Anda di halaman 1dari 27

MONITORING EVALUASI BIOLOGI

FASCIOLA HEPATICA

KELOMPOK 6 :

1. Dwika Pascha ( 151411713003 )


2. Nur Hidayah Romadhoni ( 151411713018 )
3. M. Mauluddin Eka Putra ( 151411713031 )
4. Nur Fitriani ( 151411713039 )
5. Novi Virda Damayanti ( 151411713042 )

PRODI D – III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA


FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-NYA sehingga dapat terselesaikannya tugas makalah kelompok

dengan judul “FASCIOLA HEPATICA” sebagai salah satu persyaratan

akademis dalam rangka menyelesaikan mata kuliah Monitoring dan Evaluasi

Biologi Semester V di Program Pendidikan Diploma III Program Studi

Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Vokasi Universitas Airlangga.

Makalah ini berisi mengenai karateristik cacing fasciola hepatica

secara etiologi, epidemiologi, pengenalan penyakit, serta pengendalian dan

pencegahan akibat cacing fasciolosis yang seringb terjadi pada hewan ternak.

Menyadari bahwa makalah yang tersusun ini jauh dari kesempurnaan,

kritik, dan saran sangatlah kami harapkan. Semoga makalah ini berguna baik

bagi diri kami maupun pihak lain yang memanfaatkan.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 5
1.3 Tujuan ................................................................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................................ 5
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi ............................................................................................................... 7
2.2 Epidemiologi ...................................................................................................... 9
2.2.1 Siklus Hidup ............................................................................................ 9
2.2.2 Spesies Rentan ...................................................................................... 11
2.2.3 Pengaruh Lingkungan ........................................................................... 11
2.2.4 Sifat Penyakit ........................................................................................ 12
2.2.5 Cara Penularan ...................................................................................... 12
2.2.6 Distribusi Penyakit ................................................................................ 13
2.3 Pengenalan Penyakit ......................................................................................... 14
2.3.1 Gejala Klinis.......................................................................................... 14
2.3.2 Patologi ................................................................................................. 15
2.3.3 Diagnosa................................................................................................ 16
2.4 Prosedur Operasional Standar Pemotongan Hewan di RPH ............................ 17
2.5 Pencegahan dan Pengendalian .......................................................................... 22
2.5.1 Pengobatan ............................................................................................ 22
2.5.2 Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian, dan Pemberantasan ................. 23
3 BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan ........................................................................................................... 26
3.2 Saran ................................................................................................................. 26
4 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 27

3
1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fasciolosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh

parasite cacing trematoda Fasciola Gigantica maupun Fasciola

Hepatica,termasuk kelas Trematoda, filum Platyhelmintes dan genus

Fasciola. Cacing tersebut bermigrasi dalam parenkim hati, berkembang dan

menetap dalam saluran empedu. Jenis cacing Fasciola yang ada di Indonesia

adalah Fasciola Gigantica, dan siput yang bertindak sebagai inang antara

adalah Lymnaea Rubiginosa. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa siput

L. Rubiginosa merupakan siput yang resisten terhadap infeksi mirasidium

Fasciola Hepatica.

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah rasa sakit

di daerah hati, sakit perut, diae, demam, dan anemia. Pada sapi dan domba,

proses terpenting adalah terjadinya fibrosis hepatis dan peradangan kronis

pada saluran empedu. Selanjutnya terjadi gangguan pertumbuhan,

penurunan produksi susu dan berat badan. Gejala klinis yang menonjol

adalah adanya edema di rahang bawah (submandibularis) pada hewan

rumanansia yang menderita fasciolosis kronis.

Berdasaarkan hasil penelitian, dan berbagai hewan rumanansia

yang ada di Indonesia, telah dilaporkan bahwa domba ekor tipis merupakan

domba yang resisten terhadap infeksi fasciolosis dan daya resistemsi

tersebut dapat diturunkan secara genetic. Di Indonesia, secara ekonomis

kerugiannya dapat mencapai 514 milyar per tahun. Kerugian ini dapat

4
berubah kematian, penurunan berat badan, hilangnya tenaga kerja,

penurunan produksi susu 10-20 %, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk

pengobatan.

Berdasarkan adanya uraian latar belakang tersebut, Trematoda

yaitu Fasciola Hepatica yang mengakibatkan banyak kerugian secara

finansial . Maka dari itu, perlu kita mengetahui seperti apa morfologi dari

cacing fasciolosis tersebut, hingga bagaimana cara pencegahan dan

pengendalian supaya tidak tertular dan meminimalkan cara penularan yang

disebabkan cacing Fasciola Hepatica.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana siklus hidup cacing Fasciola Hepatica?

2. Bagaimana mengenali penyakit fasciolosis terhadap hewan ternak?

3. Bagaimana cara pencegahan dan pengendalian meminimalisir

adanya cacing Fasciola Hepatica ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui karateristik cacing Fasciola Hepatica

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan mempelajari etiologi cacing Fasciola Hepatica.

2. Mengetahui dan mempelajari cacing Fasciola Hepatica secara

epidemiologi.

5
3. Mengetahui dan mempelajari manifestasi klinis cacing Fasciola

Hepatica

4. Mengetahui dan mempelajari pengenalan penyakit mulai dari

gejala klinis hingga diagnos cacing Fasciola Hepatica

5. Mengetahui dan mempelajari pencegahan dan pengendalian

cacing Fasciola Hepatica

6
2 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi

Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ±

30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut

terdapat batil isap mulut yang besarnya ±1 mm, sedangkan pada bagian dasar

kerucu terdapat batil isap perut yang besarnya ±1,6 mm. Saluran pencernaan

bercabang – cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin

juga bercabang – cabang (Sutanto et al, 2008).

Gambar 2.1 Fasciola Hepatica


( Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Fasciolosis)

Gambar 2.2 Fasciola hepatica


(Sumber : CDC, 2012)

7
Telur cacing ini berukuran 140x90 mikron, dikeluarkan melalui

saluran empedu ke dalam tinja dalam keadaan belum matang. Telur menjadi

matang dalam air selama 9-15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian

menetas dan mirasidium keluar mencari keong air (Lymnaea spp). Serkaria

keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-

tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi

metaserkaria.

Gambar 2.3. Telur Fasciola hepatica


(Sumber : CDC, 2012)

Bila tertelan, metaserkaria menetas dalam usus halus binatang yang

memakan tumbuhan air tersebut, menembus dinding usus dan bermigrasi dalam

ruang peritoneum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan

menjadi dewasa (Sutanto et al, 2008).

Telur Fasciola Hepatica dapat bertahan selama 2-3 bulan dalam

keadaan yang lembab dalam feses dan cepat mengalami kerusakan apabila

berada dalam keadaan yang kering. Larva cacing Fasciola Hepatica dapat

8
bertahan selama 10-18 bulan dalam tubuh siput. Sedangkan metasekaria yang

menempel pada rerumputan mampu bertahan hidup antara 3-6 bulan apa ila

berada di dalam tempat yang teduh dengan lingkungan yang lembab.

Selanjutnya metaserkaria tersebut akan cepat mengalami kematian bila berada

di tempat yang panas dan kering. Cacing dewasa yang terdapat di dalam hati

hewan dapat hidup selama 1-3 tahun.

2.2 Epidemiologi

2.2.1 Siklus Hidup

Di dalam tubuh inang utama yaitu ternak, ikan, dan

manusia, cacing dewasa hidup di dalam hati dan bertelur di usus,

kemudian telur keluar bersama dengan feses. Telur menetas

menjadi larva dengan cilia (rambut getar) di seluruh permukaan

tubuhnya (mirasidium). Larva mirasidium kemudian berenag

menacri siput Lymnea.

Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh

siput air tawar Lymnea Rubiginosa. Mirasidium setelah berada di

dalam tubuh siput selama 2 minggu berubah menjadi sporosis.

Larva tersebut mempunyai kemampuan reproduksi secara asexual

dengan cara paedogenesis di dalam tubuh siput, sehinga terbentuk

larva yang banyak. Selanjutnya larva sporosis melakukan

paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian larva redia

melakukan paedogenesis menjadi serkaria.

9
Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria, dan

segera keluar dari siput bereang mencari tanaman yang ada di

pinggir perairan misalnya rumput, tanaman padi atau tumbuhan air

lainnya. Setelah menempel, metaserkaria akan membungkus diri

dan menjadi kista yang daoat bertahan lama pada rumput, tanaman

padi atau tumbuhan air. Apabila tumbuhan tersebut termakan oleh

hewan rumanansia, maka kista tersebut dapat menembus dinding

usus, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan

mejadi dewasa dalam beberapa bulan sampai bertelur dan siklus ini

terulang kembali.

Gambar 2.4 Daur Hidup Fasciola Hepatica

(Sumber : CDC, 2012)

10
2.2.2 Spesies Rentan

Spesies rentan adalah sapi, kambing, domba, babi, kelinci,

gajah, kuda, anjing, kucing, keledai, jerapah, zebra, kangguru, dan

manusia. PAda inang yang tidak biasa, seperti manusia dan kuda,

cacing Fasciola dapat ditemukan dalam paru-paru, di bawah kulit

atau pada organ lain.

hewan muda lebih rentan dibandingkan dengan hewan

dewasa. Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat kronik, sedangkan

pada domba dan kambing bersifat akut. Selama cacing muda

bermigrasi di dalam parenkim hati, dapat menyebabkan kematian

karena adanya kegagalan fungsi hati dan terjadinya perdarahan.

Dampak in feksi Fasciola Gigantica diketahui lebih berat dan lebih

infektif pada kambing dibandingkan pada domba.

2.2.3 Pengaruh Lingkungan

Infeksi cacing trematoda pada rumanansia biasanya

berhubungan erat dengan tanaman semiakuatik karena siklus

hidupnya mutlak memerlukan inang antara berupa siput air tawar.

Lingkungan yang basah merupakan tempat yang sesuai

untuk perkembangan Fasciola Hepatica karena perlu semang antara

siput air tawar jenis Lymnea. Telur cacing Fasciola yang masih

bercampur dengan feses tidak akan berkembang menjadi embrio.

Suhu udara optimal untuk perkembangan embrio berkisar anatar

22-300C.

11
Mirasidium yang keluar dari telur sangat aktif berenang

mencari inang antara yang cocok, yaitu siput Lymnea Rubiginosa,

dan daya tahan hidup mirasidium tidak lebih dari 40 jam. Setelah

mirasidium masuk ke dalam tubuh siput akan berkembang menjadi

sporosista dan redia. Selanjutnya redia memproduksi serkaria yang

akan keluar dari tubuh siput mulai hari ke 40 sampai hari ke 55.

Setelah serkaria keluar dari tubuh siput, makan akan

kehilangan ekornya dan mulai terbentuk substansia kental yang

menutupi seluruh permukaan tubuh (kista). Kista Fasciola

Gigantica lebih banyak ditemukan menempel pada rumput,

tanaman padi atau tumbuhan air lainnya sekitar 2 cm di bawah

permukaan air. Selain itu, diketahui bahwa serkaria lebih menyujai

tumbuhan air yang berwarna hijau.

2.2.4 Sifat Penyakit

Penyakit bersifat endemis dengan prevalensi pada hewan

rumanansia besar dapat mencapai 60% dan pada domba 20%.

2.2.5 Cara Penularan

Sumber utama penularan fasciolosis pada manusia adalah

dari kebiasaan masyarakat yang gemar mengkonsumsi

tanaman/tumbuhan air, seperti selada air dalam keadaan mentah

yang tercemar metaserkaria cacing Fasciola hepatica.

Penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili

Lymnaeidae, keberadaan hewan mamalia peka lain di sekitar

12
tempat tinggal penduduk. Penggunaan air yang tercemar

metaserkaria Fasciola hepatica. (BARGUES et al., 1996),

misalnya air tersebut diminum dalam keadaan mentah. (TAIRA

et al., 1997) menduga bahwa penularan fasciolosis yang

disebabkan oleh Fasciola hepatica pada manusia dapat pula

terjadi akibat kebiasaan sebagian masyarakat di Eropa yang

gemar mengkonsumsi hati mentah. (S. Widjajanti: 2004)

Hewan bertulang belakang terinfestasi secara tidak sengaja

menelan metaserkaria yang menenmpel pada tumbuhan air/rumput

atau air minum yang mengandung metaserkaria. Di dalam usus

manusia, parasit keluar dari kista (eksistasi) dan bermigrasi dengan

menembus dinding usus dan rongga perut menuju ke hati.

Selanjutnya menuju dan tinggal di dalam suran empedu. Proses

pendewasaan di dalam hati atau kantung empedu memerlukan

waktu 2 bulan. Telur melewati saluran empedu menuju usus dan

keluar ke tanah atau air bersama dengan feses. Seluruh siklus hidup

memerlukan waktu 5 bulan.

2.2.6 Distribusi Penyakit

Indonesia merupakan Negara beriklim tropis basah,

sehingga sangat cocok untuk perkembangbiakkan cacing hati

Fasciola Gigantica. Faciolosis di Indonesia merupakan penyakit

yang penting dengan kerugian ekonomi yang cukup tinggi.

Prevalensi penyakit ini pada sapi di Jawa Barat mencapai 90% dan

13
di Daerah Istimewa Yogyakarta anatar 40-90%, sedangkan

prevalensi penyakit pada domba belum diketahui.

Spesies Fasciola Gigantca dan Hoatica tersebar di seluruh

dunia dan penyebaran Fasciola Hepatica lebih luas dibandingkan

Fasciola Gigantica. Fasciola Gigantica diketahui merupakan satu-

satunya cacing treamtida yang menyebabkan fasciolosis pada

hewan rumanansia di Indonesia.

2.3 Pengenalan Penyakit

2.3.1 Gejala Klinis

Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah

metaserkaria yang tertelan dan infektifitasnnya. Bila metaserkaria

yang tertelan sangat banyak akan mengakibatkan kematian pada

ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa. Selain itu,

tergantung pula pada stadium infestasi yaitu migrasi cacing muda

dan perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu, serta

infestasi Fasciola Hepatica dapat bersifat akut maupun kronis.

Infestasi Fasciola Gigantica pada domba dan kambing biasanya

bersifat akut dan fatal.

Bentuk akut disebabkan adanya migrasi cacing muda di

dalam jaringan hati sehingga menyebabkan kerusakan jaringan

hati. Ternak mejadi lemah. nafas cepat dan pendek, perut

membesar, dan rasa sakit.

14
Bentuk kronis mencapai dewasa 4-5 bulan setelah infestasi,

gejala yang Nampak adalah anemia, sehingga menyebabkan ternak

lesu, nafsu makan menurun, cepat mengalami kelelahan,

membrane mukosa pucat, diare, dan edema di antara sudut dagu

dan bawah perut, icterus dan kematian dapat terjadi dalam waktu 1-

3 bulan.

2.3.2 Patologi

Lesi yang disebabkan oleh infestasi cacing Fasciola pada

semua ternak hampir sama tergantung tingkat infestasinya.

Kerusakan hati yang paling banyak akibat infestasi ini terjadi

antara minggy ke 12-15 pasca infestasi. Berat ringannya penyakit

tergantung pada jumlah metaserkaria yang ditelan dan

infeksifitasnya. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada waktu

cacing muda menembus dinding usus akan tetapi kerusakan yang

berat dan peradangan yang timbul terjadi sewaktu cacing

bermigrasi ke dalam parenkim hati dan ketika berada dalam saluran

empedu dan kantong empedu.

Lesi yang timbul pada keadaan akut berhubungan dengan

migrasi cacing muda dalam hati yang mengakibatkan perdarahan

dalam kapsula hati. Perkembangan cacing mengakibatkan luka

yang semakin besar yang akhirnya timbul nekrosis disertai dengan

hiperpilasia saluran empedu, dan adanya gejala icterus.

15
Gambar 2.5 Hati yang Terinfeksi Fasciola Gigantica
(Sumber http://veterinaryrecord.bmj.com )

Lesi yang terjadi pada ternak yang terinfeksi kronis secara

histopatologi terlihat gambaran dilatasi dan penebalan saluran

empedu, serta fibrosis pariportal dan infiltrasi eosinophil, limfosit,

dan makrofag. Pada infestasi berat mengakibatkan fibrosis,

hyperplasia dan kalsifikasi pada saluran empedu.

2.3.3 Diagnosa

a. Diagnosa Klinis

Diagnosa berdasarkan gejala klinis sulit dilakukan, maka

sebagai penunjang diagnose dapat digunakan pmeriksaan

ultrasonografi (USG).

b. Diagnosa Labolatorium

Pemeriksaan labolatorium dilakukan melalui pemeriksaan

feses, biopsi, uji serologi untuk deteksi antibody dan antigen

serta western biotting.

16
Pemeriksaan feses untuk deteksi telur cacing terkendala

dengan durasi infestasi Fasciola Gigantica, karena telur baru

dapat ditemukan setelah 15 minggu hewan terinfestasi.

Sedangkan untuk infestasi Fasciola Hepatica, telur baru dapat

ditemukan setelah 10 minggu hewan terinfestasi.

Telur yang keluar secara intermitten tergantung pada

pengosongan kantong empedu. Telur Fasciola serupa dengan

telur paramphistomun. Telur Fasciola berwarna kekuningan,

sedangkan telur Paramphistomum berwarna keabu-abuan.

Uji serologi menggunakan metode ELISIA untuk deteksi

antibodi dan antigen, serta dapat didukung dengan western

blotting untuk mengetahui pita proteib Fasciola. Melalui uji

ELISIA, infests dini yaitu antara 2-4 minggu dapat terdeteksi.

c. Diagnosa Banding

1. Pada bentuk akut dapat keliru dengan hepatis karena

gangguan nutrisi.

2. Migrasi intra hepatic dari larva Taenia Saginata.

3. Pada bentuk kronis dapat keliru dengan infestasi cacing

saluran pencernaan lain dan bovine paratubercular

enteritis.

2.4 Prosedur Operasional Standar Pemotongan Hewan di RPH

Pemotongan hewan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) harus

dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh

17
pemerintah, yang dalam hal ini Departemen Pertanian. Penetapan aturan

maupun teknis pelaksanaan pemotongan di RPH dimaksudkan sebagai upaya

penyediaan pangan asal hewan khususnya daging ASUH (aman, sehat, utuh

dan halal). Untuk mendapatkan daging ASUH yang bersumber dari RPH maka

sudah seharusnya RPH memiliki prosedur operasional standar yang dijadikan

dasar atau patokan dalam menyelenggarakan fungsi RPH sebagai tempat

pemotongan, pengulitan, pelayuan dan akhirnya penyediaan daging untuk

konsumen (Wahyudi, 2010).

Prosedur operasional standar yang ditetapkan oleh Dirjen Peternakan

Departemen Pertanian adalah sebagai berikut:

a. Tahap Penerimaan dan Penampungan Hewan, prosedur operasional

meliputi:

1. Hewan ternak yang baru datang di RPH harus diturunkan dari alat angkut

dengan hati-hati dan tidak membuat hewan stress.

2. Dilakukan pemeriksaan dokumen (surat kesehatan hewan, surat keterangan

asal hewan, surat karantina, dsb).

3. Hewan ternak harus diistirahatkan terlebih dahulu di kandang penempungan

minimal 12 jam sebelum dipotong.

4. Hewan ternak harus dipuasakan tetapi tetap diberi minum kurang lebih 12

jam sebelum dipotong.

5. Hewan ternak harus diperiksa kesehatannya sebelum dipotong (pemeriksaan

antemortem).

18
b. Tahap Pemeriksaan Ante Mortem:

1. Pemeriksaan ante mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang

ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan prosedur yang

ditetapkan (Surat Keputusan Bupati/Walikota/Kepala Dinas).

2. Hewan ternak yang dinyatakan sakit atau diduga sakit dan tidak boleh

dipotong atau ditunda pemotongannya, harus segera dipisahkan dan

ditempatkan pada kandang isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

3. Apabila ditemukan penyakit menular atau zoonosis, maka dokter

hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus

segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

c. Persiapan Penyembelihan/Pemotongan, prosedur operasionalnya:

1. Ruang proses produksi dan peralatan harus dalam kondisi bersih sebelum

dilakukan proses penyembelihan/pemotongan.

2. Hewan ternak harus ditimbang sebelum dipotong.

3. Hewan ternak harus dibersihkan terlebih dahulu dengan air (disemprot air)

sebelum memasuki ruang pemotongan.

4. Hewan ternak digiring dari kandang penampungan ke ruang pemotongan

melalui gang way dengan cara yang wajar dan tidak membuat stress.

d. Penyembelihan:

1. Hewan ternak dapat dipingsankan atau tidak dipingsankan.

2. Apabila dilakukan pemingsaan, maka tata cara pemingsanan harus

mengikuti Fatwa MUI tentang tata cara pemingsanan hewan yang

diperbolehkan.

19
3. Apabila tidak dilakukan pemingsanan, maka tata cara menjatuhkan hewan

harus dapat meminimalkan rasa sakit dan stress (missal menggunakan re-

straining box).

4. Apabila hewan ternak telah rebah dan telah diikat (aman) segera dilakukan

penyembelihan sesuai dengan syariat Islam yaitu memotong bagian

ventral leher dengan menggunakan pisau yang tajam sekali tekan tanpa

diangkat sehingga memutus saluran makan, nafas dan pembuluh darah

sekaligus.

5. Proses selanjutnya dilakukan setelah hewan ternak benar-benar mati dan

pengeluaran darah sempurna.

6. Setelah hewan ternak tidak bergerak lagi, leher dipotong dan kepala

dipisahkan dari badan, kemudian kepala digantung untuk dilakukan

pemeriksaan selanjutnya.

7. Pada RPH yang fasilitasnya lengkap, kedua kaki belakang pada sendi tarsus

dikait dan dikerek (hoisted), sehingga bagian leher ada di bawah, agar

pengeluaran darah benar-benar sempurna dan siap untuk proses

selanjutnya.

8. Untuk RPH yang tidak memiliki fasilitas hoist, setelah hewan benar-benar

tidak bergerak, hewan dipindahkan ke atas keranda/penyangga karkas

(cradle) dan siap untuk proses selanjutnya.

e. Tahap Pengulitan:

1. Sebelum proses pengulitan, harus dilakukan pengikatan pada saluran

makan di leher dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan

mencemari karkas.

20
2. Pengulitan dilakukan bertahap, diawali membuat irisan panjang pada kulit

sepanjang garis dada dan bagian perut.

3. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam (medial) kaki.

4. Kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung.

5. Pengulitan harus hati-hati agar tidak terjadi kerusakan pada kulit dan

terbuangnya daging.

f. Pengeluaran Jeroan:

1. Rongga perut dan rongga dada dibuka dengan membuat irisan sepanjang

garis perut dan dada.

2. Organ-organ yang ada di rongga perut dan dada dikeluarkan dan dijaga

agar rumen dan alat pencernaan lainnya tidak robek.

3. Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru-paru,

tenggorokan, limpa, ginjal dan lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus,

lemak dan esophagus).

g. Tahap Pemeriksaan Post Mortem:

1. Pemeriksaan post mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang

ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan.

2. Pemeriksaan postmortem dilakukan terhadap kepala, isi rongga dada dan

perut serta karkas.

3. Karkas dan organ yang dinyatakan ditolak atau dicurigai harus segera

dipisahkan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

21
4. Apabila ditemukan penyakit hewan menular dan zoonosis, maka dokter

hewan/petugas yang ditunjuk di bawah pengawasan dokter hewan harus

segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

h. Pembelahan Karkas, dengan tahapan:

1. Karkas dibelah dua sepanjang tulang belakang

2.5 Pencegahan dan Pengendalian

2.5.1 Pengobatan

a. Pada manusia digunakan tricabendazole dengan dosis 10-12

mg/kg berat badan dan nitazoxanide.

b. Nitroxinil dengan dosis 10mg/kg untuk sapi, kerbau, dan

domba, dengan daya buruh sangat efektif (100%) pada

infestasi setelah 6 minggu. Namun, pengobatan dengan obat

ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama.

c. Refoxanide dengan dosis 10mg/kg untuk domba, 10-15mg/kg

untuk sapi. Obat ini efektif untuk mengobati cacing trematoda

dan nematode, baik cacing muda maupun dewasa.

d. Mebendazol dengan dosis 100mg/kg efektif (94%) untuk

membunuh cacing hati dan cacing nematode.

Pemberian obat cacing secara periodic akan diberikan

minimal 2 kali dalam 1 tahun. Pengobatan pertama dilakukan

pada akhir musim hujan dengan tujuan untuk mengeliminasi

migrasi cacing dewasa, sehingga selam musim kemarau ternak

22
dalam kondisi yang baik dan juga menjaga lingjkungan, terutama

kolam air, agar selama musim kemarau tidak terkontaminasi oleh

larva cacing.

Pengobatan kedua dilakuakn pada akhir musim kemarau

dengan tujuan untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi

ke dalam parenkim hati. Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih

obat cacing yang dapat membunuh cacing muda.

Sebagai obat pilihan terhadap fasciolasis hepatica adalah

Prazikuantel yang diberikan dengan dosis 25 mg/kg berat badab

3x sehari atau diberikan sebagai dosis tunggal sebesar 40 g/kg

berat badan selama satu atau dua hari.

Selain itu dapat diberikan Emetinhidroklorida sebanyak 30

mg/ setiap hari selama 18 hari melalui suntikan intramuskuler.

Diklorofenol atau bitinol juga dapat digunakan untuk mengobati

infiksi Fasciola hepatica.

2.5.2 Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian, dan Pemberantasan

a. Pelaporan

Melakukan pemeriksaan ternak di rumah potong hewan dan

menyampaikan laporan kepada kepala Dinas setempat.

b. Pencegahan

Dalam rangka pencegahan, perlu adanya perbaikan tata cara

pemberian pakan pada ternak, yaitu dihindarkan pengambilan

23
jerami yang berasal dari sawah dekat kandang. Bila teroaksa,

jerami tersebut harus diambil dengan pemotongan minimal 30

cm dari permukaan tanah. Jerami yang berasal dari pemukiman

atau dekat kabdang perlu dikeringkan dengan cara dijemur,

minimal 3 hari di bawah sinar matahari.

Pembuangan air limbah/air kotor secara aman, pengobatan

ternak terhadap parasit tersebut, pencegahan agar tidak ada

hewan yang datang ke tempat pembudidayaan tanaman selada

air dan pengontrolan air yang digunakan untuk irigasi

pembudidayaan tersebut.

Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga, memasak

makanan sampai benar-benar matang, konsumen harus

menghindari konsumsi selada air yang mentah. Kalaupun tetap

harus mengkonsumsi sayuran mentah, sebaiknya sayuran

tersebut dicuci dahulu dengan larutan cuka atau larutan

potassium permanganat sebelum dikonsumsi.

c. Pengendalian dan Pemberantasan

Ada 5 kelompok zat kimia yang dapat digunakan untuk

memberantas Fasciola, yaitu :

1. Kelompok fenol halogenasi : Bithionol,

Hexachlorophene, dan Nitroxynil.

2. Kelompok salicylanilides : Closantel dan

Rafoxanide.

24
3. Kelompok benzimidazoles : Triclabendazole,

Albendazole, Mebendazole, dan Luxabendazole.

4. Kelompok sulphonamides : Clorsulon

5. Kelompok phenoxyalkanes : Diamphenetide

Pemberantasan inang sementara, yaitu siput air tawar

Lymnea Rubiginosa dengan menggunakan metode

molukisida, seperti copper, sulfat. Selai itu, pemberantasan

siput secara biologic dapat dilakukan dengan melepaskan

bebek atau itik. Namun, sebagai perbaikan tatalaksana

dalam beternak, sebaiknya dihindarkan penggembalaan

bebek atau itik pada daerah yang tergenang air.

Pemutusan siklus hidup fasciolosis dapat dilakukan

dengan menghindari menggembalakan ternak pada pagi

hari, sehinga ternak tidak mengonsumsi ujung rumput yang

masih basah oleh embun dan kemungkinan mengandung

metaserkaria. Pada manusia, upaya pencegahan dapat

dilakuakn dengan memasak daging atau hati secara

sempurna.

25
3 BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dari tinjauan pustaka dapat disimpulkan bahwa Fasciolosis


adalah penyakit cacing yang disebabkan oleh Fasciola hepatica. Penyakit ini
disebabkan oleh trematoda yang bersifat zoonosis. Pada stadium lanjut didapatkan
sindrom hipertensi portal yang terdiri dari perbesaran hati, kanker hati, ikterus,
asites, terbentuknya batu empedu, dan serosis hepatis.
Didalam usus domba dan manusia Fasciola hepatica merupakan hospes
definitifnya dan di dalam tubuh Lymnaea (siput) sebagai hospes perantara. Cacing
ini pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, kantong empedu,
dan pembuluh darah ruminansia maupun manusia.

3.2 Saran

Dalam menjaga kesehatan, khususnya dalam hal mengkonsumsi makanan


dan minuman, baik sayuran ataupun daging. Sebaiknya dimasak dengan matang,
terutama sayuran yang berhabitat di air, contohnya seperti kangkung, selada air, dan
lain sebagainya. Dalam mengkonsumsi air pun harus mengkonsumsi air yang
higenis dan tidak tercemar dengan metaserkia dari cacing Fasciola hepatica.
Jika sudah terdiagnosis terjangkit penyakit fasciolosis, sebaiknya segera
memeriksakan diri ke dokter untuk penanganan lebih lanjut. Bagi peternak sapi
ataupun sejenis hewan ruminansia lainnya, sebaiknya tidak membiarkan hewan
ternaknya mencari makan sendiri, karena beresiko terkena penyakit fasciolosis dari
rumput yang dikonsumsi.

26
4 DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1993. Buku Pedoman Pengendalian Pnyakit Hewan Menular. Jakarta.

Ahmad, RZ.2005. Beberapa Penyakit Parasitik Dan Mikotik Pada Sapi Perah Yang

Harus Diwaspadai. Balai Besar Penelitian Veteriner : Bogor. Jurnal. Diakses pada

tanggal 31 Desember 2016.

Estuningsih S, G Adiwinata, S Widjajanti, dan D Piedraita. 2004. Pengembangan

Tekinik Diagnosa Fasciolosis pada Sapi dengan Antibodi Monoklonal dalam

Caoture ELISA untuk Deteksi Antigen. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan

Toksikologi Veteriner. 20-24 April. Bogor. hlm 27-43.

Soedarto.2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Surabaya : Sagung seto

Subiyono, dkk.2012. Diktat Petunjuk dan Laporan Praktikum Parasitologi.

Yogyakarta : Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Jurusan Analis Kesehatan

Urquhart GM, Armour J, Ducan J Am and JEning FW. 1998. Veterinary

Parasitology. ELBS Longman Hal 100-109.

Widjajanti,S.2004.Fasciolosis Pada Manusia:Mungkinkah Terjadi Di

Indonesia?.Balai Penelitian Veteriner : Bogor. Jurnal. Diakses pada tanggal 31

Desember 2016.

http://wailineal.blogspot.com/2011/12/fascioliasis-etiologi-fasciola-hepatica.html

Diakses pada tanggal 31 Desember 2016.

http://snd-inf.blogspot.com/2011/04/cacing-hati-fasciola-hepatica.html

Diakses pada tanggal 31 Desember 2016.

http://crocodilusdaratensis.wordpress.com/2010/10/16/fasciola-hepatica/

Diakses pada tanggal 31 Desember 2016.

27

Anda mungkin juga menyukai