Anda di halaman 1dari 8

FILARIASIS

(KAKI GAJAH)

A. IDENTIFIKASI
Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah
merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing
filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini dapat
menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran tangan, kaki, payudara,
dan buah zakar. Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening. Infeksi
cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronik (Depkes RI,
2005).
Hospes perantara dari filaria, yaitu nyamuk mendapatkan infeksi dengan
menelan mikrofilaria dalam darah yang diisapnya. Mula-mula parasit ini
memendek, bentuknya  menyerupai sosis dan disebut larva stadium I (L1) dalam
waktu 3 hari. Dalam waktu kurang lebih seminggu larva ini bertukar kulit
tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II (L2).
Pada hari ke 10-14 selanjutnya larva ini bertukar kulit sekali lagi tumbuh makin
panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium III (L3) yang merupakan bentuk
infektif dan dapat dijumpai di dalam selubung probosis nyamuk. Larva
bermigrasi ke labela nyamuk dan masuk ke dalam kulit hospes definitive melalui
luka tusukan ketika sedang mengisap darah.
Dalam tubuh hospes definitive (manusia), larva L3 menembus lapisan
dermis menuju saluran limfe dan  berkembang menjadi larva L4 dalam waktu 9-
14 hari setelah infeksi. Larva L4 kemudian berkembang menjadi cacing dewasa
di dalam kelenjar limfe dan  melakukan kopulasi . Mikrofilaria akan dilepaskan
oleh cacing betina yang gravid dan dapat dideteksi di sirkulasi perifer dalam 8
sampai 12 bulan setelah infeksi. Dari saluran limfe, mikrofilaria memasuki
sistem vena lalu ke kapiler paru dan akhirnya memasuki sistem sirkulasi perifer.
B. ETIOLOGI
Filariasis disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang hidup di saluran dan
kelenjar getah bening. Anak cacing yang disebut mikrofilaria, hidup dalam darah.
Mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Filariasis di Indonesia
disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu:
1. Wuchereria bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori (Gandahusada, 1998).
C. DISTRIBUSI
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.
Wuchereria bancrofti ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi,
Tangerang, Semarang, dan Pekalongan. Wuchereria bancrofti bersifat periodik
nokturna, artinya mikrofilaria banyak terdapat dalam darah tepi pada malam hari.
Wuchereria bancrofti tipe perkotaan ditularkan oleh nyamuk Culex
quinquefasciatus yang berkembangbiak di air limbah rumah tangga, sedangkan
Wuchereria bancrofti tipe pedesaan ditularkan oleh nyamuk dengan berbagai
spesies antara lain Anopheles, Culex, dan Aedes.
Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa
pulau di Maluku. Brugia malayi tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan
dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles
barbirostis pada daerah persawahan. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna,
mikrofilaria ditemukan lebih banyak pada siang hari dalam darah tepi. Nyamuk
penularnya adalah Mansonia sp pada daerah rawa.
Brugia timori tersebar di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor, dan Sumba.
Brugia timori tipe non periodik, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada
malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia uniformis yang
ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, mikrofilaria
ditemukan dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah
Anopheles barbostis di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur dan Maluku
Tenggara (Gandahusada, 1998).

D. RESERVOIR
1. Vektor
Vektor Di Indonesia telah terindentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus
yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan Armigeres yang menjadi
vektor filariasis. Sepuluh spesies nyamuk Anopheles diidentifikasikan
sebagai vektor Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus
merupakan vektor Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies
Mansonia merupakan vektor Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur,
Mansonia dan Anopheles barbirostris merupakan vektor filariasis yang
paling penting. Beberapa spesies Mansonia dapat menjadi vektor Brugia
malayi tipe subperiodik nokturna. Sementara Anopheles barbirostris
merupakan vektor penting Brugia malayi yang terdapat di Nusa Tenggara
Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Perlu kiranya mengetahui bionomik
(tata hidup) vektor yang mencakup tempat berkembangbiak, perilaku
menggigit, dan tempat istirahat untuk dapat melaksanakan pemberantasan
vektor filariasis. Tempat perindukan nyamuk berbeda-beda tergantung
jenisnya. Umumnya nyamuk beristirahat di tempat-tempat teduh, seperti
semak-semak sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-
tempat yang gelap. Sifat nyamuk dalam memilih jenis mangsanya berbeda-
beda, ada yang hanya suka darah manusia (antrofilik), darah hewan
(zoofilik), dan darah keduanya (zooantrofilik). Terdapat perbedaan waktu
dalam mencari mangsanya, ada yang di dalam rumah (endofagik) dan ada
yang di luar rumah (eksofagik). Perilaku nyamuk tersebut berpengaruh
terhadap distribusi kasus filariasis. Setiap daerah mempunyai spesies
nyamuk yang berbeda-beda (Depkes RI, 2005).
2. Hospes
a) Manusia
Setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk dapat tertular
filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva
stadium III). Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi
sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya
pendatang baru ke daerah endemis (transmigran) lebih rentan terhadap
infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada
umumya laki-laki banyak terkena infeksi karena lebih banyak
kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Gejala penyakit lebih
nyata pada laki-laki karena pekerjaan fisik yang lebih berat
(Gandahusada, 1998).
b) Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(hewan reservoir). Hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan
non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis criatatus), kera
(Macaca fascicularis), dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2005).
3. Lingkungan
a) Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, stuktur
geologi dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan
kehidupan vektor sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-
sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat
perindukan dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban
berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup, dan keberadaan
nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya
hewan reservoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap
penyebaran Brugia malayi sub periodik nokturna dan non periodik.
b) Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya,
adanya tanaman air sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia sp.
Daerah endemis Brugia malayi adalah daerah dengan hutan rawa,
sepanjang sungai atau badan air yang ditumbuhi tanaman air.
c) Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya
Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya adalah lingkungan yang timbul
sebagai akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk perilaku, adat
istiadat, budaya, kebiasaan, dan perilaku penduduk. Kebiasaan bekerja di
kebun pada malam hari, keluar pada malam hari, dan kebiasaan tidur
berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Insiden filariasis pada laki-
laki lebih tinggi daripada perempuan karena umumnya laki-laki sering
kontak dengan vektor pada saat bekerja (Depkes RI, 2005).
E. CARA PENULARAN
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung
mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan
melepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk
bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan
mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti
sosis berukuran 125-250µm x 10-17µm dengan ekor runcing seperti cambuk
setelah 3 hari. Larva tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva
preinfektif yang berukuran 200- 300µm x 15-30µm dengan ekor tumpul atau
memendek setelah 6 hari. Pada stadium II larva menunjukkan adanya gerakan.
Kemudian larva tumbuh menjadi larva stadium III (L3) yang berukuran 1400µm
x 20µm. Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan
yang aktif setelah 8-10 hari pada spesies Brugia dan 10-14 hari pada spesies
Wuchereria. Larva stadium III (L3) disebut sebagai larva infektif. Apabila
seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif maka orang tersebut berisiko
tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3
akan keluar dari probosisnya dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk
kemudian menuju sistem limfe. Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan
menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria
bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan. (Depkes RI, 2005).
F. MASA INKUBASI
Manifestasi inflamasi alergik mungkin timbul lebih cepat yaitu sebulan setelah
terjadi infeksi, microfilaria mungkin belum pada darah hingga 3-6 bulan pada B.
malayi dan 6-12 bulan pada W. bancrofti.
G. MASA PENULARAN
Tidak langsung menular dari orang ke orang.Manusia dapat menularkan melalui
nyamuk pada saat microfilaria berada pada darah tepi, microfilaria akan terus ada
selama 5-10 tahun atau lebih sejak infeksi awal. Nyamuk akan menjadi infektif
sekitar 12-14 hari setelah menghisap darah yang terinfeksi.
Seseorang tertular filariasis bila digigit nyamuk yang mengandung larva infektif
cacing filaria.Nyamuk yang menular kan filariasis adalah Anopheles, Culex,
Mansonia, Aedes dan Armigeres.Nyamuk tersebut tersebar luas di seluruh
Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya (got/saluran air, sawah,
rawa, hutan).

H. KERENTANAN DAN KEKEBALAN

Semua orang mungkin rentan terhadap infeksi namun ada perbedaan yang
bermakna secara geografis terhadap jenis dan beratnya infeksi.Infeksi ulang yang
terjadi di daerah endemis dapat mengakibatkan manifestasi lebih berat seperti
elephantiasis.

I. CARA PEMBERANTASAN

A. Cara Pencegahan
1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai
cara penularan dan cara pengendalian vektor (nyamuk).
2. Mengidentifikasi vector dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam
nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu
dan tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembang biakannya. Jika
penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam
rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa,
tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup
dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk
(repellents) dan membersihkan tempat perindukan nyamuk sepertikakus
yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva dengan
larvasida. Jika ditemukan Mansoniase bagai vector pada suatu daerah,
tindakan yang dilakukan adalah dengan membersihkan kolam-kolam dari
tumbuhan air (Pistia) yang menjadi sumber oksigen bagi larva tersebut.
3. Pengendalian vector jangka panjang mungkin memerlukan perubahan
konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta
pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan
nyamuk.
4. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan diethylcarbamazine

(DEC, Banocide®, Hetrazan®, Notezine®); Pengobatan ini terbukti lebih


efektif bila diikuti dengan pengobatan setiap bulan menggunakan DEC
dosis rendah (25-50 mg/kg BB) selama 1-2 tahun atau konsumsi garam
yang diberi DEC (0,2-0,4 mg/g garam) selama 6 bulan sampai dengan 2
tahun. Namun pada beberapa kasus timbulnya reaksi samping dapat
mengurangi partisipasi masyarakat, khususnya di daerah endemic
sonchocerciasis (lihat Onchorcerciasis, reaksiMarzotti).Ivermectin dan
Albendazole juga telah digunakan; saat ini, pengobatan dosis tunggal
setahun sekali dengan kombinasi obat ini akan lebih efektif.
B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitarnya
1. Laporkan kepada instansi kesehatan yang berwenang: di daerah endemis
tertentu di kebanyakan negara, bukan merupakan penyakit yang wajib
dilaporkan, Kelas 3 C (lihat pelaporan tentang penyakit menular). Laporan
penderita disertai dengan informasi tentang ditemukannya microfilaria
memberikan gambaran luas nya wilayah transmisi di suatudaerah.
2. Isolasi: tidakdilakukan. Kalau memungkinkan penderita dengan
microfilaria harus dilindungi dari gigitan nyamuk untuk mengurangi
penularan.
3. Desinfeksi serentak: tidakada.
4. Karantina: tidak ada.
5. Pemberian imunisasi: tidakada.
6. Penyelidikan kontak dengan sumber infeksi: dilakukan sebagai bagian dari
gerakan yang melibatkan masyarakat (lihat9 A dan 9 C).

7. Pengobatan spesifik: Pemberian diethylcarbamazine (DEC, Banocide ®,

Hetrazan®, Notezine®)
DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada, S., Herry D.I,Wita Pribadi, 1998, Parasitologi Kedokteran, Edisi III,
FKUI, Jakarta

Departemen Kesehatan R.I. (2005). Rencana Strategi Departemen Kesehatan. Jakarta:


Depkes RI
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21349/3/Chapter%20II.pdf
http://www.bukusakudokter.org di akses pada tanggal 26 September 2015 pukul
14.04 WITA
 Filariasis (kaki gajah) merupakan penyakit menular menahun yang 1.Wuchereria bancrofti
disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai 2. Brugia malayi
B. malayi : 3-6 bln jenis nyamuk. 3. Brugia timori (Gandahusada, 1998).
W. bancrofti. : 6-12 bln  Dapat menimbulkan cacat seumur hidup berupa pembesaran
tangan, kaki, payudara, dan buah zakar.
 Cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening.
 Infeksi cacing filaria dapat menyebabkan gejala klinis akut dan 1. Wuchereria bancrofti ditemukan di
atau kronik (Depkes RI, 2005). daerah perkotaan seperti Jakarta,
Bekasi, Tangerang, Semarang, dan
Pekalongan.
2. Brugia malayi tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa
pulau di Maluku.
3. Brugia timori tersebar di kepulauan
Flores, Alor, Rote, Timor, dan Sumba.

Identifikasi Masalah

Masa Inkubasi
FILARIASIS Etiologi
VEKTOR

 Tidak langsung menular dari orang ke orang.


Cara Penularan (KAKI GAJAH) Distribusi Penyakit
Manusia dapat menularkan melalui nyamuk pada
saat mikrofilaria berada pada darah tepi. Mikrofilaria Hospes
Masa Penularan Reservoir
akan terus ada selama 5-10 tahun atau lebih sejak 1. Manusia
infeksi awal. Nyamuk akan menjadi infektif sekitar 2. Hewan : lutung (Presbytis criatatus),
12-14 hari setelah menghisap darah yang terinfeksi. Cara Pemberantasan Kerentanan & Kekebalan kera (Macaca fascicularis), dan
 Seseorang tertular filariasis bila digigit nyamuk yang kucing (Felis catus) (Depkes RI,
mengandung larva infektif cacing filaria. 2005).

Cara Pencegahan : Lingkungan


1.Memberikan penyuluhan mengenai cara penularan dan 1. Lingkungan Fisik
cara pengendalian vektor (nyamuk). Semua orang mungkin rentan 2. Lingkungan Biologi
2.Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva terhadap infeksi namun ada 3. Lingkungan Sosial, Ekonomi dan
Penanganan penderita, Kontak dan lingkungan sekitarnya
1. Laporkan kepada instansi kesehatan yang berwenang
infektif dalam nyamuk perbedaan yang bermakna secara Budaya
3.Pengendalian vektor jangka panjang (perubahan konstruksi geografis terhadap jenis dan
2. Isolasi: tidak dilakukan. Kalau memungkinkan penderita dengan
rumah, pemasangan kawat kasa,pengendalian beratnya infeksi. Infeksi ulang yang
mikrofilaria harus dilindungi dari gigitan nyamuk untuk
lingkungan) terjadi di daerah endemis dapat
mengurangi penularan.
4.Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan
3. Desinfeksi serentak: tidak ada. mengakibatkan manifestasi lebih
diethylcarbamazine (DEC, Banocide®, Hetrazan®,
4. Karantina: tidak ada.
Notezine®)
berat seperti elephantiasis.
5. Pemberian imunisasi: tidak ada. By : Windawaty Humola
6. Penyelidikan kontak dengan sumber infeksi Yuriska Kuka
7. Pengobatan spesifik

Anda mungkin juga menyukai