Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DISUSUN OLEH :

NAMA : RARA KUNANTI

NIM : 191440130

DOSEN PENGAMPU :

Ns.ADE SUKARNA,.M.Kep.,MB

POLTEKKES KEMENKES PANGKALPINANG

PRODI DIII KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


LAPORAN PENDAHULUAN

FILARIASIS

A. Definisi Filariasis
Filariasis ialah penyakit menualr menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang
ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada kelenjar getah bening. Penyakit ini bersifat
menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat mentap
berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki
(Witagama, dedi, 2009).
Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria yang
menimbulkan infeksi pada manusia adalah  Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori (Elmer R. Noble & Glenn A. Noble, 1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan
berbagai spesies nyamuk, memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak
dari cacing dewasa disebut mikrofilaria
Isilah filariasis digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis
nematoda dari keluarga Filarioidea. Namun istilah ini hanya digunakan untuk filaria yang
hidup dalam kelenjar limfe ( Chin, James 2006 )
B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria Bancrofti, Brugia
Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia
terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. infeksi cacing ini menyerang jaringan
viscera, parasit ini termasuk kedalam superfamili Filaroidea, family onchorcercidae. Cacing
ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 - 6 tahun dan dalam tubuh
manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar
dalam darah terutama malam hari. 
Penyebarannya diseluruh Indonesia baik di pedesaan maupun diperkotaan. Nyamuk
merupakan vektor filariasis Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang diketahui bertindak
sebagai vektor dari genus: mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres.•
 W. bancrofti perkotaan vektornya culex quinquefasciatus
 W. bancrofti pedesaan: anopheles, aedes dan armigeres
 B. malayi : mansonia spp, an.barbirostris.
 B. timori : an. barbirostris.
Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari spesies dan tipenya.Di
Indonesia semuanya nokturna kecuali type non periodic Secara umum daur hidup ketiga
spesies sama Tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan
habitatnya, got, sawah, rawa, hutan.
ciri-ciri cacing dewasa atau makrofilaria :
 Berbentuk silindris, halus seperti benang, putih dan hidup di dalam sisitem limfe.
 Ukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm
 Cacing jantan lebih kecil: 55 mm x 0,09 mm
 Berkembang secara ovovivipar
Mikrofilaria :
 Merupakan larva dari makrofilaria sekali keluar jumlahnya puluhan ribu
 Mempunyai sarung. 200 – 600 X 8 um
Faktor yang mempengaruhi :
 Lingkungan fisik :Iklim, Geografis, Air dan lainnnya,
 Lingkungan biologik : lingkungan Hayati yang mempengaruhi penularan; hutan,
reservoir, vector
 lingkungan social – ekonomi budaya : Pengetahuan, sikap dan perilaku, adat
 Istiadat :Kebiasaan dsb,
 Ekonomi : Cara Bertani, Mencari Rotan, Getah Dsb
C. Klasifikasi
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai. Limfedema tungkai
ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
a. Tingkat 1. Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila
tungkai diangkat.
b. Tingkat 2. Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila
tungkai diangkat.
c. Tingkat 3. Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai
diangkat, kulit menjadi tebal.
d. Tingkat 4. Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis)
D. Manifestasi klinik
Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan
penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi
oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah
dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan
pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak
orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah
besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski
demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis
bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang
melebar dan berkelok-kelok –dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum –
dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali
(kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.
ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis),
serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar
secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan
ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di
sepanjang jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB
ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia. Namun khas untuk
W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital
ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa
menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi
W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga
menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.
Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang
dinamakan dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA
merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak
edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada
sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui
riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat
bahan kimia. Biasanya port d’entrée dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital.
Karena bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai
selulitis.
Tanda dan Gejala Penyakit Kaki Gajah
Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak,
dimana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan perkembangannya.
Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
 Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul
lagi setelah bekerja berat.
 Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak
(lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
 Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis).
 Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat
pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
 Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan
terasa panas (early lymphodema).
Gejala dan tanda klinis kronis :
 Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis, vulva vagina
dan payudara, Infeksi Brugia dapat mengenai kaki dan lengan dibawah lutut / siku lutut
dan siku masih normal.
 Hidrokel : Pelebaran kantung buah zakar yang berisi cairan limfe, dapat sebagai indikator
endemisitas filariasis bancrofti.
 Kiluria : Kencing seperti susu kebocoran sel limfe di ginjal, jarang ditemukan

E. Patofisiologi
Ahli parasitologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Saleha Sungkar,
menjelaskan, mikrofilaria masuk ke tubuh manusia lewat nyamuk. Lebih dari 20 species
nyamuk menjadi vektor (penyebar penyakit) filiriasis. Nyamuk Culex quinquefasciatus
sebagai vektor (penyebar penyakit) untuk wuchereria bancrofti di daerah perkotaan. Di
pedesaan vektor umumnya Anopheles, Culez, Aedes, dan Mansonia. Spesies nyamuk vektor
bisa berbeda dari daerah satu dengan daerah lain.
Cacing yang diisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi sebelumnya tumbuh di
dalam tubuh nyamuk. Makhluk mini itu berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3 minggu,
pada stadium 3, larva mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk nyamuk. Nyamuk
pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia dan ”memindahkan” larva
infektif tersebut.
Bersama aliran darah, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe.
Uniknya, cacing terdeteksi dalam darah tepi pada malam hari, selebihnya bersembunyi di
organ dalam tubuh. Pemeriksaan darah ada-tidaknya cacing biasa dilakukan malam hari.
Selain manusia, untuk brugia malayi, sumber penularan penyakit juga bisa binatang liar,
seperti kera dan kucing (hospes reservoir).
Setelah dewasa, cacing menyumbat pembuluh limfe dan menghalangi cairan limfe
sehingga terjadi pembengkakan. Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di tangan,
payudara, atau buah zakar. ”Di tubuh manusia cacing itu menumpang makan dan hidup.
Ketika menyumbat pembuluh limfe di selangkangan, misalnya, cairan limfe dari bawah
tubuh tidak bisa mengalir sehingga kaki membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak,
mengakibatkan pembesaran tangan.
F. Komplikasi
a. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena
b. Elephantiasis tungkai
c. Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,vulva vagina
dan payudara
d. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pada saluran limfe testis berulang:
pecahnya tunika vaginalisHidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di
antaralapisan parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang
berada di dalam rongga itu memang adadan berada dalam keseimbangan antara produksi
dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.

e. Kiluria : kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing
dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik
a. Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik
penting dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic
Disease Rate). Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam
diagnosis filariasis adalah gejala dan tanda limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang
dan gejala menahun.
b. Diagnosis Parasitologik
Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria pada pemeriksaan
darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat dilakukan siang hari, 30 menit
setelah diberi DEC 100 mg. Dari mikrofilaria secara morfologis dapat ditentukan species
cacing filaria.
c. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar limfe inguinal
penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign).
Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang dilabel
dengan radioaktif akan menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik, sekalipun
pada penderita yang mikrofilaremia asimtomatik.
d. Diagnosis Immunologi
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia
dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan
cara immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis. Adanya antibodi tidak
menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi dini dan
infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit
tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13, antibodi monoklonal
terhadap O. gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W.
bancrofti di Papua New Guinea.
H. Penatalaksanaan
a. Medis
 Filariasis brancrofti
Obat yang pada saat ini banyak digunakan untuk filariasisi bancrofti adalah
Dietilkarbamasin sitrat ( DEC ) dengan dosis 3x2mg/kg berat badan/ hari, selama 4
minggu. Pemberian DEC hanya ditunjukan untuk mengobati tahap microfilaria, tahap
filariass akut, untuk mengobati kluria, limfedema, dan tahap awal elephantiasis.
Pengobatan dengan atihistamin serta pemberian obat – obat simtomatik , analgetik
dan atipiretik dapat diberikan sesuai dengan keluhan penderita dan gejala penyakit
yang terjadi Apabila telah terjadi hidrokel atau elephantiasis yang lanjut penaganan
hanya dapat dilakukan melalui pembedahan
 Pengobatan brugiasis
 DEC yaitu merupakan obat pilihan untuk brugiasis , dapat diberikan dengan dosis
lebih rendah , yaitu 3x 0,3 – 2 mg/ kg berat badan / hari , namun diberikan lebih lama
yaitu selama 3 minggu ( Soedarto, 2009 )
b. Keperawatan
1. Perawatan umum
a. Istirahat ditempat tidur, pindah tempat ke daerah dingin akan mengurangi derajat
serangan akut.
b. Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses
c. Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema.
2. Pengobatan spesifik
a. Dengan dietylkarbamazine 2-3 minggu mg/kg berat badan, 3 x sehari selama 7-14
hari, kadang kala sampai 14 hari.
b. Reaksi pusing, mual, dan demam dapat terjadi selama pemberian obat ini.
c. Relaps dapat terjadi 3-12 tahun kemudian dan control harus dilakukan selama 1-2
tahun kemudian
3. Pengobatan pembedahan
a. Pembedahan untuk melenyapkan elephantiasis skrotum, vulva dan mammae
mudah dilakuakan dengan hasil yang memuaskan.
b. Perbaikan tungkai yang membesar dengan anastomosis antara saluran limfe yang
letaknya dalam dengan yang perifer tidak selalu memuaskan
c. Pembedahan ini bertujuan untuk mengeluarkan cacing filarial.
I. Pathway
J. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas
Mendapatkan data indentitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, alamat, nomor registrasi, dan diagnosa medis
2. Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Cacing
filariasis menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk infektif yang mengandung
larva stadium III. Gejala yang timbul berupa demam berulang-ulang 3-5 hari, demam
ini dapat hilang pada saat istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.
3. Aktifitas/Istirahat
Gejala : Mudah lelah, intoleransi aktivitas, perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktivitas
( Perubahan TD, frekuensi jantung)
4. Sirkulasi
Tanda : Perubahan TD, menurunnya volume nadi perifer, perpanjangan pengisian
kapiler.
5. Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan perubahan fisik, mengkuatirkan penampilan,
putus asa, dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah.
6. Integumen
Tanda : Kering, gatal, lesi, bernanah, bengkak, turgor jelek.
7. Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, permeabilitas cairan
Tanda : Turgor kulit buruk, edema.
8. Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
9. Neurosensoris
Gejala : Pusing, perubahan status mental, kerusakan status indera peraba, kelemahan
otot.
Tanda : Ansietas, refleks tidak normal.
10. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala.
Tanda : Bengkak, penurunan rentang gerak.
11. Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, panas dan perih, luka, penyakit defisiensi imun, demam
berulang, berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit, pelebaran kelenjar limfe.
12. Seksualitas
Gejala : Menurunnya libido
Tanda : Pembengkakan daerah skrotalis
13. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian.
Tanda : Perubahan interaksi, harga diri rendah, menarik diri.
14. Pemeriksaan diagnostic
Menggunakan sediaan darah malam, diagnosis praktis juga dapat menggunakan
ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Jika pasien sudah
terdeteksi kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler
diperlukan untuk mendeteksi pengerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau
kelenjer mammae wanita.
b. Diagnosa keperawatan
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan pada kelenjar getah bening
2. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe
3. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan fisik
4. Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada anggota tubuh
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi pada kulit
c. Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan
pada kelenjar getah bening
Hasil yang diharapkan : Suhu tubuh pasien dalam batas normal.
No. Intervensi Rasional
1. Berikan kompres pada daerah frontalis dan axial
2. Monitor vital sign, terutama suhu tubuh
3. Pantau suhu lingkungan dan modifikasi lingkungan sesuai kebutuhan, misalnya
sediakan selimut yang tipis
4. Anjurkan kien untuk banyak minum air putih
5. Anjurkan klien memakai pakaian tipis dan menyerap keringat jika panas tinggi
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi pengobatan (anti piretik).
Rasionalisai :
1. Mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus, mengurangi panas tubuh
yang mengakibatkan darah vasokonstriksi sehingga pengeluaran panas secara
konduksi
2. Untuk mengetahui kemungkinan perubahan tanda-tanda vital
3. Dapat membantu dalam mempertahankan / menstabilkan suhu tubuh pasien.
4. Diharapkan keseimbangan cairan tubuh dapat terpenuhi
5. Dengan pakaian tipis dan menyerap keringat maka akan mengurangi penguapan
6. Diharapkan dapat menurunkan panas dan mengurangi infeksi
2. Diagnosa Keperawatan : Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe
Hasil yang diharapkan : Nyeri hilang
Intervensi :
1. Berikan tindakan kenyamanan (pijatan / atur posisi), ajarkan teknik relaksasi.
2. Observasi nyeri (kualitas, intensitas, durasi dan frekuensi nyeri).
3. Anjurkan pasien untuk melaporkan dengan segera apabila ada nyeri.
4. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi pengobatan (obat
anelgetik).
Rasional :
1. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat meningkatkan
koping.
2. Menentukan intervensi selanjutnya dalam mengatasi nyeri
3. Nyeri berat dapat menyebabkan syok dengan merangsang sistem syaraf simpatis,
mengakibatkan kerusakan lanjutan
4. Diberikan untuk menghilangkan nyeri.
3. Diagnosa keperawatan : Harga Diri Rendah berhubungan dengan perubahan fisik
Hasil yang diharapkan :
- Menyatakan gambaran diri lebih nyata
- Menunjukan beberapa penerimaan diri daripada pandangan idealism
- Mengakui diri sebagai individu yang mempunyai tanggung jawab sendiri
Intervensi :
1. Akui kenormalan perasaan
2. Dengarkan keluhan pasien dan tanggapan – tanggapannya mengenai keadaan
yang dialami
3. Perhatikan perilaku menarik diri, menganggap diri negatif, penggunaan
penolakan atau tudak terlalu menpermasalahkan perubahan actual
4. Anjurkan kepada orang terdekat untuk memperlakukan pasien secara normal
(bercerita tentang keluarga)
5. Terima keadaan pasien, perlihatkan perhatian kepada pasien sebagai individu
6. Berikan informasi yang akurat. Diskusikan pengobatan dan prognosa dengan
jujur jika pasien sudah berada pada fase menerima
Kolaborasi : Rujuk untuk berkonsultasi atau psikoterapi sesuai dengan indikasi
Pengenalan perasaan tersebut diharapkan membantu pasien untuk menerima dan
mengatasinya secara efektif.
Rasional
1. Memberi petunjuk bagi pasien dalam memandang dirinya, adanya perubahan
peran dan kebutuhan, dan berguna untuk memberikan informasi pada saat tahap
penerimaan
2. Mengidentifikasi tahap kehilangan / kebutuhan intervensi.
3. Melihat pasien dalam kluarga, mengurangi perasaan tidak berguna, tidak
berdaya, dan persaan terisolasi dari lingkungan dan dapat pula memberikan
kesempatan pada orang terdekat untuk meningkatkan kesejahteraan.
4. Membina suasana teraupetik pada pasien untuk memulai penerimaan diri
5. Fokus informasi harus diberikan pada kebutuhan – kebutuhan sekarang dan
segera lebih dulu, dan dimasukkan dalam tujuan rehabilitasi jangka panjang.
6. Mungkin diperlukan sebagai tambahan untuk menyesuaikan pada perubahan
gambaran diri.
4. Diagnosa keperawatan : Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan
pembengkakan pada anggota tubuh
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan perilaku yang mampu kembali melakukan
aktivitas
Intervensi :
1. Lakukan Retang Pergerakan Sendi (RPS)
2. Tingkatkan tirah baring / duduk
3. Berikan lingkungan yang tenang
4. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi
5. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas
Rasionalisi
1. Meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kekakuan sendi
2. Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan enegi untuk
penyembuhan
3. tirah baring lama dapat meningkatkan kemampuan
4. Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan
intervensi
5. kelelahan dan membantu keseimbangan
5. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri,
defisit imun, lesi pada kulit
Hasil yang diharapkan : Mempertahankan keutuhan kulit, lesi pada kulit dapat
hilang.
Intervensi
1. Ubah posisi di tempat tidur dan kursi sesering mungkin (tiap 2 jam sekali).
Gunakan pelindung kaki, bantalan busa/air pada waktu berada di tempat tidur
dan pada waktu duduk di kursi.
2. Periksa permukaan kulit kaki yang bengkak secara rutin.
3. Anjurkan pasien untuk melakukan rentang gerak.
4. Kolaborasi : Rujuk pada ahli kulit. Meningkatkan sirkulasi, dan mencegah
terjadinya dekubitus.
Rasionalisasai
1. Mengurangi resiko abrasi kulit dan penurunan tekanan yang dapat menyebabkan
kerusakan aliran darah seluler.
2. Tingkatkan sirkulasi udara pada permukaan kulit untuk mengurangi panas/
kelembaban.
3. Kerusakan kulit dapat terjadi dengan cepat pada daerah – daerah yang beresiko
terinfeksi dan nekrotik.
4. Meningkatkan sirkulasi, dan meningkatkan partisipasi pasien.
5. Mungkin membutuhkan perawatan profesional untuk masalah kulit yang
dialami.
d. Implementasi
1. melakukan kompres pada daerah frontalis dan axial
2. menganjurkan klien untuk banyak minum air putih
3. melakukan tindakan kenyamanan (pijatan / atur posisi), ajarkan teknik relaksasi.
4. melakukan Retang Pergerakan Sendi (RPS)
5. mengevaluasi respon pasien terhadap aktivitas
6. memeriksa permukaan kulit kaki yang bengkak secara rutin.
e. Evaluasi
Setelah melakukan tidakan keperawatan diharapkan klien akan mendapatkan perubahan
yang lebih baik, jika tidak ada hasil yang didapatkan  maka tindakan akan dihentikan dan
mengkaji kembali keadaan klien dengan membuat intervensi baru.
DAFTAR PUSTAKA

Noble, Elmer R. & Glenn A. Noble. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan Edisi
Kelima. Yogyakarta :Gajah Mada University Press.

Chin, James . 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Manular . Jakarta : Infomedika

Gllespie, H. Stephen. 2007. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi. Jakarta :


Erlangga
Suddarth. 2002. Buku ajar Medikal Bedah Edisi 8 . Jakarta : EGC
Muttaqin,Arif dan Kumala Sari.2010.Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Integumen.
Jakarta:Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai