Oleh
Drh. Farida Nur Yuliati, M.Si.
Prof.Dr.Drh. Ratmawati Malaka, M.Sc.
Drh. Kusumandari Indah Prahesti, M.Si
1
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
GAMBARAN UMUM
Platyhelminthes dibagi menjadi kelas trematoda (cacing daun) dan kelas cestoda
(cacing pita). Nemathelminthes terdiri dari kelas nematoda (cacing gilig) (Saputra
cacing parasit yang bersifat endoparasit. Parasit cacing umumnya dapat ditemukan
hampir diseluruh bagian tubuh inangnya, akan tetapi sebagian besar dapat
dijumpai pada saluran pencernaan. Penyakit parasit ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang terdiri dari kondisi lingkungan, pakan dan cara
sangat besar. Hal ini akibat cacing parasit menyerap zat-zat makanan, menghisap
darah/cairan tubuh, atau makan jaringan tubuh ternak. Cacing parasit juga
menyebabkan kerusakan pada sel-sel epitel usus, sehingga dapat menurunkan ke-
Sumber :
Paraf Asisten :
2
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
mampuan usus dalam proses pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan serta
berkumpulnya parasit dalam jumlah besar di usus atau lambung ternak dapat
ternak dan pemborosan sumber daya peternakan. Kerugian akibat infeksi cacing
pada ternak diantaranya adalah pertumbuhan yang tidak optimal, penurunan berat
badan, reduksi laju konversi pakan, penurunan produksi susu, penurunan daya
Saat ini penggembalaan sapi tidak hanya di lapangan rumput, tetapi juga di
sapi terjangkit penyakit parasit terutama cacing. Telur cacing bisa ditemukan pada
Sumber :
Paraf Asisten :
3
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
pada tempat lembab yang dibawa oleh siput dan lalat. Lalat yang hinggap akan
menyebarkan telur cacing yang terbawa, sedangkan siput akan membawa telur
cacing dalam bentuk serkaria dan ditempelkan pada rerumputan yang lembab
Sumber :
Paraf Asisten :
4
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
METODE PRAKTIKUM
Erlenmeyer, saringan the, batang pengaduk, pipet tetes, toples kecil, ember,
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu feses sapi segar, air
Metode Pengendapan
dengan alat pengaduk, saring lalu masukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu
Sumber :
Paraf Asisten :
5
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
1500 rpm. Lalu buang cairan supranatan dan tambahkan air ke dalam
glass. Tetesi dengan 2-3 tetes NaOH 10% dan ratakan kemudian biarkan selama
3- 5 menit. Setelah itu, tetesi dengan methylen blue 1-2 tetes dan tutup dengan
Metode Apung
dengan 30 ml air kemudian diaduk sampai merata dengan alat pengaduk sampai
Sumber :
Paraf Asisten :
6
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
sedikit larutan garam jenuh sampai cairan naik diatas permukaan tabung
(cembung). Lalu sentuhkan objek glass pada larutan cembung di atas permukaan
tabung selama 5 menit. Kemudian tutup dengan cover glass dan amati dibawah
Sumber :
Paraf Asisten :
7
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Fasciola sp.
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelmints
Kelas : Trematoda
Ordo : Digenea
Family : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Sumber :
Paraf Asisten :
8
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
- Fasciola gigantic
dalam parenkim hati, berkembang dan menetap dalam saluran empedu. Penyakit
tersebut membawa kerugian pada hewan ternak sapi yaitu terjadi fibrosis hepatis,
pertumbuhan, penurunan produksi susu dan berat badan (Majawati, dkk, 2018).
disebabkan oleh infeksi cacing famili Trematoda, yaitu Fasciola sp. Penyakit ini
beriklim sedang dan iklim dingin, sedangkan Fasciola gigantica mendominasi wi-
Sumber :
Paraf Asisten :
9
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
layah penyebaran di daerah beriklim tropis dan subtropis, seperti Afrika dan Asia,
2017).
penting bagi ruminansia. Dua spesies yang paling sering menjadi penyebab
fasciola sp. Kejadian fasciolosis pada ternak ruminansia tersebut berkaitan erat
genus Fasciola seperti fasciola gigantica dan fasciola hepatica, dalam hijauan
Sumber :
Paraf Asisten :
10
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Daur Hidup
Di dalam tubuh hospes yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa
hidup di dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan
feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh
berenang mencari siput Lymnea. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam
siput air tawar (Lymnea rubiginosa). Setelah berada dalam tubuh siput selama 2
segera keluar dari siput dan berenang mencari tanaman yang ada di pinggir
perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah
menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat
bertahan lama pada rumput, tanaman padi, atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan
Sumber :
Paraf Asisten :
11
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
tersebut termakan oleh hewan ruminansia maka kista tersebut dapat menembus
dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi
dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali
(Ditjennak, 2012).
Daur Hidup cacing Fasciola sp. Lebih rumit daripada Strongyloid. Cacing
Fasciola sp. Memerlukan inang anatara berupa siput. Telur cacingtersebut keluar
bersama feses dan dari telur yang menetas keluar mirasidium yang akan masuk ke
sporokista; sporokista akan menghasilkan redia dan redia akan berkembang dan
menghasilkan serkaria. Serkaria akan keluar dari siput dan merupakan fase
infektif. Apabila tidak segera termakan oleh sapi, maka serkaria akan mengkista
dan menempel pada rumput/tanaman air. Infeksi terjadi pada waktu ternak minum
dunia sebagai salah satu faktor penting yang menyebabkan turunnya produktivitas
Sumber :
Paraf Asisten :
12
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
badan, hilangnya karkas atau hati karena mengalami sirosis dan kanker hilangnya
tenaga kerja, hilangnya produksi susu, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk
Fasciola spp mengalami mata rantai siklus perkembangan atau stadium dalam
hidupnya sampai ke saluran empedu. Daur hidup cacing hati dimulai dari telur
yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu. Telur terbawa ke
dalam usus dan meninggalkan tubuh bersama tinja. Mirasidium memiliki silia
(rambut getar) dan aktif berenang untuk mencari induk perantara yang sesuai,
yaitu siput Lymnaea sp., kemudian akan menembus ke dalam tubuh siput. Dalam
waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi sporokista.
8 hari kemudian akan berkembang menjadi redia (1 sporosis tumbuh menjadi 1-6
redia). Redia kemudian siap keluar dari siput, bersama serkaria yang dilengkapi
ekor untuk berenang, dan akan menempel pada benda yang terendam air seperti
Sumber :
Paraf Asisten :
13
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
jerami, rumput atau tumbuhan air yang lain. Tidak lama kemudian serkaria
Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola sp.. Bila metaserkaria
termakan oleh ternak, metaserkaria tersebut akan pecah dan mengeluarkan cacing
muda di dalam usus, kemudian menembus dinding usus dan menuju ke hati.
Dalam waktu ± 16 minggu akan tumbuh menjadi dewasa dan mulai memproduksi
telur sampai metaserkaria hanya dapat terjadi pada lingkungan yang tergenang air
yangbertindak sebagai faktor pembatas Daur Hidup cacing di luar tubuh ternak.
Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi
Sumber :
Paraf Asisten :
14
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Aspek Klinis
dan manusia. Kasus pada manusia pernah dilaporkan terjadi dengan gejala klinis
seperti penyakit hati pada umumnya. Kerugian fasciolosis secara langsung yaitu
Penurunan berat badan terjadi karena efisiensi pakan yang rendah. Kerugian
atau makan jaringan tubuh ternak. Cacing menyebabkan kerusakan pada sel-sel
berperan dalam proses pencernaan. Selain itu berkumpulnya parasit dalam jumlah
besar di usus atau lambung ternak dapat menyebabkan penyumbatan atau obstruks
Sumber :
Paraf Asisten :
15
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
badan ternak, penurunan efesiensi pakan, kematian pada derajat infeksi yang
tinggi terutama pada pedet maupun sapi usia produktif, daya tahan tubuh akibat
anemia yang ditimbulkan, serta kerusakan jaringan terutama hati dan saluran
empedu. Kerugian ekonomi yang utama didasarkan akibat terbuangnya hati baik
sebagian maupun seluruhnya serta biaya pembelian obat-obatan dan tenaga ahli
sebagai tenaga kerja pada ternak potong dan kerja, penurunan produksi susu pada
ternak perah dan bahaya penularan pada manusia (Rozi, dkk, 2015).
menjadi lambat, serta menimbulkan peradangan hati dan empedu. Infeksi ringan
yang berkepanjangan juga mengakibatkan ternak tidak dapat mencapai bobot ba-
Sumber :
Paraf Asisten :
16
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Pencegahan
Upaya untuk pencegahan penyakit akibat cacing hati antara lain (1)
Sanitasi kandang yang baik, (2) Pemberian pakan yang berkualitas dan cukup
antara ternak dewasa dengan muda, (5) Menghindari tempat tempat yang becek,
dan (6) Pemeriksaan kesehatan ternak dan pemberian obat cacing secara teratur.
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan, antara lain memberantas siput secara
di dekat selokan (genangan air) dan rumput jangan diambil dari daerah sekitar
cacing secara teratur. Obat cacing bisa resep dokter dan bisa secara herbal. Obat
cacing dari dokter misalnya albendazole, mebendazol, pirantel pamoat dll. Untuk
Sumber :
Paraf Asisten :
17
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
obat cacing herbal bisa digunakan temu mangga, temulawak, kunyit dll (Widyani,
dkk, 2016).
Salah satu cara mencegah Fasciolis sp ini adalah dengan pemberian obat
gejala klinis yang khas sehingga pencegahan dan pengendalian penyakit ini ma-
sih sangat kurang diperhatikan dan penyakit berkembang menjadi kronis yang
ditandai dengan gangguan fisiologi fungsi hati akibat perubahan struktur jaringan
pengobatan sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun, yaitu pada awal
musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada akhir musim hujan. Jika pen-
Sumber :
Paraf Asisten :
18
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
gobatan yang hanya dilakukan sekali tersebut diduga tidak membunuh cacing hati,
umumnya dilakukan dengan cara pemberian obat secara teratur dan terjadwal,
(Arifin, 2009).
Pengobatan
pengobatan ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama. Pemberian
obat cacing berkala minimal 2 kali dalam 1 tahun, pengobatan pertama dilakukan
pada akhir musim hujan, sehinga selama musim kemarau ternak dalam kondisi
yang baik. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan
(Ditjennak, 2012).
Sumber :
Paraf Asisten :
19
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
100%. Obat cacing sintetik dapat diganti dengan harga yang murah dan mudah
Salah satu tanaman yang berpotensi digunakan sebagai antihelmintik yaitu gamal
menghancurkan telur dan larva cacing. Efek antelmintik albendazol dengan jalan
pada awal musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada akhir musim hujan.
Kombinasi antara sistem pemeliharaan secara intensif dengan pemberian obat ca-
Sumber :
Paraf Asisten :
20
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
cing yang sesuai merupakan kombinasi terbaik untuk mengatasi kasus fasciolosis
Obat cacing yang ideal adalah obat yang dapat berefek vermisidal,
larvasidal, dan ovisidal, namun terapi dengan obat tradisional juga dapat
dilingkungan sekitar. Bagian tanaman ini yang sering digunakan sebagai obat
adalah bagian biji dan daun yang mengandung fitokimia seperti flavonoid,
Sumber :
Paraf Asisten :
21
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Taenia saginata
Taksonomi
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Infrakingdom :Protostomia
Superphylum :Platyzoa
Phylum :Platyhelminthes
Subphylum : Neodermata
Class : Cestoda
Sumber :
Paraf Asisten :
22
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Subclass :Cestodaria
Ordo : Taeniidea
Family : Taeniidae
Taenia merupakan salah satu marga cacing pita yang termasuk kedalam
vertebrata penting yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau. Terdapat
tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu Taenia solium, Taenia saginata, dan
Taenia asiatica. Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena dapat
menyebabkan penyakit pada manusia yang dikenal dengan istilah taeniasis dan
sistiserkosis (Damayanti,2018).
cacing pita (cestoda) dari genus Taenia sp seperti Taenia solium,5,6,7 sedangkan
sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi larva dari Taenia
dari genus Taenia. Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh Dunia dan sering dijum-
Sumber :
Paraf Asisten :
23
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Selain itu, pada kondisi
kebersihan lingkungan yang buruk, makanan sapi dan babi bisa tercemar feses
dari genus Taenia. Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
larva dari Taenia sp. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan parasit zoonotik yang
Daur Hidup
proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar
bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan
menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kem-
Sumber :
Paraf Asisten :
24
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
udian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva
disebut sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi
sedangkan larva dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva
akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid
Daur Hidup cacing Taenia saginata proses terinfeksinya sapi oleh cacing
ini dapat berasal dari feses manusia penderita Taeniasis yang secara tidak sengaja
Bentuk dewasa dari larva ini berupa cacing pita, menyebabkan taeniasis
sebagai inang definitif dan ternak sapi sebagai inang antara. Cacing pita T.
saginata ditemukan pada usus manusia, sementara bentuk larva atau kistanya
yaitu C. bovis menginfeksi otot sapi. Manusia terinfeksi cacing pita bila mengons-
Sumber :
Paraf Asisten :
25
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
onsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau dimasak kurang matang yang
mengandung C. bovis. Sebaliknya, sapi terinfeksi larva cacing pita bila menelan
telur T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses (Dharmawan, dkk, 2018).
Aspek Klinis
mengeluh gangguan bagian usus atau gejala obtruksi intestinal akut. Proglotid
Sering kali penderita datang berobat karena proglotid bergerak sendiri menuju ke
anus. Hal ini biasa terjadi pada siang hari. Patogenesis kerugian yang ditimbulkan
oleh cacing dewasa berlainan pada berbagi spesies. Ukuran dan jumlah cacing
skoleks merupakan jalan untuk invasi bakteri dan strobila dapat menimbulkan
anoreksia, berat badan menurun, sakit perut atau gangguan pencernaan. Dapat
pula menimbulkan mual, muntah, diare atau sembelit. Cacing dapat pula keluar
Sumber :
.
Paraf Asisten :
26
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Gejala penderita taeniasis umumnya yaitu berupa rasa tidak enak pada
pada otot jantung menyebabkan takikardia, sesak napas, sinkop dan gangguan
Pencegahan
salah satunya dengan memutus Daur Hidup parasit dengan menekan sumber
infeksinya pada sapi. Akhir-akhir ini, uji diagnostik serologi yang banyak
Sumber :
Paraf Asisten :
27
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
pengobatan sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun, yaitu pada awal
musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada akhir musim hujan. Jika
pengobatan yang hanya dilakukan sekali tersebut diduga tidak membunuh cacing
penderita taeniasis tidak menunjukkan tanda atau gejala. Kondisi ini baru dapat
diketahui saat melihat keberadaan cacing pada tinja. Cacing pita sering terlihat
dalam bentuk yang datar dan persegi panjang, berwana kuning pucat atau putih,
dengan ukuran seperti sebutir beras. Terkadang cacing juga dapat menyatu
bersama dan membentuk rantai yang panjang. Keberadaan cacing tersebut dapat
berpindah-pindah. Gejala yang dapat muncul pada infeksi cacing pita di usus yak-
Sumber :
Paraf Asisten :
28
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
ni, mual, nafsu makan menurun, diare, sakit perut, ingin mengonsumsi makanan
yang asin, penurunan berat badan akibat gangguan dalam penyerapan makanan,
masuk, mengetahui dengan jelas asal dan kualitas pakan ternak, menjaga ternak
pencegahan yang lebih baik dengan cara tetap melakukan monitoring secara
berkala dan bila perlu melakukan vaksinasi pada babi serta pengobatan cepat
apabila ditemukan penderita taeniasis. Selain itu perlu juga diberikan edukasi atau
tidak membuang air besar di sembarang tempat, serta perbaikan sistem peternakan
Sumber :
Paraf Asisten :
29
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
peternakan, terutama bagi peternak yang masih memelihara babi secara tradisional
sehingga dapat memutus Daur Hidup cacing pita di dearha tersebut (Lingga, dkk,
2020).
Pengobatan
mempunyai waktu khasiat yang cepat namun dapat menimbulkan efek resistensi
pada hewan penderita dan efek residu bagi konsumen (Ahmad, 2011).
parasit termasuk cacing pita dari tubuh hewan. Pemakaian antelmintik yang salah
Sumber :
Paraf Asisten :
30
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
disamping relatif lebih mahal juga dapat menimbulkan resistensi bila digunakan
secara intensif dalam jangka waktu yang lama dan juga menimbulkan efek
samping berupa residu obat pada bahan asal hewan (Candra, dkk, 2008).
Albendazole (ABZ), salah satu anggota dari kelas BZD dengan senyawa
metil karbamat yang efektif melawan nematoda gastrointestinal, cacing pita, dan
cacing hati sehingga obat albendazole dipilih untuk pengobatan dan pencegahan
dkk, 2019).
yang efektif pada hewan akan memutus rantai penularan ke manusia, sehingga da-
Sumber :
Paraf Asisten :
31
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
2012).
Sumber :
Paraf Asisten :
32
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Taenia solium
Taksonomi
spesies Moniezia expansa serta Moniezia benedeni. Selain itu terdapat juga Ordo
Taeniidea dengan Famili Taeniidae dan genus Taenia. Cestoda memiliki tubuh
Sumber :
Paraf Asisten :
33
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Daur Hidup
organ babi (hospes perantara). Cacing dewasa akan melepaskan segmen gravid
dan pecah di dalam usus sehingga telur dapat di temukan dalam tinja penderita
dan dapat bertahan beberapa bulan di lingkungan. Telur yang keluar bersama tinja
jika termakan oleh babi, di dalam usus babi telur akan pecah dan onskofer akan
terlepas. Dalam waktu 60-70 hari onskofer akan berubah menjadi larva
mentah atau kurang matang yang mengandung larva sistiserkus. Di saluran cerna
skoleks mengalami eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isap di dinding
usus. Skoleks akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk
strobila. Dalam waktu 2-3 bulan telah tumbuh menjadi cacing dewasa yang
bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia. Cacing
dewasa melepaskan proglotid gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus
Sumber :
Paraf Asisten :
34
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing
oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes perantara dan
otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Pasca infeksi, dalam waktu 60-70
hari onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksiu Manusia terinfeksi
dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang mengandung
larva sistiserkus Di dalam usus manusia, skoleks akan melekatkan diri dengan alat
isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian
membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing T. solium
menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing T. solium dapat
Aspek Klinis
menimbulkan perasaan tidak enak di perut yang diikuti oleh diare dan sembelit.
Dapat juga menyebabkan nafsu makan berkurang, hingga badan menjadi lemah.
Sumber :
Paraf Asisten :
35
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Cysticercosis biasanya juga tanpa gejala, kecuali bila mengenai alat-alat penting
Infeksi oleh cacing ini disebut taeniasis solium atau penyakit cacing pita
babi. Cacing dewasa menimbulkan sikit iritasi mukosa pada tempat melekatnya
ataupun menimbulkan obstruksi usus. biasanya tanpa gejala klinis, tapi kadang-
kadang menimbulkan gangguan pada perut berupa perasaan tidak enak perut yang
diikuti diare dan sembelit. Dapat pula menimbulkan anoreksi sehingga penderita
akan merasa lemah. terjadi eosinofili ingin (lebih 13%). kadang-kadang terjadi
migrasi proglotid pada anus (paling sering oleh T. saginata), hal ini berguna untuk
mengenali secara dini ternak nya yang sakit. Kasus kematian ternak tertinggi
Sumber :
Paraf Asisten :
36
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Pencegahan
dipengaruhi oleh tradisi kebudayaan dan agama sangat penting. (2). Cara terbaik
untuk mengendalikan cacing pita ini adalah dengan makan daging babi yang
kontaminasi tinja dengan makan daging babi juga memainkan peranan besar
Buanglah kotoran, sampah dan sisa pakan jauh dari lokasi kandang atau dibuat
kompos; c. Jangan menggembalakan kambing pada pagi hari dan pada satu area
sebagai berikut:
1. Mengobati penderita
2. Mengawasi daging babi yang dijual, agar tidak mengandung larva cacing
Sumber :
Paraf Asisten :
37
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
bagian penting dari upaya pembrantasan beberasan. Ini dapat tercapai lewat
pada awal musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada akhir musim hujan.
Pengobatan
Sumber :
Paraf Asisten :
38
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
telur cacing dalam feses sampai 95% dan 71-87% berturut-turut pada hari ke 24
dilaporkan menyebabkan resistensi pada anak sapi dan ruminansia kecil (Astiti,
2011).
kehamilan dan menyusui. Oleh karena itu pentingnya memilih produk yang
digunakan efektif untuk melawan cacing dan larva (Putra, dkk, 2019).
Sumber :
Paraf Asisten :
39
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
semua jenis cacing dan semua stadium tetapi tidak membahayakan bagi hewan
dalam tubuh parasit tetapi tidak mempengaruhi tuan rumah. Salah satu simplisia
nabati yang dikembangkan sebagai obat tradisional adalah biji Labu Merah
(Cucurbita moschata Duch.) yang dalam bentuk ekstrak telah digunakan dalam
beberapa obat antara lain untuk obat anticacing (antelmintik) terutama untuk
cacing pita, ekspektoran dan dapat digunakan sebagai insektisida (Moerfiah, dkk,
2012).
Sumber :
Paraf Asisten :
40
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
yang efektif pada hewan akan meniadakan sumber penularan infeksi ke manusia,
Sumber :
Paraf Asisten :
41
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
PENUTUP
Kesimpulan
saginata dan Taenia solium termasuk ke dalam family Castoda. Daur Hidup
parasit sangat komplek, pendek dan cepat penularannya. Keadaan alam Indonesia
dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi memungkinkan parasit seperti
cacing berkembang dengan baik. Parasit cacing dapat dicegah dengan menjaga
sanitasi kandang agar tetap bersih dan kering, tidak memberi makan ternak rumpt
pada saat pagi hari karena biasanya cacing akan naik ke permukaan tanah,
pemisahan antara ternak dewasa dan muda, dan juga pemeriksaan kesehatan
Saran
dan juga kandang agar parasit tidak menjangkiti ternak kita sehingga daging yang
Sumber :
Paraf Asisten :
42
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R. Z. 2011. Pemanfaatan cendawan dan produknya untuk peningkatan
produksi hasil peternakan. Wartazoa, 21(2): 81-90.
Anggriana, A. 2014. Prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola Sp.) pada sapi bali
di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar.
Biru, D. M. A., A. I.R. Detha dan D. A. Wuri. 2018. Kajian pemahaman peternak
dan pelaku usaha produk pangan asal hewan tentang penyakit zoonosis
dan pencegahannya di Kota Kupang. Jurnal Kajian Veteriner, 6(2) : 85-
111.
Damayanti, W. 2018. Gambaran telur Taenia sp pada feses pekerja, feses babi dan
tanah sekitar peternakan babi di Desa Kenalan Wekas Kopeng Salatiga.
Diploma thesis, UNIMUS.
Sumber :
Paraf Asisten :
43
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Evendi, A. 2016. Prevalensi telur cacing Taenia Saginata pada feses sapi di
Rumah Pemotongan Hewan. Mahakam Medical Laboratory Technology
Journal, 1(1): 21-30.
Sumber :
Paraf Asisten :
44
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Firdayana. 2016. Identifikasi telur cacing parasit pada feses sapi (Bos Sp.) yang
digembalakan di sekitar tempat pembuangan akhir sampah (Tpas)
Tamangapa Makassar. Skripsi. Fakultas Sains Dan Teknologi Uin
Alauddin Makassar.
Sumber :
Paraf Asisten :
45
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Karnila. 2018. Identifikasi cacing Fasciola hepatica pada hati sapi di Rumah
Potong Hewan Anggoeya Kecamatan Poasia Kota Kendari. Politeknik
Kesehatan Kendari. Kendari.
Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Luhulima, N. 2017. Prevelensi telur Taenia sp. Pada kotoran sapi di Desa Kopeng
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. KTI. Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Sumber :
Paraf Asisten :
46
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Munadi. 2011. Tingkat infeksi cacing hati kaitannya dengan kerugian ekonomi
sapi potong yang disembelih di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks-
Kresidenan Banyumas. Agripet, 11(1): 45-50.
Nezar, M. R., R. Susanti dan N. Setiati. 2014. Jenis cacing pada feses sapi di TPA
Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Unnes
Journal of Life Science, 3(2): 93-102.
Pali, E. dan N. Hariani. 2019. Prevalensi dan intensitas telur cacing parasit
gastrointestinal pada ternak babi (Sus scrofa domesticus L.). Jurnal
Bioterdidik, 7(4): 69-80.
Sumber :
Paraf Asisten :
47
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Purwaningsih, Noviyanti dan R. Pratama Putra. 2017. Distribusi dan faktor risiko
fasciolosis pada sapi bali di Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari, Provinsi
Papua Barat. Acta Veterinaria Indonesiana, 5(2): 120-126.
Rozi, F., J. Handoko dan Rahmi Febriyanti. 2015. Infestasi cacing hati (Fasciola
sp.) dan cacing lambung (Paramphistomum sp.) pada sapi bali dewasa di
Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. Jurnal Sain Veteriner, 33(1):
8-15.
Sumber :
Paraf Asisten :
48
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Suriawanto, N., M. M. Guli dan Miswan. 2014. Deteksi cacing pita (Taenia
solium L.) melalui uji feses pada masyarakat Desa Purwosari Kecamatan
Torue Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Biocelebes, 8(1): 17-
28.
Susanty, E. 2018. Taeniasis solium dan sistiserkosis pada manusia. JIK, 12(1): 1-
6.
Suteky, T., Dwatmadji dan E. Soetrisno. 2017. Respon kelompok ternak sidodadi
di kepahiang bengkulu terhadap pelatihan pembuatan medicated blok yang
mengandung antelmentika alami untuk mencegah helminthiasis. Jurnal
Sain Peternakan Indonesia, 12(4): 424-431.
Wardani, A. K. 2017. Keberadaan telur cacing pita (Taenia saginata) melalui uji
feses sapi bali (Bos sondaicus) di Kecamatan Kaliwates serta
pemanfaatannya sebagai lembar kerja siswa (LKS). Skripsi. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember. Jember.
Sumber :
Paraf Asisten :
49
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak
Winarso, A., F. Satrija dan Y. Ridwan. 2015. Faktor risiko dan prevalensi infeksi
Toxocara vitulorum pada sapi potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten
Bojonegoro. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20 (2): 85-90.
Zalizar, L. 2017. Helminthiasis saluran cerna pada sapi perah. JUrnal Ilmu-Ilmu
Peternakan, 27(2): 1-7.
Sumber :
Paraf Asisten :
50