Anda di halaman 1dari 13

XENOPSYLLA CHEOPIS SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT PES (STUDI

KASUS PES DI DUSUN SULOROWO, KABUPATEN PASURUAN, JAWA


TIMUR BULAN AGUSTUS 1997)

Disusun oleh

Nama : Emawati Fatima

NIM : 25010115140332

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit pes merupakan penyakit yang menular dan dapat
mengakibatkan kematian (Marisa, 20017). Tikus merupakan reservoir dan
pinjal merupakan vector penularnya, sehingga penularan ke manusia dapat
terjadi melalui gigitan pinjal atau kontak langsung dengan tikus yang terinfeksi
bakteri Yersinia pestis (Jawetz, 2005). Pemerintah Indonesia dan dunia sepakat
untuk memasukkan penyakit pes sebagai penyakit karantina dan penyakit re-
emergensi disease. Penyakit re-emergensi disease yaitu penyakit yang
sewaktu-waktu menular dan menimbulkan kejadian luar biasa. Indikator
Kejadian Luar Biasa (KLB) pes yaitu apabila terjadi peningkatan empat kali
lipat pemerikasaan spesimen secara serokonversi, Flea Indek (FI) umum lebih
besar atau sama dengan 2 dan Flea Indek (FI) khusus lebih besar atau sama
dengan 1, ditemukan bakteri Yersenia pestis dari pinjal, tikus, tanah, sarang
tikus, bahan organik lain, dan manusia hidup maupun mati. Untuk
mengendalikan KLB pes ini, maka perlu dilakukan survailens pada daerah
epizootic pes. Kegiatan survailens pes pada daerah epizootic pes bertujuan
untuk mengendalikan penyakit pes, yaitu untuk mempertahankan kasusnya
agar selalu nol, mencegah penularan dari daerah fokus ke daerah sekitar,
memantau agar tidak terjadi relaps, dan mencegah masuknya pes dari luar
negeri. Dalam makalah ini penulis mencoba mengkaji vektor penyakit Pes
patogenesis, serta pencegahan dan pengendaliannya.

B. Tujuan
1. Mengetahui vektor penyakit Pes (Xenopsylla cheopis)
2. Mengetahui patofisiologi penyakit Pes
3. Mengetahui cara mencegah dan mengendalikan penyakit Pes
C. Manfaat
1. Menambah wawasan terkait vektor penyakit Pes (Xenopsylla cheopis)
2. Menambah wawasan terkait patofisiologi penyakit Pes
3. Menambah wawasan terkait cara pencegahan dan pengendalian Pes.
BAB II

ISI

A. Studi Kasus
Dusun Sulorowo merupakan salah satu daerah enzootik pes di perbukitan
Tengger Bromo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Pada bulan Agustus 1997
dilaporkan adanya kasus penderita pes, sebanyak 6 orang penduduk dengan gejala
demam, muncul bubo (kelenjeran) pada lipatan paha. Dua orang menunjukkan
gejala batuk dan seorang diantaranya batuk disertai darah. Dilaporkan pula bahwa
flea index (FI) yang ditemukan sangat rendah yaitu 0.5, narnun terdapat pinjal
positif mengandung Yersina pestis. Hal ini menunjukkan tidak adanya epidemi
sepanjang adanya pinjal bebas berkeliaran. Hal demikian bila terjadi plaqque
pulmonal type maka terbukalah kemungkinan yang lebih mengerikan yaitu dari
manusia ke manusia berupa pneumonia plaqque.
Ditemukannya pinjal positif Y. pestis menggambarkan masih
berlangsungnya penularan di dunia rodent yang menggambarkan sekaligus
terselenggaranya enzootic plaqque, bahkan masih terpeliharanya epizootic dan
enzootic plaqque yang menjadi ancaman laten akan munculnya epidemi pes.
Peran rodent (tikus) dalam penularan pes nampaknya belum disadari betul
oleh penduduk dusun Sulorowo. Berdasarkan pengamatan tercermin dari kondisi
lingkungan di dusun Sulorowo sangat menunjang terjadinya wabah penularan pes
di masyarakat setempat. Ditinjau dari aspek lingkungan biologi di dusun tersebut
banyak terdapat daerah fokus tikus sebagai reservoir pinjal penular pes yang
sewaktu-waktu berperan terhadap terjadinya wabah pes. Ada dugaan masih
terjadinya kesinambungan penyakit pes di dunia rodent karena selalu tersedia
makanan yang terletak di batas antara rodent dan kehidupan manusia dalam ha1 ini
adalah di permukiman penduduk. Pada saat bahan makanan tikus berkurang di
habitatnya maka tikus-tikus tersebut berusaha mendapatkan bahan makanan dekat
permukiman penduduk berupa sisa makanan atau hasil panen yang tersimpan di
rumah-rumah penduduk.
Masalah penyakit pes pada dasarnya adalah masalah manusia sebagai host
dikaitkan dengan kesehatan lingkungan yang menyangkut rodent, pinjal dan habitat
rodent, dan berdasarkan hasil pengamatan selintas, tahun 1997 masyarakat dusun
Sulorowo rnerupakan masyarakat yang masih tradisional. Ciri masyarakat
tradisional menurut Widyaprakosa, S, masih terikat dengan lingkungan alam
maupun lingkungan sosialnya. Aspek sosial budaya terutama mengenai sikap dan
kebiasaan penduduk serta faktor latar belakang yang meliputi nilai, kepercayaan,
adavtradisi serta persepsi penduduk terhadap penyakit pes diduga ikut berperan
dalam penularan atau munculnya wabah penyakit tersebut di dusun Sulorowo.

B. Klasifikasi Penyebab (Yersinia pestis)


Pes mcrupakan penyakit karantina internasional di Indonesia tennasuk
penyakit yang timbul kembali (reemerging disease) dan dapat menyebabkan
kejadian luar biasa. Penyakit pes itu dapat ditularkan langsung maupun tidak
langsung. Secara tidak langsung pes ditularkan melalui gigitan vektor yakni pinjal
positif Yersinia pestis. Menurut WHO dalam Plague Manual: Epidemiology,
Distribution, Surveillance and Control, pinjal yang mcrupakan vektor pes adalah
Xenopsylla cheopis dan Stivalius cognatus. Proses itu terjadi ketika tikus yang
terinvestasi pinjal (terinfeksi Yersinia pestis) mati, kemudian pinjal positif Yersinia
pestis itu akan scgera meninggalkan tikus dan menggigit orang sehat. Proses
Penularan ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Pinjal
Tikus mati Pinjal positif Penderita
Tikus sehat mengigit
karena Pes PES PES
orang sehat

Gambar 2.1 Tahapan penularan penyakit PES


C. Klasifikasi Vektor (Xenopsylla cheopis)
1. Taksonomi
Xenopsylla cheopis merupakan pinjal yang secara taksonomi termasuk
dalam Filum Arthropoda, Kelas Insekta, Ordo Siphonaptera, Family:
Pulicidae. Secara umum, ciri-ciri pinjal yang termasuk Xenopsylla cheopis
adalah :
1) Tidak bersayap
2) Kaki sangat kuat dan panjang, berguna untuk meloncat
3) Mempunyai mata tunggal
4) Tipe menusuk dan mengisap
5) Segmentasi tubuh tidak jelas (batas antara kepala - dada tidak jelas)
6) Ektoparasit pada hcwan berdarah panas (mamalia, burung,dll)
7) Ukuran ± 1,5-3,3mm
8) Metamorfosis sempurna, yaitu telur - larva - pupa – dewasa

Gambar 2.2 Xenopsylla cheopis

2. Morfologi
1) Morfologi telur :
a. Berwarna putih berkilat, melekat pada bulu-bulu perumah atau pada
sarang
b. Dikeluarkan setelah 2 hari makan darah
c. Dewasa betina mengeluarkan 600 biji telur sepanjang hayat
d. Telur dikeluarkan satu persatu dalam kumpulan
e. Telur menetas diantara 2 hari-2 minggu bergantung kepada
persekitaran
f. Optimal pada suhu 18-35⁰C dan kelembapan bandingan 70-80%
g. Larva keluar dari kulit telur dengan memecahkan kulit
menggunakan duri hadapan yang digelar duri penetas.
2) Morfologi Larva :
a. 13 segmen
b. Tidak berkaki
c. Mulut untuk mengunyah
d. Larva makan bahan organik dari perumah dan alam sekitar
e. Ada spesies yang makan najis yang mempunyai sedikit darah yang
tidak dicerna
f. Larva mempunyai sifat meminta makanan dengan cara mengekori
dewasa dan mintanya keluarkan najis/tinjanya
g. 3 instar - Larva instar III membina “cocoon” dan menjadi pupa
h. Panjang larvanya sekitar 4,5mm menyerupai ulat putih, tidak
mempunyai mata dan kaki, masing-masing larva mempunyai empat
belas segmen bulu.
3) Morfologi Dewasa
a. Kapsul dari kepala kutu sangat termodifikasi. Kepalanya tinggi dan
sempit.
b. Xenopsilla Cheopis atau sering disebut kutu tikus, tidak memiliki
genal combs maupun pronotal combs. Karakteristik ini digunakan
untuk membedakan Xenopsilla Cheopis dengan kutu lainnya.
c. Kutu ini memiliki panjang tubuh sekitar 1,5mm sampai 4mm.
d. Antena Kutu ada di dalam antennae fossal. Antennae fossal
membagi kepala menjadi bagian anterior dan posterior.
e. Tidak bersayap. Thorax terdiri dari tiga segmen termodifikasi. Kutu
memiliki kaki yang panjang, kaki belakang adalah organ utama
untuk melompat.
f. Abdomen dari kutu memiliki 10 segmen.
g. Mulutnya digunakan untuk dua tujuan. Yang pertama untuk
menyemburkan air liurnya atau sebagian darah cerna melalui
gigitan. Yang kedua untuk menghisap darah dari host.
3. Habitat
Xenopsylla cheopis sering dijumpai pada tikus hidup di daerah tropis
dan dalam lingkungan yang hangat di seluruh dunia. Hots tetap dari kutu
tikus ini adalah hewan pengerat, primata dan kadang-kadang manusia.
Tetapi yang paling umum, host kutu ini adalah pada tikus besar cokelat.
Xenopslla cheopis biasanya dijumpai pada daerah tropikal dan subtropikal.
Xenopsylla cheopis jarang ditemukan di daerah dingin sejak memerlukan
iklim tropikal/subtropikal untuk kutu tersebar merata di kota besar. Kutu
adalah parasit yang menggelikan, mereka tinggal di sarang daripada
hostnya. Pakaian dan kasur adalah rumah yang sempurna untuk kutu-kutu
ini. Kutu hanya menyerang host-nya ketika kutu tersebut menghisap darah,
di lain waktu mereka akan hidup bebas pada host-nya. Xenopsylla cheopis
suka bersembunyi dicelah-celah rambut, bulu hewan, kawasan berpasir,
dan dicelah retakan dinding.
4. Siklus Hidup
Metamorfosis yang dimiliki oleh Xenopsylla cheopis adalah
metamorfosis sempurna, yaitu: Telur – larva – pupa – dewasa.

Gambar 2.3 Siklus Hidup Xenopsylla cheopis


Xenopsylla cheopis bertelur 300-400 butir selama hidupnya. Kutu
betina meletakkan telur diantara rambut maupun di sarang tikus. Telur
menetas dalam waktu 2 hari sampai beberapa minggu, tergantung suhu dan
kelembaban. Telur menetas menjadi larva, kadangkadang larva terdapat di
lantai, retak-retak pada dinding, permadani, sarang tikus, dll. Larva-larva
hidup dari segala macam sisa-sisa organik dan mengalami 3 kali pergantian
kulit, berubah menjadi pupa (dibungkus dengan kokon pasir dan sisa-sisa
kotoran lain), lalu menjadi kutu. Dalam waktu 24 jam kutu sudah mulai
menggigit dan menghisap darah.
Kutu, sama halnya dengan serangga holometabolus, mempunyai
siklus hidup empat bagian terdiri dari telur, larva, pupa, dan dewasa. Telur
dilepaskan oleh kutu betina di lingkungan. Telur menetas menjadi larva
sekitar 3-4 hari dan makanannya berasal dari reruntuhan organik di
lingkungannya. Larva nantinya akan menjadi pupa. Tingkatan untuk
menjadi larva kemudian pupa yang sempurna membutuhkan waktu sekitar
3-4 minggu. Sesudah itu, menjadi dewasa dari bentuk pupa, dan mencari
darah panas dari host untuk makanan darah.
Telur biasanya diletakkan di reruntuhan, tidak pada hewan. Telur
menetas setelah kira-kira 5 hari (jaraknya 2-14 hari tergantung kondisi
lokal). Larva yang muncul menghindari cahaya dan makan dengan aktif
pada reruntuhan organik dan dapat juga makan pada manusia atau hewan.
Panjang dari tingkatan larva tergantung dari kondisi lokal. Hal penting dari
faktor lingkungan adalah kelembaban dan larva dapat mati jika keluar dari
jarak batas. Setelah masanya dapat melebihi 200 hari, larva pupa dengan
dewasa muncul setelah sekitar 14 hari. Kebanyakan kutu dapat muncul
terlambat jika mereka tidak menemukan host yang cocok.

D. Patofisiologi Penyakit
Pes pada manusia yang didapat secara alamiah terjadi karena masuknya
manusia ke dalam siklus zoonotik (sylvatic) selama atau setelah terjadi
penyebaran epizootik, atau masuknya binatang pengerat sylvatic atau pinjal
yang terinfeksi ke dalam habitat manusia dengan menulari tikus domestik dan
pinjalnya. Penularan Pes dapat terjadi melalui beberapa cara penularan yaitu
penularan secara eksidental (Orang-orang pekerja hutan, perekreasi, camping
yang digigit pinjal tikus hutan), penularan pada orang yang berhubungan erat
dengan tikus hutan (peneliti di hutan) terkena darah atau organ tikus terinfeksi,
penularan dari gigitan pinjal terinfeksi karena mengigit tikus
domestik/komersial yang mengandung kuman pes, penularan dari gigitan
pinjal terinfeksi karena mengigit tikus hutan komersial yang mengandung
kuman pes, penularan dari manusia ke manusia melalui pinjal manusia dan
penularan pes paru-paru manusia ke manusia melalui droplet.
Bila pinjal menggigit hewan pengerat yang terinfeksi dengan Y. pestis,
organisme yang termakan akan berkembang biak dalam usus pinjal itu dan,
dibantu oleh koagulase menyumbat proventrikulusnya sehingga tidak ada
makanan yang dapat lewat. Karena itu, pinjal lapar dan ususnya tersumbat
sehingga akan menggigit dengan ganas dan darah yang dihisapnya
terkontaminasi Y. pestis dari pinjal, darah itu dimuntahkan dalam luka gigitan.
Organisme yang diinokulasi dapat difagositosis, tetapi bakteri ini dapat
berkembang biak secara intra sel atau ekstra sel. Y. pestis dengan cepat
mencapai saluran getah bening, dan terjadi radang haemorrogic yang hebat dan
kelenjar-kelenjar getah bening yang membesar, yang dapat mengalami
nekrosis. Meskipun infasinya dapat berhenti di situ Y. pestis sering mencapai
ke aliran darah dan tersebar luas.
Ada tiga bentuk pes pada manusia, yakni :
1. Bubonik ; Pes bubonik terjadi karena gigitan serangga yang mengandung
basil pes. Bakteri ini masuk melalui sistem limfatik ke nodus limfatikus
terdekat. Peradangan terjadi di nodus limfatikus, kemudian diikuti
pembentukan bubo, yakni reaksi tubuh akibat masuknya basil pes Yersinia
pestis melalui kulit ke dalam nodus limfatikus
2. Septikemik ; Septikemik adalah bentuk pes yang terjadi ketika infeksi
menyebar secara langsung melalui aliran darah. Bentuk ini biasanya
mematikan jika tidak diberikan terapi antibiotik.
3. Pneumonik ; Pes pneumonik adalah infeksi paru-paru yang disebabkan
oleh basil pes. Pes jenis ini rasio kematiannya juga sangat tinggi.
E. Pencegahan & Pengendalian
Pencegahan penyakit ini adalah dengan mengendalikan populasi tikus
dan populasi pinjal. Pengendalian tikus adalah dengan menghilangkan tempat-
tempat yang berpotensi menjadi sarang tikus. Pengendalian pinjal dapat
dilakukan dengan menggunakan predator pinjal dan larvanya seperti semut dan
kumbang. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah:
1. Penyuluhan tentang pentingnya kebersihan lingkungan guna memperkecil
tempat hidup vektor.
2. Sosialisasi mengenai perbaikan rumah masyarakat agar tidak mudah
menjadi sarang tikus.
3. Memperbaiki kondisi lingkungan agar tetap sehat dan bersih.
4. Bagi masarakat pecinta alam ataupun yang senang berburu, diharuskan
untuk menggunakan peralatan seadanya agar terhindar dari gigitan tikus.
Bagi petugas di gudang-gudang penyimpanan ataupun di pelabuhan,
diharuskan untuk menggunakan APD.
5. Bagi petani diharapkan untuk menggunakan insektisida guna
pemberantasan hama tikus.
6. Membuka beberapa buah genting pada siang hari atau memasang genting
kaca sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah sebanyak-
banyaknya.
7. Menyimpan bahan makanan dan makanan jadi di tempat yang tidak
mungkin dicapai atau mengundang tikus.
8. Melaporkan kepada petugas puskesmas bilamana menjumpai adanya tikus
mati tanpa sebab yang jelas.
9. Tinggi tempat tidur lebih dari 20cm dari tanah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pes mcrupakan penyakit karantina internasional di Indonesia tennasuk
penyakit yang timbul kembali (reemerging disease) dan dapat menyebabkan
kejadian luar biasa. Penyakit pes itu dapat ditularkan langsung maupun tidak
langsung. Secara tidak langsung pes ditularkan melalui gigitan vektor yakni
pinjal positif Yersinia pestis. Menurut WHO dalam Plague Manual:
Epidemiology, Distribution, Surveillance and Control, pinjal yang mcrupakan
vektor pes adalah Xenopsylla cheopis dan Stivalius cognatus. Proses itu terjadi
ketika tikus yang terinvestasi pinjal (terinfeksi Yersinia pestis) mati, kemudian
pinjal positif Yersinia pestis itu akan scgera meninggalkan tikus dan menggigit
orang sehat. Pencegahan penyakit ini adalah dengan mengendalikan populasi
tikus dan populasi pinjal. Pengendalian tikus adalah dengan menghilangkan
tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang tikus. Pengendalian pinjal dapat
dilakukan dengan menggunakan predator pinjal dan larvanya seperti semut dan
kumbang
B. Saran
1. Hendaknya masyarakat tetap mempertahankan kebersihan lingkungan agar
terhindar dari berbagai jenis penyakit yang membahayakan.
2. Pihak pemerintah harus lebih memperhatikan rakyat di semua lapisan
secara merata untuk bisa memberikan fasilitas yang menunjang kesehatan
bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/1142/486, yang diakses


tanggal 6 Juni 2018.
http://dinkes.kulonprogokab.go.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=251, yang
diakses tanggal 6 Juni 2018.
https://media.neliti.com/media/publications/161694-ID-studi-tentang-penularan-
penyakit-pes-den.pdf, yang diakses tanggal 6 Juni 2018.

Anda mungkin juga menyukai