Disusun Oleh:
Program Studi Keperawatan Tingkat 3A
Kelompok 4
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SubhanahuWata’ala, yang telah
mengizinkan dan memberikan Rahmat serta hidayah-Nya, Sholawat beserta Salam senantiasa
terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, kepada keluarga-Nya dan sahabat-sahabat
yang taat kepada-Nya. Berkat Irodat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah, yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Keluarga Mengalami Asma”.
Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas Keperawatan Keluarga. Penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan penyusunan yang
akan datang. Akhir kata, semoga kebaikan yang telah diberikan dapat menjadi amal soleh dan
ibadah bagi kita semua, dan mendapatkan balasan lebih dari Allah SWT dari apa yang telah
diberikan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitaian................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penyakit.................................................................................................. 2
2.2 Data Fokus........................................................................................................... 7
2.3 Diagnosa Keperawatan........................................................................................ 9
2.4 Intervensi Keperawatan........................................................................................ 12
2.5 Implementasi........................................................................................................ 16
2.6 Evaluasi................................................................................................................ 17
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 18
3.2 Saran.................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit filariasis ini terjadi melalui gigitan nyamuk mengandung larva infektif. Larva akan
terdeposit dikulit, terpindah ke pembulu limfa berkembang menjadi cacing dewasa selama 6
sampai 12 bulan, dan menyebabkan kerusakan dan pembesaran pembulu limfe (Nurarif &
Kusuma, 2015, p. 144).
Perlu adanya pendidikan dan pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah diwilayah
masing – masing sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini.
Membersihkan lingkungan sekitar adalah hal penting untuk mencegahan terjadinya
perkembangan nyamuk diwilayah tersebut (Padila, 2013, hal. 418).
1.3 Tujuan
1. Untuk menegtahui bagaimana konsep penyakit keluarga yang mengalami filariasis
2. Untuk mengetahui apa saja data fokus keluarga yang mengalami filariasis
3. Untuk mengetahui bagiaman diagnosa keperawatan keluarga yang mengalami filariasis
4. Untuk mengetahui bagaimana intervensi keluarga yang mengalami filariasis
5. Untuk mengetahui bagaimana evaluasi pada keluarga yang mengalami filariasis
1
BAB II
PEMBAHASAN
2. Epidemiologi
Distribusi Filariasis
a. Menurut Orang
Orang yang dianggap berisiko terkena penyakit filariasis adalah :
1) Menyerang semua jenis umur
Laki-laki memiliki risiko 4,7 kali lebih besar daripada perempuan
2) Transmigran lebih berisiko
Kejadian filariasis terjadi pada laki-laki dan perempuan disebabkan karena
kegiatan yang dilakukan pada malam hari, hal ini dikarenakan aktifitas nyamuk
vector filariasis umumnya pada malam hari (nokturna).
b. Menurut Tempat
Saat ini, diperkirakan larva cacing tersebut telah menginfeksi lebih dari 700 juta orang
di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat di regional Asia
Tenggara. (WHO, 2009). Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis
terhadap filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia
merupakan salah satu amper di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk terbanyak
dan wilayah yang luas namun memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di
Indonesia, kejadian filariasis dari tahun 2000-2009 telah mencapai 11.914 kasus.
Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun
1889. Dari ketiga jenis cacing amperl penyebab filariasis, Brugia malayi mempunyai
penyebaran paling luas di Indonesia. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur
yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara
2
Timur. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan
Papua.
Pada tahun 2012 ditemukan kasus baru Filariasis di Provinsi NTT sebesar 414 kasus,
dimana kasus yang tertinggi ditemukan di Kabupaten Sumba Barat Daya yaitu
sebesar 313 kasus.
c. Menurut Waktu
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun
jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Pada tahun
2000 ada 6.233 kasus kronis filariasis dari 26 provinsi di Indonesia. Pada tahun 2005,
tercatat 8.243 penduduk mengalami kasus kronis filariasis di 33 provinsi di Indonesia.
Sampai tahun 2009 tercatat sudah terjadi 11.914 kasus kronis filarisasi yang tersebar
di 33 provinsi di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat
endemisitas yang cukup tinggi.
3. Manifestasi Klinis
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Gejala akut berupa
limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang dapat diserti demam, sakit kepala, rasa
lemah serta dapat pula menjadi abses. Abses dapat pecah yang selanjutnya dapat
menimbulkan parut, terutama di daerah ketiak dan lipat paha.9
Gejala kronik berupa limfedema, lymph scrotum, kiluri, dan hidrokel. Limfedema adalah
pembengkakan yang disebabkan oleh gangguan pengaliran getah bening kembali ke
dalam darah. Lymph scrotum adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit
scrotum. Ditemukan juga vesikel dengan ukuran bervariasi pada kulit, yang dapat pecah
dan membasahi pakaian.10 Kiluria adalah kebocoran yang terjadi akibat pecahnya
saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renalis).9 Hidrokel adalah
pembengkakan yang terjadi pada skrotum karena terkumpulnya cairan limfe di dalam
tunica vaginalis testis.
Gejala klinis tersebut dapat timbul karna dipengaruhi oleh beberapa faktor.
4. Penyebab atau Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko kejadian filariasis adalah sebagai berikut:
a. Faktor Manusia dan Nyamuk (Host)
1) Manusia
a) Umur
Filariasis dapat menyerang semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap
orang memiliki risiko yang sama untuk tertular apabila mendapat tusukan
nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali.
b) Jenis Kelamin
Laki-laki maupun perempuan dapat terserang penyakit filariasis, tetapi
lakilaki memiliki Insidensi lebih tinggi daripada perempuan karena pada
umumnya laki-laki lebih sering terpapar dengan vektor karena pekerjaannya.
c) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas
dalam tubuhnya terhadap filaria, demikian pula yang tinggal di daerah
3
endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit
filariasis. Pada daerah endemis, tidak semua orang yang terinfeksi filariasis
menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum
menunjukkan gejala klinis biasanya telah mengalami perubahan patologis
dalam tubuhnya.
d) Ras
Penduduk pendatang pada daerah endemis filariasis memiliki risiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk
pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, biasanya
menunjukan gejala klinis yang lebih berat walaupun pada pemeriksaan
darah jari mikrofilia yang terdeteksi hanya sedikit.
2) Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air. Siklus
hidup nyamuk akan terputus apabila tidak terdapat air. Sekali bertelur nyamuk
dewasa dapat menghasilkan ± 100-300 butir, dengan ukuran sekitar 0,5 mm.
Setelah 1-2 hari telur akan menetas jadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong
(pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jantan akan terbang
disekitar perindukkannya dan makan cairan tumbuhan yang ada disekitarnya.
Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
telurnya.11 Beberapa aspek penting dari nyamuk adalah:
a) Perilaku nyamuk
(1) Tempat hinggap atau beristirahat
Perilaku nyamuk berdasarkan tempat hinggap atau istirahatnya dapat
diklasifikasikan menjadi eksofilik dan endofilik. Perilaku nyamuk yang
lebih suka hinggap atau beristirahat di luar rumah disebut eksofilik,
sedangkan perilaku nyamuk yang lebih suka hinggap atau beristirahat di
dalam rumah disebut endofilik.
(2) Tempat menggigit Perilaku nyamuk berdasarkan tempat menggigitnya
dapat diklasifikasikan menjadi eksofagik dan endofagik. Perilaku
nyamuk yang lebih suka menggigit di luar rumah disebut eksofagik,
sedangkan perilaku nyamuk yang lebih suka menggigit di dalam rumah
disebut endofagik.
(3) Obyek yang digigit
Perilaku nyamuk berdasarkan obyek yang digigit dapat diklasifikasikan
menjadi antropofilik, zoofilik, dan indiscriminate biters. Perilaku nyamuk
yang lebih suka menggigit manusia disebut antropofilik, sedangkan
perilaku nyamuk yang lebih suka menggigit hewan disebut zoofilik, dan
perilaku nyamuk tanpa kesukaan tertentu terhadap hospes disebut
Indiscriminate biters/indiscriminate feeders.
b) Frekuensi menggigit manusia
4
Frekuensi nyamuk menghisap darah tergantung jenis spesiesnya dan
dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini
berlangsung selama sekitar 48-96 jam.
c) Siklus gonotrofik
Siklus gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk proses pematangan
telur. Waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk.
3) Lingkungan (Environment)
Lingkungan sangat mempengaruhi distribusi kasus filariasis dan mata rantai
penularannya. W.Bancrofti tipe perkotaan (urban) memiliki daerah endemis di
daerahdaerah perkotaan yang kumuh, padat penduduk dan banyak genangan air
kotor sebagai habitat dari vektor yaitu nyamuk C.
5
Hujan dapat mempengaruhi proses perkembangan larva nyamuk menjadi
bentuk dewasa. Jenis hujan, jumlah hari hujan, derasnya hujan, jenis vektor
dan jenis tempat perkembangbiakan (Breeding place) menentukan besar
atau kecilnya pengaruh.
e) Tempat perkembangbiakan nyamuk Nyamuk dapat berkembang biak pada
genangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis
nyamuknya.
f) Keadaan dinding
Keadaan dinding rumah berhubungan dengan kegiatan penyemprotan
rumah (indoor residual spraying) karena insektisida yang disemprotkan ke
dinding akan terserap oleh dinding rumah sehingga saat nyamuk hinggap di
dinding rumah, nyamuk tersebut akan mati akibat kontak dengan insektisida.
Dinding rumah yang terbuat dari kayu memiliki risiko lebih besar untuk
masuknya nyamuk.
g) Pemasangan kawat kasa
Pemasangan kawat kasa pada ventilasi dapat memperkecil risiko kontak
antara nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana
nyamuk sulit untuk masuk ke dalam rumah.
2) Lingkungan Biologi
Faktor lingkungan biologis yang mempunyai peran penting dalam proses
terjadinya penyakit selain bakteri dan virus patogen adalah perilaku manusia,
bahkan dapat dikatakan penyakit kebanyakan timbul akibat perilaku manusia.
Maka dapat dikatakan bahwa orang yang tinggal di rumah yang memiliki
tumbuhan air mempunyai risiko untuk terjadinya penularan penyakit filariasis.
6
d) Pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan pada jamjam nyamuk mencari darah dapat
berisiko untuk terkena filariasis, diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari
ada hubungan dengan kejadian filariasis
e) Pendidikan
Tingkat pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap
kejadian filariasis tetapi umumnya berpengaruh terhadap jenis pekerjaan
dan perilaku kesehatan seseorang.
b. Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarial, yaitu: W.Bancrofti,
B.Malayi, B.Timori. Cacing filarial baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri
khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya cacing filarial tidak
mengeluarkan telur tetapi mengeluarkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan
oleh Arthropoda (nyamuk). Daerah endemis filariasis pada umumnya terdapat di
daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan,
rawa-rawa dan hutan.
7
untuk terkena filariasis. Hasil analisis ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di
Pulau Alor yang menemukan lebih banyak kasus filariasis pada laki-laki dibandingkan
perempuan. (Santoso, 2007).
3. Sistem Keluarga
Hasil penelitian ini bahwa Keberadaan ternak dapat merupakan penghambat untuk
terjadinya penularan filariasis, yaitu dapat menjadi penghambat agar nyamuk tidak
menggigit manusia bila kandang ternak terletak diantara tempat perkembangbiakan dan
rumah pemiliknya. Berdasarkan hasil analisis ternyata ditemukan adanya hubungan
antara keberadaan ternak dengan kejadian filariasis dengan nila p=0,000 (Tabel 8).
(Santoso, 2007).
4. Fungsi Perawatan
a. Kemampuan keluarga dalam mengenal masalah
Individu harus mengikuti Penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang
penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus,
menggunakan obat secara benar, dan berkonsultasi pada tim kesehatan. Pasien
perlu di bantu mengidentifikasi pencetus serangan asma bronkhial yang ada pada
lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus,
termasuk intake cairan yang cukup bagi klien (Indaryani, 2011, p, 34)
b. Kemapuan keluarga dalam mengambil keputusan
Pengetahuan mengenai penyakit filariasis sangat penting dalam pengelolaan
dan mengontrol tertular filariasis. Pasien dan keluarga yang memahami penyakit
asma filarisis akan menyadari bahaya yang di hadapi bila menderita filarisis sehingga
pasien akan berusaha untuk menghindari faktor-faktor pencetus.
Informan utama penelitian ini seluruhnya sudah mengalami pembengkakan kaki
dengan rentang usia antara 22-50 tahun, sebagian besar berpendidikan Sekolah
Dasar (SD), dengan sosial ekonomi menengah ke bawah.
Karakteristik informan dapat dilihat di tabel
Tabel 1. Karakteristik informan penelitian Analisis hasil penelitian mengenai
perilaku pencarian pengobatan pada penderita Filariasis di Kabupaten Wonosobo
menunjukkan temuan seluruh informan terlambat dalam mengakses pengobatan
medis, karena rata-rata penderita sudah mengalami pembengkakan kaki dengan
berbagai komplikasi. Keterlambatan mengakses pengobatan dimungkinkan karena
pada umumnya penyakit filariasis kronis, baru diketahui setelah ada gejala
pembengkakan bagian tubuh tertentu. Hal ini sejalan dengan penelitian lain tentang
gambaran penderita filariasis di Kabupaten Meranti Provinsi Riau, yang menyatakan
bahwa penderita filariasis biasanya baru mengetahui dirinya terkena filariasis setelah
kaki maupun tangannya mengalami pembengkakan, dan biasanya ditemukan satu
tahun keatas setelah terinfeksi cacing filaria
5. Fungsi Keluarga
1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggota keluarga.
8
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung
menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadariadanya
perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan
seberapa besar perubahannya.
Definisi
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan
yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti kerusakan .
Batasan karakteristik
Subjektif
Melaporkan (nyeri) denagn isyarat (misalnya, mengguanakan skala nyeri.
Objektif
Respon ototnom (misalnya diaforesis, perubahan tekana darah, pernafasan, atau denyut
jantung; dialtasi pupil)
Perilaku distraksi (misalnya mondar – mandir, mencari orang, dan aktivitas lain.)
Bukti nyeri yang dapat diamati
Posisi untuk menghidari nyeri
Perilaku menjaga atau sikap melindungi
9
Infeksi
Sindrom koroner akut
Glaukoma
Gangguan citra tubuh(PPNI, Tim Pokja SDKI DPP, 2016 hal. 186)
Definisi
Konfusi pada gambara
Batasan karakteristik
Subjektif (mayor)
Mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian tubuh
Subjektif (minor)
Tidak mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian tubuh
Menghubungkan perasaan negatif tentang perubahan tubuh
Mengungkapkan kekhawatiran pada penolakan/reaksi orang lain
Mengungkapkan perubahan gaya hidup
Objektif (mayor)
Kehilangan bagian tubuh
Fungsi/struktur tubuh berubah/hilang
Objektif (minor)
Menyembunyikan/menunjukkan bagian tubuh secara berlebihan
Menghindari melihat dan/atau menyentuh bagian tubuh
Fokus berlebihan pada perubahan tubuh
10
Respon nonverbal pada perubahan dan persepsi tubuh
Fokus pada penampilan dan kekuatan masa lalu
Hubungan sosial berubah
Faktor yang berhubungan
Mastektomi
Amputasi
Jerawat
Parut atau luka bakar yang terlihat
Obesitas
Hiperpigmentasi
Gangguan eliminasi urine(PPNI, Tim Pokja SDKI DPP, 2016 hal. 96)
Definisi
Disfungsi eliminasi urine
Batasan karakteristik
Subjektif (mayor)
desakan berkemih (urgency)
urine menetes ( dribbling)
sering buang air kecil
nokturia
mengompol
enoresis
Objektif (mayor)
dispensi kandung kemih
berkemih tidak tuntas ( hesytancy)
volume residu urine meningkat
Faktor yang berhubungan
infeksi ginjal dan saluran kemih
hiperglikeni
trauma
kanker
cedera/ tumor/ infeksi medulla spinalis
neuropati diabatikum
neuropati alkoholik
stroke
parkimson
sukeloris multiple
obat alpha adrenergic
Hambatan imobilitas fisik(PPNI, Tim Pokja SDKI DPP, 2016 hal. 124)
Definisi
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari suatu atau lebih ekstremitas secara mandiri.
Batasan karakteristik
11
Subjektif (mayor) saat menggerakan ekstermitas
Subjektif (minor)
Nyeri saat bergerak
Enggan melakukan pergerakan
Merasa cemas saat bergerak
Objektif (mayor)
Kekuatan otot menurun
Rentang gerak (ROM) menurun
Objektif (minor)
Sendi kaku
Gerakan tidak terkoordinasi
Gerakan terbatas lemahor yang berhubungan
Stroke
Cedra medulla spinalis
Trauma
Fraktur
Osteoarthkritis
Osthemalasia
Keganasan
12
a) Mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus, mengurangi panas tubuh
yang mengakibatkan darah vasokonstriksi sehingga pengeluaran panas secara
konduksi
13
e) Fokus informasi harus diberikan pada kebutuhan – kebutuhan sekarang dan segera
lebih dulu, dan dimasukkan dalam tujuan rehabilitasi jangka panjang
f) Mungkin diperlukan sebagai tambahan untuk menyesuaikan pada perubahan
gambaran diri.
4) Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada anggota tubuh
a) Lakukan Retang Pergerakan Sendi (RPS)
b) Tingkatkan tirah baring / duduk
c) Berikan lingkungan yang tenang
d) Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi
e) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas
Rasional
a) Meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kekakuan sendi
b) Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan enegi untuk penyembuhan
c) Tirah baring lama dapat meningkatkan kemampuan
d) Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi
e) Kelelahan dan membantu keseimbangan.
5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi pada kulit
Mempertahankan keutuhan kulit, lesi pada kulit dapat hilang.
a) Ubah posisi di tempat tidur dan kursi sesering mungkin (tiap 2 jam sekali).
b) Gunakan pelindung kaki, bantalan busa/air pada waktu berada di tempat tidur dan
pada waktu duduk di kursi.
c) Periksa permukaan kulit kaki yang bengkak secara rutin.
d) Anjurkan pasien untuk melakukan rentang gerak.
e) Kolaborasi : Rujuk pada ahli kulit. Meningkatkan sirkulasi, dan mencegah terjadinya
dekubitus.
Rasional
a) Mengurangi resiko abrasi kulit dan penurunan tekanan yang dapat menyebabkan
kerusakan aliran darah seluler.
b) Tingkatkan sirkulasi udara pada permukaan kulit untuk mengurangi panas/
kelembaban.
c) Kerusakan kulit dapat terjadi dengan cepat pada daerah – daerah yang beresiko
terinfeksi dan nekrotik.
d) Meningkatkan sirkulasi, dan meningkatkan partisipasi pasien.
e) Mungkin membutuhkan perawatan profesional untuk masalah kulit yang dialami.
2. Komplementer
Nanda (2002) menyatakan bahwa perilaku pencarian pelayanan kesehatan
merupakan aktivitas seseorang yang dilakukan untuk mencari pelayan kesehatan dalam
rangka untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Klien filariasis dalam penelitian
ini berupaya mencari pelayanan kesehatan ke berbagai jenis pelayanan antara lain
tradisional, mistis dan modern. Prilaku pencarian pelayanan kesehatan ini sangat
berkaitan dengan kepercayaan yang dianutnya.
14
Klien dengan filariasis dalam peneltian ini banyak menggunakan obat-obatan
tradisional berdasarkan anjuran dari keluarga ataupaun masyarakat disekitarnya, seperti
menggunakan ramuan yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan untuk dibuat menjadi suatu
obat yang akan dikompreskan atau dimakan sebagai obat untuk menyembuhkan
penyakit. Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara,
obat, dan pengobatannya yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun
temurun dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelenik) atau campuran dari bahan tersebut
secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman
(Zulkifli, 2004). Snyder dan Linquist (2002) menyatakan bahwa obat-obatan herbal bisa
digunakan untuk pengobatan yang bersifat terapi komplementer dan biasanya digunakan
untuk penyakit yang sifat kronis.
DeLaune & Ladner (2002) menyatakan bahwa faktor budaya masyarakat sangat
menentukan prilaku baik itu prilaku yang mungkin dapat diterima maupun yang tidak
berhubungan langsung terhadap kehidupan sehari-hari. Pada saat konsep budaya ini
diaplikasikan terhadap kesehatan, maka hal ini mempengaruhi seseorang untuk
bertindak terhadap kesehatan, menurutnya masyarakat asia lebih banyak
menggunakan pelayanan tradisional seperti herbal untuk pengobatan.
Upaya yang dilakukan klien dengan filariasis didalam penelitian ini juga ada yang
mendatangi pelayanan yang berbau mistis seperti dukun (orang pinter. Kasnodihardjo
(1990) menyatakan bahwa sampai saat ini masih banyak di antara penduduk di
daerah endemis failariasis yang percaya bahwa filariasis merupakan penyakit
keturunan. Sehingga apa yang telah menimpa atau terjadi diterima sebagai nasib.
Bahkan mereka percaya bahwa orang sering demam karena gangguan setan/roh
halus, padahal sebenarnya demam karena terinfeksi cacing filaria.
Oleh karena itu mereka kadang-kadang tidak segera mencari pengobatan ke
tenaga kesehatan namun memilih mendatangi dukun. Bahkan penderita yang sudah
membengkak kakinya (elephantiasis) tidak dibawa ke dokter (Puskesmas atau
Rumah Sakit), melainkan biasanya menaruh kepercayaan untuk penyembuhannya
pada orang yang mereka anggap pintar (orang tua atau dukun). Mereka menganggap
bahwa hanya orang semacam itu yang dapat menyembuhkan atau mengusir
penyakitnya (Addis % Brady, 2007).
Filariasis yang sebagian masyarakat dipandang sebagai penyakit keturunan,
kutukan atau gangguan roh halus menyebabkan sebagian masyarakat akan
mengupayakan pengobatan tradisional terlebih dahulu daripada membawanya ke
rumah sakit atau petugas kesehatan ( Mulyadi, 2007). Hal ini juga didukung oleh
penelitian Nwoke (2007) bahwa masyarakat di daerah endemik percaya bahwa yang
menyebabkan terjadinya filariasis adalah karena faktor keturunan, karena adanya
kekuatan supranatural (santet), spiritual (dosa), dan penyebab dari alam seperti luka,
berdiri di air dingin, dan berjalan di habitat serangga. Sehingga di daerah tersebut
kebanyakan masyarakat mencari pelayanan dari pengobat tradisional, herbalist,
tukang sihir atau di rawat di rumah.
15
Penelitian di India dan Ghana menghasilkan bahwa 46 % - 100 % penderita
dengan filariasis mencari pengobatan ke local healers (dukun) atau ke pelayanan
tradisional selama beberapa tahun. Penelitian di Ghana memperlihatkan bahwa
pengobatan modern seringkali di hindari dan jarang diminati oleh masyarakat.
Mereka lebih memilih pengobatan tradisional dan spiritual. Walaupun banyak pasien
mempercayai bahwa filariasis tidak bisa di obati dan disembuhkan namum mereka
tetap pergi ke pengobatan tradisional dan spiritualist dan menggunakan obat herbal
untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Sebaliknya, beberapa di daerah India,
yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan masyarakat (Public health
care) yang baik, kebanyakan dari mereka lebih memilih berobat ke tenaga kesehatan
walaupun beberapa dari mereka telah berobat ke pengobatan tradisional sebelumnya
(Addiss & Brady, 2007). Hal ini juga didukung oleh penelitian Nwoke (2007) bahwa di
daerah India, masyarakat yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan
lebih memilih berobat ke petugas kesehatan.
Penelitian ini mengidentifikasi ketidakmampuan keluarga dan kurangnya
dukungan finansial untuk penderita untuk melakukan upaya pengobatan penyakitnya,
yang disebabkan karena besarnya. Penderita yang tidak mempunyai dukungan
finansial yang kurang memadai memanfaatkan sumber-sumber dari alam untuk
mengobati penyakitnya dan tidak mendatangi petugas kesehatan karena
keterbatasan biaya. Sumber ekonomi yang pada umumnya dimanfaatkan klien antara
lain : tabungan dan patungan antar anggota keluarga. Faktor ekonomi dapat ikut
menentukan apakah klien selama ini berobat atau membiarkan penyakit yang
menimpa dirinya. Seperti yang dialami klien dalam penelitian ini, mereka lebih banyak
menggunakan bantuan yang berasal dari anak-anak ataupun dari orangtua mereka.
Febrianto (2008) menyatakan bahwa rendahnya status sosial ekonomi akan
menyebabkan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan akan terbatas yang
pada akhirnya akan mendorong meningkatnya prevalensi penyakit filariasis. Selain itu
biaya pengobatan yang mahal juga menyebabkan mereka enggan melakukan
pengobatan karena ketidakmampuan. Studi di Philipina mengkalkulasikan biaya
berobat klien dengan filariasis menghabiskan sekitar US$ 25 perorang setiap ada
serangan baik itu gejala akut (ADLA) ataupun kronis, sehingga lebih banyak dari
mereka lebih memilih melakukan perawatan di rumah daripada membawanya ke
petugas kesehatan.
16
merubah atau memanipulasi fokal, konstektual, dan residula stimulasi dan juga memperluas
kemampuan koping seseorang pada zona adaptasi sehingga total stimuli berkurang dan
kemampuan adaptasi meningkat (Asmadi, 2008).
King (1981) menggambarkan sebagai disiplin ilmu dan praktek, sebagai ilmu keperawatan
mengobservasi, mengklasifikasi dan menghubungkan proses yang secara positif berpengaruh
pada statatus kesehatan yang meliputi: Keperawatan berusaha untuk mengintegrasikan,
sistem pribadi interpersonal dan sosial yang mempengaruhi kesehatan pasien dan merupakan
model penting untuk perawatan kesehatan di masa sekarang dan di luar (Whelton, 1999).
Model konseptual King menggaris bawahi pentingnya interaksi perawat-pasien yang
menganggap antarmuka ini sebagai suatu sistem terbuka yang bersentuhan terus dengan
berbagai faktor lingkungan ( George, 2002). teori sistem dan teori pencapaian tujuan king
langsung bergabung dengan sistem klasifikasi seperti hasil keperawatan, intervensi, dan
diagnosis, menunjukkan bahwa teori pencapaian tujuan sangat penting untuk berbasis bukti
praktek keperawatan (Malinski, 2002).
Keterampilan komunikasi yang buruk juga mempengaruhi penetapan tujuan dan pencapaian
tujuan (Williams, 2001). keharusan bagi perawat dalam serangkaian komunikasi dengan
pasien maupun dalam penyuluhan kesehatan dimasyarakat. Empat keharusan tersebut
yakni:pengetahuan, ketulusan, semangat, praktek (Karioso). Dalam tahap ini yaitu
pengaplikasiannya tetap berkomunikasi dan berkerja sama dalam penanganan terhadap
pasien.
2.6 Evaluasi
1. Formatif (Tujuan Khusus/Jangka Pendek)
1. Tercapai sebagian, pasien menunjukan perilaku tapi tidak sebaik yang ditetapkan
dalam pernyataan tujuan
2. Klien menunjukan perilaku dan respon yang baik dan sesuai dengan pernyataan
tujuan yang ditetapkan
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan pada kelenjar getah
bening Suhu tubuh pasien dalam batas normal.
b. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe Nyeri hilang
c. Harga Diri Rendah berhubungan dengan perubahan fisik
d. Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada anggota
tubuh
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi pada
kulit Mempertahankan keutuhan kulit, lesi pada kulit dapat hilang.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres. Cacing
tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa
demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening. Pemberantasan
filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan transmisi penularan,diperlukan
program yang berkesinambungan dan memakan waktu lama karena mengingat masa hidup
dari cacing dewasa yang cukup lama.
Faktor–faktor risiko terjadinya penyakit filariasis adalah faktor manusia, nyamuk, lingkungan
dan agen. Upaya pencegahannya dengan memberikan penyuluhan, melakukan
penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan
menggunakan kelambu memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan
tempat perkembangbiakan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa
dan membunuh larva dengan larvasida
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini juga penulis menyadari bahwa dalam perbuatan makalah
masih terdapat banyak kesalahan, kekurangan serta kejanggalan baik dalam penulisan
maupun dalam pengonsepan materi. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar kedepan lebih baik dan penulis berharap kepada semua pembaca
mahasiswa khususnya, untuk lebih ditingkatkan dalam pembuatan makalah yang akan datang.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anindita dan Hanna Mutiara (2016) Filariasis: Pencegahan Terkait Faktor Risiko JK Unila |
Volume 1 | Nomor 2| Oktober 2016
Nasrizal (2013) Studi Literatur Penyakit Filariasis Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.7 No.1
2012-Maret 2013,
Nadirawati (2010) Studi Fenomenologi Makna Perawatan Filariasis Untuk Klien Dewasa Di
Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung, 2010.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : Dewan
pengurus pusat persatuan perawat nasional indonesia, 2016.
19
Ruth Puspita Dheo, Siti Masfiah, Arrum Firda Ayu Maghfiroh, (2019 ) Perilaku Pencarian
Pengobatan dan Perawatan Mandiri pada Penderita Filariasis di Kabupaten Wonosobo
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 14 / No. 2 / Agustus 2019
Sipentri (2017) Keperawatan Pada Tn.U Dengan Filariasis Di Desa Rena Panjang Wilayah Uptd
Puskesmas Tumbuan Kecamatan Lubuk Sandi Kabupaten Seluma Kota Bengkulu Volume
5 No. 2 (Desember 2017)
Santoso (2007) Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kasus Filariasis di Masyarakat (Analisis
Lanjut Hasil Riskesdas 2007)
https://samoke2012.wordpress.com/2018/08/29/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan-
filariasis/
Samoke2012.wordpress.com/2018/09/01/asuhan-keperawatan-pasien-dengan-filariasis/
20