Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI REFERAT

FILARIASIS

Oleh:
Dzaki Luqmanul Hakim G4A017051

Pembimbing:
dr. Agus Fitrianto, Sp. A

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia14 ribu
menderita filariasis,
120 juta
Filariasis (penyakit kaki
gajah) penyakit menular
berisiko(area
menahun oleh cacing penularan)
filaria menyerang
saluran dan kelenjar getah
bening.
Menginfeksi
120 juta
penduduk di
83 negara
Data pada anak-anak
masih terbatas e.c riwayat
dunia (WHO)
alami penyakit itu sendiri
dan manifesti awal dari
penyakit ini yang tidak
menunjukkan gejala.
The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health
Problem by the Year 2020 (WHO)
B. TUJUAN

penegakan
diagnosis,
penatalaksanaan,
Definisi, dan
epidemiologi, prognosisnya.
patogenesis

Kasus
anak

FILARIASIS
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI

Filariasis  penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui
berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu: Wuchereria
bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan
oleh Brugia malayi . Cacing hidup di kelenjar dan saluran getah bening  menyebabkan
kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan kronis.

Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan
terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus
Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk menimbulkan gejala klinis
penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu
yang lama.

Laporan kasus tentang filariasis limfatik pada anak-anak dengan klinis seperti limfedema
/elefantiasis dan hidrokel masih terbatas, manifesti awal dari penyakit ini tidak
menunjukkan gejala dan selanjutnya berkembang dengan lambat sehingga disebut
“asimptomatik microfilaria”.
B. EPIDEMIOLOGI

25 juta dengan gejala klinis hidrokel, dan lebih dari 14 juta dengan limphoedema.
Sekurang-kurangnya terdapat total 36 juta penduduk dengan manifestasi kronik penyakit
tersebut. Penyakit filariasis endemik pada 72 negara di dunia. WHO juga memperkirakan
856 juta dari total populasi dunia tinggal dalam area transmisi penyebab filariasis dan
membutuhkan MDA (Mass Drug Administration) (WHO, 2016)

Data WHO menunjukkan bahwa Filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di
83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa
daerah subtropis.

Terdapat lebih dari 14 ribu orang menderita klinis kronis Filariasis (elephantiasis) yang
tersebar di semua provinsi. Secara epidemiologi, lebih dari 120 juta penduduk Indonesia
berada di daerah yang berisiko tinggi tertular Filariasis. Sampai akhir tahun tahun 2014,
terdapat 235 Kabupaten/Kota endemis Filariasis, dari 511 Kabupaten/kota di seluruh
Indonesia.
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
1. PENYEBAB
a. Jenis dan Penyebab Filariasis
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu :
1) Wuchereria bancrofti
2) Brugia malayi
3). Brugia timori

b. Morfologi
 Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh
manusia dan tubuh nyamuk.
 Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di
saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya
(disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem
peredaran darah.
Tabel 2.1. Jenis Mikrofilaria Yang Terdapat di Indonesia.
Spesimen Darah Tepi dengan Pewarnaan Giemsa
Larva Dalam Tubuh Nyamuk
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
2. VEKTOR
Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23 spesies nyamuk dari 5 genus
yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor
Filariasis.

3. HOSPES 4. LINGKUNGAN
 Manusia
 Lingkungan Fisik
 Hewan (lutung (Presbytis cristatus),
 Lingkungan Biologik
kera (Macaca fascicularis) dan kucing
 Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya
(Felis catus))
D. PATOGENESIS
Perkembangan klinis Filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap
parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke
dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur.

Secara umum perkembangan klinis Filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase
lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-
sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran
dan kelenjar limfe, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe
kecil yang terdapat di kulit.

Perkembangan klinis Filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang
tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan
penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik.
a. Penimbunan cairan limfe aliran limfe lambat dan tekanan hidrostatiknya
meningkat cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan edema jaringan.
Edema jaringan  meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan
jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar peradangan akut
(acute attack).
b. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran
limfe ke kelenjar limfe bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel
Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat
menimbulkan peradangan akut (acute attack).

c. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit.
Sehingga bakteri mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan
akut (acute attack).

d. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang


(recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai
berikut :
1) Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-
sama dengan bakteri, yaitu :
a) Limfangitis. peradangan di saluran limfe.
b) Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe
c) Adeno limfangitis (ADL), peradangan saluran dan kelenjar limfe
d) Abses (Lanjutan ADL)
e) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat
kelamin) menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.
• 2) Gejala peradangan umum, berupa demam, sakit kepala, sakit
otot, rasa lemah dan lain-lainnya.

• e. Kerusakan sitem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil


yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk
mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe
sehingga dapat terjadi limfedema.

• f. Penderita limfedema, serangan akut berulang oleh bakteri atau


jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan
jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga terjadi peningkatan
stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi
hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non
pitting).
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. ANAMNESIS
 Demam berulang , selama 3-5 hari. Demam dapat hilang dengan istirahat dan timbul
lagi setelah bekerja berat.
 Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak,
yang tampak kemeraha , panas ,sakit
 Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (retrograd limphangitis)
 Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening ,
dapat pecah, dan mengeluarkan nanah serta darah.
 Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat agak kemerahan
dan terasa panas (early lymphoedema)

Salah satu gejala klinis yang diketahui dari filariasis pada kelompok anak kecil
adalah pebesaran kelenjar limfe tidak spesifik atau berupa pembengkakan
jaringan lunak di daerah inguinal, ketiak, atau leher.
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
2. PEMERIKSAAN FISIK

a. Gejala Klinis Akut


Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai
demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan
kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama di
daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi dan
B. Timori dibandingkan karena infeksi W. bancrofti, demikian juga dengan
timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Tetapi sebaliknya, pada infeksi W.
bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus
(epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis).

b. Gejala Klinis Kronis


Gejala klinis kronis terdiri dari limfedema, lymp scrotum, kiluria, hidrokel.
Beberapa studi yang telah dilakukan di daerah endemik terhadap filariasis limfatik telah mencatat
adanya limfedema pada anggota badan anak-anak, terutama anak-anak yang berusia lebih tua. Berat
ringannya limfedema tergantung dari berat ringannya penyakit. Limfedema umumnya dinilai dalam
empat grade yaitu grade I berupa pitting oedema, yang bersifat reversible, Grade II berupa pitting
oedema maupun non pitting oedema, tidak reversible dan tidak ada perubahan kulit. Grade III berupa
non-pitting oedema, tidak reversible dan disertai dengan penebalan kulit. Grade IV berupa non-pitting
oedema, tidak reversible, penebalan kulit disertai dengan kutil dan merupakan awal dari elephantiasis.
Hidrokel dari kantung skrotum juga ditemukan pada anak laki-laki usia pubertas atau lebih dewasa.

Serangan akut dermatolimfangioadenitis (ADLA) juga dicatat pada anak-anak, baik dengan atau tanpa
limfedema. ADLA merupakan adenolimfangitis sekunder yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau
jamur yang secara klinis menyerupai selulitis atau erisipelas yang ditandai dengan adanya plak kutan
atau subkutan yang disertai dengan limfangitis dengan gambaran retikuler dan adenitis regional.

ADLA dipertimbangkan sebagai faktor risiko utama berkembangnya limfedema kronis dan elefantiasis
pada filariasis limfatik. Daerah yang terkena biasanya di kaki atau skrotum yang ditandai dengan nyeri
di daerah yang terkena dengan onset akut, menggigil , sakit kepala , pembengkakan disertai kemerahan
, hangat dan lunak dari anggota badan yang terkena, disertai dengan gejala konstitusional seperti
muntah . Kiluria dan “Tropical Pulmonary Eosinofil (TPE) jarang dilaporkan pada anak.
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Identifikasi mikrofilaria dari sediaan darah cacing filaria dapat ditemukan


dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada waktu malam hari antara
jam 10 malam sampai jam 2 pagi yang di pulas dengan pewarnaan Giemsa
atau Wright. Mikrofilaria juga dapat ditemukan pada cairan tubuh lain
(sangat jarang)
 Pemriksaa darah tepi terdapat leukositosis dengan eosinofilia sampai 10-
30% dengan pemeriksaan sediaan darah jari yag diambil mulai pukul 20.00
waktu setampat
 Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine provocative test
Dari pemeriksaan biopsi dan histopatologi terhadap pembengkakan tersebut,
pada pasien anak akan tampak adanya cacing dewasa filaria yang mati atau sisa
cacing dewasa filaria yang mati.

Pasien anak tidak akan menunjukkan gejala klinis meskipun ditemukan


mikrofilaria di dalam darahnya dengan pemeriksaan darah pada malam hari.
Dengan pemeriksaan USG dan limfoskintigrafi tampak pelebaran jaringan limfatik.
Akan tetapi saat ini diketahui bahwa pemeriksaan rutin sediaan darah tebal tidak
sensitif bila dibandingkan dengan pemeriksaan immunochromatografi card test
(ICT) yang mendeteksi antigen filaria pada pederita Filaria brancofti. Hal ini
terutama terjadi apabila kepadatan mikrofilaria rendah atau cacing betina yang
tidak memproduksi mikrofilaria pada stadium awal penyakit. Penyakit ini banyak
tidak terdeteksi pada anak-anak dan banyak peneliti yang tidak mengikutsertakan
anak di bawah 10 tahun.
F. PENATALAKSANAAN
Tahun 2000 WHO mengesahkan Global Program to Eliminate Lymphatic filariasis.
Strategi tersebut mencakup :
1. Menghentikan penyebaran infeksi (Mass Drug Administration)
 Daerah dengan filariasi harus dipetakan, dan diberikan obat pencegahan yang
disebut Mass Drug Administration (MDA), harus diberikan pada seluruh
populasi berisiko. Obat bisa diberikan setahun sekali dengan dosis tunggal atau
dua obat yang diberika bersama. Obat sekurang-kurangnya diberikan selam 5
tahun, dengan cakupan mencapai minimal 65% dari total populasi berisiko.
Obat sebagai berikut :
 Dietylcarbamazepin (DEC) 6 mg/kgBB + Albendazole 400 mg
 Ivermectin 150 µg/kgBB + Albendazole 400 mg (untuk daerah dengan
endemik onchocerciasis)
 Albendazol 400 mg bisa diberika dua kali dalam setahun (untuk daerah
endemik Loa-Loa)
2. Mengurangi kecacatan pada kelompok yang sudah terkena (Management and
Disability Prevention)
G. PROGNOSIS

Prognosis pada umumnya tidak mengancam jiwa. Quo ad fungsionam adalah


dubia ad bonam, sedangkan Quo ad sanationam adalah malam. Prognosis
penyakit ini terantung dari :
 Jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria dalam tubuh pasien.
 Potensi cacing untuk berkembang biak
 Kesempatan untuk infeksi ulang
 Aktivitas RES

Prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah endemik (kasus-kasus dini
dan sedang). Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan
pemberian obat serta pemberantasan vektornya. Prognosis lebih buruk pada
kasus lanjut , terutama dengan edema pada tungkai.
H. KESIMPULAN
 Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah
bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe, menimbulkan pembengkakan
pada tangan, kaki, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat
seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya.
 filariasis limfatik pada anak-anak dengan klinis seperti limfedema /elefantiasis
dan hidrokel, manifesti awal dari penyakit ini tidak menunjukkan gejala dan
selanjutnya berkembang dengan lambat sehingga disebut “asimptomatik
microfilaria”.
 Pasien anak tidak akan menunjukkan gejala klinis meskipun ditemukan
mikrofilaria di dalam darahnya dengan pemeriksaan darah pada malam hari.
Dengan pemeriksaan USG dan limfoskintigrafi tampak pelebaran jaringan
limfatik.
 Pemeriksaan rutin sediaan darah tebal tidak sensitif bila dibandingkan dengan
pemeriksaan immunochromatografi card test (ICT) yang mendeteksi antigen
filaria pada pederita Filaria brancofti.
 Pengobata filaria dengan antifilaria : Dietiylcarbamazepin (DEC),ivermectin,
dan albendazol.
DAFTAR PUSTAKA
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai