Anda di halaman 1dari 20

Makalah Imunologi Parasit

Whucereria bancrofti

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Parasitologi.

Oleh :
Febriyola P. Balay (3311151016)
Esti Kartika Wahyuni (3311161006)
Hilda Oktaviani (3311161008)
Dewi Anggraeni (3311161014)
Syifa Nursahidah (3311161027)
Ranti Yunitasari (3311161033)

Kelompok 9
Kelas AB

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI


UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis


adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing
Wuchereria bancrofti. filaria yang ditularkan melalui gigitan berbagai spesies
nyamuk. Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah diketahui
ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan
Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran
kaki, tangan, dan organ kelamin.

Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu


penyakit yang dulunya sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul
kembali. Kasus penderita filariasis khas ditemukan di wilayah dengan iklim
sub tropis dan tropis (Abercrombie et al, 1997) seperti di Indonesia. Filariasis
pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul
dan sekarang muncul kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh
Propinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000
yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231
Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus
kronis 6233 orang.

Untuk memberantas filariasis sampai tuntas, WHO sudah menetapkan


Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis
as a Public Health problem by The Year 2020) yaitu program pengeliminasian
filariasis secara masal. Program ini dilaksanakan melalui pengobatan masal
dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang
endemis dan perawatan kasus klinis untuk mencegah kecacatan. WHO sendiri
telah menyatakan filariasis sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di
dunia. Di Indonesia sendiri, telah melaksanakan eliminasi filariasis secara
bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 Kabupaten percontohan. Perluasan
wilayah akan dilaksanakan setiap tahunnya.

Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah


semata. Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif.
Dengan mengetahui mekanisme penyebaran filariasis dan upaya pencegahan,
pengobatan serta rehabilitasinya, diharapkan program Indonesia Sehat Tahun
2010 dapat terwujud salah satunya adalah terbebas dari endemi filariasis.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana cara cacing Wuchereria bancrofti merusak sel inang ?
b. Bagaimana pertahanan cacing Wuchereria bancrofti terhadap antibodi
inang ?
c. Bagaimana respon imun inang terhadap Wuchereria bancrofti ?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui cara cacing Wuchereria bancrofti merusak/menginfeksi
sel inang.
b. Untuk mengetahui pertahanan cacing Wuchereria bancrofti terhadap
sistem imun inang.
c. Untuk mengetahui respon imun inang terhadap Wuchereria bancrofti.
BAB II

ISI

2.1 Klasifikasi Cacing filaria (Wuchereria bancrofti) dan Caranya


Menginfeksi Inang

Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas


dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum
Nemathelminthes. Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang maka
disebut filarial. Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah berasal
dari genus wuchereria dan brugia. Di Indonesia cacing yang dikenal sebagai
penyebab penyakit tersebut adalah Wuchereria bancrofti, brugia
malayi, dan brugia timori.

Klasifikasi ilmiah
Kingdom : Animalia
Classis : Secernentea
Ordo : Spirurida
Upordo : Spirurina
Family : Onchocercidae
Genus : Wuchereria
Species : Wuchereria bancrofti
a. Ciri-ciri cacing Filaria :
- Cacing dewasa (makrofilaria), bentuknya seperti benang berwarna putih
kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (mikrofilaria) berbentuk
seperti benang berwarna putih susu.
- Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65 – 100 mm,
ekornya berujung tumpul, untuk makrofilarial yang jantan memiliki
panjang kurang lebih 40 mm, ekor melingkar. Sedangkan mikrofilaria
berukuran panjang kurang lebih 250 mikron, bersarung pucat.
- Tempat hidup Makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe dan kelenjar
limfe. Sedangkan pada malam hari mikrofilaria terdapat di dalam
pembuluh darah tepi, dan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler
alat-alat dalam, misalnya: paru-paru, jantung, dan hati

b. Daur Hidup Cacing Filaria ( Wuchereria bancrofti)


Siklus hidup cacing Filaria terjadi melalui dua tahap, yaitu:
- Tahap pertama, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh nyamuk sebagai
vektor yang masa pertumbuhannya kurang lebih 2 minggu.
- Tahap kedua, perkembangan cacing Filaria dalam tubuh manusia (hospes)
kurang lebih 7 bulan.
Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk
apabila nyamuk tersebut menggigit dan menghisap darah orang yang
terserang filariasis, sehingga mikrofilaria yang terdapat ditubuh penderita
ikut terhisap kedalam tubuh nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam
paskan pembungkus pada tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding
lambung dan bersarang diantara otot-otot dada (toraks). Bentuk
mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu
kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih
gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh
dan seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga tumbuh
menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva
stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula-mula ke
rongga perut (abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk
nyamuk.
Apabila nyamuk yang mengandung mikrofilaria ini menggigit
manusia. Maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (larva
stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam tubuh manusia (hospes).
Bersama-sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia, larva keluar dari
pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe
larva mengalami dua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi cacing
dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva stadium V. Cacing
filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan
menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Siklus hidup
pada tubuh nyamuk terjadi apabila nyamuk tersebut menggigit dan
menghisap darah orang yang terkena filariasais, sehingga mikrofilaria
yang terdapat di tubuh penderita ikut terhisap ke dalam tubuh nyamuk.
Cacing yang diisap nyamuk tidak begitu saja dipindahkan, tetapi
sebelumnya tumbuh di dalam tubuh nyamuk. Makhluk mini itu
berkembang dalam otot nyamuk. Sekitar 3 minggu, pada stadium 3, larva
mulai bergerak aktif dan berpindah ke alat tusuk nyamuk.Nyamuk
pembawa mikrofilaria itu lalu gentayangan menggigit manusia dan
”memindahkan” larva infektif tersebut. Bersama aliran darah, larva keluar
dari pembuluh kapiler dan masuk ke pembuluh limfe.
Uniknya, cacing terdeteksi dalam darah tepi pada malam hari,
sedangkan pada siang hari dia berada didalam kapiler alat-alat dalam
seperti pada paru-paru, jantung dan hati, selebihnya bersembunyi di organ
dalam tubuh.Pemeriksaan darah ada-tidaknya cacing biasa dilakukan
malam hari. Setelah dewasa (Makrofilaria) cacing menyumbat pembuluh
limfe dan menghalangi cairan limfe sehingga terjadi pembengkakan.
Selain di kaki, pembengkakan bisa terjadi di tangan, payudara, atau buah
zakar. Ketika menyumbat pembuluh limfe di selangkangan, misalnya,
cairan limfe dari bawah tubuh tidak bisa mengalir sehingga kaki
membesar. Dapat terjadi penyumbatan di ketiak, mengakibatkan
pembesaran tangan.
Pada saat dewasa (Makrofilaria) inilah, cacing ini menghasilkan
telur kemudian akan menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang
disebut mikrofilaria. Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah.
Larva ini dapat berpindah ke peredaran darah kecil di bawah kulit. Jika
pada waktu itu ada nyamuk yang menggigit, maka larva tersebut dapat
menembus dinding usus nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk,
kemudian setelah mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat
penusuk. Jika nyamuk itu menggigit orang, maka orang itu akan tertular
penyakit ini.

c. Gejala Klinik
Apabila seseorang terserang filariasis, maka gejala yang tampak
antara lain sebagai berikut :
- Demam berulang-ulang selama 3 - 5 hari, demam dapat hilang bila si
penderita istirahat dan muncul lagi setelah si penderita bekerja berat.
- Pembengkakan kelenjar limfe (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan. Diikuti dengan radang
saluran kelenjar limfe yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (Retrograde
lymphangitis) yang dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
- Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahandan merasa panas (Early lymphodema).

d. Diagnosa penyakit Filariasis


Bentuk menyimpang dari filariasis (eosinoffilia tropikal) ditandai
oleh hipereosinivilia, adanya microfilaria di jaringan tetapi tidak terdapat
di dalam darah, dan titer antibody antifilaria yang tinggi. Microfilaria
mungkin ditemukan di cairan limphatik. Tes serologi telah tersedia tetapi
tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Diagnosa berdasarkan gejala klinis
dan dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium :
- Deteksi parasit yaitu menemukan microfilaria di dalam darah,
cairan hirokel atau cairan chyluria pada pemeriksaan sediaan darah
tebal, teknik konsentrasi Knott dan membran filtrasi.
- Pengambilan darah dilakukan pada malam hari mengingat
periodisitas mikrofilarianya umumnya nokturna. Pada pemeriksaan
histopatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat
dijumpai pada saluran dan kelenjar limpah dari jaringan yang di
curigai sebagai tumor.
- Diferensiasi spesies dan stadium filarial, yaitu dengan
menggunakan pelacak DNA yang spesies spesifik dan antibody
monoclonal untuk mengidentifikasi larva filarial dalam cairan
tubuh dan dalam tubuh nyamuk vektor sehingga dapat
membedakan antara larva filarial yang menginfeksi manusia
dengan yang menginfeksi hewan. Penggunaannya masih terbatas
pada penelitian dan survey.
2.2 Pertahanan Wuchereria bancrofti terhadap Sistem Imun Inang
Beberapa mekanisme pertahanan yang dilakukan Wuchereria bancrofti
terhadap sistem imun iang antara lain sebagai berikut :
- Pengaruh lokasi, tidak terpajan sistem imun, misalnya di intrasel
(beberapa protozoa) dan di lumen usus halus (cacing).
- Supresi sistem imun.
- Antigen yang dilepas parasit dalam jumlah besar dapat mengurangi
efektivitas respon imun.
- Anergi sel T ditemukan pada skistosomiasis berat yang mengenai hati
dan limpa dan infestasi filaria.
- Pada filariasis limfatik, infeksi kelenjar getah bening merusak
arsitektur kelenjar dan mengakibatkan defisiensi imun.

3.3 Respon Imun Inang terhadap Wuchereria bancrofti


a. Pembentukan Kekebalan Infeksi Primer
Parasit cacing yang menginfeksi manusia meliputi berbagai
trematoda (Schistosoma), beberapa cestoda (cacing pita) dan beberapa
nematoda (Trichinella spiralis, Ascaris, Filaria, dan Ankilostoma).
Berbagai jenis parasit tersebut mempunyai siklus hidup dengan melalui
bermacam hewan perantara (vektor). Selain penyebaran geografik yang
berbeda-beda, demikian pula penyakit yang di timbulkan dapat jauh
berbeda. Semakin besar ukuran parasit yang menyerang, semakin
banyak jumlah jenis antigennya yang akan membangkitkan respon
imun tubuh. Saat sel limfosit B bertemu dengan antigen dan cocok
akan menyebabkan limfosit B membelah secara mitosis dan
menghasilkan beberapa sel limfosit B. Semua Limfosit b segera
melepaskan antibodi yang mereka punya dan merangsang sel Mast
untuk menghancurkan antigen atau sel yang sudah terserang antigen
untuk mengeluarkan histamin. 1 sel limfosit B dibiarkan tetap hidup
untuk menyimpan antibodi yang sama sebelum penyerang terjadi.
Limfosit B yang tersisa ini disebut limfosit B memori. Inilah proses
respon imun primer. Antigen yang memiliki dari beberapa parasit
bergantung pada tahap siklus hidupnya. Parasit-parasit tersebut sering
kali mempunyai siklus yang rumit dan kadang-kadang membutuhkan
vektor agar dapat pindah dari satu jenis ke inang yang lain.
Biasanya antibody efektif terhadap bentuk parasit yang hidup
dalam peredaran darah. Produksi IgE meningkat pada kasus infeksi
cacing, yang dengan aktifasi degranulasi mastosit ECF-A dapat
mendorong pengumpulan sel eosinofil yang berpotensi membunuh
cacing dalam jaringan. IgE berperan sangat penting dalam mekanisme
pertahanan, khususnya terhadap cacing. Seperti diketahui mastosit
yang diselubungi oleh molekul IgE akan terpicu melepaskan berbagai
mediator, apabila antigen pasangannya terikat pada Fab-nya. Diantara
mediator tersebut terdapat ECF (eosinophil chemotactic factor) yang
dilepaskan. Adanya ECF yang dilepaskan, sel-sel eosinofil akan
mendekati parasit yang berefek dapat membunuh Schistosomula yang
telah diselubungi oleh IgE.

b. Pembentukan Kekebalan Infeksi Sekunder


Dalam kondisi sistem yang tidak akan pernah melenyapkan
substansi, berlangsung reaksi sekunder yang merupakan respon
spesifik yang mekanismenya lebih canggih. Pada mekanisme tersebut
terdapat dua kemungkinan mekanisme efektor, yaitu mekanisme
imunitas humoral, spesifek, yang melibatkan limfosit B, dan
mekanisme imunitas seluler spesifik yang melibatkan limfosit T.
Dalam mekanisme efektor humoral diproduksi berbagai kelas
antibody, yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD, sedangkan pada
mekanisme efektor selular di produksi berbagai jenis sitokin yang akan
bekerja pada sasarannya. Pada respon sekunder ini, konfigurasi asing,
baik sebagai partikel atau mikroba seharusnya dapat secara sempurna
dilenyapkan oleh kedua jenis mekanisme efektor yang bersifat spesifik.
Respon imun sekunder ditandai jika saat antigen yang sama
menyerang kembali, Limfosit B dengan cepat menghasilkan lebih
banyak sel Limfosit B daripada sebelumnya. Semuanya melepaskan
antibodi dan merangsang sel Mast mengeluarkan histamin untuk
membunuh antigen tersebut. Kemudian, 1 limfosit B dibiarkan hidup
untuk menyimpan antibodi yang ada dari sebelumnya. Hal ini
menyebabkan kenapa respon imun sekunder jauh lebih cepat daripada
respon imun primer.
Dipihak lain limfosit T yang menghasilkan limfokin, sangat
penting untuk mengaktifkan sel makrofag agar dapat membunuh
parasit secara intraseluler. Biasanya sel-sel penghasil limfokin sangat
berperan dalam mekanisme pertahanan, namun lebih penting lagi
perbandingan dengan populasi lainnya. Tetapi limfosit TCD8+ juga
mempunyai peran protektif terhadap infeksi cacing.
Apabila dilihat dari peran sel imun secara lebih detail dalam
perlawanan terhadap infeksi Wuchereria bancrofti, mekanisme
pertahanan inang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Peran Granulosit
Granulosit merupakan kelompok leukosit yang beredar dalam
darah atau jaringan yang memiliki granul yang padat dalam sitoplasmanya.
Granul-granul tersebut akan memberi gambaran yang spesifik ketika
diwarnai dalam sediah darah. Granulosit disebut juga dengan sel
polymorphonuclear (PMN) karena intinya tidak beraturan. Granulosit
mencakup netrofil, eosinophil. dan basophil yang kemudain
berdiferensiasis menjadi sel mast dalam jaringan. Granulosit terlibat dalam
respon imun terhadap infeksi filaria dan sangat penting bagi penghancuran
pada fase awal ketika cacing masuk ke dalam tubuh manusia. Selain itu,
sel-sel tersebut memainkan peran penting pada perkembangan patologi
penyakit. Peran beberapa jenis granulosit yang diketahui penting selama
proses infeksi filariasis akan dibahas di bawah ini. Selain itu sel mast yang
memiliki karakteristik mirip dengan granulosit juga akan dibahas pada
bagian berikut ini.
1. Netrofil
Netrofil adalah sel efektor dari sistem kekebalan tubuh bawaan yang
berumur pendek serta penting dalam imunitas terhadap patogen
ekstraseluler termasuk selama fase awal infeksi filariasis. Netrofil
merupakan sel yang pertama sekali dikerahkan ke tempat infeksi
selama fase peradangan akut. Kemampuan netrofil untuk bertindak
sebagai efektor terhadap kuman patogen menggunakan beberapa
mekanisme, yaitu: aktivitas fagositosis, pelepasan enzim litik yang ada
dalam granul netrofil, dan dalam memproduksi zat anti- mikroba
seperti reactive oxygen intermediate (ROI) dan reactive oxygen
species (ROS). Aktivasi neutrofil umumnya diperantarai oleh aktivitas
bakteri dan menyebabkan pelepasan sitokin pro inflamasi seperti
Interleukin 1 Beta (IL-1β), Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis
Factor Alpha (TNFα). Pelepasan sitokin pro-inflamasi serta aktivasi sel
yang menetap di tempat infeksi seperti makrofag dan sel mast
menyebabkan induksi peradangan akut dan perekrutan netrofil
tambahan serta sel-sel lain seperti monosit dan limfosit ke tempat
infeksi. Pada respon imun tipe 2 yang terjadi pada infeksi cacing
termasuk cacing filaria, aktivasi netrofil dan pelepasan sitokin pro-
inflamasi juga ikut menyebabkan migrasi eosinofil dan basofil ke
tempat infeksi.

Beberapa penelitian telah menunjukkan peran netrofil pada infeksi


filariasis. Dalam penelitian-penelitian tersebut dijelaskan bahwa
netrofil penting untuk perlindungan (terutama dalam membunuh
cacing) serta pada perkembangan patologi penyakit. Netrofil terlibat
dalam penghancuran cacing filaria setidaknya dengan dua cara yaitu
secara langsung oleh aktivitas fagositosis dan secara tidak langsung
dengan metode enkapsulasi dalam granulomata. Beberapa studi bahkan
menunjukkan pentingnya netrofil dalam penghancuran cacing filaria
pada stadium larva dan cacing dewasa dengan kedua cara tersebut
yang terjadi selama fase kronis infeksi Litomosoides sigmodontis dan
Brugia pahangi. L. sigmodontis dan B. pahangi adalah spesies
nematoda pada binatang pengerat yang aspek parasitologi dan
imunologinya mirip dengan infeksi nematoda patogen pada manusia
sehingga digunakan sebagai model penelitian filariasis. Dalam sebuah
penelitian, Porthouse dan koleganya menunjukkan bahwa netrofil
ditemukan di tempat suntikan setelah 3 jam pasca inokulasi L3 B.
pahangi ke dalam tubuh Gerbil. Penelitian ini melaporkan terjadinya
pengurangan sekitar 80% dari total larva yang disuntikkan serta
terdapat netrofil dalam jumlah besar di tempat peradangan tersebut.
Mereka menyebutkan bahwa peningkatan aktivasi dan akumulasi
netrofil ini disebabkan oleh peningkatan perlepasan Wolbachia
(bakteri yang terdapat dalam tubuh cacing dan bersimbiosis
dengannya) setelah atau sebelum kematian larva filaria.

Kemampuan netrofil dalam membunuh cacing dewasa secara in vivo


sangat tergantung kepada sitokin Interferon Gamma (IFN). IFN
menyebabkan peningkatan produksi TNFα yang menyebabkan aktivasi
netrofil. Aktivasi netrofil tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas
kemotaksis dan fagositosis yang meningkatkan penghancuran cacing
oleh netrofil. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menunjukkan
peningkatan jumlah cacing L. sigmodontis pada mencit kekurangan
IFN (IFN knock out) dibanding mencit normal (wild type) pada hari
ke 80 pasca infeksi. Selain itu, netrofil diperlukan untuk pembentukan
granulomata yang juga menyebabkan penghancuran cacing filaria.
Sebuah penelitian model infeksi filariasis menggunakan cacing L.
sigmodontis pada mencit BALB/c menunjukkan bahwa terjadi
pengurangan netrofil pada granulomata setelah penyuntikan anti-
granulocyte colony stimulating factor (G- CSF) menyebabkan
gangguan pembunuhan cacing pada mencit meskipun masih terdapat
eosinofil dalam granulomata.
2. Eosinofil
Eosinofil adalah granulosit yang berkembang dalam sumsum tulang.
Eosinofil berperan sebagai sel efektor, sel penyaji antigen (antigen
presenting cell, APC) yang 'tidak profesional', berperan dalam
meningkatkan respon imun humoral serta dalam menyebabkan
patologi penyakit. Eosinofil terutama terlibat dalam mekanisme efektor
pada infeksi cacing dan penyakit alergi. Peran eosinofil dalam respon
imun tubuh terhadap parasit masih dalam perdebatan dan mungkin
tergantung pada spesies cacing. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa eosinofil tidak memiliki peran pada imunitas tubuh terhadap
cacing Schistosoma mansoni atau induksi patologi pada tubuh
penjamu. Sebaliknya, penghilangan eosinofil pada infeksi
Strongyloides stercoralis dan Angiostrongylus cantonesis
menyebabkan peningkatan ketahanan hidup parasit. Studi in vitro
menunjukkan bahwa eosinofil mampu membunuh cacing S. Mansoni
stadium-stadium awal serta nematoda lainnya seperti Haemonchus
contortus, baik pada manusia maupun pada mencit. Peran eosinofil
pada infeksi filariasis masih belum jelas akibat hasil bertentangan
ditemukan dalam beberapa penelitian. Beberapa studi menunjukkan
bahwa Interleukin-5 (IL-5) dan eosinofil penting pada eliminasi cacing
dan perlindungan (protective immunity) terhadap infeksi cacing filaria
pada mencit yang telah vaksinasi dan infeksi primer. Dalam studi ini,
migrasi eosinofil ke jaringan subkutan meningkat pada mencit yang
telah divaksinasi sebelum penyuntikan larva L. sigmodontis. Hal ini
menyebabkan penurunan jumlah cacing pada mencit yang telah
divaksinasi. Lebih lanjut, studi ini juga memaparkan peran eosinofil
selama infeksi primer L. sigmodontis. Le Goff dan kawan-kawan
menunjukkan bahwa peningkatan eosinofil dalam jaringan (eosinofilia)
pada infeksi primer L. sigmodontis terjadi setelah 3 minggu pasca
infeksi. Hasil ini menunjukkan bahwa eosinofil menjadi kurang
penting pada minggu pertama infeksi primer, tidak seperti pada mencit
yang telah divaksinasi. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan
bahwa eosinofil membantu dalam penghancuran cacing filaria pada
infeksi primer fase kronis, tetapi tidak pada masa-masa awal setelah
infeksi. Berkebalikan dengan kesimpulan beberapa penelitian yang
menyatakan peran perlindungan yang dilakukan oleh eosinofil selama
infeksi filariasis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebuah studi
oleh Babayan dan koleganya menunjukkan bahwa eosinofilia akibat
IL-5 mempercepat pertumbuhan cacing filaria pada stadium awal
(larva). Penelitian ini menyatakan bahwa mencit yang kekurangan
eosinofil menunjukkan percepatan pertumbuhan dan perkembangan
cacing. Peran perlindungan terhadap infeksi filariasis dilakukan oleh
eosinofil melalui penghancuran cacing filaria secara langsung dan
tidak langsung dengan melepaskan beberapa protein atraktan,
meskipun mekanisme pasti bagaimana eosinofil mampu membunuh
cacing filaria masih belum diketahui. Sebuah mekanisme yang
diusulkan baru- baru ini adalah bahwa eosinofil melepaskan protein
bergranul yang dapat bertindak sebagai enzim penghancur protein
(protease) seperti eosinophil peroxidase (EPO) dan major basic protein
(MBP). Dalam sebuah penelitian menggunakan model infeksi L.
sigmodontis, jumlah cacing yang terdapat dalam mencit yang telah
dihilangkan EPO dan MBP (EPO/MPO knockout mice) secara
signifikan lebih banyak dibandingkan dengan jenis mencit biasa (wild
type mice). Eosinofil membutuhkan stimulus yang sesuai untuk
aktivasi dan infiltrasinya ke tempat infeksi, termasuk sitokin IL-5 dan
kemokin eotaksin. Selain itu, IL-5 juga penting dalam perkembangan
dan kelangsungan hidup eosinofil. IL-5 adalah sitokin utama yang
diproduksi oleh sel T helper 2 (Th2) sebagai respon terhadap infeksi
cacing filaria.

3. Basofil
Basofil memiliki jumlah sel yang lebih sedikit dalam darah
dibandingkan netrofil dan eosinophil. Sama seperti netrofil dan
eosinophil, Basofil mempunyai granul yang berisi enzim dan protein
toksik yang dilepaskan jikalau sel tersebut teraktivasi. Peran utama
basofil adalah pada penyakit alergi. Walaupun demikian, sama seperti
eosinophil, basofil juga seharusnya memainkan peran penting dalam
perlindungan terhadap infestasi cacing, yang ukurannya terlalu besar
untuk difagositosis oleh netrofil maupun makrofag. Basofil merupakan
populasi sel yang sulit untuk di pelajari karena jumlahnya yang sedikit
serta masa hidupnya yang singkat.

Berkebalikan dengan peran Basofil pada penyakit parasit lain,


beberapa penelitian menunjukkan bahwa peran basofil tidak terlalu
signifikan pada penyakit filariasis. Beberapa studi melaporkan bahwa
Basofil melepaskan mediator histamin intraselular dan Interleukin-4
(IL-4) akibat respon pengikatan dengan FcεR (reseptor permukaan sel)
setelah terjadinya reaksi silang dengan Immunoglobulin E (IgE)
terutama IgE spesifik filarisis. Beberapa penelitian lainnya pada model
L. sigmodontis juga mendukung kesimpulan bahwa IL-4 diproduksi
oleh Basofil pada infeksi L. sigmodontis menyebabkan peningkatan
produksi IgE sehingga penghilangan basofil menyebabkan penurunan
IgE total dan IgE spesifik, eosinofilia dan proliferasi Sel T CD4+
secara signifikan. Mekanisme respon basofil yang signifikan pada
penyakit filariasis masih belum jelas karena penghilangan basofil tidak
memiliki efek pada jumlah cacing L. sigmodontis. Peran Basofil
mungkin hanya pada peningkatan respon Th2 saja.

b. Sel Mast

Meskipun sel mast tidak termasuk sel granulosit, menjadi penting untuk
membahas sel mast karena sel tersebut memiliki karakteristik yang hampir
sama dengan sel granulosit seperti basofil dan eosinofil. Sel mast juga
memiliki mekanisme aksi dan fungsi yang hampir sama dengan kedua
jenis granulosit tersebut. Sel mast merupakan sel hematopoietik bergranul
yang multifungsi, berada di hampir semua jaringan dan biasanya
ditemukan di seluruh jaringan barier seperti kulit dan mukosa serta di
lokasi perivaskular dalam jaringan (16). Karena berada di tempat- tempat
yang strategis serta kemampuannya dalam melepaskan mediator inflamasi
secara cepat, sel mast berkontribusi sebagai pertahanan pertama terhadap
patogen.

Selain itu, sel mast mengekspresikan beberapa reseptor permukaan sel


seperti reseptor berafinitas tinggi (FcεRI) untuk IgE, FcγRIII untuk IgG,
reseptor-reseptor komponen komplemen dan berbagai reseptor menyerupai
Toll (Toll-like receptors, TLRs). Hal ini menunjukkan kemampuan sel
mast untuk berespon terhadap berbagai stimulus baik yang bersifat
endogen maupun eksogen, seperti alergen, cedera jaringan, virus, jamur,
parasit dan antigen bakteri. Reaksi silang dari IgE yang terikat FcεRI
dengan antigen di permukaan sel baik bersifat host maupun non host
menyebabkan aktivasi dan degranulasi sel mast yang mengakibatkan
pelepasan protein-protein dalam granul serta sekresi mediator-mediator
inflamasi, lipid, sitokin dan kemokin seperti histamin, prostaglandin,
leukotrien, bradikinin, Faktor-Faktor Pertumbuhan Endotel Vaskular
(vascular endothelial growth factors, VEGFs) dan sitokin pro- inflamasi
seperti TNFα dan IL-6, meskipun sekresi sitokin dapat terjadi tanpa proses
degranulasi. Histamin dan leukotrien penting untuk permeabilitas
pembuluh darah sementara leukotrien memiliki fungsi tambahan dalam
perekrutan eosinofil ke tempat peradangan. Prostaglandin dan VEGFs ini
menjadi penting nantinya untuk proses pertumbuhan dan perkembangan
pembuluh darah (angiogenesis).

Aktivasi sel mast dikaitkan dengan respon imun tipe 2 yang ditandai
dengan adanya sel-sel Th2 dan sitokin, peningkatan kadar IgE dan
eosinofil dalam darah atau jaringan (eosinofilia).

Imunitas tipe 2 ini terutama terjadi pada penyakit alergi dan infeksi cacing.
Berbeda dengan penyakit alergi dimana sel mast hanya menimbulkan efek
patologis untuk tubuh manusia, pada penyakit cacing, sel mast berperan
penting baik dalam menimbulkan efek patologi maupun meningkatkan
perlindungan imun terhadap cacing.

Pada infeksi nematoda, sel mast penting pada fase awal dan fase akhir dari
infeksi. Selama fase awal infeksi, sel mast berperan signifikan dalam
proses sekresi IL-4 dan IL-13 sebagai respon tubuh terhadap cacing seperti
protease atau terhadap inang seperti anafilatoksin dan sitokin lain (IL-18,
IL- 33, TSL dan IL-3). Baru-baru ini dilaporkan pada model filariasis
bahwa aktivasi dan degranulasi sel mast krusial selama fase awal infeksi.
Komponen bakteri endosimbion Wolbachia, baik yang berasal dari larva
hidup atau mati, dilaporkan mampu meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah pada kulit mencit yang terinfeksi L. sigmodontis melalui stimulasi
TLR2. Mekanisme ini melibatkan CCL17 (kemokin terkait sel limfosit T)
karena dengan penghilangan CCL17 menyebabkan peningkatan aktivasi
dan degranulasi sel mast sehingga menyebabkan peningkatan jumlah
cacing pada mencit yang terinfeksi setelah 10 hari pasca infeksi. Respon
yang melibatkan sel mast berbeda dengan reaksi alergi karena tidak
berkaitan dengan IgE.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Wuchereria bancrofti menginfeksi inang melalui dengan cara mikrofilaria
yang sudah berbentuk larva infektif (larva stadium III) secara aktif ikut
masuk kedalam tubuh manusia (hospes), bersama-sama dengan aliran darah
dalam tubuh manusia, larva keluar dari pembuluh kapiler dan masuk ke
pembuluh limfe dan mengakibatkan pembengkakan.
b. Cara Wuchereria bancrofti bertahan dari sistem imun inang yaitu dengan
sembunyi di organ yang tidak terpajan sistem imun, supresi sistem imun,
melepas antigen dalam jumlah besar, dan merusak struktur kelenjar limfatik
agar terjadi defisiensi imun.
c. Respon imun inang terhadap Wuchereria bancrofti dilakukan dengan
membentuk kekebalan terhadap infeksi primer dan kekebalan terhadap
infeksi sekunder serta dengan memanfaatkan mekanisme dari sel granulosit
dan sel mast.
DAFTAR PUSTAKA

Kresno, Siti B. 2003. Imunologi : Diagnosis Dan Prosedur Laboratorium.


Jakarta : Penerbit FKUI.

Muhsin, Safarianti, dan Maryatun. 2017. Peran Sel Granulosit pada Penyakit
Filariasis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.

Purwantyastuti, Ridad Agoes et al. 2007. Pedoman Penatalaksanaan Reaksi


Samping Pengobatan Filariasis. Jakarta : Depkes RI.

Sobowo. 2010. Imunologi Klinik. Bandung : Penerbit Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai