Anda di halaman 1dari 5

KEPERAWATAN TROPIK INFEKSI

“RESUME TM 1 KONSEP DASAR DAN TERMINOLOGI YANG BERKAITAN


DENGAN KEPERAWATAN PENYAKIT TROPIK INFEKSI”

Dosen Pengampu :

Dr. Makhfudli, S.Kep., M.Ked.Trop

Disusun Oleh :

Rima Mutiara Dhani 131911133104


A3/2019

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA
TAHUN 2020/2021

A. Keperawatan pada Penyakit Tropik Infeksi


Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis. Curah hujan yang cukup tinggi
ditambah dengan rendahnya mutu sanitasi di sebagian wilayah Indonesia mengakibatkan
munculnya berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang muncul adalah penyakit
infeksi tropis yang diakibatkan oleh infeksi cacing. Infeksi tropis merupakan penyakit
yang biasa terjadi di daerah tropis. Penyakit infeksi tropis dibedakan menjadi 3 jenis yaitu
infeksi tropis oleh bakteri, infeksi tropis oleh virus, dan infeksi tropis oleh parasit. Infeksi
tropis oleh parasit biasanya disebabkan oleh infeksi cacing. Infeksi cacing dapat
ditularkan lewat makanan, air, udara, feses, hewan peliharaan, dudukan toilet dan
pegangan pintu yang terkontaminasi oleh telur cacing (Apriliani & Mustafidah, 2017).
Beberapa jenis penyakit tropis diantaranya adalah demam typoid, TBC, kusta, tetanus,
DBD, chikungunya, polio, malaria, cacingan, campak, hepatitis dll (Kurniasih &
Rismawan, 2017).

Penyakit tropis di Indonesia masih menjadi masalah dengan merebaknya beberapa


Kejadian Luar Biasa (KLB) di daerah. Banyak kematian kasus penyakit tropis disebabkan
karena keterlambatan dalam deteksi dini dan keterlambatan rujukan ke rumah sakit. KLB
penyakit tropis yang terus terjadi di berbagai daerah yang mengakibatkan kematian pada
manusia akan menimbulkan kecemasan pada masyarakat di Indonesia. Bahkan para ahli
memperkirakan penyakit tropis merupakan zoonosis yang diduga paling luas
penyebarannya di dunia, tetapi dikarenakan sulitnya diagnosis klinis dan mahalnya alat
diagnostik serta sarana dan prasaran yang kurang memadai menyebabkan banyak kasus
tersebut yang tidak terlaporkan. Di Indonesia faktor lingkungan dan sanitasi selama ini di
curigai sebagai faktor risiko terinfeksi penyakit tropis seperti daerah rawan banjir, sanitasi
lingkungan yang kurang baik, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang efektif dan
yang lainnya.Pelayanan kesehatan mewajibkan perawat memahami konsep dasar penyakit
tropis dan mampu mengaplikasikan keperawatan pada penyakit tropis (dr. Widoyono,
2011).

B. Pemeriksaan Lab dan Diagnostik pada Penyakit Tropik dan Infeksi


Setiap tindakan atau penatalaksanaa pemeriksaan laboratorium pada hakekatnya
harus melewati 3 tahap utama, yaitu tahap pre-analitik (input), analitik (process) dan
post-analitik (output). Setiap tahap harus menjawab pertanyaan yang spesifik.
Laboratorium dapat berperan lebih dominan, nyata dan menghasilkan data yang
akurat dan spesifik sehingga menghasilkan diagnosis pasti (definitive diagnosis), bila
prosedur dilakukan secara rasional. Metode pemeriksaan yang canggih belum tentu
menjamin kepastian diagnosis. Sebaliknya pemeriksaan sederhana seperti hapusan atau
pengecatan langsung dari sediaan darah, sputum atau feses saja sudah dapat memastikan
diagnosis karena ditemukan organisme penyebab penyakitnya. Pada kasus-kasus tertentu
pemeriksaan sederhana masih merupakan tes baku untuk diagnosis penyakit (gold
standard), misalnya malaria, kuman tahan asam, difteri dsb. Keberadaan organisme juga
dapat dibuktikan dengan metoda yang lebih spesifik, misalnya kultur, inokulasi pada
hewan coba ataupun pemeriksaan serologi.
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut serta meningkatkan peran laboratorium perlu
disadari bahwa dalam penatalaksanaan penderita selayaknya pasien diperlakukan secara
menyeluruh/holistic. Seorang Clinical laboratory scientist harus terlibat dalam proses,
sejak dari mengapa dan bagaimana tes-tes tersebut diminta, faktor-faktor apa saja yang
dapat mempengaruhi hasil tes pada setiap tahap pemeriksaan sampai dengan bagaimana
variabel-variabel pengganggu tersebut dapat dikurangi (preanalitik, analitik,
postanalitik).
Penegakkan diagnosis infeksi pada seorang pasien tidak selamanya mudah untuk
dilakukan. Upaya ini harus selalu dimulai dari melakukan anamnesis yang terarah,
pemeriksaan fisik yang menyeluruh ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang
sesuai dengan kecurigaan tempat terjadinya infeksi.1 Faktor pejamu seperti lokasi
infeksi, usia, paparan terhadap patogen tertentu, adanya komorbiditas juga akan
memengaruhi gambaran klinis penyakit.Pemeriksaan menggunakan marker inflamasi
seperti C-reactive protein (CRP), Interleukin-6 (IL-6), dan prokalsitonin (PCT) bisa
membantu menegakkan diagnosis namun tetap dibutuhkan kemampuan analisis hasil
laboratorium tersebut yang dikaitkan dengan klinis. Apabila memungkinkan, sejak awal
harus dibedakan apakah proses inflamasi yang terjadi disebabkan oleh infeksi atau
bukan. Lebih jauh dari itu, perlu dibedakan apakah infeksi ini karena bakteri atau akibat
penyebab lain seperti virus, jamur, atau parasite (Nelwan, 2018).

C. Standart Precaution pada Penyakit


Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare Associated Infection
(HAIs) merupakan salah satu masalah kesehatan diberbagai negara di dunia, termasuk
Indonesia. kejadian HAIs sebenarnya dapat dicegah bila fasilitas pelayanan kesehatan
secara konsisten melaksanakan program PPI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
merupakan upaya untuk memastikan perlindungan kepada setiap orang terhadap
kemungkinan tertular infeksi dari sumber masyarakat umum dan disaat menerima
pelayanan kesehatan pada berbagai fasilitas kesehatan .

Kejadian HAIs dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat, dan


memperpanjang perawatan pasien sehingga meningkatkan biaya pelayanan kesehatan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan penularan penyakit dari
pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya adalah penerapan Standard Precautions atau
Kewaspadaan Standar. Berdasarkan CDC (Central Disease Control) 2011, komponen
utama Standard Precautions meliputi : hand hygiene, penggunaan Alat Pelindung Diri
(APD), praktik injeksi aman, penanganan dari peralatan atau permukaan di lingkungan
pasien yang potensial terkontaminasi dan respiratory hygiene / etika batuk (Satiti et al.,
2017).

Kewaspadaan standar merupakan gabungan dari kewaspadaan universal (universal


precautions) dan isolasi tubuh (body substance isolation) yang berlaku untuk semua
pasien. Kewaspadaan standar yang wajib dipersiapkan oleh pihak rumah sakit untuk
mencegah terjadinya infeksi antara lain dengan menjaga kebersihan tangan; menggunakan
Alat Perlindungan Diri (APD) berupa sarung tangan, masker, goggle, face shield, maupun
gaun; sterilisasi peralatan perawatan pasien; pengendalian lingkungan, penatalaksanaan
linen; memberikan perlindungan dan kesehatan karyawan; penempatan pasien sesuai
kebutuhan; hygiene respirasi/etika batuk; praktek menyuntik aman; serta praktek
pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.

Berbeda dengan kewaspadaan standar, kewaspadaan berbasis transmisi merupakan


kewaspadaan terhadap pasien rawat inap dengan tanda infeksi baru yang ditentukan
berdasar kriteria klinis dan epidemiologis sebelum hasil laboratorium mengkonfirmasi
diagnosis. Kewaspadaan berdasar transmisi dibagi menjadi 3, yaitu kewaspadaan kontak
(contact), kewaspadaan percikan (droplet) dan kewaspadaan udara (airborne).
Kewaspadaan transmisi melalui kontak bertujuan menurunkan risiko timbulnya HAIs
karena kontak langsung atau tidak langsung, misalnya kontak langsung dengan permukaan
kulit yang terbuka dengan kulit terinfeksi atau kolonisasi maupun kontak tidak langsung
berupa kontak dengan cairan sekresi pasien terinfeksi yang ditransmisikan melalui tangan
petugas yang belum dicuci atau benda di sekitar pasien. Untuk menekan infeksi, hindari
menyentuh permukaan lingkungan yang tidak berhubungan dengan perawatan pasien.
Sedangkan jenis kewaspadaan transmisi melalui percikan dilakukan dengan menempatkan
pasien di ruang rawat terpisah untuk membatasi terjadinya kontaminasi serta bila
diperlukan, setiap kali keluar ruangan, pasien diberi respirasi dan etika batuk. Pada tingkat
kewaspadaan transmisi melalui udara, perlu dilakukan cuci tangan (hand hygiene) sebelum
menggunakan APD serta bagi pasien diberikan masker bedah dan masker N95 bagi
petugas.

Daftar Pustaka
Apriliani, F. P., & Mustafidah, H. (2017). Jurnal Riset Sains dan Teknologi. Riset Sains Dan
Teknologi, 1(1), 22–36.
dr. Widoyono, M. (2011). Penyakit Tropis.
Kurniasih, M., & Rismawan, T. (2017). Epidemiologi Penyakit Tropis. 05(3).
Nelwan, E. J. (2018). Pemeriksaan Prokalsitonin pada Penyakit Infeksi. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia, 5(2), 53. https://doi.org/10.7454/jpdi.v5i2.189
Satiti, A., Wigati, P., & Fatmasari, E. (2017). Analisis Penerapan Standard Precautions
Dalam Pencegahan Dan Pengendalian Hais (Healthcare Associated Infections) Di Rsud
Raa Soewondo Pati. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, 5(1), 40–
49.

Anda mungkin juga menyukai