Anda di halaman 1dari 50

HELMINTHOLOGI

Nama : Adrianti Maharani


NIM : I011 18 1510
Kelompok : XIII (Tiga Belas)
Asisten : Retno Meitia, S. Pt.

Oleh
Drh. Farida Nur Yuliati, M.Si.
Prof.Dr.Drh. Ratmawati Malaka, M.Sc.
Drh. Kusumandari Indah Prahesti, M.Si

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI DAN KESEHATAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

GAMBARAN UMUM

Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing,

berdasarkan taksonomi dibagi menjadi nemathelminthes dan platyhelminthes.

Platyhelminthes dibagi menjadi kelas trematoda (cacing daun) dan kelas cestoda

(cacing pita). Nemathelminthes terdiri dari kelas nematoda (cacing gilig) (Saputra

dan Putra, 2019).

Penyakit yang paling umum pada ternak peliharaan, disebabkan oleh

cacing parasit yang bersifat endoparasit. Parasit cacing umumnya dapat ditemukan

hampir diseluruh bagian tubuh inangnya, akan tetapi sebagian besar dapat

dijumpai pada saluran pencernaan. Penyakit parasit ini dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor yang terdiri dari kondisi lingkungan, pakan dan cara

pemeliharaannya (Pali dan Hariani, 2019).

Kerugian akibat infeksi parasit khususnya cacing pada ternak di Indonesia

sangat besar. Hal ini akibat cacing parasit menyerap zat-zat makanan, menghisap

darah/cairan tubuh, atau makan jaringan tubuh ternak. Cacing parasit juga

menyebabkan kerusakan pada sel-sel epitel usus, sehingga dapat menurunkan ke-

Sumber :

Paraf Asisten :

2
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

mampuan usus dalam proses pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan serta

produksi enzim-enzim yang berperan dalam proses pencernaan. Selain itu

berkumpulnya parasit dalam jumlah besar di usus atau lambung ternak dapat

menyebabkan penyumbatan atau obstruksi sehingga proses pencernaan makanan

terganggu (Akoso, 1996).

Cacing parasit telah dinyatakan sebagai penyebab penurunan produktivitas

ternak dan pemborosan sumber daya peternakan. Kerugian akibat infeksi cacing

pada ternak diantaranya adalah pertumbuhan yang tidak optimal, penurunan berat

badan, reduksi laju konversi pakan, penurunan produksi susu, penurunan daya

tahan tubuh, penurunan daya reproduksi, penurunan mutu karkas, pengafkiran

organ yang terinfeksi, hingga mengurangi nilai estetika penampilan hewan.

Dampak ekonomis yang tinggi tersebut menyebabkan infeksi cacing parasite

(helminthosis) digolongkan sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia

sejak 2013 (Winarso, dkk, 2015).

Saat ini penggembalaan sapi tidak hanya di lapangan rumput, tetapi juga di

Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Penggembalaan di TPA dapat menyebabkan

sapi terjangkit penyakit parasit terutama cacing. Telur cacing bisa ditemukan pada

Sumber :

Paraf Asisten :

3
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

pada tempat lembab yang dibawa oleh siput dan lalat. Lalat yang hinggap akan

menyebarkan telur cacing yang terbawa, sedangkan siput akan membawa telur

cacing dalam bentuk serkaria dan ditempelkan pada rerumputan yang lembab

(Nezar, dkk, 2014).

Sumber :

Paraf Asisten :

4
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi egar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

METODE PRAKTIKUM

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu alat penggerus,

Erlenmeyer, saringan the, batang pengaduk, pipet tetes, toples kecil, ember,

timbangan dan mikroskop.

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu feses sapi segar, air

panas, garam dan tissue roll.

Metode Pengendapan

Gambar 1. Cara Kerja Metode Pengendapan

Pertama-tama mencampur 2 gram feses dengan 28-30 ml air dan diaduk

dengan alat pengaduk, saring lalu masukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu

Sumber :

Paraf Asisten :

5
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

biarkan mengendap selama 30 menit atau untuk mempercepat pengendapan dapat

dilakukan sentrifugasi meggunakan sentrifuge selama 3-5 menit dengan kecepatan

1500 rpm. Lalu buang cairan supranatan dan tambahkan air ke dalam

endapannya. Lalu ambil sedikit endapannya kemudian letakkan di atas objek

glass. Tetesi dengan 2-3 tetes NaOH 10% dan ratakan kemudian biarkan selama

3- 5 menit. Setelah itu, tetesi dengan methylen blue 1-2 tetes dan tutup dengan

deck glass. Kemudian amati dibawah mikroskop dan tulis hasilnya.

Metode Apung

Gambar 2. Cara Kerja Metode Apung.

Langkah pertama campurkan 2 gram feses (kambing, sapi, dan ayam)

dengan 30 ml air kemudian diaduk sampai merata dengan alat pengaduk sampai

Sumber :

Paraf Asisten :

6
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

homogen. Setelah homogen saring dengan menggunakan saringan teh dan

masukkan ke dalam tabung sentrifus. Setelah itu, tabung dimasukkan ke dalam

sentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Kemudian menambahkan

sedikit larutan garam jenuh sampai cairan naik diatas permukaan tabung

(cembung). Lalu sentuhkan objek glass pada larutan cembung di atas permukaan

tabung selama 5 menit. Kemudian tutup dengan cover glass dan amati dibawah

mikroskop dengan pembesaran 10 x 10.

Sumber :

Paraf Asisten :

7
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Fasciola sp.

Tabel 1. Hasil Pengamatan dari Fasciola sp.


No Gambar Manual Internet
1

Sumber : Data Primer, 2020 Sumber : Anggriana, 2014.

Taksonomi

Menurut Kusumamiharja (1992) klasifikasi cacing hati sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelmints

Kelas : Trematoda

Ordo : Digenea

Family : Fasciolidae

Genus : Fasciola

Sumber :

Paraf Asisten :

8
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

Spesies :- Fasciola hepatica

- Fasciola gigantic

Fasciolosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit cacing

trematoda Fasciola gigantica maupun Fasciola hepatica, termasuk kelas

Trematoda filum Platyhelmintes dan genus Fasciola.2 Cacing tersebut bermigrasi

dalam parenkim hati, berkembang dan menetap dalam saluran empedu. Penyakit

tersebut membawa kerugian pada hewan ternak sapi yaitu terjadi fibrosis hepatis,

peradangan kronis pada saluran empedu, selanjutnya terjadi gangguan

pertumbuhan, penurunan produksi susu dan berat badan (Majawati, dkk, 2018).

Fasciolosis merupakan salah satu penyakit parasit penting yang

disebabkan oleh infeksi cacing famili Trematoda, yaitu Fasciola sp. Penyakit ini

menginfeksi ternak ruminansia, beberapa satwa langka, bahkan manusia, melalui

berbagai kontaminasi dan telah tersebar di seluruh dunia dengan daerah

penyebaran yang berbeda. Fasciola hepatica terutama ditemukan di wilayah

beriklim sedang dan iklim dingin, sedangkan Fasciola gigantica mendominasi wi-

Sumber :

Paraf Asisten :

9
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

layah penyebaran di daerah beriklim tropis dan subtropis, seperti Afrika dan Asia,

termasuk India, Pakistan, dan Bangladesh serta Indonesia (Purwaningsih, dkk,

2017).

Fasciolosis merupakan sebuah plant borne trematode zoonosis yang

penting bagi ruminansia. Dua spesies yang paling sering menjadi penyebab

fasciolosis adalah Fasciola gigantica dan F. hepatica. Namun, telah ditemukan

juga F. intermedia yang dikarakterisasi berdasarkan morfologinya. Cacing F.

gigantica ditemukan di sebagian besar benua, terutama di daerah tropis, sementara

F. hepatica memiliki distribusi di seluruh dunia tetapi mendominasi di zona

beriklim sedang (Prasetya, dkk, 2019).

Fasciolosis merupakan merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing

fasciola sp. Kejadian fasciolosis pada ternak ruminansia tersebut berkaitan erat

dengan pencemaran metaserkaria, yang merupakan larva infektif cacing trematoda

genus Fasciola seperti fasciola gigantica dan fasciola hepatica, dalam hijauan

pakan dan air minum ternak (Wibisono dan Solfaine, 2015).

Sumber :

Paraf Asisten :

10
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

Daur Hidup

Di dalam tubuh hospes yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing dewasa

hidup di dalam hati dan bertelur di usus, kemudian telur keluar bersama dengan

feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh

permukaan tubuhnya yang disebut mirasidium. Larva mirasidium kemudian

berenang mencari siput Lymnea. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam

siput air tawar (Lymnea rubiginosa). Setelah berada dalam tubuh siput selama 2

minggu, mirasidium akan berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai

kemampuan reproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh

siput, sehingga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya sporosis melakukan

paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian redia melakukan paedogenesis

menjadi serkaria. Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan

segera keluar dari siput dan berenang mencari tanaman yang ada di pinggir

perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah

menempel, metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat

bertahan lama pada rumput, tanaman padi, atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan

Sumber :

Paraf Asisten :

11
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

tersebut termakan oleh hewan ruminansia maka kista tersebut dapat menembus

dinding usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan menjadi

dewasa selama beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini terulang kembali

(Ditjennak, 2012).

Daur Hidup cacing Fasciola sp. Lebih rumit daripada Strongyloid. Cacing

Fasciola sp. Memerlukan inang anatara berupa siput. Telur cacingtersebut keluar

bersama feses dan dari telur yang menetas keluar mirasidium yang akan masuk ke

dalam tubuh siput.Mirasidium di dalam tubuh siput berkembang menjadi

sporokista; sporokista akan menghasilkan redia dan redia akan berkembang dan

menghasilkan serkaria. Serkaria akan keluar dari siput dan merupakan fase

infektif. Apabila tidak segera termakan oleh sapi, maka serkaria akan mengkista

dan menempel pada rumput/tanaman air. Infeksi terjadi pada waktu ternak minum

air yang mengandung metaserkaria atau memakan rumput/tanaman air yang

mengandung metaserkaria (Zalizar, 2017).

Fasciolosis telah diakui oleh pemerintah maupun masyarakat di seluruh

dunia sebagai salah satu faktor penting yang menyebabkan turunnya produktivitas

Sumber :

Paraf Asisten :

12
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

ternak. Di Indonesia, secara ekonomi kerugian yang diakibatkan mencapai

Rp513,6 miliar/tahun. Kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan bobot

badan, hilangnya karkas atau hati karena mengalami sirosis dan kanker hilangnya

tenaga kerja, hilangnya produksi susu, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk

pengobatan (Purwaningsih, dkk, 2017).

Daur Hidup parasit sangat komplek, pendek dan cepat penularannya.

Fasciola spp mengalami mata rantai siklus perkembangan atau stadium dalam

hidupnya sampai ke saluran empedu. Daur hidup cacing hati dimulai dari telur

yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu. Telur terbawa ke

dalam usus dan meninggalkan tubuh bersama tinja. Mirasidium memiliki silia

(rambut getar) dan aktif berenang untuk mencari induk perantara yang sesuai,

yaitu siput Lymnaea sp., kemudian akan menembus ke dalam tubuh siput. Dalam

waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi sporokista.

8 hari kemudian akan berkembang menjadi redia (1 sporosis tumbuh menjadi 1-6

redia). Redia kemudian siap keluar dari siput, bersama serkaria yang dilengkapi

ekor untuk berenang, dan akan menempel pada benda yang terendam air seperti

Sumber :

Paraf Asisten :

13
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

jerami, rumput atau tumbuhan air yang lain. Tidak lama kemudian serkaria

melepaskan ekornya dan membentuk kista yang disebut metaserkaria.

Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola sp.. Bila metaserkaria

termakan oleh ternak, metaserkaria tersebut akan pecah dan mengeluarkan cacing

muda di dalam usus, kemudian menembus dinding usus dan menuju ke hati.

Dalam waktu ± 16 minggu akan tumbuh menjadi dewasa dan mulai memproduksi

telur (Karnila, 2018).

Lingkungan yang kotor dan adanya genangan air dapat menyebabkan

tempat siput untuk perkembangbiakan mirasidium. Perkembangan dari stadium

telur sampai metaserkaria hanya dapat terjadi pada lingkungan yang tergenang air

yangbertindak sebagai faktor pembatas Daur Hidup cacing di luar tubuh ternak.

Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi

memungkinkan parasit seperti cacing berkembang dengan baik dan ditambahkan

bahwa sifat hermaprodit Fasciola sp. juga akan mempercepat perkembangbiakan

cacing hati tersebut (Siswanto, dkk, 2018).

Sumber :

Paraf Asisten :

14
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

Aspek Klinis

Fasciolosis merupakan penyakit zoonosa yang dapat menular dari hewan

dan manusia. Kasus pada manusia pernah dilaporkan terjadi dengan gejala klinis

seperti penyakit hati pada umumnya. Kerugian fasciolosis secara langsung yaitu

kematian, penurunan berat badan, kehilangan karkas, kerusakan hati, penurunan

produksi susu 10-20% dan biaya yang dipergunakan untuk pengobatan.

Penurunan berat badan terjadi karena efisiensi pakan yang rendah. Kerugian

secara langsung yaitu penyingkiran organ hati, rendahnya kualitas daging,

pertumbuhan sapi yang terhambat, produktifitas menurun. Penurunan berat karkas

karena fasciolosis dapat mencapai 5,8% (Fatmawati dan Herawati, 2018).

Akibat cacing menyerap zat-zat makanan, menghisap darah/cairan tubuh,

atau makan jaringan tubuh ternak. Cacing menyebabkan kerusakan pada sel-sel

epitel usus sehingga dapat menurunkan kemampuan usus dalam proses

pencernaan dan penyerapan zat-zat makanan serta produksi enzim-enzim yang

berperan dalam proses pencernaan. Selain itu berkumpulnya parasit dalam jumlah

besar di usus atau lambung ternak dapat menyebabkan penyumbatan atau obstruks

Sumber :

Paraf Asisten :

15
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

sehingga proses pencernaan makanan terganggu (Kamilah dan Wulandari, 2019).

Infeksi cacing hati menyebabkan terjadinya laju pertumbuhan dan berat

badan ternak, penurunan efesiensi pakan, kematian pada derajat infeksi yang

tinggi terutama pada pedet maupun sapi usia produktif, daya tahan tubuh akibat

anemia yang ditimbulkan, serta kerusakan jaringan terutama hati dan saluran

empedu. Kerugian ekonomi yang utama didasarkan akibat terbuangnya hati baik

sebagian maupun seluruhnya serta biaya pembelian obat-obatan dan tenaga ahli

seperti dokter hewan (Hambal, dkk, 2013).

Kerugian akibat penyakit cacing, antara lain: penurunan berat badan,

penurunan kualitas daging, kulit dan jerohan, penurunan produktivitas ternak

sebagai tenaga kerja pada ternak potong dan kerja, penurunan produksi susu pada

ternak perah dan bahaya penularan pada manusia (Rozi, dkk, 2015).

Kerugian ekonomi akibat penyakit ini bisa berupa akibat infeksi

menahun.Ternak yang terinfeksi keadaan gizinya berkurang,pertumbuhannya

menjadi lambat, serta menimbulkan peradangan hati dan empedu. Infeksi ringan

yang berkepanjangan juga mengakibatkan ternak tidak dapat mencapai bobot ba-

Sumber :

Paraf Asisten :

16
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

dan optimal, kondisi tubuh melemah, nafsu makan menurun, pembengkakan

limfonodus mandibularis, perut busung, bahkan dapat menyebabkan kematian

(Kardena, dkk, 2016).

Pencegahan

Upaya untuk pencegahan penyakit akibat cacing hati antara lain (1)

Sanitasi kandang yang baik, (2) Pemberian pakan yang berkualitas dan cukup

jumlahnya, (3) Menghindari kepadatan ternak dalam kandang, (4) Pemisahan

antara ternak dewasa dengan muda, (5) Menghindari tempat tempat yang becek,

dan (6) Pemeriksaan kesehatan ternak dan pemberian obat cacing secara teratur.

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan, antara lain memberantas siput secara

biologik, misalnya dengan pemeliharaan itik/bebek, ternak jangan digembalakan

di dekat selokan (genangan air) dan rumput jangan diambil dari daerah sekitar

selokan (Munadi, 2011).

Salah satu upaya pencegahan helminthiasis adalah dengan pemberian obat

cacing secara teratur. Obat cacing bisa resep dokter dan bisa secara herbal. Obat

cacing dari dokter misalnya albendazole, mebendazol, pirantel pamoat dll. Untuk

Sumber :

Paraf Asisten :

17
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

obat cacing herbal bisa digunakan temu mangga, temulawak, kunyit dll (Widyani,

dkk, 2016).

Salah satu cara mencegah Fasciolis sp ini adalah dengan pemberian obat

cacing dan memperhatikan rumput yang dimakan ternak. Pengcegahan dan

pengobatan terhadap penyakit Fasciolosis sangat penting dilakukan terhadap

ternak-ternak, disamping juga memberikan penyuluhan kepada para peternak

bagaimana mengenali gejala-gejala klinis fascioliosis. Semakin cepat gejala-gejala

terdeteksi maka semakin cepat pengobatan dapat dilaksanakan, sehingga dapat

menghindari kerugian peternak.akan tetapi, Fasciolosis tidak memperlihatkan

gejala klinis yang khas sehingga pencegahan dan pengendalian penyakit ini ma-

sih sangat kurang diperhatikan dan penyakit berkembang menjadi kronis yang

ditandai dengan gangguan fisiologi fungsi hati akibat perubahan struktur jaringan

hati (Wariata, dkk, 2019).

Pemberian obat cacing merupakan tindakan pencegahan untuk ternak.

pengobatan sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun, yaitu pada awal

musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada akhir musim hujan. Jika pen-

Sumber :

Paraf Asisten :

18
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

gobatan yang hanya dilakukan sekali tersebut diduga tidak membunuh cacing hati,

melainkan cacing-cacing saluran pencernaan sehingga penggunaan obat tidak

tepat (Aryandrie, dkk, 2015).

Untuk menanggulangi dan mencegah berkembangnya penyakit fasciolois

umumnya dilakukan dengan cara pemberian obat secara teratur dan terjadwal,

serta perlunya kebersihan lingkungan terutama ditujukan untuk mencegah atau

menghambat berkembang biaknya hewan perantara yakni siput (Lymnea sp.)

(Arifin, 2009).

Pengobatan

Obat yang dapat digunakan untuk mengobati fasciolasis yaitu

menggunakan Albendazol, Praziquentel dan Nitroxinil dengan dosis 10mg,

pengobatan ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama. Pemberian

obat cacing berkala minimal 2 kali dalam 1 tahun, pengobatan pertama dilakukan

pada akhir musim hujan, sehinga selama musim kemarau ternak dalam kondisi

yang baik. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan

untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati

(Ditjennak, 2012).

Sumber :

Paraf Asisten :

19
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapis segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

Salah satu pengobatan Fasciolis adalah menggunakan Nitoxynil yang

dapat memberikan efikasi atau respon maksimal terhadap Fasciola sp sebesar

100%. Obat cacing sintetik dapat diganti dengan harga yang murah dan mudah

didapat, yaitu dengan pengembangan antihelmintik dari tanaman obat (herbal).

Salah satu tanaman yang berpotensi digunakan sebagai antihelmintik yaitu gamal

(Gliricidia sepium) (Omran dan Ahmad, 2015).

Dengan Albendazole mempunyai khasiat membunuh cacing,

menghancurkan telur dan larva cacing. Efek antelmintik albendazol dengan jalan

menghambat pengambilan glukosa oleh cacing sehingga produksi ATP sebagai

sumber energi untuk mempertahankan hidup cacing berkurang, hal ini

mengakibatkan kematian cacing karena kurangnya energi untuk mempertahankan

hidup (Endrakasih, 2018).

Pemberian obat cacing merupakan tindakan pencegahan kecacingan pada

ternak. pengobatan sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun, yaitu

pada awal musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada akhir musim hujan.

Kombinasi antara sistem pemeliharaan secara intensif dengan pemberian obat ca-

Sumber :

Paraf Asisten :

20
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp.

cing yang sesuai merupakan kombinasi terbaik untuk mengatasi kasus fasciolosis

(Valinata, dkk, 2020).

Obat cacing yang ideal adalah obat yang dapat berefek vermisidal,

larvasidal, dan ovisidal, namun terapi dengan obat tradisional juga dapat

dipertimbangkan karena selain aman untuk digunakan juga mudah ditemukan

dilingkungan sekitar. Bagian tanaman ini yang sering digunakan sebagai obat

adalah bagian biji dan daun yang mengandung fitokimia seperti flavonoid,

alkaloid, fenol, tannin, dan saponin. Pengobatan fascioliosis dapat menggunakan

Albendazole, Nitroxynile, Meniclopholan, Carbontetrachlorida, dan Bithionol

(Maulana, dkk, 2015).

Sumber :

Paraf Asisten :

21
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

Taenia saginata

Tabel 2. Hasil Pengamatan Taenia saginata


No Gambar Manual Internet
2

Sumber : Data Primer, 2020 Sumber : Firdayana,2016.

Taksonomi

Klasifikasi ilmiah dari cacing pita (Taenia saginata) adalah sebagai

berikut (Wardani, 2017) :

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Bilateria

Infrakingdom :Protostomia

Superphylum :Platyzoa

Phylum :Platyhelminthes

Subphylum : Neodermata

Class : Cestoda

Sumber :

Paraf Asisten :

22
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

Subclass :Cestodaria

Ordo : Taeniidea

Family : Taeniidae

Taenia merupakan salah satu marga cacing pita yang termasuk kedalam

kerajaan Animalia, Filum Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Bangsa

Cyclophyllidea, suku Taeniidae. Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit

vertebrata penting yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau. Terdapat

tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu Taenia solium, Taenia saginata, dan

Taenia asiatica. Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena dapat

menyebabkan penyakit pada manusia yang dikenal dengan istilah taeniasis dan

sistiserkosis (Damayanti,2018).

Taeniasis adalah infeksi pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh

cacing pita (cestoda) dari genus Taenia sp seperti Taenia solium,5,6,7 sedangkan

sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi larva dari Taenia

sp biasanya disebabkan oleh larva Taenia solium (Susantry, 2018).

Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing pita (cestoda)

dari genus Taenia. Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh Dunia dan sering dijum-

Sumber :

Paraf Asisten :

23
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

pai dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging sapi dan

daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Selain itu, pada kondisi

kebersihan lingkungan yang buruk, makanan sapi dan babi bisa tercemar feses

manusia yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit tersebut (Suriawanto, 2014).

Taeniasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing pita (cestoda)

dari genus Taenia. Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

larva dari Taenia sp. Sistiserkosis dan taeniasis merupakan parasit zoonotik yang

menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat namun kurang mendapat

perhatian dari pemerintah dan masyarakat sehingga digolongkan sebagai penyakit

terabaikan (neglected disease) (Tamonob, dkk, 2019).

Daur Hidup

Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat

proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar

bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan

berkembang menjadi onkoster (telur yang mengandung larva). Larva onkoster

menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kem-

Sumber :

Paraf Asisten :

24
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

udian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva

cacing T. saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang

disebut sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi

mentah atau setengah matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung

sedangkan larva dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva

akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid

yang dapat menghasilkan telur (Estuningsih, 2009)

Daur Hidup cacing Taenia saginata proses terinfeksinya sapi oleh cacing

ini dapat berasal dari feses manusia penderita Taeniasis yang secara tidak sengaja

termakan oleh sapi tersebut bersama rumput. Sehingga tidak menutup

kemungkinan sapi telah terinfeksi cacing Taenia saginata melalui pencemaran

feses (Evendi, 2016).

Bentuk dewasa dari larva ini berupa cacing pita, menyebabkan taeniasis

pada manusia. Untuk kelangsungan hidupnya, cacing pita memerlukan manusia

sebagai inang definitif dan ternak sapi sebagai inang antara. Cacing pita T.

saginata ditemukan pada usus manusia, sementara bentuk larva atau kistanya

yaitu C. bovis menginfeksi otot sapi. Manusia terinfeksi cacing pita bila mengons-

Sumber :

Paraf Asisten :

25
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat,02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

onsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau dimasak kurang matang yang

mengandung C. bovis. Sebaliknya, sapi terinfeksi larva cacing pita bila menelan

telur T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses (Dharmawan, dkk, 2018).

Aspek Klinis

Taeniasis saginata umumnya tanpa gejala berarti, kadang-kadang

mengeluh gangguan bagian usus atau gejala obtruksi intestinal akut. Proglotid

dapat menyumbat appediks menimbulkan apendisitis, diare, berat badan menurun.

Sering kali penderita datang berobat karena proglotid bergerak sendiri menuju ke

anus. Hal ini biasa terjadi pada siang hari. Patogenesis kerugian yang ditimbulkan

oleh cacing dewasa berlainan pada berbagi spesies. Ukuran dan jumlah cacing

menentukan efek sistemik dan luasnyairitasi pada usus. Tempat perlekatan

skoleks merupakan jalan untuk invasi bakteri dan strobila dapat menimbulkan

obstruksi usus yang bersifat sementara (Luhulima, 2017).

Gejala klinis penyakit taeniasis adalah gangguan syaraf, insomia,

anoreksia, berat badan menurun, sakit perut atau gangguan pencernaan. Dapat

pula menimbulkan mual, muntah, diare atau sembelit. Cacing dapat pula keluar

seperti lembaran pita ketika buang air besar (Khairiyah, 2011).

Sumber :
.
Paraf Asisten :

26
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

Gejala penderita taeniasis umumnya yaitu berupa rasa tidak enak pada

perut, gangguan pencernaan, diare, konstipasi, sakit kepala dan anemia.

Pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran peningkatan eosinofil. Sistiserkosis

pada otak (neurosistiserkosis) dengan gejala gangguan motorik, kelainan saraf

sensorik maupun gangguan mental penderita. Sistiserkosis pada bola mata

menyebabkan nyeri bola mata, gangguan pengelihatan dan kebutaan. Sedangkan

pada otot jantung menyebabkan takikardia, sesak napas, sinkop dan gangguan

irama jantung (Sandy, 2014).

Pencegahan

Upaya penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis sebenarnya tidak sulit,

salah satunya dengan memutus Daur Hidup parasit dengan menekan sumber

infeksinya pada sapi. Akhir-akhir ini, uji diagnostik serologi yang banyak

dikembangkanuntuk dipakai mendeteksi keberadaan sistiserkosis pada hewan

adalah enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Uji tersebut ternyata

memberi kemudahan dalam penggunaan reagen dan prosedur pengerjaannya

(Lubis, dkk, 2014).

Sumber :

Paraf Asisten :

27
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

Pemberian obat cacing merupakan tindakan pencegahan untuk ternak.

pengobatan sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun, yaitu pada awal

musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada akhir musim hujan. Jika

pengobatan yang hanya dilakukan sekali tersebut diduga tidak membunuh cacing

hati, melainkan cacing-cacing saluran pencernaan sehingga penggunaan obat tidak

tepat (Aryandrie, dkk, 2015).

Faktor penting dalam pencegahan penyakit pada manusia adalah

memperbaiki kualitas lingkungan dan tingkat higiene perseorangan pada

penduduk yang tinggal di pedesaan. Selain itu, penting melakukan pemeliharaan

babi terkonsentrasi di lokasi yang terpisah dengan pemukiman. Sebagian besar

penderita taeniasis tidak menunjukkan tanda atau gejala. Kondisi ini baru dapat

diketahui saat melihat keberadaan cacing pada tinja. Cacing pita sering terlihat

dalam bentuk yang datar dan persegi panjang, berwana kuning pucat atau putih,

dengan ukuran seperti sebutir beras. Terkadang cacing juga dapat menyatu

bersama dan membentuk rantai yang panjang. Keberadaan cacing tersebut dapat

berpindah-pindah. Gejala yang dapat muncul pada infeksi cacing pita di usus yak-

Sumber :

Paraf Asisten :

28
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

ni, mual, nafsu makan menurun, diare, sakit perut, ingin mengonsumsi makanan

yang asin, penurunan berat badan akibat gangguan dalam penyerapan makanan,

dan pusing (Willy, 2018).

Kontrol yang perlu dilakukan di tingkat peternak dalam kaitannya dengan

zoonosis adalah: monitoring kesehatan ternak secara rutin, memastikan status

kesehatan personel kandang, memastikan status kesehatan ternak yang akan

masuk, mengetahui dengan jelas asal dan kualitas pakan ternak, menjaga ternak

dan lingkungan peternakan tetap bersih (Biru, dkk, 2018).

Untuk mengendalikan kasus sisitiserkosis pada perlu tetap dilakukan

pencegahan yang lebih baik dengan cara tetap melakukan monitoring secara

berkala dan bila perlu melakukan vaksinasi pada babi serta pengobatan cepat

apabila ditemukan penderita taeniasis. Selain itu perlu juga diberikan edukasi atau

penyuluhan kepada masyarakat berupa pemberian pendidikan kesehatan terhadap

penyakit sistiserkosis dan taeniasis, yaitu dengan mengonsumsi daging yang

benar-benar matang, peningkatan higiene perseorangan di lingkungan dengan cara

tidak membuang air besar di sembarang tempat, serta perbaikan sistem peternakan

Sumber :

Paraf Asisten :

29
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

peternakan, terutama bagi peternak yang masih memelihara babi secara tradisional

sehingga dapat memutus Daur Hidup cacing pita di dearha tersebut (Lingga, dkk,

2020).

Pengobatan

Pengendalian penyakit umumnya dapat dilakukan dengan bahan kimiawi,

obat tradisional, manajemen dan mikroba sebagai pilihan pengobatan

danpengendalian. Mikroba dapat digunakan sebagai salah satu agen kontrol

biologis atau sebagai penghasil antibiotika, probiotik dan imunostimulan.

Penggunaan antibiotika, antelmintika yang dibuat dari bahan kimia meski

mempunyai waktu khasiat yang cepat namun dapat menimbulkan efek resistensi

pada hewan penderita dan efek residu bagi konsumen (Ahmad, 2011).

Pemberian antelmintik dapat digunakan untuk mengeluarkan cacing

parasit termasuk cacing pita dari tubuh hewan. Pemakaian antelmintik yang salah

dalam pengendalian parasit cacing menyebabkan timbulnya populasi parasit yang

resisten pada hewan terhadap antelmintik (Intannia, dkk, 2015).

Pengendalian parasit cacing yang umum dilakukan adalah dengan

perbaikan manajemen peternakan yang dikombinasikan dengan pemberian obat

Sumber :

Paraf Asisten :

30
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

cacing (antelmintika) secara berkala. Antelmintika yang digunakan saat ini

sebagian besar merupakan antelmintika sintetis. Penggunaan obat sintetis

disamping relatif lebih mahal juga dapat menimbulkan resistensi bila digunakan

secara intensif dalam jangka waktu yang lama dan juga menimbulkan efek

samping berupa residu obat pada bahan asal hewan (Candra, dkk, 2008).

Albendazole (ABZ), salah satu anggota dari kelas BZD dengan senyawa

metil karbamat yang efektif melawan nematoda gastrointestinal, cacing pita, dan

cacing hati sehingga obat albendazole dipilih untuk pengobatan dan pencegahan

penyakit parasit pada kegiatan pengabdian masyarakat ini. Obat-obat tersebut

tersedia secara luas di sebagian besar sistem pelayanan kesehatan sebagai

pengobatan kuratif dari kasus kasus klinis selama bertahun-tahun (Hendrawan,

dkk, 2019).

Tindakan pengobatan dengan cara vaksinasi terhadap infeksi C. bovis di

daerah endemis sangat menentukan pengendalian penyakit iniPemberian vaksin

yang efektif pada hewan akan memutus rantai penularan ke manusia, sehingga da-

Sumber :

Paraf Asisten :

31
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia saginata

pat memutus Daur Hidup parasit. Vaksinasi tersebut sekaligus dapat

mengeliminasi agen penyakit yang berdampak buruk pada manusia (Dharmawan,

2012).

Sumber :

Paraf Asisten :

32
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

Taenia solium

Tabel 3. Hasil Pengamatan dari Taenia solium


No Gambar Manual Internet
3

Sumber : Data Primer, 2020 Sumber : Firdayana,2016.

Taksonomi

Taksonomi dan klasifikasi cacing cestoda yang banyak ditemukan pada

sapi adalah Kingdom Animalia, Filum Platyhelminthes, Kelas Eucestoda, dan

Ordo Anoplocephalidea dengan Famili Anoplocephalidae, Genus Moniezia, dan

spesies Moniezia expansa serta Moniezia benedeni. Selain itu terdapat juga Ordo

Taeniidea dengan Famili Taeniidae dan genus Taenia. Cestoda memiliki tubuh

panjang, pipih dorsoventral, bersegmen, tanpa rongga badan maupun saluran

pencernaan. Panjang tubuhnya beberapa milimeter hingga beberapa meter

menurut jenisnya (Firdayana, 2016).

Sumber :

Paraf Asisten :

33
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

Daur Hidup

Manusia merupakan definitivehost cacing pita dewasa, sedangkan larva

cacing (cisticercus cellulosae) terdapat dalam bentuk kista di dalam jaringan

organ babi (hospes perantara). Cacing dewasa akan melepaskan segmen gravid

dan pecah di dalam usus sehingga telur dapat di temukan dalam tinja penderita

dan dapat bertahan beberapa bulan di lingkungan. Telur yang keluar bersama tinja

jika termakan oleh babi, di dalam usus babi telur akan pecah dan onskofer akan

terlepas. Dalam waktu 60-70 hari onskofer akan berubah menjadi larva

sistiserkus.Infeksi pada manusia terjadi karena mengkomsumsi daging babi

mentah atau kurang matang yang mengandung larva sistiserkus. Di saluran cerna

skoleks mengalami eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isap di dinding

usus. Skoleks akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk

strobila. Dalam waktu 2-3 bulan telah tumbuh menjadi cacing dewasa yang

mampu menghasilkan telur untuk meneruskan daur hidupnya (Sandy, 2014).

Cacing T. solium yang berparasit di bagian proksimal jejunum dapat

bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia. Cacing

dewasa melepaskan proglotid gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus

Sumber :

Paraf Asisten :

34
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing

yang matur mengkontaminasi tanaman rumput ataupun peternakan dan termakan

oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes perantara dan

mengakibatkan lepasnya onkosfer. Onkosfer akan menembus dinding usus, masuk

ke dalam aliran darah, kemudian menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama

otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak. Pasca infeksi, dalam waktu 60-70

hari onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksiu Manusia terinfeksi

dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang mengandung

larva sistiserkus Di dalam usus manusia, skoleks akan melekatkan diri dengan alat

isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian

membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing T. solium

menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing T. solium dapat

memproduksi 50.000 sampai 60.000 telur setiap hari (Tolan, 2011).

Aspek Klinis

Taeniasis solium biasanya tanpa gejala, tapi kadang-kadang dapat

menimbulkan perasaan tidak enak di perut yang diikuti oleh diare dan sembelit.

Dapat juga menyebabkan nafsu makan berkurang, hingga badan menjadi lemah.

Sumber :

Paraf Asisten :

35
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

Cysticercosis biasanya juga tanpa gejala, kecuali bila mengenai alat-alat penting

seperti otak dan jantung. Cysticercosis sering ditemukan sebagai benjolan di

bawah kulit dan gejalanya tergantung kondisi (Safar, 2010).

Infeksi oleh cacing ini disebut taeniasis solium atau penyakit cacing pita

babi. Cacing dewasa menimbulkan sikit iritasi mukosa pada tempat melekatnya

ataupun menimbulkan obstruksi usus. biasanya tanpa gejala klinis, tapi kadang-

kadang menimbulkan gangguan pada perut berupa perasaan tidak enak perut yang

diikuti diare dan sembelit. Dapat pula menimbulkan anoreksi sehingga penderita

akan merasa lemah. terjadi eosinofili ingin (lebih 13%). kadang-kadang terjadi

migrasi proglotid pada anus (paling sering oleh T. saginata), hal ini berguna untuk

diagnosis (Natadisastra dan Ridad, 2014 ).

Hasil analisis situasi menunjukkan bahwa belum optimumnya

produktivitas ternak salah satunyakurangnya pengetahuan peternak dalam

mengenali secara dini ternak nya yang sakit. Kasus kematian ternak tertinggi

ditandai dengan ternak yang kurus, anoreksia, pembengkakan diwajah, bulu

kusam, gejala tersebut merupakan indikasi ternak terserang penyakit parasit

(Suteky, dkk, 2017).

Sumber :

Paraf Asisten :

36
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan yakni : (1). Kehidupan penduduk yang

dipengaruhi oleh tradisi kebudayaan dan agama sangat penting. (2). Cara terbaik

untuk mengendalikan cacing pita ini adalah dengan makan daging babi yang

dimasak sepenuhnya. (3). Kebersihan pribadi dan pencegahan terhadap

kontaminasi tinja dengan makan daging babi juga memainkan peranan besar

dalam pencegahan mendapatkan parasit (Widodo, 2013).

Pencegahannya yaitu : a. Jagalah kandang tetap bersih dan kering; b.

Buanglah kotoran, sampah dan sisa pakan jauh dari lokasi kandang atau dibuat

kompos; c. Jangan menggembalakan kambing pada pagi hari dan pada satu area

(usahakan berpindah-pindah); d. Jangan berikan rumput yang masih berembun; e.

Sabitlah rumput 2-3 cm di atas permukaan tanah (Prabowo, 2010).

Untuk mencegah infeksi dengan Taenia soliumdilakukan dengan cara

sebagai berikut:

1. Mengobati penderita

2. Mengawasi daging babi yang dijual, agar tidak mengandung larva cacing

3. Memasak daging babi sampai di atas 50 Celcius selama 30 menit, untuk

Sumber :
Paraf Asisten :

37
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

membunuh kista larva cacing yang terdapat di dalam daging.

4. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak menggunakan tinja manusia

sebagai makanan babi (Soedarto. 2012).

Pengetahuan, partisipasi, dan perilaku masyarakat adalah kunci

keberhasilan pemberantasannya. Dukungan aktif dari masyarakat merupakan

bagian penting dari upaya pembrantasan beberasan. Ini dapat tercapai lewat

kampanye publik melalui berbagai saluran (Dharmawan, dkk, 2013).

Pemberian obat cacing merupakan tindakan pencegahan kecacingan pada

ternak. pengobatan sebaiknya dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun, yaitu

pada awal musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada akhir musim hujan.

Kombinasi antara sistem pemeliharaan secara intensif dengan pemberian obat

cacaing yang sesuai merupakan kombinasi terbaik untuk mengatasi kasus

fasciolosis (Valinata, dkk, 2020).

Pengobatan

Penanganan dan pengendalian dampak helminthiasis dapat dilakukan

dengan melalui perbaikan manajeman pemeliharaan dan dengan pengobatan me-

Sumber :

Paraf Asisten :

38
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

nggunakan preparat anthelmintik seperti Albendazole, Ivermectin, Fenbendazole

dan Piperazine. Pengendalian menggunakan preparat anthelmintik seperti

ivermectin, doramectin, albendazole dan fenbendazole dapat mengurangi jumlah

telur cacing dalam feses sampai 95% dan 71-87% berturut-turut pada hari ke 24

dan 64 setelah pemberian.Penggunaan anthelmintik yang berlebihan telah

dilaporkan menyebabkan resistensi pada anak sapi dan ruminansia kecil (Astiti,

2011).

Infestasi telur cacing merupakan masalah yang sangat besar dalam

mengelola peternakan sapi khususnya peternakan rakyat. Terapi terhadap infeksi

cacing dapat diberikan beberapa benzimidazoles misalnya Albendazole dan

fenbendazole atau levmisol, piperazina, pyrantel atau ivermectin untuk

mengendalikan infeksi. Larva juga bertanggung jawab terhadap infeksi selama

kehamilan dan menyusui. Oleh karena itu pentingnya memilih produk yang

digunakan efektif untuk melawan cacing dan larva (Putra, dkk, 2019).

Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh parasit sebagian dari

peternak mencegahnya dengan memberikan obat cacing dan vitamin. Pengen-

Sumber :

Paraf Asisten :

39
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

dalian penyakit cacing pada ternak umumnya dilakukan dengan menggunakan

obat cacing, diantaranya adalah benzimidazol, levamisol, dan ivermectin.

Dalam menentukan obat yang digunakan harus mempunyai toksisitas terhadap

semua jenis cacing dan semua stadium tetapi tidak membahayakan bagi hewan

dan manusia, caranya pemberiannya mudah, harganya murah serta mudah

didapat (Ginting, dkk, 2019).

Antelmintik adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau

mengurangi cacing dari dalam tubuh manusia atau hewan. Sebagaimana

penggunaan antibiotika, antelmintik ditujukan pada target metabolik yang terdapat

dalam tubuh parasit tetapi tidak mempengaruhi tuan rumah. Salah satu simplisia

nabati yang dikembangkan sebagai obat tradisional adalah biji Labu Merah

(Cucurbita moschata Duch.) yang dalam bentuk ekstrak telah digunakan dalam

beberapa obat antara lain untuk obat anticacing (antelmintik) terutama untuk

cacing pita, ekspektoran dan dapat digunakan sebagai insektisida (Moerfiah, dkk,

2012).

Sumber :

Paraf Asisten :

40
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Taenia solium

Pengendalian dapat juga dilakukan dengan pemberian obat cacing yang

efektif seperti praziquantel. Strategi lain yang perlu dipertimbangkan adalah

melakukan vaksinasi pada sapi sebagai sumber penularnya. Pemberian vaksin

yang efektif pada hewan akan meniadakan sumber penularan infeksi ke manusia,

sehingga dapat memutus Daur Hidup parasit. Dengan demikian, pelaksanaan

vaksinasi pada hewan, sekaligus dapat mengeliminasi agen penyakit yang

berdampak buruk pada manusia (Dharmawan, dkk, 2015).

Sumber :

Paraf Asisten :

41
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

PENUTUP

Kesimpulan

Fasciola sp masuk kedalam family trematoda. Sedangkan Taenia

saginata dan Taenia solium termasuk ke dalam family Castoda. Daur Hidup

parasit sangat komplek, pendek dan cepat penularannya. Keadaan alam Indonesia

dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi memungkinkan parasit seperti

cacing berkembang dengan baik. Parasit cacing dapat dicegah dengan menjaga

sanitasi kandang agar tetap bersih dan kering, tidak memberi makan ternak rumpt

pada saat pagi hari karena biasanya cacing akan naik ke permukaan tanah,

pemisahan antara ternak dewasa dan muda, dan juga pemeriksaan kesehatan

ternak dan pemberian obat cacing yang teratur.

Saran

Sebaiknya dalam beternak kita dapat menjaga kebersihan dari lingkungan

dan juga kandang agar parasit tidak menjangkiti ternak kita sehingga daging yang

nantinya akan dikonsumsi terbebas dari telur cacing.

Sumber :

Paraf Asisten :

42
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R. Z. 2011. Pemanfaatan cendawan dan produknya untuk peningkatan
produksi hasil peternakan. Wartazoa, 21(2): 81-90.

Akoso, B., T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta.

Anggriana, A. 2014. Prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola Sp.) pada sapi bali
di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar.

Aryandriea D. F., P. E. Santosa dan S. Suharyatib. 2015. Tingkat infestasi cacing


hati pada sapi bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 3(3): 134-139.

Astiti, L. G. S., T. Panjaitan dan L. Wirajaswadi. 2011. Uji efektivitas preparat


anthelmintik pada sapi bali di Lombok Tengah. Jurnal Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, 14(2): 77-83.

Biru, D. M. A., A. I.R. Detha dan D. A. Wuri. 2018. Kajian pemahaman peternak
dan pelaku usaha produk pangan asal hewan tentang penyakit zoonosis
dan pencegahannya di Kota Kupang. Jurnal Kajian Veteriner, 6(2) : 85-
111.

Candra, A. A., Y. Ridwan dan E. B. Retnani . 2008. Potensi anthelmintik akar


tanaman putri malu (Mimosa pudica L.) terhadap Hymenolepis nana pada
mencit. Media Peternakan, 31(1): 29-35.

Damayanti, W. 2018. Gambaran telur Taenia sp pada feses pekerja, feses babi dan
tanah sekitar peternakan babi di Desa Kenalan Wekas Kopeng Salatiga.
Diploma thesis, UNIMUS.

Sumber :

Paraf Asisten :

43
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

Dharmawan, N. S., I M. Dwinata, I M. Damriyasa, I. B. M. Oka, K. Swastika, L.


D. Anggreni dan N. M. Astawa. 2015. Imunitas protektif mencit terhadap
cairan kista Taenia saginata. Jurnal Veteriner, 16(2): 174-180.

Dharmawan, N. S., I M. Damriyasa, I G. Mahardika. 2018. Seroprevalensi Bovine


Cysticercosis pada sapi bali di Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Jurnal
Veteriner, 19(2): 161-168.

Dharmawan, N. S., K. Swastika, I. M. Putra, T. Wandra, P. Sutisna, M. Okamoto


dan A. Ito. 2012. Present situation and problems of Cysticercosis in animal
in Bali and Papua. Jurnal Veteriner, 13(2): 152-160.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyakit


Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Jakarta: Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan
Hewan.

Endrakasih, E. 2018. Efektifitas albendazole terhadap Fasciola sp pada


peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan Gegerbitung Kabupaten
Sukabumi. Jurnal Agroekoteknologi dan Agribisnis, 2(1): 1-8.

Estuningsih, S. E. 2009. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis


parasiter. WARTAZOA, 19(2): 84-92.

Evendi, A. 2016. Prevalensi telur cacing Taenia Saginata pada feses sapi di
Rumah Pemotongan Hewan. Mahakam Medical Laboratory Technology
Journal, 1(1): 21-30.

Fatmawati, M. dan Herawati. 2018. Analisa epidemiologi kasus helmintiasis pada


hewan kurban di Kota Batu. Indonesia Journal of Halal, 1(2): 125-129.

Sumber :
Paraf Asisten :

44
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

Firdayana. 2016. Identifikasi telur cacing parasit pada feses sapi (Bos Sp.) yang
digembalakan di sekitar tempat pembuangan akhir sampah (Tpas)
Tamangapa Makassar. Skripsi. Fakultas Sains Dan Teknologi Uin
Alauddin Makassar.

Ginting, R. B., M. Z. Ritonga, A. Putra dan T. G. Pradana. 2019. Program


manajemen pengobatan cacing pada ternak di kelompok tani ternak
Kesuma Maju Desa Jatikesuma Kecamatan Namorambe. Journal Of
Animal Science And Agronomy Panca Budi, 4(1): 43-50.

Hambal, M., A. Sayuti dan A. Dermawan. 2013. Tingkat kerentanan Fasciola


gigantica pada sapi dan kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh
Besar. Jurnal Medika Veterinaria,7(1),: 49-53.

Hendrawan, V. F., A. Firmawati, D. Wulansari, Y. Oktanella dan G. C. Agustina.


2019. Pemberian vitamin sebagai penanganan gangguan reproduksi sapi
kelompok ternak Desa Babakan, Kecamatan Karangploso, Kabupaten
Malang. Jurnal Nutrisi Ternak Tropis, 2(1): 63-69.

Intannia, D., R. Amelia, L. Handayani, dan H. B. Santoso. 2015. Pengaruh


pemberian ekstrak etanol dan ekstrak n-heksan daun ketepeng cina (Cassia
Alata. L) terhadap waktu kematian cacing pita ayam (Raillietina Sp.)
secara in vitro. Jurnal Pharmascience, 2(2): 24 – 30.

Kamilah, S. N. dan D. A. Wulandari. 2019. Jenis-jenis parasit internal pada feses


sapi (Bos sp.) di Desa Lempuing Kota Bengkulu. Jurnal Konservasi
Hayati, 10(1) : 23-29.

Kardena, I M., I. B. O. Winaya, Elyda, I D. M. Adhiwitana, A. A. A. M. Adi, I K.


Berata. 2016. Gambaran histopatologi selaput lendir kantung empedu sapi
bali yang terinfeksi cacing Fasciola gigantica. Jurnal Veteriner, 17(1) :
16-21.

Sumber :

Paraf Asisten :

45
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

Karnila. 2018. Identifikasi cacing Fasciola hepatica pada hati sapi di Rumah
Potong Hewan Anggoeya Kecamatan Poasia Kota Kendari. Politeknik
Kesehatan Kendari. Kendari.

Khairiyah. 2011. Zoonosis dan upaya pencegahannya (kasus Sumatera Utara).


Jurnal Litbang Pertanian, 30(3): 117-124.

Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Lingga, A., I. B. N. Swacita dan I K. Suada. 2020. Seroprevalensi sistiserkosis


pada babi di Wilayah Wamena, Papua. Buletin Veteriner Udayana, 12(1):
67-73.

Lubis, H. A., I M. Damriyasa dan N. S. Dharmawan. 2014. Crude antigen


cystisercus Taenia Saginata isolat bali untuk deteksi sistiserkosis pada
sapi. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan, 2(1): 13-21.

Luhulima, N. 2017. Prevelensi telur Taenia sp. Pada kotoran sapi di Desa Kopeng
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. KTI. Universitas
Muhammadiyah Semarang.

Majawati, E. S. dan A. E. Matatula. 2018. Identifikasi telur cacing Fasciola


hepatica pada sapi di Peternakan Sapi Dearah Tangerang. J. Kedokt
Meditek Volume, 24(68): 60-66.

Maulana G. K., I. B. M. Oka, I. M. Dwinata. 2015. Aktivitas vermisidal dan


ovisidal daun biduri (Calotropis Spp.) terhadap cacing Fasciola Gigantica
Secara In-vitro. Indonesia Medicus Veterinus, 4(4) : 314-320.

Sumber :

Paraf Asisten :

46
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

Moerfiah, Muztabadihardja dan Y. Winardiana. 2012. Efektivitas ekstrak etanol


biji labu merah (Cucurbita moschata) sebagai antelmintik terhadap cacing
Ascaridia Galli secara in vitro. Ekologia, 12(1): 12-18

Munadi. 2011. Tingkat infeksi cacing hati kaitannya dengan kerugian ekonomi
sapi potong yang disembelih di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks-
Kresidenan Banyumas. Agripet, 11(1): 45-50.

Natadisastra dan D. Ridad. 2014. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ


Tubuh yang Diserang. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Nezar, M. R., R. Susanti dan N. Setiati. 2014. Jenis cacing pada feses sapi di TPA
Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Unnes
Journal of Life Science, 3(2): 93-102.

Omran, E. K. dan N. S. Ahmad. 2015. Effect of Nitroxynil (Fasciolid) on Adult


Fasciola gigantica and Fasciola hepatica in Infected Cows. Parasitologists
United Journal, 8(2): 107.

Pali, E. dan N. Hariani. 2019. Prevalensi dan intensitas telur cacing parasit
gastrointestinal pada ternak babi (Sus scrofa domesticus L.). Jurnal
Bioterdidik, 7(4): 69-80.

Prabowo, A. 2010. Budidaya Ternak Kambing (Materi Pelatihan Agribisnis bagi


KMPH). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Sumatera Selatan.

Prasetya, M. R., N. D. R. Lastuti, S. Koesdarto, L. T. Suwanti, Kusnoto dan M.


Yunus. 2019. Morfometri dan ultrastruktur cacing Fasciola gigantica pada
Sapi Donggala dan Sapi Bali di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Jurnal Veteriner, 20(2): 171-178.

Sumber :

Paraf Asisten :

47
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

Purwaningsih, Noviyanti dan R. Pratama Putra. 2017. Distribusi dan faktor risiko
fasciolosis pada sapi bali di Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari, Provinsi
Papua Barat. Acta Veterinaria Indonesiana, 5(2): 120-126.

Putra, A., R. B. Ginting, M. Z. Ritonga dan T. G. Pradana. 2019. Program


pemberantasan penyakit cacing pada ternak sapi dan adi Desa Jatikesuma
Kecamatan Namorambe. Journal Of Animal Science And Agronomy
Panca Budi, 4(1): 1-7.

Rozi, F., J. Handoko dan Rahmi Febriyanti. 2015. Infestasi cacing hati (Fasciola
sp.) dan cacing lambung (Paramphistomum sp.) pada sapi bali dewasa di
Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. Jurnal Sain Veteriner, 33(1):
8-15.

Safar, R. 2010. Parasitologi Kedokteran : Protozologi, Helmintologi, Entomologi,


Cetakan I. Yrama Widya. Bandung.

Saputra, H. M. dan M. R. D. Putra. 2019. Jenis-jenis parasit internal pada feses


kambing (Capra sp.) di Pasar Kambing Kota Bengkulu. Jurnal Konservasi
Hayati, 10(2): 56-63.

Sandy, S. 2014. Kajian aspek epidemiologi taeniasis dan sistiserkosis di Papua.


Jurnal Penyakit Bersumber Binatang, 2(1): 1 – 14.

Siswanto, M. Hartono, P. E. Santosa, S. Suharyati, H. Larasati dan M. M. P Sirat.


Prevalensi cacing hati sapi perah pada paeternakan rakyat di Provinsi
Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 6(3): 167-172.

Soedarto. 2012. Penyakit Zoonosis Manusia Ditularkan Oleh Hewan. Sagung


Seto. Jakarta.

Sumber :

Paraf Asisten :

48
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

Suriawanto, N., M. M. Guli dan Miswan. 2014. Deteksi cacing pita (Taenia
solium L.) melalui uji feses pada masyarakat Desa Purwosari Kecamatan
Torue Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Biocelebes, 8(1): 17-
28.

Susanty, E. 2018. Taeniasis solium dan sistiserkosis pada manusia. JIK, 12(1): 1-
6.

Suteky, T., Dwatmadji dan E. Soetrisno. 2017. Respon kelompok ternak sidodadi
di kepahiang bengkulu terhadap pelatihan pembuatan medicated blok yang
mengandung antelmentika alami untuk mencegah helminthiasis. Jurnal
Sain Peternakan Indonesia, 12(4): 424-431.

Tamonob, M. P. A., A. I. R. Detha dan D. A. Wuri. 2019. Detetksi sistiserkosis


pada babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Kota So’e. Jurnal
Veteriner Nusantara, 2(2): 1-9.

Valinata, S., J. Susilo, B. Pramono, T. F. Karmil, A. Hamzah, F. A. Gani, M.


Jalaluddin, A. Harris. 2020. Incidency and fasciolosis risk factors in cows
in Pringsewu District, November 2019-January 2020. Jurnal Medika
Veterinaria, 14 (1):74-80

Wardani, A. K. 2017. Keberadaan telur cacing pita (Taenia saginata) melalui uji
feses sapi bali (Bos sondaicus) di Kecamatan Kaliwates serta
pemanfaatannya sebagai lembar kerja siswa (LKS). Skripsi. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember. Jember.

Wariata, W., M. Sriasih, A. Rosyidi, M. Ali dan S. N. Depamede. 2019. Infeksi


dan tingkat penyebaran parasit zoonosis cacing Hati (Fasciola sp.) pada
sapi di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Peternakan Indonesia, 5(2): 86 – 92.

Sumber :

Paraf Asisten :

49
Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak

Hari/ Tanggal : Jumat, 02 Oktober 2020


Materi : Helmintologi
Nama Sampel : Feses sapi segar
Hasil Pengamatan : Fasciola sp., Taenia saginata dan Taenia solium

Wibisono, F. J. dan R. Solfaine. 2015. Insiden hewan qurban sebagai vektor


penular penyakit cacing hati (Fasciolosis) di Surabaya. Jurnal Kajian
Veteriner Desember, 3(2) : 139-146.

Widodo, H. 2013. Parasitilogi Kedokteran. Medika. Yogyakarta.

Widyani, R., M. H. Hermawan, F. D. Perwitasarin dan I. Herawati. 2016.


Efektifitas organic supplement energizer (ose) terhadap helminthiasis pada
sapi potong. Jurnal Ilmu Ternak, 16(2): 71-77.

Willy, A. 2018. Metode Penelitian Terpadu Sistem Informasi Pemodelan Teoritis,


Pengukuran dan Pengujian Statis. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Winarso, A., F. Satrija dan Y. Ridwan. 2015. Faktor risiko dan prevalensi infeksi
Toxocara vitulorum pada sapi potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten
Bojonegoro. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 20 (2): 85-90.

Zalizar, L. 2017. Helminthiasis saluran cerna pada sapi perah. JUrnal Ilmu-Ilmu
Peternakan, 27(2): 1-7.

Sumber :

Paraf Asisten :

50

Anda mungkin juga menyukai