Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pinjal merupakan artropoda yang telah lama dikenal sebagai vektor

penyakit mematikan yaitu pes. Terdapat lebih dari 30 spesies pinjal yang

mampu menularkan Yersinia pestis, namun diantara semuanya, X.cheopis

(pinjal tikus oriental) merupakan spesies paling banyak ditemukan sebagai

vektor di dunia termasuk Indonesia, selain pes, X.cheopis dilaporkan sebagai

vektor utama murine typhus (endemic typhus), epidemic typhus, serta

bartonelosis.8 Murine typhus ditularkan dari kotoran pinjal yang mengandung

bakteri R.typhi melalui pernapasan maupun masuk melalui luka bekas

gigitan.1,9 Xenopsylla cheopis dewasa merupakan parasit pada mamalia,

terutama pada tikus sebagai inang utamanya (principal host). Hubungan

antara pinjal dan tikus sudah terjalin sejak lama dan telah mengalami evolusi

bersama.10 Rattus norvegicus dan Rattus rattus merupakan spesies paling

dominan sebagai inang X. cheopis.

Pinjal bisa menjadi vektor penyakit - penyakit manusia, misalnya

adalah penyakit pes (sampar = plague) dan murine typhus yang

dipindahkan dari tikus ke manusia. Disamping itu pinjal bisa berfungsi

sebagai penjamu perantara untuk beberapa jenis cacing pita anjing dan

tikus, yang kadang-kadang juga bisa menginfeksi manusia. Pinjal bisa

juga menjadi vektor untuk penyakit pes (kira-kira 60 species). Beberapa


species pinjal menggigit dan menghisap darah manusia. Vektor terpenting

untuk penyakit pes dan murine typhus ialah pinjal tikus Xenopsylla cheopis.

Kuman pes, Pasteurella pesis, berkembang biak dalam tubuh penyakit tikus

sehingga akhirnya menyumbat tenggorokkan pinjal itu. Kalau pinjal mau

mengisap darah maka ia harus terlebih dulu muntah untuk mengeluarkan

kuman-kuman pes yang menyumbat tenggorokkannya. Muntah ini masuk

dalam luka gigitan dan terjadi infeksi dengan Pasteurella Pesis. Pinjal yang

tersumbat tenggorokannya akan lekas mati.

Penularan penyakit yang dibawa oleh tikus dapat ditularkan secara

langsung maupun secara tidak langsung melalui ektoparasit yang dibawa oleh

tikus. . Ektoparasit tikus tersebut berperan sebagai vector biologis dalam

penularan beberapa penyakit pada manusia Di Indonesia penyakit pes

pertama kali masuk pada tahun 1910 melalui Pelabuhan Surabaya yang

dibawa oleh tikus yang membawa pinjal dari Pelabuhan Rangoon di

Myanmar. Penyakit tersebut terus meluas ke daerah Yogyakarta pada tahun

1916 serta daerah Surakarta pada tahun 1915.

Penyakit pes merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang

menyerang hewan rodensia tetapi dapat menular ke manusia melalui gigitan

pinjal. Xenopsylla cheopis adalah pinjal tikus yang dikenal sebagai vektor

biologi dari penyakit pes. Penyakit ini pernah menjadi wabah di berbagai

belahan dunia serta telah menelan banyak korban yang meninggal akibat

penyakit ini, dengan jumlah korban yang mencapai ribuan di setiap kasus

wabah.
Infeksi penyakit pes terjadi karena tikus liar yang membawa bakteri

Yersinia pestis di dalam darah tubuh tikus liar. Pinjal menghisap darah tikus

yang mengandung bakteri Yersinia pestis lalu bakteri tersebut berkembang

biak di dalam perut pinjal. Pinjal menggigit manusia lalu manusia pun

terinfeksi. Penyakit pes termasuk penyakit re-emerging diseases, yaitu

penyakit yang dapat sewaktu-waktu muncul kembali sehingga berpotensi

untuk menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah Indonesia

maupun dunia menetapkan penyakit pes menjadi salah satu penyakit yang

perlu dikarantina seperti yang tercantum dalam UU No.1 tahun 1962 baik

Karantina Laut, UU No.2 tahun 1962 tentang Karantina Udara.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk mengetahu

apakah yang dimaksud dengan fleas, bagaimana morfologi, bionomik,

habitatnya, mekanisme penularan penyakit serta pengendalian terhadap vector

fleas tersebut.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dalam makalah ini adalah :

1. Mengetahui pengertian pinjal.

2. Mengetahui pengaruh pinjal terhadap Kesehatan.

3. Mengetahui pengendalian pinjal.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pinjal

Pinjal merupakan jenis serangga yang masuk dalam ordo Siphonaptera

yang secara morfologi berbentuk pipih lateral disbanding dengan kutu

manusia (Anoplura) yang berbentuk pipih, tetapi rata atau horizontal khas

yakni berbentuk pendek tetapi kuat, alat-alat mulut dimodifikasi dalam

bentuk menusuk dan menghisap, bagian eksternal tubuh memiliki struktur

seperti sisir berduri, bersifat ektoparasit pada hewan berdarah panas.

Sering sekali orang tidak dapat membedakan antara kutu dan pinjal. Pinjal

juga merupakan serangga ektoparasit yang hidup pada permukaan tubuh

inangnya. Inangnya terutama hewan peliharaan seperti kucing dan anjing,

juga hewan lainnya seperti tikus, kelinci, unggas/ ayam, bahkan kelelawar

dan hewan berkantung (marsupiclia). Secara morfologi perbedaan yang jelas

antara kutu dan pinjal yang sama-sama tak bersayap adalah bahwa tubuh

pinjal dewasa yang pipih bilateral, sedangkan kutu tubuhnya gepeng

dorsoventral. Dengan demikian bentuk pinjal secara utuh dapat terlihat dari

pandangan szamping. Secara sistematika, pinjal termasuk ke dalam filum

Arthropoda, kelas Insecta, dan ordo Siphonaptera. Dari farn.ili ini, terdapat

beberapa genus yang penting yaitu Tunga (pinjal chigoe), Ctenocephalides

(pinjal kucing dan anjing), Echidnophaga (pinjal a yarn), Pulex,

Ceratophyllus dan Xenopsylla (pinjal tikus). Adapun jenis-jenis yang sering

dijumpai sebagai ektoparasit utama dan menimbulkan masalah di Indonesia


adalah Xerwpsylla cheopis, Pulex irritans (pinjal tikus), Ctenocephalides

felis, dan C. canis.

Pinjal mempunyai panjang 1,5 – 4,0 mm, yang jantan biasanya lebih

kecildari yang betina. Pinjal merupakan salah satu parasit yang paling sering

ditemui padahewan kesayangan baik anjing maupun kucing. Meskipun

ukurannya yang kecil dankadang tidak disadari pemilik hewan karena tidak

menyebabkan gangguan kesehatanhewan yang serius, namun perlu

diperhatikan bahwa dalam jumlah besar kutu dapatmengakibatkan kerusakan

kulit yang parah bahkan menjadi vektor pembawa penyakit tertentu.

1. Klasifikasi

Klasifikasi dari beberapa spesies pinjal adalah sebagai berikut:

a. Xenopsyllacheopis

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Siphoneptera

Familia : Pulicidae

Genus : Xenopsylla

Spesies : Xenopsyllacheopis

b. Pulexirritans

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta
Ordo : Siphoneptera

Familia : Pulicidae

Genus : Pulex

Spesies : Pulexirritans

c. Nosopsyllusfasciatus

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Siphoneptera

Familia : Ceratophyllidae

Genus : Nosopsyllus

Spesies : Nosopsyllusfasciatus

d. Ctenophalidescanis

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Siphoneptera

Familia : Pulicidae

Genus : Ctenophalides

Spesies : Ctenophalidescanis

e. Ctenophalidesfelis

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta

Ordo : Siphoneptera

Familia : Pulicidae

Genus : Ctenophalides

Spesies : Ctenophalidesfelis

Tikus adalah hewan mengerat (rodensia) yang tidak lepas dari serangan

organisme parasit yaitu ektoparasit(pinjal). Pada daerah fokus pes

keberadaan pinjal perlu diwaspadai, agar tidak terjadi peningk:atan kasus

pes (KLB). Pes merupakan zoonosis pada tikus yang dapat ditularkan

kepada manusia melalui gigitan pinjal Xenopsylla cheopsis yang

mengandung Yersinia pestis.

2. Morfologi Pinjal

Menurut Sen & Fetcher pinjal yang masuk ke dalam sub spesies C.felis

formatipica memiliki dahi yang memanjang dan meruncing di ujung

anterior. Pinjal betina tidak memiliki rambut pendek di belakang lekuk

antenna.

Kaki belakang dari sub spesies ini terdiri dari enam ruas dorsal dan

manubriumnya tidakmelebar di apical, sedangkan pinjal yang masuk ke

dalam sun spesies C. felisformatipica memiliki dahi yang pendek dan

melebar serta membulat di anterior.Pinjal pada sub spesies ini memiliki

jajaran rambut satu sampai delapan yang pendekdi belakang lekuk anten.

Kaki belakang dari pinjal ini terdiri atas tujuh ruas dorsaldan manubrium

melebar di apical.Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap


dengan tubuh berbentuk pipih bilateral dengan panjang 1,5 - 4,0 mm, yang

jantan biasanya lebih kecil dari yang betina. Kedua jenis kelamin yang

dewasa menghisap darah. Pinjalmempunyai kritin yang tebal. Tiga segmen

thoraks dikenal sebagai pronotum,mesonotum dan metanotum

(metathoraks).

Segmen yang terakhir tersebut berkembamg baik untuk menunjang

kaki belakang yang pinjal tersebut saat meloncat. Di belakang pronotum

pada beberapa jenis terdapat sebaris duri yangkuat berbentuk sisir, yaitu

ktenedium pronotal. Sedangkan tepat diatas alat mulut pada beberapa jenis

terdapat sebaris duri kuat berbentuk sisir lainnya, yaitu ktenedium genal.

Duri-duri tersebut sangat berguna untuk membedakan jenis pinjal.Pinjal

betina mempunyai sebuah spermateka seperti kantung dekat ujung

posteriorabdomen sebagai tempat untuk menyimpan sperma, dan yang

jantan mempunyai alat seperti per melengkung , yaitu aedagus atau penis

berkitin di lokasi yang sama. Kedua jenis kelamin mmiliki struktur seperti

jarum kasur yang terletak disebelah dorsal, yaitu pigidium pada tergit yang

kesembilan. Fungsinya tidak diketahui, tetapi barangkali sebagai alat

sensorik. Mulut pinjal bertipe penghisap dengan tiga silent penusuk

(epifaring dan stilet maksila). Pinjal memiliki antenna yang pendek, terdiri

atas tiga ruas yang bersembunyi ke dalam tekuk kepala

3 Siklus Hidup

Siklus hidup yang dijalani pinjal merupakan metamorfosa sempurna

yaitu telur-larva-pupa dewasa. Larva yang baru menetas tidak memiliki


kaki. Fase pupa adalah fase yang tidak memerlukan makanan.

Sepanjang hidupnya seekor pinjal betina dapat menghasilkan telur

sebanyak 400 - 500 butir. Telur berukuran panjang 0,5 mm, oval dan

berwarna keputih-putihan. Sepanjang hidupnya seekor pinjal betina dapat

menghasilkan telur sebanyak 400 - 500 butir. Telur berukuran panjang 0,5

mm, oval dan berwarna keputih-putihan. Telur menetas menjadi larva

dalam waktu dua hari atau lebih. Kerabang telur akan dipecahkan oleh

semacam duri (spina) yang terdapat pada bagian kepala larva instar

pertama.

Larva yang muncul bentuknya memanjang, langsing seperti ulat, terdiri

atas tiga ruas toraks dan 10 ruas abdomen, yang masing-masing dilengkapi

dengan beberapa bulu-bulu yang panjang. Ruas abdomen terakhir

mempunyai dua tonjolan kait yang disebut anal struts, berfungsi untuk

memegang pada substrat atau untuk lokomosi. Larva berwarna kuning

krem dan sangat aktif, dan menghindari cahaya. Larva mempunyai alat

mulut untuk menggigit dan mengunyah makanan yang bisa berupa darah

kering, feses dan bahan organik lain, yang jumlahnya cukup sedikit. Larva

dapat ditemukan di celah dan retakan lantai, di bawah karpet dan tempat-

tempat serupa lainnya. Larva ini mengalami tiga kali pergantian kulit

(moulting) sebelum menjadi pupa. Periode larva berlangsung selama 7-10

hari atau lebih tergantung suhu dan kelembaban. Larva dewasa

(mature) panjangnya sekitar 6 mm. Larva ini akan menggulung atau

mengkerut hingga berukuran sekitar 4x2 mm dan berubah menjadi pupa.


Stadium pupa berlangsung dalam waktu 10-17 hari pada suhu yang

sesuai, tetapi bisa berbulan-bulan pada suhu yang kurang optimal, dan

pada suhu yang rendah bisa menyebabkan imago/pinjal tetap terbungkus di

dalam kokon. Stadium pupa merupakan tahapan yang tidak aktif/makan,

dan berada dalam kokon yang tertutupi debris dan debu sekeliling.

Stadium ini sensitif terhadap adanya perubahan konsentrasi

karbondioksida di lingkungan sekitarnya, juga terhadap getaran/vibrasi.

Adanya perubahan yang signifikan terhadap kedua faktor ini,

menyebabkan keluarnya pinjal dewasa dari kepompong untuk segera

mencari inangnya. Pada suhu 26,6 °C pinjal betina akan muncul dari

kokon setelah 5-8 hari, sedangkan yang jantan setelah 7 -10 hari.

Pinjal hidup dengan cara memparasit dan berada hampir diseluruh

permukaan tubuh hospes (tikus dan mencit) yang ditumbuhi rambut. Pinjal

dewasa hidup sebagai parasit, yang muda (pra dewasa) hidup ditanah atau
daun semak-semak ataupun di liang liang menunggu tikus lewat untuk

ditumpangi. Jumlah populasi tikus yang tinggi menjadi faktor pendukung

tingginya jumlah pinjal. Karena tikus merupakan tempat hidup (hospes)

bagi pinjal serta mendapatkan makanan dengan cara menghisap darah

tikus. Contoh, pinjal Xenopsylla cheopis yang apabila dapat makanan pada

inangnya (tikus) bisa hidup selama 38 hari dan apabila tinggal pada

lingkungan yang lembab dapat hidup selama 100 hari.

4. Bionomik Pinjal

a. Makanan

Pinjal pradewasa mempunyai struktur mulut, organ anatomi dan

fisiologi yang sangat berbeda dengan pinjal dewasa.Sehingga jenis

makanan yang dikonsumsi juga berbeda. Makanan larva pinjal

terdiri dari bahan-bahan organik yang ada disekitarnya, seperti darah

yang dikeluarkan melalui organ ekskresi pinjal (anus), bahan organik

yang kaya akan protein dan vitamin B. Bila bahan-bahan makanan

tersebut terpenuhi, maka larva pinjal akan tumbuh secara maksimum.

Pinjal jantan maupun betina merupakan serangga penghisap darah. Bagi

pinjal betina darah diperlukan untuk perkembangan telur. Pinjal akan

sering menghisap darah di musim panas dari pada di musim penghujan

atau dingin, karena di musim panas pinjal cepat kehilangan air dari

tubuhnya.
Pinjal tidak makan tidak dapat hidup lama dilingkungan kering,

tetapi di lingkungan yang lembab, bila terdapat reruntuhan yang bisa

menjadi tempat persembunyian, maka ia bisa hidup selama 1 – 4 bulan.

b. Perilaku

Perilaku pinjal secara umum merupakan parasit temporal, berada

dalam tubuh saat membutuhkan makanan, tidak permanen seperti

halnya kutu yang selalu menetap pada tubuh inang. Jangka hidup pinjal

bervariasi pada spesies pinjal, tergantung apakah merka makan atau

tidak, dan tergantung pada derajat kelembaban lingkung]an

sekitarnya.Beberapa jenis pinjal menghindari cahaya (fototaksis

negatif). Pinjal jenis ini biasanya tidak mempunyai mata. Pada

sarang tikus yang kedalamannya dangkal populasi tidak akan ditemukan

karena sinar matahari mampu menembus sampai dasar liang.

Sedangkan pada sarang tikus yang kedalamannya lebih dalam dan

mempunyai jalan yang berkelok, sinar matahari tidak dapat menembus

sampai ke dasar liang. Sehingga pada sarang tikus ini banyak

ditemukan pinjal. Pinjal bergerak dengan melompat, beberapa spesies

bias melompat setinggi 30cm.

5. Ekologi Pinjal

Kehidupan pinjal dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sebagai

berikut :

a. Suhu dan Kelembapan


Perkembangan setiap jenis pinjal mempunyai variasi musiman yang

berbeda-beda. Udara yang kering mempunyai pengaruh yang tidak

menguntungkan bagi kelangsungan hidup pijal. Suhu dalam sarang

tikus lebih tinggi selama musim dingin dan lebih rendah selama musim

panas dari pada suhu luar. Suhu di dalam dan di luar sarang

memperlihatkan bahwa suhu di dalam sarang cenderung berbalik

dengan suhu luar.

b. Cahaya

Beberapa jenis pinjal menghindari cahaya (fototaksis negatif). Pinjal

jenis ini biasanya tidak mempunyai mata, sebaiknya pinjal yang bersifat

fototaksis positif memiliki mata. Pada sarang tikus yang kedalamanya

dangkal populasi tidak akan ditemukan karena sinar matahari mampu

menembus sampai dasar ke liang. Sedangkan pada sarang tikus yang

kedalamnya lebih dalam dan mempunyai jalan yang berkelok, sinar

matahari tidak dapat menembus sampai ke dasar liang. Sehingga pada

sarang tikus ini banyak ditemukan pinjal.

c. Predator

Predator pinjal alami merupakan faktor penting dalam menekan

populasi pinjal di sarang tikus. Beberapa predator seperti semut dan

kumbang kecil telah diketahui memakan pinjal pradewasa dan pinjal

dewasa.

6. Habitat Pinjal
Adapun tempat atau habitat yang biasa terdapat hewan yang disebut

Fleas (pinjal) adalah sebagai berikut:

a. Tumbuhan

Flea biasa tinggal di sekitar area yang dipenuhi oleh tumbuhan

atautanaman kecil karena Flea memenuhi kebutuhan hidupnya di

tempat itu yaknimemakan cairan tumbuhan.

b. Hewan

Selain hidup di tumbuhan, biasanya Flea juga hidup di tempat yang

berbulu atau berambut seperti pada bulu anjing maupun bulu kucing

dan tikus.

c. Benda / perabot rumah yang berbulu atau berambut

Flea juga biasa berkembang biak pada benda atau perabotan rumah

yang berbulu atau berambul seperti kasur, selimut atau karpet.

2.2 Permasalahan Kesehatan Akibat Pinjal

Pinjal mempunyai peranan penting dalam penularan penyakit, karena

sebagai vektor berbagai penyakit pada hewan (zoonosis) maupun manusia.

Sebagai ektoparasit, pinjal sering memberikan gangguan baik secara

langsung maupun tidak langsung. Secara langsung pinjal dapat menggigit

inangnya. Efek gigitan pinjal bergantung dari kepekaan korbannya.

Ektoparasit ini mengisap darah inangnya, sehingga dalam jumlah banyak

dapat menyebabkan anemia. Bersamaan dengan mengisap darah, pinjal

juga menyuntikkan saliva sehingga mengiritasi inangnya. Reaksi hiper

sensitif tersebut dikenal sebagai Flea Allergy Dermatitis (FAD). Dermatitis


dapat diperparah dengan infeksi sekunder yang berlanjut menjadi alopecia

(kebotakan).

Selain gangguan langsung, pinjal juga berperan secara tidak langsung

dalam penularan beberapa penyakit berbahaya bagi manusia dan. Penyakit

yang dapat ditularkan pinjal jenis Xenopsyllacheopis diantaranya adalah pes

(pes plague) danmurine thypus. Pes merupakan penyakit karantina

internasional di Indonesia yang termasuk reemerging disease (penyakit yang

timbul kembali) dan dapat menyebabkan kejadian luar biasa. Secara tidak

langsung pes ditularkan melalui gigitan vektor yang membawa bakteri

Yersinia pestis.

Cara penularan melalui gigitan pinjal terutama oleh pinjal betina

dikarenakan pinjal betina membutuhkan darah untuk pengembangan telur.

Penularan terjadi jika proventicular pinjal tersumbat bakteri, misalnya

Yersinia pestis yang membelah diri (propagative development),jika pinjal

menggigit hospes akan muntah (regursitasi) sehingga bakteri masuk kehospes

melalui luka gigitan pinjal. Manusia sebagai inang sementara dapat menjadi

sasaran gigitan pinjal. Dari beberapa kejadian, gigitan pinjal ke manusia

terjadi akibat manusia menempati rumah yang telah lama kosong, tidak

terawat, dan menjadi sarang tikus, kucing beberapa saat setelah memasuki

ruang yang lama kosong, hal ini perlu dicurigai adanya pinjal didalam rumah

tersebut.

Xenopsylla cheopis selain sebagai vektor penyakit pes juga merupakan

pinjal yang dapat bertindak sebagai vektor penyakit yang disebabkan oleh
Rickettsia typhi atau disebut Murine Typhus. Rickettsia typhi memperoleh

bahan makanan dari darah yang diambil oleh spesies inang. Bakteri ini masuk

dan tumbuh di dalam selepitel usus dari pinjal dan keluar bersama dengan

tinja yang dikeluarkan pinjal. Rickettsia typhi yang beradap ada tinja dari

pinjal tersebut menjangkiti tikus dan manusia melalui inokulasi intrakutan

dengan penggarukan kulit, atau perpindahan oleh jari ke dalam membran

lendir. Selain itu, bakteri ini juga mampu menjangkiti manusia dan tikus

melalui gigitan oleh pinjal tikus.

Selain sebagai vektor beberapa penyakit, beberapa pinjal juga

berperan sebagai inang cacing pita anjing/kucing Dypilidium caninum.

Pinjal tersebut adalah Ctenophalidesfelis .Umumnya telur cacing pita masuk

kedalam pinjal pada fase larva yang mencari makan berupa bahan organik

disekitar inang. Telur akan menetas dalam tubuh larva pinjaldan menetap

sampai pinjal dewasa dan siap hinggap pada tubuh inang (anjing, kucing).

Apabila pinjal dewasa termakan oleh inang maka cacing otomatis masuk

dalam pencernaan dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa

akan bertelur dan telur itu akan keluar bersama kotoran anjing/kucing. Hal ini

merupakan salah satu pemicu kejadian kecacingan pada manusia biasanya

terjadi pada anak-anak yang sering bermain dengan kucing/anjing yang tidak

terjaga kebersihannya.

2.3 Pengendalian Pinjal

Pengamatan keberadaan pinjal merupakan tindakan terpenting dalam

upaya pengendalian terpadu terhadap pinjal. Cara sederhana untuk


mengetahui keberadaan pinjal adalah berjalan dalam ruang/rumah memakai

kaos kaki putih dan menghitung jumlah pinjal yang menempel pada kaos kaki

tersebut. Selain itu dapat juga menggunakan penyedot debu manual dengan

memasukkan sapu tangan dalam kantong penampung debu.

Pengendalian yang dapat dilakukan terhadap keberadaan pinjal

diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Mekanik atau Fisik

Pengendalian pinjal secara mekanik dilakukan dengan cara

membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa

disinggahi tikus atau ewan lain dengan menggunakan vaccum cleaner

berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva

dan pupa pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan

memberikan lampu pada kandang hewan peliharaan, membiarkan cahaya

masuk ke dalam rumahkarena beberapa pinjal ada yang menghindari

cahaya (fototaksis).

2. Kimiawi

Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan

menggunakan insektisida. Repelen seperti dietil toluamide (deet) atau

benzilbenzoat bisa melindungi orang dari gigitan pinjal. Secara umum,

untuk mengatasi adanya pinjal, formulasi insektisida serbuk (dust) dapat

diaplikasikan dalam lantai rumah, jalan tikus/lubang tikus. Selain dalam

bentuk serbuk, dapat juga berupa fogs/aerosol (biasanya malathion) untuk

fumigasi ruangan. Penggunaan insektisida mempunyai efektifitas yang


bervariasi dan perlu diperhatikan resistensi pinjal terhadap berbagai

jenis insektisida.

Upaya pengendalian pinjal di daerah urban pada saat meluasnya

kejadian pes atau Murinethyphus, diperlukan insektisida dan aplikasi yang

terencana dengan baik agar operasi berjalan dengan memuaskan. Pada saat

yang sama ketika insektisida diaplikasikan, rodentisida seperti

antikoagulan, warfarin dan fumarin dapat digunakan untuk membunuh

populasi tikus. Namun demikian, bila digunakan redentisida yang bekerja

cepat dan dosis tunggal seperti zink fosfid, sodium fluoroasetat, atau

striknin atau insektisida modern seperti bromadiolon dan klorofasinon,

maka hal ini harus diaplikasikan beberapa hari setelah aplikasi insektisida.

Jika tidak dilakukan maka tikus akan mati tetapi pinjal tetap hidup dan

akan menggigit mamalia termasuk orang dan ini akan menongkatkan

transmisi penyakit.

3. Biologi

Pengendalian biologi dapat dilakukan dengan mengendalikan

populasi tikus di daerah pedesaan dan perkotaan melalui sanitasi

lingkungan, pengelolaan sampah yang baik, dan memperbaiki sanitasi

lingkungan yang rusak yang dapat dijadikan sebagai sarang tikus.Tidak

memiliki binatang peliharaan seperti kucing atau anjing, akan tetapi jika

memang memelihara kucing atau anjing harus terjaga sanitasi

lingkungannya dengan baik.


Selain cara diatas sekarang telah dikembangkan cara biologi

terutama untuk memutus siklus pinjal misalnya dengan bahan pengatur

perkembangan serangga (insect growth regulator/IGR) yang efeknya

berupa penghambat kitin dan hormon juvenil (jouvenile hormone and

chitin inhibitor). IGR berfokus pada pengendalian pinjal pra dewasa, baik

pada inang maupun lingkungan. Bentuk-bentuk IGR berupa spray,

shampoo collar bahkan dalam bentuk tablet yang diminumkan pada

hewan piaraan. Kemampuan beberapa jenis IGR ternyata juga berbeda-

beda tergantung pada tahap pra dewasa maupun umur setiap stadium.

Selain penggunaan IGR, juga dikembangkan pembuatan vaksin dengan

menggunakan antigen yang berasal dari membran usus pinjal, seperti

keberhasilan penelitian vaksin yang memberikan kekebalan sapi terhadap

serangan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pinjal merupakan jenis serangga yang masuk dalam ordo Siphonaptera

yang secara morfologi berbentuk pipih lateral disbanding dengan kutu

manusia (Anoplura) yang berbentuk pipih, tetapi rata atau horizontal khas

yakni berbentuk pendek tetapi kuat, alat-alat mulut dimodifikasi dalam

bentuk menusuk dan menghisap, bagian eksternal tubuh memiliki struktur

seperti sisir berduri, bersifat ektoparasit pada hewan berdarah panas.

Secara sistematika, pinjal termasuk ke dalam filum Arthropoda, kelas

Insecta, dan ordo Siphonaptera. Dari farn.ili ini, terdapat beberapa genus yang

penting yaitu Tunga (pinjal chigoe), Ctenocephalides (pinjal kucing dan

anjing), Echidnophaga (pinjal a yarn), Pulex, Ceratophyllus dan Xenopsylla

(pinjal tikus). Adapun jenis-jenis yang sering dijumpai sebagai ektoparasit

utama dan menimbulkan masalah di Indonesia adalah Xerwpsylla cheopis,

Pulex irritans (pinjal tikus), Ctenocephalides felis, dan C. canis.

Pinjal hidup dengan cara memparasit dan berada hampir diseluruh

permukaan tubuh hospes (tikus dan mencit) yang ditumbuhi rambut. Pinjal

dewasa hidup sebagai parasit, yang muda (pra dewasa) hidup ditanah atau

daun semak-semak ataupun di liang liang menunggu tikus lewat untuk

ditumpangi. Jumlah populasi tikus yang tinggi menjadi faktor pendukung

tingginya jumlah pinjal. Karena tikus merupakan tempat hidup (hospes) bagi

pinjal serta mendapatkan makanan dengan cara menghisap darah tikus.


Contoh, pinjal Xenopsylla cheopis yang apabila dapat makanan pada

inangnya (tikus) bisa hidup selama 38 hari dan apabila tinggal pada

lingkungan yang lembab dapat hidup selama 100 hari.

3.2 Saran

Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan mengendalikan populasi

tikus di daerah pedesaan dan perkotaan melalui sanitasi lingkungan,

pengelolaan sampah yang baik, dan memperbaiki sanitasi lingkungan

yang rusak yang dapat dijadikan sebagai sarang tikus.


DAFTAR PUSTAKA

Diyana Meri, dkk ,2020 “IDENTIFIKASI EKTOPARASIT PADA TIKUS


(Rattus sp.) SEBAGAI VEKTOR PENYAKIT PES DI AREAL
PELABUHAN PANJANG KOTA BANDAR LAMPUNG.“. Jurnal Medika
Malahayati, Volume 4, Nomor 2, April 2020
Jarohman Raharjo. Tri Wijayanti. Keragaman. 2021 Dominasi Tikus Silvatik,
Kepadatan Pinjal dan Kewaspadaan Pes di Daerah Fokus Pes di Kecamatan
Cepogo Kabupaten Boyolali. BALABA Vol. 17 No. 1, Juni 2021: 47-56
Ristiyanto, Arief Mulyono. et.al. 2020. Korelasi Densitas Relatif Tikus, Pinjal dan
Curah Hujan Terhadap Kasus Pes di Daerah Enzootik Pes Taman Nasional
Gunung Bromo Tengger, Pasuruan, Jawa Timur. Jurnal Biologi Indonesia
16(2): 217-225 (2020)
Nadya Husna. Emilia Chandra. 2020 STUDI EKTOPARASIT PADA TIKUS DI
PELABUHAN KUALA TUNGKAL TAHUN 2019. Husna, N/Jurnal Ruwa
Jurai Volume 14, Number 2, 2020 (page 37-42)
Sugeng Riyanto. 2019. EKSISTENSI PINJAL DALAM RODENT DI
WILAYAH PENGAMATAN. Jurnal Kesehatan
Lingkungan/10.20473/jkl.v11i3.2019 .233-241 Vol. 11 No. 3 Juli 2019
(234-241)
Syamsuar Manyullei. Agus Bintara Birawida. Izmi Fhadilla Suleman. 2019.
STUDI KEPADATAN TIKUS DAN EKTOPARASIT DI PELABUHAN
LAUT SOEKARNO HATTA TAHUN 2019. JURNAL NASIONAL ILMU
KESEHATAN (JNIK) Volume 2. Edisi 2 2019
Vita Catelya Purbaningsih. Arif Widyanto. 2018 DESKRIPSI JUMLAH DAN
SPESIES TIKUS DI DESA BANJARPANEPEN KECAMATAN
SUMPIUH KABUPATEN BANYUMAS. Keslingmas Vol.38 No.4
Hal.305-364
Misbahul Subhi. 2018. PENGAMATAN TIKUS DAN PINJAL DALAM
UPAYA PENGENDALIAN RISIKO LINGKUNGAN DI WILAYAH
KERJA BANDARA ABDUR RAHMAN SALEH KANTOR
KESEHATAN PELABUHAN KELAS II PROBOLINGGO. Seminar
Nasional Penelitian dan Pengabdian Masyarakat -2018 LP4MP Universitas
Islam Majapahit
Desy Hafidhotul Ilmi. et.al 2018. FAKTOR LINGKUNGAN FISIK YANG
BERHUBUNGAN DENGAN INDEKS PINJAL KHUSUS DI WILAYAH
FOKUS PES (STUDI DI DUSUN SUROROWO, KABUPATEN
PASURUAN TAHUN 2018), JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT
(e-Journal) Volume 9, Nomor 6, November 2021
Ronny et.al. 2020. MAMPUAN PERANGKAP TIKUS DENGAN VARIASI
UMPAN DALAM PENGENDALIAN TIKUS DI WILAYAH
PELABUHAN PAOTERE KOTA MAKASSAR, Jurnal Sulolipu : Media
Komunikasi Sivitas Akademika dan Masyarakat Vol. 20 No.2 2020

Anda mungkin juga menyukai