Dosen Pengajar :
Aulia Rahman, S.Kep.,Ns.,M.Kep.
KELOMPOK 7
FILARIASIS
A. Pengertian
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan
penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan
ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat menimbulkan cacat
seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara, dan buah zakar. Cacing
filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi cacing filaria dapat
menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik. (Depkes RI, 2005). Filariasis
adalah infeksi yang disebabkan oleh tiga spesies cacing yaitu, Wuchereria Bancroft,
Brugia malayi, dan Brugia timori serta ditularkan melalui nyamuk ke manusia. ()
B. Etiologi
Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan
kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah.
Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Penyakit ini ditularkan
melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang telah tertular sebelumnya.
Darah yang terinfeksi dan mengandung larva akan ditularkan ke orang lain pada
saat nyamuk yang terinfeksi menggigit atau menghisap darah orang tersebut, tidak
seperti Malaria dan Demam berdarah. Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga
spesies cacing filaria yaitu:
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori (Gandahusada, 1998)
Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu
Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.
Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifikasikan sebagai vektor Wuchereria
bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor Wuchereria
bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor Brugia malayi.
Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor
filariasis yang paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor
Brugia malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris
merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur
dan kepulauan Maluku Selatan. Perlu kiranya mengetahui bionomik (tata hidup)
vektor yang mencakup tempat berkembang biak, perilaku menggigit, dan tempat
istirahat untuk dapat melaksanakan pemberantasan vektor filariasis. Tempat
perindukan nyamuk berbeda-beda tergantung jenisnya.
1. Manusia
Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular filariasis
apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium III). Manusia
yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain
yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemis
(transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari
pada penduduk asli. Pada umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih
banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih
nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat (Gandahusada,
1998).
2. Hewan
3. Lingkungan
a. Lingkungan Fisik
b. Lingkungan Biologi
C. Patofisiologi
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit akan
menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi perubahan dari
larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan menghasilkan
produk – produk yang akan menyebabkan dilatasi dari pembuluh limfa sehingga
terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde. Akibat dari aliran
retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema.
Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen
parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti
IL 1, IL 6, TNF α. Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga
terjadi eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan sitokin
juga akan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE
yang terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga melepaskan mediator
inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator
inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit
dan terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dan
granulomatosa. Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yang
dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal
ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan
menyebabkan perjalanan yang kronis.
D. Manifestasi Klinis
Gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang menetap
(elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada sistem
limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga oleh reaksi
hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis. Dalam proses
perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan limfadenitis akut
berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik.
Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya,
tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:
a. Masa Prepaten
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia yang memerlukan waktu kira-kira 3-7 bulan. Hanya sebagian dari
penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok
mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat
bahwa kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik
ataupun amikrofilaremik.
b. Masa Inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis
yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
c. Gejala Klinik Akut
a) Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat
dan muncul lagi setelah bekerja berat
b) Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan
paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
c) Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis)
d) Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
e) Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
d. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama.
Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih
dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang
mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.
Filariasis bancrofti
Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti pembuluh limfe alat
kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis dan orchitis.
Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan limfangitis retrograd
yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari. Serangan biasanya terjadi
beberapa kali dalam setahun. Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya
mengenai seluruh tungkai. Limf edema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat,
yaitu:
a. Tingkat 1
Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila
tungkai diangkat.
b. Tingkat 2
Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel)
bila tungkai diangkat.
c. Tingkat 3
Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai
diangkat, kulit menjadi tebal.
d. Tingkat 4
Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis). (T.Pohan,Herdiman, 2009)
Filariasis brugia
Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan Brugia timori limfadenitis
paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah bekerja keras.
Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe menjadi keras dan
nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita
tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 kali
dalam satu tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena
dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut
yang khas, setelah 3 minggu hingga 3 bulan.
E. Komplikasi
a. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena
b. Elephantiasis tungkai
c. Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,vulva
vagina dan payudara.
d. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pda saluran limfe testis berulang:
pecahnya tunika vaginalisHidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan
di antaralapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal,
cairan yang berada di dalam rongga itu memang adadan berada dalam
keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
e. Kiluria : kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh
cacing dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran
kemih. (T.Pohan,Herdiman, 2009)
F. Pemeriksaan Penunjang
TES DIAGNOSTIK
a. Metode Fitrasi membran (Membrane filtration method)
Darah vena diambil pada saat malam hari dan di saring (filter) melalui sebuah
membrane dengan pori-pori kecil, yang mampu dan mudah mendeteksi
mikrofilaria dan menghitung jumlah muatan infeksi. Biasanya digunakan pada
tahap awal penyakit sebelum gejala (manisfestasi) klinis muncul. Setap kali
lipoedema (lyphoedema) berkembang secara umum mikrofilaria menghilang di
seluruh darah perifer.
b. Ultrasonografi
Baru-baru ini ultrasonografi digunakan untuk membantu menentukan dan
memperlihatkan pergerakan hidup cacing filaria dewasa W. Bancrofti di bagian
saluran limfe skrotum pada pria dengan mikrofilaremia tanpa gejala
(asimptomatik).
c. Lymphoscintigraphy
d. Immunochromatographic test (ICT)
Merupakan tes assay dengan sensitifitas yang tinggi dan spesifik dalam
memeriksa antigen filariasis. Hasil tes positif pada tahap awal penyakit ketika
cacing dewasa hidup dan menjadi negatif ketika cacing sudah mati.
e. Pemeriksaan DNA menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) tes ini
memiliki ke-spesifikan dan sensitifitas yang tinggi sehingga mampu mendeteksi
DNA parasit pada manusia sebagai vektor cacing.
PENGOBATAN
a. Diethylcarbamazine (DEC)
Efektif melawan mikrofilaria dan beberapa cacing dewasa. DEC menurunkan
tingkat mikrofilaria di dalam darah dengan dosis tunggal per tahun 6mg/kg berat
badan dan efeknya dapat dipertahankan dalam jangka waktu 1 tahun. Meskipun
DEC membunuh cacing dewasa, tetapi efek tersebut hanya terobservasi pada
sekitar 50% pasien saja. Obat ini tidak bekerja langsung pada parasit (cacing)
tetapi kinerjanya diperantarai oleh sistem imun host (penderita). Awalnya
rekomendasi dosis pemberian obat adalah 6mg/kg diberikan selama 12 hari.
Hasil penelitian baru-baru ini memperlihatkan dosis tunggal dari DEC 6 mg/kg
lebih efektif dibandingkan dengan dosis yang diberikan selama 12 hari. Melalui
ultrasonography ditunjukan meskipun hanya dosis tunggal DEC,
mampu membunuh cacing karena kondisi cacing masih sensitif terhadap obat.
Ketika cacing tidak sensitif, pengulangan dosis tidak menunjukan efek pada
cacing dewasa (sehingga lebih baik dosis tunggal dari pada pemberian selama
12 hari). Tetap mempertahankan pemberian dosis tunggal DEC tahunan (tiap
tahun) untuk membasmi mikrofilaria merupakan cara yang baik untuk mecegah
transmisi penyakit. Efek samping obat kebanyakan terjadi pada pasien yang
memiliki mikrofilaria di dalam darah dan mengalami penghancuran parasit
(cacing) yang cepat ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot (myalgia),
nyeri tenggorokan atau batuk yang berakhir 24 hingga 48 jam. biasanya dalam
derajat yang ringan dan membutuhkan terapi symptomatic (sesuai gejala yang
timbul).
b. Ivermectin
Obat ini bekerja langsung pada mikrofilaria dan dalm dosis tunggal 200 -400
ugm/kg menjaga hasil tes hitung darah mikrofilaria pada tingkat yang rendah
meskipun setelah satu tahun, sama seperti DEC. Efek samping obat terlihat
pada pasien dengan microfilaraemic mirip dengan efek samping pada DEC
tetapi lebih ringan karena membersihkan parasitaemia dengan cara perlahan.
Ivermectin merupakan alternatif obat yang digunakan pada pasien yang
mengalami onchocerciasis untuk pencegahan filariasis karena lebih aman dan
manjur, ketika dibandingkan dengan DEC.
c. Albendazole
Merupakan golongan obat antihelmintic (anti cacing), obat ini memperlihatkan
efek penghancuran cacing filaria dewasa ketika diberikan dalam dosis 400 mg 2
kali sehari selama dua minggu. Kematian cacing dewasa merangsang reaksi
skrotum yang hebat pada bancroftian filariasis diarea yang telah terjadi
sumbatan. Albendazol tidak memperlihatkan aksi langsung melawan mikrofilaria
dan tidak secara langsung menurunkan hasil tes hitung darah mikrofilaria. Ketika
diberikan dalam dosis tunggal 400 mg bersama dengan DEC atau Ivermectin,
efek penghancuran oleh obat terlihat lebih nyata (jelas). Albendazole yang
dikombinasi dengan DEC atau invermectin direkomendasikan dalam program
eliminasi filariasis global. Albendazole tidak hanya mencegah transmisi di
komunitas filariasis tetapi juga memiliki keuntungan tambahan untuk
membersihkan cacing intestinal(kecacingan).
G. Penatalaksanaan
Tindakan pencegahan dan pemberantasan filariasis yang dapat dilakukan adalah:
1. Melaporkan ke Puskesmas bila menemukan warga desa dengan pembesaran
kaki,
tangan, kantong buah zakar, atau payudara.
2. Ikut serta dalam pemeriksaan darah jari yang dilakukan pada malam hari oleh
petugas kesehatan.
3. Minum obat anti filariasis yang diberikan oleh petugas kesehatan.
4. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungan agar bebas dari nyamuk penular.
5. Menjaga diri dari gigitan nyamuk misalnya dengan menggunakan kelambu pada
saat tidur. (Depkes RI, 2005)
2. Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari untuk
pengobatan individual.
A. Pengkajian
a. Aktifitas / Istirahat
b. Sirkulasi
Tanda : Perubahan TD, menurunnya volume nadi perifer, perpanjangan
pengisian kapiler
d. Integumen
e. Makanan / Cairan
f. Hygiene
g. Neurosensoris
h. Nyeri / Kenyamanan
i. Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, panas dan perih, luka, penyakit defisiensi imun,
demam berulang, berkeringat malam
Tanda : Perubahan integritas kulit, pelebaran kelenjar limfe
j. Seksualitas
k. Interaksi Sosial
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
2. TTV
3. Pemeriksaan diagnostic
C. Diagnosa Keperawatan
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi pada
kulit
D. Intervensi
E. Implementasi
F. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Pohan, Herdiman T, 2009, Filariasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima.
Jilid III. Jakarta: Internal Publishing