Anda di halaman 1dari 28

TUGAS PARASITOLOGI II

REVIEW 10 JURNAL TENTANG NEMATODA JARINGAN (SPESIES WUCHERERIA


BANCROFTI, BRUGIA MALAYI, DAN BRUGIA TIMORI).

DI SUSUN OLEH

NAMA : I GUSTI BAGUS PANJI SULAKSANA

NIM : P07134019015

KELAS: A

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
PRODI DIII ANALIS KESEHATAN
2019 – 2021

Link jurnal : https://media.neliti.com/media/publications/57734-ID-distribusi-filariasis-


brugia-timori-dan.pdf
A. PENDAHULUAN
Filariasis limfatik atau filariasis atau penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular
menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah
bening (sistem limfatik). Penyakit ini dapat menyebabkan gejala klinis akut dan kronis.
Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua dan paling melemahkan, dilaporkan pertama
kali di Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Filariasis limfatik tergolong
Neglected Tropical Disease, penyakit tropis yang terabaikan dan tidak dianggap penting,
karena efeknya tidak langsung menyebabkan kematian. Meskipun filariasis bukan merupakan
penyakit yang mematikan namun kecacatan yang ditimbulkan memberikan kerugian bagi
penderita dan membebani keluarganya. Penderitaan karena kasus kronis filariasis cukup lama
dan diidentifikasi sebagai penyebab kecacatan terbesar kedua di dunia setelah kecacatan
mental. Kecacatan yang ditimbulkannya akan mengurangi produktifitas, selain itu juga
berdampak pada kondisi psikologis penderita dengan gejala kronis karena diasingkan oleh
keluarga dan masyarakat, kesulitan mendapat suami atau istri, dan menghambat mendapat
keturunan.
Ada tiga jenis cacing filariasis di Indonesia yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, dan B. timori. Penyebaran W. bancrofti dan B. malayi paling luas di Indonesia,
sedangkan untuk B. timori terbatas di beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur. Dalam
perkembangannya terdapat lima genus nyamuk sebagai vektor filariasis yaitu: Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres.
Filariasis limfatik sudah endemik di banyak negara, diestimasikan lebih dari 1,3
miliar orang berisiko terinfeksi. Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta
penduduk di 83 negara, terutama negara di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis.
Kasus filariasis kronis tersebar di 231 kabupaten, 674 wilayah puskesmas dan 1.553
desa/kelurahan. Diperkirakan 3,1 % penduduk Indonesia telah terinfeksi dengan kisaran
mikrofilaremia rate (Mf-rate) antara 0,5- 17,9%.
Tujuan khusus dari program eliminasi filariasis di Indonesia adalah dengan
menurunkan angka mikrofilaria kurang dari 1% di setiap kabupaten/kota dan mencegah serta
membatasi kecacatan karena filariasis.
Berdasarkan laporan ditemukan kasus kronis filariasis yang cukup banyak di
Kecamatan Kodi Balaghar, maka diadakan survei darah jari (SDJ) di wilayah tersebut.
Tujuan dari survei darah jari ini adalah mengukur prevalensi, distribusi kasus, mengetahui
kepadatan dan jenis parasit di Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba
Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Diharapkan dari hasil ini dapat memeberikan
masukan dan penguatan cakupan pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Sumba Barat
Daya.

B. TUJUAN

Penelitian dalam jurnal bertujuan untuk mensurvei atau meneliti terjadinya penyakit Filariasis
(Kaki gajah) di Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba Barat Daya,
Nusa Tenggara Timur. Mengingat daerah tersebut terkena kasus kronis filariasis Yang
diakibatkan oleh jenis cacing Filariasis Brugia Timori dan Wuchereria Bancrofti.
C. SAMPEL

Sampel diambil pada penduduk berumur 20 tahun ke atas yang sudah diberi penjelasan dan
bersedia berpartisipasi, kegiatan pengambilan sampel dilakukan pada malam hari jam 20:00.
Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 500 sampel darah yang terpilih.

D. METODE

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan penelitian yang deskriptif dan dengan
desain cross sectional, serta untuk pemeriksaannya sendiri menggunakan metode darah tetes
tebal. Untuk Lokasi penelitiannya adalah Kecamatan Kodi Balaghar, Kabupaten Sumba
Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada bulan April sampai Agustus 2012. Desa
yang terpilih adalah Desa Kahale, pemilihan berdasarkan data kasus kronis terbanyak di
kecamatan tersebut. Data yang dikumpulkan adalah Mf rate, jenis mikrofilaria, kepadatan
mikrofilaria, dan titik koordinat rumah penderita positif mikrofilaria dan tempat potensial
perkembangbiakkan nyamuk di sekitar rumah kasus.

E. HASIL

Jumlah sampel SDJ (Survei darah jari) selama penelitian di Desa Kahale diperoleh 500
sampel. Hasil pemeriksaan didapatkan 21 sampel yang darahnya positif mikrofilaria dengan
Mf rate 4,2% (21/500). Karakteristik sampel yang didapatkan berdasarkan jenis adalah laki-
laki sebanyak 245 orang dengan 7,3% positif mikrofilaria dan perempuan sebanyak 255
orang dengan 1,2% positif mikrofilaria. Uji statistik menunjukkan ada hubungan yang
bermakna antara kasus positif mikrofilaria dengan umur dan jenis kelamin (p<0,05).
Prevalensi mikrofilaremia paling banyak dijumpai pada umur 15 tahun ke atas. Prevalensi
pada kelompok umur 30-45 tahun sebanyak 10,7% dan pada umur 15-30 tahun sebanyak
9,3%.

F. PEMBAHASAN

Hasil SDJ menunjukkan bahwa Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balagahar merupakan daerah
endemik filariasis dengan angka mikrofilaremia (Mf rate) sebesar 4,2%. Jika dibandingkan
dengan Mf rate dua kecamatan lain di Kabupaten Sumba Barat Daya yang pada tahun 2009
melakukan survei darah jari yaitu di Desa Mata Kapore, Kecamatan Kodi Bangedo (1,04%)
dan Desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan (1,32%), maka Mf rate Kecamatan Kodi
Balaghar adalah yang paling tinggi. Suatu daerah dikatakan endemis filariasis jika mf rate ≥
1%.2 Dari 21 kasus yang dalam darahnya mengandung mikrofilaria, tidak terlihat adanya
pembengkakan kaki atau lengan. Hal ini disebabkan tidak semuanya orang yang positif
mikrofilaria menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemik filariasis munculnya gejala
klinis yang sudah kronis bervariasi, bahkan sebagian besar penderita walaupun telah
terinfeksi filaria tidak menunujukkan gejala klinis sama sekali.
Distribusi kasus positif berdasarkan jenis kelamin lebih banyak dijumpai pada lakilaki
dibandingkan dengan perempuan. Ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
kasus positif mikrofilaria.
Untuk Golongan umur yang paling banyak ditemukan mikrofilaria dalam darahnya adalah
kelompok usia produktif umur 15-45 tahun. Secara statistik menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna antara umur dengan kasus positif mikrofilaria.

G. KESIMPULAN

Kasus filariasis di Desa Kahale, Kecamatan Kodi Balaghar tergolong tinggi dengan Mf rate
4,2%. Distribusi kasus filariasis lebih banyak ditemui pada laki-laki dan usia produktif.
Filariasis di Kecamatan Kodi Balghar disebabkan oleh W. bancrofti dan B. timori. Terdapat
tiga jenis infeksi yaitu: infeksi W. bancrofti, infeksi B. timori, dan infeksi campuran antara
W. bancrofti dan B. timori. Kepadatan rata-rata seluruh mikrofilaria 190,86 mf/ml darah.
Kepadatan masing-masing mikrofilaria W. bancrofti sebanyak 160,04 mf/ml dan B. timori
sebanyak 115,97 mf/ml. Dengan besarnya Mf rate dan ditemukannya kasus infeksi campuran
menunjukkan tingginya penularan filariasis. Persebaran filariasis terdistribusi berdekatan
dengan tempat potensial perkembangbiakkan nyamuk.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penentuan dan evaluasi daerah


endemis filariasis. Jakarta:Dirjen PP & PL; 2005.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana nasional program akselerasi eliminasi
filariasis di Indonesia. Jakarta: Subdit filariasis & schistomiasis, Direktorat P2B2, Ditjen PP
& PL; 2010.
3. Indriyati L, Waris L, Rahman A, Juhairiyah. Epidemiology Filariasis di Kabupaten
Nunukan. J Buski. 2013; 4(4): 155-61.
4. Tuti S, Hasugian AR, Ekowatiningsih R. Masalah filariasis di Kabupaten Sikka, Provinsi
NTT. Bull Penelit Kesehat. 2009; 37 (4): 169-79.
5. World Health Organization. Research Priorities for Helminth Infections: technical report of
the TDR disease reference group on helminth infections. 2012. Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75922 /1/WHO_TRS_972_eng.pdf?ua=1.
6. Nana-djeunga HC, Tchatchueng-mbougua JB, Bopda J. Mapping of Bancroftian Filariasis in
Cameroon : Prospects for Elimination. PLoS Negl Trop Dis [Internet]. 2015;1–19.
from:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pntd.00 04001.
7. Sudomo M. Lymphatic filariasis in Indonesia. In: Kimura E, Rim HJ, Dejian S,
Weerasooriya MV, editors. Asian Parasitology: Filariasis in Asia and Western Pacific
Islands. Jepang. The Federation of Asian Parasitologists. 2005; (3), p. 69-76.
8. World Health Organization. Monitoring and epidemiological assessment of the programme
to eliminate lymphatic filariasis at implementation unit level. 2005. Cited available afrom:
http://www.searo.who.int/LinkFiles/New Lymphatic Filariasis OMS LF ME Assessment.pd
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman program eliminasi filariasis di
Indonesia. Jakarta: Dirjen PP & PL; 2005.
10. Tan M, Kusriastuti R, Sovioli L, Hotez PJ. Indonesia: An Emerging Market Economy
Beset by Neglected Tropical Diseases (NTDs). PLoS Negl Trop Dis. 2014; Februari 8 (2):1-
5.
11. Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat Daya. Data kasus filaria tahun 2011 dan laporan
sementara pengobatan massal filariasis Kabupeten Sumba Barat Daya. Tambolaka: 2011.
12. Sopi IIPB, Adnyana NWD. Cakupan Pengobatan Massal Fillariasis di Kabupaten Sumba
Barat Daya Tahun 2011. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2013; 12 (1): 19-24.
13. Hooper PJ, Chu BK, Mikhailov A, Ottesen EA, Bradley M. Assessing Progress in
Reducing the At-Risk Population after 13 Years of the Global Programme to Eliminate
Lymphatic Filariasis. PLoS Negl Trop Dis. 2014;8(11):1–7.
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penentuan dan Evaluasi Daerah
Endemis FIlariasis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: 2012
15. Heriyanto B, Boewono DT, Widiarti, Boesri H, Widyastuti M, Blondine C, et al. Atlas
Vektor Penyakit di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2011.
16. Soeyoko. Penyakit kaki gajah (filariasis limfatik): permasalahan dan alternatif
penanggulangannya. Pidato pengukuhan jabatan guru besar FK UGM. Yogyakarta. 2005.
17. Santoso, Sitorus H, Oktarina R. Faktor Risiko Filariasis di Kabupaten Muaro Jambi. Bull
Penelit Kesehat. 2013; 41(3): 152-62.
18. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penatalaksanaan kasus klinis
filariasis. Jakarta: Dirjen P2M&PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2006.
19. Supali T, Wibowo H, Ruckert P, Fischer K, Ismid IS, Purnomo, et al. High prevalence of
Brugia timori infection in the high of Alor Island, Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2002;
66 (5): 560-5.
20. McNulty SN, Mitreva M, Weil GJ, Fischer PU. Inter and intra-specific diversity of
parasites that cause lymphatic filariasis. Infection, Genetics and Evolution. 2013; 14: 137-
46.
Link jurnal : http://www.rp2u.unsyiah.ac.id/index.php/welcome/prosesDownload/10158/4

A. PENDAHULUAN

Filariasis adalah penyakit tropis kronik terabaikan (chronic neglected tropical disease)
yang disebabkan oleh cacing filaria yang bersifat parasitik. Penyakit ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang serius di daerah tropis, termasuk di Indonesia. Cacing
filaria termasuk ke dalam golongan Nematoda dan ditularkan melalui perantaraan nyamuk.
Penyakit ini menyebabkan infeksi kronis dan jangka panjang melalui penekanan kekebalan
tubuh manusia. Banyak literatur telah menyebutkan peran sistem imun dalam perkembangan
penyakit filariasis, baik dalam fase akut maupun kronis. Sel-sel darah putih (leukosit)
memainkan peran yang sangat signifikan pada imunitas tubuh teradap cacing filaria terutama
pada penghancuran cacing maupun dalam menyebabkan patologi. Salah satu jenis leukosit
yang sangat penting dalam respon imun terhadap filariasis adalah sel-sel granulosit.
Tinjauan kepustakaan ini memberikan gambaran tentang peran sel-sel granulosit pada
patogenesis penyakit Filariasis Limfatik terutama pada pada fase akut dan kronis. Selain
membahas berbagai studi pada spesies filarial yang menginfeksi manusia seperti Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, studi literature ini juga memaparkan banyak
penelitian tentang fungsi netrofil, eosinofil dan basofil pada model infeksi filariasis pada
hewan coba seperti Litomosoides sigmodontis dan Brugia pahangi. Lebih lanjut, sel mast
serta beberapa produk yang dihasilkan oleh sel-sel granulosit yang berperan dalam
pertahanan tubuh manusia terhadap infestasi cacing filaria juga dibahas dalam tinjauan
kepustakaan ini, sehingga memberikan gambaran yang utuh terhadap peran granulosit pada
penyakit Filariasis.
Definisi, epidemiologi dan patogenesis Filariasis limfatik adalah infeksi menahun
yang disebabkan oleh infestasi cacing filarial yang menyerang sistem limfatik teruatama di
daerah ekstremitas sehingga menyebabkan kecacatan yang permanen. Filariasis Limfatik
disebut demikian karena cacing filaria dewasa berada pada sarang (nest) yang melebar
(lymphangiectasia) di dalam pembuluh limfatik, paling sering di ekstremitas dan alat kelamin
laki-laki. Meskipun filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh vektor (vector borne
disease) paling umum kedua di dunia setelah malaria. penyakit ini masih termasuk kedalam
penyakit tropis terabaikan di dunia. Hal ini dikarenakan meskipun penyakit ini dapat
menyebabkan morbiditas yang signifikan di seluruh dunia tetapi masih terbatasnya perhatian
dari organisasi kesehatan dan program penelitian dari lembaga-lembaga terkait . Filariasis
juga merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan limfedema sekunder. .Filariasis
banyak ditemukan di daerah tropis terutama di Asia, Afrika dan Amerika Selatan dengan dua
pertiga kasus ditemukan di India, Indonesia dan Nigeria. Tiga spesies nematoda filarial
diketahui menyebabkan filariasis pada manusia: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan
Brugia timori. W. bancrofti menyebabkan lebih dari 90% dari total infeksi filariasis. B.
malayi terutama ditemukan di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia,
sedangkan B. timori hanya terdapat di Indonesia timur dan Timor Leste .
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa filariasis adalah penyebab
terbesar kedua untuk kecacatan kronis di seluruh dunia setelah trauma akibat kecelakaan.
Saat ini, lebih dari 15 juta orang yang kebanyakan wanita, hidup dengan limfedema dan 25
juta orang menderita pembengkakan urogenital, terutama hidrokel di skrotum.
Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk dari genus Culex, Aedes, Anopheles atau
Mansonia (5). Di Afrika, filariasis sebagian besar ditularkan oleh nyamuk Anopheles, yang
juga mentransmisikan malaria (9). Dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria (larva stadium 1 atau
L1) melepaskan selubung mereka, menembus ke dalam usus (midgut) nyamuk dan
menyusupi otot-otot toraks nyamuk (10). Setelah 2 tahap perubahan stadium dalam tubuh
nyamuk (L1 ke L2 dan L2 ke L3), larva stadium 3 (L3) infeksius dipindahkan ke tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk (10). Pada manusia, L3 menembus kulit dan menuju ke
sistem limfatik. Dalam pembuluh dan kelenjar limfatik, L3 berubah menjadi larva stadium 4
(L4) dan menjadi dewasa setelah beberapa bulan (10). Cacing dewasa bisa hidup bertahun-
tahun di pembuluh dan kelenjar limfatik dan menghasilkan mikrofilaria yang memiliki umur
3-36 bulan (10). Mikrofilaria bermigrasi ke sirkulasi hingga kemudian masuk kedalam tubuh
nyamuk ketika nyamuk menghisap darah manusia terinfeksi (1). Mikrofilaria dalam tubuh
nyamuk kemudian berubah menjadi L2 dan L3 seperti yang telah disebutkan sebelumnya
sehingga siklusnya terjadi terus menerus (1).

B. TUJUAN

Penelitian dalam jurnal bertujuan untuk meneliti peran sel-sel granulosit pada patogenesis
penyakit Filariasis Limfatik terutama pada pada fase akut dan kronis filariasis.

C. PERAN GRANULOSIT

Granulosit merupakan kelompok leukosit yang beredar dalam darah atau jaringan yang
memiliki granul yang padat dalam sitoplasmanya. Granul-granul tersebut akan memberi
gambaran yang spesifik ketika diwarnai dalam sediah darah. Granulosit disebut juga dengan
sel polymorphonuclear (PMN) karena intinya tidak beraturan. Granulosit mencakup netrofil,
eosinophil dan basophil yang kemudian berdiferensiasis menjadi sel mast dalam jaringan.
Granulosit terlibat dalam respon imun terhadap infeksi filaria dan sangat penting bagi
penghancuran pada fase awal ketika cacing masuk ke dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel
tersebut memainkan peran penting pada perkembangan patologi penyakit.
Peran beberapa jenis granulosit yang diketahui penting selama proses infeksi filariasis
akan dibahas di bawah ini. Selain itu sel mast yang memiliki karakteristik mirip dengan
granulosit juga akan dibahas pada bagian berikut ini :

1. Netrofil
Netrofil adalah sel efektor dari sistem kekebalan tubuh bawaan yang berumur pendek serta
penting dalam imunitas terhadap patogen ekstraseluler termasuk selama fase awal infeksi
filariasis. Netrofil merupakan sel yang pertama sekali dikerahkan ke tempat infeksi selama
fase peradangan akut. Dalam penelitian-penelitian tersebut dijelaskan bahwa netrofil
penting untuk perlindungan (terutama dalam membunuh cacing) serta pada perkembangan
patologi penyakit. Netrofil terlibat dalam penghancuran cacing filaria setidaknya dengan
dua cara yaitu secara langsung oleh aktivitas fagositosis dan secara tidak langsung dengan
metode enkapsulasi dalam granulomata.

2. Eosinofil
Eosinofil adalah granulosit yang berkembang dalam sumsum tulang. Eosinofil berperan
sebagai sel efektor, sel penyaji antigen (antigen presenting cell, APC) yang 'tidak
profesional', berperan dalam meningkatkan respon imun humoral serta dalam
menyebabkan patologi penyakit . Eosinofil terutama terlibat dalam mekanisme efektor
pada infeksi cacing dan penyakit alergi. Peran eosinofil dalam respon imun tubuh terhadap
parasit masih dalam perdebatan dan mungkin tergantung pada spesies cacing. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa eosinofil tidak memiliki peran pada imunitas tubuh
terhadap cacing Schistosoma mansoni atau induksi patologi pada tubuh penjamu.
3. Basofil
Basofil memiliki jumlah sel yang lebih sedikit dalam darah dibandingkan netrofil dan
eosinophil. Sama seperti netrofil dan eosinophil, Basofil mempunyai granul yang berisi
enzim dan protein toksik yang dilepaskan jikalau sel tersebut teraktivasi. Peran utama
basofil adalah pada penyakit alergi. Walaupun demikian, sama seperti eosinophil, basofil
juga seharusnya memainkan peran penting dalam perlindungan terhadap infestasi cacing,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa peran basofil tidak terlalu signifikan pada
penyakit filariasis, ini disebabkan karena Basophil hanya memiliki jumlah yang sedikit
serta masa hidupnya yang singkat.

Sel Mast
Meskipun sel mast tidak termasuk sel granulosit, menjadi penting untuk membahas sel
mast karena sel tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama dengan sel granulosit
seperti basofil dan eosinofil. Sel mast juga memiliki mekanisme aksi dan fungsi yang
hampir sama dengan kedua jenis granulosit tersebut. Sel mast merupakan sel
hematopoietik bergranul yang multifungsi, berada di hampir semua jaringan dan biasanya
ditemukan di seluruh jaringan barier seperti kulit dan mukosa serta di lokasi perivaskular
dalam jaringan. Karena berada di tempattempat yang strategis serta kemampuannya dalam
melepaskan mediator inflamasi secara cepat, sel mast berkontribusi sebagai pertahanan
pertama terhadap pathogen.

D. KESIMPULAN
Filariasis, terutama yang berkaitan dengan sistem limfatik (Filariasis Limfatik), merupakan
penyakit infeksi tropis menahun yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Karena penyakit ini menimbulkan berbagai
dampak sosial, psikologi dan ekonomi yang tinggi, menjadi penting untuk mengetahui
patogenesis penyakit terutama aspek imunologi yang menyertai sehingga dapat mencegah
infeksi sedini mungkin. Pemahaman terhadap sel imun yang terlibat, terutama kelompok sel
granulosit merupakan salah satu faktor penting dalam memahami aspek imunologi penyakit,
apalagi dengan kenyataan bahwa sel-sel granulosit sangat berperan pada fase awal penyakit
ketika larva memasuki tubuh melalui perantaraan nyamuk serta ketika larva mencoba untuk
bertahan (establishment) dalam tubuh manusia. Selain itu, dengan memahami peran sel
granulosit pada penyakit filariasis, kita bisa berupaya untuk menemukan cara untuk
meningkatkan fungsi sel granuloasit dalam pertahanan pertama terhadap infeksi cacing filaria
serta menemukan obat-obat baru yang lebih efektif dalam pengobatan penyakit filariasis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Taylor MJ, Hoerauf A, Bockarie M. Lymphatic filariasis and onchocerciasis. Lancet


[Internet]. 2010 Oct 2 [cited 2012 Nov 14];376(9747):1175–85. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/20739055
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta;
2016.
3. Upadhyayula SM, Mutheneni SR, Kadiri MR, Kumaraswamy S, Nelaturu SCB. Data base
management system for lymphatic filariasis--a neglected tropical disease. PLoS One
[Internet]. 2012 Jan [cited 2013 May 29];7(7):e39970. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov /articlerender.fcgi?artid=3390335
&tool=pmcentrez&rendertype=abs tract.
4. WHO. WHO Fact sheet No. 102 Lymphatic filariasis. Geneve; 2013.
5. Pfarr KM, Debrah AY, Specht S, Hoerauf A. Filariasis and lymphoedema. Parasite Immunol
[Internet]. 2009 Nov [cited 2012 Nov 14];31(11):664–72. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov /articlerender.fcgi?artid=2784903
&tool=pmcentrez&rendertype=abs tract
6. WHO. Weekly epidemiological record. Geneve; 2012.
7. Michael E, Bundy D a. Global mapping of lymphatic filariasis. Parasitol Today [Internet].
1997 Dec;13(12):472–6. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/15275135
8. WHO. Working to overcome the global impact of neglected tropical diseases - First WHO
report on neglected tropical diseases. Geneve; 2010.
9. Hopkins DR. Disease eradication. N Engl J Med [Internet]. 2013 Jan 3 [cited 2013 Mar
8];368(1):54– 63. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/23281976
10. Nutman TB, Weller PF. Filarial and related infections. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 1260–6.
11. Ramaiah KD, Das PK, Michael E, Guyatt H. The economic burden of lymphatic filariasis
in India. Parasitol Today [Internet]. 2000 Jun;16(6):251–3. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/10827432
12. Hoerauf A. Filariasis: new drugs and new opportunities for 51 lymphatic filariasis and
onchocerciasis. Curr Opin Infect Dis [Internet]. 2008 Dec [cited 2012 Nov 14];21(6):673–
81. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/18978537
13. Specht S, Hoerauf A. Nematode: Filarial Nematodes. In: Lamb T, editor. Immunity to
Parasitic Infection. Chicester: John Wiley & Son, Ltd; 2012. p. 201–30.
14. Makepeace BL, Martin C, Turner JD, Specht S. Granulocytes in helminth infection -- who
is calling the shots? Curr Med Chem [Internet]. 2012 Jan;19(10):1567– 86. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov /articlerender.fcgi?artid=3394172
&tool=pmcentrez&rendertype=abs tract
15. Muhsin M. Role of interleukin-6 during infection with the filarial nematode Litomosoides
sigmodontis. University of Bonn, Germany; 2013.
16. Murphy KM. Janeway’s Immunobiology. 8th ed. New York: Garland Science; 2012.
17. Mantovani A, Cassatella M a, Costantini C, Jaillon S. Neutrophils in the activation and
regulation of innate and adaptive immunity. Nat Rev Immunol [Internet]. Nature Publishing
Group; 2011 Aug [cited 2013 Mar 7];11(8):519–31. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/21785456
18. Al-Qaoud KM, Pearlman E, Hartung T, Klukowski J, Fleischer B, Hoerauf a. A new
mechanism for IL-5-dependent helminth control: neutrophil accumulation and neutrophil-
mediated worm encapsulation in murine filariasis are abolished in the absence of IL 5. Int
Immunol [Internet]. 2000 Jun;12(6):899–908. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/10837417
19. Saeftel M, Volkmann L, Korten S, Brattig N, Al-Qaoud K, Fleischer B, et al. Lack of
interferon-gamma confers impaired neutrophil granulocyte function and imparts prolonged
survival of adult filarial worms in murine filariasis. Microbes Infect [Internet]. 2001
Mar;3(3):203–13. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/11358714
20. Saeftel M, Arndt M, Specht S, Volkmann L, Hoerauf A. Synergism of Gamma Interferon
and Interleukin-5 in the Control of Murine Filariasis. Infect Immun. 2003;71(12):6978–85.
21. Porthouse KH, Chirgwin SR, Coleman SU, Taylor HW, Klei TR. Inflammatory Responses
to Migrating Brugia pahangi ThirdStage Larvae. Infect Immun. 2006;74(4):2366–72.
22. Rosenberg HF, Dyer KD, Foster PS. Eosinophils: changing perspectives in health and
disease. Nat Rev Immunol [Internet]. Nature Publishing Group; 2013 Jan [cited 2013 Feb
28];13(1):9– 22. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/23154224
23. Meeusen EN, Balic a. Do eosinophils have a role in the killing of helminth parasites?
Parasitol Today [Internet]. 2000 Mar;16(3):95–101. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/10689327
24. Sher A, Coffman RL, Hieny S, Cheever AW. Ablation of Eosinophil and IgE Response
with Anti-IL-5 or anti-IL-4 Antibodies Fails to Affcet Immunity Against Schistosoma
mansoni In the Mouse. J Immunol. 1990;143(11):3911–6.
25. Swartz JM, Dyer KD, Cheever AW, Ramalingam T, Pesnicak L, Domachowske JB, et al.
Schistosoma mansoni infection in eosinophil lineage-ablated mice. Blood [Internet]. 2006
Oct 1 [cited 2013 May 21];108(7):2420–7. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov /articlerender.fcgi?artid=1895572
&tool=pmcentrez&rendertype=abs tract
26. Martin C, Al-Qaoud KM, Ungeheuer MN, Paehle K, Vuong PN, Bain O, et al. IL-5 is
essential for vaccine-induced protection and for resolution of primary infection in murine
filariasis. Med Microbiol Immunol [Internet]. 2000 Nov;189(2):67–74. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/11138639
27. Le Goff L, Loke P, Ali HF, Taylor DW, Allen JE. Interleukin-5 is essential for vaccine-
mediated immunity but not innate resistance to a filarial parasite. Infect Immun [Internet].
2000 May;68(5):2513– 7. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov
/articlerender.fcgi?artid=97453&to ol=pmcentrez&rendertype=abstrac t
28. Martin C, Le Goff L, Ungeheuer MN, Vuong PN, Bain O. Drastic reduction of a filarial
infection in eosinophilic interleukin-5 transgenic mice. Infect Immun [Internet]. 2000
Jun;68(6):3651–6. Available from: http://www.pubmedcentral.nih.gov /articlerender.fcgi?
artid=97655&to ol=pmcentrez&rendertype=abstract
29. Babayan SA, Read AF, Lawrence R a, Bain O, Allen JE. Filarial parasites develop faster
and reproduce earlier in response to host immune effectors that determine filarial life
expectancy. PLoS Biol [Internet]. 2010 Jan [cited 2012 Nov 13];8(10):e1000525. Available
from: http://www.pubmedcentral.nih.gov /articlerender.fcgi?artid=2957396
&tool=pmcentrez&rendertype=abs tract
30. Specht S, Saeftel M, Arndt M, Endl E, Dubben B, Lee N a, et al. Lack of eosinophil
peroxidase or major basic protein impairs defense against murine filarial infection. Infect
Immun [Internet]. 2006 Sep [cited 2012 Nov 13];74(9):5236–43. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov /articlerender.fcgi?artid=1594830
&tool=pmcentrez&rendertype=abs tract
31. Hübner MP, Larson D, Torrero MN, Mueller E, Shi Y, Killoran KE, et al. Anti-FcεR1
antibody injections activate basophils and mast cells and delay Type 1 diabetes onset in
NOD mice. Clin Immunol [Internet]. 2011 Nov;141(2):205–17. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov /articlerender.fcgi?artid=3257875
&tool=pmcentrez&rendertype=abstract
Linkjurnal:
https://journal.ipb.ac.id/index.php/actavetindones/article/download/27187/17395/

A. PENDAHULUAN

Filariasis limfatik adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing jaringan filarial jenis
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Distribusi penyakit ini hampir di
seluruh wilayah Indonesia dan di beberapa daerah dengan tingkat endemisitas cukup tinggi.
Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI tahun 2016, sampai saat ini
penderita di daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama
pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawarawa, dan hutan. Secara umum filariasis
bancrofti tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan
Papua. Daerah endemis Wuchereria bancrofti dibedakan menjadi tipe pedesaan dan tipe
perkotaan berdasarkan vektor yang menularkan. Wuchereria tipe pedesaan ditularkan oleh
vektor Anopheles, Culex dan Aedes sedangkan tipe perkotaan vektornya Culex
quinquefasciatus (Kemenkes RI, 2010).

Kota Pekalongan merupakan salah satu daerah endemis filariasis limfatik di Provinsi
Jawa Tengah. Kasus filariasis di Kota Pekalongan mulai ditemukan sejak tahun 2002 dan
pada tahun 2004 mulai dilakukan Survei Darah Jari (SDJ sebagai langkah awal dalam upaya
eliminasi filariasis di Kota Pekalongan. Berdasarkan survei darah jari (SDJ) yang telah
dilakuka mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 jumlah kasus klinis yang ditemukan
sebanyak 172 kasus, sedangkan kasus kronis sebanyak 21 kasus. Pada tahun 2010, kasus
filariasis di Kota Pekalongan berjumlah 63 penderita yang terdiri atas 55 kasus klinis dan 8
kasus kronis. Pada tahun 2011 Kota Pekalongan mengalami peningkatan jumlah kasus
menjadi 117 penderita yang terdiri dari 110 kasus klinis dan 7 kasus kronis. Pada tahun 2012
jumlah kasus filariasis menjadi 66 penderita yang terdiri dari 59 kasus klinis dan 7 kasus
kronis yang diambil dari sampel 4 kelurahan yaitu Kelurahan Kertoharjo, Jenggot, Pabean
dan Banyurip (Dinkes Kota Pekalongan, 2012). Kecenderungan penyebaran penyakit
filariasis berkaitan erat dengan semakin meningkatnya kepadatan penduduk, sanitasi
lingkungan yang buruk serta keberadaan tempat perkembanganbiakan nyamuk.

Berdasarkan perilaku mikrofilaria , filarial limfatik dapat dibedakan dalam berbagai


varian intra spesifik yaitu periodik nokturnal, subperiodik noktural, B.malayi),subperiodik
diurnal serta non periodik. Pada periodik diurna, mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi
terutama pada siang hari dan mencapai puncak pada pukul 10.00–13.00. Pada subperiodik
diurna mikrofilaria ditemukan di dalam darah tepi selama 24 jam, tetapi kepadatan
mikrofilaria cenderung lebih banyak ditemukan pada siang hari. Pada mikrofilaria yang
bersifat nokturnal, stadium mikrofilaria ditemukan di dalam darah tepi terutama pada malam
hari dan mencapai puncaknya pada pukul 22.00–01.00, sementara mikrofilaria yang
mempunyai sifat subperiodik nokturnal, berada dalam darah tepi selaFma 24 jam tetapi
mencapai puncaknya pada pukul 18.00–22.00. Menurut Sasa (1976) dan Partono (1978)
mikrofilaria yang sifatnya nonperiodik, stadium mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah
tepi sepanjang waktu dan tidak ada puncak kepadatan.
Kota Pekalongan termasuk daerah endemis Wuchereria bancrofti tipe perkotaan
(urban) dengan kondisi lingkungan yang kumuh, padat penduduknya dan terdapat genangan
air kotor dari pencemaran industri rumah tangga (batik). Mata pencaharian sebagian besar
penduduk sebagai pengrajin batik (industri rumah tangga) dan petani. Letak Kelurahan
Pabean yang berdekatan dengan pantai, mengakibatkan suhu udara antara 29 °C-31 o C (Kota
Pekalongan 2015). Porositas/peresapan tanah di wilayah Pabean tergolong rendah schingga
mengakibatkan keberadaan genangan air bertahan lebih lama. Pada saluran air limbah
industri rumah tangga terutama limbah pewama batik dan saluran irigasi masih banyak
ditemukan sampah menumpuk yang mengakibatkan air sulit mengalir. Kondisi lingkungan
sebagaimana tersebut di atas sangat disukai sebagai tcmpat perkembangbiakan nyamuk
penular filariasis (Sunaryo 2008). Kondisi tersebut yang mengakibatkan transmisi filariasis
limfatik masih berlangsung, hal ini diperkuat dengan masih ditemukannya larva cacing
filariasis (stadium L3) pada nyamuk Culex quinquefasciatus (Ramadhani et al. 2010).

B. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional.


Kelurahan Pabean dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan termasuk empat
Kelurahan dengan masalah filariasis limfatik dengan mf rate lebih dari 1% (Dinkes Kota
Pekalongan 2012). Kelurahan Pabean merupakan daerah perkotaan dengan lingkungan
pemukiman yang padat penduduknya dan banyaknya genangan air baik dari limbah rumah
tangga, pewarnaan kain batik maupun rob air laut. Porositas tanah yang rendah
mengakibatkan air tergenang dalam waktu relatif lama.

Kegiatan pengambilan darah jari dilakukan malam hari pada pukul 19.00 - 24.00 WIB
terhadap 500 orang penduduk di Kelurahan Pabean. Seluruh masyarakat yang telah
dikumpulkan terlebih dahulu diberi penjelasan tentang cara pengambilan dan pemeriksaan
sedian darah jari yang akan dilakukan, maanfaat serta meminta kesediaan masyarat untuk
diperiksa. Masyarakat yang telah menandatangani informed concent dan mendaftarkan diri
kemudian diberi pertanyaan singkat apakah pernah mempunyai riwayat demam. Masyarakat
yang telah mendaftar kemudian diambil darahnya pada ujung jari dan dibuat sediaan darah
tebal sesuai dengan SOP dari Depertemen Kesehatan (Dep Kes RI 2002).

C. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan morfologi mikrofilaria yang didapatkan, parasit penyebabnya dapat


diidentifikasikan sebagai Wuchereria bancrofti yang secara epidemiologi termasuk tipe
perkotaan. Adapun ciricirinya adalah memiliki selubung, pada ruang kepala perbandingan
panjang sama dengan lebarnya, tidak ada inti pada ujung ekor dan lekukan badannya halus
(WHO 2013). Hasil pemeriksaan menunjukkan keberadaan mikrofilaria dalam darah tepi
tidak selalu dijumpai pada setiap periode pemeriksaan selama 24 jam, akan tetapi lebih
cenderung ditemukan pada malam hari setelah pukul 20.00 dan yang tertinggi pada pukul
22.00. Sementara hari mikrofilaria hanya pada 3 dan 4.

Hasil analisis statistik pemeriksaan darah selama 24 jam pada keenam penderita
mikrofilaremia di Kelurahan Pabean menunjukkan bahwa pada dasarnya W.bancrofti di
daerah tersebut bersifat nokturnal (Tabel 3) dan mempunyai pola yang harmonik. Sifat ini
ditunjukkan pada semua penderita dengan harga F diatas harga F 5%, sifat nokturnal juga
dipertegas dengan melihat harga K yang relatif pendek intervalnya yaitu malam hari mulai
pukul 22.00-03.00. Waktu puncak kepadatan mikrofilaria menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara malam dan siang hari. Dari hasil analisis penelitian ini terlihat bahwa parasit
filaria menyesuaikan perilaku aktifitas menggigit dari nyamuk sebagai vektornya yaitu Culex
quinquefasciatus yang cenderung menggigit pada malam hari.

D. PEMBAHASAN

Kejadian filariasis melibatkan banyak faktor yang kompleks yaitu cacing filaria, manusia
sebagai inang, nyamuk sebagai vektor, lingkungan biologik, sosial budaya serta perilaku
masyarakat (Santoso 2010). Kelurahan Pabean Kota Pekalongan merupakan daerah endemis
filariasis limfatik yang disebabkan cacing Wuchereria bancrofti yang masuk tipe perkotaan
dengan vektor utama Cx. quinquefasciatus.

Penelitian periodisitas pada keenam penderita yang diambil darahnya di Kelurahan Pabean
Kota Pekalongan menunjukkan mikrofilaria yang ditemukan adalah W.bancrofti. Hal tersebut
sesuai dengan ciri W.bancrofti mempunyai sarung / sheath, ujung anterior membulat / tumpul
dengan 2 buah stylet (alat pengebor), ujung posterior runcing, perbandingan ruang kepala
dengan panjang : lebar yaitu 1 : 1, inti terlihat kasar, tersusun teratur sampai ujung posterior,
tidak ada inti pada ujung ekor.

Hasil penelitian menunjukkan sifat periodik nokturnal W. bancrofti yang berarti bahwa
penularan filariasis limfatik di Kelurahan Pabean terjadi pada malam hari. Hal ini merupakan
hasil adaptasi yang terjadi antara perilaku nyamuk vektor (Cx. quinquefasciatus) yang
menggigit pada malam hari dengan perilaku mikrofilaria yang bersifat nokturnal (Sudjadi
1996). Kondisi ini sama dengan filariasis limfatik di India dan negara-negara endemik lain di
dunia kecuali daerah Pasifik.

DAFTAR PUSTAKA

Aikat, Das. 1976. A Modified Statistical Method for analysis of periodicity of Mikrofilariae.
WHO/Fil/76; 142:1

Beriajaya. 2009. Peranan vektor sebagai penular penyakit zoonosis Proc. Lokakarya Nasional
Penyakit Zoonosis Hal. 275-288

Budi Mulyaningsih, F.A.Sudjadi, 1999,Brugia malayi nonperiodik sebagai Penyebab Filariasis


pada Penduduk Asli Dayak Benuak di Pedalaman Kalimantan Timur, Berita Kedokteran
Masyarakat XV (3)
Chadijah, S., Rosmini and Srikandi, Y. 2015. Perilaku mikrofilaria Brugia malayi pada subjek
Filariasis di Desa Polewali Kecamatan Bambalamotu Kabupaten Mamuju Utara Sulawesi
Barat, JurnaL Aspirator, 7(2); 42–47

da Rocha, EMM, Fontes G. and Ehrenberg, JP 2017 ‘Lymphatic Filariasis’, in Arthropod


Borne Diseases. Springer, pp. 369–38

Dinkes Kota Pekalongan, 2012 Laporan P2P DinasKesehatan Kota Pekalongan. Pekalongan:
Dinas Kesehatan Kota Pekalongan Download: Januari 25, 2018

Haryuningtyas S.D, Subekti DT. 2004. Dinamika filariasis di indonesia. Lokakarya Nasional
Penyakit Zoonosis. 2004: 242-250. http: //digilib. litbang.deptan.go.id/repositor
y/index.php/repository/

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI] 2010, Buletin Jendela


Epidemiologi, Volume 1

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI] 2014, Panduan Pemeriksaan


Lymphatic Filariasis Dengan Metode Survei Darah Jari, Subdit Filariasis dan Kecacingan,
Ditjen P2PL, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI] 2015. Peraturan Menteri


Kesehatan Repubik Indonesia Nomor 94 tahun 2014, tentang Penanggulangan Filariasis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

Khan AM, Dutta P, Das S, Pathak AK, Sarmah P, Hussain ME, Mahanta J, 2015 Microfilarial
Periodicity of Wuchereria bancrofti in Assam, Northeast India, J Vector Borne Dis. ;
52(3):208- 12

Kota Pekalongan 2015, Profil Kelurahan Pabean http://www.pabean.pekalongankota.or.id/

Mac Donald ,W.W.1976. Mosquito genetics in relation to filarial infections. pp.1-24


In:Taylor,A.E.R. and Muller,R. (ed.) Genetic aspects of host-parasite relationships Symposia
of the British Society for Parasitology, Vol.14). Oxford, Blackwell
Link jurnal:
http://journal.poltekkesmks.ac.id/ojs2/index.php/mediaanalis/article/download/118/84

A. PENDAHULUAN

Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang
cacing dewasanya hidup dalam kelenjar limfe dan darah manusia, ditularkan oleh serangga
(nyamuk) secara biologik, penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (disebut elephantiasis/
kaki gajah), pembesaran lengan, payudara dan alat kelamin wanita maupun laki laki.

Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu : Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh
manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah.

Kepastian diagnosis dari infeksi filaria seringkali didasarkan atas ditemukannya


mikrofilaria dalam darah atau jaringan. Penentuan spesies dari mikrofilaria didasarkan ada
tidaknya sheath (sarung) dan letak dari inti pada spesimen yang dipulas. Pada keadaan
tertentu, organisme sulit ditemukan karena mikrofilaria yang terdapat dalam sirkulasi darah
jumlahnya sedikit. Pada manusia diagnosis didasarkan atas ditemukannya cacing dalam
jaringan. (Lynne S. Garcia dan David A. Bruckner, 2014)

Di Indonesia penyakit filariasis tersebar luas hampir diseluruh propinsi. Berdasarkan


laporan dari hasil survei pada tahun 2000 tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas
tersebar di 231 Kabupaten Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis
6233 orang. Hasil survei laboratorium, melalui pemeriksaan darah kapiler, rata-rata
Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 % berarti sekitar 6 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk
ketularan karena nyamuk penularannya tersebar luas.

Keadaan lingkungan sangat berpengaruh terhadap cacing filaria, biasanya endemis di


daerah hutan dan rawa seperti Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara Timur (NTT),
Maluku dan Irian Jaya. Mf rate tertinggi di Indonesia sejak tahun 2001 terdapat di Provinsi
Aceh dan NTT dengan kisaran antara 6,9-11,6 (Mf rate). Hasil survei cepat (Rapid Mapping)
tahun 2000 oleh Departemen Kesehatan melaporkan bahwa di Propinsi Aceh terdapat 1908
kasus dan di propinsi NTT terdapat 1706 kasus kronis filariasis. Kedua propinsi tersebut
mewakili daerah-daerah lain dengan kasus kronis tersebar di Indonesia (Kus Irianto,2014

Berdasarkan Laporan Tahunan Puskesmas Liukang Kalmas tahun 2009 diketahui


bahwa di Kecamatan Liukang Kalmas Pulau Doangdoangan Caddi dan Pulau
Bangkobangkoan terdapat jumlah kasus kronis filariasis yang ditemukan yaitu 13 penderita
dengan masa perlangsungan penyakit 1-40 tahun (Puskesmas Liukang Kalmas, 2009)

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep, di Pulau Doang-doangan


Caddi pada peninjauan dan tahap pengobatan masal pertama ditemukan 86 orang warga yang
positif terkena filariasis. Dalam pengobatan massal tahap kedua, dari 800 orang warga yang
disurvei dan diobati, terdapat 71 orang warga yang dinyatakan positif mengidapfilariasis
(penyakit kaki gajah).(Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep,2012).

Permasalahan dalam penelitian ini adalah, sampai saat ini infeksi mikrofilaria pada
penduduk di Kepulauan Doang-doangan Caddi Desa Kanyurang Kecamatan Liukang Kalmas
Kabupaten Pangkep belum diketahui dengan pasti karena kurangnya fasilitas untuk mendata
dan pemeriksaan mikrofilaria dalam darah penduduk apalagi di daerah terpencil.

B. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan observasi Laboratorik yaitu melakukan


pemeriksaan mikrofilaria secara mikroskopis pada penduduk di Kepulauan Doangdoangan
Caddi Desa Kanyurang Kecamatan Liukang Kalmas Kabupaten Pangkep.

Pengambilan Sampel dan pembuatan sediaan dilakukan di Pulau Doang-doangan Caddi Desa
Kanyurang Kecamatan Liukang Kalmas Kabupaten Pangkep. Pemeriksan mikroskopis
dilaksanakan di Laboraturium Parasitologi Kampus Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan
Makassar pada 5-7 Juli 2017.

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di kepulauan Doang-Doangan Caddi Desa
Kanyurang Kecamatan Liukang Kalmas kabupaten Pangkep sedangkan sampel dalam
penelitian ini adalah masyarakat yang rumahnya di sekitar rawa dan sawah serta orang yang
tinggal disekitar rumah yang terdapat penderita (positif) filariasis.

C. METODE PEMERIKSAAN

> Sediaan darah tebal

D. INTERPRETASI HASIL

Pemeriksaan filariasis didasarkan pada ditemukannya mikrofilaria dalam apusan darah tepi.
Cacing jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe. Cacing betina mengeluarkan
mikrofilaria yang bersarung. Mikrofilaria hidup dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi
pada waktu tertentu yang memiliki periodisitas.

E. HASIL

Penelitian yang telah dilaksanakan tanggal 5-7 Juli 2017 dengan pengambilan sampel oleh
petugas laboratorium Puskesmas Liukang Kalmas pada darah penduduk di Kepulauan
Doangdoangan Caddi, Desa Kanyurang Kecamatan Liukang Kalmas Kabupaten Pangkep.
Dari 88 sampel darah penduduk kepulauan Doangdoangan Caddi yang diambil darahnya
didapatkan hasil 11 sampel yang Positif B. Malayi.

F. PEMBAHASAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah Observasi Laboratorik yaitu melakukan pemeriksaan
mikrofilaria secara mikroskopis pada penduduk di Kepulauan Doang-doangan Caddi
Kabupaten Pangkep.

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa pada penduduk di kepulauan Doang-doangan Caddi masih
terinfeksi penyakit filariasis yang ditandai dengan ditemukannya 11 sampel positif (12,5 %)
dari jumlah sampel yang diperiksa, dimana sampel positif mikrofilaria dari spesies Brugia
malayi. Pengambilan sampel dilakukan di pulau Doangdoangan caddi yang terdapat di desa
kanyurang Kecamatan Liukang Kalmas Kabupaten Pangkep, dimana pengambilan sampel
dilakukan oleh petugas laboratorium Puskesmas Liukang Kalmas Kabupaten Pangkep dan
pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling atau acak sederhana,
sampel darah kemudian di buat apusan darah tebal.

KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil pemeriksaan darah kapiler pada penduduk di Kepulauan


Doangdoangan Caddi Desa Kanyurang Kecamatan Liukang Kalmas Kabupaten Pangkep
diperoleh 11 sampel yang positif filariasis Brugia malayi (12,5 %) dan 77 sampel yang
negatif (87,5 %) dari sampel yang diteliti. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
darah penduduk di Kepulauan Doangdoangan Caddi Desa Kanyurang Kecamatan Liukang
Kalmas Kabupaten Pangkep teridentifikasi adanya mikrofilaria dan merupakan skrining
terhadap penyakit filariasis.

DAFTAR PUSTAKA

Fauziah Elitha, 2014. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, Transmission Assesment Survey
Sebagai Salah Satu Penentuan Eliminasi Filariasis, Vol. 8 No. 2 Hal. 85-92

Garcia Lynne S., DavidA. Bruckner. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta :
buku Kedokteran EGC

Hendrie Christine, 2009, Prevalensi IgG literatur,(Online),


(http://lib.ui.ac.id/file=digital/.123050-S09077fkPrevalensi%20IgG4- Literatur.pdf, di akses
06 April 2017)

Ideham, Bariah Suhintam Pusarawati .2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga


University PressGeoF. Brooks, KarenC. Carroll, S. JanetButel, A. Morse Stephen, A.
Mietzner Timothy. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg Edisi 25.
Jakarta : buku Kedokteran EGC

Irianto Kus. 2014. Parasitologi Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan Manusia.


Yogyakarta : Yrama Widya

Jangkung Samidjo,Onggowaluyo. 2002. Parasitologi Medik I Helmintologi. Jakarta : buku


Kedokteran EGC

Juhairiyah, Muhammad Rasyid R, Fakhriza, 2017. Periodisitas Nonperiodik Brugia Malayi Di


Kabupaten Tabalong. Vektora Volume 9 Nomor 2, Oktober 2017: 79 – 86
Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Pangkajene, 2014,Buku PutihSanitasi Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan,(online),
(http://ppsp.nawasis.info/doku men/perencanaan/sanitasi/pokj
a/bp/kab.pangkajenedankepula uan/BPS%20Kabupaten%20P angkep%20Tahun
%202014.pd f di akses 10 Maret 2017)

Mardiana, Eny Wahyu L, Dian Pervitasari. factor-faktor yang mempengaruhi Kejadian


Filariasis di Indonesia (Data Rikesdas 2017), Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 10, No.2 juni
2011: 83-92
Link jurnal : https://core.ac.uk/download/pdf/89562706.pdf

A. PENDAHULUAN

Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit zoonosis menular yang banyak
ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Filariasis ditemukan di daerah Asia, Afrika,
Amerika Tengah, dan Selatan, dengan 120 juta manusia terjangkit. Di Indonesia, filariasis
merupakan salah satu penyakit endemis. Seiring dengan terjadinya perubahan pola
penyebaran penyakit di negara-negara sedang berkembang, penyakit menular masih berperan
sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian.
Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan Van Eecke pada tahun
1889 di Jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula
Jakarta diketahui endemik limfatik yang disebabkan oleh Brugia malayi (B. Malayi). Pada
tahun 1937 Brug membuat suatu rangkuman tentang laporan filariasis di seluruh Indonesia
pada waktu itu telah diketahui dua jenis cacing filaria sebagai penyebabnya yaitu Wuchereria
bancrofti (W. Bancrofti) dan Brugia malayi (B. malayi) (Depkes RI, 1999).
Penyebab filariasis adalah sekelompok cacing parasit nematoda yang tergolong
superfamilia Filarioidea yang menyebabkan infeksi sehingga berakibat munculnya edema.
Gejala yang umum terlihat adalah terjadinya elefantiasis, berupa membesarnya tungkai
bawah (kaki) dan kantung zakar (skrotum), sehingga penyakit ini secara awam dikenal
sebagai penyakit kaki gajah. Walaupun demikian, gejala pembesaran ini tidak selalu
disebabkan oleh filariasis.
Filariasis biasanya dikelompokkan menjadi tiga macam, berdasarkan bagian tubuh
atau jaringan yang menjadi tempat bersarangnya yaitu filariasis limfatik, filariasis subkutan
(bawah jaringan kulit), dan filariasis rongga serosa (serous cavity). Filariasis limfatik
disebabkan W. bancrofti, B. malayi, dan B. timori. Gejala elefantiasis (penebalan kulit dan
jaringan-jaringan di bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B.
timori diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang
tungkai dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh loa-loa (cacing mata
Afrika), mansonella streptocerca, onchocerca volvulus, dan dracunculus medinensis (cacing
guinea). Mereka menghuni lapisan lemak yang ada di bawah lapisan kulit. Jenis filariasis
yang terakhir disebabkan oleh mansonella perstans dan mansonella ozzardi, yang menghuni
rongga perut. Semua parasit ini disebarkan melalui nyamuk atau lalat pengisap darah, atau,
untuk dracunculus, oleh kopepoda (crustacea).
Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di saluran dan kelenjar getah bening
(limfe), dapat menyebabkan gejala klinis akut dan gejala kronis. Penyakit ini ditularkan
melalui gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada stadium lanjut (kronis) dapat
menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa pembesaran kaki (seperti kaki gajah)
dan pembesaran bagian-bagian tubuh yang lain seperti lengan, kantong buah zakar, payudara,
dan alat kelamin wanita. Selain elefantiasis, bentuk serangan yang muncul adalah kebutaan
onchocerciasis akibat infeksi oleh onchocerca volvulus dan migrasi microfilariae lewat
kornea.
Pada tahun 1994, World Health Organization (WHO) mengeluarkan pernyataan
bahwa penyakit kaki gajah dapat dieliminasi. Selanjutnya, pada tahun 1997 World Health
Assembly membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah dan pada tahun 2000
WHO telah menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah dengan
membuat sebuah program The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public
Health Problem by the Year 2020 (Depkes RI, 2002)
Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000 wilayah
Indonesia yang menempati peringkat tertinggi kejadian filariasis adalah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-masing
1.908 dan 1.706 kasus kronis. Wilayah Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis
penyakit kaki gajah yang disebabkan oleh cacing W. bancrofti dan B. timori (Barodji dkk,
1995). Selain itu, penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi (Partono dkk, 1972), di
Kalimantan (Soedomo, 1980), dan Sumatera (Suzuki dkk, 1981). Penyebab penyakit kaki
gajah yang ditemukan di ketiga pulau tersebut adalah dari jenis B. malayi.

B. METODE

>SURVEILANS FILARIASIS

C. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditetapkan jika pada pemeriksaan darah (tetes tebal) ditemukan mikrofilaria
di dalam darah tepi. Terkadang mikrofilaria juga ditemukan dalam kiluria, eksudat varises
limfe dan cairan hidrokel. Mikrofilaria tidak dapat dijumpai sesudah terjadinya limfangitis
akibat matinya cacing dewasa dan jika telah terjadi elefantiasis akibat obstruksi limfatik.
Pada biopsi kelenjar limfe terkadang dapat ditemukan cacing dewasa (Soedarto, 2011).

D. PATOGENESIS

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit,
seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh
dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis
filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis
akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada
fase lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya
perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal
dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan
(obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik.

E. Upaya Pengendalian Filariasis

Pada tahun 1997, World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination of Lymphatic
Filariasis as a Public Health Problem”, yang kemudian pada tahun 2000 diperkuat dengan
keputusan WHO dengan mendeklarasikan “The Global Goal of Lymphatic Filariasis as a
Public Health Problem by the Year 2020”. Indonesia sepakat untuk ikut serta dalam eliminasi
filariasis global yang ditandai dengan pencanangan dimulainya eliminasi filarisis di Indonesia
oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 8 April 2002 di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin
III, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pemerintah telah menetapkan Program
Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular
sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004– 2009, Bab 28, D, 5. Selain itu
diterbitkan Surat Edaran Mendagri No. 443.43/875/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengobatan Massal Filariasis dalam rangka Eliminasi Filariasis di Indonesia, sehingga
diharapkan komitmen dari pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota akan meningkat.

Pengendalian filariasis dengan pemberian obat Diethylcarbamazine Citrat (DEC) sudah


mengalami beberapa kali perubahan metode sejak dimulainya program pengendalian
filariasis pada tahun 1970. Kemudian terbukti bahwa pemberian obat DEC dikombinasikan
dengan Albendazole dalam dosis tunggal secara masal setahun sekali selama minimal 5 tahun
berturut-turut sangat ampuh untuk memutus rantai penularan filariasis. Namun, upaya
pengendalian filariasis terkendala dengan terbatasnya sumber daya, walaupun pemerintah dan
pemda telah berupaya mendukung dan memobilisasi sumber daya untuk eliminasi filariasis
tahun 2020. Pemerintah juga mendorong peran aktif masyarakat di daerah endemis filariasis,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sektor swasta serta sektor terkait dalam menyikapi
program eliminasi filariasis tersebut

DAFTAR PUSTAKA

Addis DG, Dreyer G. 2002. Treatment of Lymphatic Filariassis dalam Thomas B. Nutman,
penyunting. Lymphatic filariasis. Imperial college press; 2002:151- 180.

Addis DG, Brady MA. 2007. Morbidity Management in the Global Programme to Eliminate
Lymphatic Filariasis: a Review of the Scientific Literature. Filarial Journal 2007; 6 (2): 1-
19.

Achmadi, Umar Fahmi. 2012. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Rajawali Press.
Jakarta.

Akre M Adja, Sina Helbig, et all. 2013. Limphatic Filariasis, at Global Health Education
Consortium (GHEC).

Anitha K, Shenoy RK. 2001. Treatment of Lymphatics: Current Trends. Indian J of Derm, Ven
and Lepr 2001; 67(2): 60-65.

Ardias. 2012. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan
Kejadian Filariasis di Kabupaten Sambas. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Volume
11 No. 2, Oktober 2012, hlm 199-207.

Atmadja AK. 2000. Diagnosis dan Penanggulangan Filariasis Masa Kini. Dalam Seminar
Parasitologi Klinik 29 Januari 2000.

Baird JB, Charles JL, Streit TG, Robert JM, Addis DG, Lammie PJ. 2002. Reactivity to
Bacterial, Fungal, and Parasite Antigens in Patients with Lymphedema and Elephantiasis.
Am J Trop Med Hyg 2002, 66 (2) : 163-9.
Budiarto, Eko dan Dewi Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Chin, James. [Editor] Kandun I N. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta:
CV. Infomedika.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis. Ditjen PP & PL.
Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis.


Direktorat Jenderal PP& PL. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Epidemiologi Filariasis. Ditjen PP & PL. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Penatalaksanaan Reaksi Simpang Pengobatan


Filariasis. Direktorat Jenderal PP & PL. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Ekologi dan Aspek Vektor. Ditjen PP & PL. Jakarta.
Link jurnal : http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/105/111

A. PENDAHULUAN

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit raenular menahun yang disebabkan
oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.
Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut
berupa deraam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening.
Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan transmisi
penularan,diperlukanprogramyang berkesinambungandan memakanwaktu lamakarena
mengingat masa hidup dari cacing dewasa yang cukup lama. Dengan demikian perlu
ditingkatkan surveilans epidemiologi di tingkat Puskesmas untu penemuan dini kasus
filariasis dan pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan fiilariasis.Memberikan
penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara
pengendalian vektor (nyamuk). Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada
malam hari di dalam rurnah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan
penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan
menggunakan kelambu, memakai obat gosok anti nyamuk dan membersihkan tempat
perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan mernbunuh
larva dengan larvasida. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakan
diethylcarbamazine citrate.

B. Rantai Penularan

Penularan dapat terjadi apabiia ada 5 unsur yaitu sumber penular (manusia dan hewan),
parasit, vektor, manusia yang rentan, iingkungan (fisik, biologik dan sosial-ekonomi-budaya).
Seseorartg dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabiia orang tersebut digigit
nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3). Kemudian
memasuki periode laten atau prepaten. Periode laten adalah waktu yang diperlukan antara
seseorang mendapatkan infeksi sampai dtemukannya rnikrofilaria di dalam darahnya. Waktu
ini sesuai dengan pertumbuhan cacing hingga dewasa sampai melahirkan rnikrofilaria
kedalam darah dan jaringan.

C. Diagnosis

Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya rnikrofilaria dalam darah tepi, kiluria,
eksudat, varises limfe, dan cairan limfe dan cairan hidrokel, atau ditemukannya cacing
dewasa pada biopsi kelenjer limfe atau pada penyinaran didapatkan cacing yang sedang
mengadakan kalsifikasi. Sebagai diagnosis pembantu, pemeriksaan darah menunjukkan
adanya eosinofili antara 5 - 15%. Selain itu juga melalui tes intradermal dan tes fiksasi
komplemen dapat rnembantu rnenegakkan diagnosis.

D. Patogenesis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap
parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam
tubuh adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara urnum perkembangan klinis
filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis
akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri danjamur. Pada
fase lanjut terjadi kerusakan saluran dan kerusakan kelenjer, kerusakan katup saluran limfe,
termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat dikulit.
Pada dasarnya perkembanganklinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing dilaria
dewasa yang tinggal dalam saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi
gangguan fungsi sistem limfatik yaitu :

1. Penimbunancairanlimfe
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kuiit atau jaringan melalui saluran limfe ke
kelenjer limfe
3. Kelenjer limfe tidak dapat menyerang bakteri yang masuk dalamkulit.
4. Infeksi bakteri benilang akan menyebabkan serangan akutbemlang (recurrentacuteattack).
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit,
menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit danj
aringan ke kelenjer limfe sehingga dapat terjadi limfedema.
6. Pada penderita limfedema, serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan
menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan
peningkatan pembentukkan jaringan ikat (fibrose tissue formation) sehingga terjadi
penigkatanstadium limfedema, dimana pembengkakkan yang semula terjadi hilang timbul
akan menjadi pembengkakkan menetap

E. Pencegahan

Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan cara yaitu:

1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan


dan cara pengendalianvektor (nyamuk).

2. Mengidentifikasikan vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk


dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan ternpat menggigit
nyamuk serta ternpat perkembangbiakannya.

3. Pengendalian vektor jangka panjang yang rnungkin memerlukan perubahan konstruksi


rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk
memusnahkantempat perindukannyamuk.

4. Lakukan pengobatan misalnya dengan menggunakandiethylcarbamazine citrate


Kesimpulan dan Saran

Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan
oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.
Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut
bempa demam berulang, peradangan saluran dan saluran kelenjar getah bening.
Pemberantasan filariasis perlu dilaksanakan dengan tujuan menghentikan transmisi
penularan,diperlukan program yang berkesinambungan dan mernakan waktu lama karena
mengingat masa hidup dari cacing dtwasa yang cukup lama. Dengan demikian perlu
ditingkatkan surveilans epidemiologi di tingkat Puskesmas untu penemuan dini kasus
filariasis dan pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan filariasis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI. 2,010. Filariasis di Indonesia. Buletin
Jendela Epidemiologi, Volume 1,Juli 2010.

2. WHO. Epidemiology Limphatic Filariasis. Tahun 2010 [Online]. Dari : hhtp:// www.who.int.
[1Februari2012]

3. World Health Organization Regional Office for South-East Asia. Epidemiology of Filariasis.
Tahun 2010, [Online], Dari : http://www.filariasis.org [1 Februari 2012],

4. Subdit Filariasis & Schistomiasis Direktorat P2B2, Ditjen PP&PL, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia.
[Online] dari http://www.pppldepkes.go.id [4Februari2012],

5. Juriastuti Puji,dkk. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Kelurahan Jati Sarnpurna.
Makara, Kesehatan, vol, 14, no. 1, juni 2010: 31-36, [Online], Dari http://www.pubmed.com.
[1 Februari 2012]

6. Restila, Ridha. 2011. Perbedaan Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Wilayah Kerja
Puskesmas Andalas dan Puskesmas Padang Pasir Kota Padang Tahun 2011. [Skripsi]. Padang
: PSIKM FK Unand 2007.

7. Notoatmodho, Soekidjo, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : RhinekaCipta; 2007

8. Anshari, Rudi. 2004. Analisis Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Dusun Tanjung Bayur
Desa Sungai Asam Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Po nt ia na k . [Online]. Dari:
http://eprints .undip.ac .id/thesis filaria 2004. [15 Maret 2012].

9. Ibrahim. Filariasis. 2006. [online]. Dari www.yankesriau.wordpress.com. [15 Maret 2012],

10. Chin, James. [Editor] INyoman Kandun. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta:
CV. Infomedika;2006.

11. Natadisastra, Djaenudin dan RidadAgoes. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang Jakarta: Penerbit BukuKedokteranEGC; 2009.
12. Chandra, Budiman. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku
KedokteranEGC; 2007.

13. Miyanto, Zendra. Faktor Resiko Kejadian Filariasis di Kota Padang Tahun 2006- 2008.
[Skripsi], Padang : PSIKM Unand 2009.

14. Tim Editor Fakultas Kedokteran UI. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat Jalarta: Balai
PenerbitFKUI;2009.

15. Guntara RA. Sistem Informasi Geografis [Online], Dari http://www.ittelkom.ac.id [3


Februari2012]

16. Nasrin. 2008. Faktor Lingkimgan dan Perilaku yang Berkaitan dengan Kejadian Filariasis di
Kabupaten Bangka Barat. [Thesis], Sernarang. Universitas Diponegoro.

17. Narudin dan Suharto. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press;
2007.

18. Budiarto, Eko dan Dewi Anggraeni. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Penerbit
BukuKedokteranEGC; 2003.

19. Notoadmodjo, Soekidjo. Ilrnu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rhineka Cipta; 2003
Mengenai jurnal yang telah saya baca jurna tentang brugia timori kebanyakan
mengutamakan survey dan observasi langsung dengan demikian jurna tersebut juga
masih di katakan bisa di pelajari apabila jurnal tersebut juga memiliki observasi lebih
lanjut serta metode penelitian dan hasilnya pun juga dapat terbilang baik. Dijurnal
yang saya baca tersebut juga mencakup bagaimana nematoda tersebut berasal,
bertempat dan berada serta cara pengendaliannya.
Banyak jurnal-jurnal lain yang saya abaca juga ada kekurangan dan kelebihan
masing masing yang dimana juga terdapat bahasa yang kurang bias dipahami.
Contohnya Filariasis adalah penyakit menular disebabkan oleh infeksi cacing
nematode dari genus Filariiae yang menyerang sistem getah bening dan jaringan
subkutan. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan
alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.1 Penyakit filariasis terutama
ditemukan di daerah katulistiwa dan merupakan masalah di daerah dataran rendah.
Tetapi terkadang juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di
Indonesia filariasis tersebar luas; daerah endemik terdapat di banyak pulau di seluruh
Nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT,
Maluku, dan Irian Jaya. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, kita perlu
memperhatikan faktor seperti agen penjamu (host), vektor, dan keadaan lingkungan.
Sedangkan pada brugia malayi Desain penelitian adalah cross sectional survai.
Penangkapan nyamuk dilakukan sebanyak 4 kali (2 kali musim penghujan dan 2 kali
musim kemarau). Penangkapan nyamuk dilakukan oleh 6 orang penangkap selama 12
jam (pukul 18.00- 06.00 WIB). Nyamuk yang tertangkap selanjutnya dipelihara di
Laboratorium Entomologi Loka Litbang P2B2 Baturaja selama 12 hari. Nyamuk yang
mati sebelum hari ke-12 dipotong pada bagian probosis untuk dilakukan pemeriksaan,
sedangkan nyamuk nyamuk masih hidup sampai hari ke-12 dilakukan pembedahan
dan pemeriksaan secara mikroskopis untuk mendeteksi adanya larva cacing filaria
stadium 3 (L3). Pembedahan dan pemeriksaan PCR hanya dilakukan pada nyamuk
Mansonia spp. Pemeriksaan PCR hanya dilakukan pada nyamuk Mansonia spp hasil
penangkapan pertama pada musim kemarau
Upaya pemutusan rantai penularan filariasis melalui program eliminasi dengan
pemberian obat pencegahan masal (POPM) dan pengendalian vector.Di kenal sebagai
penyakit kaki gajah (Elephantiasis) atau Filariasis limfatik merupakan cacing filaria
dengan spesies utama yaitu Wuchereria bancrofti, dan Brugia sp. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui nyamuk yang berpotensi menjadi vector filariasis.
Metode yang digunakan  Modificated Human Landing Collection (HLC) yaitu
kelambu ganda dengan umpan manusia, sedangkan metode Transcription Insulated
Isothermal Polimerase Chain Reaction (iiPCR) digunakan untuk mendeteksi
keberadaan cacing filaria dalam tubuh nyamuk. namun ditemukan jejak DNA kedua
parasite tersebut dalam nyamuk yang belum terkonfirmasi sebagai vektor. Jadi banyak
penyebabnya didalam jurnal juga disebutkan lengkap tentang cara penanggulangan
nya.

Anda mungkin juga menyukai