Anda di halaman 1dari 25

TUGAS BAHASA INDONESIA

NAMA: R. Eldha Chrismaya NPM:08700048 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

FILARIASIS
Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas

WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020 (. Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan missal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyakit Kaki Gajah umumnya banyak terdapat pada wilayah tropis. Menurut info dari WHO, urutan negara yang terdapat penderita mengalami penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India dan Bangladesh), Afrika, Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara Thailan dan Indonesia (Asia Tenggara). Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; a. Wucheria bancrofti.

b. Brugia malayi. c. Brugia timori. Vektor penular : Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat berperan sebagai vector penular penyakit kaki gajah.

Indonesia merupakan kebun binatang parasit terbesar di dunia, dengan salah satu koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera serta sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari tahun ke tahun langganan terinfeksi kaki gajah . Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing filaria merambat di sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe. Di antara spesies antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah. Satu konsep mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya endosimbion yang terjadi di dalam tubuh filaria. Para pakar Tropical Medicine menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan Wolbachia. Konon, individu ini berhubungan endosimbiosis sangat erat dengan filaria sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial. W. bancrofti merupakan spesies yang sangat terkenal di dunia, meski hanya sedikit sekali mahasiswa kedokteran di dunia yang mempelajari secara intensif mata kuliah Parasitologi atau Tropical Medicine. Sekitar 115 juta manusia terinfeksi parasit ini di daerah subtropis dan tropis, meliputi Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Selatan, serta Kepulauan Karibia. Spesies dengan periodisitas subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di Kepulauan Pasifik dengan vektor Aedes sp., sementara sebagian besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan vektor Culex fatigans dan Culex cuenquifasciatus di

Indonesia. Vektor Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan vektor Aedes dapat ditemukan di daerah-daerah rural. Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa khas Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip dengan W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk periodisitas. Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di daerah pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang). Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya. Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi. Jadi, jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing dewasa yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.

Tokoh

Utama

Filariasis

Seluruh parasit filaria menjangkiti sekitar 170 juta orang di dunia dengan transmisi melalui nyamuk atau arthropoda lainnya. Parasit ini memiliki siklus hidup yang kompleks, meliputi stadium larva infektif yang dibawa oleh serangga menuju hospes definitif (hanya) manusia berkembang menjadi cacing dewasa di pembuluh limfe atau jaringan subkutan lain, misalnya mata pada Loa loa. Larva infektif yang disebut mikrofilaria ini berukuran panjang sekitar 200 hingga 250 m serta lebar 5 hingga 7 m yang bersarung. Bedanya, di antara W.bancrofti, B.malayi, dan B.timori, hanya B.timori yang sarungnya tidak menyerap pewarna sehingga tidak kelihatan bersarung di mikroskop. Yang juga membedakan ketiga spesies ini, pada spesies Brugia, terdapat inti tambahan terutama di ujung ekor serta karakteristik lain seperti jarak mulut, panjang tubuh. Perkembangan dari larva muda hingga menjadi larva infektif di dalam tubuh nyamuk berlangsung selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya larva dari nyamuk ke tubuh manusia hingga menjadi cacing dewasa berlangusng selama 3 hingga 36 bulan. Meski terkesan gampang sekali tertular oleh nyamuk, namun pada kenyataannya diperlukan ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit filaria. Selain itu, jika sudah terpajan berulang kali dengan nyamuk vektor filarian ini, terdapat kekebalan yang cenderung meningkat. Jadi, orang-orang kampung yang sudah biasa digigit (dihisap) nyamuk Aedes atau Culex akan lebih kebal dibanding orang-orang kota yang kebetulan sedang bepergian ke daerah-daerah perkampungan yang endemis filariasis.

Cara

Penularan

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.

Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti). Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang telah tertular sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva dan akan ditularkan ke orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi menggigit atau menghisap darah orang tersebut.

Kita bisa mendiagnosa seseorang terserang penyakit kaki gajah berdasarkan gejala-gejala klinis akut atau kronis melalui pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengambil sampel darah pada jari si penderita. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada pada pukul 20.00 waktu setempat. Karena pada saat malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi penderita. Jika memang ditemukan mikrofilaria didalam darah si penderita, maka orang tersebut telah dinyatakan terserang penyakit kaki gajah (filariasis). Jika seseorang telah terserang filariasis akut, maka gejala-gejala klinis yang akan tampak.

Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak, dimana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan

perkembangannya.

Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :

Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat

Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit

Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis)

Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah

Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema) Sedangkan gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang

menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti). PemeriksaanDiagnostik Penyakit Kaki Gajah Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis darah, Sampai saat ini hal tersebut masih dirasakan sulit dilakukan karena microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal periodicity).

Selain itu, berbagai methode pemeriksaan juga dilakukan untuk mendiagnosa penyakit

kaki gajah. Diantaranya ialah dengan system yang dikenal sebagai Penjaringan membran, Metode konsentrasi Knott dan Teknik pengendapan.

Metode pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan diakui oleh pihak WHO adalah dengan jalan pemeriksaan sistem "Tes kartu", Hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit (larva). Yaitu dengan cara mengambil sample darah sistem tusukan jari droplets diwaktu kapanpun, tidak harus dimalam hari. Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalamanpedalaman desa. ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia. Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga

menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi. Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port dentre dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis Diagnosis Filariasis dapat ditegakkan secara Klinis ; yaitu bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan tanda-tanda dan gejala akut ataupun kronis ; dengan pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria. Pencegahan ; adalah dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector ( mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu bula akan sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk baker, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk ; dengan membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah. Gold Standard untuk sebagian besar penyakit akibat infeksi parasit ialah menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam kasus filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin ditemukan secara utuh karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam dan berkelok-kelok. Karenanya diagnosis filariasis ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di darah tepi.

Selain di darah tepi, mikrofilaria dapat pula ditemukan di cairan hidrokel, atau kadangkadang di cairan tubuh lainnya. Cairan ini dapat diperiksa secara mikroskopis secara langsung atau disaring dulu konsentrasi parasit sudah mampu melewati filter pori silindris polikarbonat (ukuran pori sekitar 3 m). Bisa juga cairan disentrifugasi dengan 2% formalin (teknik Knott) baru kemudian dapat dideteksi parasit mikrofilaria secara spesifik dan sensitif. Yang tak boleh lupa ketika mengamati parasit ini, sediaan mesti diambil menurut perkiraan periodisitas sesuai spesies dan hospesnya. Biasanya untuk W.bancrofti sediaan diambil dari darah ketika malam hari, atau lazim dikenal sediaan darah malam. Meski demikian, tak jarang pula orang yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium parasit sudah selesai melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing dewasa. Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping sediaan darah malam ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan praktis ini mampu mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa dari darah tepi sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas antara 96 hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia. Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80% penderita filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali spermanya. Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar metode di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun biasanya hanya digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE dan eosinofil, serta penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran dan liku-liku pembuluh limfe. Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari tromboflebitis, infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan pembeda utama ketimbang

limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta abnormalitas sistem limfe kongenital. Pengobatan Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang baik. Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni ketika manifestasi cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama. Pasien dengan limfedema positif pada ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan menjaga agar daerah yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder. Sementara itu hidrokel bisa dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan dengan baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa dikurangi hingga menjadi sangat minim. Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg) merupakan patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis. Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah mampu membunuh parasitparasit yang ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi mikrofilaremia secara cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal dikombinasikan dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif.

Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah. Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di dalam darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping yang serupa dengan gejala ini. Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia. PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati, mungkin itu adalah ungkapan yang sangat tepat untuk menghindari penyakit kaki gajah. Karena jika kita telah terinfeksi oleh cacing filaria akan sangat sulit sekali untuk mengobatinya serta memerlukan waktu yang lama. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah serangan penyakit kaki gajah,misalnya :

1.Menghindarkan 2.Memberantas

diri nyamuk

dari serta

gigitan sumber

nyamuk perindukan

3. Meminum obat anti penyakit gajah secara masal

Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta anggota keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan penderita di daerah dengan hasil survey mikrofilaria < 1% (non endemis)

contoh gambar penyakit kaki gajah:

Gambar cacing filaria (penyebab) dari penyakit kaki gajah: a. Whuchereria bancrofti

Penyebaran: Distribusi;daerah tropis dan sub tropis Habitat; limpha

b. Brugia malayi

Penyabaran; Distribusi; south eastern asia Habitat; limpha

c. Brugia timori

Penyebaran; Distribusi; pulau-pulai timor, flores dll

Habitat; limpha

Intermediatet host(vektor penular) a. anopheles

b. culex

c. mansonia

d. aedes

e. armigeres

Siklus hidup

Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis, sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks). Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit manusia. Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes). Bersama-sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe larva mengalami dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Cacing filaria sendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih susu.

2. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65-100 mm dan ekornya lurus berujung tumpul. Untuk makrofilaria yang jantan memiliki panjang kurang lebih 40 mm dan ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria memiliki panjang kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat.

3. Tempat hidup makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar limfe. Tetapi pada malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi sedangkan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat-alat dalam seperti paru-paru, jantung dan hati.

Larva filaria masuk melalui kulit (tergantung spesiesnya), kemudian akan melanjutkan migrasi ke seluruh tubuh manusia mengikuti aliran darah; dalam waktu 315 bulan akan berkembang menjadi cacing dewasa; migrasi larva secara lebih lengkap tidak banyak diketahui. Lokalisasi cacing dewasa dapat dilihat pada tabel 1. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam tubuh host. Mikrofilaria adalah larva yang dihasilkan oleh cacing betina secara viviparous. Jumlah mikrofilaria tergantung spesiesnya, yang juga dipengaruhi resistensi kulit host maupun faktor yang lain. Saat diketemukannya jumlah mikrofilaria optimal di dalam aliran darah tepi disebut periodisitas. Misalnya W. bancrofti dan B. malayi mempunyai nocturnal periodicity, sedangkan Loa loa mempunyai diurnal periodicity (siang hari). Selama jam jam tidak ada gigitan serangga, mikrofilaria tinggal di dalam kapiler paru. Beberapa jenis mengenal subperiodicity, mikrofilaria diketemukan di aliran darah tepi selama 24 jam terus menerus dengan sedikit peningkatan pada siang hari atau malam hari. Mikrofilaria kulit tidak mengenal periodisitas. Periodisitas mikrofilaria dapat dilihat pada tabel

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium penderita filariasis adalah untuk mencari identitas spesies mikrofilaria. Sampel pemeriksaan berupa: darah, biopsi kulit, kadang-kadang urine, cairan otak. Jumlah mikrofilaria memberikan informasi tentang transmisi dan cara infeksinya. Pemeriksaan serologi jarang dilakukan karena hasilnya tidak spesifik dan sensitif. 1) Pemeriksaan mikrofilaria dalam darah Saat pengambilan sampel darah harus tepat waktu sesuai periodisitas (Tabel 2). Dianjurkan mengambil darah dari cuping telinga. Kegagalan menemukan mikrofilaria dalam darah disebabkan karena pada Loaiasis dan limfadenitis filariasis. HAMBATAN SOSIO BUDAYA Secara garis besar hambatan sosio budaya dalam penanggulangan filariasis dapat dikemukakan antara lain :

Kebiasaan
Kebiasaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang secara berulang-ulang sehingga merupakan suatu hal yang rutin dan kadang-kadang dilakukan tanpa disadari oleh orang atau masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh : penduduk di daerah endemis filariasis umumnya pekerjaan pokoknya bertani di ladang atau menyadap karet di hutan. Pekerjaan ini biasanya mereka lakukan hingga sore/ senja hari, Malahan mereka tidak jarang tinggal/tidur di tempat kerja seperti itu dalam waktu yang relatif lama. Selain itu penduduk di daerah endemis sewaktu tidur biasanya tidak menggunakan/memasang kelambu. Tentunya kebiasaan semacam itu tidak mendukung upaya penanggulangan filariasis, karena risiko mendapat infeksi filariasis sangat besar.

KEPERCAYAAN keadaan sebagai suatu kebenaran bagi seseorang atau masyarakat. Sampai saat ini masih banyak di antara penduduk di daerah endemis failariasis yang percaya bahwa filariasis merupakan penyakit keturunan. Sehingga apa yang telah menimpa atau terjadi diterima sebagai nasib. Bahkan mereka percaya bahwa orang sering demam karena gangguan setan/roh halts, padahal sebenarnya demam karena terinfeksi filaria. Oleh karena itu mereka kadang-kadang tidak segera mencari pengobatan. Bahkan penderita yang sudah membengkak kakinya (elephantiasis) tidak dibawa ke dokter (Puskesmas atau Rumah Sakit), melainkan biasanya menaruh Kepercayaan untuk penyembuhannya pada orang yang mereka anggap pintar (orang tua atau dukun). Mereka menganggap bahwa hanya orang semacam itu yang dapat menyembuhkan atau mengusir penyakitnya. Sikap Sikap adalah suatu keadaan mental atau kecenderungan seseorang untuk bereaksi terhadap keadaan atau lingkungannya. Masih banyak anggota masyarakat di daerah endemis filariasis yang mempunyai sikap tidak positip terhadap penanggulangan filariasis. Sebagai contoh : masih banyak di antara penduduk yang menolak dilakukan pengobatan dan pengambilan darah. Mereka umumnya mempunyai alasan bahwa dengan diobati mereka malah menjadi sakit, padahal sebelum diobati mereka sehat. Bagi mereka yang sakit, sebagai efek samping obat biasanya mengalami perut mual, sakit kepala dan demam beberapa hari. Penduduk yang menolak diambil darahnya karena mempunyai anggapan bahwa pengambilan darah mempunyai tujuan komersial. Darah yang sudah terkumpul akan diperjual belikan. Selain itu penduduk di daerah endemis filariasis umumnya kurang tanggap terhadap lingkungannya. Hal ini te cermin pada masih banyaknya daerah rawa-rawa di sekitar pemukiman tetap dibiarkan terbuka, tanpa dimanfaatkan menjadi lahan produktif misalnya menjadi lahan persawahan

atau pemanfaatan lainnya. Menurut Sri Oemijati (1981) daerah rawa yang tetap terbuka merupakan tempat yang cocok untuk berkembang biaknya nyamuk dari jenis Mansonia. Nyamuk jenis ini merupakan salah satu vektor penular penyalit filaria. Tentunya menolak pengobatan dan pengambilan darah, serta membiarkan daerah rawa tetap terbuka merupakan sikap yang tidak positip bagi upaya penanggulangan filariasis. Karena dengan masih adanya penduduk menolak pengobatan akan menyebabkan penularan penyakit filariasis yang terusmenerus dalam masyarakat. Selain itu daerah rawa-rawa yang dibiarkan tetap terbuka akan menunjang berkembangbiaknya nyamuk penular filariasis. Nilai Menurut Alvin. L. Bertrand (1980), nilai adalah perasaanperasaan tentang apa yang diinginkan ataupun tidak diinginkan, atau tentang apa yang boleh atau tidak boleh. Nilai adalah perasaan-perasaan tentang apa yang baik ataupun tidak baik, tentang apa yang boleh atau tidak boleh. Sering di sini didasarkan pada untung rugi. Bila suatu keadaan dipercaya atau dianggap menguntungkan atau bermanfaat oleh seseorang, maka orang tersebut akan menaruh nilai yang tinggi. Sebaliknya bila suatu keadaan dianggap merugikan atau tidak bermanfaat, maka orang tersebut akan menaruh nilai yang rendah. Sebagai contoh : Pengobatan bisa dianggap oleh masyarakat merugikan, karena setelah minum obat malah menjadi sakit. Padahal sebelum diobati mereka merasa sehat. Dengan sakit yang dialami akibat minum obat misalnya demam beberapa hari, mereka umumnya tidak dapat pergi ke ladang atau menyadap karet di hutan. Tentunya hal ini mereka anggap merugikan, karena mengganggu dalam melakukan pekerjaan. Sebaliknya bila pengobatan tersebut akhirnya dirasakan bermanfaat bagi kesehatan baik untuk diri seseorang atau masyarakat, maka orang tersebut akan menerima/bersedia diobati. PERANAN DAN TUMBUHNYA PERANSERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN Sebagaimana dikemukakan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN, 1982), masyarakat mempunyai peranan penting

dalam memelihara dan meningkatkan diri sendiri dan lingkungan, karena Iesehatan merupakan kewajiban dan tanggung jawab setiap orang. Ini mengandung pengertian bahwa dalam penyelenggaraan upaya kesehatan, peranserta ikut menentukan kesehatan manusia atau masyarakat itu sendiri. Seperti halnya dalam upaya penanggulangan filariasis, masyarakat di daerah endemis diharapkan mendukung dan ikut serta dalam upaya tersebut. Kemungkinan besar upaya penanggulangan yang disertai peranserta masyarakat akan mencapai hasil yang diharapkan yaitu menurunnya prevalensi penyakit sampai titik yang tidak membahayakan. Dalam kenyataannya peranserta masyarakat dalam penanggulangan filariasis belum begitu tampak, karena tumbuhnya peranserta memerlukan perubahan-perubahan terutama menyangkut sikap dan perilaku masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sikap dan perilaku masyarakat kelihatannya sangat mudah, karena hanya menyangkut keadaan seharihari. Akan tetapi sampai saat ini perubahan itu sulit terjadi. Hal ini karena upaya perubahan yang sexing dilakukan kurang memperhatikan faktor yang mendasari perubahan, yaitu proses penanaman nilai-nilai baru di bidang kesehatan, dalam hal ini adalah pendidikan kesehatan. Melalui pendidikan, sedikit demi sedikit nilai-nilai lama yang melekat pada diri seseorang dan atau dianut oleh masyarakat akan dilepaskan oleh orang/masyarakat tersebut. Penanaman dan atau perubahan nilai merupakan proses yang penting. Karena nilai yang melekat' pada diri seseorang adalah yang mendasari sikap dan perilaku orang tersebut. Penanaman nilai-nilai baru tersebut paling tepat adalah melalui proses belajar. Karena terbentuknya sikap ditentukan oleh aspek afektif yang merupakan evaluasi yang bersifat pribadi yang selanjutnya membentuk seseorang cenderung untuk bertindak. Jadi bila seseorang menaruh evaluasi yang tinggi terhadap nilai bahwa "pengobatan sangat bermanfaat bagi kesehatannya baik bagi dirinya sendiri maupun masyarakat", maka orang tersebut akan cenderung bersikap positip terhadap pengobatan, dalam arti mau menerima pengobatan. Bahkan selanjutnya akan melakukan tindakan yang mendukung pengobatan misalnya ikut terlibat dalam pelaksanaan pengobatan

yaitu membantu dengan cara mengajak orang lain agar mau diobati. Jadi seseorang berperilaku mendukung dan tidaknya upaya penanggulangan filariasis karena kemantapan sikapnya yang didasarkan pada penilaian positip yang menumbuhkan kepercayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Azrul Azwar (1983) bahwa "berperilaku dan tidaknya seseorang dalam bidang kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan orang tersebut terhadap kesehatan serta kesiapan mental yang dipunyai " . Kepercayaan dalam hal ini meliputi manfaat dan kerugian yang akan dihadapi serta kepercayaan bahwa dirinya dapat diserang penyakit. Di sini bisa kita lihat betapa pentingnya unsur afektif dalam perubahan sikap dan perilaku di bidang kesehatan yang dapat ditempuh melalui pendidikan. Pendidikan kesehatan yang sexing dilakukan seperti penerangan ataau penyuluhan biasanya kurang memperhatikan unsur afektif, sehingga hal ini hanya akan merupakan atau sekedar proses penyampaian pengetahuan tentang kesehatan, bukan merupakan suatu proses belajar. Proses belajar seperti itu sama sekali kurang atau tidak mendorong orang untuk berperilaku sehat. Padahal unsur afektif dalam proses pendidikan kesehatan merupakan faktor yang sangat penting bagi perubahan dan pembentukan sikap. Di sini terbuka kesempatan untuk melakukan penilaian secara pribadi, yang merupakan landasan untuk berperilaku. Kecenderungan orang untuk berperilaku secara potensjal terkandung di dalam sikapnya. Bila sikap seseorang dilandasi sikap positip dalam arti orang tersebut harus menjaga kesehatannya agar tidak terinfeksi filaria, maka perilakunya juga positip. Orang tersebut akan selalu berusaha menjaga agar tidak mudah terinfeksi. Oleh karena itu bila setiap orang di daerah endemis melakukan hal semacam itu, maka bisa dijamin upaya penanggulangan filariasis akaan mencapai basil seperti _ yang diharapkan, yaitu menurunnya prevalensi penyakit sampai pada titik yang tidak membahayakan

Anda mungkin juga menyukai