun maksimal. Hal ini terjadi karena metode penampungan ini
merupakan modifikasi dari perkawinan alam. Sapi jantan dibiarkan menaiki
pemancing yang dapat berupa ternak betina, jantan lain, atau dummy cow (patung
ternak yang didesain sedemikian rupa sehingga oleh pejantan yang akan
ditampung semennya dianggap sebagai ternak betina).

Ketika pejantan tersebut sudah menaiki pemancing dan mengeluarkan


penisnya, penis tersebut arahnya dibelokkan menuju mulut vagina tiruan dan
dibiarkan ejakulasi di dalam vagina tiruan. Vagina tiruan yang digunakan

14
dikondisikan supaya menyerupai kondisi (terutama dalam hal temperatur dan
kekenyalannya) vagina yang sebenarnya.
Mengingat ternak jantan yang akan dijadikan sumber semen harus
memiliki kondisi badan yang sehat dan nafsu seksual yang baik, maka sebaiknya
kita mengutamakan metode penampungan semen menggunakan vagina tiruan
pada ternak mamalia (sapi, kerbau, kuda, domba, dan kambing). Sedangkan pada
ternak unggas (ayam dan kalkun) pelaksanaannya akan lebih mudah
menggunakan metode pengurutan.

3. Metode Elektroejakulator
Apabila penampungan semen tidak bisa dilakukan dengan metode vagina
buatan dikarenakan ternak tidak cukup terlatih untuk ditampung, maka perlu
dilakukan penampungan dengan menggunakan alat ini. Perbedaan yang utama
dari penampungan vagina buatan adalah volume yang didapatkan dengan elektro
ejakulator adalah dua kali lapit lebih besar dari vagina buatan, sedangkan
densitasnya adalah separuhnya. Meskipun demikian, perbaikan densitas dapat
dilakukan dengan membuang bagian yang tidak mengandung spermatozoa.
Bagian ini keluar dulu setelah dirangsang, kemudian rangsangan dilanjutkan dan
penampungan ini menghasilkan semen dengan densitas yang baik.
Penampungan semen menggunakan metode ini adalah upaya untuk
memperoleh semen dari pejantan yang memiliki kualitas genetik tinggi tetapi
tidak mampu melakukan perkawinan secara alam akibat gangguan fisik atau
psikis. Metode ini saat ini lebih banyak diterapkan pada ternak kecil seperti
domba dan kambing karena pada ternak besar lebih mudah dilakukan melalui
metode pengurutan ampula vas deferens.

2.4.3 Pemeriksaan Semen Segar

1) Pemeriksaan Makroskopis

15
a) Volume

Volume semen yang tertampung dapat langsung terbaca pada tabung


penampung semen yang berskala. Semen sapi dan domba mempunyai volume
rendah tetapi konsentrasi sperma tinggi sehingga memperlihatkan warna krem
atau warna susu. Semen kuda dan babi merupakan cairan yang lebih voluminous
dan lebih putih karena konsentrasi spermatozoa rendah. Volume semen per
ejakulat berbeda menurut bangsa, umur, ukuran badan, tingkatan makanan,
frekuensi penampungan dan berbagai faktor lain. Pada umumnya, hewan muda
yang berukuran kecil dalam satu spesies menghasilkan volume semen yang
rendah. Ejakulasi yang sering menyebabkan penurunan volume dan apabila dua
ejakulat diperoleh berturut-turut dalam waktu singkat maka umumnya ejakulat
yang kedua mempunyai volume yang lebih rendah (Feradis, 2010). Volume
semen sapi antara 5-8 ml, domba 0,8-1,2 ml, babi 150-200 ml, dan kuda 60-100
ml. Volume rendah tidak merugikan tetapi apabila disertai dengan konsentrasi
yang rendah akan membatasi jumlah spermatozoa yang tersedia (Feradis, 2010).

b) Warna

Semen sapi normal berwarna seperti susu atau krem keputih-putihan. Kira-
kira 10% sapi menghasilkan semen yang normal dengan warna kekuning-
kuningan, yang disebabkan oleh riboflavin yang dibawa oleh satu gen autosom
resesif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap fertilitas (Feradis, 2010). Adanya
kuman-kuman Pseudomonas Aeruginosa di dalam semen sapi dapat menyebabkan
warna hijau kekuning-kuningan apabila semen dibiarkan di suhu kamar.
Gumpalan-gumpalan, bekuan dan kepingan-kepingan di dalam semen
menunjukkan adanya nanah yang umumnya berasal dari kelenjar-kelenjar
pelengkap dari ampula. Semen yang berwarna gelap sampai merah muda
menandakan adanya darah segar dalam jumlah berbeda dan berasal dari saluran
kelamin urethra atau penis. Warna kecoklatan menunjukkan adanya darah yang
telah mengalami dekomposisi. Warna coklat muda atau warna kehijau-hijauan
menunjukkan kemungkinan kontaminasi dengan feses (Feradis, 2010).

16
c) pH

Pada umumnya, sperma sangat aktif dan tahan hidup lama pada pH sekitar
7,0. Motilitas partial dapat dipertahankan pada pH antara 5 sampai 10. Walaupun
sperma segera dimobiliser oleh kondisi-kondisi asam, pada beberapa spesies dapat
dipulihkan kembali apabila pH dikembalikan ke netral dalam waktu satu jam.
Sperma sapi dan domba yang menghasilkan asam laktat dalam jumlah yang tinggi
dan metabolisme fruktosa plasma seminalis, sehingga penting untuk memberikan
unsur penyangga seperti garam phospat, sitrat bikarbonat di dalam medium
(Toelihere, 1985).

2) Pemeriksaan Mikroskopis

a) Konsentrasi

Konsentrasi digabung dengan volume dan persentase spermatozoa motil


memberikan jumlah spermatozoa motil per ejakulat, yaitu kuantitas yang
menentukan berapa betina yang dapat diinseminasi dengan ejakulat (Feradis,
2010).

Metode perhitungan konsentrasi spermatozoa, yaitu:

1. Menghitung jarak antar kepala sperma

Menurut Feradis (2010) cara ini adalah yang paling praktis dan sederhana untuk
pemeriksaan rutin di lapangan yang dilakukan tanpa alat selain mikroskop dengan
memperkirakan jarak antara dua kepala spermatozoa di bawah mikroskop dengan
pembesaran 45x10 dengan penilaian sebagai berikut:

a. Densum (D) atau padat, jika jarak antara dua kepala spermatozoa kurang dari
panjang satu kepala; konsentrasi ditaksir lebih kurang 1000 juta sampai 2000
juta sel per ml semen.

b. Semidensum (SD) atau sedang, jika jarak antara dua kepala spermatozoa sama
dengan panjang satu sampai 1,5 kepala; konsentrasi ditaksir lebih kurang 500
juta sampai 1000 juta sel per ml semen.

17
c. Rarum (R) atau jarang, jika jarak antara dua kepala spermatozoa melebihi
panjang satu kepala atau sama dengan panjang seluruh spermatozoa;
konsentrasi ditaksir lebih kurang 200 juta sampai 500 juta sel per ml semen.

d. Oligospermia (OS) atau sedikit spermatozoa, jika jarak antara dua kepala
spermatozoa melebihi panjang seluruh spermatozoa; konsentrasi ditaksir
kurang 200 juta sel per ml semen.

e. Aspermia (A) atau tidak ada spermatozoa, bila sama sekali tidak terdapat
spermatozoa di dalam semen.

2. Perhitungan dengan Hemocytometer


Menurut Feradis (2010), metode perhitungan secara langsung dilakukan
memakai alat penghitung sel-sel darah merah atau hemocytometer. Pipet
erythrocyt diisi dengan semen yang belum diencerkan sampai tanda 0,5. Suatu
larutan 3% NaCl dihisap sampai tanda 101 pada pipet; larutan tersebut
mengecerkan sekaligus mematikan spermatozoa. Larutan ini dikocok hati-hati
tetapi cukup cepat menurut angka 8 selama 2 sampai 3 menit. Beberapa tetes
dibuang dan dikocok lagi. Beberapa tetes lagi dibuang, kemudian satu tetes
ditempatkan dibawah gelas penutup pada kamar hitung sel darah merah menurut
Neubauer. Sel-sel spermatozoa di dalam 5 kamar dihitung menurut arah diagonal.
Karena setiap kamar mempunyai 16 ruangan kecil, maka di dalam 5 kamar
terdapat 80 ruangan kecil. Dengan volume setiap ruangan kecil adalah 0,1 mm3
dan pengenceran 200 kali, dan apabila di dalam 5 kamar atau 80 ruangan kecil
terdapat X spermatozoa, maka konsentrasi spermatozoa yang diperiksa adalah:
X x = 400/80 x 10 x 20 = 10.000 = X x 0,01 juta sperma per mm 3 atau X x 10 juta
sperma per ml.
Prosedur ini memberi suatu indikasi yang akurat tentang konsentrasi
spermatozoa di dalam contoh semen apabila pencampuran larutan dilakukan
sempurna. Selain dengan hemocytometer, penentuan konsentrasi spermatozoa
juga dapat dilakukan dengan spectrophotometer dan SDM5 photometer.
Keunggulan SDM5 photometer adalah dapat menentukan jumlah bahan pengencer

18
yang harus ditambahkan dan jumlah dosis semen beku yang dihasilkan pada
setiap penampungan secara otomatis. Hasil perhitungan dapat terbaca dengan
mudah pada hasil print out (Feradis, 2010).

b) Gerak Massa

Menurut Salisbury dan Vandenmark (1985) sesuai dengan bentuk


morfologi spermatozoa dan pola metaboliknya yang khusus dengan dasar
produksi energi spermatozoa hidup dapat mendorong dirinya sendiri maju ke
depan di dalam lingkungan zat cair. Motilitas telah sejak lama dikenal sebagai alat
untuk memindahkan spermatozoa melalui saluran reproduksi hewan betina.
Transport kilat spermatozoa dari serviks ke infundibulum terjadi secara otomatik
(meski pada spermatozoa tidak motil) karena rangsangan oxitocyn, terhadap
konsentrasi saluran reproduksi. Motilitas spermatozoa di dalam infundibulum
bertugas sebagai alat penyebaran spermatozoa secara acak ke seluruh daerah
saluran kelamin betina, dimana terdapat ovum yang mampu dibuahi, jadi
menjamin kepastian secara statik pertemuan spermatozoa dengan ovum. Faktor-
faktor yang mempengaruhi motilitas spermatozoa adalah umur sperma, maturasi
(pematangan) sperma, penyimpanan energi ATP (Adenosin Triphosfat), agen aktif,
biofisik dan fisiologik, cairan suspensi dan adanya rangsangan hambatan (Hafez,
2000).
Spermatozoa dalam suatu kelompok mempunyai kecenderungan untuk
bergerak bersama-sama ke satu arah yang menyerupai gelombang-gelombang
yang tebal dan tipis, bergerak cepat atau lamban tergantung dari konsentrasi
spermatozoa hidup di dalamnya. Gerakan massa spermatozoa dapat dilihat dengan
jelas di bawah mikroskop dengan pembesaran kecil (10x10) dan cahaya yang
dikurangi. Berdasarkan penilaian gerakan massa, kualitas semen dapat ditentukan
sebagai berikut:
a. Sangat baik (+++), terlihat gelombang-gelombang besar, banyak, gelap, tebal
dan aktif bagaikan gumpalan awan hitam saat akan turun hujan yang bergerak
cepat berpindah-pindah tempat.

19
b. Baik (++), bila terlihat gelombang-gelombang kecil, tipis, jarang, kurang jelas
dan bergerak lamban.
c. Cukup (+), jika terlihat gelombang melainkan hanya gerakan-gerakan
individual aktif progresif.
d. Buruk (N, necrospermia atau 0), bila hanya sedikit atau tidak ada gerakan-
gerakan individual.

c) Gerak Individu

Dibawah pembesaran pandangan 45x10 pada selapis tipis semen di atas


gelas objek yang ditutupi gelas penutup akan terlihat gerakan-gerakan individual
spermatozoa. Pada umumnya dan yang terbaik adalah pergerakan progresif atau
gerakan aktif maju ke depan. Gerakan melingkar dan gerakan mundur sering
merupakan tanda-tanda cold shock atau media yang tidak isotonik dengan semen.
Gerakan berayun atau berputar di tempat sering terlihat pada semen yang tua,
apabila kebanyakan spermatozoa telah berhenti bergerak maka dianggap mati
(Feradis, 2010). Menurut Toelihere (1993), penilaian gerakan individual
spermatozoa mempunyai nilai 0 sampai 5, sebagai berikut:

0 : spermatozoa immotile atau tidak bergerak


1 : pergerakan berputar ditempat
2 :gerakan berayun melingkar, kurang dari 50 % bergerak progresif dan tidak ada
gelombang.
3 :antara 50 sampai 80% spermatozoa bergerak progresif dan menghasilkan
gerakan massa;
4 :pergerakan progresif yang gesit dan segera membentuk gelombang dengan 90%
sperma motil;
5 : gerakan yang sangat progresif, gelombang yang sangat cepat, menunjukkan
100% motil aktif.
d) Abnormalitas

20
Menurut Toelihere (1985), mengklasifikasikan abnormalitas dalam
abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer meliputi kepala yang
terlampau besar (macrocephlalic), kepala terlampau kecil (microcephalic), kepala
pendek melebar, pipih memanjang dan piriformis; kepala rangkap, ekor ganda;
bagian tengah melipat, membengkok, membesar, piriformis; atau bertaut abaxial
pada pangkal kepala; dan ekor melingkar, putus atau terbelah. Abnormalitas
sekunder termasuk ekor yang putus, kepala tanpa ekor, bagian tengah yang
melipat, adanya butiran-butiran protoplasma proksimal atau distal dan akrosom
yang terlepas. Setiap spermatozoa yang abnormal tidak dapat membuahi sel telur,
tanpa memandang apakah abnormalitas tersebut terjadi di dalam tubuli seminiferi,
dalam epididimis atau oleh perlakuan yang tidak legeartis terhadap ejakulat.
Selama abnormalitas spermatozoa belum mencapai 20% dari contoh semen, maka
semen tersebut masih dapat dipakai untuk inseminasi (Toelihere, 1993).

e) Persentase Hidup

Sperma yang hidup dapat diketahui dengan pengecatan atau pewarnaan


dengan menggunakan eosin. Eosin dapat dibuat dari serbuk eosin yang dilarutkan
dalam aquadest dengan konsentrasi 1 : 9. Kemudian sperma ditetesi dengan
larutan eosin dan diratakan, kemudian di angin-anginkan atau di fiksasi dengan
menggunakan spiritus, setelah itu dilihat di bawah mikroskop. Sperma yang tercat
atau berwarna merah berarti sperma itu mati, sedangkan yang tidak terwarnai atau
tidak tercat berarti sperma itu hidup (Mulyono, 1998). Perbedaan afinitas zat
warna antara sel-sel sperma yang mati dan yang hidup digunakan untuk
melindungi jumlah sperma hidup secara objektif pada waktu semen segar
dicampur dengan zat warna (eosin 2%). Sel-sel sperma yang hidup tidak atau
sedikit sekali menghisap warna sedangkan yang mati akan mengambil warna
karena permeabilitas dinding meningkat sewaktu mati. Tujuan pewarnaan
diferensial adalah untuk mengetahui persentase sel-sel sperma yang mati dan yang
hidup (Hafez, 1987).

2.4.4 Pengenceran Semen

21
Bahan pengencer sperma merupakan larutan isotonis yang diberi tambahan
bahan-bahan menyerupai kandungan alami semen serta diberi beberapa bahan
tambahan untuk memelihara sperma dari perubahan pH, sebagai sumber nutrisi
bagi kelangsungan hidup sperma, juga sebagai pelindung sperma dari cold shock
pada saat sperma mengalami pemrosesan. Selain itu bahan tambahan lainnya
seperti antibiotik penicillin dan Sterptomycin juga ditambahkan untuk menjaga
larutan dari adanya kontaminasi bakteri yang dapat menurunkan kualitas dari
sperma.
Andromed merupakan salah satu pengencer komersial buatan minitube
jerman, berbahan dasar Tris yang tidak menggunakan sumber protein asal hewan
yang menjadi andalan untuk pengencer semen beku sapi. Andromed terdiri dari
phospholipid, tris (hydroxymethyl) aminomethane, asam sitrat, fruktosa, gliserol,
lesitin, tylosine tart rat, gentamycin sulfat, spectinomycin dan lincomicin yang
biasa digunakan untuk pembuatan semen beku sapi. Tatacara penggunaan
dilakukan hanya dengan penambahan aquades steril (milli-Q-water) dengan
perbandingan Andromed : aquades steril = 1 : 4. (Minitub, 2001). Sumber
lesitin di dalam pengencer semen komersial Andromed berasal dari ekstrak
kacang kedelai, yang juga dapat menjalankan fungsi seperti pada lesitin kuning
telur. Selain lesitin, Andromed juga mengandung protein, karbohidrat (fruktosa,
glukosa, manosa dan maltotriosa), mineral (natrium, kalsium, kalium, magnesium,
klorida, fosfor dan mangan), asam sitrat, gliserol, lemak, lesitin dan gliserilfosforil
kolin (GPC). Andromed mengandung lesitin yang cukup tinggi yaitu sebanyak
6,76g/100ml. Seluruh bahan-bahan yang terkandung di dalam Andromed
tersebut merupakan bahan-bahan yang umum digunakan dalam menyusun
pengencer semen selama ini. Lesitin berfungsi melindungi membran plasma sel
dari pengaruh cold shock selama proses pengolahan berlangsung.

2.4.5 Pemeriksaan Before Freezing.

22
Before freezing merupakan tahapan evaluasi spermatozoa kedua yang
dilakukan setelah evaluasi pertama pada tahap semen segar. Pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui motilitas spermatozoa sebelum dilakukan proses
freezing. Pengujian ini dilakukan dengan cara mengambil sperma dari masing-
masing bull menggunakan objek glass yang kemudian diperiksa dibawah
mikroskop dengan pembesaran 200x. Standart minimal motilitas spermatozoa
adalah 55%. Apabila terdapat semen dengan motilitas < 55% maka akan diafkir
dan dilakukan evaluasi pada pemeliharaan, proses penampungan dan produksi.
Setelah dilakukan pemeriksaan dilanjutkan dengan diproses pada proses straw
printing.

2.4.6 Printing Straw


Straw merupakan media penyimpanan semen beku yang diproduksi. Straw
dapat menyimpan semen beku hingga volume 0,25 ml yang berisi sel spermatozoa
berjumlah 25 x 106 sel. Sebelum tahap filling and sealing, straw perlu dicetak
dengan automatic printing. Automatic printing ini memiliki fungsi untuk
mencetak label straw meliputi kode tahun pembuatan (code batch), nama
pejantan, kode pejantan, nama bangsa pejantan dan pabrik yang mengeluarkan
semen beku pejantan (produsen). Setelah proses printing, straw disterilisasi di
dalam lemari UV selama 15 menit. Straw yang sudah steril di masukkan ke dalam
cool top selama 5-10 menit sebelum dilakukan proses filling dan sealing.
Tabel . Pengggolongan straw sesuai Bangsa (SNI 01-4869.1-1998)
No Ternak Sapi Kode Warna Straw
1. Sapi Bali 1 Merah
2. Sapi Ongole 2 Biru Muda
3. Sapi FH 3 Abu-abu
4. Sapi Brahman 4 Biru Tua
5. Sapi Simental 6 Transparan
6. Sapi Limousine 8 Merah Jambu
7. Sapi Brangus 13 Hijau
8. Sapi Madura 16 Hijau Muda
2.4.7 Filling dan Sealing

23
Filling dan sealing adalah proses pengisisan semen yang telah dicampur
dengan bahan pengencer ke dalam straw dengan menggunakan mesin automatik
filling dan sealing. Mesin akan secara otomatis memasukkan semen cair sebanyak
0,25 cc ke dalam straw dan menutup ujung straw dengan sumbat lab
(laboratorium plug). Pada proses ini hal yang pertama kali dilaukan adalah
memasang jarum penghisap (neddle) yang sudah terpasang dengan flexible rubber
tube ke kompressor penghisap, kemudian straw diletakkan pada kompartemen
tempat straw yang kemudian akan disusu oleh mesin untujarum pengisi (neddle)
dan kemudian akan diisi dengan semen yang disalurkan melalui corong tempat
semen (dispossable typer dish for semen).

2.4.8 Pre freezing dan freezing


Pre-freezing merupakan suatu tahapan penurunan suhu straw yang sudah
berisi semen dari suhu 40C hingga -1400C secara betahap dengan menggunakan
uap dari nitrogen cair dalam mesin digitcool selama 9 menit. Selama prosesPre-
freezing kipas yang terdapat didalam mesin berputar untuk menyebaarkan uap gas
nitrogen cair hingga memenuhi seluruh kompartemen. Sperma memiliki critical
point yang harus dengan cepat dilewati agar angka kematian sperma dapat
diminimalisir. Pada suhu 5 sampai dengan -1000C harus dilewati dengan cepat,
karena pada range tersebut merupakan critical point sperma. Setelah proses Pre-
freezing selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses freezing semen yang
dilakukan pada nitrogen cair.
Straw yang telah berisi semen yang sudah di Pre-freezing diletakkan pada
goblet-goblet untuk kemudian direndam pada kontainer berisi nitrogen cair
selama 9menit. Pada proses perendaman inilah terjadi proses freezing semen
sampai dengan suhu -1960C .Apabila terdapat straw yang mengambang pada saat
proses perendaman, hal tersebut menandakan bahwa straw tersebut tidak berisi
semen dan harus di afkir.

2.4.9 Penyimpanan dan Pengujian Post Thawing Motility


Post Thawing Motility (PTM) bertujuan untuk mengetahui motilitas
spermatozoa setelah dibekukan dan diencerkan kembali. Pemeriksaan PTM

24
dilakukan sebelum dilakukannya pendistribusian kepada konsumen sebagai uji
mutu. Sampel yang dipakai yaitu 1 straw semen beku pada masing-masing
pejantan. Presentase motilitas spermatozoa yang dipakai adalah 40% apabila
persentase motilitas spermatozoa < 40% maka akan segera dilakukan pengafkiran
dan segera dicari titik kesalahannya. Straw yang diafkir didata dan dilakukan
pemusnahan atas ijin dikeluarkan oleh Kepala Balai.

2.5 Aplikasi Insemenasi Buatan di Lapangan

1). Sinkronisasi Birahi

Prinsip dasar dari sinkronisasi berahi adalah memanipulasi dari fenomena


siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH ataupun memperpendek
masa hidup dari corpus luteum yang berujung pada berahi dan ovulasi.
Keuntungan dari sinkronisasi berahi adalah ketepatan waktu ovulasi sehingga
mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi sehingga tingkat
keberhasilan dari IB dapat ditingkatkan. Sinkronisasi berahi pada ternak
dimaksudkan agar ternak-ternak betina serentak berahinya dalam waktu yang
sama. Selanjutnya ternak-ternak tersebut dapat diinseminasi secara bersama-sama
sehingga dapat diprediksi waktu kelahiran yang bersamaan. Sistem ini dapat
dipakai dalam perencanaan kelahiran anak dan pemasaran ternak di masa depan.
Metode sinkronisasi berahi dapat dilakukan dengan menggunakan preparat
hormon seperti prostaglandin dan progesteron. Prostaglandin F2 (PGF-2)
bersifat luteolitik yang berperan untuk meregresikan corpus luteum (CL),
mengakibatkan penghambatan yang dilakukan hormon progesteron yang
dihasilkan oleh CL terhadap gonadotropin menjadi hilang. Akibat yang
ditimbulkannya adalah terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel dalam
ovarium. Toelihere (1995) menyatakan bahwa efek pemberian PGF-2 akan
menurunkan level progesteron dan akan memberikan rebound effect terhadap
pelepasan hormon gonadotropin (FSH = follicle stimulating hormone dan LH =
luteinizing hormone, Dengan teknik ini permasalahan deteksi berahi dapat
dieliminir, sehingga pelaksanaan inseminasi buatan dapat dioptimalisasi. Usaha

25
ini bertujuan untuk mensinkronkan kondisi reproduksi ternak sapi donor dan
resipien sehingga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi
kelompok ternak, serta mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan (IB),
mengurangi waktu dan memudahkan observasi deteksi berahi, dapat menentukan
jadwal kelahiran yang diharapkan, menurunkan usia pubertas pada sapi dara,
penghematan dan efisiensi tenaga kerja inseminator karena dapat mengawinkan
ternak pada suatu daerah pada saat yang bersamaan.

2). Pemeriksaan Birahi

Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina resepsif terhadap


jantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Menurut Frandson (1996), fase
estrus ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya
cairan bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah.
Berahi ternyata bertepatan dengan perkembangan maksimum folikel-folikel
ovarium. Manifestasi psikologis berahi ditimbulkan oleh hormon seks betina,
yaitu estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Pada sapi betina
seringkali terjadi berahi tenang semua fenomena histologis dan fisiologis yang
normal dapat teramati, termasuk ovulasi tetapi respon untuk perkawinan tidak
tampak, untuk beberapa individu, kebutuhan estrogen mungkin lebih besar
dibanding yang lainnya dan berahi tenang mungkin disebabkan oleh kegagalan
dalam mensekresi estrogen dalam jumlah yang cukup besar untuk menimbulkan
respon perkawinan. Tanda-tanda sapi berahi antara lain vulva nampak lebih merah
dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah,
ekornya seringkali diangkat bila sapi ada dipadang rumput sapi yang sedang
berahi tidak suka merumput, kunci untuk menentukan yang mana diantara sapi-
sapi yang saling menaiki tersebut berahi adalah sapi betina yang tetap tinggal
diam saja apabila dinaiki dan apabila didalam kandang nafsu makannya jelas
berkurang, pada sapi dewasa laktasi tidak jarang produksi susunya turun (Anonim,
2011).

26
Siklus berahi pada dasarnya dibagi menjadi 4 fase atau periode yaitu
proestrus, estrus, meteestrus, dan diestrus (Hafez, 2000; Marawali, dkk., 2001;
Sonjaya, 2005). Berdasarkan perubahan-perubahan dalam ovaria siklus estrus
dapat dibedakan pula menjadi 2 fase, yaitu fase folikel, meliputi proestrus, estrus
serta awal metestrus, dan fase luteal, meliputi akhir metestrus dan diestrus.
Fase 1. Proestrus (prestanding events). Fase ini hanya berlangsung 1-2
hari. Betina berperilaku seksual seperti jantan, berusaha menaiki teman-temannya
(homoseksualitas), menjadi gelisah, agresif, dan mungkin akan menanduk,
melenguh, mulai mengeluarkan lendir bening dari vulva, serta vulva mulai
membengkak.
Fase 2. Estrus (Standing Heat). Pada fase ini hewan betina diam bila
dinaiki oleh temannya atau standing position. Tetapi juga perlu diperhatikan hal
lain seperti seringkali melenguh, gelisah, mencoba untuk menaiki teman-
temannya. Sapi betina menjadi lebih jinak dari biasanya. Vulva bengkak, keluar
lendir vulva jernih, mukosa terlihat lebih merah dan hangat apabila diraba.
Fase 3. Metestrus (Pasca Berahi). Periode ini berlangsung selama 3-4 hari
setelah berahi, sedikit darah mungkin keluar dari vulva induk atau dara beberapa
jam setelah standing heat berakhir. Biasanya 85% dari periode berahi pada sapi
dara dan 50% pada sapi induk berakhir dengan keluarnya darah dari vulva (untuk
cek silang saat mengawinkan inseminasi harus sudah dilakukan 12-24 jam
sebelum keluarnya darah). Keadaan ini disebut perdarahan metestrus (metestrual
bleeding), ditandai dengan keluarnya darah segar bercampur lendir dari vulva
dalam jumlah sedikit beberapa hari setelah berahi. Perdarahan ini biasanya akan
berhenti sendiri setelah beberapa saat. Yang perlu diingat adalah bahwa tidak
semua siklus berahi pada sapi berakhir dengan keluarnya darah. Keluarnya darah
tidak selalu berarti ovulasi telah terjadi dan tidak selalu menunjukkan bahwa bila
diinseminasi ternak akan bunting atau tidak. Keluarnya darah hanya akan
menunjukkan bahwa ternak telah melewati siklus berahi.
Fase 4. Diestrus. Berlangsung selama 12-18 hari setelah periode metestrus
sampai periode proestrus berikutnya dan alat reproduksi praktis tidak aktif
selama periode ini karena dibawah pengaruh hormon progesteron dari korpus
luteum.

27
3). Aplikasi Insemenasi Buatan

Teknik atau metode inseminasi buatan ada 2 macam yaitu rektovaginal dan
transservikal. Sebelum melaksanakan IB, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
mengenai kesehatan ternak secara umum dan kondisi alat kelamin betina. Harus
diyakinkan bahwa sapi yang akan diinseminasi tidak dalam keadaan bunting.
Inseminasi buatan sapi umumnya menggunakan teknik rektovaginal dimana
semen didepositkan di dua bagian yaitu uterus dan cervix. Teknik ini
menggunakan alat inseminasi gun yang dimasukkan ke daiam alat reproduksi
betina.
Pada teknis rektovaginal, tangan yang diselubungi dengan sarung
tangan (plastic glove) dimasukkan ke dalam rektum untuk melokalisir cervix dan
kemudian masukkan gun ke cervix hingga uterus, dengan prosedur sebagai
berikut :
1) Cucilah tangan terlebih dahulu.
2) Sebelum melaksanakan prosedur IB maka semen harus dicairkan
(thawing) terlebih dahulu.
3) Setelah dithawing, straw dikeluarkan dari air kemudian dikeringkan
dengan tissue.
4) Kemudian straw dimasukkan dalam gun, dan ujung yang mencuat
dipotong dengan menggunakan gunting bersih.
5) Setelah itu Plastic sheath dimasukkan pada gun yang sudah berisi semen
beku/straw.
6) Sapi dipersiapkan (dimasukkan) dalam kandang jepit, ekor diikat.
7) Ambil sarung tangan disposibel dan tangan dimasukkan ke dalam rektum.
Sarung tangan dapat membungkus sepanjang lengan.
8) Oleskan sedikit pelicin pada bagian belakang tangan.
9) Membawa gun yang sudah berisi straw dengan mulut dan hampiri sapi
yang akan diinseminasi. Jaga piston jangan tertekan dan ujung gun jangan
sampai terkontaminasi. Pada tahap ini upayakan agar sapi tenang jika
dihampiri.
10) Ambil lembaran kertas dari kantung untuk membersihkan vulva dengan
tangan yang tidak bersarung.
11) Mengoleskan pelicin dari bagian belakang tangan bersarung.

28
12) Jari tangan membentuk seperti corong, kemudian dengan sabar dan dengan
gerakan berputar masuk ke dalam rekturn.
13) Selesai tahap ini berhenti sebentar sehingga anus dapat relaks dan tangan
mudah masuk. Hindari keributan dan gerakan kasar yang dapat
menyebabkan stres pada sapi betina. Penanganan yang kasar dapat
menyebabkan pengeluaran hormon adrenalin yang dapat mempengaruhi
Conception Rate.
14) Membersihkan seluruh bibir vulva dari kotoran, urin, feses dan pelicin
dengan lap kertas.
15) Pergelangan tangan dalam rektum menekan ke bawah agar bibir vulva
mudah dimasuki ujung gun saat memasuki vagina.
16) Masukkan gun sepanjang vulva dan vagina dengan ujung gun melekat
pada bagian atas menyentuh tangan.
17) Dengan hati-hati dorong gun ke depan dengan ujungnya ada di atas
kantung kencing.
18) Gerakkan gun ke depan hingga masuknya gun tertahan. Bila ujung
tertahan sebelum mencapai cervix, dorong cervix searah kepala sapi.
Dengan cara ini lipatan-lipatan dalam vagina akan merenggang dan
memudahkan gun bergerak ke depan.
19) Tekan ke bawah, temukan cervix dengan tangan yang bersarung dari
rektum.
20) Pegang cervix dengan jari. Bila tidak dapat menyentuh cervix berarti
bertahan di pelvis. Kemudian dengan pelan tekan gun ke depan tempelkan
cervix di ujung gun.
21) Gun bergerak sepanjang bagian cervix atau bagian jari tangan hingga
cervix akhir atau di badan uterus.
22) Gerakkan gun sepanjang cervix hingga teraba ujung gun. Dengan
terabanya ujung gun dipermukaan uterus maka gun telah mencapai
sasaran.
23) Perlu dihindari memasukkan gun terlalu dalam ke uterus. Karena luka
pada uterus yang akan berpengaruh pada fertilisasi ovum.
24) Dorong penghisap gun hati-hati dan pelan-pelan serta semprotkan 2/3
bagian semen di depan uterus. Sambil menarik gun hingga ujungnya
berjarak 1 cm di belakang uterus semprotkan sisa semen di belakang straw.

29
Kadang-kadang gun tidak bisa mencapai ujung cervix tetapi betina dapat
bunting.
25) Gun ditarik pelan-pelan dari cervix dan vagina. Pengeluaran gun dengan
tergesa-gesa dapat menarik kembali semen dari cervix ke vagina.
26) Mengeluarkan tangan dari rektum dengan pelan-pelan.
27) Lepaskan kunci ring pada gun dan tarik plastic sheat dengan tangan yang
terbungkus.
28) Tarik sarung tangan dengan menggulungnya dari atas ke bawah dan
membalikkan bagian dalam menjadi bagian luar. Dengan cara ini
permukaan yang kotor berada di dalam bersamaan dengan plastic sheat.
Permukaan yang berada di luar adalah bagian yang bersih.

30
BAB III

PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Waktu dan Tempat

Kegiatan PKL PPDH ini dilaksanakan tanggal 9 Januari sampai dengan 3


Februari 2017, bertempat di Balai Insemenasi Buatan Banyumulek NTB.

3.2 Peserta Kegiatan

Peserta PKL ini adalah mahasiswi PPDH Fakultas Kedokteran Hewan


Universitas Udayana, yakni : Erena Hajar Kartika (1209006064).

3.3. Metode Kegiatan


Kegiatan dilakukan berdasarkan dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh
Pembimbing Praktek Kerja Lapangan di Balai Insemenasi Buatan
Banyumulek NTB.

31
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Kegiatan yang dilakukan selama PKL di Balai Insemenasi Buatan
Banyumulek yaitu :
No. Tempat Kegiatan
1. Ruang Persiapan Membersihkan dan sterilisasi alat
Setting Artificial Vagina
2. Lokasi Penampungan Persiapan koleksi semen
Semen Koleksi semen
3. Laboratorium Produksi Pemeriksaan kualitas semen secara
makroskopis dan mikroskopis
Produksi semen beku
Pemeriksaan post thawing motility dan
penyimpanan.
4. Kandang Jepit Penimbangan dan perawatan sapi
pejantan (pemberian vitamin)
5. Banyumulek Pelayanan kesehatan ternak :
penanganan myasis dan BEF
6. Kandang sapi JICA Pemeriksaan kebuntingan.
Sinkronisasi birahi
Deteksi birahi
Aplikasi insemenasi buatan

4.2 Pembahasan
Kegiatan yang dilakukan selama PKL di Balai Insemenasi Buatan
Bnayumulek secara umum terdiri dari persiapan, koleksi semen, pemeriksaan
kualitas semen secara makroskopis dan mikroskopis, produksi semen beku,
pemeriksaan post thawing motility, penimbangan dan perawatan sapi pejantan,
pelayanan kesehatan ternak, pemeriksaan kebuntingan, sinkronisasi birahi, deteksi
birahi dan aplikasi insemenasi buatan.

32
Produksi semen pada Balai Inseminasi Buatan Banyumulek adalah dengan
produksi semen beku yang menggunakan straw. Toelihere (1985) menyatakan
bahwa penyimpanan dalam bentuk straw dapat menghemat tempat, ringan dan
praktis untuk dibawa kemana-mana serta dapat dibuat berbagai warna dimana
setiap warnanya untuk mengidentifikasi pejantan tertentu. Semen beku sendiri
adalah semen yang diencerkan sesuai proses produksi sehingga menjadi semen
beku dan disimpan dalam kontainer kriogenik berisi nitrogen cair pada suhu
-196oC (SNI 4869.3: 2014). Untuk itu, diperlukan teknik koleksi semen yang tepat
agar kualitas semen yang diperoleh baik dan bisa diolah menjadi semen beku.
Koleksi semen yang dilakukan di BIB Banyumulek adalah menggunakan teknik
artificial vagina (vagina buatan). Teknik ini dilakukan secara alamiah sehingga
kualitas dan kuantitas semen yang dihasilkan lebih baik dibandingkan teknik yang
lain (Hafez, 1993; Arifiantini, 2012).
Produksi semen beku yang dilakukan di BIB Banyumulek sesuai dengan
Direktorat Jenderal Peternakan (2007), prosesnya meliputi penampungan semen
segar, pemeriksaan semen segar, pengenceran semen segar, pengujian semen
setelah pengenceran, printing straw, pengemasan (filling dan sealing), proses
pembekuan, pengujian post thawing motility, penyimpanan dan pengujian semen
beku setelah penyimpanan.
Sebelum dilakukan penampungan semen, perlu dilakukan penyiapan sapi
pejantan dan penyiapan tempat penampungan. Penyiapan pejantan yang
dilakukan meliputi dilakukan identifikasi pejantan yang akan ditampung,
dilakukan pengambilan semua pejantan yang akan ditampung dan pejantan yang
akan digunakan sebagai bull teaser (pejantan pemacek). Bull teaser ditempatkan
di kandang jepit, kemudian diikat bagian kepala dan ekornya. Tujuan penggunaan
teaser adalah mempermudah pejantan untuk meningkatkan libidonya.
Karakteristik dari bull teaser adalah ukuran tubuhnya relatif sama dengan
pejantan yang akan ditampung, tidak terlalu aktif dan sehat.
Pada saat koleksi semen menggunakan vagina buatan, proses pengeluaran
semen akan terjadi secara alamiah. Menurut Arifiantini (2012), tingkah laku
kopulasi pejantan akan nampak menjadi beberapa tahap, yaitu prakopulasi,

33
kopulasi dan pascakopulasi. Tingkah laku prakopulasi dimulai dengan pencarian
lawan jenis, percumbuan, daya tarik menarik, ereksi dan penile
protrusion(keluarnya penis dari preputium). Pada fase ini, secara alamiah dari
ujung glans penis akan keluar cairan bening yang berasal dari kelenjar Cowper
(Bulbouretralis). Setelah itu dilanjutkan dengan kopulasi yang terdiri dari false
mount, intromisi dan ejakulasi. Kemudian diakhiri dengan tingkah laku
pascakopulasi yang terdiri atas disfalse mount, periode refraktori dan memory.
Persiapan pertama yang dilakukan adalah penyiapan vagina buatan. Peralatan
vagina buatan antara lain tabung vagina buatan yang memiliki panjang 40-45 cm
dan dilengkapi dengan pentil udara, inner liner dari bahan karet, cone (corong dari
bahan karet), tabung semen berskala (terbuat dari plastik), sarung pelindung,
pelicin steril, stik pelicin dan karet fleksibel. Cara penyiapan vagina buatan antara
lain :
1. Penyiapan bagian-bagian vagina buatan yaitu tabung vagina buatan, inner
liner, cone dan tabung semen berskala.
2. Inner liner dipasang di dalam tabung vagina buatan. Kemudian cone dipasang
dan diikat dengan karet fleksibel pada cone. Cone dipasang pada bagian ujung
vagina buatan yang paling dekat dengan klep air panas.
3. Tabung semen berskala dipasang pada ujung cone.
4. Kemudian vagina buatan tersebut, dilakukan sterilisasi dengan UV selama 12
menit untuk kemudian siap digunakan.
5. Pada saat penggunaan vagina buatan, pada tabung semen dipasang sarung
pelindung untuk melindungi sperma dari cahaya matahari dan meminimalisir
terjadinya temperature shock.
Ketika identifikasi dan pengambilan pejantan, mulai dilakukan penyiapan
vagina buatan yang sebelumnya sudah dilakukan proses sterilisasi. Pertama,
melalui klep pada tabung vagina, dimasukkan air panas yang bersuhu sekitar 40-
500C, jika air terlalu panas bisa dicampur dengan air dingin. Suhu air tersebut
harus disiapkan dengan memperhitungkan kesiapan pejantan dan bull teaser. Bila
pejantan telah siap dan berada di dekat bull teaser, maka suhu pada air yang
disiapkan akan tepat. Akan tetapi, jika pejantan dan bull teaser belum siap, maka
suhu pada air panas yang dimasukkan ke vagina buatan bisa lebih tinggi. Air
diisikan sampai penuh, kemudian ditutup. Selanjutnya klep udara dibuka dan

34
udara dipompakan ke vagina buatan. Ketika kolektor sudah siap, maka vagina
buatan diambil oleh kolektor dan diberi pelicin pada vagina buatan maksimal 1/3
bagian depan vagina buatan dengan menggunakan stik pelicin. Suhu akhir
sebelum koleksi harus benar-benar diperhatikan. Menurut Arifiantini (2012), suhu
akhir vagina buatan harus berkisar antara 40-440C. Jika terlalu panas, penis sapi
akan merasa kesakitan dan penis akan ditarik. Begitu pula ketika suhu vagina
buatan di bawah suhu optimal untuk koleksi, maka ejakulasi tidak akan terjadi.
Petugas juga harus mencatat performan sapi pejantan yang tersaji dalam
data yang harus diisi antara lain nama dan kode pejantan, nama pemancing,
volume sperma, waktu ejakulasi, jumlah handle (false mount), daya jepit, daya
dorong, nama kolektor dan nama petugas handle. Setelah dilakukan pencatatan,
semen segar harus segera dibawa ke laboratorium untuk dievaluasi. Transpor
semen harus segera dilakukan karena ketika semen dalam tabung akan terjadi
penurunan suhu sehingga sel sperma bisa mengalami kematian, di mana Park
(2010) menyatakan bahwa suhu optimal sperma tumbuh adalah 390C.
Tahap selanjutnya yakni pemeriksaan kualitas semen secara makroskopis
dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis pada evaluasi semen segar dilakukan
dengan memeriksa jumlah volume total dari semen, warna, aroma, konsistensi,
konsentrasi dan pH. Volume semen segar pada sapi berkisar antara 2-14ml dengan
karakteristik warna putih krem kekuningan, beraroma aromatis mirip dengan
aroma susu sapi,konsistensinya kental/creamy dan memiliki pH berkisar antara
6,2-6,8.
Perubahan pada parameter pemeriksaan semen secara makroskopis
tersebut dapat mengindikasikan adanya keabnormalan pada sistima urogenital dari
ternak. Perubahan yang biasanya terjadi adalah adanya perubahan pada warna
semen. Perubahan warna semen dapat disebabkan kotoran preputium, darah, dan
mikroorganisme. Menurut Barszcz et al (2012) terdapat beberapa perubahan yang
mungkin terjadi pada semen, antara lain:
1. Semen berwarna kemerahan
Menandakan adanya kandungan darah pada sperma (dapat terjadi akibat
adanya abrasi penis, fistula pada corpus penis, ataupun adanya batu
kalkuli)

35
2. Semen berwarna kehijauan menandakan adanya reaksi keradangan
supuratif
3. Semen berwarna kekuningan menandakan bahwa semen mungkin
tercampur urin. Namun, sekitar 10% sapi-sapi jantan menghasilkan
semen yang normal berwarna kekuning-kuningan yang disebabkan oleh
pigmen riboflavin yang dibawakan oleh satu gen autosom resesif dan
tidak mempunyai pengaruh terhadap fertilitas (Toelihere, 1993).
4. Semen berwarna putih cair menandakan kualitas semen yang rendah.
5. Cairan semen yang bercampur dengan lendir, menandakan adanya
reaksi keradangan
6. Semen yang terkontaminasi dengan helai rambut, debu, kotoran/tanah.
Pemeriksaan konsistensi semen di lihat dengan cara memiringkan tabung
semen kemudian ditegakkan kembali. Dilihat apakah pada dinding tabung
terdapat sisa cairan semen, konsistensi semen yang baik tidak meninggalkan sisa
pada dinding tabung. Konsistensi semen merupakan salah satu indikator penentu
baik tidaknya kualitas semen. Konsistensi semen menyatakan derajat kepadatan
atau konsentrasi sperma pada semen. Semakin pekat konsistensi semen maka
semakin tinggi jumlah sel sperma yang terkandung didalamnya. Hal tersebut
menandakan bahwa kualitas semen tersebut tergolong baik.
Pemeriksaan evaluasi mikroskopis selanjutnya dilanjutkan dengan
pemeriksaan Derajat keasaman (pH) semen segar diukur menggunakan pH paper
BTB (Brom Timol Blue) pH sperma tidak boleh terlalu asam ataupun basa karena
dapat menyebabkan penurunan daya tahan sampai kematian sperma (Ratnawati
dkk, 2008). pH semen pada sapi berkisar antara 6,2-6,8.
Pemeriksaan mikroskopis pada sampel semen segar meliputi pemeriksaan
gerak massa dan gerak individu dari sperma. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat motilitas dari spermatozoa. Motilitas merupakan salah satu
karakteristik dari spermatozoa yang berkaitan erat dengan kemampuan fertilisasi
dari spermatozoa. Gillan et al (2008) dan Kathiravan et al (2008) pada
penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
motilitas dan pergerakan progresif dari sperma dengan tingkat fertilitasi oleh

36
sperma tersebut. Sehingga sperma dengan tingkat motilitas yang tinggi dapat
dikategorikan sebagai sperma dengan kualitas yang baik.
Pemeriksaan gerak massa spermatozoa merupakan suatu pemeriksaan yang
dilakukan guna melihat gerak spermatozoa secara berkelompok. Gerak massa
akan terlihat seperti suatu gelombang pada pengamatan di bawah mikroskop.
Menurut Toelihere (1993), penilaian gerak massa spermatozoa adalah sebagai
berikut:
a. 3+ (Terlihat gelombang besar, banyak, gelap, tebal, dan bergerak aktif
seperti gumpalan awan).
b. 2+ (Terlihat gelombang kecil, tipis, jarang, kurang jelas dan bergerak
lambat).
c. 1+ (Masih terlihat gelombang, namun jarak antara gelap dan terang
cukup jauh).
d. 0 (tidak ada gelombang)
Gerak massa yang baik antara 2+ dan 3+ karena angka tersebut
menunjukkan persentaase spermatozoa hidup adalah lebih dari 70%. Apabila
gerak massa kurang dari nilai tersebut maka semen akan diafkir. Evaluasi gerak
individu sperma dilihat dengan menggunakan mikroskop pembesaran 200x
dengan slide glass yang ditutup dengan cover glass. Standar sperma yang
digunakan di BIB Banyumulek untuk dapat diproses sampai dengan menjadi
semen beku adalah spermatozoa yang mempunyai motilitas 70% (2+ - 3+). Hal
ini dikarenakan pada proses pembekuan spermatozoa rentan mengalami
penurunan motilitas sebanyak 10-40% (Parrish, 2003). Pergerakan spermatozoa
yang baik adalah pergerakan progresif, yaitu pergerakan sperma maju kedepan.
Menurut Barszcz et al (2012) jumlah abnormalitas pada spermatozoa tidak boleh
melebihi 15%.
Pemeriksaan konsentrasi semen dilakukan untuk mengetahui banyaknya
jumlah sel spermatozoa yang terkandung dalam semen tersebut. Hasil pemriksaan
konsentrasi spermatozoa biasanya berbanding lurus dengan pemeriksaan
konsistensi sperma. Pemeriksaan konsentrasi spermatozoa yang terkandung dalam
semen segar dilakukan guna menentukan banyaknya jumlah dosis straw yang

37
akan di produksi dari semen tersebut dan untuk menentukan jumlah pengencer
yang akan ditambahkan pada proses penambahan diluter. Pemeriksaan
konsentrasi semen dilakukan untuk mengetahui banyaknya jumlah sel
spermatozoa yang terkandung dalam semen tersebut. Hasil pemriksaan
konsentrasi spermatozoa biasanya berbanding lurus dengan pemeriksaan
konsistensi sperma. Pemeriksaan konsentrasi spermatozoa yang terkandung dalam
semen segar dilakukan guna menentukan banyaknya jumlah dosis straw yang
akan di produksi dari semen tersebut dan untuk menentukan jumlah pengencer
yang akan ditambahkan pada proses penambahan diluter.
Pemeriksaan konsentrasi semen dilakukan dengan menggunakan alat
spektrofotometer, yaitu dengan mengambil sampel semen dan larutan NaCl
dengan perbandingan 1:4. Kemudian larutan di homogenkan dengan
menggunakan vortex, dan selanjutnya larutan di tuang ke dalam kuvet untuk
kemudian dibaca pada alat spektrofotometer. Angka hasil yang tertera pada alat
merupakan hasil konsentrasi spermatozoa yang terkandung pada semen.
Bahan pengencer sperma merupakan larutan isotonis yang diberi tambahan
bahan-bahan menyerupai kandungan alami semen serta diberi beberapa bahan
tambahan untuk memelihara sperma dari perubahan pH, sebagai sumber nutrisi
bagi kelangsungan hidup sperma, juga sebagai pelindung sperma dari cold shock
pada saat sperma mengalami pemrosesan. Bahan pengencer yang digunakan di
BIB Banyumulek adalah Andromed. Andromed merupakan salah satu
pengencer komersial buatan minitube jerman, berbahan dasar Tris yang tidak
menggunakan sumber protein asal hewan yang menjadi andalan untuk pengencer
semen beku sapi. Andromed terdiri dari phospholipid, tris (hydroxymethyl)
aminomethane, asam sitrat, fruktosa, gliserol, lesitin, tylosine tart rat, gentamycin
sulfat, spectinomycin dan lincomicin yang biasa digunakan untuk pembuatan
semen beku sapi. Tatacara penggunaan dilakukan hanya dengan penambahan
aquades steril dengan perbandingan Andromed : aquades steril = 1 : 4. (Minitub,
2001).
Before freezing merupakan tahapan evaluasi spermatozoa kedua yang
dilakukan setelah evaluasi pertama pada tahap semen segar. Pengujian ini

38
dilakukan untuk mengetahui motilitas spermatozoa sebelum dilakukan proses
freezing. Setelah dilakukan pemeriksaan dilanjutkan dengan diproses pada proses
straw printing. Straw perlu dicetak dengan automatic printing. Automatic printing
ini memiliki fungsi untuk mencetak label straw meliputi kode tahun pembuatan
(code batch), nama pejantan, kode pejantan, nama bangsa pejantan dan pabrik
yang mengeluarkan semen beku pejantan (produsen). Selanjutnya tahap filling
sealingmerupakan proses pengisisan semen yang telah dicampur dengan bahan
pengencer ke dalam straw dengan menggunakan mesin automatik. Selanjutnya
dilakukan proses equilibrasi selama 4 jam dalam lemari pendingin.
Pembekuan semen dilakukan secara manual menggunakan kotak
styrofoam. Straw diletakkan pada rak-rak yang telah disusun dalam kotak
styrofoam dan didiamkan selama sepuluh menit. Straw kemudian di rendam
dalam nitrogen cair dan dimasukkan kedalam goblet dengan diberikan identitas
yang terdiri dair tanggal produksi, nama pejanjan, kode produksi dan jumlah straw
dalam satu goblet. Masing-masing goblet maksimal berisi 200 straw. Straw yang
telah diproduksi kemudian disimpan dalam container. Post Thawing Motility
(PTM) bertujuan untuk mengetahui motilitas spermatozoa setelah dibekukan dan
diencerkan kembali. Pemeriksaan PTM dilakukan sebelum dilakukannya
pendistribusian kepada konsumen sebagai uji mutu. Sampel yang dipakai yaitu 1
straw semen beku pada masing-masing pejantan. Presentase motilitas spermatozoa
yang dipakai adalah 40% apabila persentase motilitas spermatozoa < 40% maka
akan segera dilakukan pengafkiran.
Disamping produksi semen beku, kegiatan yang dilakukan selama
kegiatan Praktek Kerja Lapangan di BIB Banyumulek yakni penimbangan sapi
pejantan dan pemberian vitamin, pelayanan kesehatan ternak (penanganan myasis
dan BEF), pemeriksaan kebuntingan, sinkronisasi birahi, deteksi birahi, aplikasi
insemenasi buatan.
Penimbangan dan pemberian vitamin pada sapi pejantan dilakukan secara
rutin setiap bulan, guna mengetahui perkembangan dan pertambahan berat badan
sapi pejantan. Vitamin yang rutin diberikan secara injeksi intramusculer yakni
Biodin vitamin B complex. Biodin berfungsi sebagai penguat otot dan

39
meningkatkan daya tahan tubuh dengan kandungan ATP, Mg aspartate, K
aspartate, Na selenite, Vitamin B12. Adapun indikasinya yakni untuk stimulasi
tubuh secara umum terutama pada tonus otot dari semua seperti pada keadaan :
kelemahan otot akibat kerja keras, kelemahan otot akibat transportasi, kelemahan
otot akibat melahirkan, kelemahan akibat kekurangan makanan, infeksi, miositis
akut, dan myopathy.
Penanganan myasis dilakukan pada anakan sapi FH yang mengalami
myasis pada testis. Myasis adalah penyakit atau kelaianan karena infestasi lalat
pada jaringan hewan hidup. Myasis disebabkan oleh lalat Chrysomya
bezziana famili Calliphoridae yang biasa disebut Old World Screwworm Fly yang
memiliki warna biru metalik, biru keunguan atau biru kehijauan. Kepala lalat
berwarna orange dengan mata merah gelap. Perbedaan antara lalat betina dan
jantan terletak pada matanya. Tindakan yang dilakukan yakni luka yang
mengandung larva dibersihkan dengan seksama dengan menggunakan pinset
untuk mengeluarkan larva. Kemudian luka dibersihkan dengan alcohol, diberikan
antibiotic topical untuk menghindari infeksi sekunder dan disemprot dengan
gusanex spray sebagai anti larva.
Penanganan BEF dilakukan pada beberapa ekor sapi. Bovine Ephemeral
Fever merupakan penyakit yang bersifat ringan yang umumnya menyerang pada
sapi dan ditandai dengan demam tinggi rasa sakit otot dan pincang. Sapi yang
menderita penyakit ini cepat sembuh bila tanpa komplikasi. Penyakit klinis
berjalan sangat singkat biasanya tidak lebih dari tiga hari. Bovine Ephemeral
Fever (BEF) disebabkan oleh virus Rhabdovirus, yang termasuk dalam familia
yang sama dengan penyakit rabies dan vesicular stomatitis. Virus tersebut dapat
ditularkan melalui serangga. Tanda-tanda ternak yang terjangkit penyakit ini
antara lain adalah: demam (39 sampai 420c), lesu, kekakuan anggota gerak sampai
pincang, kelemahan anggota gerak sampai tidak sanggup berdiri, keluar liur yang
berlebihan, sesak nafas, gemetar, keluar sedikit cairan dari mata dan hidung.
Penanganan yang diberikan yakni memberikan obat simptomatik berupa
antipiretik, antihistamin, dan antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder.

40
41
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan PKL selama 4 minggu di BIB Banyumulek,
maka dapat disimpulkan bahwa tahapan produksi semen beku terdiri dari : tahap
persiapan AV, tempat penampungan, persiapan sapi pejantan dan teaser, persiapan
operator, koleksi semen, pemeriksaan kualitas semen secara makroskopis dan
mikroskopis, pengenceran, pemeriksaan before freezing, printing straw, filling dan
sealing, equilibrasi, freezing dan penyimpanan.
5.2 Saran
Saran yang dapat saya berikan sesuai dengan pengetahuan dan pengamatan
saya, adalah sebagai berikut :
1. Perlu memperhatikan sterilisasi petugas baik petugas persiapan AV
maupun petugas koleksi semen guna menghindari terjadinya kontaminasi.
2. Perlu diperhatikan kesehatan dan performans sapi pejantan agar kualitas
semen yang dihasilkan baik.
3. Dalam penyimpanan semen beku perlu diperhatikan jadwal penambahan
nitrogen cair secara berkala guna menjaga kualitas semen beku.

42
DAFTAR PUSTAKA

Arifiantini, R.I. 2012. Teknik Koleksi Dan Evaluasi Semen Pada Hewan. IPB
Press. Bogor
Barker, J. S. F. 1975. A Course Manual in Tropical Beef Cattle Production. Aust.
Vice Chanc. Comm. Canberra, p.125.
Feati. 2011. Teknologi Penggemukan sapi Bali. BPTP NTB.
Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Herweijer, C.H. 1950. Enkele aantekenigen btreffende de geschiedenis van de
runderveeteelt op het Eiland Timor. Hemera Zoa 56: 689.
Meijer, W.C.P. 1962. Das Balirind. A. Ziemsen Verslag, Wittenberg Lutherstandt.
Nozawa, K. 1979. Phylogenetic studies on the native domestic animals in East
and Southeast Asia. Proceeding Workshop Animal Genetic Resources in
Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society for the
Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO).
Hlm 23-43.
Oka, L. 2003. Performance of Bali Cattle Heifers and Calves Prior to Weaning in
a Feedlot System. ACIAR Proc. No. 110, 14-16.
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle. World Anim. Rev.7: 13-21

Pusat Kajian Sapi Bali Universitas Udayana. 2012. Sapi Bali Sumberdaya Genetik
Asli Indonesia. Udayana University Press. Denpasar.
Siregar. 2006. Penggemukan sapi potong. Penerbit Swadaya: Jakarta
Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti Turner and D. Lindsay. 2003.
Survey of Population and Production Dynamics of Bali Cattle and Existing
Breeding Program in Indonesia. ACIAR Proc. No. 110, 3-9.
Toelihere. 1985. Fisiologi Reproduksi Ternak. Cetakan keenam. Angkasa
Bandung.

43
LAMPIRAN

DOKUMENTASI KEGIATAN

Gambar 1. Sterilisasi AV Gambar 2. Setting AV

Gambar 3. Proses Penampungan semen

44
Gambar 4. Pemeriksaan volume, warna, bau, konsistensi.

Gambar 5. Pemeriksaan pH Gambar 6. Pemeriksaan gerak massa

Gambar 7. Pemeriksaan gerak individu

45
Gambar 8. Pemeriksaan konsentrasi Gambar 9. Pengenceran dengan Andromed
dengan spektrofotometri

Gambar 10. Filling dan sealing Gambar 11. Proses equilibrasi

Gambar 12. Freezing Gambar 13. Penyimpanan straw

46
Gambar 14. Penanganan kasus myasis Gambar 15. Penanganan BEF

Gambar 16. Penimbangan dan pemberian vitamin pada sapi pejantan

Gambar 17. PKB dan aplikasi insemenasi buatan

47

Anda mungkin juga menyukai