Pelaksana kegiatan:
Dr. Ir. Sri Minarti, MP. Dr. Ir. V.M. Ani Nurgiatiningsih M. Sc.
NIP. 19610122 198601 2 001 NIP. 19640423 199002 2 001
Mengetahui,
Wakil Dekan I
Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
1.1.Latar Belakang
Daging sapi merupakan suatu kebutuhan yang memiliki peranan besar pada
perbaikan gizi masyarakat, khususnya kebutuhan protein hewani. Wakil Menteri
Pertanian mengungkapkan bahwa kebutuhan daging sapi di Indonesia pada tahun 2013
mencapai 550 ribu ton. Peningkatan tersebut justru diiringi dengan penyusutan
produktivitas ternak di Indonesia. Badan Pusat Statistika melaporkan bahwa populasi sapi
dan kerbau pada 1 Mei 2013 mencapai 14,2 juta ekor atau mengalami penurunan yang
cukup tajam apabila dibandingkan dengan hasil pendataan pada Juni 2012 yang
mencapai 16,7 juta ekor. Hal tersebut memberikan asumsi bahwa populasi sapi
mengalami penurunan sebesar 15,30% dalam 2 tahun, dan populasi sapi susut 2,5 juta
ekor. Hal ini menyebabkan pemerintah harus tetap mengimpor daging sapi dari luar
negeri untuk memenuhi kekurangannya. Salah satu yang menjadi aspek penghambat
tumbuhnya industri peternakan sapi potong di Indonesia adalah masalah induk sapi. Di
lain pihak, pemerintah harus melakukan impor indukan sapi potong dari Australia untuk
menggenjot produksi daging sapi nasional. Kebijakan tersebut justru akan mengakibatkan
Indonesia terjebak dalam ketergantungan pada negara lain dalam hal pangan, khususnya
daging sapi.
Solusi yang dapat diterapkan dari permasalahan tersebut adalah memanfaatkan
kekayaan plasma nutfah yang dimiliki oleh Indonesia. Kekayaan keanekaragaman plasma
nutfah sapi potong lokal yang dimiliki Indonesia mempunyai arti yang sangat penting
dalam pembangunan peternakan, karena merupakan bahan dasar genetik yang
keragamannya sangat dibutuhkan dalam perakitan untuk membentuk rumpun unggul
guna meningkatkan produktivitas ternak lokal. Ternak lokal yang memiliki prospek untuk
dikembangkan diantaranya adalah Sapi Bali.
Sapi Bali adalah salah satu plasma nutfah yang memiliki nilai jual tinggi dalam
sektor agribisnis peternakan dan telah tersebar dibeberapa penjuru Nusantara. Sapi Bali
memiliki nama lain Balinese cow atau Bibos javanicus. Akan tetapi, sapi Bali bukan
termasuk subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus ataupun Bos Indicus melainkan
merupakan domestikasi banteng (Bibos banteng). Umumnya sapi Bali hidup liar di
beberapa lokasi di pulau Jawa, seperti di Ujung Kulon dan Pulau Bali yang merupakan
pusat dari penyebaran gen sapi Bali. Salah satu keunggulan sapi Bali adalah mampu
memanfaatkan hijauan pakan yang berserat kasar tinggi, daya adaptasi iklim tropis dan
fertilitas yang tinggi (83%), serta persentase (56%) dan kualitas karkas yang baik (Payne
dan Hodges, 1997).
Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Bali merupakan salah satu instansi
pemerintah yang peduli akan kelestarian plasma nutfah Sapi Bali Unggulan. BPTU Sapi
Bali mempunyai tugas pokok salah satunya pemurnian genetik untuk menghasilkan dan
menjaga kulitas genetik Sapi Bali yang unggul dalam rangka meningktakan populasi
ternak Sapi Bali agar plasma nutfah asli Indonesia ini tidak punah.
2
BPTU Sapi Bali dalam melaksanakan tugas pokoknya, menerapkan sistem
manajemen mutu yang masuk dalam standarisasi nasional. Standarisasi nasional tersebut
dapat dilihat dalam pengelolaan breeding center dalam pengadaan seleksi bibit yang
mengacu kepada SNI tentang sapi Bali. BPTU Sapi Bali selain menerapkan sistem
manajemen mutu yang berstandar nasional juga mempunyai keunggulan dengan adanya
tempat yang representatif dalam pemuliabiakan yaitu dengan penerapan metode kandang
ranch. Metode ranch ini sangat mendukung pemuliaan sapi bali, karena sistem ranch
sesuai dengan habitat aslinya.
PKL (Praktik Kerja Lapang) yakni suatu kegiatan wajib akademik yang diwajibkan
oleh setiap Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya sebagai salah satu
syarat kelulusan program studi peternakan Strata 1 (S1). Program akademik ini dilakukan
dengan cara mahasiswa melakukan magang kerja di suatu perusahaan yang bergerak
dalam bidang yang sesuai yakni peternakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Lokasi yang dipilih untuk kegiatan magang mahasiswa ini adalah BPTU Sapi Bali.
Harapan dari mengikuti PKL ini yakni agar mahasiswa dapat bekerja langsung di dalam
dunia kerja ataupun bisnis peternakan dengan membandingkan setiap halnya antara teori
yang telah didapatkan di perkuliahan dengan kenyataannya di lapangan dengan ini,
mahasiswa mendapatkan pengalaman lebih tentang dunia kerja secara langsung di
lapangan dengan berhadapan langsung dengan masyarakat.
1.3. Tujuan
Kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini bertujuan untuk :
1) Untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai tatalaksana manajemen
pakan, reproduksi, perkandangan serta breeding Sapi Bali unggulan yang diterapkan di
BPTU Sapi Bali.
2) Memberikan bekal keterampilan mahasiswa agar mampu bekerja di lapang
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajari sesuai dengan minat
yang dipilih.
3) Mampu melakukan analisis situasi di tempat pelaksanaan praktek kerja
lapang berdasarkan kaidah keilmiahan.
4) Memberikan bekal kepada mahasiswa sehingga memiliki kemampuan manajerial
pada aspek tertentu di perusahaan bidang peternakan.
3
1.4. Manfaat
Kegiatan Praktek Kerja Lapang ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak
diantaranya sebagai berikut :
Bagi Mahasiswa
- Memperdalam pengertian dan penghayatan mahasiswa tentang cara berfikir aktual
dan logis serta bekerja secara disiplin.
- Mendewasakan pemikiran mahasiswa untuk melaksanakan analisis dan pemecahan
masalah yang ada secara ilmiah.
- Memberi keterampilan kepada mahasiswa sebelum masuk di dunia kerja.
- Membekali mahasiswa untuk menjadi inovator dan problem solver .
- Memperluas pemahaman ilmu pengetahuan yang terjadi pada industri peternakan.
Bagi Instansi
- Sebagai salah satu sarana publikasi perusahaan.
- Sebagai sarana upgrading pembelajaran dan wawasan kepada mahasiswa
yang akan masuk ke dunia kerja.
- Turut serta berpartisipasi dalam melatih tenaga kerja yang kompeten.
- Sebagai bentuk Corporate Social Responsibility yang memang sudah
selayaknya dilakukan oleh Instansi kepada masyarakat.
- Memperkuat jalinan kerjasama antara Perguruan Tinggi dengan Instansi,
karena dua elemen ini tidak bisa terpisahkan dan harus saling mendukung demi
tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur .
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.2 Produksi Sapi Bali
Pertumbuhan tubuh ternak mempunyai arti yang sangat penting dalam proses
produksi, kualitas produksi daging sapi bali bergantung pada pertumbuhannya karena
produksi yang tinggi dapat dicapai dengan pertumbuhan yang cepat. Pertumbuhan
merupakan suatu proses yang terjadi dalam makluk hidup dan dimanifestasikan sebagai
tambahan berat organ atau jaringan tubuh seperti otot, tulang, lemak (Rianto dan
Purbowati, 2010). Pertumbuhan dimensi panjang sapi Bali jantan dimulai dari panjang
leher, panjang kepala, panjang tubuh bagian belakang dan berakhir panjang tubuh bagian
depan sedangkan dimensi lingkar dimulai dari lingkar dada kemudian diikuti lingkar
abdomen, lingkar leher belakang dan lingkar leher depan tumbuh paling belakang,
pertumbuhan dimensi panjang sapi Bali jantan termasuk tumbuh sedang atau potensi
pertumbuhan sedang. Lingkar dada dan lingkar abdomen termasuk tumbuh dini atau
potensi pertumbuhannya rendah, lingkar leher bagian belakang termasuk tumbuh sedang
lingkar leher bagian depan termasuk tumbuh paling belakang atau potensi
pertumbuhannya tinggi. Perbedaan perkembangan bagian-bagian tubuh sapi Bali
disebabkan oleh perbedaan fungsi dan perbedaan komponen yang menyusun bagian-
bagian tubuh tersebut. Bagian tubuh yang berfungsi lebih awal atau lebih dini akan
berkembang lebih dulu demikian juga bagian tubuh yang komponennya sebagian besar
dari tulang (Suyasa dan Sugama, 2010).
Suranjaya, Ardika, Indrawati (2010) menyatakan bahwa produksi sapi Bali dapat
dilihat dari berbagai indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot
dewasa, laju pertambahan bobot badan, sifat-sifat karkas (persentase karkas dan kualitas
karkas), dari sifat reproduksi dapat dilihat seperti dewasa kelamin, umur pubertas, jarak
beranak (calving interval), persentase beranak. Beberapa sifat produksi dan reproduksi
tersebut merupakan sifat penting/ekonomis yang dapat digunakan sebagai indikator
seleksi. Sapi Bali memiliki produksi yang bisa dilihat dari bibitnya, memilih bibit yang
baik merupakan salah satu aspek penting didalam produksi, hal ini dapat dipahami karena
pedet-pedet yang baik hanya diturunkan oleh induk-induk yang baik. Untuk itu,
sebaiknya dipilih sesuai dengan standar sapi bali yang dimaksud. Selain standar ukuran
sapi yang dimaksud, aspek lain yang digunakan di dalam kriteria pemilihan sapi bali
adalah sifat genetis, kesehatan dan ukuran tubuh sapi Bali memiliki peranan penting
dalam aspek produksi, Hal lain yang harus diperhatikan adalah umur ternak, sehingga
banyak pertimbangan yang harus diperhatikan dalam memutuskan apakah sapi bali
tersebut layak digunakan sebagai bibit atau tidak (Talib et.al, 2002).
Sifat produksi dan reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa
sapi, keadaan tanah, kondisi padang rumput, penyakit dan managemen oleh karena itu
perbaikan mutu sapi potong haruslah ditekankan pada aspek produksi dan reproduksi
yang ditunjang oleh pengelolaan yang baik dari segi zooteknis dan bioekonomis (Talib,
2002).
6
2.3 Manajemen Pakan Sapi Bali
Pakan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pemeliharaan dan
pembibitan ternak sapi pedaging. Menurut Wibowo (2012) pakan memiliki peranan
penting bagi ternak, pada ternak muda pakan digunakan untuk pertumbuhan dan pada
ternak dewasa pakan digunakan sebagi sumber tenaga, selain itu pakan juga berfungsi
untuk memelihara daya tahan tubuh dan kesehatan. Keberhasilan suatu peternakan sapi
Bali dapat dilihat dari keberhasilan manajemen pakan. Kebutuhan pakan ternak
ruminansia lebih tinggi dibandingkan kebutuhan ternak unggas. Hal ini disebabkan
karena sistem pencernaan ternak ruminansia berbeda dengan ternak unggas.
Pakan merupakan kunci kesuksesan pertumbuhan bobot badan pada sapi Bali. Sapi
yang memiliki genetik tinggi, namun tidak diberi pakan yang baik akan mengakibatkan
pertumbuhan bobot badan yang tidak maksimal. Hal ini karena nutrisi yang dibutuhkan
oleh sapi tidak terpenuhi yang berdampak pada pertumbuhan yang tidak maksimal hingga
penurunan bobot badan. Pakan yang dikonsumsi akan berdampak pada pertumbuhan
bobot badan ternak yang baik, sehingga apabila pemberian pakan yang diberikan
berkualitas, maka akan berdampak pada pertumbuhan yang cepat. Namun, memelihara
ternak dengan kemampuan tubuh yang tinggi tanpa memberikan pakan sesuai dengan
kebutuhan ternak akan mengakibatkan hasil yang lebih jelak dibandingkan dengan
bangsa sapi lokal dengan kondisi yang sama (Rianto dan Purbowati, 2010).
Manajemen pakan tidak hanya sebatas pemberian pakan saja, melainkan terkait
pemberian pakan, minum hingga pemberian suplemen untuk ternak. Menurut Direktorat
Perbibitan Ternak (2014) Manajemen pemeliharaan meliputi pemberian pakan dan
minum, pemberian vaksin dan obat-obatan, perkawinan, pembersihan kotoran dan
biosecurity. Manajemen pakan sangat penting diperhatikan karena secara tidak langsung
juga berdampak pada kesehatan ternak. Hal ini dikarenakan pakan merupakan sarana bagi
bakteri atau penyakit untuk menyerang ternak.
2.3.1 Pakan Hijauan
Sapi memerlukan jumlah pakan yang cukup dan berkualitas baik dari segi
kondisi pakan maupun imbangan nutrisi yang dikandungnya. Sapi muda yang
masih dalam masa pertumbuhan membutuhkan jumlah pakan yang terus meningkat
sampai dicapai kenaikan pertumbuhan yang maksimal. Jenis pakan ada dua, pakan
kasar dan pakan penguat. Pakan kasar adalah pakan yang kadar nutrisinya rendah,
jumlah kandungan nutrisi tidak sebanding dengan jumlah fisik volume pakan
tersebut. Contoh, jerami, silase dan lain sebagainya. Pakan penguat (konsentrat)
adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan serat kasar rendah. Sapi yang
dipacu pertumbuhannya seperti pada usaha penggemukan memerlukan penambahan
konsentrat dengan susunan yang lebih dari kebutuhan normalnya (Akoso, 1996).
Hijauan merupakan bahan pakan utama bagi sapi potong berupa rumput yang
terdiri dari rumput unggul dan sebagian jenis leguminosa. Bahan pakan hijauan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan meliputi :
1. Rumput-rumputan, terdiri dari rumput liar ( lapang ) atau rumput unggul yang
sengaja ditanam seperti : ilalang, rumput gajah, rumput benggala.
2. Daun-daunan berupa daun pisang, daun ubi kayu dan daun ubi jalar. Daun
7
pisang dapat diberikan dalam bentuk segar ataupun sisa pembungkusan yang
diberikan dalam keadaan segar agar zat gizi pakan tidak terlalu banyak yang
hilang. Begitu pula dengan daun ubi kayu dan ubi jalar diberikan dalam bentuk
segar sebagai sumber protein dan vitamin B1, B2, C dan provitamin A.
3. Daun-daun dari jenis kacang-kacangan banyak mengandung protein dan zat
kapur yang tinggi sangat baik digunakan untuk pakan ternak ruminansia. Daun
kacang kacang yang dapat dipilih antara lain daun turi, daun lamtoro, daun
kacang tanah, daun kedelai, daun kacang panjang, daun gamal dan daun
kaliandra.
Biaya pakan mencapai 70 % dari total biaya produksi maka perlu
dikembangkan jenis pakan sapi potong yang lainnya sebagai pakan substitusi
dengan persyaratan pemberian pakan hijauan sebesar 10 % dari berat badan sapi
(Nani, 2009).
2.3.2 Pakan Konsentrat
Pakan konsentrat adalah campuran bahan-bahan makanan yang dicampur
sedemikian rupa sehingga menjadi suatu bahan makanan yang berfungsi untuk
melengkapi kekurangan gizi dari bahan makanan lainnya (hijauan). Pakan
konsentrat mempunyai kandungan serat kasar rendah dan mudah dicerna.
Pemberian pakan konsentrat per ekor per hari 1% dari berat badan. Contoh bahan
pakan konsentrat adalah dedak, katul, bungkil kelapa, tetes, jagung dan berbagai
ubi (Nani, 2009) menyatakan, pemenuhan kebutuhan protein dan energi yang
seimbang pada sapi yang digemukkan tidak bisa dipenuhi hanya dari pakan hijauan
saja tetapi peranan pakan konsentrat sangat penting. Pakan konsentrat merupakan
pakan sumber protein dan energi dan hijauan merupakan sumber pakan berserat,
oleh karena itu dalam menyusun ransum untuk penggemukan sapi sebaiknya terdiri
dari pakan kasar/hijauan dan pakan konsentrat, tujuannya adalah untuk saling
melengkapi kekurangan zat gizi satu sama lain dari bahan-bahan pakan sehingga
penampilan ternak dapat optimal. Akoso (1996) dalam hasil penelitiannya
menyatakan bahwa peningkatan kandungan energi erat kaitannya dengan
peningkatan kandungan protein pakan guna mendapatkan efisiensi pertumbuhan
bobot badan ternak. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian konsentrat
yang tinggi merupakan salah satu upaya untuk mempercepat proses pertumbuhan,
produksi karkas dan daging dengan kualitas tinggi serta meningkatkan nilai
ekonominya (Hartati, Wijono dan Siswanto, 2007)
2.3.4 Suplementasi Pakan
Musim kemarau merupakan musim yang sangat sulit bagi peternak, dimana
kelangkaan pakan akan terjadi pada musim kemarau. Kelangkaan pakan yang
terjadi mengakibatkan meningkatnya harga pakan ternak. Hal ini akan
mengakibatkan kerugian pada peternak dimana diketahui rata-rata hampir 40 % dari
total biaya operasional dalam usaha ternak adalah pakan. Suplemen merupakan
salah satu pilihan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan ternak yang belum
terpenuhi. Menurut Lalman (2007) program ini bertujuan untuk mengidentifikasi
8
nutrisi pakan yang belum tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi ternak.
Kekurangan protein sering terjadi pada sapi Bali bila hanya diberi pakan
jerami atau rumput kering yang berkadar protein rendah. Pakan yang dapat
digunakan sebagai suplemen berupa biji kapas, kedelai, kacang tanah. Bahan
bahan tersebut mengandung protein dan energi yang tinggi yaitu biji kapas (40-
47%), kedelai (44-49%) sehingga dapat digunakan sebagai tambahan protein dan
kekurangan energi pada ternak (Mathis, 2003).
Selain itu bisa dengan menggunakan Leucaena sebagai sumber protein
tambahan untuk ternak ruminansia. Salah satu jenis Leucaena yaitu lamtoro
(Leucaena leucocephala) yang menjadi sumber protein by-pass yang bisa
digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ternak. Daun dan buah lamtoro
mengandung protein dan energi yang cukup tinggi dan juga merupakan bahan baku
lokal yang banyak tersedia (Poatong, 2003).
Penambahan bahan kimia juga sering digunakan peternak untuk
meningkatkan nutrisi pada pakan. Bahan kimia yang sering digunakan untuk
pemenuhan nutrisi ternak adalah urea. Urea dibutuhkan pada musim kemarau, urea
kaya akan nitrogen dan mengaktifkan mikroba dalam rumen, merangsang nafsu
makan ternak serta membantu mencerna pakan yang beserat. Pemberian urea dapat
menguntungkan karena sebagai hewan ruminansia, sapi Bali mampu mengubah
sumber nitrogen non-protein menjadi protein. Urea dapat digunakan untuk
pembuatan jerami amoniasi dan UMB (Urea Molasses Block). Pemberian UMB
pada ternak merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan sumber pakan untuk
ternak ruminan khususnya pada musim kemarau (Aganga, Lelata dan Tsiane, 2005)
2.3.5 Air Minum
Air merupakan unsur terbesar dalam tubuh hewan karena lebih dari 50%
komposisi tubuh terdiri atas air. Kebanyakan jaringan dalam tubuh hewan
mengandung 70-90% air. Hewan yang kekurangan air biasanya lebih cepat mati
daripada yang kekurangan makanan yang sekali gus membuktikan bahwa air
mempunyai fungsi yang sangat penting bagi ternak. Air memiliki perananan yang
penting dalam tubuh ternak yaitu sebagai sarana transportasi bagi zat pakan pada
dinding-dinding usus kedalam peredaran darah, mengangkut zat-zat sisa, pelarut
beberapa zat serta mengatur suhu dalam tubuh (Wibowo, 2012).
Kebutuhan air pada sapi Bali berkaitan erat dengan sapi yang menyusui,
kadar air pakan, dan faktor lingkungan seperti suhu udara dan kelembaban. Air
merupakan kebutuhan utama bagi ternak. Air digunakan untuk mengatur suhu
tubuh ternak, membantu proses pencernaan, mangangkut zat-zat pakan dan
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme. Kebutuhan air bagi ternak tergantung pada
faktor yaitu kondisi iklim, bangsa sapi, umur dan jenis pakan (Ward dan McKague,
2007).
Kualitas air yang mencakup suhu, salinitas dan kotoran dapat mempengaruhi
rasa dan bau. Kadar air pakan akan mempengaruhi konsumsi air minum, dengan
kadar air relatif tinggi dapat mengurangi kuantitas air minum yang dibutuhkan.
9
Kebutuhan air minum dipengaruhi oleh beragam faktor, seperti : jenis sapi, umur,
suhu lingkungan, jenis bahan makanan, dan volume pakan yang masuk dalam
tubuh. Menurut Parish dan Rhinehart (2008) kualitas air mempengaruhi jumlah air
yang dikonsumsi dan selanjutnya kuantitas pakan yang dikonsumsi. Kualitas air
yang buruk dapat menyebabkan berkurangnya asupan dan menganggu kesehatan
serta menurunkan produksi.
2.3.6 Pemberian pakan
Semakin baik kualitas pakan, maka semakin baik pula pertumbuhan sapi
pedaging. Kualitas pakan dapat dilihat dari kandungan pakan, dimana pakan harus
terpenuhi kandungan protein, mineral dan vitamin. Sapi pedaging membutuhkan
pakan konsentrat yang lebih tinggi dibandingkan hijauan. Hal ini dikarenakan
pakan konsentrat memiliki kandungan asam propionat yang dibutuhkan oleh tubuh
sapi untuk tumbuh. Pemberian pakan yang memadai dapat meningkatkan produksi
yang tinggi dan membantu perbaikan mutu genetik sapi (Mathius, 2008).
Pemberian pakan sapi Bali perlu diperhatikan jumlah atau volume pakan
serta kandungan nutrisi pakan. Sapi bali yang dilepas di padang penggembalaan
secara selektif dapat memilih jenis pakan yang secara alamiah dapat memenuhi
kebutuhan akan zat gizi. Akan tetapi sapi Bali yang dikandangkan perlu diatur
komposisi pakan agar memenuhi nutrisi yang dibutuhkan. Pemberian pakan sapi
pedaging dapat dilakukan secara ad libitum dan restricted (dibatasi). Pemberian
secara ad libitum sering kali tidak efisien karena akan menyebabkan bahan pakan
banyak terbuang dan pakan yang tersisa menjadi busuk sehingga ditumbuhi jamur
dan sebagainya yang akan membahayakan (Mathius, 2008).
2.3.7 Pengadaan Bahan Baku Pakan
Penyediaan pakan pada peternakan sapi pedaging wajib berkelanjutan.
Pemberian pakan pada ternak sapi pedaging harus dilakukan secara
berkesinambungan sehingga pertumbuhannya tidak terganggu. Pemberian pakan
yang tidak berkesinambungan akan menimbulkan efek negatif pada pertumbuhan
sapi. Kendala yang sering dihadapi dalam budidaya sapi pedaging adalah
keterbatasan dalam kesediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif maupun
berkesinambungan sepanjang tahun. Usaha pembibitan sapi potong harus
menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan
hijauan, maupun pakan konsentrat (Departemen Pertanian, 2006).
Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk hijauan dan
konsentrat. Pakan hijauan dapat memanfaatkan rumput-rumputan seperti rumput
lapang, rumput raja, rumput gajah, rumput setaria. Perbaikan kualitas pakan juga
dapat menggunakan leguminosa seperti lamtoro, glirisidia, daun turi. Konsentrat
dapat memanfaatkan bekatul, dedak, ampas tahu, ketela pohon, onggok, bungkil
kacang. Program jangka panjang untuk mendukung peningkatan potensi bahan
baku lokal serta jumlah keberlanjutan proses produksi pakan, maka diperlukan
upaya pengembangan tanaman startegis seperti ubi kayu dan jagung (Hanafiah,
2010). Selain itu pakan ternak bisa berasal dari limbah pertanian. Menurut Hanafiah
10
(2010) pertanian dan perkebunan memiliki potensi besar sebagai pakan ternak yang
dapat dilakukan melalui teknologi fermentasi, suplementasi, dan pakan lengkap.
Tabel 1.Rataan Persentase Kelahiran, Kematian dan Calf Crop Beberapa Sapi Potong di
Indonesia
Bangsa Kelahiran Kematian Calf Crop
Brahman 50,71 10,35 48,80
Brahman cross 47,76 5,58 45,87
Ongole 51,04 4,13 48,53
Lokal Cross 62,47 1,62 62,02
Bali 52,15 2,64 51,40
Sumber: Sumadi, (1985), Darmadja, (1980), Sutan, (1988), Pane, (1989).
Tabel diatas memberi gambaran bahwa produktivitas Sapi Bali sebagai sapi asli
Indonesia masih tinggi, namun jika dibandingkan dengan sapi asal Australia masih
tergolong rendah yakni calf crop-nya dapat mencapai 85 % (Trikesowo, Sumardi dan
Suyadi, 1993). Vercoe dan Frisch (1980) menyatakan bahwa sifat produksi dan
reproduksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bangsa sapi, keadaan tanah,
kondisi padang rumput, penyakit dan manajemen. Oleh karena itu perbaikan mutu sapi
potong haruslah ditekankan pada peningkatan sifat produksi dan reproduksi yang
ditunjang oleh pengelolaan yang baik dari segi zooteknis dan bioekonomis.
12
depresi persedarahan yang berakibat pada berkurangnya daya tahan, kesuburan dan
bobot lahir ternak. Penurunan mutu genetik sapi Bali pada beberapa tahun terakhir terjadi
akibat perkawinan sedarah (in breeding) dan seleksi negatif seperti tingginya pemotongan
betina produktif dan penggunaan pejantan yang tidak memenuhi kriteria layak pejantan
dalam populasi (Ishak, Nurhayu, Ella, Sariubang, Nurjadid, dan Basri 2013).
2.6.1 Uji Performans
Salah satu upaya perbaikan mutu genetik dan peningkatan produktifitas sapi
secara berkelanjutan adalah dengan uji performans (Pane, 1990). Uji performans
merupakan salah satu metode uji pada ternak untuk mengetahui sejauh mana
tingkat performans atau penampilan sapi untuk memperoleh penampilan terbaik
yang kemudian diturunkan pada anaknya saat uji lanjutan (uji Progeny).
Ternak hasil uji performans direkomendasikan untuk mengikuti uji lebih
lanjut dalam uji keturunan (progeny test) (Departemen Pertanian, 2007). Uji
Performan sangat diperlukan untuk mempersiapkan dan mengintroduksi ternak
unggul pada daerah-daerah potensial sumber bibit dengan menyiapkan pejantan
unggul. (Sitorus, Subandriyo, Prasetyo, Rachmawati, Tambing, Gunawan dan
Setiadi, 1995).
2.6.2 Seleksi Pejantan Sapi Bali
Uji performans pada sapi jantan perlu dilakukan untuk mendapatkan
keturunan sapi Bali yang unggul. Berdasarkan (Patmawati, Trinayani, Siswanto,
Wandia dan Puja, 2013) Pada tahapan ini, sapi jantan yang diuji berada pada
kisaran umur 1 2 tahun sehingga baru memasuki tahap awal pertumbuhan yang
optimal sebelum mencapai dewasa kelamin. Dengan mengetahui perkembangan
dan pertumbuhan ternak pada saat uji maka akan diperoleh gambaran calon
pejantan yang memiliki produktivitas tinggi dan berkualitas.
Metode pengujian yang dilaksanakan adalah memilih ternak bibit berdasarkan
sifat kualitatif dan kuantitatif yang meliputi (1) pengukuran yaitu panjang
badan,tinggi gumba, dan lingkar dada, (2) penimbangan yaitu bobot badan, bobot
lahir, bobot sapih (205 hari), bobot umur satu tahun, dan berat dua tahun, (3)
pengamatan yaitu warna rambut, bentuk rangka, bentuk kepala, bentuk kaki, bentuk
kuku, bentuk skrotum, dan kelainan yang lain seperti ekor (Patmawati dkk, 2013).
Tabel 1.1 Persyaratan Kuantitatif bibit sapi Bali jantan (SNI 7355-2008)
13
2.6.3 Seleksi Indukan Sapi Bali
Indukan perlu dilakukan untuk mendapatkan bibit sapi Bali yang berkualitas.
Perlu adanya uji performans pada calon indukan sapi Bali. Menurut Hartati, Wijono
dan Siswanto (2007) Parameter yang diamati meliputi status fisiologis, bobot badan
induk dan ukuran linier tubuh. Ishak dkk (2013) menambahkan parameter yang
digunakan adalah bobot badan induk dan ukuran linear tubuh, hasil penelitian
dianalisis secara deskriptif.
Ukuran linear tubuh digunakan untuk mengestimasi bobot badan. Pendekatan
dengan mengamati ukuran linear tubuh sapi memiliki korelasi erat dengan bobot
badan (Handiwirawan et al., 1998). Hal ini diperkuat dengan pendapat
Hardjosubroto (1994) bahwa beberapa ukuran tubuh ternak telah diketahui
berkorelasi dan merupakan indikator bagi bobot badan sapi seperti tinggi gumba,
lingkar dada dan panjang badan.
Tabel 1.2 Persyaratan Kuantitatif bibit sapi Bali betina (SNI 7355-2008)
14
2.7.1 ONBS (Open Nucleous Breeding system)
Pola inti terbuka (open nucleous breeding system) suatu sistem dimana inti
(nucleus) tidak tertutup dengan aliran gen tidak hanya dari strata atas ke bawah saja
tetapi juga dari bawah ke atas. Perbaikan genetik pada sistem terbuka yang
diperoleh dari hasil seleksi di tingkat dasar akan memberikan kontribusi pada
peningkatan genetik inti, yang besarnya kontribusi bergantung pada laju aliran gen
dari dasar ke inti. Ternak bibit dari kelompok lain yang masuk ke inti
mengakibatkan hubungan kekerabatan antara induk dengan jantan makin jauh
sehingga laju inbreeding berkurang. James (1979) mengemukakan bahwa kemajuan
genetik pada sistem terbuka lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tertutup. Pada
sistem terbuka respon seleksi meningkat 10 sampai 15%, dengan laju inbreeding
lebih rendah 50% bila dibandingkan dengan sistem tertutup pada kondisi dan
ukuran sama.
ONBS merupakan suatu sistem pengembangan perbibitan sapi pedaging yang
cocok diterapkan pada kondisi keterbatasan ketersediaan sapi pejantan, pada usaha
perbibitan skala kecil sampai menengah yang kualitas genetik sapinya belum cukup
sesuai standar, atau pada usaha perbibitan yang mengarah ke penghasil sapi bakalan
untuk dipotong (Wiyono dan Aryogi, 2007). Sistem ONBS dapat diterapkan pada
peternakan rakyat dengan skala pemeliharaan induk kurang dari 10 ekor dan
ketersediaan pejantan terbatas dengan mutu genetik seadanya. Penerapan sistem ini
tetap bertujuan meningkatkan mutu genetik sapi yang ada agar dapat dihasilkan
sapi dengan produktivitas yang semakin meningkatkekurangan dari sistem ini
adalah ketersediaan mutu dan jumlah sapi bibit di peternak rakyat yang umumnya
terbatas, maka peningkatan mutu genetik yang diperoleh tidak akan terlalu besar,
atau membutuhkan waktu yang cukup lama (Wiyono dan Aryogi, 2007).
2.7.2 CNBS (Close Nucleous Breeding system)
Close nucleous breeding system atau pola pemuliaan sistem tertutup
merupakan pola pemuliaan yang aliran gen hanya berlangsung satu arah dari
puncak (nucleus) ke bawah tidak ada gen yang mengalir dari bawah ke nucleus.
Perbaikan genetik pada commercial stock terjadi bila ada perbaikan pada nucleus.
Peningkatan mutu genetik pada nucleus tidak segera tampak pada strata di
bawahnya. Perlu waktu untuk meneruskan kemajuan genetik pada suatu strata ke
strata berikutnya. Perbedaan performans antara dua strata yang berdekatan biasanya
diekspresikan dengan jumlah tahun terjadinya perubahan genetik yang ditunjukkan
oleh perbedaan performan antara strata yang berdekatan (Nicholas 1993).
CNBS adalah suatu sistem pengembangan perbibitan sapi potong yang cocok
diterapkan pada usaha skala menengah (jumlah sapi bibit sumber di atas 100 ekor
dengan perbandingan 10 sampai 20 ekor indukan untuk setiap ekor pejantan)
sampai skala besar (jumlah sapi bibit sumber ratusan ekor dengan perbandingan 15
sampai 25 ekor indukan untuk setiap ekor pejantan) dan ketersediaan kebutuhan
sapi pejantan unggul yang terjamin, pada usaha perbibitan yang ternak sapinya
telah mantap tingkat kualitas genetiknya, atau pada usaha perbibitan yang
15
mengarah ke pembentukan pemurnian bangsa/ras/rumpun (Wiyono dan Aryogi,
2007).
Keunggulan CNBS adalah secara genetik, kriteria seleksi yang dikehendaki
akan lebih mudah dicapai karena keragaman genetik sapinya dapat lebih cepat
terbentuk dan recording data lebih lengkap dan lebih mudah dilakukan. Kelemahan
ONBS yaitu dibutuhkan calon indukan dan terutama pejantan yang telah unggul
genetiknya, pemeliharaan banyak pejantan unggul serta pengaturan perkawinan
yang lebih rumit karena harus selalu menghindari terjadinya kawin keluarga
(Wiyono dan Aryogi, 2007).
16
BAB III
METODE KEGIATAN
BULAN
NO KEGIATAN
III IV V VI VII VIII IX
1. Penulisan
proposal PKL
BPTU Sapi Bali
2. Konsultasi dan
pembimbingan
PKL
3. Praktek kerja
lapang
4. Penulisan laporan
dan evaluasi hasil
kegiatan
18
DAFTAR PUSTAKA
19
Nicholas, F. W. 1993. Veterinary Genetics. Department of Animal Science, University of
Sydney. Clarendon Press.Oxford
Pane I. 1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali. Dalam makalah Seminar Nasional
sapi Bali. Denpasar,20 - 22 September 1990.
Parish, J. dan Rhinehart, J. 2008. Beef Cattle Water Requirements and Source Management.
Missisippi State University. http://msucares.com/pubs/publications/p2490.pdf.
Diakses 9 Maret 2016.
Patmawati, N. W., Trinayani, N. N., Siswanto, M., Wandia, I. N. dan Puja, I. K. 2013. Seleksi
Awal Pejantan Sapi Bali Berbasis Uji Performans. Jurnal Ilmu dan Kesehatan
Hewan, Pebruari 2013 Vol. 1, No.1: 29-33.
Payne, W.J.A. and J. Hodges. 1997. Tropical Cattle; Origin, Breeds, and Breeding Policies.
Blackwell Sciences.
Peraturan Menteri Pertanian. 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong Yang Baik (Good
Breeding Practice. NOMOR 54/Permentan/OT.140/10/2006.
Poathong, S. dan Phaikaew, C. 2003. Utilization of Leucaena leucocephala as Dry Season
Protein Supplement for Beef Cattle in Thailand. Integrated Crop-Livestock
Production Systems and Fodder Trees:153-155.
Rahmat, S. A. 2005. Rencana Bisnis Penggemukan Sapi Potong di Perkebunan Tebu Subang.
Didownloaddarihttp : // www.rni.com//.(Diakses tanggal 8 Mei 2014 pukul
12.30 WIB).
Rianto, E dan Purbowati, E. 2010. Panduan Lengkap Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.
Samariyanto. 2004. Alternatif Kebijakan Perbibitan Sapi Potong dalam Era Otonomi Daerah.
Lokakarya Sapi Potong.
Sarwono dan Arianto. 2002. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Sitorus P, Subandriyo, Prasetyo LH, Rachmawati S, Tambing SN, Gunawan A, dan Setiadi B.
1995. Pengaruh Penyebaran Berbagai Jenis Pengembangan Ternak Sapi
melalui Inseminasi Buatan terhadap Penyebaran dan Pengembangan Ternak
Sapi di Kawasan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Bogor.
Sugeng, Y. B., 2000. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Susilawati Trinil dan Affandy Lukman. 2004. Tantangan dan Peluang Peningkatan
Produktivitas Sapi Potong Melalui Teknologi Reproduksi. 1(1): 88-93.
Suyasa N. & Sugama N. 2010. Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Melalui Introduksi Limbah
Pertanian Dan Probiotik Bio-Cas.453-458.
Talib C, 2002. Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya. Jurnal
Wartazoa. 12 : 100 107.
Trikesowo, N., Sumardi dan Suyadi., 1993. Kebijakan riset di bidang pengembangan dan
perbaikan mutu sapi potong dengan teknik ladang ternak dan feedlot. Forum
komunikasi hasil penelitian bidang peternakan, Yogyakarta.
Vercoe, J.E. dan J.E. Frisch. 1980. Pemuliaan Dari Segi Genetik Sapi Pedaging di Daerah
Tropik. Laporan Seminar Ruminansia II. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Ternak, Bogor.
20
Ward, D. dan McKague, K. 2007. Water Requirements Of Livestock. Factsheet.
http://www.omafra.gov.on.ca/english/engineer/facts/07-023.htm. Diakses 9
Maret 2016. Diakses 9 Maret 2016.
Wibowo, A. S. 2012. Manajemen Pembibitan Sapi Bali di Balai Pembibitan Ternak Unggul
Bali. Tugas Akhir.
Wiyono, D. B. dan Aryogi. 2007. Petunjuk Teknis Sistem Perbibitan Sapi Potong. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan : Pasuruan.
Zulbardi, M., M. Sitorus, Maryono, dan L. Affandy. 1995. Potensi dan pemanfaatan pakan
ternak di daerah sulit pakan. Edisi Khusus Kumpulan Hasil-hasil Penelitian
Tahun Anggaran. 1994/1995. Ternak Ruminansia Besar. Balai Penelitian
Ternak, Bogor.
21