Anda di halaman 1dari 20

Untuk memenuhi Tugas Epidemiologi Penyakit Menular

DI SUSUN OLEH :
TITI RAKHMADHANY 108101000002
MIZNA SABILLA 108101000010
SITI FARHATUN 108101000025

KESMAS 4A

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit kronis yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk, dan dapat menyebabkan kecacatan dan stigma. Penyakit ini merupakan penyakit
menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis )
dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran
kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Filariasis disebabkan oleh tiga
spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Penyakit
Kaki Gajah bukanlah penyakit yang mematikan, namun demikian bagi penderita mungkin
menjadi sesuatu yang dirasakan memalukan bahkan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari serta
menurunkan produktivitas. Penyakit Filariasis disebut juga dengan Elefentiasis, karena
penderitanya sering mengalami bengkak di kaki yang sangat besar menyerupai kaki gajah.1
Orang terkena penyakit ini sering tidak dapat melakukan pekerjaan karena kecacatan mereka
atau karena sebagian orang enggan berdekatan dengan mereka.

Di Indonesia, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit Kaki


Gajah ini tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali
ditemukan di Jakarta pada tahun 1889. Ahli epidemiologi dari FK UI, Sholeh Imari mengatakan
bahwa rata-rata prevalensi endemis filariasis di Indonesia sekitar 19% dan Papua yang
merupakan daerah paling tinggi prevalensinya yaitu sekitar 38 persen.2 Menurut info dari WHO,
urutan negara yang terdapat penderita mengalami penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India

1
Profil kesehatan 2008
2
http://kabar.in/2009/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/11/20/kaki-gajah-ditularkan-oleh-penderita-yang-
tanpa-gejala-klinis.html
dan Bangladesh), Afrika, Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara
Thailand dan Indonesia (Asia Tenggara). 3

Meskipun banyak masyarakat yang sudah mengetahui bahaya penyakit tersebut, namun
masih banyak juga yang belum tanggap terhadap penyakit ini dan kurangnya pengetahuan
tentang penyakit ini. Sehingga masyarakat merasa mempunyai ketidaktahuan akan bagaimana
proses penyebaran penyakitnya, maka masyarakat juga banyak yang tidak tahu langkah-langkah
apa yang harus dilakukan agar mereka terhindar dari penularan penyakit ini. Penulis membuat
paper ini yang yang berisi tentang epidemiologi filariasis/perkembangan penyakit filariasis
beserta prevalensi di Indonesia dan dunia, konsep Host-Agent-Environment, riwayat alamiah
penyakit, faktor risiko, etiologi, dan program pencegahan serta penanggulangannya.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan penyakit filariasis di Indonesia?

2. Berapa besar prevalensi penyakit filariasis di Indonesia dan dunia?

3. Bagaimana konsep Host-Agent-Environment penyakit filariasis?

4. Bagaimana interaksi antara Host – Agent dan Environment?

5. Bagaimanakah riwayat alamiah penyakit pada penyakit filariasis?

6. Bagaimanakah etiologi penyakit filariasis?

7. Bagaimanakah program pencegahannya?

8. Bagaimanakah program penanggulangannya?

3
http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.htm
BAB II

PEMBAHASAN

1. Perkembangan Filariasis di Indonesia

Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan van Eecke pada tahun 1889 di
Jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula maka Jakarta
diketahui endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh W. bancrofti. Flu pada tahun 1921
telah menemukan kasus microfilaremia di Jakarta. Mikrofilaria dari filaria tersebut mempunyai
morfologi yang berbeda dengan W. bancrofti. Demikian juga manifestasi klinisnya berbeda
dengan manifestasi klinis oleh infeksi W.bancrofti. Brugia malayi belum terindentifikasi sampai
tahun 1927, pada saat itu masih dinamakan Filaria malayi oleh Brug (1928). Pada tahun yang
sama Lichtenstein merubah nama genus menjadi Brugia tetapi nama spesies tetap. Pinhao (1961)
dan David dan Edeson (1964,1965) telah menemukan mikrofilaria yang mirip dengan
mikrofilaria B.malayi pada manusia di Timor Portugis. Sementara itu mikrofilaria yang sama
ditemukan di Timor Barat,Flores dan Alor, Pada periode tersebut penelitian difokuskan pada
penyebaran W. bancrofti dan B.malayi. Penemuan yang tidak kalah pentingnya adalah
pada saat Palmieri et al pada tahun 1980 menemukan spesies baru dari Wuchereria pada lutung
(Presbythis cristatus) di Kalimantan Selatan. Spesies baru tersebut diberi nama Wuchereria
kalimantani.
Wuchereria bancrofti tipe perdesaan masih banyak ditemukan di Papua dan beberapa
daerah lain di Indonesia. Sepuluh spesies nyamuk telah diidentifikasi sebagai vektor tetapi vektor
utamanya adalah Anopheles farauti dan An. punctulatus. Wuchereria bancrofti tipe urban
ditemukan di kota-kota besar antara lain Jakarta, Semarang, Pekalongan dengan nyamuk
vektornya : Culex quinquefasciatus. Brugia malayi ditemukan tersebar di berbagai wilayah di
Indonesia, umumnya di daerah pantai dan dataran rendah. Vektornya adalah enam spesies
Mansonia yaitu, Ma. uniformis, Ma. bonneae, Ma. dives,
Ma. annulata, Ma. annhulifera dan Ma. Indiana sedangkan di Indonesia bagian timur ditambah
Anopheles barbirostris sebagai vektor utama. Brugia malayi mempunyai reservoir yaitu kucing
(Felis catus) dan kera (Presbytis cristatus dan Macaca fascicularis) dengan demikian B. malayi
merupakan penyakit zoonosis. Brugia timori ditemukan di pulau-pulau Nusa Tenggara Timur
dan kepulauan Maluku Selatan. Brugia timori umumnya endemik di daerah persawahan dan
vektor utamanya adalah An. barbirostris.
Di Indonesia kurang lebih 10 juta orang telah terinfeksi oleh filariasis sedangkan kurang
lebih 150 juta orang hidup di daerah endemik (population at risk). Berbagai metoda untuk
memberantas filariasis di Indonesia telah dilakukan, antara lain, pengobatan masal dengan dosis
standar di sekitar Bendungan Gumbasa di Sulawesi Tengah dan di Banjar, Kalimantan Selatan.
Pengobatan dengan dosis rendah yang diikuti oleh dosis standar telah dilakukan di Kalimantan
Selatan, Flores Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi dengan hasil yang sangat baik. Dengan
melihat pengalaman penelitian maka program pemberantasan filariasis memutuskan melakukan
pemberantasan dengan menggunakan DEC dosis rendah seminggu sekali selama 40 minggu.

2. Prevalensi Filariasis

Di Indonesia, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit


Kaki Gajah ini tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil
survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di
231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233
orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate
(Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100
juta orang mempunyai resiko tinggi untuk tertular karena nyamuk penularnya tersebar luas.
Pada tahun 2008, jumlah kasus kronis filariasis mencapai 11.699 kasus di 378
kabupaten/kota.4. Sedangkan sebanyak 316 dari 471 kabupaten/kota telah terpetakan secara
epidemiologis endemis filariasis. Berdasarkan hasil pemetaan didapat prevalensi
mikrofilaria di Indonesia 19% dari seluruh populasi Indonesia yang berjumlah 220 juta
orang, berarti terdapat 40 juta orang didalam tubuhnya mengandung mikrofilaria dan 150
juta orang hidup di daerah endemik filariasis. Biasanya daerah endemik adalah daerah

4
http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/
dengan hutan rawa, sepanjang sungai besar atau badan air yang lain, kawasan kumuh kota,
daerah padat penduduk dan banyak genangan air kotor.5
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, sampai Oktober 2009 penderita kronis
filariasis tersebar di 386 kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan hasil pemetaan nasional
diketahui prevalensi mikrofilaria sebesar 19%, artinya kurang lebih 40 juta orang di dalam
tubuhnya mengandung mikrofilaria (cacing filaria) yang mudah ditularkan oleh berbagai
jenis nyamuk.6
Filariasis limfatik ditemukan di daerah tropis Asia, Afrika, Amerika tengah dan
selatan, dan kepulauan Pasifik dengan taksiran 120 juta manusia di 80 negara yang
terjangkit. Lebih dari 40% di India dan 33% di Afrika.. Di Afrika prevalensi keseluruhan
filariasis adalah 9,2%. Filariasis limfatik yang disebabkan cacing dapat menurunkan
produktivitas penderita, keluarga, dan secara tidak langsung menurunkan produktivitas
masyarakat.

3. Konsep Host, Agent, dan Environment

• Faktor Host

Faktor host adalah faktor-faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu
tersebut terhadap faktor agent. Semua orang mungkin rentan terinfeksi, namun ada perbedaan
yang bermakna secara geografis terhadap jenis dan beratnya infeksi. Infeksi ulang yang terjadi di
daerah endemis dapat mengakibatkan manifestasi lebih berat seperti elephantiasis. Masyarakat
pedesaan yang tinggal di daerah persawahan terbuka yang sebagian besar ditemukan di Asia
Tenggara juga rentan terkena filariasis dengan agen Brugia malayi.

• Faktor Agent

Agen adalah semua unsur atau elemen hidup maupun tak hidup yang kehadirannya atau
ketidakhadirannya, bila diikuti dengan kontak yang efektif dengan kontak manusia yang rentan
dalam keadaan yang memungkinkan, akan menjadi stimuli untuk menginisiasi dan memudahkan

5
http://kesehatan.kompas.com/read/2008/04/18/11491580/Atasi.Filariasis.dengan.Efek.Samping.Ringa
n
6
http://www.depkes.go.id
terjadinya suatu proses penyakit. Agent dari suatu penyakit meliputi agent biologis dan agent non
biologis (misalnya: agent fisik, agent kimia, dll).

Filariasis disebabkan agent biologis (yang bersifat parasit pada manusia), agent tersebut
termasuk kelompok metazoa (athropoda dan helmints). Agent filariasis adalah 3 spesies cacing
filarial : Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. Cacing ini menyerupai benang
dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. Cacing ini
dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 – 6 tahun dan dalam tubuh manusia
cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah
terutama malam hari.

Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia,
Aedes & Armigeres. Karena inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat.

• Faktor Environment

Faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinsik yang dapat mempengaruhi keterpaparan


pejamu terhadap faktor agent.

1. Lingkungan Fisik

a. Iklim

Daerah endemis filariasis tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia
termasuk Asia, Afrika, China, Pasifik dan sebagian Amerika. Indonesia merupakan salah satu
negara yang terletak di daerah tropis, yang menyebabkan rawan terjadinya filariasis. Keadaan
geografis ini mempengaruhi kebiasaan hidup seseorang sehingga memudahkan terjangkitnya
suatu penyakit, misalnya di daerah dengan keadaan udara yang panas menyebabkan orang
memakai baju setipis dan sesedikit mungkin, sehingga memudahkan terjadinya gigitan nyamuk
yang merupakan vektor dari filariasis.

b. Suhu & Kelembaban


Suhu yang menunjang perkembangan vektor filariasis adalah 230C - 32,10C dan
kelembaban 68% - 90%. Wuchereria bancrofti endemis di sebagian besar wilayah di dunia di
daerah dengan kelembaban yang cukup tinggi termasuk Amerika Latin(fokus-fokus penyebaran
yang tersebar di Suriname, Guyana, Haiti, Republik Dominika dan Costa Rica), Afrika, Asia dan
Kepulauan Pasifik.

c. Geografis
Di Indonesia penyakit filariasis ditemukan di daerah khatulistiwa terutama di daerah
dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang umumnya didapat di pedesaan
daerah luar Jawa-Bali. Berdasarkan survei entommologi pada tanggal 1-30 April 2007 ditemukan
vektor filariasis pada kondisi lingkungan didapatkan vektor berada di daerah sawah dan rawa-
rawa sebesar 77,8%, parit sebesar 100%, dan kolam sebesar 55,5%. Tetapi kadang-kadang juga
ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Filariasis brugia hanya ditemukan di
pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Wuchereria bancrofti
umum ditemukan di daerah perkotaan dengan kondisi ideal untuk perkembangbiakan nyamuk.
Secara umum periodisitas nokturnal dari daerah endemis Wuchereria di wilayah Pasifik yang
ditemukan di sebelah barat 140˚ bujur timur sedangkan dengan subperiodisitas diurnal
ditemukan di wilayah yang terletak di sebelah timur daerah 180˚ bujur timur. Brugia malayi
endemis di daerah pedesaan di India, Asia Tenggara, daerah pantai utara China dan Korea
Selatan. Brugia timori keberadaannya di daerah pedesaan di Kepulauan Timor, Flores, Alor dan
Roti di Tenggara Indonesia.

d. Air

Vektor filariasis suka menggunakan tempat-tempat genangan air sebagai tempat


perindukan yang sesuai untuk pertumbuhan dari telur menjadi dewasa.

2. Lingkungan Biologi

a. Reservoar

Sumber infeksi filariasis bukan hanya manusia, melainkan kucing dan kera, meskipun
hewan lain mungkin juga terkena infeksi.
b. Vektor

Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis
cacing filarianya. Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor
dari genus mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres. Vektor tersebut adalah :

1. W. bancrofti perkotaan dengan vektornya Culex quinquefasciatus

2. W. bancrofti pedesaan dengan vektor Anopheles, Aedes dan Armigeres

3. B. malayi dengan vektor Mansonia spp, Anopheles barbirostris.

4. B. timori dengan vektor Anopheles barbirostris.

Culex memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Aedes Aegepty, bila Aedes aegepty suka
hidup pada air bersih maka Culex menyukai air yang kotor seperi genangan air, limbah
pembuangan mandi, got ( selokan ) dan sungai yang penuh sampah. Culex, nyamuk yang
memiliki ciri fisik coklat keabu-abuan ini mampu berkembang biak di segala musim. Hanya saja
jumlahnya menurun saat musim huijan karena jentik-jentiknya terbawa arus. Nyamuk ini
melakukan kegiatannya di malam hari.

c. Flora

Tanaman air pada rawa-rawa merupakan tempat perindukan nyamuk yang menjadi vektor
filariasis. Hutan dan kebun yang dipenuhi pepohonan juga menjadi tempat bermukimnya
nyamuk.

3. Lingkungan Sosial-Ekonomi

a. Kepadatan penduduk
Biasanya daerah endemik adalah daerah padat penduduk, karena dengan penduduk yang
padat maka penularan filariasis melalui vektor yang mengandung mikrofilaria dari satu orang
yang terinfeksi kepada yang lain akan lebih mudah dan cepat.

b. Tingkat pengetahuan

Tingkat pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian filariasis. Orang yang memiliki


pengetahuan tinggi tentang filariasis dan kesehatan, mereka dapat melakukan pencegahan yang
dimulai dari diri sendiri.

4. Interaksi antara Host – Agent dan Environment

a. Interaksi agent-lingkungan

Agent dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan (tanpa menghiraukan karakteristik dari
host). Perubahan pada lingkungan menyebabkan mudahnya penyebaran dari agent.

b. Interaksi Host-Lingkungan

Adalah keadaan dimana host dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan (tanpa
menghiraukan faktor agen), biasanya juga pada tahap prepatogenesis dan patogenesis.

c. Interaksi Host-Agent

Adalah keadaan dimana suatu agent telah berada dalam diri host, bermukim dengan baik,
berkembang biak dan mungkin telah menstimuli respons dari host dengan timbulnya tanda-tanda
dan gejala-gejala klinis.

d. Interaksi Agent-Host-Lingkungan
Adalah keadaan dimana agent, host dan lingkungan saling mempengaruhi satu dengan
lainnya dalam menginisiasi timbulnya suatu proses penyakit.

5. Riwayat Alamiah Penyakit

1. Periode prepatogenesis

Periode prepathogenesis adalah adanya interaksi awal antara faktor-faktor host,


agent dan environment. Pada fase ini penyakit belum berkembang tapi kondisi yang
melatarbelakangi untuk terjadinya penyakit telah ada. Fase rentan termasuk dalam
tahapan prepathogenesis.

• Fase Rentan (susceptibility phase)

Fase rentan adalah tahap berlangsungnya proses etiologis, di mana faktor


penyebab pertama untuk pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Pada filariasis, fase ini
terjadi ketika seseorang digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam
tubuhnya mengandung larva stadium 3 (L3). Masa prepaten, masa antara masuknya larva
infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja
dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok
mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Nyamuk sendiri
mendapat mikro filarial karena menghisap darah penderita atau dari hewan yang
mengandung mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor menghisap darah penderita
(mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut terhisap bersama darah dan
masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh nyamuk microfilaria tidak berkembang
biak tetapi hanya berubah bentuk dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva
3, karenanya diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi. Didalam tubuh
manusia larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa
jantan atau betina serta bekembang biak. Di sini faktor penyebab pertama belum
menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya
penyakit.7

7
http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kaki-gajahfilariasis/
2. Periode Pathogenesis

Yaitu periode dimana telah dimulai terjadinya kelainan/gangguan pada tubuh


manusia akibat interaksi antara stimulus penyakit dengan manusia sampai terjadinya
kesembuhan, kematian, kelainan yang menetap dan cacat. Periode pathogenesis dapat
dibagi menjadi fase subklinis, fase klinis dan fase penyembuhan.

• Fase Subklinis

Fase ini disebut juga dengan pre-symtomatic, dimana perubahan faali atau system
dalam tubuh manusia (proses terjadinya sakit) telah terjadi, namun perubahan tersebut
tidak cukup kuat untuk menimbulkan keluhan sakit dan pada umumnya pencarian
pengobatan belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan mikroskopis darah pada waktu
malam hari, maka akan ditemukan mikrofilaria dalam tubuh mereka. Begitu pula jika
meminum obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) yang sedang digalakkan oleh
pemerintah dalam program eliminasi penyakit kaki gajah, akan timbul efek samping
seperti sakit kepala, sakit tulang atau otot, pusing, anoreksia, muntah, demam, dan alergi
yang menandakan terdapat microfilaria dalam tubuh mereka.

• Fase Klinis

Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh telah cukup
untuk memunculkan gejala-gejala (symptoms) dan tanda-tanda (signs) penyakit. Adapun
gejala akut yang dapat terjadi antara lain :

• Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan
muncul lagi setelah bekerja berat
• Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
• Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis)
• Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
• Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)

Sedangkan gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang
menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis
skroti).8

• Fase Konvalesens

Merupakan tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa fase konvalesens
(penyembuhan) dan meninggal. Fase konvalesens dapat berkembang menjadi sembuh
total, sembuh dengan cacat atau gejala sisa (disabilitas atau sekuele). Filariasis dapat
disembuhkan jika diobati sedini mungkin, namun jika tidak mendapatkan pengobatan
dapat mengakibatkan Disabilitas (kecacatan/ketidakmampuan) karena terjadi penurunan
fungsi sebagian struktur/organ tubuh, yaitu berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat
kelamin baik perempuan maupun laki-laki sehingga menurunkan fungsi aktivitas
seseorang secara keseluruhan.

6. Etiologi

Penyakit filariasis disebabkan oleh genus Filaria yang merupakan cacing darah jaringan,
sedangkan spesies nyamuk berperan sebagai sumber penularan antar manusia. Secara
epidemiologi sasarannya adalah masyarakat pedesaan yang beradaptasi terhadap cacing dan
menyebabkan cacat badan seumur hidup berupa elephantiasis. Pendatang di daerah endemis
rentan terhadap penularan, karena daya immunitas yang belum dipunyai sebelumnya. Penyakit

8
http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html
filariasis di Indonesia disebabkan oleh : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori.
Kucing dan kera dapat diduga sebagai sumber penularan melalui vektor nyamuk.
Macam-macam spesies penyebab filariasis dengan nama klinisnya :
o Wuchereria bancrofti menyebabkan filariasis limfatik bancrofti.
o Brugia malayi menyebabkan filariasis limfatik malayan.
o Loa loa menyebabkan loaiasis atau Calabar swelling.
o Onchocerca volvulus menyebabkan filariasis kutaneus atau onchocersiasis.
 Perlu diingat beberapa spesies Filaria lain, yaitu :
• Tetrapetalonema perstans menyebabkan gejala alergi.
• Tetrapetalonema streptocerca menyebabkan iritasi.
• Mansonella ozzardi menyebabkan luka dan radang.
 Transmisi

Serangga yang menggigit - mengisap darah, merupakan perantara penyakit filariasis.


Larva ikut terisap oleh serangga melalui kulit atau jaringan kulit yang luka. Tiap spesies
mempunyai vektor sendiri-sendiri.
 Siklus hidup

Larva filaria masuk melalui kulit, kemudian akan melanjutkan migrasi ke seluruh tubuh
manusia mengikuti aliran darah; dalam waktu 315 bulan akan berkembang menjadi cacing
dewasa; migrasi larva secara lebih lengkap tidak banyak diketahui. Lokalisasi cacing dewasa
dapat dilihat pada tabel 1. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam tubuh host.
Mikrofilaria adalah larva yang dihasilkan oleh cacing betina secara viviparous. Jumlah
mikrofilaria tergantung spesiesnya, yang juga dipengaruhi resistensi kulit host maupun faktor
yang lain. Saat diketemukannya jumlah mikrofilaria optimal di dalam aliran darah tepi disebut
periodisitas. Misalnya W. bancrofti dan B. malayi mempunyai nocturnal periodicity, sedangkan
Loa loa mempunyai diurnal periodicity (siang hari). Selama jam-jam tidak ada gigitan serangga,
mikrofilaria tinggal di dalam kapiler paru. Beberapa jenis mengenal subperiodicity, mikrofilaria
diketemukan di aliran darah tepi selama 24 jam terus menerus dengan sedikit peningkatan pada
siang hari atau malam hari.
Mikrofilaria kulit tidak mengenal periodisitas. Periodisitas mikrofilaria dapat dilihat pada
tabel 2. Pertumbuhan mikrofilaria mutlak memerlukan serangga. Bila hal ini tidak terjadi maka
dalam waktu satu sampai dua tahun akan mati. Mikrofilaria yang terhisap serangga akan
bermigrasi ke otot serangga dalam waktu 12 minggu dan selanjutnya akan menjadi stadium
infektif. Larva yang matang/mature akan diketemukan di mulut serangga, dan siap untuk
dipindahkan ke manusia pada saat menghisap darah.

Tabel 1. Lokalisasi Casing Filaria Dewasa


Wuchereria bancrofti Di dalam sistem limfe dalam bentuk
ikalan (coiled)
Brugia malayi Di dalam sistem limfe dalam bentuk
ikalan (coiled)
Loa 1oa Migrasi dalam jaringan subkutan dan
subkonjungtiva
Onchocerca volvulus Di dalam jaringan subkutan atau bentuk
ikalan di antara noduli
Tetrapetalonema perstans Di dalam rongga pleura,rongga perito-
neum dan rongga perikardium
Tetrapetalonema streptocerca Di dalam jaringan ikat kulit
Mansonella ozzardi Di dalam rongga usus dan rangga tubuh

Tabel 2. Hubungan Spesies dan Periodisitas


Spesies Periodisitas Waktu
pengambilan darah

1. Wuchereria bancrofti noktumal 22.00 - 02.00


2. Brugia malayi diurnal subperiodicity
noktumal 22.00 - 02.00
3. Brugia timori
nocturnal subperiodicity 22.00 - 02.00
4. Loa loa
(zoonotic strain)
noktumal 01.00 - 14.00
diurnal

7. Pencegahan Penyakit filariasis

Perlindungan terhadap filariasis dapat dilaksanakan melalui Kegiatan pemberantasan


nyamuk yang terdiri dari pemberantasan nyamuk dewasa, jentik nyamuk dan menghindari
gigitan nyamuk yang mengandung larva cacing filaria. Dalam pencegahan penyakit
fialriasis ini, lingkungan dalam masyarakat dibutuhkan yaitu dengan menjaga kebersihan di
lingkungan tersebut agar mencegah terjadinya perkembangan nyamuk di wilayah tersebut.
Metoda yang dapat dilakukan antara lain dengan memakai kelambu, terutama yang
mengandung insektisida seperti permethrin. Yang paling ideal adalah melalui pengendalian/
eradikasi vektor nyamuk di lingkungan pemukiman.

Secara garis besar, usaha pencegahan filariasis dapat dikategorikan menjadi :

a. Tindakan Pencegahan Primer

Tujuannya adalah untuk mengadakan intervensi sebelum terjadinya perubahan


patologis pada host. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan promosi kesehatan dalam
bentuk penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang filariasis, dan menciptakan
lingkungan yang tidak memungkinkan vektor filariasis untuk berkembang biak.
b. Tindakan Pencegahan Sekunder

Tujuannya adalah untuk menyembuhkan atau menghentikan proses penyakit,


mencegah penyebaran penularan penyakit, mencegah komplikasi dan gejala sisa serta
memperpendek masa disabilitas. Usaha yang dilakukan adalah diagnosis dini, yaitu
pemeriksaan mikroskopis darah, pengobatan segera, yaitu dengan konsumsi obat DEC. Dan
untuk usaha disability limitation (pembatasan kecacatan) diberikan obat DEC 100 mg, 3x
sehari selama 10 hari sebagai pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap
bagian organ tubuh yang bengkak.

c. Tindakan Pencegahan Tersier

Tujuannya adalah untuk mengembalikan individu tersebut sehingga dapat hidup


berguna di masyarakat dengan keadaan terbatas. Usaha yang dapat dilakukan adalah
menyediakan sarana-sarana untuk pelatihan dan pendidikan di rumah sakit dan di tempat-
tempat umum.

8. Penanggulangan Penyakit Filariasis

Penanggulangan filariasis berwawasan vektor antar daerah akan berbeda


pelaksanaanya. Hal inilah yang merupakan salah satu factor timbulnya permasalahan
penanggulangan filariasis. Cara penanggulangan filariasis di suatu daerah pengelolaannya
tidak akan sama dengan daerah lainnya. Bahkan cara penanggulangan filariasis yang
dianjurkan WHO sangatlah jelas bahwa pengendalian filariasis, yaitu dengan memutus
rantai penularan. Pengendalian vektor tidak mudah dilaksanakan mengingat banyaknya jenis
nyamuk yang berperan sebagai vektor dan masing-masing nyamuk mempunyai perilaku
kehidupan khusus.

Sebenarnya prinsip utama agar terhindar infeksi filariasis adalah menghindarkan diri
dari gigitan nyamuk vektor infektif atau berusaha seminimal mungkin kontak dengan
nyamuk vektor menggunakan repellent, bed nets, house screening, house siting, pyrethrum
house spraying dan antimosquito fumigants. Selain itu, usaha pengendalian vektor seperti
tersebut di atas, pengurangan populasi vektor perlu mendapatkan perhatian dengan cara
yaitu 1. Reduction of vector breeding habitats dengan perbaikan keadaan lingkungan, 2.
Reduction vector densities dengan pengendalian kimiawi (insektisida) maupun biologis.
(Sucharit,1993).

Seperti yang dikatakan sebelumnya, rinsip penanggulangan filariasis adalah


memutus rantai penularan. Pada saat ini penanggulangan filariasis di Indonesia difokuskan
dengan cara pengobatan masal agar angka microfilaria maupun kepadatan microfilaria di
dalam darah rendah sehingga tidak terjadi transmisi. Prioritas daerah pemberantasan dengan
kegiatan pengobatan penduduk diperuntukkan daerah endemis yang berdekatan dengan
daerah pemukiman baru, daerah produksi dengan endemisitas tinggi dan daerah yang telah
dicakup pada tahun-tahun sebelumnya yang membutuhkan pengobatan ulang.

Usaha pemerintah Indonesia dalam menangani kasus filariasis terlihat dalam program
eliminasi kaki gajah atau yang dikenal dengan ELKAGA. Kegiatan-kegiatan dalam rangka
ELKAGA yang telah dilaksanakan seperti :
a. Sosialisasi Program Filariasis Tingkat Puskesmas

1. Meningkatkan Pengetahuan kepala desa untuk kegiatan pengobatan missal.

2. Mensosialisasikan tentang penyakit kaki gajah (Filariasis) kepada masyarakat.

b. Pelatihan Kadar Pembantu Pengobatan / Tenaga Pelaksana Eliminasi (TPE)

c. Pemberian Obat secara Masal

Tujuan dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan


keterampilan kader / tenaga pelaksana eliminasi (TPE) untuk kegiatan pengobatan masal,
serta memantapkan sasaran yang akan mendapat pengobatan.

Obat pilihan yang sampai saat ini digunakan adalah diethylcarbamazine citrate
(DEC). Obat tersebut pada awalnya dengan nama dagang Hetrazan, pada saat ini telah di
produksi secara nasional di Indonesia oleh PT Kimia Farma dengan nama dagang Filarzan
berisi 100 mg DEC setiap tabletnya. DEC telah dikenal sejak 40 tahun lalu, walaupun obat
pilihan namun tidak disukai penderita karena dapat menimbulkan efek samping berat
terutama pada dosis tinggi. Pengobatan massal diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia 2
tahun ke atas dan yang ditunda selain usia ≤ 2 tahun adalah wanita hamil, ibu menyusui dan
mereka yang menderita penyakit berat. Selain itu ada pemberian pengobatan selektif yaitu
pengobatan yang dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta anggota
keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan penderita di daerah dengan hasil
survey mikrofilaria < 1% (non endemis).

Kemudian adapun pengobatan Individual (penderita kronis), dimana


semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari sebagai
pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang
bengkak.9

DAFTAR PUSTAKA

9
http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-
kaki-gajahfilariasis/
Profil kesehatan 2008
Modul Dasar-Dasar Epidemiologi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
http://www.depkes.go.id
http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/

http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/

http://kabar.in/2009/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/11/20/kaki-gajah-ditularkan-
oleh-penderita-yang-tanpa-gejala-klinis.html

http://kesehatan.kompas.com/read/2008/04/18/11491580/Atasi.Filariasis.dengan.Efek.Samping.
Ringan

http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kaki-
gajahfilariasis/

http://www. penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html

http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=32

http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html

Anda mungkin juga menyukai