Anda di halaman 1dari 27

KAKI GAJAH (LYMPHATIC FILARIASIS)

Oleh:

PRINGGO AHMAD EKO 17710027

SELVY LISTYO WARDHANI 17710119

SITI HAJAR ISTIQOMAH 17710128

I GEDE UPADANA PUTRA D 17710194

FAIQ SULTHONY AKBAR 17710195

IQBAL RAZIF 17710199

PUTU FRISTY ARMATHEINA 17710215

ANINDITA LARASATI 17710221

Pembimbing:

Ayu Cahyani N, dr.,M.KKK

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya
maka kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas FGD pada skenario ini yang berjudul
“filariasis”. Penulisan laporan ini merupakan salah satu tugas untuk menjabarkan hasil
diskusi yang telah dilakukan sebelumnya.
Dalam Penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak  –  pihak yang membantu dalam menyelesaikan  penulisan laporan
ini, khususnya kepada : Pembimbing tutor kelompok FGD dr. Ayu Cahyani N, M.KKK yang
telah membimbing selama proses diskusi berjalan, Keluarga tercinta yang telah memberikan
dorongan dan bantuan serta  pengertian yang besar kepada para penulis, dan rekan-rekan
sekelompok kerja kelompok, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini. Akhirnya penulis berharap
semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan semua semua orang yang
memanfaatkannya.

Surabaya, November 2019

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah................................................................................... 4
1.3 Tujuan...................................................................................................... 4
BAB II ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Skenario dan Inventarisasi Masalah........................................................ 5
B. Diagram Fish Bone................................................................................. 7
C. Analisa dan Pembahasan......................................................................... 8
BAB III PENYUSUNAN PROGRAM
A. Upaya/Kegiatan Pencegahan................................................................... 13
B. Upaya/Kegiatan Pengendalian Pasien dan Kontak................................. 13
C. Upaya/Kegiatan Perbaikan Lingkungan................................................. 14
BAB IV PENYUSUNAN KEGIATAN PRIORITAS
A. Tabel Skoring Untuk Menentukan Prioritas Kegiatan............................. 18
B. Plan of Activity ...................................................................................... 19
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 21
A. Kesimpulan.................................................................................................... 21
B. Saran.............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun
yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia,
Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar
getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang,
peradangan saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara dan
alat kelamin (Chin, 2006). Tiga spesies cacing filaria penyebab filariasis
limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori
(Depkes RI, 2010).
Sekarang ini, lebih dari 1,4 milyar orang di 73 negara beresiko
terinfeksi cacing filaria. Kira-kira 65% yang terinfeksi berada di wilayah Asia
Tenggara, 30% di wilayah Afrika, dan sisanya berada di daerah tropis.
Filariasis limfatik menyebabkan lebih dari 25 juta laki-laki dengan gangguan
genital dan lebih dari 15 juta orang dengan limfoedema (WHO, 2013).
Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan Van
Eecke pada tahun 1889 di Jakarta yaitu ditemukan penderita filariasis
skrotum. Pada saat itu pula Jakarta diketahui endemik filariasis limfatik yang
disebabkan oleh B. Malayi (Depkes RI, 2005).
Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
serius di Indonesia. Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis
filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih
tinggi. Hasil laporan kasus klinis kronis filariasis dari kabupaten/kota yang
ditindaklanjuti dengan survey endemisitas filariasis, sampai dengan tahun
2009 terdapat 337 kabupaten/kota endemis dan 135 kabupaten/kota non
endemis. Dari tahun 2003 hingga 2008 terdapat peningkatan yang sangat
tinggi. Pada tahun 2003 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 6720 kasus
dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 11.699 kasus. Diperkirakan sampai
tahun 2009 penduduk berisiko tertular filariasis lebih dari 125 juta orang

1
yang tersebar di 337 kabupaten/kota endemis filariasis dengan 11.914 kasus
kronis yang dilaporkan dan diestimasikan prevalensi mikrofilaria 19%,
kurang lebih penyakit ini akan mengenai 40 juta penduduk (Depkes RI,
2010). Penyakit ini memberikan dampak sosial budaya yang cukup besar,
dampak ekonomi serta mental secara psikologis, sehingga tidak dapat bekerja
secara optimal dan hidupnya selalu tergantung pada orang lain (WHO, 2005).
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu daerah endemis filariasis
di Indonesia. Berdasarkan laporan profil kesehatan Jawa Timur tahun 2012,
di Kabupaten Lamongan jumlah kasus filariasis sebanyak 56 kasus (Dinkes
Lamongan,2012).
Kabupaten Lamongan menurut profil kesehatan Jawa Timur tahun
2012 merupakan kabupaten dengan kasus Filariasis tertinggi, dimana pada
tahun 2012 terdapat 56 kasus dan pada tahun 2014 menurut profil Dinkes
Lamongan kasus meningkat menjadi 364 kasus (Dinkes Lamongan, 2012).
Penularan filariasis terjadi apabila ada lima unsur utama yaitu sumber
penular (manusia dan hewan sebagai reservoir), parasit (cacing), vektor
(nyamuk), host (manusia yang rentan), lingkungan (fisik, biologik, ekonomi
dan sosial budaya) (Depkes RI, 2005). Banyak faktor risiko yang mampu
memicu timbulnya kejadian filariasis. Beberapa diantaranya adalah jenis
kelamin, usia, pekerjaan, faktor lingkungan, perilaku. Pada umumnya
kelompok umur dewasa muda dan laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi
karena laki-laki lebih besar kesempatan untuk terpapar dengan infeksi
(exposure) daripada perempuan (Sutanto, 2009). Penelitian yang dilakukan
oleh Kadarusman di Jambi dan Njenga, S.M. et al. di Kenya ditemui bahwa
laki-laki lebih berisiko dibandingkan perempuan dalam penyakit ini. Hal ini
kemungkinan terkait dengan aktifitas yang dilakukan. Banyak laki-laki yang
memiliki aktifitas di luar rumah pada malam hari, misal ronda. Selain itu,
sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga, laki-laki memiliki mobilitas
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Kemungkinan kontak dengan
vektor akan menjadi lebih besar juga dibandingkan perempuan (Kadarusman,
2003. Njenga SM, 2000).

2
Faktor pekerjaan seperti nelayan yang mempunyai kebiasaan berlayar
pada malam hari dapat terpapar oleh nyamuk penular yang berkembangbiak
di pinggir pantai, hal ini berkaitan dengan kebiasaan menggigit nyamuk
penular pada malam hari (Sutanto, 2009). Menurut hasil penelitian Nasrin
(2008) di kabupaten Bangka Barat orang yang memiliki jenis pekerjaan
berisiko akan berpeluang terkena penyakit filariasis sebesar 4,4 kali
dibandingkan dengan orang yang memiliki pekerjaan tidak berisiko (Nasrin,
2008).
Faktor lingkungan terkait dengan tempat perkembangbiakan nyamuk
sebagai vektor dari penyakit ini. Filariasis bancrofti ada 2 macam yaitu
filariasis bancrofti perkotaan dengan vektor utamanya Culex fatigans yang
hidup didalam rumah, tempat perindukannya pada air kotor sekitar rumah dan
filariasis bancrofti pedesaan vektornya nyamuk Aedes, Anopheles dan
Mansoni. B. malayi dan B. timori hanya terdapat di pedesaan, karena
vektornya tidak dapat berkembang biak di perkotaan. B. timori biasanya
terdapat didaerah persawahan sesuai dengan tempat perindukan vektornya
An. barbirostris, B. malayi yang terdapat pada manusia dan hewan biasanya
terdapat dipinggir pantai atau aliran sungai, dengan rawa-rawa. Menurut hasil
penelitian Sarungu di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi
Papua bahwa kondisi lingkungan fisik dan kimia mendukung perkembangan
nyamuk vektor filariasis serta keberadaan keberadaan genangan air yang
mengandung jentik nyamuk meningkatkan risiko penularan filariasis sebesar
6,00 kali. (Natadisastra, 2009; Sarungu Y, 2012; Sutanto, 2009; Zainul, 2004)
Faktor risiko selanjutnya adalah kebiasaan keluar rumah pada malam
hari dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu saat tidur. Selain itu,
pengetahuan mengenai filariasis yang akan meningkatkan kesadaran individu
serta terjadinya resistensi vektor filariasis terhadap insektisida masuk ke
dalam faktor risiko yang harus diperhatikan (Dinkes Padang Pariaman, 2012;
Juriastuti P, 2010).
Menurut hasil penelitian Nasrin (2008) di Kabupaten Bangka Barat
tentang faktor-faktor lingkungan dan perilaku yang berhubungan dengan

3
kejadian filariasis ditemukan hubungan yang bermakna antara jenis
pekerjaan, tingkat penghasilan dan pengetahuan terhadap kejadian filariasis
(Nasrin, 2008). Penelitian Rosmadeli (2008) menyimpulkan terdapat
hubungan perilaku pencegahan penyakit dengan kejadian filariasis. Hal ini
berarti orang yang tidak melakukan tindakan pencegahan penyakit lebih besar
peluangnya untuk terkena penyakit filariasis (Rosmadeli, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara menurunkan angka kejadian filariasis di Kabupaten
Lamongan tersebut?
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Melakukan upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit filariasisdalam
rangka menurunkan angka kejadian penyakit tersebut.

2. Tujuan khusus
Persepsi Kepala Keluarga tentang program Pemberantasan Filariasis
(meliputi: pengobatan massal, survei darah jari, dan penyuluhan) terhadap
tindakan Pencegahan Filariasis di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Serta
perbaikan pembangunan TTU yang memenuhi syarat.

4
BAB II
ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Skenario dan Inventarisasi Masalah


Kaki Gajah (Lymphatic Filariasis)
Kabupaten Lamongan menurut profil kesehatan Jawa Timur tahun
2012 merupakan kabupaten dengan kasus Filariasis tertinggi, dimana pada
tahun 2012 terdapat 56 kasus dan pada tahun 2014 menurut profil Dinkes
Lamongan kasus meningkat menjadi 364 kasus. Penyakit Filariasis adalah
penyakit kronis dengan gejala pembesaran kaki yang dikenal dengan
sebutan kaki gajah. Kabupaten Lamongan sendiri terdiri dari 27 kecamatan
dengan 32 puskesmas yang terdiri dari 22 puskesmas dengan perawatan
dan 10 puskesmas non perawatan. Kabupaten Lamongan memiliki
penduduk sebesar 1.354.119 jiwa. Kabupaten Lamongan yang terletak di
pantai utara Jawa Timur memiliki garis pantai sepanjang 47 km dengan 3
karakteristik wilayah yaitu dataran rendah yang subur disebelah tengan
Selatan, pegunungan dan bukit kapur di sebelah Selatan dan Utara dan
rawa ditengah Utara yang rawan banjir. Kabupatan Lamongan sendiri
wilayahnya dibelah oleh sungai Bengawan Solo. Rumah yang memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 215.525 rumah (68,88%) dari jumlah seluruh
rumah yang ada sebanyak 312.915 rumah. Jumlah TTU yang ada sebanyak
1.248 buah, dan yang memenuhi syarat sebanyak 816. (65.4%). Dari
337.820 rumah tangga yang ada, dipantau sebanyak 107.604 (31.9%),
sedangkan untuk rumah tangga berprilaku hidup bersih dan sehat ber
PHBS sebanyak 65.686 (61%). Sebagai Kasi P2 Dinkes Lamongan apa
yang dapat anda rencanakan untuk menurunkan angka kejadian filariasis
tersebut.

5
Learning objective
1. Mahasiswa mengetahui penyakit lymphadenitis filariasis.
2. Mahasiswa mengetahui cara penularannya penyakit tersebut.
3. Mahasiswa mengetahui cara menghitung mikro filarial rate
pada masyarakat.
4. Mahasiswa membuat program pencegahan pemberantasan
penyakit filariasis bila micro filarial rate <1, bila macro filarial
rate >1.

6
B. Diagram fish bone Buang sampah
sembarangan

Proses

Kurangnya
ENVIRONMENT
Manajemen Drainage Mudah Banjir
Kawasan
Mudah Banjir
Kurangnya Edukasi
PHBS Metode Demografi Rawa Jumlah Penduduk
Padat

Promosi Kesehatan Dataran Rendah Tempat berkembangnya


bakteri
Peningkatan
Kejadian
Filariasis

FASILITAS
RUMAH KURANG
LAYAK HUNI
Puskesmas
Kurang
Kurangnya Faktor Sanitasi Mencukupi
Ekonomi Kurangnya Dana Untuk
Kurang
Pembangunan
perluasan Puskesmas
MATERIAL Tingkat pendidikan
rendah

7
C. Analisis dan Pembahasan
Dari permasalahan tersebut yang menjadi perhatian utama adalah
kejadian Filariasis. Kejadian ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah
diidentifikasi dalam permasalahan sebagai berikut:
1. Kurangnya Edukasi PHBS
Di wilayah Lamongan, dari 337.820 rumah tangga, dipantau
sebanyak 107.604 (31,9%), rumah tangga yang berperilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) 65.686 (61%). Perilaku hidup bersih dan sehat
sangat dominan pengaruhnya terhadap penyebaran penyakit khususnya
filariasis atau kaki gajah di wilayah tersebut.
Dengan peran individu masyarakat Lamongan dalam
merubah serta meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dapat menghindari diri dari kontak dengan nyamuk dan mencegah
penularan penyakit. Perilaku hidup bersih dan sehat yang dapat
diterapkan dapat seperti menjaga kebersihan lingkungan dan rumah
tangga (membuang sampah pada tempatnya, cuci tangan dengan
sabun, dan rutin olahraga), memasang kasa pada ventilasi, melakukan
3M (menutup, menguras dan mengubur) agar tidak menjadi tempat
jentik dan nyamuk.
2. Penduduk yang Padat
Jumlah penduduk di Kabupaten Lamongan berjumlah
1.354.119 jiwa dengan luas wilayah 1.782 km2. Berdasarkan dari
jumlah penduduk dan luas wilayah, maka kepadatan penduduk di
wilayah Kabupaten Lamongan termasuk dalam kategori sangat padat.
Tingkat kepadatan penduduk berhubungan dengan angka
kejadian Filariasis. Semakin padat jumlah penduduk semakin tinggi
tingkat penularan filariasis sehingga makin meningkatnya angka
kejadian filariasis.
Dari analisis masalah tersebut solusi yang bisa diberikan adalah
dengan mencegah pertambahan penduduk yang cepat dengan

8
penyuluhan program Keluarga Berencana (KB). Diharapkan solusi
tersebut mampu mengurangi peningkatan angka kejadian Filariasis.

3. Fasilitas Puskesmas Kurang Mencukupi


Dari 27 kecamatan yang ada di Kabupaten Lamongan terdapat
32 puskesmas yang antara lain terdiri dari 22 puskesmas dengan
fasilitas perawatan dan 10 puskesmas yang non fasilitas perawatan. Di
Kabupaten Lamongan, sarana prasarana yang ada di puskesmas kurang
efektif karena jumlah kasus filariasis sebanyak 364 sedangkan hanya
22 puskesmas perawatan itu tidak dapat menekan angka kejadian
filariasis.
Dari analisa yang ada solusi yang dapat diberikan yaitu dengan
meningkatkan sarana prasarana untuk kualitas pelayanan kesehatan
yang lebih baik seperti menambah fasilitas perawatan, pelayanan
pengobatan atau pelayanan laboratorium agar perawatan untuk
filariasis lebih efektif sehingga bisa menurunkan angka penularan
filariasis di Kabupaten Lamongan.
4. Kurangnya Sanitasi Tempat-Tempat Umum
Jumlah TTU yang ada sebanyak 1.248 buah, dan yang
memenuhi syarat sebanyak 816. (65.4%). Kurangnya tempat-tempat
umum yang layak dapat meningkatkan angka kejadian filariasis karena
ketika air pada selokan menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk
sebagai vektor yang dapat menyebarkan filariasi.
Tempat-tempat umum tersebut menurut Depkes (2003)
meliputi bangunan dan sarananya yang dipergunakan oleh masyarakat
umum untuk melakukan kegiatan, oleh karena itu perlu dikelola demi
kelangsungan kehidupan dan penghidupannya untuk mencapai
keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
penggunanya hidup dan bekerja dengan produktif secara sosial
ekonomis.

9
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat dilakukan kerja bakti
untuk membersihkan dan meningkatkan fungsi dari TTU tersebut
sehingga dapat bermanfaat dan berfungsi dengan baik.
5. Rawa-Rawa
Daerah Endemis Filariasis pada umumnya adalah daerah
dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan,
rawa-rawa dan hutan. Cacing filaria Brugia malayi adalah tipe
subperiodik nokturna, mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada siang
dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari
(subperiodik nokturna), nyamuk penularnya adalah Mansonia spp
yang ditemukan di daerah rawa. Lingkungan fisik erat kaitannya
dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya
sumber-sumber penularan Filariasis. Lingkungan fisik dapat
menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk.
Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup
serta keberadaan nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-
rawa dan adanya hospes reservoir (kera, lutung dan kucing)
berpengaruh terhadap penyebaran B.malayi subperiodik nokturna.
Daerah yang rentan dengan penularan filariasis merupakan
daerah rawa-rawa. lokasi tersebut selama ini dikenal memiliki saluran
sanitasi yang kurang baik, sehingga mengakibatkan munculnya sarang
nyamuk yang berpotensi membawa penyebaran penyakit filariasis,
oleh karena itu diperlukan predator alami dengan melakukan budidaya
seperti budidaya ikan untuk menurunkan kehidupan vektor sehingga
tidak terjadi sumber penularan filariasis dengan bekerjasama dengan
lintas sektoral seperti dinas perikanan.
6. Kawasan Mudah Banjir
Pada daerah kabupaten lamongan yang dengan kawasan mudah
banjir dengan kondisi topografi yang relatif dataran rendah sehingga
daerah ini sering terjadi banjir secara periodik. Untuk itu perlu
dilakukan kajian tentang kondisi lingkungan dan pembuatan serta

10
penambahan drainase pemetaan daerah rawan banjir di wilayah
Kabupaten Lamongan.
Solusi untuk mengatasi kawasan mudah banjir pada Kabupaten
Lamongan adalah dengan pembuatan dan penambahan saluran
drainage, serta menyadarkan warga sekitar dengan memberi edukasi
dan peran serta secara fisik maupun materil kepada warga yang berada
di sekitar pinggiran sungai, Dari penjelasan di atas, maka kebijakan
penanggulangan banjir yang bersifat fisik juga harus diimbangi dengan
langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan stakeholder
lainnya diberi tempat yang sesuai. Agar penanggulangan banjir lebih
integratif dan efektif, diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat
pelaksanaan, tetapi juga di tingkat perencanaan kebijakan, termasuk
partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya.
7. Rumah Kurang Layak
Rumah yang memenuhi syarat kesehatan atau rumah layak huni
berpengaruh terhadap angka kejadian filariasis. Rumah yang tidak
layak huni menyebabkan mudahnya vektor filariasis untuk
berkembang biak sehingga resiko penularan meningkat dan angka
kejadian filariasis juga meningkat. Jumlah rumah yang memenuhi
syarat kesehatan atau rumah layak huni di Kabupaten Lamongan
sebesar 68,88% atau sebanyak 215.525 dari 312.915 rumah, sehingga
masih 97.390 rumah yang masih belum layak huni.
Berdasarkan Peraturan Kemetrian Pekerjaan Umum Rakyat
(Kemen PUPR) yang sesuai dengan Kepmen Kimpraswil No.
403/KPTS/M/2002 dan Permenpera Nomor 22//Permen/M/2008, untuk
menciptakan rumah layak huni, haruslah mempertimbangkan berbagai
aspek. Salah satu kriteria rumah layak huni atau tidak adalah dari sisi
kesehatan. Hunian yang di anggap layak haruslah berada di lokasi
yang tidak terkena banjir dan tidak lembab. Selain itu, setiap
ruangannya haruslah memenuhi persyaratan pencahayaan dan sirkulasi

11
udara yang baik. Di sisi lain, ternyata masih banyak pula khalayak
yang kurang peduli dengan kondisi tempat tinggalnya.
Dengan adanya masalah tersebut, solusi yang dapat diberikan
adalah penyuluhan di masyarakat terkait rumah layak huni sehingga
diharapkan adanya penurunan angka kejadian filariasis.

12
BAB III
PENYUSUNAN PROGRAM

A. Upaya/Kegiatan pencegahan
1. Penyuluhan PHBS
Dalam memangani dan menyelidiki suatu kasus penyakit perlu
ditinjau dari berbagai aspek, salah satunya perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS). Bahwa perilaku hidup bersih dan sehat sangat dominan
pengaruhnya terhadap penyebaran penyakit filariasis/kaki gajah.
Peran individu masyarakat dalam merubah serta meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat menghindari diri dari
kontak dengan nyamuk dan mencegah penularan penyakit. Dengan
merubah dan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
seperti menjaga kebersihan lingkungan dan rumah tangga (membuang
sampah pada tempatnya, cuci tangan dengan sabun, dan rutin
olahraga), memasang kasa pada ventilasi, melakukan kegiatan 3M
(menutup, menguras dan mengubur) agar tidak menjadi tempat jentik
dan nyamuk berkembangbiak, dapat mencegah penularan penyakit
filariasis/kaki gajah di wilayah Lamongan. Tujuan dan manfaatnya
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup bersih
dan sehat dalam upaya pencegahan penularan penyakit khususnya
penyakit filariasis.
1. Health promotion
Health promotion atau promosi kesehatan merupakan tingkatan
pencegahan yang pertama dan yang paling utama di lakukan, karena ruang
lingkup kerja dari promosi kesehatan adalah menjadikan orang sehat agar
meningkatkan derajat kesehatannya, jadi, di health promotion sasarannya
adalah orang sehat. Promosi kesehatan di lakukan tidak dengan hanya
memberikan masyarakat informasi tentang kesehatan saja tetapi berusaha
agar mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mengarah pada
kesehatan setinggi tingginya. Tentunya hal ini di lakukan dengan
memberikan pendidikan kesehatan dan intervensi langsung pada
lingkungan mengenai penyakkut filariasis.

13
2. Spesific protections
Spesific protections atau perlindungan khusus merupakan tingkatan
pencegahan penyakut kedua yang di lakukan terhadap host atau penjamu
dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh serta perlindungan terhadp
tubuh (bila di perlukan). Spesific protection dilakukan oleh individu
dengan menyadari bahaya kesehatan yang mengancam di lingkungan
sekitaranya. Usaha yang dapat di lakukannya yaitu menciptakan
lingkungan yang yang tidak memungkinkan vektor filariasis untuk
berkembang baik sehingga tidak menular ke orang lain.

3. Early diagnosis and prompt treatment.


Pada tingkatan Early diagnosis and prompt treatment atau diagnosa dini
dan pengobatan segera , dilakukan apabila seseorang sudah terserang
penyakit atau setidaknya mengalami gejala gejala sebuah penyakit, agar
mencegah orang-orang yang masih sehat tidak tertular penyakit tersebut.
Usaha yang dilakukan adalah diagnosis dini, yaitu pemeriksaan
mikrokopis darah, pengobatan segera, yaitu dengan konsumsi obat DEC.
4. Disabiliti limitation
Disabiliti limitation atau pembatasan kecacatan merupakan tingkatan
dimana seseorang yang telah terserang penyakit dan cenderung
mengakibatkan kecacatan ditindak lanjuti dengan membatasi ruang gerak
kecacatan yang dapat di almainya, serta untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kecacatan (apabila belum terlalu parah). Untuk usaha disability
limitation (pembatasan kecacatan) di berikan obat DEC 100 mg 3x sehari
selama 10 hari sebagai pengobatan individual serata di lakukan perawatan
terhadap bagian organ tubuh yang bengkak.
5. Rehabilitation
Merupakan tingkatan dimana seseorang yang baru sembuh dari
penyakitnya, baik itu sembuh sempurna maupun sembuh dengan
kecacatan di berikan motivasi, latihan, dan di berikan keterampilan agar
dapat melakukan kegiatan seperti biasanya dengan keadaan tubuh yang
tidak normal misalnya, serta agar lebih produktif dan mandiri dan tidak
lupa agar mengembalikan rasa percaya dirinya yang telah hilang setelah
memiliki tubuh yang abnormal. Rehabilitasi yang dapat di lakukan adalah
rehabilitasi fisik, mental dan sosialnya. Usaha yang dapat dilakukan adalah
menyediakan sarana-sarana untuk pelatihan dan pendidikan di rumah sakit
dan di tempat-tempat umum.

B. Upaya/Kegiatan Pengendalian pasien dan kontak


1. Penyuluhan Program KB
Pemerintah memiliki program untuk menangani masalah
kepadatan penduduk yaitu dengan adanya program KB. Adanya

14
penyuluhan Program KB diharapkan masyarakat mampu memahami
program tersebut dan bisa mengimplementasikan program KB
tersebut dengan baik sehingga dapat membantu untuk menekan
kecepatan pertumbuhan penduduk sehingga dapat menurunkan risiko
penularan Filariasis.
2. Peningkatan Sarana Prasarana dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Dalam menangani dan menyelidiki suatu kasus penyakit. Perlu
ditinjau dari fasilitas puksesmas sangat mempengaruhi untuk
mencegah angka penularan pada penyakit filariasis. Dimana fasilitas
dan mutu pelayanan kesehatan serta perilaku petugas dalam
memberikan pengobatan terkait pada dimensi ketanggapan petugas
dalam memenuhi kebutuhan pasien dan kelancaran komunikasi agar
pasien mendapat kesembuhan untuk penyakit filariasis.

C. Upaya/Kegiatan Perbaikan Lingkungan


1. Kerja Bakti
Dilakukan kerja bakti untuk membersihan tempat-tempat umum
diantaranya membersihkan sanitasi air limbah salah satunya denagan
membersihkan selokan, karena biasanya terjadi pengendapan dan
penumpukan sampah yang menghambat sanitasi air limbah tersebut
untuk di alirkan. Membersihkan tempat tempat yang menyebabkan
terjadinya genangan air dengan menutupnya menggunakan tanah
agar tidak terjadi genangan air dan menekan area perkemabangbiakan
vector filariasis dalam hal ini Cacing filaria Brugia malayi adalah tipe
subperiodik nokturna, dan mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada
siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari
(subperiodik nokturna), nyamuk penularnya adalah Mansonia spp
yang dapat ditemuakn pada tempat-tempat umum yang kurang bersih.
3M dilakukan secara menyeluruh untuk memaksimalkan hasil yang
didapat.

15
a. Menguras/membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat
penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat
penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain
b. Menutup rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum,
kendi, toren air, dan lain sebagainya
c. Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang
memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk
yang menularkan demam ber
2. Pembudidayaan Ikan di Rawa-rawa
Cacing filaria Brugia malayi ditularkan oleh berbagai spesies
mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain,
yang berkembang biak di daerah rawa sehingga berpengaruh terhadap
munculnya sumber-sumber penularan Filariasis. Sebagai upaya
perbaikan lingkungan diperlukan predator alami dengan melakukan
budidaya seperti budidaya ikan untuk menurunkan kehidupan vektor
sehingga tidak terjadi sumber penularan filariasis dengan bekerjasama
dengan lintas sektoral seperti dinas perikanan.
3. Penambahan Area Resapan Air
Penanggulangan banjir dilakukan secara bertahap, dari
pencegahan sebelum banjir (prevention), penanganan saat banjir
(response/intervention), dan pemulihan setelah banjir (recovery).
Tahapan tersebut berada dalam suatu siklus kegiatan penanggulangan
banjir yang berkesinambungan. Kegiatan penanggulangan banjir
mengikuti suatu siklus (life cycle), yang dimulai dari banjir, kemudian
mengkajinya sebagai masukan untuk pencegahan (prevention)
sebelum bencana banjir terjadi kembali. Pencegahan dilakukan secara
menyeluruh, berupa kegiatan fisik seperti pembangunan pengendali
banjir yaitu membuat dan menambah drainage di wilayah sungai
sampai wilayah dataran banjir, dan kegiatan non-fisik seperti
pemberian edukasi kepada masyarakat dan pengelolaan tata guna
lahan sampai sistem peringatan dini bencana banjir.

16
Partisipasi masyarakat merupakan proses teknis untuk memberi
kesempatan dan wewenang lebih luas kepada masyarakat, agar
masyarakat mampu memecahkan berbagai persoalan bersama-sama.
Pembuatan dan penambahan area resapan air ini dilakukan
berdasarkan tingkat keikutsertaan (level of involvement) masyarakat
dalam kegiatan tersebut. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk
mencari solusi permasalahan lebih baik dalam suatu komunitas,
dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk
memberi kontribusi berupa upaya secara fisik maupun materil untuk
pembuatan drainage dan penambahan area resapan air di daerah
tersebut. sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif,
efisien, dan berkelanjutan. Semua proses dilakukan dengan
mempromosikan kegiatan pembelajaran dan peningkatan potensi
masyarakat, agar secara aktif berpartisipasi, serta menyediakan
kesempatan untuk ikut ambil bagian, dan memiliki kewenangan
dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam
kegiatan penanggulangan banjir.
4. Penyuluhan Rumah Layak Huni
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan cacing
filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Filariasis menimbulkan
dampak sosial dan ekonomi yang besar. Tujuan penulisan ini adalah
untuk memberikan solusi dan membahas faktor resiko penularan
filariasis berdasarkan faktor lingkungan, perilaku masyarakat, sosial
ekonomi dan rumah hak layak. Yaitu diberikannya solusi dengan
memberikan arahan atau penyuluhan di masyarakat terkait dengan
lingkungan resiko yang terjadi di Kabupaten Lamongan. Yaitu
a. Ventilasi dengan memakai kawat kasa.
b. Memakai kipas angin namun sebelumnya debu yang di dalam
kipas harus sering di bersihkan terlebih dahulu.
c. Kurangi adanya barang-barang bergantung terutama dalam kamar.

17
d. Menjaga kerbersihan didalam rumah sampah di buang pada
tempatnya.
e. Tidak menimbun sampah hingga berhari hari di dalam rumah.
f. Tidak adanya sanitasi lingkungan yang buruk.
Rumah bisa dikatakan layak huni apabila memenuhi persyaratan
keselamatan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan
para penghuninya. Salah satu kriteria rumah layak huni atau tidak
adalah dari sisi kesehatan. Hunian yang di anggap layak haruslah
berada di lokasi yang tidak terkena banjir dan tidak lembab

18
BAB IV
PENYUSUNAN KEGIATAN PRIORITAS

A. Tabel Skoring untuk Menentukan Prioritas Kegiatan


Untuk mempermudah penyelesaian masalah pada skenario diatas
dapat menggunakan sistem skoring. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah penyelesaian masalah berdasarkan skala prioritas dari yang
tertinggi sampai yang terendah.
Tabel IV.1 Penentuan prioritas penyelesaian masalah
P=
No Kegiatan M I V C
M x I xV
C

1 Penyuluhan PHBS 3 4 2 1 24

Peningkatan sarana dan prasarana &


2 4 3 4 4 12
pelayanan ksehatan masyarakat

3 Kerja Bakti 4 4 4 2 32

Keterangan:
P : Prioritas penyelesaian masalah
M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi
dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
I : Implemetasi, kelanggengan selesainya masalah
V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, biaya yang diperlukan
Berdasarkan tabel perbaikan prioritas masalah yang dilakukan
dengan metode skoring, maka prioritas pertama penyelesaian masalah
yang kami lakukan adalah meningkatkan daya keilmuan/pengetahuan
masyarakat tentang filariasis di Kabupaten Lamongan.

19
B. Plan of Activity
Tabel IV.2 Pelaksanaan Kegiatan (Plan of Activity/POA)Kerja Bakti Pencegahan Filariasis di Kabupaten Lamongan tahun 2019-2020
No Kegiatan Sasaran Target Volume Kegiatan Rincian Kegiatan Lokasi Tenaga Pelaksana Jadwal Kebu
Penatalaksanaan Pelak
1. Inventarisasi sasaran 27 Kecamatan 80% kecamatan 1x inventarisasi di Mendata semua Kantor Staff Bupati Desember Data
dan target dan memiliki bisa di Kabupaten penduduk Kecamatan Camat 2019 Alat
penduduk daftarkan Lamongan Kecamatan di Kader desa (mgg I)
sebesar Lamongan
1.354.119 jiwa
2 Menyiapkan dan Karangtarunadi 80% tenaga siap 1 kali dalam sebulan Memilih dan Kantor Camat Desember Mic
melatih kelompok setiap RT-RW di tiap desa menetapkan area kecamatan Kader desa 2019 Kabe
kerja untuk kerja di kecamatan di kerja bakti sekitar Karangtaruna (mgg II) Lapt
bakti, dan lamongan tempat tinggal Alat
memberikan sarana
informasi mengenai
pembudidayaan ikan
di rawa-rawa,
penambahan area
resapan air, dan
penyuluhan rumah
layak huni.
3 Menyiapkan alat dan Alat dan bahan 100% alat dan 1x dalam sebulan Inventarisasi bahan Kantor Camat Desember Saran
bahan serta kerja bakti bahan siap dan alat untuk kerja Kecamatan Kader desa 2019 (mgg III) prasa
pendanaan bakti karangtaruna bakti
Sapu, sekop,
cangkul, sabit,
ember
Dana 100% dana dari
kabupaten

4 Sosialisasi 27 kecamatan di 100% 1x dalam sebulan Pembagian alat dan Kantor Camat Desember Sapu

19
kabupaten kecamatan di bahan untuk kerja kecamatan Kader desa 2019 (mgg IV) Sabit
lamongan kabupaten bakti karangtaruna Seko
lamongan Cang
Emb
5 Pelaksanaan kerja 27 kecamatan di 100% dapat 2 minggu sekali - Mengadakan kerja Area tempat Kader desa Januari 2020 Sapu
bakti kabupaten melakukan pada hari minggu bakti. tinggal Karangtaruna dan (mgg I& III) Sabit
lamongan kegiatan kerja - membersihkan masyarakat Sero
bakti dan selokan. Cang
membersihkan - menutup genangan Emb
selokan air
- mengubur barang
barang tidak
terpakai yang dapat
menumbilkan
genangan air

5 Evaluasi dan Memonitor dan Mengevaluasi 2x dalam sebulan Pelaksanaan monev Mulai dari Mulai dari kader Januari 2020 Lem
Monitoring mengevaluasi berapa capaian tingkat RT, RW, kes. Desa sampai (mgg II & IV) rekap
jumlah kecamatan yang kelurahan, kader kesehatan mone
kecamatan yang terinventarisasi kecamatan, puskesmas
di inventarisasi kabupaten

20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Jadi upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit filariasis
dalam rangka menurunkan angka kejadian penyakit tersebut adalah dengan
dilakukannya program kerja bakti. Selain itu penyuluhan PHBS,
penyuluhan program KB, peningkatan sarana prasarana dan pelayanan
kesehatan masyarakat, pembudidayaan ikan di rawa-rawa, penambahan
area resapan air, penyuluhan rumah layak huni. Melalui sistem skoring,
prioritas program yang kami lakukan adalah program kerja bakti.

B. Saran-saran
Program kerja bakti dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan
sehingga dapat menurunkan angka kejadia penyakit filariasis.

21
DAFTAR PUSTAKA

Chin J. Manual pemberantasan penyakit menular Edisi-ke17. Jakarta:


CVInfomedika; 2006.
Depkes RI. 2010. Rencana nasional program akselerasi eliminasi filariasis 2010-
2014. Jakarta: Ditjen PP & PL;
WHO. 2005. Tool kit for the elimination of lymphatic filariasis, A guide to
implementation for health professionals in Indonesia;
Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. 2011. Buku ajar Parasitologi
Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Badan penerbit FKUI; hlm.107-10.
Kadarusman. 2003. Faktor-faktor yang berhubungandengan kejadian filariasis di
Desa Talang Barat Kecamatan Muara Sabak Kabupaten Tanjung
Jabung Timur Propinsi Jambi Tahun 2003(skripsi). Jakarta: Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia;
Njenga SM, Muita M, Kirigi G, MbuguaY, Mitsui Y, Fujimaki Y,et al. 2000.
Bancroftian Filariasis In Kwale District, Kenya. East Afr Med
J.;77(5):245-9.
Nasrin. 2008. Faktor-faktor lingkungan dan perilaku yang berhubungan dengan
kejadian filariasis di Kabupaten Bangka Barat (tesis). Semarang: Jurusan
Kesehatan Lingkungan,Universitas Diponegoro;
Natadisastra D, Agoes R. 2009. Parasitologi kedokteran: ditinjau dari organ
tubuh yang diserang. Jakarta: EGC;
Sarungu Y, Setiani O, Sulistiyani. 2012. Faktor risiko lingkungan dan kebiasaan
penduduk berhubungan dengan kejadian filariasis di Distrik Windesi
Kabupaten Kepulauan Yapen. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia.;11(1):76-81.
Zainul, Santi R, Hasan. 2004. Populasi nyamuk dewasa di daerah endemis
filariasis studi di desa empat Kecamatan Simpang Empat Kabupaten
Banjar Dalam. Jurnal kesehatan LingkungaN;2(1):85-96.
Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman. 2013. Laporan tahunan P2.
Padang Pariaman:Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman;

22
Juriastuti P, Kartika M, Djaja IM, Susanna D. 2010 Faktor risiko kejadian
filariasis di Kelurahan Jati Sampurna. Makara Kesehatan;14 (1):31-6.
Rosmadeli. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis
di Kabupaten Pesisir Selatan (skripsi). Padang: Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Andalas;
Riftiana N, Soeyoko. 2010. Hubungan sosiodemografi dengan kejadian filariasis
di Kabupaten Pekalongan. Yogyakarta:Jurnal KesehataN Masyarakat,
Universitas Ahmad Dahlan;4(1):1–75.

23

Anda mungkin juga menyukai