Anda di halaman 1dari 24

Makalah Cacing Filaria ( Wuchereria bancrofti)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Filariasis

(penyakit

kaki

gajah)

atau

juga

dikenal

dengan

elephantiasis adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan


oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan berbagai spesies
nyamuk. Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah
diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia,
Aedes dan Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap
berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin.
Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu
penyakit yang dulunya sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang
muncul kembali. Kasus penderita filariasis khas ditemukan di wilayah
dengan iklim sub tropis dan tropis (Abercrombie et al, 1997) seperti di
Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun
1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang belum diketahui bagaimana
perkembangannya. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di

Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang
lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231
Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus
kronis 6233 orang.

Upaya

pemberantasan

filariasis

tidak

bisa

dilakukan

oleh

pemerintah semata. Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini


secara aktif. Dengan mengetahui mekanisme penyebaran filariasis dan
upaya

pencegahan,

pengobatan

serta

rehabilitasinya,

diharapkan

program Indonesia Sehat Tahun 2010 dapat terwujud salah satunya


adalah terbebas dari endemi filariasis.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah
antara lain sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan filariasis?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya filariasis?
3. Bagaimana upaya pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi filariasis?
C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mengacu pada rumusan
masalah di atas sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan filariasis.
2. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya filariasis.
3.

Untuk mengetahui upaya pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi


filariasis.

D. Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini adalah agar masyarakat dapat
mengetahui segala sesuatu tentang filariasis, bagaimana mekanisme
terjadinya filariasis, dan bagaimana upaya pencegahan, pengobatan serta

rehabilitasi filariasis. Dengan demikian, diharapkan masyarakat ikut


memberantas penyakit ini secara aktif sehingga tidak menjadi endemi di
masyarakat.

vBAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Cacing filaria (Wuchereria bancrofti)
Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas
dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum
Nemathelminthes. Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang
maka disebut filarial. Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah berasal
dari genus wuchereria dan brugia. Di

Indonesia cacing

yang

dikenal

sebagai penyebab penyakit tersebut adalah wuchereria bancrofti, brugia


malayi, dan brugia timori.

Klasifikasi ilmiah
Kingdom: Animalia
Classis:

Secernentea

Ordo:

Spirurida

Upordo:

Spirurina

Family:

Onchocercidae

Genus:

Wuchereria

Species:

Wuchereria bancrofti

Ciri-ciri cacing Filaria


1. Cacing dewasa (makrofilaria), bentuknya seperti benang berwarna putih
kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk seperti
benang berwarna putih susu.
2. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65 100 mm,
ekornya berujung tumpul, untuk makrofilarial yang jantan memiliki
panjang kurang lebih 40 mm, ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria
berukuran panjang kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat.
3. Tempat hidup Makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar
limfe. Sedangkan pada malam hari mikrofilaria terdapat di dalam
pembuluh darah tepi, dan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler
alat-alat dalam, misalnya: paru-paru, jantung, dan hati
B. Daur Hidup Cacing Filaria ( Wuchereria bancrofti)
Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1.

Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk

sebagai vector yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.


2. Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes)
kurang lebih 7 bulan.

Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila
nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang terserang
filariasis, sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita ikut
terhisap kedalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam
paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding
lambung

dan

bersarang

diantara

otot-otot

dada

(toraks).

Bentuk

mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu


kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih
gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh
dan seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh
menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva
stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke
rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk
nyamuk.
Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit
manusia. Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva
stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes).
Bersama-sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia, larva keluar
dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Didalam pembuluh
limfe larva mengalami dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi

cacing dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva stadium V.
Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga
akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Siklus
hidup pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan
menghisap darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria
yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk.
Cacing yang diisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi
sebelumnya

tumbuh

di

dalam

tubuh

nyamuk.

Makhluk

mini

itu

berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3 minggu, pada stadium 3, larva


mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk nyamuk.Nyamuk
pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia dan
memindahkan larva infektif tersebut. Bersama aliran darah, larva keluar
dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe.
Uniknya, cacing terdeteksi dalam darah tepi pada malam hari,
sedangkan pada siang hari dia berada didalam kapiler alat-alat dalam
seperti pada paru-paru, jantung dan hati, selebihnya bersembunyi di
organ

dalam

tubuh.Pemeriksaan

darah

ada-tidaknya

cacing

biasa

dilakukan malam hari. Setelah dewasa (Makrofilaria) cacing menyumbat


pembuluh

limfe

dan

menghalangi

cairan

limfe

sehingga

terjadi

pembengkakan. Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di tangan,


payudara, atau buah zakar. Ketika menyumbat pembuluh limfe di
selangkangan, misalnya, cairan limfe dari bawah tubuh tidak bisa
mengalir sehingga kaki membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak,
mengakibatkan pembesaran tangan.

Pada saat dewasa (Makrofilaria) inilah, cacing ini menghasilkan


telur kemudian akan menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang
disebut mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah.
Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah kecil di bawah kulit. Jika
pada waktu itu ada nyamuk yang menggigit, maka larva tersebut dapat
menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk,
kemudian setelah mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat
penusuk. Jika nyamuk itu menggigit orang, maka orang itu akan tertular
penyakit ini.
C. Prinsip patologis penyakit filariasis

Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki


Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai
jenis nyamuk. bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing
filaria dewasa (makrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui
saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi
limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan
banyaknya

cairan

plasma

yang

terisi

dari

pembuluh

darah yang

menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.


Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma,
esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang
terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi
jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi

berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang


pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statiskronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak
terhindarkan lagi.
Jadi, jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing
dewasa (Makrofilaria) yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme
inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan
ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai
penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe
secara total. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten,
namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu
timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi
obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah
membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi
malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.
D. Gejala Klinik
Apabila seseorang terserang filariasis, maka gejala yang tampak antara
lain:
1. Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, demam dapat hilang bila si
penderita istirahat dan muncul lagi setelah si penderita bekerja berat.
2. Pembengkakan kelenjar limfe (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan. Diikuti dengan radang
saluran kelenjar limfe yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari
pangkal

kaki

atau

pangkal

lengan

ke

arah

ujung

(Retrograde

lymphangitis) yang dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.

3. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahandan merasa panas (Early lymphodema). Sedangkan gejala
klinis filariasis kronis yaitu
E. Diagnosa penyakit Filariasis (Kaki gajah)
Bentuk menyimpang dari filariasis (eosinoffilia tropikal) ditandai
oleh hipereosinivilia, adanya microfilaria di jaringan tetapi tidak terdapat
di dalam darah, dan titer antibody antifilaria yang tinggi. Microfilaria
mungkin ditemukan di cairan limphatik. Tes serologi telah tersedia tetapi
tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Diagnosa berdasarkan gejala klinis
dan dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium:
1.

Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah, cairan


hirokel atau cairan chyluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik
konsentrasi Knott dan membran filtrasi.

2.

Pengambilan darah dilakukan pada malam hari mengingat periodisitas


mikrofilarianya umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi,
kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai pada saluran dan
kelenjar limpah dari jaringan yang di curigai sebagai tumor.

3.

Diferensiasi spesies dan stadium filarial, yaitu dengan menggunakan


pelacak DNA yang spesies spesifik dan antibody monoclonal untuk
mengidentifikasi larva filarial dalam cairan tubuh dan dalam tubuh
nyamuk vektor sehingga dapat membedakan antara larva filarial yang
menginfeksi manusia dengan yang menginfeksi hewan. Penggunaannya
masih terbatas pada penelitian dan survey.

F. Upaya Pencegahan, Pengobatan, dan Rehabilitasi Filariasis


1. Upaya Pencegahan Filariasis

Pencegahan
gigitan

nyamuk

filariasis

dapat

(mengurangi

dilakukan

kontak

dengan

dengan

menghindari

vektor)

misalnya

menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan kasa


nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti
nyamuk, menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak
memakai pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, dan
memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara berkala pada
kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis. Dari semua cara
diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan memberantas
nyamuk itu sendiri dengan cara 3M.
2. Upaya Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada
daerah

endemis

dengan

menggunakan

obat Diethyl

Carbamazine

Citrate (DEC). DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada
pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satu-satunya
obat

yang

efektif,

akibatWuchereria
badan/hari

aman,

bankrofti,

selama

12

dan
dosis
hari.

relatif
yang

murah.

dianjurkan

Sedangkan

Untuk
6

filariasis

mg/kg

untuk

berat

filariasis

akibatBrugia malayi dan Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5 mg/kg


berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah
demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada pengobatan
filariasis

yang disebabkan oleh Brugiamalayi dan Brugia

timori, efek

samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya


dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi pengobatan dilakukan dalam waktu

yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan dengan


dosis tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama
5 tahun. Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC.
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah
antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas
luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh
mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC.
Terapi suportif berupa pemijatan juga dapat dilakukan di samping
pemberian DEC dan antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada
kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan pembedahan.
3. Upaya Rehabilitasi Filariasis
Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total.
Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya,
beberapa bagian tubuh yang membesar tidak bisa kembali normal seperti
sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan
dengan jalan operasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berikut adalah kesimpulan dalam makalah ini:
1. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup
dalam sistem limfe dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan
menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis berupa demam berulang 3-5
hari, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada, dan
skrotum. Dapat didiagnosis dengan cara deteksi parasit dan pemeriksaan
USG pada skrotum.
2. Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva
infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap

selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan


tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini
menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi
pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin.
3. Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan
nyamuk

dan

melakukan

3M.

Pengobatan

menggunakan

DEC

dikombinasikan dengan Albendazol dan Ivermektin selain dilakukan


pemijatan dan pembedahan. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan
operasi.
B. Saran
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus
filariasis karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami
cacat fisik sehingga akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan
Negara.

Dengan

penanganan

kasus

filariasis

ini

pula,

diharapkan

Indonesia mampu mewujudkan program Indonesia Sehat Tahun 2012

Diagnosa
Diagnosa filariasis didasarkan atas anamnesis yang berhubungan dengan nyamuk di daerah
endemik, disertai dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan darah pada waktu malam hari.
Biopsi kelenjar dilakukan bila mikrofilaria tidak ditemukan di dalam darah, hal tersebut
hanya dilakukan pada kelenjar limfe ekstrimitas, dan di sini mungkin akan ditemukan cacing
dewasa. Biopsi ini dapat pula menimbulkan gangguan drainase saluran limfe. Suntikan
intradermal dengan antigen filaria, reaksi ikatan komlemen, hemaglutinasi dan flokulasi
penting untuk diagnosis bila mikrofilaria tidak dapat ditemukan dalam darah.
Dengan pemeriksaan antigen filaria dapat ditemukan adanya antigen filarial di dalam darah
perifer, dengan atau tanpa mikrofilaria. Pemeriksaan ini sekarang dipertimbangkan sebagai
diagnosis yang paten infeksi filarial dan dipakai untuk memonitor efektivitas pengobatan.

Jika dicurigai filariasis limfatik, urine harus diperiksa secara macroskopis untuk menemukan
adanya chyluria. Pada pemeriksaan Immunoglobulin serum, kadar IgE serum yang meningkat
ditemukan pada pasien dengan penyakit filaria aktif.
Tes provokasi DEC bermanfaat untuk menemukan adanya mikrofilaria pada darah tepi yang
diambil pada waktu siang hari, dimana sebenarnya mikrofilaria bersifat nokturnal. Diberikan
DEC 2 mg/kgBB dan darah diambil 45-50 menit setelah pemberian obat.
Selain itu dapat pula dilakukan penghitungan jumlah mikrofilaria. Mikrofilaria dihitung
dengan mengambil 0,25 ml darah yang diencerkan dengan asetat 3% sampai menjadi 0,5 cc
dan dilihat dibawah mikroskop dengan menggunakan Sedgwick Refler counting Cell, dimana
didapatkan :
- Densitas tinggi : 50mf/ml darah
- Densitas rendah : 1-49mf/ml darah
- Densitas sangat rendah : 1-10 mf/ml darah
Pemeriksaan limfografi dengan gambaran adanya obstruksi, atresia atau dilatasi disertai
bentuk saluran yang berliku-liku dan adanya aliran balik ke kulit dapat membantu diagnosis
penyakit ini.
Diagnosa Banding
Infeksi bakteri, tromboflebitis atau trauma dapat mengacaukan Filarial Adeno limfadenitis
Akut, Tuberkolosis, Lepra, Sarkoidosis dan penyakit sistemik granulomatous lainnya
seringkali dikacaukan dengan filariasis
Pengobatan
Perawatan umum :
- Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah dingin akan mengurangi derajat
serangan akut.
- Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses

- Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema


Pengobatan Spesifik
Penggunaan obat antifilarial pada penangan limfadenitis akut dan limfangitis masih
kontroversial.

Tidak

ada

penelitian

lebih

lanjut

yang

menunjukkan

pemberian

dietilkarbamazin (DEC), suatu derivat piperazin. Dietilkarbamazin (Hetrazan, Banoside,


Notezine, Filarizan) dapat berguna untuk terapi limfangitis akut. Dietilkarbamazin dapat
diberikan pada mikrofilaremik yang asimptomatik untuk mengurangi jumlah parasit di dalam
darah. Obat ini juga dapat membunuh cacing dewasa. Dosis pemberian dietilkarbamazin
ditingkatkan secara bertahap.
Anak-anak :
- 1 mg/KgBB P.O. dosis tunggal untuk hari I
- 1 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari II
- 1-2 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari III
- 6 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari IV-XIV
Dewasa :
- 50 mg P.O. dosis tunggal hari I
- 50 mg P.O. 3x/hari pada hari II
- 100mg P.O. 3x/hari pada hari III
- 6 mg/KgBB P.O. 3x/hari pada hari IV-XIV
Pada penderita yang tidak ditemukan mikrofilaria di dalam darah diberikan dosis 6 mg/KgBB
3x/hari langsung pada hari I. Wuchereria bancrofti lebih sensitif daripada Brugia malayi pada
pemberian terapi dietilkarbamazin.
Efek samping seperti demam, nyeri kepala, mialgia, muntah, lemah dan asma, biasanya
disebabkan oleh karena destruksi mikrofilaria dan kadang-kadang oleh cacing dewasa,

terutama pada infeksi berat. Gejala ini berkembang dalam 2 hari pertama, kadang kadang
dalam 12 jam setelah pemberian obat dan bertahan 3 4 hari. Pernah dilaporkan terjadinya
abses di scrotum dan sela paha setelah pengobatan, diperkirakan sebagai reaksi matinya
cacing. Dietilkarbamaasin tidak dianjurkan pada perempuan hamil.
Obat lain yang juga aktif terhadap mikrofilaria adalah ivermectin ( Mectizan ) dan
albendazol. Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria, tetapi dapat di berikan dengan dosis
tunggal 400 g / kgBB. Bila ivermectin dosis tunggal digabung dengan DEC, menyebabkan
hilangnya mikrofilaria lebih cepat. Akhir akhir ini diketahui bahwa albendazol 400 mg
dosis tunggal lebih efektif daripada ivermectin.
Dapat juga diberikan Furapyrimidone yang mempunyai efek yang sama dengan DEC dalam
hal mikrofilarisidal. Dosis yang dianjurkan untuk Brugia malayi adlah 15-20 mg/kgBB/hari
selama 6 hari. Sedangkan untuk Wuchereria banrofti 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Efek
samping ringan hanya berupa iritasi gastrointestinal dan panas.
Pengobatan Pembedahan
Pembedahan untuk melenyapkan elephantiasis skrotum, vulva dan mammae mudah
dilakukan dengan hasil yang memuaskan. Perbaikan tungkai yang membesar dengan
anastomosis antara saluran limfe yang letaknya dalam dengan yang perifer tidak terlalu
memuaskan.
Prognosis
Prognosis penyakit ini tergantung dari jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria dalam tubuh
penderita, potensi cacing untuk berkembang biak, kesempatan untuk infeksi ulang dan
aktivitas RES.
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah
endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat, serta
pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama dengan edema pada tungkai,
prognosis lebih buruk.
Pencegahan

WHO telah merencanakan eradikasi filariasis didunia pada 10 tahun mendatang. Pengobatan
masal pada populasi yang menderita filariasis dengan DEC atau pengulangan ivermectin
sekali pertahun, secara nyata mereduksi mikrofilaremia. Secara teoritis pengobatan sekali
setahun efektif bila diberikan minimal 5 tahun.
DEC tidak bersifat toksik oleh karena itu dapat ditambahkan ke dalam garam atau bahan
makanan lainnya. Keberhasilan tergantung dari kerja sama yang baik, sosioekonomi dan
kebiasaan. Dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kgBB/bulan selama 12 bulan. Sedangkan pada
penduduk yang idak kooperatif diberikan 6 mg/kgBB/minggu dengan total dosis 36
mg/kgBB.
B. Filariasis Malayi
Penyebab Filariasis Malayi adalah filaria Brugia malayi. Cacing dewasa jenis ini memiliki
ukuran panjang 13-33 mm dengan diaameter 70-80 mikrometer. Sedangkan cacing betinanya
berukuran panjang 43-55 mm dan berdiameter 130-170 mikrometer.
Epidemiologi
Penyebaran geografis parasit ini luas meliputi Srilangka, Indonesia, Filipina, India Selatan,
Asia, Tiongkok, Korea dan sebagian kecil Jepang.
Didaerah penyebarannya terdapat di daerah dataran sesuai dengan tempat hidup nyamuk
Mansonia. Nyamuk terdapat di daerah rendah dngan banyak kolam yang bertanaman pistia
(suatu tumbuhan air).
Penyakit ini terdapat di luar kota bila vektornya adalah Mansonia, dan bila vektornya
Anopheles maka terdapat di daerah kota dan sekitarnya.
Lingkaran Hidup
Manusia merupakan hopes definitif. Periodisitas nokturnal mikrofilaria yang bersarung dan
berbentuk khas ini, tidak senyata periodisitas W. Bancrofti. Sebagai hospes perantara adalah
Mansonia, Anopheles dan Amigeres. Dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria tumbuh menjadi
larva infektif dalam waktu 6-12 hari.
Patogenesis dan Gejala Klinik

Gejala klinik dari Brugia malayi, Brugia timori, Wuchereria bancrofti adalah sama.
Manifestasi dari infeksi akut adalah limfadenitis rekuren dan limfangitis. Pada filariasis
kronik terjadi terjadi obstruksi limfatik yang menyebabkan hidrokel dan elefantiasis.
Brugia malayi berbeda dengan Wuchereria bancrofti dalam hal pasien dengan gejala filariasis
yaitu mempunyai jumlah mikrofilaria yang lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak
menunjukkan gejala. Di Malaysia dengan perbandingan samapai 5 kali. Filariasis Malayi
khas dengan adanya limfadenopati superfisial dan eosinofilia yang tinggi (7-70%)
Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan memeriksa adanya mikrofilaria di dalam darah dengan tetesan
darah tebal atau tipis.
Pengobatan
Sama dengan pengobatan Wuchereria bancrofti. Pencegahan terhadap vektor ini dengan cara
memberantas vektor nyamuk tersebut dan menyingkirkan tanaman pistia. Stratiotes dengan
Fenoxoilen 30 gram merupakan obat murah dan memuaskan terhadap tumbuh-tumbuhan air
ini.
C. Filariasis Timori
Penyebab penyakit ini adalah filaria tipe Brugia timori. Cacing jantan berukuran panjang 20
mm dengan diameter 70-80 mikrometer. Sedangkan yang betina berukuran panjang 30 mm
dengan diameter 100 mikrometer. Filaria tipe ini terdapat di daerah Timor, pulau Rote, Flores
dan beberapa pulau sekitarnya.
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan kelenjar limfe. Vektornya adalah Anopheles
barbirostis. Mikrofilarianya menyerupai mikrofilaria Brugia Malayi, yaitu lekuk badannya
patah-patah dan susunan intinya tidak teratur, perbedaannya terletak di dalam hal :
1. Panjang kepala sama dengan 3x lebar kepala
2. Ekornya mempunyai 2 inti tambahan, yang ukurannya lebih kecil daripada inti-inti
lainnya dan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan letak inti tambahan
Brugia malayi.

3. Sarungnya tidak mengambil warna pulasan Giemsa


4. Ukurannya lebih panjang daripada mikrofilaria Brugia malayi. Mikrofilaria bersifat
periodik nokturnal.
Gejala klinis dan pengobatannya menyerupai Brugia malayi
Tropical Pulmonary Eosinophilia
Keberadaan dari mikrofilaria di dalam tubuh manusia dapat menyebabkan terjadinya
tropical pulmonary eosinophilia, yaitu suatu sindroma yang disebabkan mikrofilaria yang
berada di dalam paru-paru dan kelenjar limfe dengan gejala-gejala seperti paroxysmal
nocturnal cough dengan disertai sesak nafas, demam, penurunan berat badan dan lemas.
Ronki dan rales didapatkan pada auskultasi dinding dada. Pada pemeriksaan radiologi di
dapatkan corakan bronkovaskular yang bertambah. Episode yang berulang-ulang dapat
menyebabkan fibrosis interstitial dan gangguan pernafasan kronik. Hepatosplenomegali
dan limfadenopati generalisata sering ditemukan pada anak-anak.
Diagnosis ditegakkan melalui riwayat tinggal di daerah endemik, eosinophilia
(>2000/L), gejala klinik yang khas, peningkatan serum IgE (>1000IU/Ml) dan
peningkatan titer dari antibodi antimikrofilarial. Walaupun mikrofilaria dapat ditemukan
pada jaringan paru dan kelenjar limfe, biopsi dari jaringan tidak dilakukan. Respon klinik
terhadap pemberian dietilkarbamazin (5mg/Kg/hari P.O.

BAB III
FILARIASIS KUTANEUS
A. Onchocerciasis
Penyebab penyakit ini adalah Onchocerca volvulus. Juga dikenal sebagai hanging groins,
leopard skin, river blindness, atau sowda. Gejala klinis akibat adanya microfilaria di kulit dan
termasuk pruritus, bengkak subkutaneous, lymphadenitis, dan kebutaan

Cacing dewasa berukuran panjang 10-42 mm dengan diameter 130-210 mikrometer.


Sedangkan cacing betina berukuran panjang 33,5-50 mm dengan diameter 270-400
mikrometer.
Cacing dewasa berada dalam nodulus di jaringan subkutis atau lebih dalam, biasanya timbul
di daerah pelvis, temporal dan daerah occipital. Mikrofilarianya dapat ditemukan didalam
jaringan subkutis, darah tepi, urine dan sputum.
Manson (1982) mengatakan bahwa vektor dari penyakit ini adalah sejenis lalat betina yang
disebut Black fly, yaitu golongan Simulium sp. Diduga Onchocerciasis kronis disebabkan
oleh reaksi hipersensitivitas terhadap antigen parasit, meningkatkan eosinophilia, dan
mengakibatkan serum immunoglobulin E (IgE) yang tinggi.
Manifestasi Klinik.
Trias gejala klinisnya berupa dermatitis, nodul kulit (yaitu onchocercomas), dan lesi okuler.
Lesi kulit termasuk edema, pruritus, eritema, papula, erupsi scablike, perubahan
pigmen, dan likenifikasi.
Nodul kulit biasanya diatas tulang prominens.
Lesi pada mata biasanya berkaitan dengan durasi dan beratnya infeksi dan disebabkan
respon imun hospes yang abnormal terhadap mikrofilariae. Pada mata ditemukan
keratitis punctate, pannus, fibrosis kornea, iridocyclitis, glaucoma, choroiditis, and
atropi optik.

Gambar 3.1. Nodul Subkutaneus pada pinggul oleh karena infeksi Onchocerca volvulus

Gambar 3.2. Seorang pria yang buta karena mikrofilaria Onchocerca volvulus

Gambar 3.3. Kulit dengan kronik Onchodermatitis


Diagnosa
Infeksi o.volvulus didiagnosis ketika microfilaria ditemukan pada beberapa bahan
pemeriksaan kulit dari bagian tubuh yang berbeda dari kedua sisi tubuh.
Pada kasus yang dicurigai African onchocerciasis, daerah kulit yang direkomendasikan
adalah gluteus dan betis. Pada American onchocerciasis, lebih disukai pada kulit skapula dan
deltoid.
Sedangkan pada pemeriksaan microfilaria di mata, Microfilariae O volvulus dapat ditemukan
di kornea atau mata bagian anterior dengan memakai slit-lamp
Pemeriksaan antibody filarial dengan memakai antigen rekombinan dapat digunakan untuk
mendiagnosis

immunoglobulin

G4

onchocerciasis

(IgG4).

Pada

pemeriksaan

Immunoglobulin serum, IgE serum meningkat dan IgG4 mungkin ditemukan pada pasien
dengan penyakit filaria aktif.
Dengan menggunakan ultrasonografi maka dapat dideteksi adanya Onchocercoma dan
perubahan vitreous di dalam mata.
B. Loaiasis
Penyababnya adalah cacing Loa loa. Cacing jantan memiliki panjang 30-34 mm dan lebar
0,35-0,43 mm. Sedangkan cacing betina loa-loa berukuran 40-70 mm dengan lebar 0,5 mm.
Lalat buah mangga atau deerflies dari Chrysops diduga sebagai vektor dari penyakit loaiasis.
Respon infeksi Loa loa berbeda antara penduduk daerah endemis dengan pendatang.
Pendatang dengan infeksi lebih menunjukkan gejala klinis dibandingkan penduduk daerah
endemis, meskipun dengan microfilaria level rendah. Eosinofil, IgE serum, dan level
antibody juga lebih tinggi pada pendatang.

Gambar 3.4. Vektor dari Loa loa yaitu lalat Chrysops

Gambar 3.5. Mikrofilaria dari Loa loa

Gejala infeksi Loa loa biasanya berupa bengkak-bengkak di ekstremitas bagian subkutan,
nyeri lokal, pruritus, dan urtikaria. Microfilaremia biasanya asimptomatik. Manifestasi
infeksi lainnya yang jarang termasuk arthritis, kalsifikasi payudara, meningoencephalopathy,
fibrosis endomyocardial, neuropati perifer, efusi pleura, dan retinopati. Loaiasis dapat
menimbulkan penyulit berupa lokal idiopatik angioedema bila tidak segera ditangani.

Gambar 3.6. Angioedema menyebabkan pembengkakan wajah pada seorang wanita yang
terinfeksi Loa loa
Diagnosis penyakit oleh adanya Calabar swelling, yaitu, edema subkutaneus yang besar,
noneritematous. Kebanyakan mengelilingi persendian. Selain itu mikrofilaria Loa loa dapat
ditemukan dalam darah. Dengan pemeriksaan antigen filaria dapat ditemukan adanya antigen
filarial di dalam darah perifer, dengan atau tanpa mikrofilaria.
Loa loa meningoencephalopathy
Meningoencephalopathy adalah komplikasi infeksi yang berat dan sering fatal. Sindroma
biasanya berhubungan dengan pemberian diethylcarbamazine (DEC) pada seseorang dengan
densitas microfilaremia yang tinggi, tetapi hal ini mungkin terjadi tanpa terapi obat. DEC
menyeabkan influx microfilariae dalam jumlah besar ke dalam cairan cerebrospinal,
menyebabkan obstruksi kapiler, edema cerebral, hypoxia, dan koma. Granuloma necrotizing
yang terlokalisir juga muncul sebagai respon terhadap mikrofilaria.
C. Pengobatan
DEC dalam dosis tinggi direkomendasikan untuk pengobatan Loa loa mulai hari ke 4 sampai
hari 21. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama dengan DEC patut dipertimbangkan untuk

meminimalkan timbulnya manifestasi alergi akibat mikrofilaria, terutama yang disebabkan


oleh Onchocerca volvulus dan Loa loa. Untuk mencegah timbulnya efek samping, maka
penggunaan DEC dalam terapi Onchocerciasis dan Loaiasis harus dimulai dari 50 mg dan
dinaikkan secara bertahap.
Suramin (Germanin, Antrypol, Naganinum, Naganol) dapat pula digunakan sebagai terapi
Onchocerciasis. Namun WHO merekomendasikan agar Suramin tidak diberikan pada
penderita Onchocerciasis yang sudah tua dan lemah, pasien dengan gangguan ginjal dan hati
yang berat, anak-anak kurang dari 10 tahun, orang dengan kebutaan total dan pada wanita
hamil.
Untuk Onchocerciasis, nodulektomi dengan anestesi lokal merupakan terapi yang sering
digunakan untuk mengurangi komplikasi pada kulit dan mata.

BAB IV
KESIMPULAN
Filariasis adalah kelompok penyakit yang mengenai manusia dan binatang yang disebabkan
oleh parasit kelompok nematode yang disebut filaridae., dimana cacing dewasanya hidup
dalam cairan san saluran limfe, jaringan ikat di bawah kulit dan dalam rongga badan. Cacing
dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria yang dapat ditemukan dalam darah, hidrokel, kulit
sesuai dengan sefat masing-masing spesiesnya.
Penyakit filariasis banayak ditemukan di berbagai negara tropik dan subtropik, termasuk
Indonesia. Prevalensi tidak banyak berbeda menurut jenis kelamin, usia maupun ras.
Penyakit filariasis dapat disebabkan oleh berbagai macam spesies, sehingga gambaran
klinisnya spesifik untuk masing-masing spesies, misalnya bentuk limfatik biasnya digunakan
sebagai tanda bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
dan Brugia timori, dimana parasit dapat menyumbat saluran limfe dengan manifestasi
terbentuknya elefantiasis, sedangkan Loa loa ditandai dengan calabar swelling. Onchocerca
volvulus menyebabkan kebutaan dan pruritus pada kulit.

Diagnosis penyakit ini dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah, sedangkan bila tidak
ditemukan mikrofilaria maka diagnosis dapat berdasarkan riwayat asal penderita, biopsi
kelenjar limfe, dan pemeriksaan serologis.
Prinsip terapi ialah dengan menggunakan kemoterapi untuk membunuh filaria dewasa dan
mikrofilarianya serta mengobati secara simpotomatik terhadap reaksi tubuh yang timbul
akibat cacing yang mati. Dapat juga dilakukan pembedahan.
Pencegahan penularan penyakit ini dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan seperti
DEC ataupun dengan mengontrol vektor.
Prognosa tergantung dari perjalanan penyakitnya, dimana pada kasus yang kronik memiliki
prognosa buruk.

DAFTAR PUSTAKA
Chaerudin P. Lubis, Syahril Pasaribu. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Anak. Infeksi dan
Penyakit Tropis. Edisi Pertama. 2002. Jakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 435-441
Herdiman T. Pohan. Filariasis dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III. 2004.
Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 525-529
T.H. Rampengan, I.R. Laurents. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. 1997. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 233-243
Nelson. Texbook of Pediatric edisi 17, hal 1161-1162

Anda mungkin juga menyukai