FILARIASIS
DISUSUN OLEH :
NURUL RIFQIANI
SITI AMALIA PUTRI
MIFTAHUL JANNAH
SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr. Risna Halim, Sp.PD.
1
LEMBAR PENGESAHAN
telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Divisi Infeksi Tropis Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Supervisor Pembimbing
2
DAFTAR ISI
Halaman pengesahan... 2
A. PENDAHULUAN .... 4
B. ETIOLOGI . 5
C. EPIDEMILOGI... 5
D. PATOFISIOLOGI . 6
E. GEJALA KLINIS .. 9
F. TERAPI. 12
G. PROGNOSIS..... 16
H. PENCEGAHAN .. 17
Daftar Pustaka... 19
3
A. PENDAHULUAN
Penyakit kaki gajah / filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing
filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis)
dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan mengakibatkan cacat menetap berupa pembesaran
kaki,alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.1
Cacing filarial adalah nematoda yang diam dalam jaringan subkutan dan limfatik.
Delapan spesies filarial menginfeksi manusia, Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
Onchocerca volvulus, dan Loa-loa bertanggung jawab untuk infeksi filarial yang paling serius.
Parasit filarial, yang menginfeksi diperkirakan 170 juta orang di seluruh dunia, ditransmisikan
oleh nyamuk spesies tertentu atau Arthropoda lainnya dan memiliki siklus kehidupan yang
kompleks, termasuk infektif tahap larva yang dibawa oleh serangga dan cacing yang berada
dalam jaringan subkutan atau limfatik manusia. Keturunan dewasa adalah microfila, yang
berdasarkan spesiesnya, panjang 200-250 m dan lebar 57 m, mungkin atau mungkin tidak
tertutupi selubung longgar, dan beredar dalam darah atau bermigrasi melalui kulit (tabel 258 - 1).
Untuk menyelesaikan siklus hidup, microfilar tertelan oleh vektor antropoda dan berkembang
selama 1 2 minggu menjadi larva infektif baru. Cacing ini hidup selama bertahun-tahun,
sedangkan microfilar bertahan selama 3 36 bulan. 2
Bakteri endosymbiont Wolbachia telah ditemukan intra seluler dalam semua tahap dari
spesies Brugia, Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca dan telah menjadi target antifilarial
kemoterapi. Biasanya, infeksi didirikan hanya dengan berulang, berkepanjangan eksposur untuk
infektif larva. Karena manifestasi klinis dari penyakit filarial mengembangkan relatif lambat,
infeksi ini harus dipertimbangkan untuk mendorong infeksi kronis dengan kemungkinan efek
jangka panjang melemahkan. Dalam hal alam, keparahan, dan waktu manifestasi klinis, pasien
dengan infeksi filarial yang berasal dari daerah endemik dan memiliki seumur hidup paparan
mungkin berbeda secara signifikan dari mereka yang wisatawan atau yang baru pindah ke daerah
ini. Secara karakteristik, penyakit filarial lebih akut dan intens pada individu ang baru terpapar
daripada penduduk asli daerah endemik.2
B. ETILOGI
4
Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian tubuh atau
jaringan yang menjadi tempat bersarangnya: filariasis limfatik, filariasis subkutan (bawah
jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity). Filariasis limfatik disebabkan
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan
jaringan-jaringan di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B.
timori diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai
dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh Loa loa (cacing mata Afrika),
Mansonella streptocerca, Onchocerca volvulus, dan Dracunculus medinensis (cacing guinea).
Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis filariasis yang terakhir
disebabkan oleh Mansonella perstans dan Mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut.
Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau, untuk
Dracunculus, oleh kopepoda (Crustacea).1
C. EPIDEMILOGI
W. bancrofti, yang paling luas menyebarkan parasit filarial pada manusia, mempengaruhi
sekitar 110 juta orang dan ditemukan di seluruh daerah tropis dan subtropis, termasuk Asia dan
Kepulauan Pasifik, Afrika, daerah Amerika Selatan, dan Karibia basin. Manusia adalah host
definitif untuk parasit. Secara umum, bentuk subperiodik hanya ditemukan di Kepulauan
Pasifik; di tempat lain, W. bancrofti adalah periodik nocturnal. Bentuk periodik nocturnally dari
microfilar adalah langka di darah perifer pada siang hari dan meningkat pada malam hari,
sedangkan bentuk-bentuk subperiodic ada dalam darah perifer setiap waktu dan mencapai tingkat
yang maksimal pada sore hari. Vektor-vektor alami untuk W. bancrofti adalah Culex fatigans
nyamuk di daerah urbans dan nyamuk Anopheles atau Aedes di daerah pedesaan. Brugian
filariasis pada B. malayi terjadi terutama di India Timur, Indonesia, Malaysia dan Filipina. B.
malayi juga memiliki dua bentuk, dibedakan oleh periodisitas microfilaremia. Bentuk nokturnal
yang lebih umum ditularkan di daerah pesisir sawah, sementara bentuk subperiodic ditemukan di
hutan. B. malayi alami umumnya menginfeksi kucing seperti manusia. Penyebaran B. timori
terbatas pada Kepulauan Tenggara Indonesia.2
D. PATOFISIOLOGI
5
1. Filariasis Bancrofti, Wucheriasis, Elefantiasis
a. Penyebab
Penyebab adalah cacing filarial jenis Wucheria bancrofti. 3
b. Lingkaran Hidup
Hospes definitif adalah manusia. Penularan penyakit ini melalui vektor
nyamuk yang sesuai. Cacing bentuk dewasa tinggal di pembuluh limfe sedangkan
mikrofilia terdapat di pembuluh darah dan limfe. 3
Pada manusia Wucheria bancrofti dapat hidup selama kira-kira 5 tahun.
Sesudah menembus kulit melalui gigitan nyamuk, larva meneruskan perjalanannya
ke pembuluh dan kelenjar limfe tempat mereka tumbuh sampai dewasa dalam
waktu 1 tahun. Cacing dewasa ini sering menimbulkan varises saluran limfe
anggota kaki bagian bawah, kelenjar ari-ari, dan epididimis pada laki-laki serta
kelenjar labium pada wanita. Mikrofilia kemudian meninggalkan cacing induknya,
menembus dinding pembuluh limfe menuju ke pembuluh darah yang berdekatan
atau terbawa oleh saluran limfe ke dalam aliran darah. 3
6
endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-likunya sistem limfatik dan
kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah bening. 3
Limfadema dan perubahan kronik akibat statis bersama dengan edema keras
terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat
filariasis ini disebabkan oleh efek langsung dari cacing ini dan oleh respon imun
penjamu terhadap parasit. Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses
granulomatosa dan proliferasi yang menyebabkan obstruksi total pembuluh getah
bening. Diduga bahwa pembuluh-pembuluh tersebut tetap paten selama cacing
tetap hidup dan bahwa kematian cacing tersebut menyebabkan reaksi
granulomatosa dan fibrosis. Dengan demikian terjadilah obstruksi limfatik dan
penurunan fungsi limfatik.3
d. Cara Penularan
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung
mikrofilaria, mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung nyamuk dan
melepaskan selubungnya kemudian menembus dinding lambung nyamuk bergerak
menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Mikrofilaria akan mengalami
perubahan bentuk menjadi larva stadium I (L1), bentuknya seperti sosis berukuran
125-250m x 10-17m dengan ekor runcing seperti cambuk setelah 3 hari. Larva
tumbuh menjadi larva stadium II (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran
200- 300m x 15-30m dengan ekor tumpul atau memendek setelah 6 hari. Pada
stadium II larva menunjukkan adanya gerakan. Kemudian larva tumbuh menjadi
larva stadium III (L3) yang berukuran 1400m x 20m. Larva stadium L3 tampak
panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif setelah 8-10 hari pada
spesies Brugia dan 10-14 hari pada spesies Wuchereria. Larva stadium III (L3)
disebut sebagai larva infektif. Apabila seseorang mendapat gigitan nyamuk infektif
maka orang tersebut berisiko tertular filariasis. Pada saat nyamuk infektif
menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosisnya dan tinggal di
kulit sekitar lubang gigitan nyamuk kemudian menuju sistem limfe. Larva L3
Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu
3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti memerlukan waktu lebih 9 bulan. 4
7
Gambar 1. Cara Penularan
e. Pola Penyebaran
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Wuchereria bancrofti
ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, dan
Pekalongan. Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya mikrofilaria
banyak terdapat dalam darah tepi pada malam hari. Wuchereria bancrofti tipe
perkotaan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang biak
di air limbah rumah tangga, sedangkan Wuchereria bancrofti tipe pedesaan
ditularkan oleh nyamuk dengan berbagai spesies antara lain Anopheles, Culex, dan
Aedes. Brugia malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa
pulau di Maluku. Brugia malayi tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan
dalam darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles
barbirostis pada daerah persawahan. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna,
mikrofilaria ditemukan lebih banyak pada siang hari dalam darah tepi. Nyamuk
penularnya adalah Mansonia sp pada daerah rawa. Brugia timori tersebar di
kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor, dan Sumba. Brugia timori tipe non periodik,
8
mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam maupun siang hari. Nyamuk
penularnya adalah Mansonia uniformis yang ditemukan di hutan rimba. Brugia
timori tipe periodik nokturna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam
hari. Nyamuk penularnya adalah Anopheles barbostis di daerah persawahan di
Nusa Tenggara Timur dan Maluku Tenggara.4
E. GEJALA KLINIS
9
mengakibatkan inflamasi eosinofil akut. Demam, menggigil, sakit kepala, muntah, dan
kelemahan dapat menyertai serangan tadi. Gejala tersebut dapat berlangsung beberapa
hari-minggu. Saluran limfe yang terkena adalah ketiak, tungkai, epitoklear, serta alat
genital. Pada laki-laki umumnya terdapat funikulitis disertai dengan penebalan dan
rasa nyeri, epididimitis, orkitis, dan pembengkakan skrotum. 3
Demam pada filarial terjadi karena adanya inflamasi yang berawal dari kelenjar
getah bening (biasanya inguinal) dengan perluasan retrograde ke bawah aliran getah
bening dan disertai edema. Di sini, inflamasi diperantarai oleh imun dan kadang
beberapa episode inflamasi diawali dengan infeksi kulit. 3
Serangan akut dapat berlangsung selama satu bulan atau lebih. Bila keadaannya
berat dapat menyebabkan abses pelvis ginjal, pembengkakan epididimis, jaringan
retroperitoneal, kelenjar ari-ari, dan otot iliopsoas. Hal ini dapat terjadi karena cacing
yang mati mengalami degenerasi. Reaksi ini bersifat setempat dan menyebabkan
pertumbuhan jaringan pengikat yang berlebihan. Reaksi yang menahun dapat
menimbulkan penyumbatan saluran limfe disertai limfangitis yang berulang-ulang dan
kadang-kadang disertai dengan elephantiasis. Pemeriksaan darah pada proses menahun
didapatkan adanya leukositosis dengan eusinofilia sebesar 6-26%. Gejala lain yang
dapat timbul adalah hematuria dan proteinuria yang menunjukkan adanya kerusakan
ginjal derajat rendah. Kelainan ginjal tersebut disebabkan oleh adanya mikrofilia yang
berdar dalam darah dibandingkan dengan adanya cacing dewasa. Gejala lain yang
dapat timbul adalag tropical pulmonary eosinophilia yang disebabkan oleh respon
imunologik yang berlebihan terhadap infeksi filaria dimana ditandai dengan kadar
eosinofil darah tepi yang sangat tinggi, gejala mirip asma, penyakit paru restriktif dan
kadang obstruktif, kadar antibody spesifik antifilaria sangat tinggi, dan respon
pengobatan yang baik dengan terapi antifilaria (DEC). 3
c. Filariasis Dengan Penyumbatan
Pada stadium menahun terjadi jaringan granulasi yang prolifetatif serta
terbentuknya varises saluran limfe yang luas. Kadar protein yang tinggi dalam saluran
limfe merangsang pembentukan jaringan ikat dan kolagen. Limfadema pada filariasis
bancrifti biasanya mengenai seluruh tungkai yang dibagi dalam 4 tingkat, yaitu: 3
I. Edema piting pada tungkai yang dapat kembali normal bila tungkai diangkat
(reversible).
10
II. Edema pitting/non-pitting yang tidak dapat kembali normal bila tungkai
diangkat (irreversible).
III. Edema non-pitting, tidak dapat kembali normal bila tungkai diangkat, kulit
menjadi tebal.
IV. Edema non-pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis).
F. TERAPI
11
Diethylcarbamazine citrate (DEC) telah digunakan sejak 40 tahun lamanya dan
7,8,9,10
masih merupakan terapi anti-filarial yang digunakan secara luas. WHO
merekomendasikan pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari berturut-
turut.7,9,10 Cara pemberian tersebut tidak praktis digunakan untuk community-based control
programme karena mahal.7,9 Andrade dkk (1995) membandingkan pemberian dosis tunggal
DEC 6 mg/kgBB dan pemberian DEC dosis yang sama selama 12 hari, didapatkan kadar
mikrofilaria yang sama pada ke-2 grup setelah terapi 12 bulan, meskipun pada bulan 1, 3 dan
6 kadar mikrofilaremia tinggi pada grup dosis tunggal.9
12
menginduksi banyak antigen sehingga merangsang imun dan demikian menginduksi
berbagai reaksi. Dan diberikan antihistamin atau kortikosteroid
2. Reaksi lokal dengan atau tanpa demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, transien
limfedema, hidrokel, fulikulitis, dan epididymitis . reaksi ini cenderung terjadi kemudian
dan berlangsung lebih lama sampai beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan
spontan
Pemberian dosis oral 100-200mg/kgBB pada tikus dan kelinci hamil dilaporkan
tidak menimbulkan efek teratogenic
b. Ivermectin
Ivermectin terbukti sangat efektif dalam menurunkan mikrofilaremia pada filariasis
bancrofti di sejumlah negara.7 Obat ini membunuh 96% mikrofilaremia dan menurunkan
produksi mikrofilaremia sebesar 82%.12 Obat ini merupakan antibiotik semisintetik
golongan makrolid yang berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten.9 Dosis tunggal
200-400g/kg dapat menurunkan mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24 bulan.
Dengan dosis tunggal 200 atau 400l/kg dapat langsung membunuh mikrofilaremia dan
menurunkan produksi mikrofilaremia.
Cara kerja : memperkuat peranan GABA pada proses transmisi di saraf tepi, sehingga
cacing mati pada keadaan paralisis.mikrofilaria mengalami paralisis, sehingga mudah
dihancurkan oleh sistem retikulo-endotelial.obat ini tidak melewati BBB, maka tak
menyebabkan paralisis pada hospes. Efektivitasnya setara dengan DEC dalam hal
memberantas mikrofilaria di jaringan kulit dan rongga mata bagian depan tetapi
kerjanya lebih lambat dan menyebabkan reaksi sistemik dan reaksi terhadap mata yang
lebih ringan.21
Efek samping : pada dosis tunggal 50-200 g/kgBB efek samping yang timbul
umumnya ringan, sebentar, dan dapat ditoleransi. Biasanya berupa demam, pruritus,
sakit otot dan sendi, sakit kepala, hipotensi, dan nyeri kelenjar limfe.Gejala efek
samping ini tidak separah seperti DEC biasanya cukup disembuhkan dengan
permberian antihistamin dan antipiretik. Gejala ini berkaitan dengan jumlah
mikrofilaria yang mati dan dikenal dengan reaksi Mazzotti.efek teratogenic obat ini
terlihatpada hewan coba.21
13
c. Albendazol
Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun-tahun dan
baru baru ini di coba digunakan sebagai anti-filaria. 9 Dosis tunggal albendazol tidak
mempunyai efek terhadap mikrofilaremia.9 Albendazole hanya mempunyai sedikit efek
untuk mikrofilaremia dan antigenaemia jika digunakan sendiri. Dosis tunggal 400 mg di
kombinasi dengan DEC atau ivermectin efektif menghancurkan mikrofilaria.13
Cara kerja dengan berikatan dengan -tubulin parasit sehingga menghambat
polimerasi mikrotubulus dan memblock pengambilan glukosa oleh larva maupun
cacing dewasa, sehingga persediaan glikogen menurun dan akan mati.21
Efek samping21. Penggunaan 1-3 hari aman. Efek samping berupa nyeri ulu hati, diare,
sakit kepala, mual, muntah, pusing, insomnia
Kerusakan limfatik akibat filariasis bersifat permanen dan obat anti-filaria tidak
menyembuhkan keadaan limfedema, tetapi limfedema dapat di tatalaksana dengan cara
menghentikan serangan akut dan mencegah keadaan menjadi berat/buruk.21 Terdapat 5
komponen dasar dalam penatalaksanaan limfedema yang dapat dilakukan oleh pasien
yaitu kebersihan, pencegahan dan perawatan luka/entry lesion, latihan, elevasi dan
penggunaan sepatu yang sesuai.19,17 Komponen tambahan dalam penatalaksanaan
14
limfedema adalah penggunaan emolien, verban, stocking, pijat, antibiotik pofilaksis dan
tindakan bedah.9,17,18
Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat menjadi terapi
tambahan. Obat ini mengikat protein yang telah terakumulasi sehingga menginduksi
fagositosis makrofag menyebabkan terpecahnya protein yang kemudian keluar kedalam
vena dan dibuang oleh sistem vascular.9,18
Tindakan bedah pada limfedema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah jika
tidak terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfedema sangat besar sehingga
mengganggu aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi
konsevatif.18 Berbagai prosedur operasi digunakan tetapi secara umum tidak memberikan
hasil yang memuaskan.21 Yang termasuk dalam prosedur ini adalah lymphangioplasty,
lympho-venous anastomosis dan eksisi (de-bulking) dari jaringan subkutan yang
fibrotik.9,18 Peranan tindakan pembedahan limfedema ekstremitas akibat filariasis sangat
terbatas.9
Penatalaksanaan hidrokel adalah dengan pemberian obat anti-filaria, perawatan dasar
seperti kebersihan, dan tindakan bedah.16 Indikasi operasi pada pasien dengan hidrokel
adalah jika mengganggu pekerjaan, mengganggu aktivitas seksual, mengganggu
berkemih, dan memberi efek sosial terhadap keluarga.Prosedur yang digunakan adalah
dengan melakukan eksisi tunika vaginalis sebanyak mungkin dan membalikkannya
(Bergmann Wingklemann) untuk hidrokel besar dan prosedur Lord untuk hidrokel kecil
dimana dilakukan pengecilan tunika vaginalis dengan merempel.16
Penatalaksanaan kiluria adalah istirahat, diet tinggi protein rendah lemak, minum
banyak (paling sedikit 2 gelas/jam selama BAK masih seperti susu). Tindakan bedah
masih kontroversi tetapi di anjurkan untuk kasus yang berat.9,16 Prosedure yang
digunakan adalah lympho-venous disconnection, lymphangio-venous anastomosis,
lymphnode-saphenous vein anastomosis.
G. PROGNOSIS 20
Pada kasus- kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien pindah dari
daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan dengan pemberian
obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus - kasus lanjut terutama dengan edema tungkai,
prognosis lebih buruk Prognosis penyakit ini tergantung dari jumlah cacing dewasa dan
15
mikrofilaria dalam tubuh penderita, potensi cacing untuk berkembang biak, kesempatan
untuk infeksi ulang dan aktivitas RES
H. PENCEGAHAN 19
1. Pengobatan massal
Cara pencegahan penyakit yang paling efektif adalah mencegah gigitan nyamuk
pembawa mikrofilaria( kontrol vector) tetapi sudah tidak di gunakan lagi mengingat
panjangnya masa hidup pasrasit (4-8 tahun) Apabila suatu daerah sebagian besar sudah
terkena penyakit ini, maka pengobatan massal dengan DEC, ivermectin, atau albendazol
dapat diberikan setahun sekali dan sebaiknya dilakukan paling sedikit selama 5 tahun.
Diberikan 2 regimen obat yaitu albendazol 400mg dan Ivermectin 200mg/kgBB cukup
efektif.hal ini merupakan pendekatan alternative dalam menurunkan jumlah mikrofilaria
dalam populasi.
DEC dosis standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu,
DEC diberikan dosis lebih rendah (6mg/kgBB), dengan jangka waktu pemberian yang
lebih lama untuk mencapai dosis total yang sama misalnya dalam garam DEC 0,2-0,5%
selama 9-12 bulan atau pemberian obat dilakukan seminggu sekali,atau dosis tunggal
setiap 6 bulan atau 1 tahun sekali
16
\
2. Pengendalian vector
Kegiatan pengendalian vector adalah pemberantasan tempat perkembangbiakan
nyamuk melalui pemberantasan nyamuk dewasa ( Anopheles : residual indoor spraying,
Aedes : aerial spraying), pemberantasan jentik nyamuk ( Anopheles : Abate 1%, Culex :
minyak tanah, Mansonia ( melenyapkan tanaman air tempat perindukan, mengeringkan
rawa dan saluran air). Kegiatan lainnya adalah menghindari gigitan nyamuk dengan
memasang kelambu, menggunakan obat nyamuk bakar atau obat nyamuk semprot
17
Daftar Pustaka
2 Kasper, Fauci. dkk. 2015. Harrisons Principles of Internal Medicine 19th Edition. USA:
McGraw-Hill.
3 Sudoyo, Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.
4 Kasper, Dennis L. dkk. 2004. Harrisons Principles of Internal Medicine 16 th Edition.
USA: McGraw-Hill.
5 Felix Partono, Agnes Kurniawan. Wucheria Bancrofti. Dalam: Parasitologi Kedokteran
Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000.p. 35-9.
6 Felix Partono, Agnes Kurniawan. Brugia Malayi dan Brugia Timori. Dalam:
Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000.p. 40-1.
7 Melrose WD. Lymphatic filariasis: new insight into an old disease. Int J parasitol
2002;32:947-955
8 Partono F, Kurniawan A, Oemijati S. Nematoda jaringan. Dalam: Gandahusada S,
Illahude H, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3Jakarta:Balai
penerbit FKUI;2003:35-44 12
9 Addis DG, Dreyer G. Treatment of lymphatic filariassis. Dalam Thomas B. Nutman,
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press;2002:151-180
10 Siraut C, Bhumiratana A, Koyadun S, Anurat K, Satitivipawee K. Short term effects of
treatment with 300 mg oral-dose diethylcarbamazine on nocturnally periodic wuchereria
bancrofti microfilaremia and antigenemia. Southeast Asian J Trop Med Public Health
2005;36(4):832-840 24
11 Pedoman penatalaksanaan reaksi simpang pengobatan filariasis. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PP&PL, Jakarta 2007
12 Stolk WA, Gerrit J. Van Oortmarssen, S. P. Pani, Sake J, De Vlas, S. Subramanian, P.K.
Das Effects of ivermectin and diethylcarbamazine on microfilaria and overall microflaria
production in bancroftian filariasis. Am. J. Trop. Med. Hyg.2005;73(5): 881887
13 Anitha K, Shenoy RK. Treatment of lymphatics: current trends.Indian J of Derm, ven and
lepr 2001;67(2):60-65
14 Kusmaraswami V. The clinical manifestation of lymphatic filariasis. Dalam : Nutman TB
penyunting. Limphatic filariasis. Imperial college press;2002:103-122
18
15 Nutmat TB, James W kazura . Filariasis.Dalam: Guerrant RL, walker DH, Weller PF,
penyunting.,Tropical Infectious Disease. Edisi ke-2. Philadelphia: Elsevier;2006:1152-9
16 Pedoman penatalaksanaan kasus klinis filariasis. Departemen kesehatan Republik
Indonesia. Direktorat jenderal PP&PL. Jakarta 2006
17 Dreyer G, Addis D, Dreyer P, Nores J. Basic lymphoedema management. Holis, NH:
Holis Publishing Company 2002
18 Lymphedema tersedia pada http://www.emedicine.com/med/topic794.htm
19 Widoyono. Penyakit Tropis.Erlangga medical series;2011: 190
20 Pohan,T. Filariasis dalam Buku Ajar Ilmu penyakit dalam.Jilid I.Edisi.VI.2015.Balai
Penerbit FKUI EGC.772-775
21 Gunawa,S.Farmakologi dan Terapi.Edisi V. 2009. Balai Penerbit FKUI.546-547
19