1/1/2015
JURNAL KESEHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit kronis yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk, dan dapat menyebabkan kecacatan dan stigma. Penyakit ini merupakan penyakit
menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis )
dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran
kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Filariasis disebabkan oleh tiga
spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Penyakit
Kaki Gajah bukanlah penyakit yang mematikan, namun demikian bagi penderita mungkin
menjadi sesuatu yang dirasakan memalukan bahkan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari serta
menurunkan produktivitas. Penyakit Filariasis disebut juga dengan Elefentiasis, karena
penderitanya sering mengalami bengkak di kaki yang sangat besar menyerupai kaki gajah. 1
Orang terkena penyakit ini sering tidak dapat melakukan pekerjaan karena kecacatan mereka
atau karena sebagian orang enggan berdekatan dengan mereka.
Di Indonesia, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit Kaki
Gajah ini tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali
ditemukan di Jakarta pada tahun 1889. Ahli epidemiologi dari FK UI, Sholeh Imari mengatakan
bahwa rata-rata prevalensi endemis filariasis di Indonesia sekitar 19% dan Papua yang
merupakan daerah paling tinggi prevalensinya yaitu sekitar 38 persen.2 Menurut info dari WHO,
urutan negara yang terdapat penderita mengalami penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India
dan Bangladesh), Afrika, Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara
Thailand dan Indonesia (Asia Tenggara). 3
1
http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.htm
Meskipun banyak masyarakat yang sudah mengetahui bahaya penyakit tersebut, namun
masih banyak juga yang belum tanggap terhadap penyakit ini dan kurangnya pengetahuan
tentang penyakit ini. Sehingga masyarakat merasa mempunyai ketidaktahuan akan bagaimana
proses penyebaran penyakitnya, maka masyarakat juga banyak yang tidak tahu langkah-langkah
apa yang harus dilakukan agar mereka terhindar dari penularan penyakit ini. Penulis membuat
paper ini yang yang berisi tentang epidemiologi filariasis/perkembangan penyakit filariasis
beserta prevalensi di Indonesia dan dunia, konsep Host-Agent-Environment, riwayat alamiah
penyakit, faktor risiko, etiologi, dan program pencegahan serta penanggulangannya.
2.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan penyakit filariasis di Indonesia?
2. Berapa besar prevalensi penyakit filariasis di Indonesia dan dunia?
3. Bagaimana konsep Host-Agent-Environment penyakit filariasis?
4. Bagaimana interaksi antara Host Agent dan Environment?
5. Bagaimanakah riwayat alamiah penyakit pada penyakit filariasis?
6. Bagaimanakah etiologi penyakit filariasis?
7. Bagaimanakah program pencegahannya?
8. Bagaimanakah program penanggulangannya?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula maka Jakarta
diketahui endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh W. bancrofti. Flu pada tahun 1921
telah menemukan kasus microfilaremia di Jakarta. Mikrofilaria dari filaria tersebut mempunyai
morfologi yang berbeda dengan W. bancrofti. Demikian juga manifestasi klinisnya berbeda
dengan manifestasi klinis oleh infeksi W.bancrofti. Brugia malayi belum terindentifikasi sampai
tahun 1927, pada saat itu masih dinamakan Filaria malayi oleh Brug (1928). Pada tahun yang
sama Lichtenstein merubah nama genus menjadi Brugia tetapi nama spesies tetap. Pinhao (1961)
dan David dan Edeson (1964,1965) telah menemukan mikrofilaria yang mirip dengan
mikrofilaria B.malayi pada manusia di Timor Portugis. Sementara itu mikrofilaria yang sama
ditemukan di Timor Barat,Flores dan Alor, Pada periode tersebut penelitian difokuskan pada
penyebaran W. bancrofti dan B.malayi. Penemuan yang tidak kalah pentingnya adalah
pada saat Palmieri et al pada tahun 1980 menemukan spesies baru dari Wuchereria pada lutung
(Presbythis cristatus) di Kalimantan Selatan. Spesies baru tersebut diberi nama Wuchereria
kalimantani.
Wuchereria bancrofti tipe perdesaan masih banyak ditemukan di Papua dan beberapa
daerah lain di Indonesia. Sepuluh spesies nyamuk telah diidentifikasi sebagai vektor tetapi vektor
utamanya adalah Anopheles farauti dan An. punctulatus. Wuchereria bancrofti tipe urban
ditemukan di kota-kota besar antara lain Jakarta, Semarang, Pekalongan dengan nyamuk
vektornya : Culex quinquefasciatus. Brugia malayi ditemukan tersebar di berbagai wilayah di
Indonesia, umumnya di daerah pantai dan dataran rendah. Vektornya adalah enam spesies
Mansonia yaitu, Ma. uniformis, Ma. bonneae, Ma. dives,
Ma. annulata, Ma. annhulifera dan Ma. Indiana sedangkan di Indonesia bagian timur ditambah
Anopheles barbirostris sebagai vektor utama. Brugia malayi mempunyai reservoir yaitu kucing
(Felis catus) dan kera (Presbytis cristatus dan Macaca fascicularis) dengan demikian B. malayi
merupakan penyakit zoonosis. Brugia timori ditemukan di pulau-pulau Nusa Tenggara Timur
dan kepulauan Maluku Selatan. Brugia timori umumnya endemik di daerah persawahan dan
vektor utamanya adalah An. barbirostris.
Di Indonesia kurang lebih 10 juta orang telah terinfeksi oleh filariasis sedangkan kurang
lebih 150 juta orang hidup di daerah endemik (population at risk). Berbagai metoda untuk
memberantas filariasis di Indonesia telah dilakukan, antara lain, pengobatan masal dengan dosis
standar di sekitar Bendungan Gumbasa di Sulawesi Tengah dan di Banjar, Kalimantan Selatan.
Pengobatan dengan dosis rendah yang diikuti oleh dosis standar telah dilakukan di Kalimantan
Selatan, Flores Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi dengan hasil yang sangat baik. Dengan
melihat pengalaman penelitian maka program pemberantasan filariasis memutuskan melakukan
pemberantasan dengan menggunakan DEC dosis rendah seminggu sekali selama 40 minggu.
2.
Prevalensi Filariasis
Di Indonesia, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit
Kaki Gajah ini tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil
survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di
231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233
orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate
(Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100
juta orang mempunyai resiko tinggi untuk tertular karena nyamuk penularnya tersebar luas.
Pada tahun 2008, jumlah kasus kronis filariasis mencapai 11.699 kasus di 378
kabupaten/kota.4. Sedangkan sebanyak 316 dari 471 kabupaten/kota telah terpetakan secara
epidemiologis endemis filariasis. Berdasarkan hasil pemetaan didapat prevalensi
mikrofilaria di Indonesia 19% dari seluruh populasi Indonesia yang berjumlah 220 juta
orang, berarti terdapat 40 juta orang didalam tubuhnya mengandung mikrofilaria dan 150
juta orang hidup di daerah endemik filariasis. Biasanya daerah endemik adalah daerah
dengan hutan rawa, sepanjang sungai besar atau badan air yang lain, kawasan kumuh kota,
daerah padat penduduk dan banyak genangan air kotor.5
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, sampai Oktober 2009 penderita kronis
filariasis tersebar di 386 kabupaten/kota di Indonesia. Sedangkan hasil pemetaan nasional
diketahui prevalensi mikrofilaria sebesar 19%, artinya kurang lebih 40 juta orang di dalam
tubuhnya mengandung mikrofilaria (cacing filaria) yang mudah ditularkan oleh berbagai
jenis nyamuk.6
http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/
http://kesehatan.kompas.com/read/2008/04/18/11491580/Atasi.Filariasis.dengan.Efek.Samping.Ringan
6
http://www.depkes.go.id
Filariasis limfatik ditemukan di daerah tropis Asia, Afrika, Amerika tengah dan
selatan, dan kepulauan Pasifik dengan taksiran 120 juta manusia di 80 negara yang
terjangkit. Lebih dari 40% di India dan 33% di Afrika.. Di Afrika prevalensi keseluruhan
filariasis adalah 9,2%. Filariasis limfatik yang disebabkan cacing dapat menurunkan
produktivitas penderita, keluarga, dan secara tidak langsung menurunkan produktivitas
masyarakat.
3.
tersebut terhadap faktor agent. Semua orang mungkin rentan terinfeksi, namun ada perbedaan
yang bermakna secara geografis terhadap jenis dan beratnya infeksi. Infeksi ulang yang terjadi di
daerah endemis dapat mengakibatkan manifestasi lebih berat seperti elephantiasis. Masyarakat
pedesaan yang tinggal di daerah persawahan terbuka yang sebagian besar ditemukan di Asia
Tenggara juga rentan terkena filariasis dengan agen Brugia malayi.
Faktor Agent
Agen adalah semua unsur atau elemen hidup maupun tak hidup yang kehadirannya atau
ketidakhadirannya, bila diikuti dengan kontak yang efektif dengan kontak manusia yang rentan
dalam keadaan yang memungkinkan, akan menjadi stimuli untuk menginisiasi dan memudahkan
terjadinya suatu proses penyakit. Agent dari suatu penyakit meliputi agent biologis dan agent non
biologis (misalnya: agent fisik, agent kimia, dll).
Filariasis disebabkan agent biologis (yang bersifat parasit pada manusia), agent tersebut
termasuk kelompok metazoa (athropoda dan helmints). Agent filariasis adalah 3 spesies cacing
filarial : Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. Cacing ini menyerupai benang
dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. Cacing ini
dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 6 tahun dan dalam tubuh manusia
cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah
terutama malam hari.
Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia,
Aedes & Armigeres. Karena inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat.
Faktor Environment
ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Filariasis brugia hanya ditemukan di
pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Wuchereria bancrofti
umum ditemukan di daerah perkotaan dengan kondisi ideal untuk perkembangbiakan nyamuk.
Secara umum periodisitas nokturnal dari daerah endemis Wuchereria di wilayah Pasifik yang
ditemukan di sebelah barat 140 bujur timur sedangkan dengan subperiodisitas diurnal
ditemukan di wilayah yang terletak di sebelah timur daerah 180 bujur timur. Brugia malayi
endemis di daerah pedesaan di India, Asia Tenggara, daerah pantai utara China dan Korea
Selatan. Brugia timori keberadaannya di daerah pedesaan di Kepulauan Timor, Flores, Alor dan
Roti di Tenggara Indonesia.
d. Air
Vektor filariasis suka menggunakan tempat-tempat genangan air sebagai tempat perindukan
yang sesuai untuk pertumbuhan dari telur menjadi dewasa.
2. Lingkungan Biologi
a. Reservoar
Sumber infeksi filariasis bukan hanya manusia, melainkan kucing dan kera, meskipun
hewan lain mungkin juga terkena infeksi.
b. Vektor
Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis
cacing filarianya. Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor
dari genus mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres. Vektor tersebut adalah :
1. W. bancrofti perkotaan dengan vektornya Culex quinquefasciatus
2. W. bancrofti pedesaan dengan vektor Anopheles, Aedes dan Armigeres
3. B. malayi dengan vektor Mansonia spp, Anopheles barbirostris.
4. B. timori dengan vektor Anopheles barbirostris.
Culex memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Aedes Aegepty, bila Aedes aegepty suka
hidup pada air bersih maka Culex menyukai air yang kotor seperi genangan air, limbah
pembuangan mandi, got ( selokan ) dan sungai yang penuh sampah. Culex, nyamuk yang
memiliki ciri fisik coklat keabu-abuan ini mampu berkembang biak di segala musim. Hanya saja
jumlahnya menurun saat musim huijan karena jentik-jentiknya terbawa arus. Nyamuk ini
melakukan kegiatannya di malam hari.
c. Flora
Tanaman air pada rawa-rawa merupakan tempat perindukan nyamuk yang menjadi vektor
filariasis. Hutan dan kebun yang dipenuhi pepohonan juga menjadi tempat bermukimnya
nyamuk.
3. Lingkungan Sosial-Ekonomi
a. Kepadatan penduduk
Biasanya daerah endemik adalah daerah padat penduduk, karena dengan penduduk yang
padat maka penularan filariasis melalui vektor yang mengandung mikrofilaria dari satu orang
yang terinfeksi kepada yang lain akan lebih mudah dan cepat.
b. Tingkat pengetahuan
Tingkat pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian filariasis. Orang yang memiliki
pengetahuan tinggi tentang filariasis dan kesehatan, mereka dapat melakukan pencegahan yang
dimulai dari diri sendiri.
4. Interaksi antara Host Agent dan Environment
a. Interaksi agent-lingkungan
Agent dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan (tanpa menghiraukan karakteristik dari
host). Perubahan pada lingkungan menyebabkan mudahnya penyebaran dari agent.
b. Interaksi Host-Lingkungan
Adalah keadaan dimana host dipengaruhi secara langsung oleh lingkungan (tanpa
menghiraukan faktor agen), biasanya juga pada tahap prepatogenesis dan patogenesis.
c. Interaksi Host-Agent
Adalah keadaan dimana suatu agent telah berada dalam diri host, bermukim dengan baik,
berkembang biak dan mungkin telah menstimuli respons dari host dengan timbulnya tanda-tanda
dan gejala-gejala klinis.
d. Interaksi Agent-Host-Lingkungan
Adalah keadaan dimana agent, host dan lingkungan saling mempengaruhi satu dengan
lainnya dalam menginisiasi timbulnya suatu proses penyakit.
5.
1. Periode prepatogenesis
Periode prepathogenesis adalah adanya interaksi awal antara faktor-faktor host,
agent dan environment. Pada fase ini penyakit belum berkembang tapi kondisi yang
melatarbelakangi untuk terjadinya penyakit telah ada. Fase rentan termasuk dalam
tahapan prepathogenesis.
penyebab pertama untuk pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Pada filariasis, fase ini
terjadi ketika seseorang digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam
tubuhnya mengandung larva stadium 3 (L3). Masa prepaten, masa antara masuknya larva
infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja
dari penduduk di daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok
mikrofilaremik inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Nyamuk sendiri
mendapat mikro filarial karena menghisap darah penderita atau dari hewan yang
mengandung mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor menghisap darah penderita
(mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut terhisap bersama darah dan
masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh nyamuk microfilaria tidak berkembang
biak tetapi hanya berubah bentuk dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva
3, karenanya diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi. Didalam tubuh
manusia larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa
jantan atau betina serta bekembang biak. Di sini faktor penyebab pertama belum
menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya
penyakit.7
2. Periode Pathogenesis
Yaitu periode dimana telah dimulai terjadinya kelainan/gangguan pada tubuh
manusia akibat interaksi antara stimulus penyakit dengan manusia sampai terjadinya
7
http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kaki-gajahfilariasis/
kesembuhan, kematian, kelainan yang menetap dan cacat. Periode pathogenesis dapat
dibagi menjadi fase subklinis, fase klinis dan fase penyembuhan.
Fase Subklinis
Fase ini disebut juga dengan pre-symtomatic, dimana perubahan faali atau system
dalam tubuh manusia (proses terjadinya sakit) telah terjadi, namun perubahan tersebut
tidak cukup kuat untuk menimbulkan keluhan sakit dan pada umumnya pencarian
pengobatan belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan mikroskopis darah pada waktu
malam hari, maka akan ditemukan mikrofilaria dalam tubuh mereka. Begitu pula jika
meminum obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
pemerintah dalam program eliminasi penyakit kaki gajah, akan timbul efek samping
seperti sakit kepala, sakit tulang atau otot, pusing, anoreksia, muntah, demam, dan alergi
yang menandakan terdapat microfilaria dalam tubuh mereka.
Fase Klinis
Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan tubuh telah cukup
Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan
muncul lagi setelah bekerja berat
Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis)
Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
Sedangkan gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang
menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis
skroti).8
Fase Konvalesens
Merupakan tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa fase konvalesens
6. Etiologi
Penyakit filariasis disebabkan oleh genus Filaria yang merupakan cacing darah jaringan,
sedangkan spesies nyamuk berperan sebagai sumber penularan antar manusia. Secara
epidemiologi sasarannya adalah masyarakat pedesaan yang beradaptasi terhadap cacing dan
menyebabkan cacat badan seumur hidup berupa elephantiasis. Pendatang di daerah endemis
rentan terhadap penularan, karena daya immunitas yang belum dipunyai sebelumnya. Penyakit
filariasis di Indonesia disebabkan oleh : Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori.
Kucing dan kera dapat diduga sebagai sumber penularan melalui vektor nyamuk.
http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html
o
Wuchereria bancrofti menyebabkan filariasis limfatik bancrofti.
o
Brugia malayi menyebabkan filariasis limfatik malayan.
o
Loa loa menyebabkan loaiasis atau Calabar swelling.
o
Onchocerca volvulus menyebabkan filariasis kutaneus atau onchocersiasis.
Perlu diingat beberapa spesies Filaria lain, yaitu :
Tetrapetalonema perstans menyebabkan gejala alergi.
Tetrapetalonema streptocerca menyebabkan iritasi.
Mansonella ozzardi menyebabkan luka dan radang.
Transmisi
Serangga yang menggigit - mengisap darah, merupakan perantara penyakit filariasis.
Larva ikut terisap oleh serangga melalui kulit atau jaringan kulit yang luka. Tiap spesies
mempunyai vektor sendiri-sendiri.
Siklus hidup
Larva filaria masuk melalui kulit, kemudian akan melanjutkan migrasi ke seluruh tubuh
manusia mengikuti aliran darah; dalam waktu 315 bulan akan berkembang menjadi cacing
dewasa; migrasi larva secara lebih lengkap tidak banyak diketahui. Lokalisasi cacing dewasa
dapat dilihat pada tabel 1. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam tubuh host.
Mikrofilaria adalah larva yang dihasilkan oleh cacing betina secara viviparous. Jumlah
mikrofilaria tergantung spesiesnya, yang juga dipengaruhi resistensi kulit host maupun faktor
yang lain. Saat diketemukannya jumlah mikrofilaria optimal di dalam aliran darah tepi disebut
periodisitas. Misalnya W. bancrofti dan B. malayi mempunyai nocturnal periodicity, sedangkan
Loa loa mempunyai diurnal periodicity (siang hari). Selama jam-jam tidak ada gigitan serangga,
mikrofilaria tinggal di dalam kapiler paru. Beberapa jenis mengenal subperiodicity, mikrofilaria
diketemukan di aliran darah tepi selama 24 jam terus menerus dengan sedikit peningkatan pada
siang hari atau malam hari.
Mikrofilaria kulit tidak mengenal periodisitas. Periodisitas mikrofilaria dapat dilihat pada
tabel 2. Pertumbuhan mikrofilaria mutlak memerlukan serangga. Bila hal ini tidak terjadi maka
dalam waktu satu sampai dua tahun akan mati. Mikrofilaria yang terhisap serangga akan
bermigrasi ke otot serangga dalam waktu 12 minggu dan selanjutnya akan menjadi stadium
infektif. Larva yang matang/mature akan diketemukan di mulut serangga, dan siap untuk
dipindahkan ke manusia pada saat menghisap darah.
Wuchereria bancrofti
Brugia malayi
Loa 1oa
Onchocerca volvulus
Tetrapetalonema perstans
Tetrapetalonema streptocerca
Mansonella ozzardi
Periodisitas
Waktu
pengambilan darah
1. Wuchereria bancrofti
noktumal
2. Brugia malayi
diurnal subperiodicity
3. Brugia timori
4. Loa loa
noktumal
22.00 - 02.00
nocturnal subperiodicity
22.00 - 02.00
(zoonotic strain)
noktumal
diurnal
7.
22.00 - 02.00
01.00 - 14.00
menyediakan sarana-sarana untuk pelatihan dan pendidikan di rumah sakit dan di tempattempat umum.
8.
Usaha pemerintah Indonesia dalam menangani kasus filariasis terlihat dalam program
eliminasi kaki gajah atau yang dikenal dengan ELKAGA. Kegiatan-kegiatan dalam rangka
ELKAGA yang telah dilaksanakan seperti :
a.
2.
b.
c.
adapun
pengobatan
Individual
(penderita
kronis),
dimana
semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari selama 10 hari sebagai
pengobatan individual serta dilakukan perawatan terhadap bagian organ tubuh yang
bengkak.9
http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahankaki-gajahfilariasis/
DAFTAR PUSTAKA
Profil kesehatan 2008
Modul Dasar-Dasar Epidemiologi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
http://www.depkes.go.id
http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/
http://bidansmart.wordpress.com/2009/11/24/filariasis/
http://kabar.in/2009/indonesia-headline/rilis-berita-depkominfo/11/20/kaki-gajah-ditularkanoleh-penderita-yang-tanpa-gejala-klinis.html
http://kesehatan.kompas.com/read/2008/04/18/11491580/Atasi.Filariasis.dengan.Efek.Samping.
Ringan
http://sarangpenyamun.wordpress.com/2008/08/12/penyebab-penularan-dan-pencegahan-kakigajahfilariasis/
http://www. penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html
http://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=32
http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html