Oleh
SURYADIN
B1D010140
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ikan sapu-sapu segar dalam
pakan pada produksi telur itik Mojosari. Penelitian menggunakan 60 ekor itik Mojosari dengan
umur sekitar 6 bulan. Penelitian dilakukan selama 8 minggu. Penelitian dirancang menggunakan
Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Ransum penelitian
adalah P0 sebagai kontrol yang tersusun dari campuran konsentrat komersial , jagung dan dedak
dengan perbandingan 2:4:4. Perlakuan P1, P2 dan P3 mengandung ikan sapu-sapu segar dengan
level berturut-turut 10:20 dan 30% dengan kandungan jagung yang sama 30%, sehingga
level dedak padi berturut-turut 60:50dan 40%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian ikan sapu-sapu dalam pakan itik tidak mempengaruhi produksi telur dan konversi
pakan (P>0,05), namun mampu meningkatkan bobot telur (P0,01) dan mempengaruhi
konsumsi ransum (P<0.05). Perlakuan P2 dengan level ikan sapu-sapu 20% dengan jagung dan
dedak mempunyai potensi sebagai pengganti pakan komersial untuk itik Mojosari.
Kata kunci: ikan sapu-sapu, produksi telur, itik Mojosari
Data pada tabel 3 memperlihatkan bahwa level ikan sapu-sapu level ikan sapu-sapu segar
menurunkan konsumsi pakan (P<0.01). Pada perlakuan tanpa sapu-sapu, pakan dikonsumsi
sekitar 83.01% dari total yang diberikan 192 gram/ekor perharinya. Sedangkan perlakuan sapu-
sapu pada level 10% pakan dikonsumsi sekitar 79.74%, level ikan sapu-sapu 20% konsumsi
pakan sekitar 78.64% dan level ikan sapu-sapu 30% menunjukan konsumsi pakan sekitar
73.47%. Persentase konsumsi pakan pada pemberian ikan sapu-sapu 10%, 20% dan 30%
dihitung berdasarkan jumlah pemberian pakan dari 160 gram/ekor perharinya. Pada penelitian ini
konsumsi pakan yang paling rendah terdapat pada perlakuan level pemberian ikan sapu-sapu
30% kemudian 20%, 10% dan terakhir pada perlakuan tanpa sapu-sapu.
Konsumsi ransum dapat dihitung dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan
dengan jumlah ransum sisa. Pada tabel 1 Konsumsi pakan terendah dari pemberian ikan sapu-
sapu yaitu pada level pemberian ikan sapu-sapu 30% sekitar 117.56 gram/hari/ekor. Hasil yang
diperoleh ini jauh lebih rendah dari konsumsi ransum itik Mojosari yang dilaporkan oleh
Septyana (2008) yaitu 134.33 gram - 136.43 gram/ekor perhari. Semakin kecil konsumsi ransum
dengan produksi telur dan bobot telur yang dihasilkan tinggi, maka akan semakin baik karena
nilai FCR yang dihasilkan semakin kecil. Karena kecilnya nilai FCR yang diperoleh menandakan
bahwa penggunaan ransum semakin efisien dari produksi yang diharapkan. Hal ini terlihat dari
konsumsi ransum yang lebih rendah dengan pertambahan berat telur total yang lebih banyak,
sehingga FCR yang dihasilkan lebih rendah yang berarti efisiensi penggunaan ransumnya lebih
baik dibandingkan dengan pemberian ransum kontrol.
Adanya perbedaan konsumsi ransum tersebut karena kandungan protein dan energi
ransum berbeda. Konsumsi ransum pada ternak sangat dipengaruhi kandungan energinya
(Anggorodi, 1985). Imbangan protein dan energi dapat mempengaruhi konsumsi ransum. Karena
itik mengonsumsi ransum yang utama yaitu untuk memenuhi kebutuhan protein dan selanjutnya
kebutuhan energi. Konsumsi nutrisi itik pada ransum kontrol yaitu Protein 15,37% dan Energi
Metabolisme 2584 Kkal/kg, perlakuan satu konsumsi protein 11,69% dan Energi Metabolisme
2457 Kkal/kg, perlakuan dua konsumsi protein 14,05% dan Energi Metabolisme 2244
Kkal/kg dan perlakuan tiga konsumsi protein 16,48% dan Energi Metabolisme 2030 Kkal/kg.
Data Tabel 1 menunjukkan bahwa level ikan sapu-sapu segar dalam pakan itik tidak
mempengaruhi produksi telur (P>0.05). Pada taraf anova 1% juga level pemberian ikan sapu-
sapu menunjukan pengaruh tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa penggunaan ikan sapu-
sapu dalam ransum memiliki potensi dalam upaya untuk menghasilkan produksi telur terhadap
itik Mojosari. Dari data konsumsi nutrisi yaitu protein dan energi pada perlakuan kontrol dan
perlakuan sapu-sapu tidak berbeda jauh, yaitu kisaran protein 12-15% dan Energi Metabolisme
2030- 2584 kkal/kg sehingga produksi telur yang diperoleh tidak berbeda nyata.
Produksi telur itik pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang nyata baik dari
pemberian kosentrat maupun pemberian ikan sapu-sapu dengan level yang berbeda. Produksi
telur yang diperoleh tersebut sedikit lebih rendah dari produksi itik Mojosari yang dilaporkan
oleh Prasetyo et al., (1998) sekitar 65,2% dan jauh lebih tinggi dari produksi itik Mojosari yang
dilaporkan oleh Andayani et al., (2000) yaitu 42,86%. Produksi telur yang diperoleh dari
penelitian ini bahkan bisa lebih tinggi jika umur itik yang digunakan lebih dari 7 bulan seperti
yang dilaporkan oleh Suharno (2003) bahwa kestabilan produksi telur baru tercapai setelah
usianya lebih dari 7 bulan. Bila perawatannya baik dengan pemberian pakan yang mencukupi
dari total jumlah yang dipelihara sekitar 80%-nya akan berproduksi.
Analisis statistik rata-rata bobot telur menunjukkan bahwa level ikan sapu-sapu dalam
pakan meningkatkan bobot telur (P0.01). Meningkatnya bobot telur pada pemberian ikan sapu-
sapu disebabkan karena adanya asam amino essensial yang lebih lengkap pada ikan sapu-sapu
segar yang sangat dibutuhkan dalam proses pembentukkan telur. Hal lain juga karena nilai nutrisi
dari ransum tanpa ikan sapu-sapu terutama kandungan serat kasar ransum tersebut lebih rendah
dibandingkan ransum perlakuan ikan sapu-sapu (lampiran 2). Karena Serat kasar memiliki
manfaat yaitu membantu gerak peristaltik usus, mencegah penggumpalan ransum, mempercepat
laju digesta dan memacu perkembangan organ pencernaan (Amirullah, 2004). Anggorodi (1985)
menambahkan bahwa Serat kasar yang tidak dicerna akan membawa nutrien lain keluar bersama
feses sehingga kandungan protein dan nutrisi lain dalam ransum ikut keluar dan menyebabkan
rendahnya bobot telur yang dihasilkan.
Berdasarkan perhitungan BNT (Beda Nyata Terkecil) terlihat bahwa level pemberian ikan
sapu-sapu 10%, 20% dan 30% tidak berbeda nyata, akan tetapi berbeda nyata dengan Perlakuan
tanpa sapu-sapu. Bobot telur paling tinggi pada penelitian ini dari semua perlakuan ikan sapu-
sapu terdapat pada level ikan sapu-sapu 20% dengan rata-rata 65.60gram dan jauh lebih tinggi
dari bobot telur itik Mojosari umur muda yang dilaporkan oleh Purba et al., (2002) yang hanya
sekitar 59.42gram.
Adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan tanpa sapu-sapu dengan level ikan sapu-
sapu 10%, 20% dan 30% dikarenakan kurang terpenuhinya kandungan nutrisi dalam
penyusunan ransum penelitian. Pada tabel kandungan nutrsisi ransum terlihat bahwa kadungan
protein ransum level pemberian ikan sapu-sapu 10% lebih rendah (15%) dari standar kebutuhan
protein itik fase layer 16-18% (Suharno dan Setiawan, 2012) dan 17-19% (Sinurat, 2000). Akan
tetapi serat kasar pada level ikan sapu-sapu 10% lebih tinggi dari Perlakuan tanpa sapu-sapu
sehingga penyerapan protein dan nutrisi lainnya lebih baik dari pada Perlakuan tanpa sapu-sapu.
Karena protein berperan penting dalam pembentukkan sebutir telur. Sesuai pendapat Yuwanta
(2004) bahwa Faktor terpenting dalam
pakan yang mempengaruhi berat telur adalah protein terutama kandungan asam-
asam amino karena lebih 50% berat kering telur adalah protein. Syair (1988) menambahkan
bahwa untuk membentuk sebutir telur membutuhkan protein sekitar 13.3% dan lemak 14.5%.
Lemak dan protein merupakan komponen paling banyak dalam yolk (kuning telur). Sedangkan
energi lebih dipergunakan untuk kebutuhan maintenance dan reproduksi maupun produksi.
FCR adalah jumlah pakan yang dihabiskan untuk menghasilkan bobot telur dalam waktu
tertentu. Konversi pakan merupakan indikator nilai ekonomis, efektifitas biologis dan efiesiensi
pemanfaatan pakan dan kandungan nutrisi pakan oleh tubuh. Semakin kecil nilai konversi pakan
maka efisiensi penggunaan pakan semakin baik.
Data pada tabel. 1 menunjukkan bahwa rata-rata konversi pakan (FCR) tidak
memberikan perbedaanya yang nyata (P>0.05) antar perlakuan yang diberikan ikan sapu-sapu
maupun yang kontrol. Konversi pakan yang diperoleh pada penelitian tidak berbeda jauh dari
konversi pakan yang dilaporkan oleh Ketaren dan Prasetyo (2000) dengan rata-rata FCR itik
lokal 4.10. Hal ini berarti tingkat efisiensi pakan semua perlakuan memberikan nilai ekonomis
dan analisa usaha yang tidak berbeda jauh.
Konversi pakan dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi dibandingkan dengan
berat telur yang dihasilkan. Pada data konsumsi pakan Tabel 1 terlihat bahwa konsumsi ransum
menunjukan pengaruh yang nyata dengan nilai konsumsi perlakuan kontrol, perlakuan satu, dua
dan tiga berturut-turut 159,38 gram, 127,59 gram, 125,83 gram dan 117,56 gram. Dan data berat
telur juga berpengaruh sangat nyata dengan rata-rata berat telur berturut-turut 59,35 gram, 64,34
gram, 65,60 gram dan 63,08 gram. Besar kecilnya konversi pakan tergantung dari besarnya
jumlah konsumsi pakan dan berat telur yang diperoleh. Rata-rata konversi pakan dari konsumsi
pakan dan berat telur memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata meskipun konsumsi pakan
dan berat telur dari masing-masing perlakuan sangat berbeda. Ini karena konsumsi protein dan
energi masing-masing perlakuan tidak berbeda jauh, dengan konsumsi protein sekitar 12-15%
dan Energi Metabolisme 2030 Kkal/kg - 2584 Kkal/kg. Protein dan energi berperan penting
dalam konsumsi pakan dan berat telur yang dihasilkan. Kandungan energi dalam ransum sangat
mempengaruhi konsumsi ransum terhadap itik. Ransum yang memiliki energi yang tinggi dapat
mengurangi konsumsi ransum pada kondisi suhu dan lingkungan yang tinggi. Tillman (1998)
berpendapat bahwa banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi daya produksi dari
ternak tersebut, apabila energi yang dikonsumsi berlebih maka dimanfaatkan untuk disimpan
dalam bentuk lemak tubuh.
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pemberian ikan sapu-sapu segar dalam ransum itik tidak mempengaruhi produksi telur dan
konversi pakan namun dapat meningkatkan bobot telur dan menurunkan konsumsi ransum.
2. Penggunaan ikan sapu-sapu segar dapat menggantikan penggunaan konsentrat itik
dalam ransum.
Saran
Penggunaan ikan sapu-sapu segar dalam ransum itik dapat diaplikasikan dalam
pemeliharaan itik petelur yang sedang berproduksi, penggunaan ikan sapu-sapu pada level
20% memberikan produksi yang optimal terhadap produksi telur serta bobot telur.
DAFTAR PUSTAKA
Amirullah. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan ke 3. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor
Andayani, D., M. Yanis, Y. C. Rahardjo, B.Wibowo dan B. Bakrie. 2000. Uji Adaptasi
Teknologi Pemberian Pakan Hemat Dan Efisien Untuk Itik Petelur Di DKI
Jakarta. Prosidings Seminar Nasional Pemanfaatan Teknologi Spesifik Lokasi
Ekoregiona l Sumatera-Jawa. LPTP Natar. Lampung.
Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir Dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. UI Press.
Jakarta.
Ketaren, P. P. dan L.H. Prasetyo. 2000. Produktivitas Itik Silang Ma Di Ciawi Dan Cirebon.
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Prasetyo, L. H., Raharjo, Susanti dan W. K.. Sejati . 1998. Persilangan Timbal Balik Antara Itik
Mojosari Dan Tegal: II. Produksi Dan Kualitas Telur. Kumpulan hasil-hasil
penelitian peternakan APBN tahun anggaran 1996/1997. Buku III: penelitian ternak
unggas. Balai penelitian ternak Ciawi. Bogor. Hal. 205-211
Prasetyo, L. H., dan T. Susanti. 2000. Persilangan Timbal Balik Antara Itik Alabio Dan
Mojosari : Periode Awal Bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Vol. 5 No.4.
Bogor
Purba, M., L. H. Prasetyo dan Bram Brahmantyo. 2002. Produktivitas Dua Bangsa Itik Lokal:
Alabio Dan Mojosari Pada System Kandang Battery Dan Litter. Press. Fakultas
Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 157162
Purba. M., L. H. Prasetyo, P. S. Hardjosworo dan R. D. Ekastuti. 2004. Produktivitas Itik
Alabio Dan Mojosari Selama 40 Minggu Dari Umur 2060 Minggu. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Septyana, M. 2008. Performa Itik Petelur Lokal Dengan Pemberian Tepung Daun Katuk
(sauropus androgynus(l. Merr.) Dalam Ransumnya. Fakultas peternakan. IPB.
Bogor
Setioko, A. R. dan E. S. Rohaeni . 2001. Pemberian Ransum Bahan Pakan Lokal
Terhadap Produktivitas Itik Alabio. Lokakarya Unggas Air Nasional. Fakultas
Peternakan IPB dan Balai Penelitian Ternak di Ciawi. Bogor
Sinurat, A. P. 2000. Penyusunan Ransum Ayam Buras Dan Itik. Pelatihan proyek pe
ngembangan agribisnis peternakan, Dinas Peternakan DKI Jakarta. Jakarta
Syair, N. 1988. Ternak Itik Sebagai Salah Satu Alternative Dalam Upaya Meningkatkan Gizi
Masyarakat Pedesaan. Journal Peternakan dan Lingkungan. 3(2):42-46.
Tillman, A. D. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Lampiran 1. Kandungan Nutrien Bahan Ransum Perlakuan (% BK)
No Kandungan
Bahan Protein ME SK Ca P
% kkal/kg % % %
1. Jagung kuning 8.53 3430 2.64 0.03 0.29
2. Dedak sapu 13 3300 7.5 0.06 0.9
3. Ikan sapu- sapu 42.49 631 10.99 3.9 0.9
4. Konsentrat 37 - 5 12.5 1.5