Anda di halaman 1dari 44

NEMATODA JARINGAN

BAB I
PENDAHULUAN

Helmintologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing. Berdasarkan taksonomi,
helmin dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Nemathelminthes (cacing gilik; nema = benang);
2. Plathyhelminthes (cacing pipih).
Cacing nemathelminthes, termasuk ke dalam kelas nematoda mempunyai jumlah spesies
terbanyak diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Nematoda dalam parasitologi
kedokteran terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Nematoda usus, yang hidup di rongga usus; dan
2. Nematoda jaringan, yang hidup di berbagai jaringan tubuh.
Cacing-cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes-parasit
(host-parasite relationship). Pada nematoda usus, terdapat sejumlah spesies yang ditularkan
melalui tanah disebut soil transmitted helminthes. Beberapa spesies nematoda usus tersebut,
yaitu :
1. Ascaris lumbricoides
2. Necator americanus
3. Ancylostoma duodenale
4. Trichuris trichiura
5. Strongyloides stercoralis
6. Toxocara sp (Toxocara canis dan Toxocara cati)
7. Enterobius vermicularis
8. Trichinella spiralis
Sedangkan spesies nematoda jaringan terdiri dari:
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia Timori
4. Loa-loa
5. Onchocerca volvulus
Nematoda mempunyai berbagai macam ukuran. Nematoda juga mempunyai kepala, ekor,
dinding, rongga badan dan alat-alat lain yang agak lengkap. Stadium dewasa cacing nematoda
berbentuk bulat memanjang dan pada potongan transversal tampak rongga badan dan alat-alat.
Cacing tersebut mempunyai alat kelamin yang terpisah. Sistem pencernaan, ekskresi dan
reproduksinya terpisah. Umumnya cacing nematode bertelur tapi ada juga yang vivipar dan
berkembang biak secara parthenogenesis. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur atau
larva sebanyak 20-200.000 butri sehari. Telur atau larva tersebut dikeluarkan dari dalam tubuh
hospesnya melalui tinja. Bentuk infektif dari cacing nematode ini dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui berbagai cara, ada yang masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau masuk
melalui gigitan vektor.
Pada makalah ini, yang akan kelompok kami bahas adalah mengenai nematoda jaringan,
yang terdiri dari :
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia Timori
4. Loa-loa
5. Onchocerca volvulus

BAB II
PEMBAHASAN

A. Wuchereria bancrofti
Infeksi dengan cacing ini kebanyakan tidak menimbulkan gejala apa-apa dan kalau ada hanya
merupakan proses inflamasi serta obstruksi saluran limpa. Manifestasi klinis yang paling sering
ditemukan adalah hydrocele, chyluria, dan elephantiasis.Penyakitnya sendiri dinamakan
filariasis, lebih spesifiknya Bancroftian filariasis.Penyakit ini sampai sekarang memang sudah
banyak diketahui, namun sangat sedikit yang benar-benar dimengerti.

1. Distribusi geografis
WHO memperkirakan ada 250 juta kasus filariasis di dunia dan kebanyakan mereka tinggal
dia Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika. Jumlah kasus sudah banyak sekali berkurang di
Amerika dan diperkirakan daerah endemic hanya di Haiti , Republik Dominika, dan daerah
pantai Brazilia. Khusus Wuchereria bancrofti, strain nocturnal periodic ditemukan di Asia ,
Afrika, dan Pasifik Barat, sedangkan strain diurnal periodic banyak ditemukan di Pasifik Selatan.

2. Siklus hidup
Larva yang infeksius keluar dari proboscis nyamuk pada saat nyamuk menghisap
darah.Larva tersebut jatuh di kulit dan masuk ke dalam kulit melalui bekas luka tusukan
proboscis nyamuk.Larva ini bermigrasi ke saluran limfe dan berdiam di kelenjar limfe
terdekat.Di kelenjar limfe inilah larva berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina.
Pada saat nyamuk menghisap darah dapat saja microfilaria yang ada di peredaran darah ikut
terhisap dan masuk ke lambung nyamuk.Dari lambung nyamuk larva ini bepenetrasi ke
hemocele dan berkembang menjadi larva stadium I, II, dan III (L1, L2, L3) di thorax nyamuk.
Dari thorax nyamuk larva L3 yang aktif dapat melakukan penetrasi kemana-mana antara lain ke
proboscis nyamuk. Untuk menjadi larva infeksius dibutuhkan waktu kurang lebih 10-14 hari di
tubuh nyamuk.Pada hari kesepuluh biasanya tubuh nyamuk telah penuh mengandung larva yang
berpenetrasi kemana-mana.Keadaan ini menyebabkan kematian bagi nyamuk tersebut dan
dengan sendirinya mengakibatkan menurunnya prosentasi infeksi.Larva stadium III adalah larva
yang infeksius dan siap menginfeksi manusia bila mana nyamuk menghisap darah dan
menjatuhkan L3 ke kulit manusia, sehingga siklus di atas terulang kembali.

3. Morfologi
Microfilaria dari Wuschereria bancrofti mempunyai cirri khas yang dapat digunakan sebagai
pedoman untuk membedakannya dengan microfilaria yang lain. Adapun cirri khas tersebut
adalah :

Gambar 2.2 Mikrofilaria Di Dalam Darah (pembesaran10 x 40,


pewarnaan Haematoxylin

a. Microfilaria berukuran 244 -296 µ.


b. Tubuhnya dikelilingi oleh selubung atau sheath. Wuschereria bancrofti strain nocturnal periodic
memilki sheath yang biasanya terlepas sedangkan strain nocturnal sub periodic sheath, sheathnya
tidak terlepas.
c. Bentuk tubuhnya panjang agak melengkung dengan dinding tubuh yang halus.
d. Boddy nuclei-nya terpisah-pisah atau berdiri sendiri-sendiri, berawarna biru.
e. Body nuclei ini tidak pernah mencapai ujung ekornya.
f. Cephalic space-nya pendek, kira0kira sama ukurannya dengan lebar tubuhnya.
Wuschereria bancrofti dewasa hidup di kelenjar limfe. Cacing dewasa berwarna putih susu
dan berbentuk seperti benang dan berkitukula halus. Cacing jantan berukuran 40 mm sedangkan
cacing betina anata 80-100 mm. bagian posteriornya membulat.
Cacing jantan memiliki papilla di bagigan posteriornya sebanyak 12 pasang, spiculennya
tidak begitu jelas nampak.Cacing betina memilki vulva yang terletak di anterior tubuh,
vaginanya pendek yang melanjutkan didi menjadi uterus.Di dalam uterus ini sering ditemukan
microfilaria yang berukuran 25x38 µ.
Microfilaria didalam tubuh nyamuk akan berkembang menjadi larva L1, L2, dan L3. Larva
tersebut di d alam tubuh nyamuk umumnya berbentuk seperti sosis dan dapat dibedakan dari
larva Filaroidea lainnya berdasarkan tonjolan di ekornya. Berikut adalah perbedaannya:
a. Larva stadium I panjangnya ± 147 mikron, bentuknya seperti sosis, ekornya panjang dan lancip.
Gambar 2.3 Larva Stadium I (pembesaran 10 x 40)

b. Larva stadium II panjangnya ± 450 mikron, bentuknya lebih gemuk dan lebih panjang daripada
bentuk stadium I, ekornya pendek seperti kerucut. Larva stadium I berkembang menjadi larva
stadium II dalam waktu kurang lebih satu minggu dengan bertukar kulit dan tumbuh menjadi
larva yang lebih besar.
c. Larva stadium III panjangnya ± 1200 mikron, pada hari kesepuluh dan selanjutnya larva akan
bertukar kulit sekali lagi dan tumbuh menjadi lebih panjang dan bentuknya lebih langsing, pada
ekor terdapat tiga buah papil dan memiliki ciri khas yang berbeda dengan larva lain, seperti:
 Perbandingan jarak anal pore sampai ujung ekor dengan lebar tubuh (anal ratio) adalah 1:2.
Perbandingan ini digunakan untuk membedakannya dengan larva dirofilaria imitis yang anal
rationya 1:1.
 Adanya tonjolan atau knob di bagian posterior tubuh. Adanya tonjolan ini digunakan untuk
membedakannya dengan larva Brugia spp.
Gambar 2.4 Larva Stadium III (Pembesaran 10 x10)

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis akibat infeksi cacing ini terbentuk beberapa bulan sampai beberapa tahun
setelah infeksi, tetapi ada beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimtomatik
selama hidupnya.Mereka yang menunjukkan gejala akut mengeluh demam, limpangitis,
limpadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia dan malaise.Tidak jarang ditemukan adanya
eosinofilia dan microfilariaremial.
Mula-mula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran
pebuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testes, dan epididimis.Pelebaran pembuluh
limfe ini diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma. Pada
keadaan kronis terjadi pembesaran kelenjar limfe., hydrocele dan elephantiasis. Cacing dewasa
yang menyumbat pembuluh limfe menyebabkan chyluria dan ascites.
Cacing dewasa yang mati biasanya menimbulkan reaksi peradangan akut sampai terjadi
nekrosis.Pada keadaan ini lumem pembuluh limfe tersumbat dan pada saat yang bersamaan
terjadi fibrosis di sekitar cacing yang mati tadi.
Microfilaria cacing ini biasanya melekat erat di anatara vena dan arteri di paru.Hal ini yang
diperkirakan menjadi sebab timbulnya periodisitas.Microfilaria yang masih hidup umumnya
tidak menimbulkan kerusakan, namun bila microfilaria ini mati dan mengalami disintegrasi,
terjadilah peradangan akut sebagai reaksi imunologis dari tubuh.
Elefantiasis tidak terjadi pada setiap orang yang terinfeksi.Hanya pada mereka yang
hipersensitif pada elephantiasis ini dapat terjadi, namun tidak ditemukan adanya microfilaria
dalam darahnya.Kemungkinan hipersensitifitas ini menyebabkan mikrofolaria tidak terbentuk
atau difagositosis.Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah yang
biasanya diikuti infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada
infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical
pulmonary eosinophilia (TPE). TPE terjadi di individu yang hipersensitif antigen filarial,
memberi gambaran batuk pada malam hari, menimbulkan suaru whizzing dan demam yang
berderajat rendah.

5. Diagnosa laboratorium
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan adanya microfilaria dsalam darah tepi yang dibuat
sebagai preparat darah tebal.Pengambilan darah dilakukan pada saat microfilaria berada dalam
jumlah banyak di darah tepi sesuai periodositasnya (di atas pukul 20.00 pada yang nocturnal
periodic).Untuk menentukan diagnosa mikroskopis secara tetat, cirri-ciri khas seperti yang
dibicarakan mengenai morfologi cacing ini dijadikan pedoman utama.Agar dapat ditemukan
microfilaria yang lebih banyak, orang sering menggunakan membrane technique atau membrane
filtration.

6. Pengobatan
Pengobatan yang dapat diberikan pada pasien filariasis dengan tipe cacing wuchereria
bancrofti, yaitu berupa diethylcarbamzine (DEC), hetrazan (1-diethyl carbamyl 1-4
methylpiperazine dihydrogen citrate).Pertama kali dicoba di klinik tahun 1947 dan telah menjadi
obat pilihan untuk filariasis bancrofti.Pada pemberian peroral, cepat menghilangkan microfilaria
dala darah perifer dan terkumpul didalam pembuluh darah visceral yang kemudia diserang oleh
fagosit.Akan tetapi, pengaruh terhadap cacing dewasa tidak nyata, menurut Hawking, cacing
betina menjadi mandul. Dosis yang diajurkan (0,5-2) mg/kg berat badan, diberikan setelah
makan, 3 kali perhari dalam waktu 2-3 minggu, cepat menghilangkan microfilaria dalam darah
walaupun efek terhadap cacing dewasa lambat. Toleransinya terhadap filariasis bancrofti cukup
baik.
Program eliminasi filariasis melalui pengobatan masal didaerah endemis (prevalensi >1%)
telah dicanangkan oleh organisasi kesehatan dunia. Obat yang dianjurkan adalah kombinasi DEC
6 mg/kg berat badan dan albendazol 400 mg yang diberikan sekali setiap tahun selama 5-10
tahun pada penduduk diatas usia 2 tahun. Obat lainnya yang diberikan pada pasien khususnya
didaerah polinesia dengan pemberian Hetrazan yang mampu membunuh microfilaria dengan
cepat didalam darah, namun menimbulkan erupsi bulosa pada kulit sebagai reaksi alergi.Erupsi
yang timbul dalam 1-14 hari dapat diobati dengan kortikosteroid dan sembuh dalam 1-3 hari.
Obat lain yang juga dipakai dan saat ini masih terus diuji coba adalah Ivermektin. Ivermektin
adalah antibiotic semisintetik dari golongan makrolit yang mempunyai aktivitas luas terhadap
nematoda dan ektoparasit.Obat ini hanya membunuh microfilaria.Efek sampingnya yang
ditimbulkan lebih ringan dari DEC.
Hal-hal lain yang dapat dipikirkan adalah dilakukannya operasi kondoleon yang dilakukan
pada keadaan elephantiasis. Kompresi dengan kain pembalut Knott, 1938 yang dapat dilakukan
pada elephantiasis ekstremitas bawah.Kompres cairan magnesium sulfat dapat diberikan selama
serangan akut limphangitis.Sulfonamid atau antibiotik diberikan jika terjadi infeksi sekunder
oleh bakteri.

7. Prognosis
Pengobatan akan memberikan kesembuhan pada penderita mikrofilaremia, stadium akut,
limfedema stadium 1-2, kiluria, dan stadium dini elephantiasis. Bila sudah mencapai hidrokel
dan elephantiasis lanjut biasanya ditanggulangi dengan cara pembedahan.
Untuk menghindari infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur serta mencegah perkembangan
lanjut limfedema maka pada penderita limfedema perlu diajarkan cara membersihkan kaki
dengan air dan sabun terutama di daerah lipatan kulit dan sela jari. Bila ditemukan luka harus
segera diobati dengan antibiotic dan antimikotik.
Kelangsungan hidup filarial di dalam tubuh hospes dipengaruhi oleh adanya Wolbachia yang
merupakan endobakteri dari famili ricketsiaceae.Endobakteri ini berperan pada perkembangan,
reproduksi, dan kelangsungan hidup parasit filarial dalam tubuh hospes sehingga dapat dijadikan
target pada pengobatan filariasis. Pengobatan DEC pada filariasis akan membunuh parasit
sehingga keluarnya Wolbachia atau molekul lipopolisakarida menyebabkan efek samping
pengobatan.

B. Brugia Malayi
1. Hospes dan nama penyakit
Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan yang hidup
pada manusia dan hewan, misalnya kucing, kera dan lain-lain. Penyakit yang disebabkan oleh
brugia malayi disebut filariasis malayi.

2. Distribusi geografi
Burgia malayi hanya terdapat di Asia, dari india sampai ke jepang, termasuk Indonesia
(parasitologi kedokteran edisi 3). Pada daerah tersebut hanya manusia yang merupakan satu-
satunya definitive host. Sedangkan strain diurnal subperiodik ditemukan di daerah Asia
Tenggara. Di daerah ini selain manusia, ternyata kera, kucing, dan beberapa hewan carnivore
dapat menjadi reservoir host (Helmintologi kedokteran).

3. Epidemologi
Brugia malayi terutama ditularkan melalui Mansonia spp, Aedes spp dan Anopheles sp.
Brugia malayi hanya terdapat di pedesaan, karena vektornya tidak dapat berkembang biak
diperkotaan. Brugia malayi hanya hidup pada manusia dan hewan biasanya terdapat di pinggir
pantai atau aliran sungai, dengan rawa-rawa. Penyebaran brugia malayi bersifat fokal, dari
Sumatra sampai ke kepulauan Maluku. Yang terkena penyakit ini terutama adalah petani dan
nelayan. Kelompok umur dewasa muda paling sering terkena penyakit ini, sehingga
produktivitas penduduk dapat berkurang akibat serangan adenolimfangitis yang berulang kali.
Cara pencegahan sama dengan filariasis bancrofti (Parasitologi kedokteran).
4. Daur hidup dan morfologi
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus
seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 55 mm x 0,16 mm dan yang
jantan berukuran 22-23 mm x 0,09 mm. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang
bersarung ukurannya adalah 200-260 mikron x 8 mikron. (buku pasitologi kedokteran).
Mikrofilaria dari cacing ini juga memiliki sheath. Pada pewarnaan, sheath tersebut biasanya
berwarna merah muda terang. Pada slide yang dikeringkan dengan cepat, mikrofilaria cacing ini
masih mempertahankan sheath-nya sehingga Nampak terbungkus seluruhnya oleh sheath. Bila
mana slide dikeringkan secara perlahan-lahan, Nampak microfilaria ini terlepas dari sheathnya.
(Helmintologi kedokteran).
Periodisitas mikrofilaria brugia malayi adalah periodic nokturna, subperiodik nokturna atau
non periodik. Brugia malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles
barbirositris dan yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur
hidup parasit ini cukup panjang, tetapi lebih pendek daripada W.bancrofti. masa perumbuhannya
di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh
nyamuk parasit ini juga mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I
menjadi larva stadium II dan III, yang menyerupai perkembangan parasit W.bancrofti. Di dalam
tubuh manusia perkembangan parasit ini juga sama dengan perkembangan W.bancrofti
(Parasitologi kedokteran edisi ketiga).

5. Patologi dan gejala klinis


Gejala klinis pada filariasis malayi sama dengan gejala klinis pada filariasis timori. Gejala
klinis pada kedua penyakit tersebut tidak sama dengan filariasi bankrofti. Stadium akut ditandai
dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul
berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan
peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis
biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-
kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan
menimbulkan limfangitis retrograde, yang bersifat khas untuk filariasis. Peradangan pada saluran
limfe ini dapat dilihat sebagai garis merah yang menjalar kebawah biasanya ikut membengkak
dan menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah
menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan
parut dan tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis dengan
gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan lamanya.
Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh, tetapi dengan
serangan berulang kali, lambat laun pembengkakan tungkai tidak menghilang pada saat gejala
peradangan sudah sembuh, akhirnya timbullah elefantiasis. Kecuali kelenjar limfe inguinal,
kelenjar linfe lain di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga sering
terkena. Alat kelamin dan payudara tidak pernah terkena, kecuali di daerah filariasis brugia yang
bersamaan dengan filariasis bankrofti.

6. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibuktikan dengan menemukan microfilaria di
dalam darah tepi (Parasitologi kedokteran).
1. Diagnosis parasitologi : sama dengan pada filariasis bankrofti, kecuali sampel berasal dari darah
saja.
2. Radiodiagnosis umumnya tidak dilakukan pada filariasis malayi.
3. Diagnosis imunologi belum dapat dilakukan pada filariasis malayi.

7. Pengobatan dan prognosis


Hingga
sekarang DEC
masih merupakan
obat pilihan. Dosis
yang dipakai di
beberapa Negara
Asia berbeda-beda.
Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Untuk
pengobatan masal pemberian dosis standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan
adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu) atau garam
DEC 0,2 – 0,4 % selama 9-12 bulan. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna,
perlu pengobatan ini diulang beberapa kali. Stadium mikrofilaremia, gejala peradangan dan
limfedema dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang-kadang elefantiasis dini dan
beberapa kasus elefantiasis lanjut, dapat pula diobati dengan DEC (Parasitologi kedokteran).
Gambar 2.5 Mikrofilaria di dalam darah(pembesaran 10 x 40)

C. Brugia Timori
1. Hospes dan nama penyakit
Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh brugia timori
disebut filariasis timori. Kedua penyakit tersebut kadang-kadang disebut sebagai filariasis
brugia. (Parasitologi kedokteran edisi ketiga).

2. Distribusi geografi
Burgia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan
beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur.

3. Epidemologi
Brugia malayi dan brugia timori hanya terdapat dipedesaan, karena vektornya tidak dapat
berkembang biak diperkotaan. Brugia timori biasanya terdapat didaerah persawahan, sesuai
dengan tempat perindukan vektornya, An.barbirostris. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia
bagian timur yaitu N.T.T dan timor-timur. Yang terkena penyakit ini terutama adalah petani dan
nelayan. Kelompok umur dewasa muda paling sering terkena penyakit ini, sehingga
produktivitas penduduk dapat berkurang akibat serangan adenolimfangitis yang berulang kali.
Cara pencegahan sama dengan filariasis bankrofti (Parasitologi kedokteran).

4. Daur hidup dan morfologi


Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus
seperti benang dan berwarna putih susu. Yang betina berukuran 21-39 mm x 0,1 mm dan yang
jantan 13-23 mm x 0,08 mm. cacing betina mengeluarkan microfilaria yang bersarung, ukuran
microfilaria brugia timori 280-310 mikron x 7 mikron (buku pasitologi kedokteran). Mikrofilia
brugia timori mempunyai sifat periodic noturna. Brugia timori ditularkan oleh nyamuk An.
Barbirostris. Daur hidup dari brugia timori cukup panjang, tetapi lebih pendek daripada
W.bancrofti. Masa pertumbuhannya didalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia
kurang lebih 3 bulan. Didalam tubuh nyamuk brugia timori juga mengalami dua kali pergantian
kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III, menyerupai
perkembangan parasit W.bancrofti. didalam tubuh manusia perkembangan brugia timori juga
sama dengan perkembangan W.bancfroti (Parasitologi kedokteran edisi ketiga).

5. Patologi dan gejala klinis


Gejala klinis pada filariasis malayi sama dengan gejala klinis pada filariasis timori. Gejala
klinis pada kedua penyakit tersebut tidak sama dengan filariasi bankrofti. Stadium akut ditandai
dengan serangan demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul
berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan
peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis
biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh dengan sendirinya, tanpa pengobatan. Kadang-
kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan
menimbulkan limfangitis retrograde, yang bersifat khas untuk filariasis. Peradangan pada saluran
limfe ini dapat dilihat sebagai garis merah yang menjalar kebawah biasanya ikut membengkak
dan menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah
menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan
parut dan tanda ini merupakan salah satu gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis dengan
gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan lamanya.
Pada filariasis brugia, system limfe alat kelamin tidak pernah terkena, berbeda dengan
filariasis bankrofti. Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh,
tetapi dengan serangan berulang kali, lambat laun pembengkakan tungkai tidak menghilang pada
saat gejala peradangan sudah sembuh, akhirnya timbullah elefantiasis. Kecuali kelenjar limfe
inguinal, kelenjar linfe lain di bagian medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga
sering terkena. Pada filariasis brugia, elefantiasis hanya mengenai tungkai bawah, dibawah lutut,
atau kadang-kadang lengan bawah dibawah siku. Alat kelamin dan payudara tidak pernah
terkena, kecuali di daerah filariasis brugia yang bersamaan dengan filariasis bankrofti.
6. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibuktikan dengan menemukan microfilaria di
dalam darah tepi (Parasitologi kedok). Diagnosis parasitologi : sama dengan pada filariasis
bankrofti, kecuali sampel berasal dari darah saja.

7. Pengobatan dan prognosis


Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa
Negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan/hari
selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis brugia jauh lebih berat, bila
dibandingkan denganyang terdapat pada pengobatan filariasis bankrofti. Untuk pengobatan
masal pemberian dosis standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan adalah
pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu) atau garam DEC
0,2 – 0,4 % selama 9-12 bulan. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna, perlu
pengobatan ini diulang beberapa kali. Stadium mikrofilaremia, gejala peradangan dan limfedema
dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang-kadang elefantiasis dini dan beberapa
kasus elefantiasis
lanjut, dapat pula
diobati dengan
DEC (Parasitologi
kedokteran).

Gambar 2.6 Mikrofilaria di dalam darah(pembesaran 10 x 40)


EPIDEMIOLOGI FILARIASIS
Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan menjadi masalah di daerah
dataran rendah. Di Indonesia, penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah
perkotaan, seperti Jakarta, Tangerang, Pekalongan, Semarang hanya W. bancrofti yang telah
ditemukan. Daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti di Sumatera
dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku dan Papua.
Pemberantasan filariasis sudah dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak 1970 dengan
pemberian DEC dosis rendah jangka panjang (10mg / minggu selama 40 minggu).

 Hospes
Manusia yang mengandung parasit filariasis selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang
lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemic (transmigran) lebih
rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dibandingkan dengan penduduk asli.
Umumnya,pria lebih banyak yang terinfeksi dibandingkan wanita. Dan gejalanya pun lebih nyata
pada pria, karena pekerjaan fisik pria lebih berat dibandingkan wanita.

 Hospes Reservoar
B. malayi dapat hidup pada hewan dan menjadi sumber infeksi bagi manusia. Hewan yang
sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dank era jenis Presbytis.

 Vektor
Banyak spesies nyamuk yang telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung jenis
cacingnya. W. bancrofti di daerah perkotaan, ditularkan oleh Cx. Quinquefasciatus yang tempat
perindukannya pada air kotor dan tercemar. Sedangkan W. bancrofti di daerah pedesaan (rural)
dapat ditularkan oleh berbagai macam spesies nyamuk. Di Papua misalnya, W. bancrofti
ditularkan oleh An. Farauti yang prindukannya pada bekas jejak kaki binatang (footprint). Selain
itu, ditemukan juga An. koliensis, An. punctulatus, Cx. Annulirostris dan Ae. kochi sebagai
vector. Di daerah pantai NTT, W. bancrofti ditularkan oleh An. subpictus. Selain itu, nyamuk
Culex dan Aedes juga pernah ditemukan sebagai vektor.
B. malayi yang hidup pada manusia dan hewan, biasanya ditularkan oleh berbagai spesies
Mansonia seperti Ma. Uniformis, Ma. Bonneae, Ma. dives yang berkembang biak di daerah rawa
di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan lain-lain. B. malayi yang periodik, seperti di Sulawesi
ditularkan oleh An.barbirostris yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya.
B. timori merupakan spesies yang ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya
ditemukan di daerah NTT dan Timor-Timor, yang ditularkan oleh An. barbirostris yang
berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman.

 Faktor Lingkungan
Jenis filariasis yang ada di suatu daerah endemi, dapat diperkirakan dan diduga jenisnya
dengan melihat keadaan lingkungannya. Pencegahanna pun, hanya dilakukan dengan cara
menghindari gigitan nyamuk.
OCCULT FILARIASIS (Tropical Pulmonary Eosinophilia)
 Distribusi Geografik
Penyakit ini dilaporkan di Indonesia, Singapura, Vietnam, Muangthai, Afrika dan Curacao.

 Patologi dan Gejala Klinis


Occult filariasis merupakan penyakit filariasis limfatik, yang disebabkan oleh penghancuran
mikrofilaria dalam jumlah berlebih oleh sistem kekebalan tubuh penderita. Mikrofilaria
dihancurkan oleh zat anti dalam tubuh hospes akibat hipersensitivitas terhadap antigen
mikrofilaria.
Gejala penyakit ini ditandai dengan hipereosinofilia, peningkatan kadar antibody IgE dan
antifilaria IgG4, kelainan klinis yang menahun berupa pembengkakan kelenjar limfe dan gejala
asma bronchial. Hipereosinofilia merupakan salah satu tanda utama dan gejala ini seringkali
merupakan petunjuk kearah etiologi penyakit tersebut. Jumlah leukosit biasanya ikut meningkat
akibat meningkatnya jumlah sel eosinofil di dalam darah. Kelenjar yang paling sering terkena
adalah kelenjar limfe inguinal. Kadang-kadang dapat pula terkena pada kelenjar limfe leher, lipat
siku atau kelenjar limfe ditempat lain. Dapat pula berupa pembesaran kelenjar limfe di seluruh
tubuh, menyerupai penyakit Hodgkin.
Bila paru terkena, maka gejala klinisnya dapat berupa batuk dan sesak napas, terutama pada
malam hari dengan dahak yang kental dan mukopurulen. Foto rontgen paru memperlihatkan
garis-garis yang berlebih pada kedua hilus dan bercak-bercak halus terutama di lapangan paru
bawah. Gejala lain, dapat berupa demam subfebril, pembesaran limpa dan hati.
Mikrofilaria tidak ditemukan di dalam darah, tetapi mikrofilaria atau sisa-sisanya dapat
ditemukan di jaringan kelenjar limfe, paru, limpa dan hati. Pada jaringan tersebut, terdapat
benjolan-benjolan kecil berwarna kuning kelabu dengan penampang 1-2 mm, terdiri dari
infiltrasi sel eosinofil yang dikenal dengan nama Meyers Kouwenaar. Di dalam benda-benda
inilah dapat ditemukan sisa-sisa mikrofilaria.

 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, hipereosinofilia, peningkatan kadar IgE yang
tinggi, peningkatan zat anti terhadap mikrofilaria dan gambaran rontgen paru.
Konfirmasi diagnosis tersebut adalah dengan menemukan benda Meyers Kouwenaar pada
sediaan biopsy atau dengan melihat perbaikan gejala setelah pengobatan dengan DEC.

 Pengobatan
Obat pilihan adalah DEC dengan dosis 6 mg / kgBB / hari selama 21-28 hari. Pada stadium
awal, penderita dapat disembuhkan dan parameter darah dapat pulih kembali sampai pada kadar
yang hampir normal. Pada stadium klinis lanjut, seringkali terdapat fibrosis dalam paru dan
dalam keadaan tersebut, fungsi paru mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya. Penderita TPE
memberikan respons yang rendah pada pengobatan bronkodilator dan steroid.

D. Loa-Loa (Cacing Loa, Cacing Mata)


1. Sejarah
Untuki pertama kali Mongin pada tahun 1770 mengeluarkan cacing dewasa Loa-loa dari
mata seorang perempuan Negro di Santo Domingo.

2. Hospes Dan Nama Penyakit


Parasit ini hanya ditemukan pada manusia.
Penyakitnya disebut loaiasis atau calabar swelling (fugitive swelling).
3. Distribusi Geografik
Parasit ini tersebar di daerah khatulistiwa di hutan yang berhujan (rain forest) dan sekitarnya.
Terutama terdapat di Afrika Barat, Afrika Tengah, dan Sudan. Ditemukan di Afrika tropik
bagian barat dari Sierra Leone sampai Angola, lembah Sungai Kongo, Republik Kongo,
Kamerun, dan Nigeria bagian Selatan.

4. Morfologi dan Daur Hidup


 Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan dan konjungtiva mata.
 Cacing betina berukuran 50-70 x 0,5 mm dan yang jantan berukuran 30-34 x 0,35-0,43 mm.
 Cacing betina mengeluarkan mikrofilari yang beredar dalam darah pada siang hari (diurna).
Sedangkan pada malam hari mikrofilaria berada dalam pembuluh darah paru.
 Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250-300 mikron x 6-8,5 mikron. Dapat ditemukan
dalam urin, dahak, dan kadang-kadang ditemukan dalam cairan sum-sum tulang belakang.
 Parasit ini ditularkan oleh lalat Chrysops. Mikrofilaria yang beredar dalam darah diisap oleh
lalat dan setelah kurang lebih 10 hari di dalam badan serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi
larva inefektif dan siap ditularkan kepada hospes lainnya.
 Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia dalam waktu 1-4 tahun, berkopulasi dan cacing
dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria.

5. Patologi dan Gejala Klinis


Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan subkutan dan mikrofilari yang beredar
dalam darah seringkali tidak menimbulkan gejala. Cacing dewasa dapat ditemukan diseluruh
tubuh dan sering menimbulkan gangguan di konjungtiva mata dan pangkal hidung.
Menimbulkan iritasi pada mata, mata sembab, sakit, pelupuk mata menjadi bengkak sehingga
mengganggu penglihatan. Secara psikis pasien menderita. Pada saat tertentu pasien menjadi
hipersensitif terhadap zat sekresi yang dikeluarkan oleh cacing dewasa dan menyebabkan reaksi
radang bersifat temporer. Kelainan yang khas dikenal dengan calabar swelling atau fugitive
swelling. Pembengkakan jaringan yang tidak sakit dan non-pitting ini dapat menjadi sebesar telur
ayam. Terdapat di tangan, lengan, atau sekitarnya. Timbul secara spontan dan menghilang
setelah beberapa hari atau seminggu sebagai manifestasi supersensitive hospes terhadap parasite.
Masalah utama bila cacing masuk ke otak dan menyebabkan ensefalitis. Cacing dewasa dapat
ditemukan dalam cairan serebrospinal pada orang yang menderita meningoensefalitis.

6. Diagnosis
 Diteukan mikrofilaria dalam darah pada siang hari.
 Ditemukan cacing dewasa pada daerah konjungtiva mata dan daerah subkutan.

7. Pengobatan
 Obat utama untuk pengobatan loaiasis yaitu Dietilkarbamasin (DEC). Dengan dosis 2 mg/kg
brat badan/hari, diberikan 3 kali sehari sesudah makan selama 14 hari. DEC dapat membunug
mikrofilaria dan cacing dewasa. Obat ini bersifat profilaksis terhadap infeksi parasit. Saat ini
mulai dicoba pengobatan dengan ivermectin.
 Cacingdewasa di dalam mata dikeluarkan dengan pembedahan yang dilakukan oleh seorang
ahli.

8. Prognosis
Prognosis biasanya baik bisa cacing dewasa dapat dikeluarkan melalui mata ataubila
pengobatan berhasil dengan baik.

9. Epidemiologi
Daerah endemic adalahdaerah lalat Chrysops silacea dan Chrysops dimidiate yang
emmpunyai tempat perindukan di hutan hujan dengan kelembaban tinggi. Lalat ini menyerang
manusia yang sering masuk hutan, dan sering ditemukan pada pria dewasa.
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari gigtanlalat ataupemberian obat sebulan
sekali selama 3 hari
berturut-turut.
Gambar 2.6 Loa-loa

E. Onchocerca volvulus
1. Sejarah Dan Pengertian
O’Neil meneliti mikrofilaria parasit ini di dalam kulit seorang penderita di Afrika Barat pada
tahun 1875. Kemudian seseorang dokter Jerman menemukan cacing dalam benjolan kulit dari
orang Negro di Ghana, Afrika Barat, lalu dinamakan sebagai Filaria volvulus oleh Leuckard
1893. Tahun 1915 Robles menemukan cacing Onchocerca di Guatemala dan oleh Brumpt
diidentifikasi sebagai cacing Onchocerca caecutiens, tetapi kemudian dinamakan cacing
Onchocerca volvulus.(Sutanto,dkk.2008).
Onchocerca volvulus merupakan nematode filarial yang ditularkan oleh lalat hitam (black
flies) (Robbins, 2007)
Nama lainnya yaitu Onchocerca Caecutiens(Brumpt,1919). Infeksi cacing ini menyebabkan
Onchocerciasis disebut juga Onchocercosis, coastal, erysipelas, blinding filiaris atau river
blindness.

2. Morfologi
Cacing dewasa berwarna putih, dengan garis transversal pada kutikula, filiform dengan ujung
tumpul. Pada bagian anterior terdapat 8 papila kecil. Untuk cacing jantan ukurannya 19-42 cm x
130-210 m, dengan ujung posterior melengkung ke ventral, terdapat papilla perianal dan kaudal
yang ukuran dan jumlahnya bervariasi. Sedangkan cacing ukurannya relative lebih besar, yaitu
33,5-50 cm x 270-420 m, vulva sedikit terbuka keatas terletak sedikit di belakang esofagus
bagian posterior. Di dalam uterus terdapat larva(mikrofilaria) yang akan dilahirkan dan akan
membebaskan diri dari sarungnya. Cacing betina ini dapat menghasilkan mikrofilaria selama 9-
10 tahun. Mikrofilaria termasuk kelompok tidak bersarung, terdapat dua ukuran yaitu 285-368 x
6-9 m dan 150-287 x 5-7 m. Pada bagian anterior dan posterior tidak terdapat inti.
3. Daur Hidup
Hospes perantara cacing ini yaitu genus simulium atau lalat hitam. Siklus hidupnya yaitu
mikrofilaria masuk pada gigitan, larva dewasa masuk melalui kulit manusia. Kemudian larva
akan menjadi filaria dewasa terlokalisir dan akan melepaskan microfilaria dalam pembuluh
darah. (Underwood,2008).

Gambar Siklus Mikrofilaria dari Ovulus Onchocerca (Sumber : Buku Parasitologi Kedokteran,
hal. 149)

Kemudian Simulium mengisap sari jaringan kulit sehingga microfilaria juga ikut terisap.
Mikrofilaria menembus lambung lalat menuju otot thorax mengadakan dua kali penyilihan kulit
sehingga dalam 6 hari telah terbentuk larva infektif yang segera bergerak menuju labium,
sehingga pada saat lalat menginjeksi hospes microfilaria pun terikutkan.
Pada hospes, cacing ini biasa ditemukan di dalam benjolan(nodul) pada jaringan ikat
subkutan, kadang-kadang terdapat di jaringan lebih dalam, tidak teraba diluar. Nodul ini dapat
terjadi disetiap badan tetapi paling banyak di daerah pelvic, daerah persambungan tulang dan di
kepala terutama daerah temporal dan oksipital. Menurut Garcia,1997, microfilaria dapat
ditemukan (jarang) pada urin, darah dan sputum. Cacing ini dapat hidup selama 11 tahun. Masa
inkubasi pada manusia tidak jelas, diduga kurang lebih satu tahun.
4. Epidemiologi
Penyebarannya terdapat didaerah Afrika tropic, Amerika tengah, dan Selatan terutama daerah
di sekitar sungai.
Sampai saat ini masih tercatat ada 20-40 juta orang yang terinfeksi dan 2 juta diantaranya
mengalami kebutaan. Kebanyakan penderita tinggal di daerah sekitar sungai yang arusnya deras,
karena simulium spp suka berkembang biak di daerah itu. Jumlah cacing per penderita biasanya
semakin meningkat dengan bertambahnya umur penderita dan tentu saja sangat berhubungan
dengan intensitas transmisi serta lamanya pemaparan.
(Sutanto,dkk. 2008)
Penyakit ini ditemukan baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Infeksi yang
menahun seringkali diakhiri dengan kebutaan. Kebutaan terjadi pada penduduk yang berdekatan
dengan sungai, makin jauh dari sungai kebutaan semakin berkurang oleh karena itu penyakit ini
dikenal dengan river blindness. (Sandjaja,2007)

5. Patogenesis Dan Gejala Klinis


Dimulai dari orang-orang yang mandi dan bekerja di tepi sungai yang telah terinfeksi oleh
parasit dari lalat hitam(stimulum). Larva akan menembus kulit manusia dan berkembang di
dalam jaringan perifer menjadi cacing dewasa. Cacing ini kemudian akan kawin dan melepaskan
microfilaria dalam darah ke jaringan tubuh. Di sekitar cacing terdapat banyak sel PMN, sel
plasma serta eosinofil kadang – kadang giant cell.
Cacing ini kawin dalam dermis hospes, dikelilingi oleh sel-sel radang hospes yang
memproduksi nodul subkutaneus(Onkoserkoma). Nodulus subkutan tidak nyeri, keras yang
mengandung parasit dewasa dan dapat teraba. Pada cacing dewasa yang tinggal pada daerah
pertemuan saluran limfe, jaringan subkutan yang dibatasi oleh pembentukan jaringan fibrosis
biasanya tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata. Pada infeksi kronis dan berat (orang
dewasa diatas 20 tahun) akibat cacing betina yang melepaskan banyak microfilaria pada jaringan
subkutan dan jaringan okuler, maka akan menyebabkan dermatitis pruritis, dan penyakit mata
(kreatitis punktata, pembentukan pannus kornea,korioretinits). Mula –mula mata merasa silau,
hilangnya sebagian penglihatan bahkan akhirnya buta. Terjadinya komplikasi pada mata lebih
sering pada infeksi yang multiple (Puig Solanes dkk,1948). Perubahan pada kulit dapat membuat
terjadi penebalan serta pengerutan kulit menimbulkan gambaran “lizzard” atau “elephant” skin.
Pada infeksi kronik, menimbulkan atropi kulit yang memberikan gambaran “tissue paper”. Jika
melibatkan kelenjar inguinocrural mungkin akan memperlihatkan “hanging groin”(W.Peters &
H.M.Gillers,1977).

6. Diagnosis
Dengan peragaan parasit pada potongan isolasi yang diambil dari pantat/tungkai atau dengan
visualisasi dengan lampu celah microfilaria dalam kornea atau kamera okuli anterior. Dan juga
dengan menemukan mikcrofilaria dalam nodul. Selain itu dengan tes imunologi.
Imunodiagnostik karena biasanya sulit mendapatkan parasitnya. Tes imunologi dapat dilakukan
dengan teknik complement–fixation test dengan menggunakan ekstrak cacing sebagai antigen
(Van Hoof, 1934).Deteksi adanya antibody spesifik lainnya dapat pula dilakukan dengan tes
ELISA, pada awal infeksi sebelum ditemukan microfilaria. Pada kasus yang terdapat kecurigaan
penyakit akan tetapi tidak ditemukan parasitnya,dapat dilakukan tes Mazzotti yang merupakan
tes kulit dan mata tidak boleh dilakukan jika microfilaria ditemukan dalam mata (Neva
FA,1994:WHO,1995).

7. Terapi
Ada beberapa cara yang dapat di lakukan diantaranya :
a. Pemberian DEC
b. Anti histamine.
c. Hetrazan untuk membunuh microfilaria. Dianjurkan secara pemberiannya, hari pertama di
berikan peroral 0,1 mg per- kg berat badan dosis tunggal : hari kedua 0,1 mg per-kg berat badan
dengan 3 kali pemberian. Selanjutnya setiap tiga hari diberikan 3-4 mg per-kg berat badan,
dilakukan untuk tiga kali pemberian,selama dua minggu. Efek hetrazan terhadap cacing dewasa
lebih lambat dari pada microfilaria.
d. Suramin untuk membunuh cacing dewasa. Suramin dalam larutan 10% di berikan intra vena
dengan dosis 1 gram per minggu, dibarikan dalam waktu 5 minggu berturut-turut.
e. Operasi mengangkat nodul (benjolan).
f. Pada anak-anak dengan gejala kulit dan atau penyakit mata harus diobati dengan
ivermektin(150µm/kg sebagai dosis tunggal). Dosis ulangan 6-12 bulan kemudian diberikan jika
ditemukan microfilaria dalam kulit atau mata. Obat ini tidak boleh diberikan kepada orang-orang
dengan gangguan system saraf sentral.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Nematoda jaringan, berbeda dengan nematoda usus yang hidupnya hanya di usus. Spesies
cacing yang tergolong ke dalam Nematoda jaringan hidup di berbagai jaringan tubuh. Cacing
dewasa W. bancrofti, hidup di saluran dan kelenjar limfe; cacing dewasa Brugia malayi dan
Brugia timori hidupnya di pembuluh limfe; cacing dewasa Loa-loa hidup dalam jaringan
subkutan; dan cacing dewasa Onchocerca volvulus hidup dalam jaringan ikat.

B. SARAN
Kepada masyarakat disarankan untuk menjaga higinitas dan sanitasi perorangan maupun
lingkungan dengan baik. Selalu mencuci tangan dengan bersih sebelum memegang makanan,
melindungi diri dari gigitan nyamuk dan lalat, khususnya menghindari gigitan lalat jenis
Simulium dan menggunakan pakaian tebal yang melindungi seluruh tubuh (bentuk pencegahan
terhadap penyakit onkoserkosis).

DAFTAR PUSTAKA

1. Kazura, Jamez. 1996. Onkosersiasis. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.2. Jakarta :
Buku Kedokteran. Hal : 1231.
2. L.A Juni Prianto, P.U Tjahaya, Darwanto. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, 1995. Hal : 28-37.
3. Sandjaja, Bernardus Dr. Helmintologi Kedokteran. Buku II. Jakarta : Penerbit Prestasi Pustaka,
2007. Hal : 148-154.
4. Natadisastra Djaenudin, Agoes Ridad (edeitor). Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta : Penerbit EGC, 2009. Hal :152-156.
5. Sutanto Inge, Ismid Suhariah Is, Sjarifuddin Pudji K, Sungkar Saleha (editor). Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2008. Hal : 32-48.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Parasitologi
Parasitologi adalah bidang ilmu yang sangat berhubungan dengan fenomena-fenomena
ketergantungan dari satu organisme terhadap yang lainnya. Parasitologi adalah ilmu yang
mempelajari organisme yang hidup untuk sementara atau menetap di dalam atau pada permukaan
organisme lain dengan maksud untuk mengambil sebagian atau seluruh kebutuhan makanannya
serta mendapat perlindungan dari organisme lain tersebut.
Organisme yang mengambil makanan serta mendapat perlindungan dari organisme lain
tersebut parasit (sites, artinya makanan parasit, artinya orang yang ikut makan), sedangkan
organisme yang mengandung parasit disebut hospes atau tuan rumah. Biasanya organisme yang
lebih besar merupakan hospes yang akan memberikan perlindungan serta makanan pada
organisme lainnya yang lebih kecil yang disebut parasit.
Hubungan timbal balik antara parasit dengan hospes yang berguna untuk kelangsungan
hidup parasit tersebut disebut parasitisme. Dapat disimpulkan bahwa parasitologi merupakan
suatu disiplin ilmu yang memepelajari parasit, hospes, lingkungannya serta interaksi di antara
komponen-komponen tersebut.

B. Tujuan
Laporan praktikum kali ini memiliki tujuan:
1. Untuk mengetahui morfologi Nematoda Usus dan Jaringan;
2. Untuk mengetahui epidemiologi Nematoda Usus dan Jaringan;
3. Untuk mengetahui diagnosa, pencegahan, dan pengobatan bila terkena Nematoda Usus dan
Jaringan;
4. Untuk memenuhi laporan tugas praktikum parasitologi.

C. Manfaat
Manfaat yang dapat kita petik adalah mengetahui ciri khas dari beberapa spesies
nematoda usus dan jaringan, morfologi, epidemiologi serta pencegahan dan diagnosa apabila
hospes yaitu manusia terkena parasit yang merugikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ascaris lumbricoides
a. Morfologi
Cacing jantan mempunyai ukuran 10-31 cm, ekor melingkar, dan memiliki 2 spikula.
Sedangkan cacing betina mempunyai ukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian anterior, dan
memiliki cincin kopulasi. Baik cacing jantan, maupun betina memiliki mulut terdiri atas tiga
buah bibir.
Telur yang dibuahi berukuran ± 60 × 45 mikron, berbentuk oval, berdinding tebal dengan
tiga lapisan dan berisi embrio. Sedangkan telur yang tidak dibuahi berukuran ± 90 × 40 mikron,
berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas dua lapisan dan dalamnya
bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, dimana telurnya tanpa lapisan albuminoid
yang lepas karena proses mekanik. (Pinardi Hadidjaja, dan Srisasi Gandahusada, 2002)

Gambar 1.1 Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi


Gambar 1.2 Telur Ascaris lumbricoides yang tidak dibuahi

Gambar 1.3 Cacing Ascaris lumbricoides

Gambar 1.4 Mulut Ascaris lumbricoides


b. Siklus Hidup
Bentuk infektif bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus
dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung,
kemudian mengikuti aliran darah ke paru-paru, larva di paru menembus dinding pembuluh darah,
lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakhea melalui bronkiolus dan
bronkus. Dari trakhea melalui larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan
pada faring. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa, sejak telur matang sampai
cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan. (Srisasi Gandahusada, 2006)

c. Patologi dan Gejala Klinik


Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi
perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan paru yang disertai dengan batuk,
demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga
minggu. Keadaan ini disebut Sindrom Loffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual,
nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi mal absorbsi sehingga memperberat
keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus
sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke
saluran empedu, apendiks, atau bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga
kadang-kadang perlu tindakan operatif.
Diagnosa Laboratorium, dengan menemukan telur di dalam tinja. Selain itu diagnosis dapat
pula dibuat apabila cacing keluar sendiri baik melalui mulut, hidung, maupun tinja. (Srisasi
Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)

d. Epidemiologi
1. Akibat larva
 Lokasi : Hepar dengan reaksi ringan dan pada paru-paru mempunyai reaksi berat dan dapat
terjadi: Bronchopncumonic dan Pneumonitis.
 Umum : Adanya reaksi imunitas (timbul Urticaria).
2. Akibat cacing dewasa
 Lokal : Obstruksi (mekanis) sampai dapat timbul: volvulus, invaginasi, ileus (bila lebih
dari 500 ekor cacing).
 Umum : Cacing dewasa mengeluarkan toksin atau racun, diduga: hemolytic, antipeptic,
antiryptic.

e. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menertibkan pembuangan feses, memberikan
pendidikan kesehatan mengenai higine, dan perbaikan keadaan sosial ekonomi.

B. Trichuris trichiura
a. Morfologi
Cacing jantan mempunyai panjang ± 4 cm, bagian anteriornya halus seperti cambuk, dengan
bagian ekor melingkar. Sedangkan cacing betina panjangnya ± 5 cm, bagian anteriornya pun
halus seperti cambuk, tetapi bagian ekor lurus berujung tumpul. Telurnya mempunyai ukuran ±
50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan ujung menonjol, berdinding tebal dan berisi
larva. (Pinardi Hadidjaja dan Srisasi Gandahusada, 2002)
Gambar 1.7 cacing dewasa Trichuris trichiura

b. Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang
dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan
tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui
dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus
bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai
siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina
meletakkan telur kira-kira 30-90 hari. (Srisasi Gandahusada, Ilahude,Wita Pribadi, 2006)

c. Patologi dan Gejala Klinis


Cacing Trichuris trichuira pada manusia terutama hidup disekum, akan tetapi dapat juga
ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di
seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam
mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.
Pada tempat perlekatannnya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini
mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Penderita terutama anak
dengan infeksi Trichuris trichuira yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata
seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan
kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichuira sering disertai infeksi
cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas
atau sama sekali tanpa gejala. Parasit ini ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin. Diagnosa
Laboratorium, dengan menemukan telur di dalam tinja (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita
Pribadi, 2006)

d. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara sanitasi lingkungan harus diperbaiki, khususnya
dalam pembuangan feses, sebelum makan tangan harus dicuci terlebih dahulu, pada anak-
anakperlu diberikan pendidikan higine, dan menerapi penderita yang baik.

C. Enterobius vermicularis
a. Morfologi
Cacing enterobius betina berukuran 8-13 mm × 0,4 mm. Pada ujung anteriornya terdapat
pelebaran seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esophagus Nampak jelas, ekor panjang dan
runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur. Seekor cacing enterobius dapat
bertelur hingga 11.000 – 15.000 butir telur.
Sedangkan cacing enterobius jantan berukuran 2-5 mm. cacing jantan memiliki ekor yang
melengkung yg berbentuk seperti tanda tanya.

b. Siklus Hidup
Setelah mengalami kopulasi di sekum -> cacing akan bergerak menuju anus -> bertelur di
anus -> menyebabkan gatal pd anus (pruritus ani) -> di garuk -> tidak cuci tangan -> telur
infektif tertelan -> menetas di duodenum -> dewasa di jejunum. Dapat juga telur infektif
menempel pd pakaian -> pakaian dijemur -> telur terbawa angin -> tertelan.
Daur hidup cacing ini berlangsung selama 2 minggu – 2 bulan.
Gambar 1.11 Siklus Hidup Cacing Enterobius vermicularis

c. Patologi dan Gejala Klinis


Gejala-gejala yang terdapat tergantung pada lokalisasi caing dewasa atau telurnya.
Perlekatan kepala cacing pada mukosa usus menimbulkan peradangan ringan oleh karena
perlekatan tersebut merupakan iritasi mekanis dan akan memberi gejala klinis: tak ada gejala,
nyeri perut, nausoa, vomiting, diare. Bila cacing terdapat dalam lumen usus jumlahya besar dapat
menimbulkan obstruksi usus.

d. Epidemiologi
a) Kejadian tinggi di negara-negara barat terutama USA 35-41%;
b) Merupakan penyakit keluarga;
c) Tidak merata di lapisan masyarakat;
d) Tersering diserang yaitu: anak-anak berumur 5-14 tahun;
e) Pada daerah tropis kejadian sedikit oleh karena cukupnya: sinar matahari, udara panas, kebiasaan
habis BAB mencuci menggunakan air tidak dengan kertas tisu. Akibat hal-hal tersebut diatas,
maka pertumbuhan telur terhambat oleh karena itu penyakit ini tidak berhubungan dengan
keadaan sosial ekonomi masyarakat, tetapi lebih dipengaruhi oleh iklim dan kebiasaan.
D. Wuchereria bancrofti
a. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk halus seperti benang, mempunyai kutikula halus, dan ditemukan
dalam kelenjar dan saluran limfe. Cacing jantan panjangnya kira-kira 40 mm dan diameternya
0,1mm. Cacing betina panjangnya 80-100mm dan diameternya 0,24-0,30mm. Guna
melanjutkan siklus hidupnya, cacing dewasa betina menghasilkan mikrofilaria bersarung.
Panjang mikrofilarianya berkisar dari 244 sampai 296 µm serta aktif bergerak dalam darah dan
limfe. Mikrofilarianya bersarung dan inti badannya tidak sampai ujung ekor. Pulasan seperti
Giemsa, Wright, atau hemaktosilin Delafield telah digunakan untuk membantu membedakan
gambaran morfologi dalam menentukan spesies mikrofilaria. Mikrofilaria yang dipulas
panjangnya 245-300 µm dengan lebar 7- 8 µm, ruang pada kepala (cephalic space) yaitu panjang
= lebar, memiliki inti yang teratur, lekukan badan halus dengan sarung berwarna pucat.
Pada banyak daerah di Indonesia, mikrofilaria Wuchereria bancrofti termasuk dalam tipe
periodik nokturna. Konsentrasi tertinggi mikrofilaria dalam peredaran darah yaitu pada malam
hari umumnya diantara jam 10 malam sampai jam 2-4 pagi.

b. Siklus Hidup
Hospes pelantara dari filaria, yaitu nyamuk mendapatkan infeksi dengan menelan
mikrofilaria dalam darah yang diisapnya. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya
menyerupai sosis dan disebut larva stadium I (L1) dalam waktu 3 hari. Dalam waktu kurang
lebih seminggu larva ini bertukar kulit tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut
larva stadium II (L2). Pada hari ke 10-14 selanjutnya larva ini bertukar kulit sekali lagi tumbuh
makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium III (L3) yang merupakan bentuk infektif
dan dapat dijumpai di dalam selubung probosis nyamuk. Larva bermigrasi ke labela nyamuk dan
masuk ke dalam kulit hospes definitive melalui luka tusukan ketika sedang mengisap darah.
Dalam tubuh hospes definitive (manusia), larva L3 menembus lapisan dermis menuju
saluran limfe dan berkembang menjadi larva L4 dalam waktu 9-14 hari setelah infeksi. Larva L4
kemudian berkembang menjadi cacing dewasa di dalam kelenjar limfe dan melakukan kopulasi .
Mikrofilaria akan dilepaskan oleh cacing betina yang gravid dan dapat dideteksi di sirkulasi
perifer dalam 8 sampai 12 bulan setelah infeksi. Dari saluran limfe, mikrofilaria memasuki
sistem vena lalu ke kapiler paru dan akhirnya memasuki sistem sirkulasi perifer.

c. Patologi dan Gejala Klinis


Gejala klinik yang berhubungan dengan infeksi Wuchereria bancrofti bervariasi dari
yang tidak menunjukan gejala sampai pasien dengan manifestasi klinik yang berat seperti
elephantiasis dan hidrokel (Partono, 1987). Patologi dan Gejala klinis filariasis bancrofti dapat
disebabkan oleh cacing dewasa maupun mikrofilaria. Namun, perubahan patologi yang utama
terjadi akibat kerusakan pada sistem limfatik yang disebabkan oleh cacing dewasa dan bukan
disebabkan oleh microfilaria. Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan, namun dalam
keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Patologi dan Gejala klinik yang
disebabkan oleh cacing dewasa dapat berupa limfadenitis dan limfangitis retrograd pada stadium
akut, hidrokel, kilurian, dan Limfedema (elephantiasis) yang mengenai seluruh kaki atau lengan,
skrotum, vagina dan payudara pada stadium kronis.

c. Epidemiologi
Wuchereria bancrofti terutama ditemukan didaerah tropis dan subtropis. Diperkirakan
bahwa 250 juta orang telah terinfeksi parasit ini, terutama di Asia Selatan dan Afrika sub-
Saharan. Di Asia, parasit ini endemik didaerah pedesaa dan perkotaan India, Srilanka, dan
Myanmar. Selain itu parasi ini juga ditemukan sedikit di daerah pedesaan Thailand dan Vietnam.
Di Indonesia, penyakit ini ditemukan dengan prevalensi rendah di Sumatera, Jaw, Kalimantan,
Sulawesi, dan Lombok (Soedarmo e al, 2008).

e. Pencegahan
Dapat dilakukan dengan terapi penerita, vektor control, melindungi diri dari gigitan
nyamuk
E. Brugia malayi
a. Morfologi
Bentuk cacing dewasa Brugia malayi hampir tidak dapat dibedakan dengan Wuchereria
bancrofti
 ukuran cacing jantan : 14-24 milimeter × 0,08 milimeter
 ukuran cacing betina : 44-55 milimeter × 0,15 milimeter
Mikrofilaria umumnya bersifat noctural periodicity. Berapa strain ada yang bersifat
subperiodic.
Ciri-ciri:
 bentuk seperti mikrofilaria bancrofti
 ukuran : 230 mikron × 6 mikron
 kurve tubuh biasanya mempunyai lekukan sekunder -> secondary kink (+)
 body nuclei padat, seolah-olah bertumpuk (overlaping)
 cephalic space ratio 2 : 1
 terminal nuclei ada 2 buah
 sheath; pada pengecatan Giemsa nampak jelas, berwarna ungu muda/pink

b. Siklus Hidup
Hospes Definitif : manusia
Mempunyai hospes cadangan (reservoir host) binatang domestik seperti kera, kucing, anjing.
Intermediate Host : Nyamuk betina darigenus Mansonia, Anopheles.
Siklus hidup dalam tubuh nyamuk rata-rata 6-l2 hari
Patogenitas :
 Menyebabkan limfangitis, limfadenitis dan elefantiasis terutama di extremitas bawah.
 Jarang terjadi elefantiasis scroti dan tak pernah menimbulkan chyluria.
Pencegahan :
 Mengobati penderita
 Kontrol/pemberantasan nyamuk, untuk nyamuk Mansoni dapat dilakukan dengan cara
merusak/menghancurkan tumbuh-tumbuhan air, seperti Pistia stratiotes.

F. Necator Americanus dan Ancylostoma Duodenale


a. Morfologi
a) Ancylostoma duodenale
 Memiliki panjang badan ± 1 cm, menyerupai huruf C.
 dibagian mulutnya terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan
 mempunyai bursa kopulatriks pada bagian ekornya. Sedangkan
 cacing betina ekornya runcing.
b) Necator americanus
 Memiliki panjang badan ± 1 cm, menyerupai huruf S.
 bagian mulutnya mempunyai benda kitin. Cacing jantan mempunyai bursa kopulaptriks pada
bagian ekornya. Sedangkan cacing betina ekornya runcing.
 Telurnya berukuran ± 70 x 45 mikron, bulat lonjong, berdinding tipis, kedua kutub mendatar. Di
dalamnya terdapat beberapa sel.
 Larva rabditiformnya memiliki panjang ± 250 mikron, rongga mulut panjang dan sempit,
esophagus dengan dua bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. Sedangkan
larva filariform, panjangnya ± 500 mikron, ruang mulut tertutup, esophagus menempati ¼
panjang badan bagian anterior. (Pinardi Hadidjaja dan Srisasi Gandahusada, 2002)

b. Siklus Hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva
rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform,
yang dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang
yang besarnya kira-kira 60 × 40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di
dalamnya terdapat 4-8 sel. Larva rabditiform panjangnya kira-kira 250 mikron, sedangkan larva
filariform panjangnya kira-kira 600 mikron. (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)
c. Patologi dan Gejala Klinis
a) Stadium Larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perbahan kulit yang
disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.
b) Stadium Dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta keadaan gizi penderita (Fe dan
Protein). Tiap cacing Ancylostoma duodenale menyebabkan kehilangan darah 0,08- 0,34 cc
sehari, sedangkan Necator americanus 0,005-0,1 cc sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom
mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan
anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan
prestasi kerja menurun. (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
Diagnosa Laboratorium ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Untuk
membedakan spesies A. duodenale dan N.americanus dapat dilakukan biakan tinja dengan cara
Harada-Mori.
(Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)

BAB III
PEMBAHASAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Hari/tanggal : Jumat, 15 Maret 2013
Waktu : 09.00-11.00 WITA
Tempat : Lab. Mikrobiologi Lingkungan Jurusan Kesling

B. Jenis kegiatan
Pengamatan Nematoda Usus dan Jaringan
C. Alat dan Bahan
1. Mikroskop;
2. Mikroskop listrik;
3. Preparat;
4. Alat tulis;
5. Buku catatan;
6. Gelas awetan cacing.

D. Uraian Kegiatan
1. Mendengarkan pengarahan dari pembimbing praktikum;
2. Mikroskop dan preparat telah dipersiapkan oleh pembimbing;
3. Praktikan langsung mengamati preparat yang terlihat di mikroskop;
4. Praktikan menggambar preparat yang terlihat di mikroskop;
5. Praktikan memberi nama pada masing-masing gambar preparat;
6. Praktikan menganalisis gambar/ data sebagai data hasil praktikum.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
a. Telur Trichuris trichiura
a) Berbentuk seperti tong. Kedua ujungnya melekuk kedalam dan tertutup oleh tonjolan yang
transparan. Bagian tonjolan mengandung mukoid;
b) Ukuran 50-54 × 22-23 mikron;
c) Tertutup oleh dualapisan yaitu lapisan luar berwarna kekuning—kuningan, lapisan dalam
transparan

b. Mulut Necator americanus


a) Terdapat 2 pasang alat pemotong (cutting plates);
b) Bentuk alat pemotong tersebut semilunar dan terdapat disebelah ventral dan dorsal;
c) Bursa kopulatrik pada jantan: percabangan dari sentral.

c. Mulut Cacing Tambang (A. duodenale)


a) Terdapat 2 pasang gigi disebelah ventral;
b) Gigi yang sebelah dalam lebih kecil daripada pada gigi yang sebelah luar;
c) Bentuk lengkungan kepalan sesuai dengan lengkungan tubuh (seperti koma).

d. Telur yang dibuahi Ascaris lumbricoides


a) Yang masak (matura): antara lapisan dinding paling dalam massa didalamnya terdapat batas atau
rongga udara;
b) Yang belum masak (imature): tidak terdapat rongga udara;

e. Telur yang tidak dibuahi Ascaris lumbricoides


a) Bentuk lebih lonjong, ukuran 88-94 × 44 mikron;
b) Mantel albumin sering tidak terdapat. Isinya protoplasma yag mati;
c) Lebih transparan.

f. Cacing Ascaris lumbricoides


a) Jantan: panjang 10-30 cm diameter 2-4 mm, anterior terdapat 3 buah bibir, posterior melingkar
ke ventral;
b) Betina: panjang 20-35 cm diameter 3-6 mm, anterior dengan jantan sama, posterior reatif lurus
dan kaku.

g. Cacing dewasa Trichuris Trichiura


a) Bentuk tubuh seperti cambuk (cemeti);
b) Ukuran jantan30-45 mm. Betina 35-50 mm;

h. Telur Enterobius Vermicularis


a) Bentuk asimetris, salah satu sisi datar;
b) Ukuran 55 × 26 mikron;
c) Didalam telur selalu terdapat bentuk larvanya.
i. Cacing dewasa Enterobius Vermicularis
a) Ukuran jantan 2-5 mm × 0,1-0,2 mm. Betina 8-13 mm × 0,3-0,5 mm;
b) Mulut simpel dengan 3 buah bibir yang mengelilinginya;
c) Ujung anterior dan posterior runcing (lancip).

j. Cacing Wuchereria Banchrofti


a) Ukuran jantan 40 × 0,1 mm, betina 83 ×0,24 mm;
b) Warna putih kekuningan;
c) Kutikula smooth.

k. Cacing Brugia Malayi


a) Cacing dewasa;
b) Mikrofilaria.

l. Telur cacing Tambang


a) Berbentuk bulat lonjong;
b) Kulit relatif tipis terdiri dari hyalin;
c) Isi telur: terganung umur, waktu dikeluarkan dapat segmentid dapat pula unsegmented.

j. Cacing Tambang dewasa


a) Ukuran jantan 8-11mm × 0,45 mm, betina 10-13 × 0,60 mm;
b) Lengkungan kepala sesuai dengan lengkungan tubuh (seperti koma).

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa cacing-cacing Nematoda terbagi menjadi 2 golongan yakni:
a. Nematoda usus
a) Ascaris lumbricoides (cacing gelang/cacing perut);
b) Trichocephalus trichiura (cacing cemeti);
c) Enterobius vermicularis (cacing kerermi);
d) Ancylostoma duodenale (cacing tambang);
e) Ancylostoma brastiliensis (cacing tambang);
f) Necator americanus (cacing tambang);
g) Trichinella canis (cacing ascaris anjing);
h) Toxodracati (cacing ascari kucing).
i) Strongyloides stercoralis.

b. Nematoda jaringan atau darah


a) Wuchereria bancrofti;
b) Wuchereria malayi;
c) Mansonella malayi;
d) Acanthocheilonema perstans;
e) Loa loa;
f) Dracunculus medinensia.

B. Saran
Agar terhindar dari parasit cacing alangkah baiknya mencegah seperti tidak buang BAB
sembarangan, pembuatan jamban keluarga, kontrol vektor dan juga penyuluhan tentang
pentingnya higine lingkungan, makanan dan minuman dimasak dengan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 1991. Parasitologi Medik Jilid 2. Penertbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Padmasutra, Leshmana, dr. 2007. Catatan Kuliah: Ascaris lumbricoides. Jakarta:Fakultas Kedokteran
Unika Atma Jaya Jakarta.

Soedarto. 1996. Atlas Helmintologi Kedokteran. Universitas. Penerbit Buku Kedokteran. ECG, Jakarta.

Widyastuti, Retno. 2002. Parasitologi. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta.

Parasitologi kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Oleh Djaenudin
Natadisastra,dr.,Sp.Park & Prof. Dr. Ridad Agoes, MPH
Prasetyo Heru,1996. Pengantar Praktikum Helmintologi Kedokteran,Airlangga University Press:
Surabaya

Lynne S. Garcia dkk. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran, EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai