Anda di halaman 1dari 25

Tungkai Bengkak karena Filariasis Wunchereria bancrofty

Melania Kristin Manek


102009128
Kelompok : B6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
email : melani.kristin@gmail.com

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Filariasis ( Penyakit Kaki Gajah ) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan
dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat
kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat
bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga
memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. 1,2
Di Indonesia penyakit Filariasis (Kaki Gajah) tersebar luas hampir di
seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu
tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26
Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang.
Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria

rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan
sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk
penularnya tersebar luas. Penyebab penyakit filriasis (kaki gajah) adalah tiga
spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori.
1.2

WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of


Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year
2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC
dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan
perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan
dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit
kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. 1
Pada tahun 2004, filaria telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara
diseluruh dunia. Di Indonesia dilaporkan 22 provinsi, diperkirakan telah terinfeksi
filariasis sebanyak 150 juta manusia dan tertinggi di Irian Jaya. Sementara pada
tahun 2008, dilaporkan jumlah kasus kronis filariasis secara kumulatif adalah
sebanyak 11.699 kasus di 378 kabupaten/kota. 1,3
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, sampai Oktober 2009 penderita
kronis filariasis tersebar di 386 kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan hasil
pemetaan nasional diketahui prevalensi mikrofilaria sebesar 19%, artinya kurang
lebih 40 juta orang di dalam tubuhnya mengandung mikrofilaria (cacing filaria)
yang mudah ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Ahli parasitologi dari
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof.Saleha Sungkar menjelaskan,
mikrofilaria masuk ke dalam tubuh manusia lewat nyamuk. Lebih dari 20 spesies
nyamuk menjadi vektor filariasis. Nyamuk Culex quinquefasciatus sebagai vektor
untuk wuchereria bancrofti di daerah perkotaan. Di pedesaan vektor umumnya
Anopheles, Culez, Aedes, dan Mansonia. Spesies nyamuk vektor bisa berbeda dari
daerah satu dengan daerah lain. Bila tidak dilakukan pencegahan dan pengobatan,
akan menjadi cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, kantong buah zakar,
payudara dan kelamin wanita. Selain itu, mereka menjadi sumber penularan bagi
125 juta penduduk yang tinggal di daerah sekitarnya.4

1.2 Permasalahan
1. Di Indonesia penyakit Filariasis (Kaki Gajah) tersebar luas hampir di
seluruh propinsi.
2. Hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647
Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang
endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang.
3. 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang
mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya
tersebar luas.
4. Pada tahun 2004, filaria telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara
diseluruh dunia. Di Indonesia dilaporkan 22 provinsi, diperkirakan telah
terinfeksi filariasis sebanyak 150 juta manusia dan tertinggi di Irian Jaya.
5. Tahun 2008, dilaporkan jumlah kasus kronis filariasis secara kumulatif
adalah sebanyak 11.699 kasus di 378 kabupaten/kota.
6. Hasil pemetaan nasional diketahui prevalensi mikrofilaria sebesar 19%,
artinya kurang lebih 40 juta orang di dalam tubuhnya mengandung
mikrofilaria (cacing filaria) yang mudah ditularkan oleh berbagai jenis
nyamuk.
7. Lebih dari 20 spesies nyamuk menjadi vektor filariasis

1.3 Tujuan
1.3.1

Tujuan Umum
Menurunkan angka kejadian filariasis di Indonesia dengan pemberantasan
penyakit filariasis menggunakan pendekatan kesehatan lingkungan

1.3.2

Tujuan Khusus

Diketahuinya penyebaran penyakit filariasis

Diketahuinya faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran


penyakit filariasis

Diketahuinya

cara

pemberantasan

penyakit

filariasis

dengan

pendekatan kesehatan lingkungan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi : 4
Filariasis adalah Penyakit zoonosis menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang
disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Penyakit ini banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia Penyakit ini
bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin
baik perempuan maupun laki-laki. Penyakit ini baru menimbulkan gejala setelah
terpapar selama beberapa tahun.

2.2 Etiologi : 4,5


Penyebabnya adalah infeksi oleh sekelompok cacing nematoda parasit
yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea (filarial). Dari ratusan parasit

golongan filarial ini, hanya 8 spesies yang dapat menyebabkan infeksi alamiah
pada manusia. 8 parasit golongan filarial tersebut diklasifikasikan berdasarkan
habitat cacing dewasa pada hospes vertebrata, yaitu:
- Cutaneous group : Loa loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca
- Lymphatic group: Wucheria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori
- Body canity group: Mansonella perstans, Mansonella ozzardifil.
Parasit jenis kutaneus dan limfatik paling banyak menimbulkan gejala
yang menarik perhatian secara klinis. Sedangkan jenis limfatik itu sendiri
merupakan jenis yang paling sering menyerang manusia. Infeksi W. bancrofti
tersebar di seluruh daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah pantai dan
pulau-pulau dengan musim panas yang panjang dan kelembapan udara yang
tinggi, antara lain Afrika, Asia, dan Amerika Serikat. Sementara B.malayi terbatas
di Pasifik Selatan dan Asia Tenggara.
Tiga jenis cacing filarial yang termasuk di dalam Limfatik, yakni Brugia
malayi (Malayan filariasis), Brugia timori dan Wuncheria bancrofti (bancrofti
filariasis, memiliki daur hidup yang mirip. Cacing filarial masuk ke dalam tubuh
manusia ketika manusia digigit oleh nyamuk yang mengandung larva infektif.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa penyebab kaki gajah adalah
akibat tiga spesies cacing filarial yakni Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugia timori dengan vektor penular nyamuk, baik itu nyamuk rumah, got, hutan
atau rawa. Di Indonesia, hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk
dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat berperan
sebagai vektor penular penyakit kaki gajah. Penyebab kaki gajah sendiri bukanlah
larva cacing filaria, tapi anak cacing filaria itu, yang disebut dengan larva
mikrofilaria.
Larva filarial masuk ke dalam tubuh manusia melalui sekresi gigitan
nyamuk. Selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun stadium ini berkembang
menjadi cacing dewasa yang bertempat tinggal dalam saluran limfe. Cacing betina
dewasa yang matang secara seksual melepaskan sejumlah besar mikrofilia yang
bersirkulasi dalam aliran darah. Siklus hidup parasit disempurnakan ketika
nyamuk menelan organisme ini dalam darah. Parasit filaria ditularkan melalui

spesies nyamuk khusus atau arthropoda lainnya,memiliki stadium larva serta


siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa berupa mikrofilaria
bersarang,terdapat di dalam darah dan paling sering ditemukan di aliran darah
tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah enam bulan sampai satu tahun
kemudian dan dapat bertahan hidup hingga 5-10 tahun. Pada Wucheria bancrofti
microfilaria berukuran 250-300 x 7-8 mikron. Sedangkan pada Brugria malayi
dan Brugria timori,microfilaria berukuran 177-230 mikron.

Gambar : Penyakit Filariasis (Kaki Gajah)


2.3 Epidemiologi : 4,5
Penyakit

filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan

merupakan masalah di daerah dataran rendah. Tapi kadang-kadang juga


ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia tersebar
filariasis, daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara seperti di
Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian
Jaya. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis kita perlu memperhatikan
faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoir, vektor dan keadaaan lingkungan.
Hospes :
Manusia yang mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi
orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemi
(transmigran) lebih rentran terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada
penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih dominan terinfeksi karena memiliki
lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit
lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.
Hospes Reservoar :

B.Malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi pada
manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan
kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.
Vektor :
Banyak

spesies

nyamuk

yang

ditemukan

sebagai

vektor

filariasis,tergantung pada jenis cacing filarianya. Wucheria Bancrofti yang


terdapat

di

daerah

perkotaan

quinguefasciatus,menggunakan

air

(urban)
kotor

dan

ditularkan
tercemar

oleh

Culex

sebagai

tempat

perindukannya. Wucheria Bancrofti yang di daerah pedesaan (rural) dapat


ditularkan oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian Jaya Wucheria Bancrofti
terutama ditularkan oleh Anopheles Farauti yang menggunakan bekas jejak kaki
binatang untuk tempat perindukannya. Di daerah pantai di NTT, Wucheria
Bancrofti ditularkan oleh An. subpictus.
Brugia Malayi yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh
berbagai spesies Mansonia seperti Mn.uniformis, Mn.bonneae dan Mn.dives yang
berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan dan Maluku. Di daerah
Sulawesi, B.Malayi ditularkan oleh An.barbirostris yang menggunakan sawah
sebagai tempat perindukannya. B.Timori ditularkan oleh An.barbirotris yang
berkembang biak di sawah baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman,
B.timori hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur.
Faktor Lingkungan :
Faktor lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup hospes,
hospes reservoir, dan vektor merupakan hal yang sangat penting untuk
epidemiologi filariasis. Dengan demikian, filariasis yang ada di suatu daerah
endemi dapat diduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan.
Untuk pencegahan filariasis, hingga sekarang hanya dilakukan dengan
menghindari gigitan nyamuk. Untuk mendapat infeksi diperlukan gigitan nyamuk
yang banyak sekali.
Semua usia berpeluang dan potensial terjadi mikrofilaremia. Angka
kejadian mikrofilaremia meningkat pada usia anak-anak hingga dewasa muda

meskipun infeksi klinis tidak begitu nyata. Manifestasi filariasis akut maupun
kronis biasanya timbul hanya setelah paparan yang intens dan berulang dalam
beberapa tahun terhadap vektor yang terinfeksi pada daerah endemis
Individu-individu yang paling berisiko adalah mereka yang bekerja pada
daerah-daerah dimana terdapat pemaparan kronis dengan nyamuk yang
mengandung larva, seperti pada daerah-daerah urban yang padat dengan sanitasi
buruk. Biasanya pendatang baru ke daerah endemis lebih rentan terhadap infeksi
filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli.
Faktor lingkungan fisik dan non fisik ikut mempengaruhi penyebaran
penyakit Filariasis, faktor lingkungan tersebut antara lain ;
1.

Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik yang mendukung penyebaran penyakit Filariasis yakni ;
lingkungan tempat tinggal dimana banyak terdapat tempat penampungan
air khususnya air yang kotor
lingkungan sekitar (pekarangan) yang gelap dan banyak ditemukan

2.

barang-barang bekas yang kotor


lingkungan sekitar yang dipenuhi semak-semak
lingkungan berawa-rawa.
Lingkungan Non Fisik
Lingkungan non fisik yang mempengaruhi penyebaran penyakit Filariasis

antara lain :

Kebiasaan tidur dalam ruangan yang gelap dan terbuka tanpa menggunakan

pelimdung sepeti kelambu, obat anti nyamuk


Kebiasaan melakukan kegiatan / pekerjaan di luar rumah (tempat terbuka)

pada malam hari


Kepadatan penduduk turut menunjang atau sebagai salah satu faktor resiko
penularan penyakit. Semakin padat penduduk, semakin mudah vektor
menularkan penyakit dari satu orang ke orang lainnya. Pertumbuhan
penduduk yang tidak memiliki pola tertentu dan urbanisasi yang tidak
terencana serta tidak terkontrol merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam meningkatnya kasus penyakit Filariasis

Rendah tingkat pengetahuan juga secara tidak langsung mempengaruhi


penyebaran penyakit ini, karena seseorang dengan pengetahuan rendah
mengenai penyakit ini tidak mengetahui cara pencegahan dan pemberantasan

penyakit ini
Faktor ekonomi merupakan faktor yang juga ikut menentukan timbulnya
Filariasis . Sebagai contoh,faktor ekonomi tinggi yang sibuk bekerja maka
terkadang pekerjaan untuk menguras bak mandi, tempayan seminggu sekali
sangat memberatkan kehidupan mereka.

2.4 Patologi dan Patogenesis: 4,5


Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang
tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva
stadium III (L3). Nyamuk tersebut mengandung cacing filarial kecil (mikrofilaria)
sewaktu menghisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria atau binatang
reservoir yang mengandung mikrofilaria. Siklus penularan penyakit kaki gajah ini
melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk (vector) dan tahap
kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.

*Siklus Hidup Cacing Filaria : 4,5,7


Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila
nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis,
sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh
nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam lapisan pembungkus pada tubuh
nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot
dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I.
Dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi
lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan
seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh menjadi
lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini
sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke rongga perut
(abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Apabila nyamuk

yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka mikrofilaria yang


sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam
tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia,
larva masuk ke pembuluh limfe.
Didalam pembuluh limfe larva mengalami dua kali pergantian kulit dan
tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva
stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe,
sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan.

10

Gambar : Siklus hidup cacing Filaria

Cacing filaria sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

11

1. Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih


kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk
seperti benang berwarna putih susu.

2. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65-100 mm dan


ekornya lurus berujung tumpul. Untuk makrofilaria yang jantan memiliki
panjang kurang lebih 40 mm dan ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria
memiliki panjang kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat.
3. Tempat hidup makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar
limfe. Tetapi pada malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi
sedangkan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat-alat dalam
seperti paru-paru, jantung dan hati.
Walaupun sebanyak 80% populasi daerah endemik mungkin terinfeksi
kurang dari 10-20% menderita morbiditas yang berarti secara klinis.
Mereka yang bekerja di daerah-daerah dimana ada pemajanan berulang
dan kronis terhadap nyamuk yang mengandung larva seperti di daerah
perkotaan yang penuh sesak dengan sanitasi yang jelek adalah paling
beresiko. Infeksi W.Bancrofti tersebar di seluruh Afrika tropik dan
subtropik Asia dan Amerika Selatan sedang infeksi dengan B.Malayi
terbatas pada Pasifik Selatan dan Asia Tenggara. Infeksi B. Timori terjadi
di Indonesia. Infeksi wisatawan yang menghabiskan masa singkat di
daerah endemik adalah jarang.

2.5 Manifestasi Klinik : 4,5


Gejala klinis Filariais Akut adalah

12

Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari; Demam dapat hilang bila


istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat

Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan


paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit

Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis)

Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah


bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah

Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis)
pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
Manifestasi klinis sebagai infeksi W.Bancrofti terbentuk beberapa bulan

hingga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah
endemis tetap asimptomatik selama hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala
akut biasanya mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada
otot, anoreksia, dan malaise. Mula-mula cacing dewasa yang hidup dalam
pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah
kelenjar limfe, testis, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan sel
endhotel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma. Pada keadaan kronis, terjadi
pembesaran kelenjar limfe,hidrocele, dan elephantiasis. Hanya mereka yang
hipersensitif, elephantiasis dapat terjadi. Elephantiasis kebanyakan terjadi di
daerah genital dan tungkai bawah,biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi
dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wucheria
bancrofti dinamakan Weingartners syndrome atau Tropical pulmonary
eusinophilia.
Gejala yang sering di jumpai pada orang yang terinfeksi B.malayi adalah
lymphadenitis, limphangitis yang berulang-ulang disertai demam.

13

Perbedaan utama antara infeksi W.bancrofti dan B.malayi terletak pada


klasifikasi ureter dan ginjal.Klasifikasi ureter dan ginjal tidak ditemukan pada
infeksi B.malayi.Stadium akut infeksi ditandai oleh episode demam, limfangitis
tungkai, nyeri kepala dan mialgia yang berakhir beberapa hari sampai beberapa
minggu. Sindroma ini pada orang-orang muda umur 10-20 tahun. Manifestasi
kronis penyakit seperti hidrokel dan elephantiasis terjadi kebanyakan pada mereka
yang berumur di atas 30 tahun dan merupakan akibat langsung fibrosis limfatik
dan obstruksi aliran limfe. Adanya larva (mikrofilia) dalam darah tidak dipikirkan
mempunyai akibat patologis apapun , kecuali

pada orang-orang dengan

eosinofilia paru tropis. Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu mikrofilaremia dapat
menderita hiporesponsif terhadap antigen mikrofilaria.
2.6 Diagnosis : 1,7
Filariasis dapat ditegakkan secara Klinis yaitu

Bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan tanda-tanda dan gejala akut


ataupun kronis

Dengan pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam
waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila
dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria.

1. Diagnosis Parasitologi
a.

Deteksi parasit : menemukan mikrofilia di dalam darah,cairan


hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik
konsentrasi Knott,membrane filtrasi dan tes provokatif DEC.

b.

Diferensiasi spesies dan stadium filarial : menggunakan pelacak DNA


yang spesifik dan antibody monoclonal.

2. Radiodiagnosis
a. Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar
getah bening inguinal.
b. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin
yang ditandai dengan adanya zat radioaktif.

14

3. Diagnosis imunologi
Dengan teknik ELISA dan imunochromatographictest (ICT) menggunakan
antibodi monolklonal yang spesifik.

2.7 Pencegahan :5
Terutama dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector
(mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu
sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, dll. Lebih penting
dengan cara mengendalikan populasi nyamuk, yakni:

membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat


perindukan nyamuk

menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat


perindukan nyamuk

membersihkan semak-semak disekitar rumah

*Infeksi dengan Filaria binatang : 1,2,7


Manusia dapat terinfeksi dengan tiga jenis filarial binatang. Dirofilaria
immitis, cacing jantung di temukan di semua benua dan merupakan parasit anjing
yang lazim di banyak bagian Amerika Serikat. Dirofilaria Tenuis ,Brugia baveri
dan spesies lain Brugia yang tidak diklasifikasi juga telah dilaporkan menginfeksi
manusia. Cacing ini dapat dimasukkan ke dalam manusia melalui gigitan nyamuk
yang mengandung larva stadium ke-3. Namun organisme ini tidak mengalami
perkembangan normal pada hospes manusia. Dirofilaria immitis terperangkap
dalam parenkim paru sesudah migrasi selama beberapa bulan dalam jaringan
subkutan. Respon paru terdiri atas granuloma dengan eusinofil,neutrofil, dan
nekrosis jaringan. Dirofilaria Tenuis tidak meninggalkan jaringan subkutan sedang
Brugia beaveri akhirnya berlokalisasi pada limfonodi superficial.
Kebanyakan infeksi D.immits manusia ditemukan secara tidak sengaja
ketika roentgenogram dada menunjukkan nodul paru soliter dengan diameter 1-3
cm. Diagnosis dan pengobatan definitive tergantung pada eksisi bedah dan

15

identifikasi nematode dalam respons granulomatosa yang mengelilinginya. Infeksi


Dirofilaria Tenuis dan Brugia Beaver dengan nodul nyeri, kenyal berdiameter 1-5
cm dalam kulit badan, tungkai dan orbita. Penderita sering melaporkan adanya
pemajanan terhadap nyamuk yang terinfeksi seperti bekerja di daerah berawa.
Diagnosis dan manajemen infeksi ini serupa dengan diagnosis dan manajemen
Dirofilaria immitis.

BAB III
PEMBAHASAN

Pemberantasan Filariasis
Sebaiknya pemberantasan filariasis ditangani pada semua fase yaitu
pemberantasan parasitnya pada semua hospes, pemberantasan nyamuk vektornya
dan penanganan lingkungannya yang dapat mendukung kelestarian lingkaran
hidup parasit.

Pengendalian Vektor
Di Thailand telah dicoba pengendalian vektor filariasis berfokus perbaikan
lingkungan sebagai berikut :
1. Memperbaiki sistem drainage di perkotaan dengan maksud mengurangi
penyebaran filariasis bancrofti tipe urban
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha mencegah timbulnya
man-made container breeding site mosquito
3. Menghilangkan tanaman air (Pistia, Eichornia) di rawa-rawa sangat
bermanfaat dalam pengendalian populasi nyamuk Mansonia sp

16

4. Meningkatkan

penggunaan

polystylene

balls

sebagai

usaha

membunuh/mencegah perkembangan larva menjadi pupa terutama


nyamuk Culex quenquefasciatus.
Usaha pengendalian vektor filariasis cara seperti diatas ternyata dapat
menurunkan angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9% (Sucharit, 1993).
Pengendalian vektor filariasis di Indonsia belum dilakukan secara khusus.
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan berbagai cara pengendalian secara
kimiawi dan non kimiawi misajnya pengendalian vektor dengan pengelolaan
lingkungan, pengendalian vektor secara biologik dan genetik.
Pengendalian vektor secara kimiawi
Dalam pengendalian vektor secara kimiawi digunakan berbagai bahan
kimia untuk membunuh ataupun menghambat pertumbuhan serangga. Di Indonsia
hingga sekarang yang banyak dipakai dalam pengendalian vektor malaria yang
seringkali sekaligus dapat mengendalikan vektor filariasis, adalah penggunaan
insektisida yang ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa dengan cara
penyemprotan tempat menggigit dan tempat istirahat
vektor. Hal ini seringkali tidak mencapai sasaran, karena yang biasanya disemprot
adalah rumah tinggal, sedangkan nyamuk menggigit atau istirahat di luar rumah,
dan pada filariasis infeksi seringkali terjadi jauh dari pemukiman misalnya di
ladang dan tepi hutan, yang tidak terjangkau oleh insektisida. Selain dari itu,
karena vektor filariasis di Indonesia menyangkut lebih dari 20 spesies nyamuk
dengan bionomic yang berbeda-beda pula, cara penyemprotan tidak dapat
diseragamkan sebelum ada data yang lengkap tentang bionomic vektor. Masalah
lain adalah terjadinya resistensi vektor terhadap insektisida yang digunakan yang
kebanyakan telah diketahui pada vektor malaria, sehingga perlu diadakan
alternatif-alternatif cara pemberantasan lain atau menggunakan insektisida lain.
Penyemprotan pada waktu ini terutama dilakukan terhadap vektor malaria dan
pengendalian vektor filariasis dapat terjadi sebagai efek samping atau bonusnya.

Pengendalian vektor secara non kimiawi

17

Pengendalian vektor filariasis secara ini di Indonesia sebenarnya secara


khusus belum dilakukan. Yang sudah terjadi adalah efek samping dari pengelolaan
lingkungan yang ditujukan untuk hal lain terutama untuk pertanian seperti
perubahan rawa menjadi lahan pertanian sehingga mengurangi tempat perindukan
nyamuk, atau membersihkan batang-batang air dari tumbuh-tumbuhan air
seperti Echornia crassipes dan Pistia, kangkung dan rumput-rumput yang juga
mengurangi tempat perindukan nyamuk. Sebaliknya perubahan lingkungan dapat
juga menambah tempat perindukan. Di daerah transmigrasi digali berbagai saluran
air di daerah pemukiman, yang kemudian dimasuki tumbuh-tumbuhan air,
sehingga tempat perindukan nyamuk lebih mendekati pemukiman. Pembuatan
kolam ikan di dekat rumah yang diberi tumbuh-tumbuhan air, juga mendekatkan
tempat perindukan nyamuk pada pemukiman. Cara mengurangi kontak antara
vektor dan manusia di daerah pedesaan masih belum terlaksana, terutama karena
masih kurang pengertian masyarakat dan keadaan ekonomi yang rendah.
Pemakaian kelambu masih belum dipahami kegunaannya, dan penduduk
seringkali hanya memakai kelambu bila dingin. Juga penggunaan repellent seperti
minyak sereh belum membudaya di Indonesia. Untuk cara pengendalian ini masih
diperlukan penyuluhan yang baik. Pengendalian vektor filariasis secara biologik
di Indonesia belum dilakukan.
Pemakaian

patogen

seperti Bacillus

thuringiensis dan

Nematoda

Romanomermis baru dalam taraf penelitian laboratorium saja. Sehingga dapat


dikatakan bahwa pengendalian vektor filariasis di Indonsia secara biologik masih
dalam penelitian dini sekali. Dengan demikian dapat 'dikatakan bahwa
pengendalian vektor filariasis di Indonesia belum dilakukan secara baik.
Cara-cara yang dapat dikembangkan adalah :
1. Penggunaan insektisida, yang didahului dengan penelitian bionomik
vektor, sehingga penyemprotan dapat mencapai sasarannya.
2. Pengendalian vektor secara non kimiawi dengan cara pengelolaan
lingkungan, baik untuk mengurangi, menghilangkan tempat perindukan
ataupun mencegah, atau menghindari kontak dengan vektor.

18

Untuk hal ini perlu kerjasama lintas sektoral dan yang lebih penting adalah
peranserta masyarakat yang dapat ditingkatkan melalui penyuluhan-penyuluhan
yang adekuat

Pengendalian Hospes Reservoir


Hingga sekarang belum ada data tentang pengendalian hospes reservoir
filariasis di Indonesia. Kera merupakan hewan yang dilindungi, sehingga sukar
untuk membunuhnya secara besar-besaran. Selain dari itu kera yang menjadi
vektor filariasis sangat liar dan sukar ditangkap. Barangkali pengendalian dapat
dilakukan dengan menjauhkan kera dari manusia, sehingga nyamuk yang didekat
manusia tidak terkena infeksi dari kera itu. Kucing sebagai hospes reservoir juga
merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan. Jika mungkin barangkali
dilakukan pengobatan masal pada kucing-kucing, tapi jangkauan akan jauh lebih
rendah daripada manusia.

Hambatan Sosio Budaya dalam penanggulangan Filariasis

Kebiasaan :
Penduduk di daerah endemis filariasis umumnya pekerjaan pokoknya

bertani di ladang atau menyadap karet di hutan. Pekerjaan ini biasanya mereka
lakukan hingga sore /senja hari. Malahan tidak jarang tinggal/tidur di tempat kerja
seperti itu dalam waktu relatif lama. Selain itu penduduk di daerah endemis
sewaktu tidur biasanya tidak menggunakan/memasang kelambu. Karena itu risiko
mendapat filariasis sangat besar.

Sikap
Masih banyak diantara penduduk yang menolak dilakukan pengobatan dan

pengambilan darah. Mereka umumnya mempunyai alasan bahwa dengan diobati


mereka malah menjadi sakit. Bagi mereka yang sakit, sebagai efek samping obat
biasanya mengalami perut mual, sakit, padahal sebelum diobati mereka sehat.
Penduduk yang menolak diambil darahnya karena mempunyai anggapan bahwa

19

pengambilan darah mempunyai tujuan komersial. Darah yang sudah terkumpul


akan diperjualbelikan. Selain itu penduduk di daerah endemis filariasis umumnya
kurang tanggap terhadap lingkungannya. Sebagai contoh masih banyaknya daerah
rawa rawa di sekitar pemukiman tetap dibiarkan terbuka, tanpa dimanfaatkan
menjadi lahan yang produktif misalnya menjadi lahan persawahan atau
pemanfaatan lainnya. Menurut Sri Oemijati (1981) daerah rawa yang tetap terbuka
merupakan tempat yang cocok untuk berkembang biaknya nyamuk dari jenis
Mansonia. Nyamuk jenis ini merupakan salah satu vektor penular penyakit Filaria.
Terutama dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector
(mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu
sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, dll. Lebih penting
dengan cara mengendalikan populasi nyamuk, yakni:

membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat


perindukan nyamuk

menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat


perindukan nyamuk

membersihkan semak-semak disekitar rumah

Pengendalian vektor jangka pendek dapat dilakukan untuk sementara


dengan penyemprotan insektisida setelah diketahui bitting habits dan resting
habits vektor di daerah masing masing. Pengendalian vektor jangka panjang dapat
dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara lintas sektoral dan peran serta
masyarakat,oleh karena itu penelitian vektor dan bionomiknya perlu ditingkatkan
supaya dapat memberikan keterangan dan arahan kepada masyarakat dan instansi
lain yang bersangkutan dengan pengelolaan lingkungan.

20

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing
filarial yang cacing dewasanya hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe
manusia dan ditularkan oleh serangga secara biologik.
Parasit filaria ditularkan melalui spesies nyamuk khusus atau arthropoda
lainnya,memiliki stadium larva serta siklus hidup yang kompleks. Anak dari
cacing dewasa berupa microfilaria bersarang,terdapat di dalam darah dan paling
sering ditemukan di aliran darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah
enam bulan sampai satu tahun kemudian dan dapat bertahan hidup hingga 5-10
tahun. Pada Wucheria bancrofti microfilaria berukuran 250-300 x 7-8 mikron.
Sedangkan pada Brugria malayi dan Brugria timori,microfilaria berukuran 177230 mikron.
Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis kita perlu memperhatikan
faktor-faktor seperti hospes, hospes reservoir, vektor dan keadaaan lingkungan.
Gejala klinis Filariasis Akut yang harus diperhatikan yaitu :

21

Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari; Demam dapat hilang bila


istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat

Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan


paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit

Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis)

Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah


bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah

Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis)
pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

Diagnosa Filariasis dapat ditegakkan secara Klinis yaitu :

Bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan tanda-tanda dan gejala akut


ataupun kronis

Dengan pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam
waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila
dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria.

Terapi medikamentosa yang digunakan dietilkarbamazin sitrat (DEC).DEC


bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka
panjang.Hingga saat ini DEC merupakan obat satu-satunya obat yang
efektif,aman dan relative murah. Pencegahan terhadap Filariasis terutama dengan
berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor mengurangi kontak
dengan vektor) misalnya dengan menggunakan kelambu bula sewaktu tidur,
menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk,menggunakan obat semprot atau
bakar, mengoleskan kulit dengan lotion anti nyamuk, dll.

4.2 Saran

22

Filariasis termasuk penyakit yang merugikan karena menurunkan daya


kerja dan daya produksi masyarakat di daerah endemik sehingga perlu
dilanjutkan pemberantasannya.

Pemberantasan jangka pendek dengan cara pengobatan hasilnya cukup


baik dan sebaiknya diteruskan melalui partisipasi masyarakat dan diulang.

Vektor vektor filariasis di Indonesia belum diketahui dengan


jelas.Untuk pengendalian vektor perlu ditingkatkan cara cara untuk
mendeteksi nyamuk sebagai vektor.

Pengendalian vektor jangka pendek dapat dilakukan untuk sementara


dengan penyemprotan insektisida setelah diketahui bitting habits dan resting
habits vektor di daerah masing masing.

Pengendalian vektor jangka panjang dapat dilakukan dengan


pengelolaan lingkungan secara lintas sektoral dan peran serta masyarakat, oleh
karena itu penelitian vektor dan bionomiknya perlu ditingkatkan supaya dapat
memberikan keterangan dan arahan kepada masyarakat dan instansi lain yang
bersangkutan dengan pengelolaan lingkungan.

Karena dana untuk pemberantasan filariasis di Indonesia sangat


sedikit,perlu digalakkan peran serta masyarakat dalam pemberantasan.Untuk
hal ini perlu penelitian terutama dalam bidang sosial,ekonomi dan budaya
mengenai faktor faktor yang penting bagi penularan dan pemberantasan
filariasis di Indonesia sehingga dapat dilakukan penyuluhan yang sesuai untuk
menggalakkan peran serta masyarakat ini.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Filariasis, articles. Diunduh dari : www.infeksi.com/articles.


2. Mengenal Penyakit Filariasis Cara Penularan dan Pencegahnya. Diunduh
dari : www.sobatsehat.com/2009/12/14/
3. Penyakit Kaki Gajah. Filariasis Diunduh dari : www.orisinil.com/lifestyle/
4. Waluyo, Jangkung Samidjo, 2002. Parasitologi Medik (Helmintologi):
pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis dan Klinik. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
5. Tim Editor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2002. Parasitologi
Kedokteran,Edisi ketiga,cetakan ketiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
6. Syachrial,Zainul dkk.Populasi Nyamuk Dewasa di Daerah Endemis
Filariasis studi di desa empat kecamatan Simpang Empat kabupaten
Banjar tahun 2004.Jurnal Kesehatan Lingkungan ,vol2,no.1,Juli 2005 : 8596 Available at : journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-09.pdf
7.

Kiki,

dr.

Filariasis.

Diunduh

www.ginapriani.wordpress.com/2010/01/28

24

dari

25

Anda mungkin juga menyukai