Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENGENDALIAN VEKTOR
“Pengendalian Filariasis”

OLEH:
KELOMPOK 5
RAIHANA SARI (J1A120213)
RESTI ROSITA ADEN LIAMBO (J1A120218)
RISNAWATI (J1A120219)
AVILIA MALANI (J1A120280)
DELIYANTI (J1A120287)
IMAM ROHIMAT (J1A120304)
SISKA SEPTIANI (J1A120363)
WA ODE SITI AISYAH (J1A120374)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang maha kuasa karena telah memberikan
kesempatan pada saya untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nyalah sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Filariasis” ini tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dosen pada mata kuliah
Pengendalian Vektor. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu proses pembuatan makalah ini. Semoga tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Kendari, 6 Maret 2023

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan ................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4
A. Definisi Filariasis ................................................................................ 4
B. Faktor Penyebab Filariasis .................................................................. 4
C. Karakteristik Vektor Filariasis ............................................................ 6
D. Bagaimana Pencegahan Filariasis ....................................................... 7
E. Bagaimana Surveilans Filariasis ......................................................... 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 10
A. Kesimpulan ......................................................................................... 10
B. Saran.................................................................................................... 10
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Filariasis atau penyakit kaki gajah (elephantiasis) merupakan penyakit
menular yang mengenai saluran kalenjar limfe (getah bening) dan disebabkan
oleh cacing filaria yang ditularkan oleh serangga. Penyakit ini menyerang
semua umur dan bersifat menahun. Jika seseorang terkena penyakit ini dan
tidak mendapatkan pengobatan sedini mungkin maka dapat menimbulkan
cacat permanen berupa pembesaran kaki, lengan, buah dada dan alat kelamin.
Filariasis dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup serta stigma sosial
berupa pengucilan, kegiatan sosial terganggu, tidak bisa menikmati waktu
hidup dan rasa tidak nyaman bagi penderita dan keluarganya. Keadaan ini
juga membawa dampak beban ekonomi yaitu biaya berobat, hari produktif
yang hilang karena sakit, dan hari produktif anggota rumah tangga lain yang
hilang karena harus merawat orang yang sakit (Kemenkes RI, 2010).

Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis,


terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi.
Sejak tahun 2000 hingga 2009 dilaporkan kasus kronis filariasis sebanyak
11.914 kasus yang tersebar di 401 Kabupaten atau kota. Hasil laporan kasus
klinis kronis filariasis dari kabupaten atau kota yang ditindaklanjuti dengan
survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun 2009 terdapat 337
kabupaten atau kota endemis dan 135 kabupaten atau kota non endemis
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Ada 3 jenis nematoda parasit penyebab filariasis limfatik pada manusia


yang ditemukan di Indonesia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugia timori. Parasit ini di dunia disebarkan oleh berbagai spesies nyamuk
yang termasuk dalam genus Aedes, Anopheles, Culex, dan Mansonia. Untuk
mengatasi penyakit ini, WHO meluncurkan Program global untuk
menghilangkan filariasis limfatik, yaitu Global Programme to Eliminate
Lymphatic Filariasis (GPELF) pada tahun 2000. Tujuan dari GPELF adalah

1
2

menghilangkan filariasis limfatik sebagai masalah kesehatan masyarakat pada


tahun 2020.

Strategi ini didasarkan pada dua komponen utama yaitu (1)


Mengganggu transmisi melalui program tahunan skala besar pengobatan,
dikenal sebagai pemberian obat massal, dilaksanakan untuk menutupi seluruh
populasi berisiko; (2) Mengurangi penderitaan yang disebabkan oleh filariasis
limfatik melalui manajemen morbiditas dan pencegahan kecacatan (WHO,
2013).

Cara yang paling cepat untuk memutuskan siklus penularan adalah


secara kimiawi dengan menggunakan larvasida maupun insektisida sintetik,
tetapi penggunaan senyawa tersebut dapat meningkatkan resistensi nyamuk,
pencemaran lingkungan, bahkan kematian bukan sasaran. Larvasida yang
banyak digunakan oleh masyarakat luas adalah abate atau temefos.
Penggunaan temefos sebagai larvasida sintetik sangat efektif dalam
mengendalikan larva nyamuk, tetapi penggunaan yang berulang dapat
menimbulkan efek samping seperti gangguan pernapasan dan gangguan
pencernaan pada manusia, sehingga dibutuhkan larvasida alternatif yaitu
larvasida alami yang memiliki efektivitas yang sama baik dengan larvasida
kimia akan tetapi efek samping yang ditimbulkan kecil.

Penggunaan larvasida alami diharapkan tidak mempunyai efek samping


terhadap 2 lingkungan, manusia dan tidak menimbulkan resistensi bagi
serangga. Beberapa tumbuhan yang dapat digunakan sebagai larvasida alami
antara lain adalah daun jeruk nipis, bengkuang, daun sirih dan buah pare.
Buah pare mengandung alkaloid, saponin, flavonoid. Kandungan alkaloid
telah banyak digunakan sebagai larvasida alami (Nugroho, 2011).

B. Rumusan masalah
1. Apa itu filariasis ?
2. Apa saja Faktor penyebab filariasis ?
3. Bagaimana karakteristik vector filariasis ?
4. Bagaimana Pencegahan filariasis ?
5. Bagaimana Surveilans filariasis ?
3

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu filariasis
2. Untuk mengetahui apa saja Faktor penyebab filariasis
3. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik vector filariasis
4. Untuk mengetahui bagaimana Pencegahan filariasis
5. Untuk mengetahui bagaimana Surveilans filariasis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Filariasis
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun
yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia,
Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar
getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang,
peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut
dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan,
payudarahan alat kelamin. Selain dapat menimbulkan demam dan rasa
kelelahan, penyakit ini juga dapat menyebabkan kecacatan permanen
sehingga penderita tidak dapat bekerja dan akan menjadi beban keluarga dan
masyarakat.

B. Faktor Penyebab Filariasis


Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian
filariasis. Beberapa diantaranya adalah jenis kelamin, usia, pekerjaan, faktor
lingkungan, perilaku. Pada umumnya kelompok umur dewasa muda dan
laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi karena laki-laki lebih besar
kesempatan untuk terpapar dengan infeksi (exposure) daripada perempuan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kadarusmandi Jambi dan Njenga, S.M. Di
Kenya ditemui bahwa laki-laki lebih berisiko dibandingkan perempuan
dalam penyakit ini. Hal ini kemungkinan terkait dengan aktifitas yang
dilakukan. Banyak laki-laki yang memiliki aktifitas di luar rumah pada
malam hari, misalnya ronda. Selain itu, sebagai pencari nafkah utama bagi
keluarga, laki-laki memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Kemungkinan kontak dengan vektor akan menjadi lebih besar
juga dibandingkan perempuan. Faktor pekerjaan seperti nelayan yang
mempunyai kebiasaan berlayar pada malam hari dapat terpapar oleh
nyamuk penular yang berkembangbiak di pinggir pantai, hal ini berkaitan
dengan kebiasaan menggigit nyamuk penular pada malam hari.

4
5

Menurut hasil penelitian Nasrin (2008) di kabupaten Bangka Barat


orang yang memiliki jenis pekerjaan berisiko akan berpeluang terkena
penyakit filariasis sebesar 4,4 kali dibandingkan dengan orang yang
memiliki pekerjaan tidak berisiko. Faktor lingkungan terkait dengan tempat
perkembangbiakan nyamuk sebagai vector dari penyakit ini. Filariasis
bancrof tiada 2 macam yaitu filariasis bancrofti perkotaan dengan vector
utamanya Culexfatigans yang hidup di dalam rumah, tempat perindukannya
pada air kotor sekitar rumah dan filariasis bancrofti pedesaan vektornya
nyamuk Aedes, Anopheles dan Mansoni.B.malayi dan B. timori hanya
terdapat di pedesaan, karena vektornya tidak dapat berkembang biak
diperkotaan. B. timori biasanya terdapat di daerah persawahan sesuai
dengan tempat perindukan vektornya An.barbirostris, B.malayi yang
terdapat pada manusia dan hewan biasanya terdapat di pinggir pantai atau
aliran sungai, dengan rawa-rawa.
Menurut hasil penelitian Onggang di Pota Kabupaten Manggarai
Timur dari 2015 sampel darah yang diambil terdapat 145 kasus positif
ditemukan Filaria bancrofti dan malayi. Bahwa kondisi lingkungan fisik dan
kimia mendukung perkembangan nyamuk vektor filariasis serta keberadaan
keberadaan genangan air yang mengandung jentik nyamuk meningkatkan
risiko penularan filariasis sebesar 6,00kali. (Natadisastra, 2009;SarunguY,
2012;Sutanto, 2009; Zainul, 2004).
Faktor risiko selanjutnya adalah kebiasaan keluar rumah pada malam
hari dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu saat tidur. Selain itu,
pengetahuan mengenai filariasis yang akan meningkatkan kesadaran
individu serta terjadinya resistensi vector filariasis terhadap insektisida
masuk ke dalam faktor risiko yang harus diperhatikan. Faktor-faktor
lingkungan dan perilaku yang berhubungan dengan kejadian filariasis
ditemukan hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan, tingkat
penghasilan dan pengetahuan terhadap kejadian filariasis. Penelitian
Rosmadeli (2008) menyimpulkan terdapat hubungan perilaku pencegahan
penyakit dengan kejadian filariasis. Hal ini berarti orang yang tidak penyakit
lebih besar peluangnya untuk terkena penyakit filariasis.
6

C. Karakteristik Vektor Filariasis


Di Indonesia ada 3 (tiga) jenis cacing filaria dengan beberapa tipe
yaitu: Wuchereria brancofti, Brugia malayi (tipe periodik nokturna,
subperiodik nokturna dan nonperiodik) dan B. timori. 3 Spesies B. timori
hanya ditemukan di Indonesia Timur yaitu Pulau Timor, Flores, Rote Alor
dan Pulau Sumba. Di Pulau Alor periodisitas B. timori teridentifikasi
sebagai parasit nokturnal, namun pasien dengan kepadatan parasit
mirofilaria tinggi periodisitas terditeksi pada sediaan darah siang hari.
Berbeda dengan cacing filaria B. malayi terdapat pergeseran sifat
perediositas, ketiga subspecies B. malayi (nonperiodik, subperiodik dan
periodik) dalam penyebarannya terpisahkan satu sama lain oleh perbedaan
ekologis setempat.
Anopheles subpictus telah dilaporkan sebagai vector yang penting
untuk W.bancrofti di pulau Alor dan Flores, untuk An. barbirostris
merupakan vektor B. timori di pedalaman Flores, untuk vektor W.bancrofti
di daerah pantai ada 3 jenis nyamuk yaitu : An. flavirostris, An. sundaicus
dan An. Subpictus.
Kasus filariasis tahun 2011 di Sumba Barat Daya memiliki kasus
kronis sebanyak 98 orang, sedangkan hasil penelitian Yunarko, dkk pada
tahun 2012 tentang studi endemisitas filariasis di Kecamatan Kodi Balaghar
Kabupaten Sumba Barat Daya ditemukan 21 kasus dengan sediaan darah
positif mikrofilaria B. timori,W.bancrofti dan campuran (B. timori dan
W.bancrofti) dengan mikrofilaria rate (Mf rate) mencapai 4,2%. Hasil
penelitian Adyana, dkk tahun 2014 tentang pemetaan kasus dan vektor
filariasis di pulau Sumba Provinsi Nusa Tenggara Timur ditemukan 5 kasus
dengan sediaan darah positif mikrofilaria B. timori, W.bancrofti dengan
mikrofilaria rate (Mf rate) sebesar 1,6 % hutan rawa sepanjang sungai
sedangkan spesies W. bancrofti merupakan mikro filaria tipe perkotaan
(urban) yaitu daerah-daerah perkotaan kumuh dengan kepadatan penduduk
yang cukup tinggi dan drainase yang buruk mengakibatkan banyak
genangan air kotor sebagai habitat yang cocok nyamuk
Cx.queinquefaciatus. Berbeda dengan spesies mikro filaria B. timori habitat
7

vektor nyamuk penular cenderung ditemukan di daerah sawah yang cukup


luas.
Kondisi lingkungan setiap daerah berbeda-beda, sehinggga spesies
nyamuk antara daerah akan berbeda pula. Keanekaragaman vektor
dipengaruhi oleh sebaran, bioekologi dan karakteristik habitat
perkembangbiakan. Habitat perkembangbiakan stadium pradewasa sangat
diperlukan nyamuk vektor untuk bertelur sampai berkembang menjadi
dewasa. Beberapa hasil penelitian terdahulu menyebutkan W.bancrofti
endemik hanya pada daerah pantai dan sawah, demikian pada B.timori
ditemukan pada daerah dengan sawah yang cukup luas. B.timori memiliki
karakteristik perbukitan dengan lembah yang memiliki sungai untuk irigasi
sawah. Karakteristik ini ditemukan pada daerah penelitian sebelumnya di
DesaKahale, sehingga perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui
gambaran karakteristik lingkungan fisik dan biologi tempat
perkembangbiakan potensial nyamuk vektor penular filariasis.
Secara epidemiologis filariasis dapat melibatkan banyak faktor yang
sangat kompleks yaitu cacing filaria sebagai agen penyakit, manusia sebagai
vektor serta faktor lingkungan fisik,biologi dan sosial yaitu faktor sosial
ekonomi dan perilaku penduduk setempat.Selain reservoir dan vektor,
lingkungan juga sangat penting dalam proses penularan. Lingkungan dapat
menunjang kelangsungan hidup reservoir maupun vektor, hal ini sangat
penting dalam epidemiologi filariasis, salah satunya adalah jenis filariasis
yang dapat diperkirakan dengan melihat lingkungannya. Menurut Black et
all (1996) dan Woodring et all (1996) dalam Haryuningtyas dan Subekti
(2008) menyatakan bahwa estimasi kapasitas vektor dipengaruhi oleh salah
satu lingkungan yang mempengaruhi hubungan vektor dan patogen yang
akan di transmisikan.

D. Bagaimana Pencegahan Filariasis


Upaya pencegahan penyakit filariasis dengan memberikan
penyuluhan, melakukan penyemprotan, menggunakan pestisida residual,
memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu, memakai obat
8

gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat


perkembangbiakan nyamuk.
Ketahui beberapa faktor yang meningkatkan kamu alami filariasis atau
penyakit kaki gajah, seperti tinggal pada lingkungan yang menjadi endemik
penyakit kaki gajah, lingkungan dengan kebersihan yang buruk, dan sering
tergigit nyamuk. Namun, jangan khawatir, kondisi ini bisa dicegah dengan
menghindari faktor pemicu, seperti:
 Hindari gigitan nyamuk dengan menjaga kebersihan lingkungan
tempat tinggal
 Kenakan pakaian yang tertutup ketika melakukan aktivitas pada
daerah endemik atau luar ruangan yang berisiko terpapar gigitan
nyamuk
 Tidak ada salahnya untuk rajin mengoleskan lotion nyamuk ketika
memiliki kegiatan di luar ruangan
 Penggunaan kelambu saat tidur juga dapat menghindarkan kamu
dari risiko gigitan nyamuk
 Bersihkan genangan air atau pot-pot yang berpotensi menjadi
sarang nyamuk agar terhindar dari penyakit kaki gajah.

E. Bagaimana Surveilans Filariasis


Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial,
yaitu: W.Bancrofti, B.Malayi, B.Timori. Cacing filarial baik limfatik
maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut:
dalam reproduksinya cacing filarial tidak mengeluarkan telur tetapi
mengeluarkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda
(nyamuk). Daerah endemis filariasis pada umumnya terdapat di daerah
dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-
rawa dan hutan.
Penatalaksanaan surveilans untuk pasien filariasis terbagi menjadi dua
yaitu perawatan umum dan pengobatan spesifik. Perawatan umum meliputi
istirahat yang cukup, antibiotik bila terjadi infeksi sekunder dan abses serta
pengikatan didaerah pembendungan untuk mengurangi edema. Pengobatan
9

spesifik meliputi pengobatan untuk infeksi dan pengobatan untuk


penyakitnya. Untuk pengobatan infeksi dilakukan dengan tujuan
menurunkan angka mikrofilaremia pada komunitas dengan pemberian
Dietilcarbamazine (DEC) 6mg/KgBB/hari selama 12 hari.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex,
Armigeres. Lingkungan terkait dengan tempat perkembangbiakkan nyamuk
sebagai vector dari penyakit ini. Secara epidemiologis filariasis dapat
melibatkan banyak faktor yang sangat kompleks yaitu cacing filaria sebagai
agen penyakit, manusia sebagai vektor serta faktor lingkungan fisik,biologi
dan sosial yaitu faktor sosial ekonomi dan perilaku penduduk setempat.
Selain reservoir dan vektor, lingkungan juga sangat penting dalam proses
penularan. Lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup reservoir
maupun vektor, salah satunya adalah jenis filariasis yang dapat diperkirakan
dengan melihat lingkungannya. Upaya pencegahan penyakit filariasis
dengan memberikan penyuluhan, melakukan penyemprotan, menggunakan
pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan
kelambu, memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan
tempat perkembangbiakan nyamuk.

B. Saran
Pada dasamya penyakit kaki gajah disebabkan oleh ketidakbersihan
manusia dalam menjaga lingkungan. Sehingga menimbulkan sarang
nyamuk yang ditukarkan oleh kotoran hewan lalu di bawa oleh nyamuk
sehingga dapat ditularkan ke manusia. Untuk itu pentingnya menjaga
lingkungan agar terhindar dari penyakit dan tidak membuat sarang nyamuk.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arsin, A. A. (2016). Epidemiologi Filariasis Di Indonesia. Makassar: Masagena


Press.
Mutiara, H., & Anindita, A. (2016). Filariasis: Pencegahan Terkait Faktor Risiko. Jurnal
Majority, 5(3), 11-16.
Onggang, F. S. (2018). Analisis Faktor Faktor Terhadap Kejadian Filariasis Type
Wuchereria Bancrofti, Dan Brugia Malayi Di Wilayah Kabupaten Manggarai
Timur Tahun 2016. Jurnal Info Kesehatan, 16(1), 1-20.
Tallan, M. M., & Mau, F. (2016). Karakteristik Habitat Perkembangbiakan Vektor
Filariasis di Kecamatan Kodi Balaghar Kabupaten Sumba Barat
Daya. ASPIRATOR-Journal of Vector-borne Disease Studies, 8(2), 55-62.

11

Anda mungkin juga menyukai