Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filarial yang menyerang saluran/pembulüh dan kelenjar
getah bening. Penyakit filariasis ini tidak menimbulkan kemaüan, namun
berdampak terhadap penurunan produktifitas dan permasalahan sosial bagi penderita
dan keluarganya. Penderita filariasis kronis yang telah mengalami kecacatan
menimbulkan stigma negatif bagi penderita dan keluarganya.
Filariasis ( penyakit kaki gajah ) atau juga dikenal dengan elephantiasis
adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria
ynag ditularkan melalui gigitan  berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor
penular filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anophele, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan
cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin.penyakit ini bisa
diakibatkan oleh parasit yang disebabkan oleh cacing filaria.Cacing dengan bentuk
seperti benang ini hidup pada sistem limfatik (kelenjar getah bening) manusia.
Itulah mengapa penyakit ini juga disebut dengan lymphatic filariasis.Di dalam
sistem limfatik, cacing akan memengaruhi sistem imun tubuh dan menyebabkan
infeksi.
Penyakit ini membuat beberapa bagian tubuh Anda membengkak, terutama
pada kaki, lengan, dan alat kelamin luar. Namun, tak menutup kemungkinan
payudara juga akan membengkak. Filariasis termasuk penyakit kronis yang bisa
memberikan efek jangka panjang. Anda akan mengalami nyeri dan pembengkakan
tubuh dalam waktu yang lama hingga kehilangan kemampuan seksual.
filariasis sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di dunia.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Filariasis?
2. Apakah penyebab, sifat/karakter, dan riwayat pejalanan penyakit filariasis
3. Bagaimana upaya pencegahan penyakit filariasis?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari penyakit Filariasis.
2. Mengetahui penyebab, Sifat/karakter dan riwayat perjalanan penyakit Filariasis
3. Mengetahui upaya pencegahan penyakit Filariasis.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Memberi pengetahuan berupa pencegahan penyakit Filariasis bagi penulis. Sehingga
penulis dapat menjaga kesehatan dan terhindar dari penyakit Filariasis.
2. Bagi Masyarakat
Memberi keterangan tentang bahaya penyakit Filariasis bagi tubuh. Sehingga masyarakat
dapat menghindari pertumbuhan vector penyebab penyakit Filariasis.
BAB Il

TINJAUAN PUSTAKA

A. FILARIASIS

Definisi
Filariasis adalah penyakit zoonosis menular yang banyak ditemukan di
wilayah tropika seluruh dunia. Penyebabnya adalah infeksi oleh sekelompok cacing
nematoda parasit yang tergabung dalam superfamilia Filarioidea. Gejala yang
umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai bawah
dan skrotum, sehingga penyakit ini secara awam dikenal sebagai penyakit kaki
gajah. Walaupun demikian, gejala pembesaran ini tidak selalu disebabkan oleh
filariasis.

Etiologi
Filariasis disebabkan karena infeksi oleh sekelompok cacing nematoda
yang termasuk superfamilial Filariodea. Jenis cacing ini adalah Wuchereria
bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Masa inkubasi penyakit ini cukup
lama lebih kurang 1 tahun, sedangkan penularan penyakit terjadi melalui vektor
nyamuk sebagai hospes perantara, dan manusia atau hewan kera dan anjing sebagai
hospes definitif. Periodositas beradanya mikrofilaria dalam darah tepi tergantung
pada spesies. Periodositas tersebut menunjukkan adanya filaria di dalam darah tepi
sehingga mudah dideteksi.9

Patofisiologi dan Gambaran Klinis


 Wuchereria bancrofti
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran kelenjar limfe, bentuk halus
seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina ukurannya 65-100 mm x
0,25 mm dan cacing jantan berukuran 40 mm x 0,1 mm. Cacing betina
mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dan mikrofilaria ini hidup di dalam darah
dan terdapat di aliran darah tepi dalam waktu-waktu tertentu saja. Pada umumnya
mikrofilaria W. bancrofti bersifat periodositas nokturna, yaitu mikrofilaria terdapat
di dalam darah tepi pada malam hari. Pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler
alat dalam (jantng, paru-paru, ginjal, dan sebagainya).
Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex
quinquefasciatus. Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau
nyamuk Aedes.1

Gambar3. Mikrofilaria W. bancrofti

Daur hidup microfilaria ini adalah mula-mula mikrofilaria yang terisap


oleh nyamuk, melapaskan sarungnya dalam lambung, menembus dinding lambung
dan bersarang di daerah toraks. Bentuknya mengalami pemendekan seperti sosis
dan disebut larva stadium I. Kurang lebih satu minggu, larva bertukar kulit dan
tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang, disebut larva stadium II. Pada hari
kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit dan lagi dan tumbuh makin
panjang dan makin kurus, disebut larva stadium III. Bentuk larva stadium III
bermigrasi mula- mula ke abdomen kemudian ke kepala lalu ke alat tusuk hisap
nyamuk. Bila nyamuk menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk
ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat lalu mengalami
pergantian kulit dan tumbuh menjadi larva stadium IV kemudian stadium V atau
cacing dewasa. 1
Gambar4. Siklus hidup W. bancrofti
Mikrofilaria biasanya bancrofti
tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu
dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa
menimbulkan limfadenitis dan limfangitis retrograd dalam stadium akut, disusul
dengan obstruktif menahun 10-15 tahun kemudian.1
Perjalanan penyakit filariasis limfatik dapat dibagi dalam beberapa stadium
yaitu stadium mikrofilaremia, stadium akut, dan stadium menahun. Pada penderita
mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan limfosintigrafi
menunjukkan adanya kerusakan saluran limfe. Cacing dewasa hidup dapat
menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi yang disebut limphangiektasia. Jika
jumlah cacing banyak dan limphangiektasia terjadi secara intensif akan
menyebabkan disfungsi sistem limfatik. Cacing dewasa yang mati dapat
menyebabkan reaksi inflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif, lumen
tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan tersebut terus berlanjut
hingga saluran limfatik tertutup menyebabkan limfedema.1
Stadium akut ditandai dengan peradangan yaitu limfangitis dan
limfadenitis retrograd dan disertai demam dan malaise. Gejala peradangan tersebut
hilang timbul beberapa kali dalam setahun dan berlangsung beberapa hari sampai
satu dua minggu lamanya. Pada stadium menahun gejala klinis yang sering
dijumpai adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai limfangitis dan limfadenitis yang
mengenai seluruh tungkai, lengan, testis, payudara, vulva. Kadang terjadi chyluria
yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena dilatasi pembuluh limfe
pada sistem ekskretori dan urinari.1

 Brugia malayi dan Brugia timori


Cacing dewasa jantan dan betina hidup di pembuluh limfe. Cacing dewasa
bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina
mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Periodositas B. malayi adalah periodik
nokturna, subperiodik nokturna, atau non periodik, sedangkan B. timori periodik
nokturna. B. malayi yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles
barbirostris dan Mansonia. B. timori ditularkan oleh nyamuk Anopheles
barbirostris.1
Daur hidup pertumbuhan parasit ini pada nyamuk kurang lebih 10 hari dan
pada manusiakurang lebih 3 bulan. Dalam tubuh nyamuk, parasit ini mengalami
perkembangan larva seperti pada parasit W. bancrofti. Begitu juga dengan
perkembangan parasit ini pada manusia, sama dengan parasit W. bancrofti.1
Gejala klinis filariasis malayi sama seperti filariasis timori namun berbeda
dengan filariasis bankrofti. Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan
peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali.
Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan
peradangan sering tombul setelah panderita bekerja berat di lading atau sawah.
Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh tanpa
pengobatan.Kadang peradangan pada kelenjar limfe menjalar ke bawah mengenai
saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd yang dapat terlihat sebagai
garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan ini dapat pula menjalar ke
jaringan sekitarnya. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya membenkak dan
menimbulkan gejala limfedema. Limfadenitis dapat pula berkembang menjadi
bisul, pecah menjadi ulkus yang meninggalkan bekas sebagai jaringan parut.
Limfadenitis beserta komplikasina dapat berlangsung beberapa minggu sampai
tiga bulan. Pada filariasis brugia, sistem limfe alat kelamin tidak pernah terkena.1
Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh,
tetapi dengan serangan yang berulang kali, lambat laun pembengkakan di tungkai
tidak menghilang setelah gejala peradangan sembuh sehingga timbul elefantiasis.
Selain kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe di bagian medial tungkai, di ketiak,
dan di bagian medial lengan juga sering terkena. Chyluria bukan merupakan gejala
klinis filariasis brugia.1

Gambar5. Mikrofilaria B. malayi Gambar6. Mikrofilaria


B. timori

Diagnosis
1. Diagnosis parasitologi
 Deteksi parasit dengan menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau
cairan chyluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott,
membran filtrasi. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (pukul 22.00)
mengingat periodositas mikrofilaria umumnya nokturna.
 Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit
dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). 1
2. Radiologis
 USG akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dance sign) ,
berguna untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk
infeksi filaria oleh W. banccrofti.
 Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat
radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita
yang asimtomatik mikrofilaremia. 1
3. Diagnosis Imunologi
Deteksi dengan Immunochromatoghraphic test (ICT) yang menggunakan antibody
monoklonal, hasil positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria
tidak ditemukan dalam darah. 1

Pencegahan
Pencegahan massal baru-baru ini dikenal dengan pengobatan dosis
tunggal , sekali per tahun, 2 regimen obat (Albendazol 400 mg dan Ivermectin 200
mg/KgBB) cukup efektif. Hal ini merupakan pendekatan alternatif dalam
menurunkan jumlah mikrofilatia dalam populasi.9
Pencegahan individu, kontak dengan nyamuk dapat dikurangi dengan
penggunaan obat oles anti nyamuk, kelambu, atau insektisida.9

Penatalaksanaan
Perawatan umum dapat dilakukan dengan :
 Istirahat di tempat tidur, atau pindah tempat ke daerah yang lebih dingin untuk mengurangi
derajat serangan akut.
 Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses.
 Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema.

Pengobatan infeksi individu ditujukan untuk menghancurkan parasitdan


mengeleminasi, mengurangi atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini WHO
menetapkan Dietilcarbamazine (DEC) sebagai obat yang efektif, aman, dan relatif
murah. Pengobatan dilakukan dengan pemberian DEC 6 mg/KgBB/hari selama 12
hari dan diulangi 1 hingga 6 bulan kemudianbila perlu, atau DEC selama 2 hari
perbulan (6-8 mg/KgBB). Efek samping DEC dibagi dalam 2 jenis, yaitu bersifat
farmakolgis , tergantung dosisnya dan respon dari hospes yang terinfeksi terhadap
kematian parasit.1
Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin yang sangat efektif untuk
menurunkan kadar mikrofilaremia namun tidak dapat mebunuh cacing dewasa (non-
makrofilarisidal), sehingga terapi tersebut tidak dapat diharapkan untuk
menyembuhkan infeksi secara menyeluruh.9
Prognosis
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien
pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik dapat dilakukan dengan
pemberian obat dan pemberantasan vektor. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan
edema tungkai, prognosis lebih buruk.2

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 94 trahun 2014 tentang


Penanggulangan Filariasis telah diuraikan bahwa untuk mengopümalkan penanggulangan
penyakit tersebut, pedu dipahami epidemiologi filariasis sehingga Imemudahkan bagi
pelaksanaan program pengendalian penyakit filariasis.

Penyebab (agent) Filariasis

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filarida yaitu :


a. Wucheœna bancmm
b. Brugia malayi, dan
c. Brugia ümon•

Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah datardn rendah, terutama di
pedesaan, rawa, pantai pesisir, pedalaman, persawahan, dan hutan.

Hospes Filariasis

Pada dasamya, semua manusia dapat tertular filariasis apabila kontak dengan
nyamuk infeküf (mengandung mikrofilaria stadium 3). Vektor infektif mendapat
mikrofilaria dari pengidap. Namun demikian, dalam kenyataannya di suatu dagrah endemis
filariasis tidaklah semua orang terinfeksi, dan yang terinfeksi tidak semuanva menunjukkan
gejala klinis. Meskipun tanpa gejala klinis, tetapi telah terjadi perubahan-pprubahan
patologis di dalam tubuhnya.
Penduduk pendatang di suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi
filariasis yang lebih besar dibandingkan penduduk aslinya. Pendbduk pendatang dari
daerah non-endemis ke daerah endemis misalnya transmin walaupun pada pemeriksaan
SDJ (sampel darah jari) belum atau sedikit menganaung microfilaria, akan tetapi sudah
menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.
Beberapa hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hospes reservoar). Dari
semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Bulgia malayi tpe
sub periodik noktuma dan non-periodik yang ditemukan juga pada lutung (Presbyts criastatus),
kera ekor panjang (Macaca fasciculafis)i dan kucing (Felis catis). Penanggulangan filariasis
pada hewan reservoar ini tidaklan muaah. Oleh karena itu hal ini menyulitkan juga
penanggulangannya terhadap manusia. Hal ini bisa dipahami karena hewan-hewan reservoar
tersebut kebanyakan adalah hewan har Yang habitatnya di hutan atau kebun Iuas yang tidak
berdekatan dengan pemukiman manusia.

Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi apabila terdapat üga unsur, yattu adanya :
a. Sumber penularan, baik manusia ataupun hospes reservoar vang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
b. Vector, yakni nyamuk yang dapat menularkan Filaria, nyamuk yang dapat atau
berpotensi menjadi vector adalah jenis atau spesies Culex spp, Anopheles spp,
Aedes spp, dan Mansonia spp.
c. Manusia yang rentan terhadap Filariasis.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang
disebabkan oleh cacing filarial yang menyerang saluran/pembulüh dan
kelenjar getah bening. Penyakit filariasis ini tidak menimbulkan kemaüan,
namun berdampak terhadap penurunan produktifitas dan permasalahan sosial
bagi penderita dan keluarganya. vektor penular filariasis hingga saat ini telah
diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anophele, Culex, Mansonia,
Aedes, dan Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin.

B. Saran
Dalam penangan Filariasis, sebaiknya menghindari genangan air di
pekarangan rumah tempat berkembangnya hospes penyebab penyait
Filariasis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Supali T, Sri S, Margono, Alisah SN, Abidin. Nematoda jaringan. In: Sutanto I, Ismid IS,
Sjarifuddin PK, Sungkar S; editors. Buku ajar parasitologi kedokteran. 4th ed. Jakarta:
FKUI; 2008. p.32-42.
2. KR. Fever. In: Kleigman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF; editors. Nelson
Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p.1084-6.
3. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. 11th ed. Jakarta: Elsevier; 2007.
p.319.
4. Braunwald E, Loscalzo J. Edema. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J; editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
17th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008.
5. Nelwan RHH. Demam: tipe dan pendekatan. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S; editors. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. 4 th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. p.1697.
6. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology: Functions and Disorders of the Immune
System. In: Malley J, editor. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2004. p.115, 148,
198.

Anda mungkin juga menyukai