Anda di halaman 1dari 12

KEPERAWATAN TROPIK INFEKSI

“RESUME TM 9 ASKEP PENYAKIT TROPIK INFEKSI YANG DISEBABKAN


OLEH PARASIT: 1. FILARIASIS, 2. CUTANEOUS LARVA MIGRANS”

Dosen Pengampu :

Lingga Curnia Dewi, S.Kep., Ns., M.Kep..

Disusun Oleh :

Rima Mutiara Dhani 131911133104


A3/2019

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

TAHUN 2020/2021
Filariasis

A. Definisi
Filariasis penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria sp. ditularkan oleh
nyamuk Mansonia sp., Anopheles sp., Culex sp., dan Armigeres sp. Cacing Filaria sp.
yang dapat menyerang kelenjar dan saluran getah bening. Penyakit ini dapat merusak
limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum,
menimbulkan kecacatan serta stigma negatif bagi penderita dan keluarganya (Anindita &
Mutiara, 2016).
B. Manifestasi klinis
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis (Anindita & Mutiara,
2016).
 Gejala akut: limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis disertai demam, sakit kepala,
rasa lemah dapat menjadi abses. Abses pecah menimbulkan jaringan parut, terutama
di daerah ketiak dan lipat paha.
 Gejala kronik: limfedema, lymph scrotum, kiluri, dan hidrokel. Limfedema adalah
pembengkakan disebabkan gangguan pengaliran getah bening kembali ke dalam
darah. Lymph scrotum adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scrotum.
Ditemukan juga vesikel dengan ukuran bervariasi pada kulit, yang dapat pecah dan
membasahi pakaian. Kiluria adalah kebocoran yang terjadi akibat pecahnya saluran
limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renalis). Hidrokel adalah pembengkakan
yang terjadi pada skrotum karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tunica
vaginalis testis.
 Pada stadium lanjut filariasis dapat menimbulkan manifestasi berupa pembesaran
kaki, lengan, payudara dan alat kelamin
C. Etiologi
Filariasis disebabkan oleh tiga spesies parasit nematoda (Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, dan Brugia timori) dan ditularkan ke 5 genera nyamuk termasuk Aedes,
Anopheles, Culex, Mansonia, dan Ochlerotatus
D. Patogenesis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi faktor kerentanan individu terhadap
parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke
dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum
perkembangan klinis filariasis dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut.
 Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama dengan
infeksi oleh bakteri dan jamur.
 Pada fase lanjut, kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya
perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang
tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan
penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik
E. Faktor Risiko
Penularan filariasis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sumber penular (manusia
dan hewan sebagai reservoir), parasit (cacing), vektor (nyamuk), manusia yang rentan
(host), lingkungan (fisik, biologik, ekonomi dan sosial budaya) (Anindita & Mutiara,
2016).
1. Faktor manusia dan nyamuk (host)
a. Manusia
Umur: filriasis menyerang semua kelompok umur. Jenis kelamin: laki-laki
insidensi tinggi. Imunitas: orang terinfeksi sebelumnya tidak terbentuk imunitas.
Terinfeksi tapi tidak menunjukkan gejala klinis, mengalami perubahan patologis
tubuhnya. Ras : penduduk pendatang pada daerah endemis memiliki risiko
filarisis lebih besar dan menunjukkan gejala klinis lebih berat.
b. Nyamuk
Perilaku nyamuk, Frekuensi menggigit manusia.
2. Lingkungan (environment)
a. Lingkungan fisik: Suhu udara, Kelembaban udara, Angin, Hujan, Tempat
perkembangbiakan nyamuk, Keadaan dinding, Pemasangan kawat kasa
b. Lingkungan biologi: Kebiasaan keluar rumah, pemakaian kelambu, obat anti
nyamuk, pekerjaan, pendidikan.
3. Agent
Filariasis di Indonesia disebabkan tiga spesies cacing filarial yaitu, W. Bancrofti,
B.Malayi, B.Timori.
F. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan menegakkan diagnosis filariasis meliputi tetes darah tebal dan tipis,
metode kepekatan (konsentrasi), teknik filtrasi membran maupun dengan
menggunakan teknik Quantitative Buffy Coat.
 Metode serologi, metode ELISA: menggunakan soluble adult worm antigen (SWA-
ELISA) untuk mendeteksi anti-filarial Igg4 antibodies.
 Metode imunokromatografik (ICT): sebagai contoh bmri dipstick (Brugia Rapid™).
Sedangkan PCR digunakan bila didapatkan kasus filaria yang sangat ringan.
Diagnosis radiologi menggunakan ultrasonografi dan limfosintigrafi yang
menggunakan zat radioaktif (Malewa & ., 2018)
G. Prognosis
Prognosis pada umumnya tidak mengancam jiwa. Quo ad fungsionam adalah
dubia ad bonam, sedangkan quo ad sanationam adalah malam. Prognosis penyakit ini
tergantung dari (Ikatan Dokter Indonesia, 2014): Jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria
dalam tubuh pasien.Potensi cacing untuk berkembang biak. Kesempatan untuk infeksi
ulang. Aktivitas RES.
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah
endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat
serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan edema pada
tungkai, prognosis lebih buruk
H. Penatalaksanaan
Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan
penyakit, antara lain dengan(Ikatan Dokter Indonesia, 2014):
1. Memelihara kebersihan kulit.
2. Fisioterapi kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis
3. Obat antifilaria adalah Diethyl carbamazine citrate (DEC) dan Ivermektin (diberikan
pada fase akut ketika pasien mengalami limfangitis).
4. DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa. Ivermektin merupakan
antimikrofilaria yang kuat, tetapi tidak memiliki efek makrofilarisida.
5. Dosis DEC 6 mg/kgBB, 3 dosis/hari setelah makan, selama 12 hari, pada Tropical
Pulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu.
6. Ivermektin diberikan dosis tunggal 150 ug/kgBB efektif terhadap penurunan derajat
mikrofilaria W.bancrofti
7. Pemberian antibiotik dan/atau antijamur akan mengurangi serangan berulang,
sehingga mencegah terjadinya limfedema kronis.
8. Antihistamin dan kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping
pengobatan. Analgetik dapat diberikan bila diperlukan.
9. Pengobatan operatif, kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif,
demikian pula pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif
I. Diagnosa
1. Nyeri kronis
2. Hipertermia
3. Gangguan citra tubuh
4. Gangguan mobilitas fisik
Cutaneous Larva Migrans

A. Definisi
Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption) merupakan kelainan kulit berupa
peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, yang
disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.
Penularan melalui kontak langsung dengan larva. (Ikatan Dokter Indonesia, 2014)
B. Manifestasi klinis
Gejala klinis berupa papula kecil berwarna kemerahan yang diikuti dengan jalur
kemerahan, berbentuk garis, sedikit menonjol menjalar pada kulit(Nareswari, 2015)
C. Etiologi
Penyebab utama dari HrCLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing
(Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum).
Penyebab lain yang juga memungkinkan, yaitu larva Uncinaria stenocephala dan
Bunostomum phlebotomum(Nareswari, 2015)
D. Pathogenesis
Telur pada feses atau tinja akan menetas di permukaan tanah dalam waktu satu hari
kemudian akan berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar satu
minggu. Larva dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena sinar
matahari secara langsung dan berada pada lingkungan yang hangat dan lembab. Larva
akan mencari pejamunya jika terjadi kenaikan suhu. Larva akan berjalan di sekitar kulit
untuk mendapatkan tempat penetrasi yang sesuai sehingga menembus ke lapisan korneum
epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase untuk bermigrasi di
kulit manusia. Larva bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang
menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya . Pada hewan, larva mampu menembus
dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Pada
manusia, larva tidak memiliki enzim kolagenase yang cukup untuk menembus membran
basal dan menyerang dermis sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan
perkembangan siklus hidupnya. Larva selamanya akan terjebak di jaringan kulit penderita
hingga masa hidup dari cacing ini berakhir.
E. Faktor Risiko
1. Faktor perilaku: Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki, pengobatan tidak teratur
terhadap kucing dan anjing, kebiasaan mengunjungi pesisir pantai atau daerah tropis
2. Faktor lingkungan: Keberadaan kucing dan anjing, cuaca atau iklim lingkungan,
lingkungan tempat tinggal berpasir atau tanah lembab,
3. Faktor host: Usia (anak paling sering), pekerjaan (sering kontak dengan tanah/ pasir)
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang khusus tidak ada
G. Prognosis
Prognosis umumnya bonam. Penyakit ini bersifat self-limited, karena sebagian besar
larva mati dan lesi membaik dalam 2-8 minggu, jarang hingga 2 tahun
H. Penatalaksanaan
1. Memodifikasi gaya hidup dengan menggunakan alas kaki dan sarung tangan pada
saat melakukan aktifitas yang berkontak dengan tanah, seperti berkebun dan lain-lain.
2. Terapi farmakologi dengan: Tiabendazol 50mg/kgBB/hari, 2x sehari, selama 2 hari;
atau Albendazol 400 mg sekali sehari, selama 3 hari.
3. Untuk mengurangi gejala pada penderita dapat dilakukan penyemprotan Etil Klorida
pada lokasi lesi, namun hal ini tidak membunuh larva.
4. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi sesuai dengan tatalaksana pioderma
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
1) Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, status, agama,
suku,kewarganegaraan, bahasa, pendidikan, pekerjaan (mempengaruhi
seseorang terkena CLM, biasanya laki-laki sering terkena karena risiko
pekerjaan sering kontak dengan tanah/ pasir), alamat, diagnosa medis,
no.Rekam medis.
2) Penanggung Jawab, meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
suku bangsa, pekerjaan, pendidikan, hubungan dengan pasien.
b. Alasan masuk rumah sakit
1) Alasan dirawat: terkena Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption) karena
invasi larva cacing tambang
2) Keluhan utama: Keluhan klien merasa tidak nyaman karena terdapat
sehingga pasien membutuhkan perawatan medik, jika klien tidak mempunyai
keluhan utama, lakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui penyebab
sakitnya.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sebelum sakit ini
2) Riwayat kesehatan sekarang:
a) Waktu timbulnya penyakit
b) Usaha yang dilakukan untuk mengurangi keluhan
d. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama.
e. Pemeriksaan fisik head to toe
Kaji adanya peningkatan sushu tubuh, tanda tanda perdarahan, mual,
muntah, tidak nafsu makan, , nyeri otot dan sendi, tanda tanda syok ( denyut
nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin, dan lembab terutama pada
ekstremitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran)
1) Kepala : bentuk, distribusi rambut, kebersihan rambut dan kulit kepala,nyeri
tekan.
2) Mata : Posisi mata, konjungtiva pucat, penglihatan, sklera.
3) Telinga : bentuk telinga, pendengaran,keadaan telinga, dan tidak adasekret.
4) Hidung : bentuk hidung, tidak atau terdapat sekret, ada atau tidak terdapat
pernapasan cuping hidung.
5) Mulut dan gigi : keadaan bibir, menggunakan gigi palsu atau
tidak,kebersihan mulut.
6) Leher : terdapat pembengkakan atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak.
7) Thorax : Bentuk thorax simetris, respirasi normal (16-20 kali/menit)
8) Abdomen : terdapat pembesaran atau tidak, peristaltik usus
9) Ekstremitas :
Atas : keadaan baik atau lemah.
Bawah : keadaan baik atau lemah.
10) Genitalia : -
2. Diagnosis keperawatan
1) D.0055 Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan
dibuktikan dengan mengeluh sulit tidur, mengeluh pola tidur berubah,
mengeluh kemampuan beraktivitas menurun.
3. Rencana keperawatan

No Perencanaan
Diagnosis
. Tujuan Intervensi Rasional
D.0055 Gangguan Pola Setelah diberikan asuhan
1 Dukungan Tidur (I.05174) 1. Mengetahui pola aktivitas dan
Tidur berhubungan keperawatan 3x24 jam
tidur pasien
dengan hambatan diharapkan pola tidur
Observasi
2. Mengurangi faktor pengganggu
lingkungan dibuktikan (L.05045) meningkat
3. Memaksimalkan pelayanan
dengan mengeluh sulit dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi pola aktivitas dan
meningkatkan kenyamanan
tidur, mengeluh pola tidur
4. Mengedukasi pasien pentingnya
tidur berubah, mengeluh 1. Keluhan sulit tidur 2. Idenifikasi faktor pengganggu
tidur
kemampuan beraktivitas membaik tidur
5. Mengetahui pengetahuan dan
menurun. 2. Keluhan pola tidur
Terapeutik kemampuan menjalani program
berubah membaik
pengobatan untuk keefektifan
3. Kemampuan aktivitas
3. Lakukan prosedur untuk
perawatan
menbaik
meningkatkan kenyamanan
6. Mengetahui kepatuhuan
menjalani program pengobatan,
Edukasi
apakah pasien kooperatif
4. Jelaskan pentingnya tidur 7. Menyampaikan pada pasien dan
selama sakit keluarga melakukan penyesuaian
pola hidup akibat program
pengobatan
Manajemen Medikasi (I.14517)
8. Menghubungi petugas kesehatan
jika terjadi efek samping obat
Observasi
untuk mendapat penanganan
5. Identifikasi pengetahuan dan
kemampuan menjalani program
pengobatan
6. Monitor kepatuhuan menjalani
program pengobatan

Terapeutik

7. Fasilitasi pasien dan keluarga


melakukan penyesuaian pola
hidup akibat program
pengobatan

Edukasi

8. Anjurkan menghubungi petugas


kesehatan jika terjadi efek
samping obat
Daftar Pustaka
Anindita, & Mutiara, H. (2016). Filariasis : Pencegahan Terkait Faktor Risiko Filariasis.
Jurnal Kedokteran Unila, 1(2), 393–398.
Arsin, A. A. (2016). Epidemiologi Filariasis di Indonesia. In Pusat Data dan Surveilans
Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI.
Ikatan Dokter Indonesia. (2014). Panduan Praktik Klinis. Ikatan Dokter Indonesia, 515–516.
Malewa, H. I., & . P. (2018). Diagnosis Filariasis Berdasar Hapusan Darah Tepi. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 15(1), 34.
https://doi.org/10.24293/ijcpml.v15i1.951
Nareswari, S. (2015). Cutaneous Larva Migrans yang Disebabkan Cacing Tambang. Jurnal
Kedokteran Unila, 5(9), 129–133.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia 
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia 
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai