Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan kebun binatang parasit terbesat di dunia, dengan salah satu
koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera serta sebagian wilayah
Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari tahun ke tahun langganan terinfeksi kaki gajah.
Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing filaria merambat di sekeliling jaringan
subkutan dan sekujur pembuluh limfe. Brugia malaayi lazim ditemui di China, India, Korea,
Jepang, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Prinsip patologis penyakit filariasis
bermula dari inflamasi saluranlimfe akibat dilalui cacing filaria dewasa ( bukan
mikrofilaria ). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-
sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya.
Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang
menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya. Akibat kerusakan pembuluh, akan
terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh
datrah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan rusakna katup-katup di
sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis
dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.

Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang
ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat 3 spesies cacing penyebab filariasis,
yaitu : wuchereria bancrofti, brugia malayi, brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di
Indonesia, tetapi lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh brugia malayi
( Buletin Jendela, 2010 ). Cacing tersebut hidup di kelenjar saluran getah bening manusia dan
menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan
kronis. Gejala akut yang muncul berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening
( Adenolimfangitis ) khusus nya pada daerah pangkal paha dan katiak, tapi bisa juga muncul
di daerah lain. Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfa, terutama di daerah yang
sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah
( elphantiasis ) dan hidrokel.
1.2 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit filariasis dan asuhan
keperawatan yang benar pada pasien dengan filariasis.

1.3 Tujuan Khusus

 Dapat mengetahui dan memahami tentang konsep dasar penyakit filariasis yang
meliputi definisi filariasis, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, dan penatalaksanaan.
 Dapat mengidentifikasi konsep asuhan keperawatan yang benar pada pasien dengan
filariasis yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, dan evaluasi
keperawatan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi

Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang
ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat 3 spesies cacing penyebab filariasis,
yaitu : wuchereria bancrofti, brugia malayi, brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di
Indonesia, tetapi lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh brugia malayi
( Buletin Jendela, 2010 ). Cacing tersebut hidup di kelenjar saluran getah bening manusia dan
menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan
kronis. Gejala akut yang muncul berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening
( Adenolimfangitis ) khusus nya pada daerah pangkal paha dan katiak, tapi bisa juga muncul
di daerah lain. Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfa, terutama di daerah yang
sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah
( elphantiasis ) dan hidrokel.

Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan
oleh filaria dan ditularkan oleh nyamuk mansonia, anopheles, culex, armigeres. Cacing
tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa
demam berulang, peradangan kelenjar, dan saluran getah bening. Pada stadium lanjut, dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, payudara, dan alat kelamin
( Masrizal, 2013 ).

2.2 Etiologi

Dalam musim hujan biasanya nyamuk dapat berkembang biak dengan sangat cepat.
Banyak sekali penyakit yang dapat ditularkan oleh hewan kecil yang satu ini. Salah satunya
penyakit kaki gajah ( Filariasis ). Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan apabila tidak
mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembengkakan kaki,
lengan dan alat kelamin baik pada pria maupun wanita. Akibatnya, penderita penyakit kaki
gajah tidak dapat bekerja secara optimal, bahkan hidupnya harus selalu tergantung pada
orang lain.
a. Hospes
Manusia yang terjangkit parasit di dalam tubuhnya selalu dapat menjadi
sumber infeksi bagi orang lain yang rentan disekitarnya. Imigran yang datang ke
daerah emdemis umumnya lebih rentan terhadap infeksi filariasis yang lebih
menderita daripada penduduk asli. Pada umunya, laki-laki lebih banyak terkena
infeksi karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi ( eksposure )
( Masrizal, 2013 ). Disamping itu, gejala penyakit lebih nyerta pada laki laki karena
pekerjaan fisik yang lebih berat ( Tim Editor FK UI, 2009 ).
b. Hospes Reservoar
Tipe Brugia Malayi yang dapat hidup dalam tubuh hewan merupakan sumber
infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi cacing ini
adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin
terkena infeksi ( Tim Editor FK UI, 2009 )
c. Vektor
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung
pada jenis cacing filaria nya ( Masrizal, 2013 ). W.Bancrofti yang terdapat di dearah
perkotaan di tularkan oleh Cx.quinquefasciatur yang tempat perindukannya adalah air
kotor dan tercemar. W.Bancrofti di daerah pedesaan dapat ditularkan oleh berbagai
spesies nyamuk. Di Irian Jaya, W.Bancrofti di tularkan terutama oleh An.Farauti yang
dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Selain
itu, ditemukan juga sebagai vektor : An.Koliensis, An.Punctulatus, Cx.Annulirostris,
dan Ae.Kochi, W.Bancrofti di daerh lain dapat ditularkan oleh spesies lain, seperti
An.Supictus di daerah pantai NTT. Selain nyamuk culex, Aides pernah juga
ditemukan sebagai vektor ( Tim Editor FK UI, 2009).
B.Malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh
berbagai spesies mansonia seperti Mansonia uniformis, Mansonia bonneae,
Mansonia dives, dan lain-lain, yang berkembang biak didaerah rawa di Kalimantan,
Sumatera, Maluku dan lain-lain ( Masrizal, 2013). B. Malayi yang periodik ditularkan
oleh An. Barbirostris yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di
daerah Sulawesi. B. Timori, spesies yang ditemukan di indonesia sejak 1965 hingga
sekarang hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor-Timor, ditularkan oleh An.
Barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di
daerah pedalaman (Tim Editor FK UI, 2009).
2.3 Patosiologi

Keterangan : Selama mengisap darah, nyamuk yang terinfeksi memasukkan larva stadium
tiga (L-3) melalui kulit manusia dan penetrasi melalui luka bekas gigitan❶. Larva
berkembang menjadi dewasa dan pada umumnya habitatnya pada kelenjar limfatik❷.
Cacing dewasa menghasilkan microfilaria yang migrasi ke limfe dan mencapai sirkulasi
darah perifer❸. Nyamuk mengingesti microfilaria selama mengisap darah❹. Setelah masuk
dalam tubuh nyamuk, selubung (sheath) dari microfilaria terlepas dan melalui dinding
proventikulus dan ke usus bagian tengah (midgut) kemudian mencapai otot toraks❺.
Microfilaria berkembang menjadi larva stadium pertama (L-1)❻kemudian menjadi L-2 dan
selanjutnya menjadi larva stadium tiga (L-3)❼. Larva stadium tiga bermigrasi menuju
probosis❽ dan dapat menginfeksi penderita yang lain ketika mengisap darah❶
2.4 Manifestasi Klinis

Jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti
akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang
melebar dan berkelok-kelok (dideteksi dengan flebografi), serta limfangietaksis skrotum
(dideteksi dengan USG). Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan jarang sekali
terjadi ( bahkan bisa dibilang tidak pernah) terdekteksi karena terjadi di pedalaman-
pedalaman desa.
ADL ( acute adenolymphangitis) ditandai dengan :
1. Demam tinggi
2. Peradangan limfe ( limfangitis dan limfadentis )
3. Serta edema lokal yang bersifat sementara.

Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih
dahulu. Lesi di daerah genital ini meliputi : funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada
skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis
skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa
mendesak rongga perotoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan
menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi. Pada daerah yang endemis infeksi filaria,
terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadentis (DLA).
Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam
tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk
demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus,
serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga,
terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port
d’entree dari filaria tersebut terletak di derah interdigital. Karena bentuknya yang tidak
terlalu khas, sindrom ini sering juga di diagnosis sebagai selulitis.

1. Gejala Klinis Akut :


- Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan
muncul lagi setelah bekerja berat
- pembengkakan kelernjar getah bening ( tanpa ada luka ) di daerah lipatan paha ,
ketiak
- Radang saluran kelenjar getah bening terasa panas dan sakit yang menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung ( retrograde lymphangitis )
2. Gejala Klinis Kronis :
Berupa pembesaran yang menetap pada tungkai (elephantiasis), lengan, buah
dada, buah zakar (elphantiasis skroti), pembesaran tersebut dapat pecah,
mengeluarkan darah dan nanah.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah tepi,
kiluria eksudat, varises limfe, cairan limfe dan cairan hidrokel atau ditemukannya cacing
dewasa pada biopsi kelenjar limfe atau pada penyinaran didapatkan cacing yang sedang
mengadakan klasifikasi. Sebagai diagnosis pembantu, pemeriksaan darah, menunjukkan
adanya eosinofili antara 5-15%. Selain itu juga melalui tes intradernal dan tes fiksasi
komplemen dapat membantu menegakkan diagnosis (Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2012-
2013: 34).

Pemeriksaan penunjang pada filariasis meliputi: (Gandahusada S, 2004: 34)

1. Diagnosis Parasitologi yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan hidrokel


atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi knott,
membrane filtrasi dan tes profokatif dan DEC 100.
2. Radiodiagnosis, pemeriksaan dengan usg pada skrotum dan kelenjar getah bening
inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.
3. Diagnosa imunologi, dengan teknik ELISA dan ITC kedua teknik ini pada dasarnya
menggunakan anti body monoclonal yang spesifik untuk mendetekdi antigen W
Brancrofti dalam sirkulasi.

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaa filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya penyakit.
Diagnosis yang efesien dan efektif sangatlah penting dan menjadi faktor penentu dalam
penatalaksanaan penyakit (Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2012-2013: 34; Haryuningtyas et al,
2005: 249)

Perawatan umum

1. Istirahat ditempat tidur


2. Antibiotik untuk infeksi sekunder dan abses
3. Perawatan filariasis dengan mencuci kaki dan merawat luka agar kebersihan kulit
terjaga

Pengobatan spesifik

1. Untuk pengobatan individual diberikan Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)


6mg/kgBB 3x sehari selama 12 hari serta Albendazole 400mg.
2. Pengobatan massal (Rekomendasi WHO) adalah DEC mg/kgBB dan Albendazole
400mg (+paracetamol) dosis tunggal, sekali setahun selama setahun.
3. Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau reaksi terhadap cacing
dewasa yang mati. Reaksi tubuh terhadap protein yang dilepaskan pada saat cacing
dewasa mati dapat terjadi beberapa jam setelah pengobatan.

Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin adalah antibiotik semisitentik dari
golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat
ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding
DEC (Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2012-2013: 34).

Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,suku bangsa, status, pendidikan,
pekerjaan.
b. Identitas penanggung jawab
Meliputi nama, umur, pendidikan, agama, hubungan dengan pasien.
c. Keluhan utama
Biasanya pasien mengalami keluhan bengkak muncul dari telapak kaki sampai
ke tungkai kaki bawah
d. Riwayat kesehatan sekarang
P : Segala sesutau yang memperberat atau meringankan kaluhan
Q : Keluhan yang dirasakan pasien biasanya terasa senut senut
R : Keluhan yang dirasakan di kaki
S : Keluhan tersebut mengganggu pergerakan kaki
T : Keluhan yang dirasakan pasien secara mendadak

e. Riwayat kesehatan dahulu


Biasanya tidak pernah mengalami penyakit seperti ini
f. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada riwayat penyakit ketururunan
2. Pemeriksaan Fisik
- Status keadaan umum
- Keadaan umum : Pasien kesulitan dalam berjalan
- Kesadaran : Composmentis
- TTV :Sering terjadi perubahan
1. Sistem Pernafasan
Biasanya tidak ditemukan gangguan pada sistem pernafasan
a. Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak ada lesi, pasien tidak ada batuk
dan tidak menggunnakan otot bantu nafas
b. Palpasi : Tidak teraba benjolan, krepitasi tidak ada, taktil premitus
normal
c. Perkusi : Disaat perkusi sonor
d. Auskultasi : Suara nafas vesikuler
2. Sistem Kardiovaskuler
Pada penyakit filariasis biasanya perubahan TD, menurunnya volume nadi
perifer, perpanjangan pengisi kapiler.
a. Inspeksi : Bentuk jantung simetris, tidak ada lesi.
b. Palpasi : Tidak teraba benjolan, krepitasi tidak ada, taktil premitus normal
c. Perkusi : Terdapat bunyi pekak
d. Auskultasi : Bunyi jantung normal
3. Sistem Persyarafan
Saraf Kranial : Atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius bilateral dan
unilateral
Sistem Motorik : Pemeriksaan tonus otot, pasien mengalami kesulitan untuk
menekuk dan meluruskan sendi lutut
4. Sistem Perkemihan
Pada sistem perkemihan pasien tidak memiliki perubahan
5. Sistem pencernaan
a. Inspeksi : warna feses, bentuk feses, dan bau feses
b. Palpasi : Tidak teraba masa
c. Perkusi : Tidak terdengar timpani
d. Auskultasi : Bunyi abdomen saat BAB tidak ada, bising usu normal
6. Sistem Integumen
Sistem integumen tidak mengalami kelainan
7. Sistem Endokrin
Tidak ada perubahan
8. Sistem Reproduksi
Tidak ada perubahan
9. Sistem Muskuloskeletal
Tonus otot buruk, terdapat kekuan sendi, dan kekuatan otot 2 yaitu gerakan
otot penuh melawan gravitasi dengan topangan.
3. Pemeriksaan Penunjang
 Penyakit filariasis ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis darah, sampai saat ini hal tersebut masih dirasakan sulit
dilakukan karena mikrofilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam
darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja.
 Selain itu berbagai metode diagnosa penyakit filariasis diantaranya ialah
dengan sistem yang dikenal sebagai penjaringan membran, metode
konsentrasi knott dan teknik pengendapan.
4. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah Keperawatan


.
1. Ds : - Proses penyakit Hipertermi
Do : Kulit teraba
hangat, suhu = 37,8 oC

2. Ds : Pasien mengeluh Agen pencedera Nyeri


nyeri pada area telapak fisiologis
kaki hingga tungkai
kaki disertai bengkak
Do : -Pasien tampak
meringis
-Bersikap
protektif ( posisi
menghindari nyeri )
- Tampak
gelisah
- Sulit tidur

5. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berrhubungan dengan proses penyakit
2. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

6. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Hipertermi Termoregulasi membaik -Identifikasi
berrhubungan setelah dilakukan asuhan penyebab
dengan proses selama 1x24 jam dengan hipertermia
penyakit kriteria hasil : -Monitor suhu tubuh
- Suhu tubuh membaik -Monitor haluaran
- Tekanan darah membaik urine
Basahi atau kipasi
permukaan tubuh
-Anjurkan tirah
baring

2. Nyeri berhubungan Tingkat nyeri menurun -Identifikasi lokasi,


dengan agen setelah dilakukan asuhan karakteristik,
pencedera fisiologis selama 1x24 jam dengan kualoitas, intensitas
kriteria hasil : nyeri
- Keluhan nyeri menurun -Identifikasi skla
- Meringis menurun nyeri
- Gelisah menurun -Identifikasi faktor
- Kesulitan menurun yang memperberat
- Sikap protektif menurun rasa nyeri
-Berikan terapi
komplementer untuk
mengurangi rasa
nyeri ( kompres
pada bagian yang
bengkak )
BAB III

STUDI KASUS

Ny.S usia 38 tahun di rawat di ruang perawatan penyakit dalam pada tanggal 12 Maret
2020 dengan keluhan demam berulang – ulang selama 4 hari, demam hilang bila istirahat dan
demam akan muncul ketika bekerja berat. Klien mengatakan terasa panas dan nyeri di area
telapak kaki yang menjalar ke tungkai kaki dengan skala 6 disertai bengkak dan klien
mengeluh nyeri semakin terasa jika kaki yang sakit tersebut di gunakan untuk berjalan atau
beraktifitas. Saat pengkajian, kaki klien yang sakit tampak lebih besar dibandingkan dengan
kaki yang satunya. Nyeri terasa beulang-ulang, nyeri tekan (+), klien tampak meringis ketika
berjalan, data yang di dapat ukuran tungkai kaki klien 30 cm, pemeriksaan TTV dengan hasil
TD : 130/70 mmHg, RR : 23 x/menit, N : 110 x/menit, S : 38,7 oC, hasil pemeriksaan darah
diperoleh hasil Hb : 10,8 gr/dL, Leukosit 9.500/mm 3, dari pemeriksaan darah jari kaki
ditemukan parasit mikrofilaria.

Anda mungkin juga menyukai