Anda di halaman 1dari 4

Neglected Tropical Disease: Filariasis dengan Agen Penyebab Brugia timori

1
Anang Dwi Atmoko, 1Dinul Windy Berdia, 1Dhiemas Trisyuananda E, 1Giovani Gianosa, 1Rachel
Fellensia, 1Indah Pratiwi, 1Ichlasul Amal, 1Annisa Nurul, 1Dini Cyntia T, 1Arista Nur I, 1Much.
Fachri Arrijal, 1Miranda Dewi and 2Yudha Nurdian

Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Jember, Indonesia


1

Facultas Kedokteran, Universitas Jember, Indonesia


2

Email:anangd38@gmail.com; 162010101077@students.unej.ac.id

Abstrak
Latar Belakang
Filariasis atau limfatik filariasis atau kaki gajah merupakan penyakit menahun yang
disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang menyerang system limfatik. Filariasis masuk kedalam
golongan neglected tropical disease, penyakit tropis yang terabaikan dan dianggap tidak penting
karena efeknya tidak langsung menimbulkan kematian. Meskipun demikian, kecacatan yang
ditimbulkan dapat memberikan kerugian bagi penderita dan membebani keluarganya. Kecacatan
yang ditimbulkan juga dapat mengurangi produktifitas, berdampak pada kondisi psikologis
penderita, kesulitan mendapat suami atau istri, serta dapat menghambat mendapatkan keturunan.
Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara
berkembang, terutama daerah tropis dan subtropis. Saat ini diestimasikan lebih dari 1,3 miliar
penduduk memiliki risiko terinfeksi filariasis dan lebih dari 100 juta orang diseluruh dunia telah
terinfeksi limfatik filariasis. Sekitar 3,1% penduduk Indonesia telah terinfeksi limfatik filariasis
dan sampai tahun 2009 telah dilaporkan sebanyak 11.914 kasus filariasis kronik yang tersebar di
401 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Di Indonesia, terdapat tiga jenis cacing filarial yang menjadi agen penyebab filariasis,
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Wuchereria bancrofti dan Brugia
malayi tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan Brugia timori ditemukan terbatas di beberapa
pulau di daerah Nusa Tenggara Timur. Dalam proses penyebaran menuju manusia, cacing filaria
dibawa oleh lima jenis nyamuk sebagai vector, seperti: Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes, dan
Armigeres.
Seseorang dapat terlular oleh infeksi filariasis apabila tergigit oleh nyamuk yang sudah
terinfeksi larva filaria stadium III. Nyamuk sendiri mendapat mikrofilaria akibat menghisap
darah penderita filariasis yang mengandung mikrofilaria. Dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria
tidak berkembang biak akan tetapi hanya berubah bentuk dari larva stadium I menjadi larva
stadium III. Di dalam tubuh manusia, larva filarial stadium III akan menuju system limfatik dan
berkembang menjadi cacing dewasa jantan atau betina lalu berkembang biak.
Morfologi Brugia timori secara garis besar dapat dibagi menjadi mikrofilaria dan cacing
dewasa. Morfologi mikrofilaria dapat diamati pada pemeriksaan apusan darah tebal yang dicat
dengan pengecatan Giemsa, dengan pengamatan menggunakan mikroskop. Morfologi
mikrofilaria Brugia timori yang dapat kita amati diantaranya: lengkung tubuh Brugia timori lebih
kaku jika dibandingkan dengan Brugia malayi, panjang Cephalic space tiga kali lebarnya,
Innenkorper terdapat di pertengahan tubuh posterior dengan warna pink kemerahan, mempunyai
dua buah caudal nuclei yang letaknya berjauhan.
Sedangkan morfologi cacing dewasa dari Brugia timori meliputi: pada kedua jenis
kelamin ujung anteriornya melebar pada kepala yang membulat. Cacing jantan: ekornya
melengkung dengan 4 sampai 5 papila adanal terdiri atas subventral, sebuah preanal yang besar
serta satu pasang posanal yang lebih kecil; terdapat pula satu pasang papilla intermediet
subventral serta satu pasang papilla kaudal terminal; pada daerah anus terdapat 1-5 papila lateral;
spikula dua buah tidak sama panjang seperti pada Brugia malayi. Cacing betina: terdapat vulva
sebelah anterior dari dasar esofagus; ovejektor menyerupai buah pir; vagina terletak disamping
ovejektor berbentuk celah.
Manifestasi klinis dari filariasis sangat bervariasi, mulai dari asimptomatik sampai yang
berat. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi geografi, spesies parasite penginfeksi, respon imun
penderita terhadap adanya parasite, dan intensitas dari infeksi. Pada fase akut, dapat terjadi
radang pada saluran limfatik. Sedangkan pada fase kronis dapat terjadi obstruksi saluran limfatik.
Manifestasi klinis yang paling khas dari filariasis limfatik yang disebabkan oleh B. timori adalah
lymphedema di bawah lutut. Adapun tanda lain infeksi B. timori ialah demam, limfangitis, abses
dan scar.
Diagnosis pasti dari filariasis adalah ditemukannya mikrofilaria pada pemeriksaan darah
tepi, eksudat, cairan limfe, cairan hidrokel, atau ditemukannya cacing dewasa paa biopsy
kelenjar limfe. Dalam proses diagnosis, PCR dapat digunakan untuk membantu proses diagnosis.
PCR merupakan tes yang dapat mendeteksi DNA parasit, meskipun awalnya tes ini mendeteksi
antibodi spesifik dari B.malayi namun tes ini juga effisien mendeteksi B.timori. Pemeriksaan
darah dapat menunjukkan adanya eosinophilia antara 5-15%, akan tetapi pemeriksaan ini hanya
bersifat membantu diagnosis.
Program untuk Mengeliminasi Filariasis Limfatik ialah dengan dosis tunggal
Diethylcarbamazine (DEC), yang diberikan setiap tahun dengan kombinasi Albendazole.
Program ini terbukti mengurangi prevalensi dan jumlah microfilaraemia secara terus-menerus.
Pada pengobatan jangka panjang, DEC dapat bersifat membunuh mikrofolaria dan cacing
dewasa. DEC masih menjadi terapi yang paling efektif, aman, dan relative murah dalam
menanggulangi filariasis. Obat lain yang bisa digunakan adalah Ivermectin, akan tetapi tidak
lebih efektif jika dibandingkan DEC.
Pencegahan kasus filariasis, pada umumnya, dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa cara. Pengendalian vektor berupa nyamuk masih menjadi cara yang ampuh dalam
pencegahan penyebaran infeksi ini. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan mengendalikan
lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk. Selain itu, perlu dilakukan
penyuluhan kepada masyarakat terutama di daerah endemis yang memiliki risiko tinggi
terinfeksi filariasis. Penyuluhan dapat berupa pengenalan terhadap cara penularan dan
pencegahan filariasis.

Kesimpulan
Filariasis masuk kedalam golongan neglected tropical disease, yang dapat disebabkan
oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Manifestasi dari infeksi ini sangat
bervariasi mulai dari asimptomatik sampai yang berat. Diagnosis pasti dari infeksi ini adalah
dengan menemukan mikrofilaria dan cacing dewasa dalam pemeriksaan. Terapi yang paling
efektif dalam mengobati infeksi ini dengan memberikan Diethylcarbamazine (DEC).

Daftar Pustaka
1. Fischer, P., Wibowo, H., Pischke, S., Ruckert, P., Liebau, E., Ismid, I. S., Supali, T.
(2002). PCR-based Detection and Identification of theŽFilarial Parasite Brugia timori
from Alor Island, Indonesia. Annals of Tropical Medicine & Parasitology, Vol.96, No.8,
809–821. http://www.researchgate.net/
2. Solichah, Z. (2009). Ancaman dari Nyamuk Culex sp yang Terabaikan. BALABA Vol. 5,
No. 01 Jun 2009 : 21-23.
3. McCoy, C. J., Reaves, B. J., Giguère, S., Coates, R., Rada, B., Wolstenholme, A. J.
(2017). Human Leukocytes Kill Brugia malayi Microfilariae Independently of DNA-
Based Extracellular Trap Release. PLOS Neglected Tropical Diseases |
DOI:10.1371/journal.pntd.0005279. http://www.who.int/
4. Fischer, P., Taniawati, S., Rick, M. (2004). Lymphatic filariasis and Brugia timori:
prospects for elimination. Trends in Parasitology, 20(3).
5. Bulman, C. A., Bidlow, C. M., Lustigman, S., Cho-Ngwa, F., Williams, D., Rascón, R.
A.,… Jr, Tricoche, N., Samje, M., Bell, A., Suzuki, B., Lim, K. C., Supakorndej, N.,
Supakorndej, P., Wolfe, A. R., Knudsen, G. M., Chen, S., Wilson, C., Ang, K., Arkin,
M., Gut, J., Franklin, C., Marcellino, C., McKerrow, J. H., Debnath, A., Sakanari, J. A.
(2015). Repurposing Auranofin as a Lead Candidate for Treatment of Lymphatic
Filariasis and Onchocerciasis. PLOS Neglected Tropical Diseases |
DOI:10.1371/journal.pntd.0003534.
6. Masrizal. (2013). Penyakit Filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2012-
Maret 2013, Vol. 7, No. 1
7. Carithers, D. S. (2017). Examining the Role of Macrolides and Host Immunity in
Combatting Filarial Parasites. Carithers Parasites & Vectors (2017) 10:182. DOI
10.1186/s13071-017-2116-6.
8. Supali, T., Ismid, I. S., Ruckert, P., Fischer, P. (2002). Treatment of Brugia timori and
Wuchereria bancrofti Infections in Indonesia using DEC or a Combination of DEC and
albendazole: Adverse Reactions and short-term Effects on Microfilarial. Tropical
Medicine and International Health Vol. 7 No. 10 pp: 894-901.
9. Oqueka, T., Supali, T., Ismid, I. S., Purnomo, Ruckert, P., Bradley, M., Fischer, P.
(2005). Impact of Two Rounds of Mass Drug Administration Using Diethylcarbamazine
Combined with Albendazole on the Prevalence of Brugia timori and of Intestinal
Helminths on Alor Island, Indonesia. Filarial Journal 2005, 4:5 DOI: 10.1186/1475-2883-
4-5.

Anda mungkin juga menyukai