Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing
filaria yang cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia,
ditularkan oleh serangga (nyamuk) secara biologik, penyakit ini bersifat
menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan
cacat menetap berupa pembesaran kaki (disebut elephantiasis/
elephantiasis/ kaki gajah),
 pembesaran lengan, payudara dan alat kelamin wanita maupun laki-laki
(Zulkoni, 2011).
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu : Wuchereria
bancrofti,
bancrofti,  Brugia malayi,
malayi, dan  Brugia timori.
timori. Cacing ini menyerupai benang
dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan
darah (Zulkoni, 2011).
Kasus filariasis di Dunia pada tahun 2014 terjadi kasus filariasis
menyerang 1.103 juta orang di 73 Negara, kasus ini terjadi di Asia Tenggara
sebanyak 9 Negara endemis yang terserang 632 (57%) penduduk, dan 410 juta
(37%) yang tinggal di Negara Afrika 35 Negara endemis, kemudian sisanya
6% diderita oleh penduduk yang tinggal di wilayah Amerika 4 Negara,
Mediterania Timur 3 negara, dan wilayah barat pasifik 22 Negara endemis
Filariasis (Kemenkes RI, 2015).
Kasus filariasis di Indonesia pada tahun 2002 – 
2002 –  2014
 2014 terjadi peningkatan
secara berturut – 
berturut –  turut,
 turut, sebesar 12.714 kasus menjadi 14.932 kasus yang terbagi
di 34 Provinsi, akan tetapi pada tahun 2015 kasus filariasis ini mengalami
 penurunan menjadi 13.032 kasus dan menyebar di 29 Provinsi, dengan rata  – 
rata prevalensi sebesar 4,7 %, jika kasus filariasis ini tidak ditangani dari
kejadian 13.032 kasus akan menjadi 4.807.148 orang. Kasus fil ariaisis tertinggi
di Nusa Tenggara Timur 2.864 orang, Aceh 2,372 orang, Papua Barat 1.244
orang, dan kasus terendah berada di Kalimantan Utara 11 orang, Nusa
Tenggara Barat 14 orang, dan Bali 18 orang (Kemenkes RI, 2015).
Kepastian diagnosis dari infeksi filaria seringkali didasarkan atas
ditemukannya mikrofilaria dalam darah atau jaringan. Penentuan spesies dari
mikrofilaria didasarkan ada tidaknya  sheath (sarung) dan letak dari inti pada
spesimen yang dipulas. Pada keadaan tertentu, organisme sulit ditemukan
karena mikrofilaria yang terdapat dalam sirkulasi darah jumlahnya sedikit.
Pada manusia diagnosis didasarkan atas ditemukannya cacing dalam jaringan
(Garcia dan David, 2014).
Metode diagnosis untuk menentukan ada tidaknya cacing filaria di dalam
darah dibagi 2 cara:
1. Immunochromatographic Test (ICT)/Rapid Test untuk Bancrofti, guna
mengetahui keberadaan antigen cacing dewasa W.brancofti dalam darah,
dengan waktu pemeriksaan setiap waktu.
2. Rapid Test untuk Brugia, guna mendeteksi adanya antibodi Brugia malayi
atau Brugia timori, dengan waktu pemeriksaan juga setiap waktu.
Terdeteksinya antibodi Brugia malayi atau Brugia timori pada anakanak
(berumur 6-7 tahun) menandakan adanya riwayat infeksi cacing filaria pada
6-7 tahun terakhir.
Walaupun rapid test diagnostic relatif mudah digunakan dan tidak
memerlukan waktu yang, pelatihan yang memadai diperlukan untuk
mengurangi variabilitas antar pengamat dan untuk mengurangi kesalahan
 pembacaan.
B. Tujuan
Untuk mengidentifikasi adanya mikrofilaria dalam darah dengan
menggunakan Rapid Test Diagnostic.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Filariasis
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit yang
tersebar di Indonesia. Walaupun penyakit ini jarang menyebabkan kematian,
tetapi dapat menurunkan produktivitas penderitanya karena terjadi gangguan
fisik. Penyakit ini jarang terjadi pada anak karena manifest asi klinisnya timbul
 bertahun-tahun setelah terjadi infeksi. Gejala pembengkakan kaki muncul
karena sumbatan mikrofilaria pada pembuluh limfe yang biasanya terjadi pada
usia di atas 30 tahun setelah terpapar parasit selama bertahun-tahun. oleh
karena itu filariasis juga sering disebut penyakit kaki gajah. Akibat paling fatal
 bagi penderita filariasis yaitu kecacatan permanen yang sangat mengganggu
 produktivitas (Widoyono, 2005).

B. Gejala Klinis Filariasis


Gejala klinis filariasis disebabkan oleh infeksi W.bancrofti,  B.malayi,
dan B timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan berat
oleh B.malayi dan B.timori. Infeksi W.bancrofti dapat menyebabkan kelainan
saluran pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.malayi dan
 B.timori  tidak menimbukan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin
(Kemenkes RI, 2014).
Terdapat gejala klinis akut dan klinis kronis maupun mikrofilaria tanpa
gejala pada penyakit filariasis:
1) Mikrofilaremia tanpa gejala Seseorang yang akan mengalami infeksi
 penyakit filariasis tidak akan langsung menunjukan gejala, walaupun tidak
menunjukan gejala pada fase inilah sebenarnya telah terjadi kerusakan
system limfa dan ginjal dan terjadilah perubahan sistem kekebalan tubuh
 pada manusia (Gandahusada, 2016).
2) Gejala klinis akut
a. Adenolimfangitis Akut
Demam berulang-ulang selama 3 – 5 hari, demam dapat hilang
 bila beristirahat dan muncul kembali setelah bekerja berat,
 pembengkakan getah bening limfadenopati, bagian yang terinfeksi akan
merasakan, kemerahan dan bengkak dikarenakan adanya penumpukan
cairan.
 b. Limfangitis Filaria Akut
Gejala ini tidak disertai dengan terjadinya demam, namun pada
gejala ini akan muncul benjolan kecil pada bagian tubuh seperti, pada
sistem kelenjar getah bening dan skortum (Kemenkes RI, 2014).
3) Gejala klinis kronik
Gejala ini berupa pembesaran yang sangat jelas dilihat dengan kasap
mata yaitu pembesaran menetap pada tungkai, lengan, buah dada, dan buah
zakar. Gejala kronis terdiri dari limfa edema, limfa scortum, kiluria, dan
hidrokel. Limfa scortum adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada
kulit scortum, kadang pada kulit penis, sehingga mudah pecah dan cairan
limfe mengalir keluar membasahi pakaian. Kiluria adalah kebocoran atau
 pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal ( pelvis renalis)
sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam saluran kemih dan
 pelebaran kantung buah zakar karena terkumpulya cairan limfe di dalam
tunica vaginalis testis (Kemenkes RI, 2014).

C. Etiologi Filariasis
Di Indonesia ditemukan tiga jenis parasit penyebab filariasis limfatik
 pada manusia yaitu :
1) Wuchereria bancrofti
Jenis cacing ini ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta,
Bekasi, Pekalongan dan sekitarnya.Yang ditularkan oleh nyamuk Culex,
dapat ditemukan di dalam darah tepi pada malam hari. Sedangkan
Wuchereria bancrofti yang ditemukan di pedesaan dengan endemis tinggi
terutama di Irian Jaya (Papua) yang ditularkan melalui  Anopheles, Culex
dan Aedes. Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilarianya berukuran ±250µ,
cacing betina dewasa berukuran panjang 65  –   100 mm dan cacing jantan
dewasa berukuran panjang ±40mm. Di ujung daerah kepala membesar,
mulutnya berupa lubang sederhana tanpa bibir ( Oral stylet ) Bentuk cacing
ini gilig memanjang, seperti benang. Jika terlalu banyak jumlahnya cacing
yang berada dipembuluh darah, maka dapat menyumbat aliran limfa
sehingga kaki menjadi membengkak.
Pada saat dewasa, cacing ini menghasilkan telur kemudian akan
menetas menjadi anak cacing berukuran kecil yang disebut mikrofilaria.
Selanjutnya, mikrofilaria beredar di dalam darah. Larva ini dapat berpindah
ke peredaran darah kecil di bawah kulit. Jika pada waktu itu ada nyamuk
yang menggigit, maka larva tersebut dapat menembus dinding usus
nyamuk lalu masuk ke dalam otot dada nyamuk, kemudian setelah
mengalami pertumbuhan, larva ini akan masuk ke alat penusuk, nyamuk
itu menggigit orang, maka orang itu akan tertular penyakit ini (Djoko M,
2009).
2)  Brugia malayi
Cacing dewasa umumnya mirip dengan Wuchereria bancrofti,
hanya saja cacing B. malayi lebih kecil. Panjang cacing betina berkisar 43
hingga 55 mm, sedangkan panjang cacing jantan berkisar 13 hingga 23 mm.
Cacing dewasa dapat memproduksi mikrofilaria di dalam tubuh manusia.
Mikrofilaria tersebut memiliki lebar berkisar 5 hingga 7 um dan panjang
 berkisar 130 hingga 170 um.
Biasanya, vektor yang umum berperan dalam penyebaran B. malayi
adalah nyamuk yang berasal dari genera  Mansonia  dan  Aedes. Ketika
nyamuk menghisap darah manusia, nyamuk yang terinfeksi  B.malayi
menyelipkan larva  B.malayi  ke dalam inang manusia. Dalam tubuh
manusia, larva  B.malayi  berkembang menjadi cacing dewasa yang
 biasanya menetap di dalam pembuluh limfa. Cacing dewasa dapat
memproduksi mikrofilaria yang dapat menyebar hingga mencapai darah
tepi.
Ketika nyamuk menggigit manusia yang telah terinfeksi,
mikrofilaria dapat terhisap bersamaan dengan darah ke dalam perut
nyamuk. Setelah masuk kedalam tubuh nyamuk, mikrofilaria
meninggalkan selubungnya. Mikrofilaria kemudian berenang melalui
dinding proventikulus dan porsi kardiak (bagian dalam perut nyamuk),
hingga mencapai otot toraksis (otot dada). Di dalam otot toraksis, larva
filaria berkembang menjadi larva tahap akhir. Larva tahap akhir berenang
melalui homocoel   (rongga tubuh) hingga sampai pada probosis (sungut)
nyamuk. Ketika tiba di dalam probosis nyamuk, cacing tersebut siap
menginfeksi inang manusia yang selanjutnya infeksi  B.malayi terbatas
 pada wilayah Asia.
Beberapa negara yang mempunyai prevalensi  B.malayi antara lain
adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, dan India. Kehidupan cacing ini
 biasanya berada pada manusia dan hewan (kera, anjing, kucing). Terdapat
dua bentuk  B. malayi  yang dapat dibedakan berdasarkan periodisitas
mikrofilarianya pada darah tepi. Bentuk yang pertama, bentuk periodis
nokturnal, hanya dapat ditemukan pada darah tepi pada malam hari. Bentuk
yang kedua, bentuk subperiodis, dapat ditemukan pada darah tepi setiap
saat, hanya saja jumlah mikrofilaria terbanyak ditemukan di malam hari
(CDC, 2010).
3)  Brugia timori
Pada kedua jenis kelamin, ujung anteriornya melebar pada
kepalanya yang membulat ekornya berbentuk seperti pita dan agak bundar
 pada tiap sisi terdapat 4 papil sirkum oral yang teratur pada bagian luar dan
 bagian dalam membentuk lingkaran, esophagus panjangnya lebih kurang 1
mm dengan ujung yang kurang jelas diantara otot dan kelenjar. Cacing
dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh limfe, sedangkan
mikrofilaria di jumpai didalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing
dewasa mirip bentuknya dengan W. bancrofti, sehingga sulit dibedakan.
Panjang cacing betina  Brugia malayi dapat mencapai 55 mm, dan cacing
 jantan 23 cm.  Brugia timori betina panjang badannya sekitar 39 mm dan
yang jantan panjangnya dapat mencapai 23 mm.
BAB IV

HASIL

A. Pemeriksaan Brugia
Probandus : Ernawati
Tanggal Pengambilan : 1 November 2018
Hasil :
Invalid. Ditunjukkan dengan garis yang muncul samar pada C sedangkan garis
B tidak terlihat. Walau pada A terbentuk garis yang intensif namun intensitas
warna dari garis biru tidak mempengaruhi pembacaan tes

B. Pemeriksaan Wuchereria
Probandus : Ernawati
Tanggal Pengambilan : 1 November 2018
Hasil :
 Negatif. Ditunjukkan dengan hanya garis kontrol yang muncul.
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pemeriksaan Brugia
Ada 3 garis pada pembacaan hasil Brugia yaitu :
1. Garis A (blue line)
Intensitas warna dari garis biru tidak mempengaruhi pembacaan tes
2. Garis B (control )
3. Garis C (test line)
Pada pemeriksaan Brugia didapatkan hasil invalid. Hasil invalid dapat
disebabkan oleh beberapa kemungkinan :
1. Variabilitas antar pengamat
2. Kesalahan pembacaan
3. Kesalahan prosedur
B. Pemeriksaan Wuchereria
Ada 2 garis pada pembacaan hasil Wuchereria yaitu :
1. Garis B (control )
2. Garis C (test line)
Pada pemeriksaan Wuchereria  didapatkan hasil negatif. Namun hasil ini
 juga masih diragukan validitasnya mengingat test kit   yang digunakan telah
melampaui tanggal kadaluarsa.

Anda mungkin juga menyukai