Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENYAKIT TROPIS FILARIASIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah
Dosen : Meli Diana, S.Kep., Ns., M.Kes.

Disusun Oleh Kelompok 4 (2A) :

1. Sherly Diana Putri (2201005)


2. Eka Rengga Kusuma W. (2201049)
3. Rafly Bisma Putra W. (2201068)
4. Moch Rizal Fahmi (2201070)
5. Salkha Saeed Abdo B. (2201074)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KERTA CENDEKIA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
baik serta dalam bentuk yang sederhana dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini
kami membahas mengenai Penyakit Tropis Filariasis. Penulisan makalah ini
merupakan salah satu tugas yang diberikan ibu Ns. Meli Diana, S. Kep. M. Kes.
Dalam mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pentusunan
makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini karena pengalaman yang kami miliki masih sangat kurang.
Oleh karena itu, kami berharap kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan, kritik maupun saran yang dapat membangun kami untuk
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini agar kedepannya dapat
menciptakan makalah yang lebih baik.

Sidoarjo, 22 September 2023

Kelompok 4
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................5
PENDAHULUAN........................................................................................................................5
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................6
1.3 TujuanPenulisan.......................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................................7
2.1 Kondisi Terminal.........................................................................................................7
2.1.1 Pengertian Filariasis................................................................................................7
2.1.2 Macam – Macam Filariasis.....................................................................................7
2.2 Patofisiologi Filariasis................................................................................................9
2.2.1 Patofisiologi Filariasis............................................................................................9
2.2.2 Patofisiologi Filariasis Limfatik.............................................................................10
2.2.3 Patofisiologi Onchocerciasis................................................................................10
2.2.4 Patofisiologi Loiasis..............................................................................................11
2.2.5 Patofisiologi Mansonellosis.................................................................................11
2.4. Diagnosis Filariasis..................................................................................................14
2.4.1 Filariasis Limfatik.................................................................................................15
2.4.2 Onchocerciasis.....................................................................................................16
2.4.3 Loiasis..................................................................................................................16
2.4.4 Mansonellosis......................................................................................................16
2.4.5 Pemeriksaan Fisik................................................................................................16
2.4.6 Diagnosis Banding................................................................................................18
2.5.1 Penatalaksanaan Filariasis Limfatik.....................................................................19
2.5.2 Penatalaksanaan Onchocerciasis.........................................................................21
2.5.3 Penatalaksanaan Loiasis......................................................................................22
2.5.4 Penatalaksanaan Mansonellosis..........................................................................22
2.6.1 Program Pemerintah............................................................................................22
BAB III.....................................................................................................................................24
PENUTUP................................................................................................................................24
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................24
3.2 Saran.....................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kaki gajah merupakan suatu penyakit menahun dimana terjadi
pembengkakan di kaki yang dapat menular melalui gigitan nyamuk. Dalam
istilah medis, penyakit ini disebut juga dengan filariasis. Filariasis adalah
penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing mikroskopis.

Pada tahun 2021, WHO memperkirakan secara global, sekitar 884,9 juta
orang beresiko terkena filariasis limfatik (LF) dan 28 negara melaporkan telah
sebanyak 364,9 juta orang. Kasus filariasis di Indonesia tahun 2019 sebanyak
10.758 kasus. Jumlah kasus kronis filariasis yang dilaporkan di Provinsi Jambi
kasus tersebar di 9 kabupaten / kota dengan kasus tertinggi di Kabupaten
Muaro Jambi.

Infeksi ini menular dengan perantara nyamuk sebagau vektor. Filariasis


bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat
dapat menimbulkan cacat menetap. Pengetahuan yang baik mengenai faktor-
faktor apa saja yang berhubungan dengan kasus filariasis, dapat menentukan
pengendalian dan pencegahan yang efektif.

Sebab tiap daerah mempunyai faktor risiko yang berbeda-beda. Faktor


yang berhubungan dengan penyakit filariasis adalah Pergi malam hari, obat
nyamuk, kelambu, memakai pakaian tertutup, penggunaan kawat, semak
belukar, rawa, sawah, kandang ternak, genangan air. Untuk mengendalikan
kasus filariasis harus memperhatikan faktor-faktor tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian filariasis?

1.2.2 Bagaimana Patofisiologi dari filariasis?

1.2.3 Bagaimana tanda dan gejala filariasis?

1.2.4 Bagaimana test diagnosis filariasis?

1.2.5 Bagaimana penatalaksanaa filariasis?

1.2.6 Bagaimana program pemerintah dalam penanggulangan penyakit


filariasis?

1.3 TujuanPenulisan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari filariasis

1.3.2 Untuk mengetahui patofisiologi dari filariasis

1.3.3 Untuk mengetahui tanda dan gejala filariasis

1.3.4 Untuk mengetahui test diagnosa dari penyakit filariasis

1.3.5 Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit filariasis

1.3.6 Untuk mengetahui program pemenrintah dalam penanggulangan


penyakit filariasis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Filariasis
2.1.1 Pengertian Filariasis
Penyakit kaki gajah merupakan suatu penyakit menahun dimana
terjadi pembengkakan di kaki yang dapat menular melalui gigitan
nyamuk. Dalam istilah medis, penyakit ini disebut juga dengan
filariasis. Filariasis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing
mikroskopis.

Terdapat 3 (tiga) spesies cacing filaria yang dapat menyebabkan


filariasis limfatik pada manusia. Namun, umumnya infeksi disebabkan
oleh Wuchereria bancrofti. Di Asia, penyakit ini juga dapat disebabkan
oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Infeksi filariasis menyebar
melalui gigitan nyamuk.

Tidak seperti DBD dan malaria yang hanya ditularkan melalui satu
jenis nyamuk, penyakit kaki gajah dapat ditularkan melalui semua jenis
nyamuk. Cacing dewasa biasanya hidup pada kelenjar getah bening
manusia. Pada orang yang terinfeksi, cacing akan berkembang biak dan
menghasilkan jutaan cacing mikroskopis atau juga dikenal sebagai
mikrofilaria.

Mikrofilaria terdapat dalam darah orang yang terinfeksi. Siklus


hidup antara filaria berbeda-beda bergantung spesiesnya, Siklus hidup
ini terdiri dari fase larva yang berada di dalam tubuh serangga dan fase
dewasa yang berada didalam tubuh manusia. Mikrofilaria yang terhisap
oleh serangga akan kembali menjadi fase larva yang infektif.

2.1.2 Macam – Macam Filariasis


Filariasis dibedakan menjadi 4 jenis dengan spesies penyebab dan
manifestasi klinis
yang berbeda pula, yaitu:

1. Limfatik filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria


bancrofti, Brugia malayi,dan Brugia timori
Filariasis Limfatik atau Kaki Gajah (Elephantitasis)
merupakan salah satu filariasis yang banyak ditemukan.
90% kasus disebabkan oleh W. bancrofti. Infeksi kronik
oleh filaria ini dapat menimbulkan limfangitis, limfadenitis,
kiluria pembengkakan skrotum, hidrokel, funikulitis,
selulitis, dan elefantiasis. Pemeriksaan untuk diagnosis
dapat menggunakan deteksi antigen cepat. Tatalaksana
filariasis limfatik dapat menggunakan diethylcarbamazine,
ivermectin, atau albendazole, tergantung dari adanya
koinfeksi dengan filaria lain.
2. Onchocerciasis yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus
Onchocerciasis dapat menimbulkan gejala berupa nodul
subkutan, gatal, perubahan warna, penurunan elastisitas
kulit, gangguan penglihatan sampai kebutaan, dan gangguan
neurologis seperti kejang dan disabilitas intelektual.
Pemeriksaan baku emas untuk onchocerciasis adalah biopsi
skin snip. Tata laksana lini pertama adalah ivermectin.
3. Loiasis yang disebabkan oleh Loa loa
Loiasis sebagian besar bersifat asimtomatik. Gejala
yang dapat muncul adalah pembengkakan yang berpindah-
pindah, nyeri pada mata, dan gatal di seluruh tubuh.
Penegakan diagnosis loiasis dilakukan dengan menemukan
mikrofilaria pada pemeriksaan apusan darah tebal atau tipis
dengan pewarnaan Giemsa. Tata laksana loiasis bergantung
dari jumlah mikrofilaria.
4. Mansonellosis yang disebabkan oleh Mansonella
streptocerca, Mansonellaperstans, dan Mansonella ozzardi
Infeksi oleh spesies Mansonella biasanya tidak
menimbulkan gejala. Deteksi infeksi mansonella dapat
dilakukan dengan menemukan mikrofilaria, baik dari darah,
biopsi kulit, atau cairan serosa. Tata laksana yang dapat
diberikan adalah diethylcarbamazine atau ivermectin.

2.2 Patofisiologi Filariasis


2.2.1 Patofisiologi Filariasis
Patofisiologi filariasis secara umum melibatkan respons imun
tubuh terhadap cacing dewasa dan mikrofilaria. Infeksi filaria akan
memicu terjadinya respon imun inflamasi akut, yaitu peningkatan
imunoglobulin E (IgE) dan IgG4 oleh stimulasi antigen (cacing mati)
terhadap respon imun tipe Th2. Reaksi inflamasi juga dipengaruhi oleh
adanya bakteri endosimbiotik Wolbachia pada cacing filaria.
Perjalanan penyakit filariasis umumnya terjadi secara kronik
selama beberapa bulan hingga tahun. Faktor yang mempengaruhi
patogenesis filariasis antara lain akumulasi antigen cacing dewasa
dalam limfatik, durasi dan tingkat paparan gigitan vektor, adanya
infeksi sekunder bakteri atau jamur, dan respon imun pasien. Paparan
yang terjadi saat kehamilan (prenatal) dapat memberikan toleransi imun
terhadap antigen parasit kepada bayi, sehingga kejadian filariasis di
daerah endemi sering asimtomatik (memiliki toleransi imun) sampai
munculnya gejala yang sudah berat di kemudian hari, sedangkan
pendatang (bukan penduduk daerah endemi) yang terinfeksi tidak
memiliki toleransi imun, sehingga gejala penyakit langsung muncul dan
biasanya lebih berat.
2.2.2 Patofisiologi Filariasis Limfatik
Manusia dapat terinfeksi filariasis limfatik jika digigit oleh
nyamuk yang mengandung larva cacing filaria. Larva akan masuk ke
pembuluh limfe dan menetap di limfonodi, kemudian berkembang
menjadi cacing dewasa. Proliferasi cacing dewasa akan menyebabkan
oklusi limfatik yang mengganggu drainase limfatik.
Oklusi limfatik akan menyebabkan inflamasi sistem limfatik,
kerusakan pembuluh limfa, dan disfungsi limfa yang meningkatkan
risiko infeksi sekunder, terutama infeksi jamur dan Streptococcus.
Adanya infeksi sekunder akan mencetuskan serangan akut filariasis
limfatik yang berperan penting dalam progresi limfedema (inflamasi
acute on chronic). Serangan akut biasanya ditandai dengan inflamasi
akut lokal pada kulit, limfonodi, dan pembuluh limfatik. Inflamasi acute
on chronic akan menyebabkan fibrosis dan remodelling limfatik.
Cacing-cacing dewasa yang telah mati memicu terjadinya respon
imun inflamasi akut (limfangitis filaria akut), yang berperan dalam
terjadinya obstruksi limfe simtomatik yang kemudian berprogresi ke
sebelah distal di sepanjang pembuluh limfatik yang terinfeksi, terutama
ekstremitas. Respon imun yang terjadi yaitu peningkatan IgE dan IgG4
oleh stimulasi antigen cacing mati terhadap respon imun tipe Th2. Lebih
lanjut dapat muncul abses, yang jika ruptur akan mengeluarkan cacing-
cacing dewasa yang telah mati tersebut.

2.2.3 Patofisiologi Onchocerciasis


Manifestasi yang muncul pada onchocerciasis terutama berkaitan
dengan efek kronik dari episode inflamasi yang berulang. Kasus kronik
onchocerciasis bersifat hyperresponsive terhadap antigen parasit, dan
akan meningkatkan eosinofil dan IgE serum. Pada beberapa kasus, larva
Onchocerca volvulus dapat bergerak dalam tubuh manusia tanpa
mencetuskan respon imun sehingga tidak memunculkan gejala atau
asimtomatik.
Mikrofilaria O.volvulus paling banyak terakumulasi di kulit,
namun dapat juga ditemukan dimata, limfonodi, dan organ dalam lain
dimana dapat menyebabkan lesi inflamasi yang progresif dan berat.
Mikrofilaria akan mati seiring terjadinya respon inflamasi tubuh berupa
sekresi toksin oleh granulosit, kompleks imun di jaringan, dan
mekanisme inflamasi yang diinduksi produk bakteri Wolbachia yang
ada dalam cacing filari, respon inflamasi terhadap mikrofilaria yang
mati di kulit akan menyebabkan kerusakan kulit jangka panjang,
sedangkan respon inflamasi terhadap mikrofilaria yang mati di mata
akan menyebabkan lesi kornea hingga kebutaan.

2.2.4 Patofisiologi Loiasis


Migrasi cacing dewasa di jaringan subkutan mencetuskan respon
imun host berupa peningkatan IgE serum, eosinofil, dan antibodi,
kemudian akan mulai muncul gejala. Beberapa cacing bermigrasi
melalui subkonjungtiva mata dan menimbulkan gejala pada mata.
Reproduksi cacing dewasa akan menyebabkan pelepasan material
antigen yang mencetuskan respon hipersensitivitas tubuh berupa
angioedema, terutama di wajah dan ekstremitas.
Mikrofilaria yang dihasilkan dari reproduksi cacing dewasa
akan menuju ke pembuluh limfe dan meninggalkan papul kemerahan di
kulit. Mikrofilaria dapat terakumulasi dalam sirkulasi pulmonal
kemudian masuk ke sistem darah perifer.

2.2.5 Patofisiologi Mansonellosis


Patogenesis mansonellosis belum banyak diteliti karena sebagian
besar infeksi bersifat asimtomatik dan jarang menimbulkan gejala yang
berat. Munculnya gejala diduga akibat reaksi respons imun tubuh
terhadap filaria dewasa. Hal ini dibuktikan dengan adanya eosinofilia
pada pemeriksaan darah.
2.3 Tanda dan Gejala Penyakit Filariasis
2.3.1 Tanda dan Gejala
Penularan filariasis dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
lingkungan, perilaku dan sosial budaya. Sesuai namanya, gejala utama
kaki gajah adalah pembengkakan pada tungkai. Selain di tungkai,
pembengkakan juga bisa terjadi di bagian tubuh lainnya, seperti
lengan, kelamin, dan dada. Kulit pada tungkai yang bengkak akan
menebal, kering, menjadi lebih gelap, pecah-pecah, dan terkadang
muncul luka.

Sayangnya, tungkai yang sudah mengalami pembengkakan dan


perubahan kulit tidak dapat kembali seperti semula. Pada kondisi ini,
kaki gajah sudah memasuki fase kronik. Pada awal penyakit, penderita
kaki gajah biasanya tidak mengalami gejala apa pun. Hal ini
menyebabkan penderita tidak sadar telah tertular penyakit kaki gajah
(filariasis), sehingga terlambat melakukan penanganan.

Peradangan pembuluh atau kelenjar getah bening juga dapat


muncul di fase awal, berupa pembengkakan setempat pada pembuluh
dan kelenjar getah bening. gejala awalnya berupa demam berulang
kurang lebih 1 sampai 2 kali setiap bulan bila bekerja berat, namun
dapat sembuh tanpa diobati. Timbul benjolan dan terasa nyeri pada
lipat paha atau ketiak tanpa ada luka.

Gejala lainnya ada pembesaran yang hilang timbul pada kaki,


tangan, atau payudara. Itulah yang lama kelamaan pembesaran tersebut
menjadi cacat menetap. Berdasarkan gejala, filariasis limfatik terbagi
dalam tiga kategori yang meliputi, kondisi tanpa gejala, akut, dan
kronis :

1. Tanpa Gejala
Sebagian besar infeksi filariasis limfatik terjadi tanpa
menunjukkan gejala apapun. Meski demikian, infeksi ini
tetap menyebabkan kerusakan pada jaringan limfa dan ginjal
sekaligus memengaruhi sistem kekebalan tubuh.

2. Filariasis Limfatik Akut


Kondisi ini terbagi lagi dalam dua jenis, yaitu:
1) Adenolimfangitis akut (ADL)
Gejala yang muncul adalah demam, pembengkakan
limfa atau kelenjar getah bening (limfadenopati),
serta bagian tubuh yang terinfeksi akan terasa sakit,
memerah, dan membengkak. ADL dapat kambuh
lebih dari satu kali dalam setahun. Cairan yang
menumpuk dapat memicu infeksi jamur pada kulit
yang merusak kulit. Semakin sering kambuh,
pembengkakan bisa semakin parah.
2) Limfangitis filaria akut (AFL)
AFL disebabkan oleh cacing-cacing dewasa yang
sekarat akan memicu gejala yang sedikit berbeda
dengan ADL karena umumnya tidak disertai demam
atau infeksi lain. Disamping itu, AFL dapat memicu
gejala yang meliputi munculnya benjolan-benjolan
kecil pada bagian tubuh, tempat cacing-cacing
sekarat terkumpul (misalnya pada sistem getah
bening atau dalam skrotum).

3. Filariasis Limfatik Kronis


Kondisi ini akan menyebabkan limfedema atau
penumpukan cairan yang menyebabkan pembengkakan pada
kaki dan lengan. Penumpukan cairan dan infeksi-infeksi yang
terjadi akibat lemahnya kekebalan tubuh akhirnya akan
berujung pada kerusakan dan ketebalan lapisan kulit. Kondisi
ini disebut sebagai elefantiasis.
Selain itu, penumpukan cairan juga bisa berdampak
pada rongga perut, testis pada laki-laki dan payudara pada
perempuan. Untuk mengatasi masalah filariasis, Kemenkes
telah mengeluarkan Permenkes nomor 94 tahun 2014 tentang
penanggulangan filariasis. Strateginya dilakukan dengan
POPM untuk memutus mata rantai penularan filariasis.
POPM diberikan sekali setahun selama 5 tahun berturut-
turut. Jenis obat yang dipakai adalah Diethylcarbamazine
Citrate (DEC) dan Albendazole. Strategi lainnya dilakukan
dengan mencuci bagian tubuh yang bengkak dengan air bersih
dan sabun, beri salep antibiotic/antijamur sesuai indikasi.
Hal itu dilakukan untuk mencegah dan membatasi
kecacatan dengan penatalaksanaan kasus filariasis. Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah
menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi
rumah dengan kawat kassa, menggunakan obat nyamuk
semprot/bakar untuk mengusir nyamuk, dan menggunakan
alat pelindung diri atau obat oles anti nyamuk. Masyarakat
penting juga menjaga kebersihan lingkungan, menghilangkan
tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan, atau
mengalirkan air yang tergenang, dan minum obat pencegahan
filariasis secara teratur.

2.4 Test Diagnosa Penyakit Filariasis


2.4.1 Diagnosis Filariasis
Diagnosis Filariasis ditegakkan dengan adanya riwayat tinggal di
daerah endemi, manifestasi klinis yang muncul dan identifikasi
mikrofilaria pada pemeriksaan laboratorium. Filariasis dapat bersifat
asimtomatik pada sebagian besar kasus. Manifestasi klinis berbeda-beda
untuk setiap jenis filariasis.
Saat anamnesis perlu ditanyakan informasi mengenai faktor risiko
seperti tinggal lama di daerah endemi, serta anamnesis keluhan pasien.
Sebagian besar kasus filariasis bersifat asimtomatik, namun beberapa
kasus dapat berkembang menjadi penyakit akut atau kronis. Gejala yang
muncul tergantung jenis filariasis yang terjadi.

2.4.2 Filariasis Limfatik


Sebagian besar kasus filariasis limfatik bersifat asimtomatik,
namun beberapa kasus dapat berkembang menjadi penyakit akut atau
kronis. Gejala klinis akut berupa nyeri kepala, demam, menggigil,
malaise, pembengkakan limfe di daerah pangkal paha dan ketiak, atau
abses. Sedangkan gejala klinis kronik berupa bengkak di kaki (paling
sering), lengan, payudara, dan genital. Gejala urin seperti susu, atau
disebut kiluria, dapat terjadi pada infeksi Wuchereria bancrofti.

Gejala filariasis limfatik mencakup:

1. Demam filarial: demam, rigor dan tremor yang bertahan


selama 1–3 jam, bisa disertai muntah.
2. Limfangitis dan limfadenitis: Nyeri dan eritema di
kelenjar limfe yang terkena.
3. Limfedema: Pembengkakan pembuluh limfe, biasanya
hanya di satu ekstremitas dan lebih sering ditemukan
pada ekstremitas bawah. Dapat disertai rasa nyeri.
4. Hidrokel: Pembengkakan skrotum, dapat didahului
dengan funikulitis.
5. Dermatolimfangiadenitis akut: Nyeri pada daerah yang
terkena, demam, menggigil, nyeri kepala, dan muntah.
6. Kiluria: Bocornya cairan limfe ke urin sehingga urin
berwarna putih susu.
7. Eosinofilia pulmoner tropis: Batuk, sesak napas, suara
napas mengi, dan nyeri dada.

2.4.3 Onchocerciasis
Manifestasi klinis yang muncul pada onchocerciasis disebabkan
oleh adanya mikrofilaria di kulit dan mata, sehingga gejala terutama
muncul di kulit dan mata. Gejala di kulit berupa ruam kulit gatal
(onchodermatitis), sedangkan gejala pada mata diawali dengan mata
gatal dan kemerahan, serta fotofobia. Gejala umum lain seperti
penurunan berat badan, mialgia, dan limfadenitis juga dapat terjadi.

2.4.4 Loiasis
Gejala loiasis berupa pembengkakan Calabar (pembengkakan
tidak nyeri yang terlokalisir di ekstremitas atas dan bawah, serta sekitar
persendian), gatal di area pembengkakan atau di seluruh tubuh, adanya
cacing dewasa yang bergerak dipermukaan mata atau di dalam kulit,
gatal dan nyeri pada mata, dan sensitivitas mata terhadap cahaya. Gejala
lain yang dapat muncul antara lain ruam, mialgia, atralgia, dan fatigue.

2.4.5 Mansonellosis
Mansonellosis umumnya asimtomatik. Jika muncul gejala
biasanya ringan dan tidak spesifik seperti demam, fatigue, atralgia, nyeri
kepala, ruam, gatal, nyeri abdomen, dan gangguan visus jika ditemukan
mikrofilaria di mata.

2.4.6 Pemeriksaan Fisik


Temuan pada pemeriksaan fisik berbeda-beda untuk setiap jenis
filariasis:

1. Filariasis Limfatik
Pada kasus akut akan ditemukan limfadenitis, limfangitis,
dan adenolimfangitis terutama di area inguinal dan aksila.
Lebih lanjut dapat muncul abses yang mengandung kumpulan
cacing dewasa yang telah mati. Jika abses ruptur maka akan
mengeluarkan cacing dewasa yang telah mati tersebut.
30% kasus filariasis limfatik dapat berkembang menjadi
kronik. Pada kasus kronik akan ditemukan limfedema di kaki
(paling sering), lengan, payudara, dan genital. Pada pria,
hidrokel adalah manifestasi filariasis limfatik yang paling
sering ditemukan, terutama jika terinfeksi oleh W. bancrofti.
Selain hidrokel, dapat ditemukan funikulitis, epididimitis,
atau orkitis akibat cacing dewasa mati yang terkumpul di area
skrotum. Pada wanita, lebih sering ditemukan limfedema
hingga elefantiasis (bentuk parah dari limfedema), terutama di
ekstremitas bawah. Dermatolimfangioadenitis akut (inflamasi
akut lokal pada kulit, limfonodi, dan pembuluh limfatik)
seringkali menyertai limfedema kronik. Pada
dermatolimfangioadenitis akut terjadi limfangitis berulang yang
memicu limfedema.
Elefantiasis merupakan bentuk parah limfedema yang
dikarakterisasi sebagai hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan
akantosis.
2. Onchocerciasis
Pada onchocerciasis dapat ditemukan lesi di kulit dan
mata. Lesi kulit yang dapat terjadi antara lain dermatitis,
perubahan pigmentasi kulit seperti macan tutul (leopard skin),
likenifikasi, nodul subkutan (onchocercoma) terutama di daerah
tonjolan tulang, penipisan kulit dengan hilangnya elastisitas
kulit (cigarette-paper appearance), dan atrofi kulit inguinal
(hanging groin). Lesi okular yang dapat ditemukan antara lain
keratitis pungtata, pembentukan pannus, fibrosis kornea,
iridosiklitis, glaukoma, koroiditis, dan atrofi nervus optikus.
Tanpa terapi, lesi pada mata akan berprogresi menjadi
fibrosis kornea dan neuritis optik akut yang menyebabkan
kebutaan.
3. Loiasis
Pada loiasis dapat ditemukan pembengkakan Calabar dan
cacing di mata. Pembengkakan Calabar berupa edema subkutan
non-eritem yang terlokalisir diekstremitas atas dan bawah, serta
sekitar persendian. Cacing dewasa dapat terlihat bergerak di
subkonjungtiva dan menyebabkan kongesti mata.
Cacing di mata biasanya hanya terlihat dalam beberapa
jam hingga kurang dari 1 minggu. Selain di mata, cacing
dewasa juga dapat terlihat bergerak di bawah kulit pada
beberapa kasus. Pada kondisi kronik dapat terjadi kerusakan
ginjal namun hal ini sangat jarang. Temuan klinis lain yang
dapat muncul antara lain urtikaria, artritis, kalsifikasi
dipayudara, meningoensefalopati, fibrosis endomiokardial,
neuorpati perifer, efusi pleura, retinopati, limfadenitis, dan
pembengkakan skrotum.
4. Mansonellosis
Pada pasien simtomatik dapat ditemukan limfadenopati
dan nodul subkutan atau konjungtiva. Temuan lain yang pernah
dilaporkan antara lain perikarditis, pleuritis, dan kelainan visus
jika terdapat mikrofilaria di mata.

2.4.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding filariasis berbeda-beda tergantung pada jenis
filariasis yang terjadi.

1. Diagnosis Banding Filariasis Limfatik


Temuan limfedema pada filariasis limfatik dapat
menyerupai pembesaran limfe pada penyakit podoconiosis,
limfoma, dan sindrom Milroy. Pembeda yang utama adalah
limfedema pada filariasis limfatik bersifat non-herediter dengan
progresi descending mulai dari inguinal ke ekstremitas bawah.
Adanya mikrofilaria dalam darah tepi akan menegakkan
diagnosis limfatik filariasis.
Temuan hidrokel pada filariasis limfatik dapat
menyerupai spermatokel dan tumor testis. Akumulasi cairan
sperma pada spermatokel terdapat pada epididimis, yakni
superior dari testis, sedangkan akumulasi cairan pada hidrokel
terdapat pada anterior dan lateral testis. Lesi pada tumor testis
ada di internal testis (teraba massa padat, keras, tidak nyeri)
dengan transiluminasi negatif, sedangkan cairan hidrokel
terdapat di luar testis dengan transiluminasi positif.
Pemeriksaan ultrasonografi skrotum dapat dengan jelas
Nmembedakan diagnosis dimana pada hidrokel filaria terdapat
pergerakan cacing filaria.
2. Diagnosis Banding Onchocerciasis
Lesi kulit pada onchocerciasis dapat menyerupai lesi kulit
pada lepra, liken planus, skabies, sifilis sekunder,
treponematosis, defisiensi vitamin A, dan alergi makanan.
Diagnosis dapat dibedakan melalui pemeriksaan mikroskopik
dari sampel kulit.

2.5 Penatalaksanaan Filariasis


2.5.1 Penatalaksanaan Filariasis Limfatik
Pilihan terapi filariasis limfatik tergantung ada tidaknya koinfeksi
dengan jenis filariasis lain:

1. Monoinfeksi
Diethylcarbamazine (DEC) oral merupakan terapi pilihan
untuk monoinfeksi filariasis limfatik. Dosis DEC sebagai
monoterapi filariasis limfatik untuk dewasa dan anak usia >18
tahun yaitu 6 mg/kg/hari selama 12 hari. Alternatif terapi
monoinfeksi filariasis limfatik lain yang dapat digunakan yaitu
kombinasi DEC 6 mg/kg/hari selama 12 hari dengan
doxycycline 200 mg sekali sehari selama 6 minggu, atau
doxycycline 200 mg sekali sehari selama 23 hari dilanjutkan
kombinasi doxycycline 200 mg sekali sehari dengan
albendazole 200 mg 2 kali sehari selama 7 hari. Semua regimen
terapi diberikan peroral.
2. Koinfeksi Onchocerciasis
Pada pasien filariasis limfatik dengan koinfeksi
onchocerciasis, terapi yang direkomendasikan adalah
ivermectin 150 µm/kg sebagai dosis tunggal, kemudian
dilanjutkan dengan terapi DEC 1 bulan setelah pemberian
ivermectin. Alternatif lain dapat diberikan doxycycline 200 mg
sekali sehari selama 6 minggu dilanjutkan ivermectin 150
µm/kg sebagai dosis tunggal. DEC tidak boleh diberikan
sebagai terapi tunggal pada pasien filariasis limfatik dengan
koinfeksi onchocerciasis karena dapat meningkatkan risiko
eksaserbasi berat reaksi Mazzotti di mata dan kulit.
3. Koinfeksi Loiasis
Pada pasien filariasis limfatik dengan koinfeksi Loiasis
yang memiliki kadar mikrofilaria >2500/ml, terapi yang
direkomendasikan adalah albendazole 200 mg 2 kali sehari
selama 3 minggu. DEC tidak digunakan pada pasien ini karena
dapat menyebabkan ensefalopati, gagal ginjal, hingga
kematian.
4. Penanganan Limfedema
Pada pasien dengan limfedema, tata laksana suportif
dapat dilakukan seperti mencuci ekstremitas yang terinfeksi
dengan sabun dan air mengalir secara rutin, istirahat cukup,
elevasi ekstremitas, latihan untuk meningkatkan aliran limfatik
pada ekstremitas yang terinfeksi, menggunakan sepatu yang
nyaman, menggunakan balutan (bandage) kompresif, dan
kompresi pneumatic Manfaat terapi DEC pada kasus dimana
sudah terjadi limfedema ataupun elephantiasis diragukan,
karena pada limfedema sudah tidak terjadi infeksi aktif oleh
cacing filaria dan hasil laboratorium umumnya negatif. Steroid
dapat diberikan untuk melunakkan dan mengurangi
pembengkakan jaringan limfedema.
Antibiotik dan antijamur topikal dapat diberikan untuk
mencegah munculnya limfangitis. Bedah eksisi atau
hidrokelektomi dapat dilakukan pada kasus hidrokel besar dan
elephantiasis skrotum. Sedangkan pada kasus elefantiasis
ekstremitas, rekonstruksi jarang berhasil, juga membutuhkan
prosedur yang lebih kompleks serta skin grafting.

2.5.2 Penatalaksanaan Onchocerciasis


Pilihan regimen untuk onchocerciasis tergantung prevalensi dan
transmisi di daerah tersebut. Di daerah dengan angka transmisi tinggi,
diberikan ivermectin 150 µg/kg setiap 3-12 bulan sekali hingga gejala
hilang. Di daerah non-endemi, dapat diberikan regimen ivermectin yang
sama dengan daerah endemi atau diberikan doxycycline 200 mg/hari
selama 4-6 minggu sebelum terapi ivermectin.
Semua regimen terapi diberikan peroral. Pada pasien dengan
koinfeksi loiasis yang memiliki kadar mikrofilaria >2500/ml, ivermectin
tidak diberikan karena berpotensi menimbulkan efek samping serius
toxic encephalopathy, sehingga hanya diberikan terapi doxycycline.
Pada pasien dengan onchocercoma, dapat dilakukan nodulektomi
dengan anestesi lokal untuk menurunkan risiko komplikasi pada kulit.
2.5.3 Penatalaksanaan Loiasis
Pemeriksaan kadar mikrofilaria perlu dilakukan sebelum memulai
terapi. Pada pasien dengan kadar mikrofilaria <2500/ml dapat diberikan
DEC 8-10 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis selama 21 hari. Pada pasien
dengan kadar mikrofilaria >2500/ml, terapi hanya diberikan jika ada
gejala (simtomatik), yaitu dengan albendazole 200 mg 2 kali sehari
selama 3 minggu sebelum terapi DEC. Semua regimen terapi diberikan
peroral.
Pembedahan dapat dilakukan untuk mengeluarkan cacing yang
terlihat pada mata atau di dalam kulit.

2.5.4 Penatalaksanaan Mansonellosis


Pilihan regimen terapi untuk mansonellosis tergantung spesies dan
strain penyebabnya. Pada mansonellosis yang disebabkan oleh
Mansonella streptocerca, dapat diberikan DEC 6 mg/kg/hari dalam 3
dosis terbagi selama 12 hari. Pada mansonellosis yang disebabkan oleh
strain M. ozzardi yang tidak mengandung bakteri Wolbachia, dapat
diberikan ivermectin dosis tunggal 6 mg.
Pada mansonellosis yang disebabkan oleh strain M. perstans yang
tidak mengandung bakteri Wolbachia, dapat diterapi dengan kombinasi
DEC 8-10 mg/kg/hari selama 21 hari dan mebendazole 100-200 mg 2
kali sehari selama 14-21 hari. Strain M. perstans dan M.ozzardi yang
mengandung bakteri Wolbachia dapat diterapi dengan doxycycline 200
mg/hari selama 6 minggu. Semua regimen terapi diberikan peroral.

2.6 Program Pemenrintah Dalam Penanggulangan Penyakit Filariasis

2.6.1 Program Pemerintah


Pencegahan penyakit kaki gajah yang cukup efektif dengan
menghindari gigitan nyamuk dan mengatasi munculnya nyamuk pada
lingkungan. Menjaga kebersihan lingkungan terutama di daerah
endemik sangat penting untuk dilakukan. Cara lainnya yang kamu
lakukan untuk menghindari gigitan nyamuk, seperti mengenakan baju
dan celana panjang, menggunakan losion anti nyamuk, dan
membersihkan genangan air yang ada disekitar lingkungan.

Tidak hanya masyarakat, pemerintah juga ikut melakukan


pencegahan terhadap kaki gajah, guna mewujudkan program Indonesia
Bebas Kaki Gajah tahun 2020. Salah satu program yang akan
dilaksanakan adalah program BELKAGA (Bulan Eliminasi Kaki
GAjah) yang diadakan setiap bulan Oktober sejak tahun 2015.
Program ini berlangsung pada daerah-daerah di seluruh Indonesia yang
menjadi daerah endemik kaki gajah untuk serentak mengonsumsi obat
pencegahan penyakit kaki gajah melalui pelaksanaan Pemberian Obat
Pencegahan Massal (POPM).

Pemberian obat pencegahan kaki gajah juga dilakukan secara


gratis oleh pemerintah agar Indonesia bebas dari penyakit kaki gajah.
Pengonsumsian obat pencegahan kaki gajah dapat dilaksanakan mulai
usia 2-70 tahun. Selain pemberian obat selama satu tahun sekali dalam
waktu minimal 5 tahun, pemerintah juga memiliki program
penatalaksanaan pengidap kaki gajah agar kondisi bisa pulih dan
mampu beraktivitas dengan baik. Pembengkakan yang terjadi akibat
penyakit kaki gajah tidak dapat kembali dengan normal. Untuk itu,
perhatikan pencegahan yang tepat agar terhindar dari penyakit kaki
gajah.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Filariasis ( penyakit kaki gajah ) atau juga dikenal dengan elephantiasis
adalah suatuinfeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup
dalam saluran limfe dankelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk.
Gejala klinis berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe,
pembesarantungkai, buah dada, dan skrotum. Mekanisme penularan penyakit
filariasis yaitu ketika nyamuk yang mengandung larvainfektif menggigit
manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria.

Tahap selanjutnya di dalamtubuh manusia, larva memasuki sistem limfe


dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulancacing filaria dewasa ini
menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya
terjadipembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin.

Penyebab terjadinya penyakit filarisis adalah penyakit menular


( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan
oleh berbagai jenis nyamuk. Usaha-usaha penanganan penyakit filariasis
sebagai tenaga kesehatanlingkungan Pencegahan filariasis dapat dilakukan
dengan menghindari gigitan nyamuk danmelakukan 3M. Pengobatan
menggunakan DEC dikombinasikan dengan Albendazol danIvermektin
selain dilakukan pemijatan dan pembedahan upaya rehabilitasi dapat
dilakukandengan operasi.

3.2 Saran
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani
kasus filariasis karenapenyakit ini dapat membuat penderitanya
mengalami cacat fisik sehingga akan menjadibeban keluarga,
masyarakat dan Negara.
DAFTAR PUSTAKA
Ate, Agustinus Milla., Hinga, Indriati A Tedju., Purnawan, Sigit. 2023. Gambaran
Faktor Lingkungan Fisik, Sosial, Budaya Terhadap Kejadian Filariasis di
Puskesmas Tentake. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI)
6 (2), 272-278.
Balaraju, Ratna., dkk. 2023. Program For Filariasis Elimination in Rural Area Of
Telangan: A Community. Medknow Publications.
Bahrudin, Kesma., Ekawati, Dianita., dkk. 2023. Penilaian Penularan Penyakit
Filariasis di Kabupaten Penukal Abab Lematang. Jurnal Aisyah Medika 8 (1).
Kurniawati, Eti., Harahap, Putri Sahara., Dewi, Ratna Sari. 2023. Upaya
Peningkayan Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Filariasis di Desa
Kemingking dalam Kecamatan Taman Rajo. Jurnal Pengabdian Harapan Ibu
(JPHI) 5 (1) 21-25.
Kementrian Kesehatan RI. 2022. Penyakit Kaki Gajah. Diakses pada tanggal 20
September 2023.
Kementrian Kesehatan RI. 2019. Waspada, Filariasis Ditularkan Melalui Semua
Jenis Nyamuk. Diakses pada tanggal 20 September 2023.
Rahmi, Inggita Raiesa., Sutiningsih, Dwi., dkk. 2022. Faktor – Faktor yang
berhubungan dengan Filariasis di Indonesia: Sistematik Review. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Komunitas 7 (2), 501-521.
Riani, Ipah., Fahdhienie., Arifin, Vera Nazhira. 2023. Faktor – Faktor Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Filariasis Pada
Masyarakat di Desa Leubok Buni Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh
Besar Tahun 2022. Jurnal Kesehatan Masyarakat 7 (1), 981-995.
Siagian, Jenni Lilis S., Paide, Marthen Luther., dkk. 2023. Faktor – Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Distrik Kwoor Kabupaten
Tambrauw. Jurnal Penelitian 15 (2), e899-e899.
Yuziani., Rahayu, Mulyati Sri., dkk. 2021. Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan
Kepatuhan Pengobatan Massal Filariasis di Kecamatan Bhaktiya Aceh
Utara. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Malaikussaleh Vol.7 No.1.

Anda mungkin juga menyukai