Anda di halaman 1dari 138

1|Page

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Revisi Tahun 2022 – 2024.

Penyusunan Rencana Aksi Kegiatan Revisi Tahun 2022 – 2024 ini merupakan
penyesuaian atas adanya Transformasi Kesehatan yang tertuang dalam Renstra Revisi
2022 – 2024 dan perubahan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2022 di mana Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular merupakan satuan kerja baru di Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular ini memuat visi misi, tujuan dan sasaran strategis,
arah kebijakan, strategi dan kerangka regulasi, serta target kinerja dan pendanaan
sehingga diharapkan menjadi langkah awal dalam upaya meningkatkan pencegahan
dan pengendalian penyakit menular. Dokumen Rencana Aksi Kegiatan ini dapat
digunakan sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
program sehingga upaya meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit
menular dapat dilaksanakan secara terarah dan terukur.

Dalam proses penyusunan rencana aksi kegiatan ini telah melibatkan seluruh
tim kerja dan subbagian administrasi umum Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular dan kami mengucapkan terima kasih atas perhatian dan dedikasinya
dalam memberikan pemikirannya sehingga rencana aksi kegiatan dapat diselesaikan
dengan tepat waktu. Semoga buku ini menjadi dokumen bersama dan bermanfaat bagi
kita semua.

Jakarta, Juli 2022


Plt. Direktur P2PM

dr. Tiffany Tiara Pakasi


NIP 197408092001122001

2|Page
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................4


A. Kondisi Umum ............................................................................................................................. 4
B. Potensi dan Tantangan ........................................................................................................... 29
C. Tugas Pokok dan Fungsi ....................................................................................................... 55
BAB II VISI MISI, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS .................................... 57
A. Visi dan Misi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular ......... 57
B. Tujuan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular ..................... 58
C. Sasaran Strategis Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular 59
D. Indikator Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular.. 59
E. Arah Kebijakan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular..... 65
F. Strategi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular.................... 66
BAB III RENCANA AKSI KEGIATAN .................................................................. 77
A. Kerangka Logis........................................................................................................................... 77
B. Rencana Kegiatan ..................................................................................................................... 80
C. Kerangka Kelembagaan ........................................................................................................ 101
D. Kerangka Regulasi .................................................................................................................. 101
E. Kerangka Pendanaan ............................................................................................................. 105
BAB IV PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PENGENDALIAN PROGRAM ............... 107
A. Pemantauan .............................................................................................................................. 107
B. Evaluasi ...................................................................................................................................... 109
C. Pengendalian Program ........................................................................................................... 110
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 112
LAMPIRAN....................................................................................................... 113
Lampiran I. KERANGKA LOGIS PROGRAM ........................................................................... 113
Lampiran II. MATRIKS TARGET KINERJA DAN PENDANAAN ........................................ 113
Lampiran III. INDIKATOR KINERJA, DEFINISI OPERASIONAL, CARA PERHITUNGAN
PER INDIKATOR DAN SUMBER DATA .................................................................................... 122
Lampiran IV. MATRIKS STRATEGI PENCAPAIAN INDIKATOR........................................ 126

3|Page
BAB I
PENDAHULUAN

A. Kondisi Umum
Pembangunan sektor kesehatan sebagaimana terintegrasikan dalam tujuan
Sustainable Development Goals (SDGs) menjamin kehidupan yang sehat dan upaya
meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk pada semua usia. Pembangunan
sektor kesehatan untuk SDGs sangat tergantung kepada peran aktif seluruh
pemangku kepentingan, salah satunya yakni pemerintah. Program pemerintah
yang diusung untuk mewujudkan SDGs dalam bidang kesehatan adalah Program
Indonesia Sehat dengan 3 pilar yakni paradigma sehat, pelayanan kesehatan dan
jaminan kesehatan nasional. Paradigma sehat merupakan sebuah pendekatan yang
mengedepankan konsep promotif dan preventif dalam pelayanan kesehatan dan
menempatkan kesehatan sebagai input dari sebuah proses pembangunan.

Pembangunan Kesehatan menjadi salah satu upaya dalam membangun


Sumber Daya Manusia yang berkualitas sesuai dengan arah Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP Nasional) Tahun 2005 – 2025 yaitu
mewujudkan bangsa yang berdaya saing. Dengan meningkatnya kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, maka akan terwujud
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Pelaksanaan pembangunan kesehatan harus dilaksanakan secara


berkesinambungan agar tujuan dalam RPJP Nasional Tahun 2005 – 2025 dapat
tercapai. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan
yang berlangsung tanpa henti dan upaya peningkatan dari periode ke periode
selanjutnya. Pembangunan Kesehatan dalam RPJP Nasional Tahun 2005 – 2025
menjadi acuan dalam menentukan perencanaan pembangunan yang termuat
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional) dan
periode RPJM Nasional 2020 – 2024 merupakan periode terakhir dalam
pelaksanaan RPJP Nasional Tahun 2005 – 2025.

Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat seperti yang diamanahkan


dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), Kementerian Kesehatan melaksanakan program
yang dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan.
Penyusunan Renstra Strategis Kementerian Kesehatan mengaju pada RPJM
Nasional. Rencana Strategis tersebut memuat tujuan, kebijakan dan strategi yang
akan dilaksanakan dalam periode waktu yang telah ditentukan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020


tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020 – 2024, menjadi
acuan bagi seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan dalam

4|Page
menyusun perencanaan program tahun 2020 - 2024. Pada tingkat eselon 1,
rencana strategi dijabarkan dalam Rencana Aksi Program. Rencana Aksi Program
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, untuk selanjutnya menjadi
dasar dalam penyusunan Rencana Aksi Kegiatan satuan kerja di bawahnya.

Perubahan organisasi dan tata kerja Kementerian Kesehatan sesuai dengan


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan dan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2020 – 2024, bahwa Menteri Kesehatan
menetapkan percepatan program pembangunan kesehatan dan penyelenggaraan
transformasi kesehatan sebagaimana arahan Presiden Republik Indonesia.
Perubahan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan tersebut ditetapkan untuk
periode tahun 2022 – 2024, sehingga hal ini menjadi dasar atas perubahan
Rencana Aksi Program pada tingkat eselon 1 dan Rencana Aksi Kegiatan pada
tingkat eselon 2.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular merupakan


salah satu satuan kerja baru atas perubahan susunan organisasi sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022, di bawah
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular berperan dalam pelaksanaan
pembangunan kesehatan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit
menular. Untuk mendukung penyelenggaraan transformasi kesehatan dalam masa
pandemic COVID-19, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
perlu menyusun dan menetapkan Rencana Aksi Kegiatan tahun 2022 -2024.

Upaya penanganan penyakit menular masih menghadapi berbagai


tantangan. Kondisi pandemic COVID-19 menjadi tantangan besar yang dihadapi
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dalam upaya
meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit menular yakni upaya
reduksi, eliminasi, dan eradikasi. Penyakit menular yang masih menjadi masalah
utama dan harus mendapat perhatian khusus yaitu tuberkulosis, HIV/AIDS,
malaria, penyakit infeksi baru yang menyebabkan kedaruratan kesehatan
masyarakat, dan penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases - NTD).

1. Kondisi Umum Tuberkulosis


Pandemi COVID-19 telah membalikkan capaian layanan program
Tuberkulosis dan pengurangan beban Tuberkulosis. Secara global, capaian
target program Tuberkulosis (TB) jauh dari harapan, walaupun ada beberapa
negara yang dapat mencapai target. Dampak yang paling nyata terlihat pada
penurunan besar-besaran secara global adalah pada penemuan kasus baru
dan pelaporan kasus. Penurunan ini dari sebesar 7,1 juta pada tahun 2019

5|Page
menjadi 5,8 juta pada tahun 2020, dan penurunan sebesar 18% seperti capaian
pada tahun 2012 dari perkiraan jumlah kasus TB pada tahun 2020 sebesar
sekitar 10 juta kasus. Sebanyak 16 negara mengalami penurunan sebesar 93%,
di mana yang terdampak paling buruk adalah negara India, Indonesia dan
Filipina.

Trend Kasus Tuberkulosis Tahun 2016 - 2020

Gambar 1.1 Trend Global notifikasi kasus baru tahun 2016 – 2020

Penurunan akses terhadap diagnosa dan pengobatan TB memberikan


dampak pada peningkatan angka kematian akibat TB. Perkiraan angka
kematian karena TB pada orang dengan status HIV negatif pada tahun 2020
sebesar 1,3 juta (sedangkan pada tahun 2019 sebesar 1,2 juta) dan tambahan
sebanyak 214.000 pada orang dengan status HIV positif (sedangkan pada
tahun 2019 hanya 209.000 saja), dengan kombinasi total sama dengan level
pada tahun 2017.

Penurunan pada insiden TB (jumlah orang yang terkena TB setiap tahunnya)


yang sudah dicapai pada tahun-tahun sebelumnya mungkin melambat atau
bahkan berhenti. Dampak ini diperkirakan akan semakin buruk pada tahun
2021 dan 2022. Dampak lainnya termasuk penurunan jumlah orang yang
mendapatkan layanan pengobatan TB kebal obat pada tahun 2019 dan 2020 (-
15%, dari 177.100 menjadi 150.359, sekitar 1 dari 3 dari yang membutuhkan)
dan pemberian terapi pencegahan TB (-21%, dari 3,6 juta menjadi 2,8 juta),
serta penurunan secara global pada pembelanjaan diagnosa TB, layanan
pencegahan dan pengobatan (dari 5,8 milyar dolar Amerika menjadi 5,3 milyar
dolar Amerika, sekitar setengah dari yang dibutuhkan)

Berdasarkan capaian ini, maka tindakan mitigasi perlu dilakukan segera


untuk mengatasi dampak tersebut. Prioritas utama adalah memperbaiki akses
dan provisi layanan TB esensial seperti deteksi dini kasus TB dan pengobatan

6|Page
TB minimal sebagaimana pada tahun 2019, terutama pada negara-negara yang
terdampak parah.

Negara-negara yang berkontribusi terhadap penurunan global pada tahun


2019 dan 2020 adalah India (41%), Indonesia (14%), Filipina (12%) dan China
(8%); dan 12 negara lainnya hingga total 93% dari penurunan global sebanyak
1.3 juta (seperti terlihat pada gambar di bawah ini)

Penurunan Insiden Tuberkulosis pada 2019 – 2020

Gambar 1.2 Negara – negara dengan kontribusi penurunan jumlah notifikasi kasus
TB pada tahun 2020

Notifikasi secara bulanan dan triwulan dari kasus baru selama 2020 dan
semester awal tahun 2021 secara substansial berada pada posisi di bawah rata-
rata capaian tahun 2019 pada negara dengan beban TB tinggi. Perbedaan
pengurangan capaian notifikasi tahunan antara tahun 2019 dan 2020 terdapat
di Gabon (80%), Filipina (37%), Lesotho (35%), Indonesia (31%) dan India (25%).

Berdasarkan letak geografisnya, kasus TB pada tahun 2020 paling banyak


di regional Asia Tenggara (43%), Afrika (25%) dan Pasifik Barat (18%), dan
persentase yang sedikit di Timur Tengah (8,3%), Amerika (3,0%) dan Eropa
(2,3%). Ada 8 negara dengan jumlah kasus dua per tiga dari total kasus global,
yaitu India (26%), Cina (8,5%), Indonesia (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,8%),
Nigeria (4,6%), Bangladesh (3,6%) d an Afrika Selatan (3,3%).

Berdasarkan Badan Kesehatan Dunia WHO yang dimuat pada Global TB


Report 2021, indikator yang dipakai dalam mencapai tujuan “End the Global TB
epidemic” adalah jumlah kematian akibat TB per tahun, angka kejadian
(incidence rate) per tahun serta persentase rumah tangga yang menanggung
biaya pengobatan TB. Menurut TB Global Report tahun 2021 untuk Indonesia,
angka kejadian (insidensi) TB tahun 2020 adalah 301 per 100.000 (sekitar

7|Page
824.000 pasien TB), dan 2,18% (18.000 kasus) di antaranya dengan TB/HIV.
Angka kematian TB adalah 34,2 per 100.000 penduduk (jumlah kematian
93.000) tidak termasuk angka kematian akibat TB/HIV. WHO memperkirakan
ada 24.000 kasus Multi Drug Resistence (MDR) di Indonesia.

Persentase angka keberhasilan pengobatan TBC/ Success Rate merupakan


indikator yang memberikan gambaran kualitas pengobatan TBC yaitu seberapa
besar keberhasilan pengobatan pada pasien TBC yang sudah mendapat
pengobatan dan dilaporkan. Angka ini menggambarkan besaran pasien TBC
yang berhasil dalam pengobatannya baik dengan kategori sembuh maupun
kategori pengobatan lengkap. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) yang menjadi indikator kinerja program P2TB adalah
Insidensi TBC. Insidensi TBC adalah indikator yang memberikan gambaran
beban penyakit TB dan dapat memberikan petunjuk seberapa banyak jumlah
kasus TB yang baru muncul pada setiap tahunnya.

Indikator persentase angka keberhasilan pengobatan TBC (Success Rate)


merupakan indikator yang tetap dilanjutkan pada RAP P2P tahun 2020-2024.
Indikator ini mencapai target dari tahun 2016 tetapi tidak mencapai target
tahun 2017-2020, meskipun demikian capaian success rate tahun 2016-2018
meningkat terus. Tahun 2021, indikator TBC success rate tidak mencapai
target dengan capaian 83% dari target 90% dengan persentase kinerja sebesar
92.22%. Secara lengkap dapat dilihat pada grafik berikut:

Target dan Capaian Indikator


Persentase Angka Keberhasilan Pengobatan TBC
Tahun 2016 – 2021

Target Realisasi
90

90

90
89
87

87
86
85
85

83,1
83

83

2016 2017 2018 2019 2020 2021

Gambar 1.3 Target dan Capaian Persentase Angka Keberhasilan Pengobatan


TBC Tahun 2016 – 2021

8|Page
Indikator ini adalah indikator positif yang artinya jika semakin besar capaian
maka semakin baik kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil capaian maka
semakin buruk kinerjanya.

Cakupan Penemuan dan Pengobatan TBC (TBC Treatment Coverage) adalah


indikator yang sangat bermanfaat untuk memberikan gambaran layanan
pengobatan pasien TB serta dalam rangka memutus mata rantai penularan dan
mencegah terjadinya kebal obat. Angka ini menggambarkan jumlah kasus TB
yang ditemukan dan mendapat layanan pengobatan yang dilaporkan ke
program.

Angka penemuan dan pengobatan kasus/ treatment coverage (TC) adalah


indikator yang memberikan gambaran upaya dalam menemukan pasien TBC
melalui serangkaian kegiatan penjaringan terduga TBC, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, menentukan diagnosis, menentukan
klasifikasi dan tipe pasien dan dilanjutkan pengobatan yang adequat sampai
sembuh sehingga tidak menular penyakit TBC ke orang lain.

Indikator Cakupan Penemuan dan Pengobatan TBC merupakan indikator


yang baru masuk pada perjanjian kinerja Direktorat P2PML pada periode 2020
– 2024 sehingga perbandingan yang dapat dilakukan adalah capaian tahun
2021 dengan capaian tahun 2020. Namun untuk target, sudah ditentukan
target tahun 2020 – 2024.

Target dan Capaian Indikator


Persentase Cakupan Penemuan dan Pengobatan TBC
tahun 2020 –2024

90 90 90
85
80

45,5 46,6 Target


Capaian

2020 2021 2022 2023 2024

Gambar 1.4 Target dan Capaian Persentase Penemuan dan Pengobatan TBC
Tahun 2020 – 2024

Indikator insiden TBC dengan indikator cakupan penemuan dan pengobatan


pasien TBC memiliki hubungan negatif, yang artinya jika angka angka
penemuan dan pengobatan pasien TBC semakin tinggi maka diharapkan angka

9|Page
insiden TBC juga akan menurun. Peningkatan indikator penemuan dan
pengobatan pasien TBC juga harus diimbangi dengan angka keberhasilan
pengobatan yang tinggi sehingga semakin banyak pasien TBC yang ditemukan
dan diobati serta hasil pengobatan sembuh juga tinggi maka proses penularan
penyakit TBC di masyarakat akan berkurang dan kasus TBC juga akan
berukurang sehingga angka insiden kasus TBC juga akan menurun.

Indikator kinerja cakupan penemuan dan pengobatan pasien TBC adalah


indikator positif yang artinya jika semakin besar capaian semakin baik
kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil capaian maka semakin buruk
kinerjanya. Dengan demikian berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa
capaian tahun 2021 belum mencapai target, dari target 85% hanya didapat
46,60%. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pada indikator ini belum baik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan tindakan perbaikan agar kinerja di masa yang
akan datang dapat lebih baik lagi dan mencapai target yang telah ditentukan.

2. Kondisi umum HIV/AIDS


Indonesia memiliki pola epidemi HIV yang dinamis dan kompleks dengan
wilayah yang luas sebagai negara kepulauan. Dengan jumlah penduduk yang
besar, demografi negara ini bersifat dinamis dengan peningkatan urbanisasi
yang cepat. Pola epidemi HIV di Indonesia bersifat majemuk dengan tingkat
prevalensi yang bervariasi pada kelompok kunci. Disamping itu, Indonesia
memiliki keunikan tersendiri pada pola penyebaran HIV secara geografis
dimana umumnya epidemi terjadi terkonsentrasi di sebagian wilayah dan
epidemi terjadi secara meluas dengan tingkat rendah di Tanah Papua.

Terhitung hingga bulan Juni, diperkirakan terdapat 526.841 orang dengan


HIV AIDS di tahun 2022 dimana 403.437 (76,6%) diantaranya telah mengetahui
status dan sebanyak 163.009 (40%) orang yang mengetahui statusnya berada
dalam pengobatan ARV serta 25.626 (16%) ODHA yang sedang dalam
pengobatan mengalami supresi viral load. Sebelumnya diketahui bahwa HIV
AIDS di Indonesia hanya terkonsentrasi pada populasi kunci, tetapi
berdasarkan estimasi ODHA tahun 2019, diperoleh bahwa 79% ODHA bukan
berasal dari populasi kunci.

Secara umum, terjadi peningkatan sebanyak 20% penemuan ODHIV yang


mengetahui statusnya selama tiga tahun terakhir. Namun, peningkatan
penemuan ODHIV yang mengetahui status tidak sejalan dengan capaian
ODHIV dalam pengobatan, dimana angka capaian stagnan pada kisaran 39%
ODHIV mengetahui status mendapatkan pengobatan. Pada periode yang sama,
terjadi penurunan capaian terhadap jumlah ODHIV sedang dalam pengobatan
mengalami supresi viral load, yaitu sebanyak 9% dari tahun 2020 ke tahun
2021.

10 | P a g e
Gambar 1.5 Perkembangan Program Pengendalian HIV AIDS menurut
strategi 95-95-95 pada tahun 2021

Gambar 1.6 Perkembangan Program Pengendalian HIV AIDS menurut


strategi 95-95-95 pada tahun 2020

Gambar 1.7 Perkembangan Program Pengendalian HIV AIDS menurut


strategi 95-95-95 pada tahun 2019

11 | P a g e
3. Kondisi Umum Malaria

Malaria merupakan salah satu penyakit prioritas global yang tertuang pada
SDGs, yaitu bertujuan untuk mengakhiri salah satunya penyakit malaria pada
tahun 2030 dan prioritas nasional yang tertuang pada dokumen RPJMN 2020-
2024 yaitu jumlah kabupaten/kota eliminasi malaria serta masuk dalam
indikator renstra yaitu jumlah kabupaten/kota API< 1 per 1000 penduduk.
Selain itu malaria merupakan salah satu penyakit yang dipantau oleh kantor
staf presiden (KSP) yaitu persentase pengobatan standar yang dipantau per
tiwulan.

Capaian indikator jumlah kumulatif kabupaten/kota mencapai eliminasi


Malaria Tahun 2021 yaitu sebanyak 347 kabupaten/kota telah mencapai
eliminasi Malaria. Indikator Renstra yaitu jumlah kabupaten/kota mencapai
API<1 Per 1000 penduduk, capaian tahun 2021 sebanyak 471
Kabupaten/Kota.

Tabel 1.1 Pencapaian Indikator RPJMN sampai Tahun 2021


Indikator RPJMN
(Jumlah kumulatif kab/kota 2024
2020 2021 2022 2023
yang mencapai eliminasi
malaria)
Target 325 345 365 385 405

Capaian 318 347 - - -

Tabel 1.2 Pencapaian Indikator RENSTRA sampai Tahun 2021


Indikator Renstra
(Jumlah kmulatif kab/kota 2020 2021 2022 2023 2024
yang mencapai API<1)
Target 466 475 484 495 500

Capaian 467 471 - - -

Malaria menjadi salah satu dari 100 Program dan kegiatan prioritas nasional
yang menjadi bagian dari rencana Aksi Janji Presiden Tahun 2021. Program
dan Kegiatan prioritas ini dilakukan pemantauan secara berkala setiap
triwulan oleh Kantor Staf Presiden. Indikator Pemantauan Program Prioritas
Janji Presiden Tahun 2021 oleh KSP (Kantor Staf Presiden) berupa Indikator
persentase kasus Malaria positif yang diobati sesuai standar dengan target
95%.

12 | P a g e
Tabel 1.3 Capaian Indikator Janji Presiden Program Malaria Tahun 2021

Ukuran Keberhasilan 2020 2021 2022 2023 2024

Tercapainya > 95% kasus


Malaria positif yang diobati 95/95 95/98 95/- 95/- 95/-
sesuai standard

Program penanggulangan malaria di Indonesia bertujuan untuk mencapai


eliminasi malaria secara bertahap selambat-lambatnya Tahun 2030. Tahapan
eliminasi yaitu dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, regional dan nasional.
Kementerian Kesehatan akan mengajukan penilaian sertifikasi eliminasi
malaria di Indonesia kepada Badan Kesehatan Dunia (World Health
Organization -WHO) pada Tahun 2030. Proses tersebut didahului dengan
verifikasi di tingkat regional. Indonesia dibagi menjadi 5 regional yaitu Regional
Jawa dan Bali, Regional Sumatera, NTB dan Sulawesi, Regional Kalimantan
dan Maluku Utara, Regional NTT dan Maluku serta Regional Papua Barat dan
Papua. Rincian penilaian regional dapat dilihat pada gambar dibawah. Masing-
masing wilayah harus dapat membuktikan bahwa wilayahnya telah bebas dari
penularan lokal (kasus indigenous) malaria dalam tiga tahun terakhir serta
adanya sistem yang baik untuk menjamin tidak ada penularan kembali
malaria.

Gambar 1.8 Timeline Eliminasi Malaria di Indonesia

Target eliminasi nasional dilakukan secara bertahap dimulai eliminasi


malaria per kabupaten/kota yang ditargetkan seluruh kabupaten/kota tahun
2028 telah bebas malaria sehingga tahun 2029 ditargetkan seluruh provinsi

13 | P a g e
juga dapat diberikan sertifikat eliminasi malaria. Capaian eliminasi tingkat
kabupaten/kota pada Tahun 2021 yaitu sebanyak 347 kabupaten/kota
sedangkan untuk eliminasi tingkat provinsi belum ada yang tercapai . Selain
itu juga dilalukan verifikasi malaria per regional oleh WHO. Terdapat 5 wilayah
regional di Indonesia yang masing-masing memiiki target verifikasi oleh WHO.
Berikut capaian eliminasi malaria kabupaten/kota per regional di Indonesia.

Gambar 1.9 Capaian Eliminasi Malaria per Regional Tahun 2021

Grafik Capaian Eliminasi Malaria Tahun 2021

100%
90%
80%
70%
60%
100%
100%
100%
100%
96%
96%
95%
94%
92%

50%
88%
86%
83%
83%
80%
79%
73%

40%
71%
70%
69%

68%
65%
64%
64%
60%
60%
57%
53%

30%
46%
KALIMANTAN… 43%
KALIMANTAN… 40%
40%

20%
NUSA… 23%

10%
MALUKU0%
PAPUA BARAT 0%
PAPUA 0%
0%
NUSA…
SUMATERA…
SUMATERA…
SULAWESI…
KEPULAUAN…

SULAWESI…

SULAWESI…
KALIMANTAN…

KALIMANTAN…

KALIMANTAN…
DKI JAKARTA
JAWA TIMUR

BALI

JAMBI

MALUKU UTARA
BANTEN

RIAU

SULAWESI BARAT

NASIONAL
DI YOGYAKARTA

BENGKULU

KEP. RIAU
ACEH

GORONTALO

SULAWESI UTARA
JAWA BARAT

SUMATERA BARAT
JAWA TENGAH

LAMPUNG

Gambar 1.10 Capaian Eliminasi Malaria Per Provinsi

Terdapat 4 provinsi yang seluruh kabupaten/kotanya telah mencapai


eliminasi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Timur, dan
Tahun 2021 terdapat tambahan Provinsi Banten yang seluruh
kabupaten/kotanya bebas malaria. Wilayah KTI tahun 2021 Provinsi yang telah
mendapatkan sertifikat eliminasi malaria adalah Provinsi NTT dan Provinsi
Maluku Utara. Sedangkan Kabupaten/kota di Provinsi Maluku, Papua dan
Papua Barat belum ada yang mendapat status bebas malaria.

14 | P a g e
Berikut tabel rincian jumlah kabupaten/kota dan penduduk per wilayah
endemisitas di Indonesia.

Tabel 1.4 Jumlah Kab/Kota dan Penduduk Berdasarkan Endemisitas


Tahun 2021

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa 85% penduduk Indonesia telah


hidup di daerah bebas malaria. Sebanyak 347 kabupaten/kota di Indonesia
atau sebesar 67,5% telah mencapai API<1 per 1000 penduduk.

Tabel 1.5 Endemisitas Malaria Per Provinsi Tahun 2021

Kab Kab Kab


Jumlah Kab
No Provinsi
Kab/Kota Eliminasi
Endemis Endemis Endemis
Rendah Sedang Tinggi

1 DKI Jakarta 6 6

2 Jawa Timur 38 38

3 Banten 8 8

4 Bali 9 9

5 Jawa Barat 27 26 1

6 Aceh 23 22 1

7 Sumatera Barat 19 18 1

8 Jawa Tengah 35 33 2

9 Riau 12 11 1

10 Sulawesi Selatan 24 21 3

Kepulauan Bangka
11 7 6 1
Belitung

12 Gorontalo 6 5 1

15 | P a g e
Kab Kab Kab
Jumlah Kab
No Provinsi
Kab/Kota Eliminasi
Endemis Endemis Endemis
Rendah Sedang Tinggi

13 Sulawesi Barat 6 5 1

14 DI Yogyakarta 5 4 1

15 Kalimantan Tengah 14 11 3

16 Lampung 15 11 4

17 Sulawesi Tenggara 17 12 5

18 Bengkulu 10 7 3

19 Kalimantan Selatan 13 9 4

20 Sumatera Selatan 17 11 6

21 Sumatera Utara 33 21 9 3

22 Jambi 11 7 4

23 Nusa Tenggara Barat 10 6 4

24 Kalimantan Utara 5 3 2

25 Kepulauan Riau 7 4 3

26 Sulawesi Utara 15 8 6 1

27 Sulawesi Tengah 13 6 7

28 Kalimantan Barat 14 6 8

29 Kalimantan Timur 10 4 5 1

30 Maluku Utara 10 4 6

31 Nusa Tenggara Timur 22 5 14 3

32 Maluku 11 0 8 3

33 Papua Barat 13 3 5 5

34 Papua 29 8 4 17

Total 514 347 124 17 26

16 | P a g e
Trend Kasus Malaria Tahun 2010 – 2021

Gambar 1.11 Kasus Positif dan API Tahun 2010-2021

Berdasarkan tren kasus positif malaria dan API pada grafik tersebut terlihat
penurunan kasus yang signifikan dari Tahun 2010-2014, namun cenderung
stagnan dari Tahun 2014 dan cenderung meningkat di beberapa tahun
terakhir. Tren kasus yang cenderung stagnan tersebut terjadi karena tren
kasus malaria di Provinsi Papua stagnan dan cenderung meningkat serta
kelengkapan laporan yang semakin meningkat.

Grafik Kasus Malaria di Papua dan Luar Papua Tahun 2010 – 2021

500 000

400 000

300 000

200 000

100 000

-
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021

Papua Diluar papua

Gambar 1.12 Tren Kasus Malaria di Papua dan Di luar Papua


Tahun2010-2021

Dari Grafik di atas terlihat secara keseluruhan hampir terjadi penurunan


kasus malaria di seluruh provinsi di Indonesia dari Tahun 2015-2021.
Penurunan tersebut dapat dilihat pada grafik tren penurunan kasus di Provinsi
Papua dan diluar Provinsi Papua. Penurunan kasus malaria terlihat signifikan
di luar Provinsi Papua, namun di Provinsi Papua kasus cenderung meningkat.

17 | P a g e
Kasus malaria Tahun 2021 di Indonesia sebanyak 304.607, kasus tertinggi
yaitu di Provinsi Papua sebanyak 275.243 kasus, disusul dengan Provinsi NTT
sebanyak 9.419 kasus dan Provinsi Papua Barat sebanyak 7.628 kasus.
275 243
9 419
7 628
2 531
2 249
936
897
809
805
713
557
367
351
324
295
247
212
171
128
115
104
93
72
56
49
39
39
33
33
25
25
23
17
2
Gambar 1.13 Kasus Positif Malaria di Indonesia Tahun 2021

Penanganan kasus malaria yang kurang optimal dapat mengakibatkan


kematian. Kasus kematian akibat malaria masih dilaporkan dari beberapa
daerah di Indonesia. Tahun 2021 dilaporkan terdapat 48 kasus kematian
malaria. Laporan kasus kematian tersebut berasal dari 14 provinsi di mana
kasus kematian tertinggi di Provinsi Papua sebanyak 16 kasus. Rincian
kematian malaria per provinsi dapat di lihat pada gambar di bawah.

16

10

6
4 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1

Gambar 1.14 Kasus Kematian Malaria Per Provinsi Tahun 2021

Malaria pada ibu hamil menjadi masalah Kesehatan masyarakat yang serius,
karena dapat menyebabkan berbagai masalah seperti anemia, bayi lahir
prematur, Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan bahkan kematian Ibu
dan Bayi. Risiko malaria pada ibu hamil dalam jangka panjang yaitu masalah
pertumbuhan dan perkembangan kognitif anak akibat lahir prematur dan
BBLR.

18 | P a g e
Penelitian malaria dalam kehamilan di Kabupaten Mimika menunjukkan
bahwa infeksi pada Ibu hamil menyebabkan anemia berat pada Ibu dan
penurunan berat lahir janin. Malaria pada bayi merupakan penyebab utama
anemia berat dan bersama dengan kecacingan menjadi penyebab utama
stunting di daerah endemis malaria.

Pada Tahun 2021 terdapat 25 provinsi yang melaporkan terdapat kasus


positif malaria pada ibu hamil. Kasus tertinggi positif pada ibu hamil dilaporkan
di Provinsi Papua sebanyak 2.889 kasus diikuti Nusa tenggara timur sebesar
114 kasus. Laporan kasus positif malaria pada ibu hamil per Provinsi seperti
pada grafik dibawah ini.

Upaya pengendalian nyamuk anopheles sebagai vektor utama malaria yaitu


dengan penggunaan kelambu anti nyamuk. Distribusi kelambu utamanya
difokuskan pada kabupaten endemisitas tinggi dan desa fokus pada kabupaten
endemis sedang dan rendah. Kampanye kelambu berinsektida mengusung
tema peremajaan dan pemasangan kelambu baru secara serentak yang telah
dilaksanakan setiap 3 tahun sekali.

Distribusi kelambu masal untuk seluruh penduduk di daerah endemis tinggi


dan diwilayah fokus di daerah endemis sedang berdasarkan kelompok tidur
telah dilaksanakan pada Tahun 2014 dan 2017 serta akan kembali
dilaksanakan pada Tahun 2020. Sebanyak 10,7 Juta kelambu telah
didistribusikan melalui kampanye distribusi kelambu masal di Tahun 2014 dan
2017. Dan rencana tahun 2022 akan didistribusikan Kembali kelambu massal
sebanyak 2,4 juta kelambu. Berdasarkan survei terakhir Tahun 2019 diketahui
bahwa cakupan penggunaan kelambu masih rendah yaitu 60.5% sehingga
diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan cakupan penggunaan
kelambu.

4. Kondisi Umum Penyakit Tropis Terabaikan (Neglected Tropical Disease)

Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah. Indonesia telah menetapkan sebanyak


236 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota adalah daerah endemis
Filariasis. Seluruh kabupaten/kota endemis Filariasis tersebut memiliki peta
proses tahapan menuju eliminasi Filariasis berdasarkan data dimulainya POPM
Filariasis seluas kabupaten/kota, cakupan POPM Filariasis, serta hasil
tahapan survei evaluasi Filariasis. Sampai dengan tahun 2021, sebanyak 72
kabupaten/kota dari 236 kabupaten/kota endemis Filariasis telah berhasil
mencapai eliminasi Filariasis. Kabupaten/Kota endemis lainnya masih berada
dalam tahap Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dengan
menggunakan obat Diethylcarbamazine Citrate dan Albendazol serta adanya
tambahan obat ketiga yaitu Ivermectin pada daerah tertentu. Selain POPM
Filariasis juga sebagian besar daerah berada dalam tahap survei evaluasi
prevalensi mikrofilaria untuk melihat apakah kabupaten/kota endemis

19 | P a g e
Filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate <1% dan survei evaluasi
penularan filariasis untuk melihat apakah masih terjadi penularan pada
daerah tersebut atau masih harus melanjutkan kegiatan POPM Filariasis
sebelum ditetapkan sebagai daerah eliminasi Filariasis.

Dari tahun 2014 sampai tahun 2018 akumulasi Kabupaten/Kota yang


eliminasi fiariasis sebanyak 38 kabupaten/kota. Pada tahun tahun 2019 ada
penambahan 18 kabupaten kota eliminasi filariasis, tahun 2020 bertambah lagi
sebanyak 8 kabupaten kota dan tahun 2021 juga ada 8 kabupaten kota yang
eliminisi filariasis. Sehingga sampai pada tahun 2021, kabupaten kota yang
eliminasi filariasis sudah mencapai 72 kabupaten kota.

Kusta. Berdasarkan laporan WHO tahun 2021, didapatkan bahwa Indonesia


menempati urutan ke 3 dari 5 negara dengan jumlah kasus baru terbanyak di
tahun 2020 serta merupakan negara dengan beban kusta yang tinggi dengan
penemuan kasus baru yang statis selama 20 tahun terakhir

Menurut data tahun 2021, didapatkan masih terdapat 6 provinsi yang belum
mencapai eliminasi yaitu provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku
Utara, Papua dan Papua Barat. Angka prevalensi 0,45 per 10.000 penduduk
dengan jumlah kasus terdaftar 12.211 kasus dan angka penemuan kasus baru
(CDR) 4,03 per 100.000 penduduk, dengan jumlah kasus baru berjumlah
10.920 kasus. Proporsi kasus kusta yang ditemukan tanpa cacat sebesar 83,6%
dan proporsi kasus kusta cacat tingkat 2 sebesar 6,13 %. Proporsi kusta anak
diantara kasus kusta baru sebesar 10,33%. Penderita kusta yang telah
menyelesaikan pengobatan (Release From Treatment/RFT) untuk kasus PB 90%
dan kasus MB 88 %. Dari data tersebut terlihat bahwa masih tingginya kasus
kusta terutama di wilayah Timur, dan tingginya proporsi kasus kusta cacat
tingkat 2 (target indikator program < 5%), rendahnya proporsi penemuan kasus
kusta tanpa cacat (target indikator program >88%), serta tingginya proporsi
kasus anak diatara kasus baru (target indikator program < 5%),
mengindikasikan bahwa masih tingginya penularan kasus kusta di Indonesia
khususnya di wilayah Timur.

Angka penemuan kasus baru (CDR) kusta mengalami tren penurunan


signifikan pada periode 3 tahun terakhir yaitu tahun 2019 sebesar
0,74/100.000 penduduk, tahun 2020 sebesar 0,49/100,000 penduduk dan
tahun 2021 sebesar 0,5/100.000 penduduk.

Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat masih rendah dari target 88% dimana
masih banyak kasus yang ditemukan dalam kondisi cacat. Data proporsi
kasus kusta baru tanpa cacat 3 tahun terakhir pada tahun 2019 yakni sebesar
85,5% , tahun 2020 sebesar 84,6% dan tahun 2021 sebesar 84,63%.

20 | P a g e
Proporsi cacat kusta tingkat 2 tahun 2021 terjadi kenaikan dari target tahun
sebelumnya yaitu 5,15% , untuk tren 2 tahun sebelumnya dimana tahun 2019
sebesar 4,1% dan tahun 2020 sebesar 2,32%. Tingginya kasus kusta cacat
tingkat 2 menunjukkan keterlambatan penderita dalam deteksi dini dan
pengobatan.

Proporsi kasus anak di antara kasus baru masih tinggi pada 3 tahun
terakhir dengan target <5%, untuk tren 3 tahun terakhir yaitu tahun 2019
sebesar 11.52%, tahun 2020 sebesar 10,08% dan tahun 2021 sebesar 10,89%.
Dengan adanya kasus anak yang ditemukan di masyarakat, artinya bahwa
masih adanya penularan dan adanya kasus kusta yang belum ditemukan dan
belum mendapat pengobatan.

Belum tercapai target ini disebabkan masih rendah dan lambatnya


penemuan kasus sedini mungkin, kurangnya kunjungan penderita kusta ke
pelayanan kesehatan dikarenakan masih tingginya rasa takut dan stigma kusta
di masyarakat dan banyak penderita kusta yang putus MDT karena reaksi
kusta, keterlambatan dan kekurangan ketersediaan MDT dari hibah WHO.

5. Kondisi Umum ISPA


Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang
menyerang organ pernafasan dari hidung sampai alveoli dan organ adneksa nya
(sinus, rongga telinga tengah, dan peura) yang disebabkan oleh lebih dari 300
jenis mikroorganisme seperti bakteri, virus atau jamur. Penyakit ISPA ditandai
dengan kejadian singkat/ muncul secara tiba-tiba dan sangat mudah menular
terutama pada kelompok rentan yaitu bayi, balita dan lansia. ISPA merupakan
salah satu dari 10 penyakit terbanyak di fasilitas pelayanan kesehatan mulai
dari yang paling ringan seperti rhinitis hingga penyakit-penyakit yang dianta
ranya dapat menyebabkan wabah atau pandemi, seperti influenza dan yang
menyebabkan kematian yaitu pneumonia.

Pengendalian ISPA dititik beratkan pada pengendalian penyakit pneumonia,


karena penyakit pneumonia yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap
angka kesakitan dan kematian Balita. Kegiatannya meliputi deteksi dini dan
tatalaksana kasus pneumonia pada balita.

Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)


yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Sampai saat ini program pengendalian pneumonia lebih
diprioritaskan pada pengendalian pneumonia balita. Pneumonia pada balita
ditandai dengan batuk dan atau tanda kesulitan bernapas yaitu adanya nafas
cepat, kadang disertai tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (TDDK),
dengan batasan napas cepat berdasarkan usia penderita (usia < 2 bulan: ≤
60/menit, usia antara 2 - < 12 bulan : ≤ 50/menit, dan usia 1 - < 5 tahun: ≤
40/menit).

21 | P a g e
Berdasarkan data WHO menyebutkan bahwa pneumonia merupakan
penyakit menular penyebab kematian terbesar baik pada anak-anak maupun
dewasa, yaitu sebesar 2,5 juta kematian pada tahun 2019, 672.000 (26.88%)
diantaranya terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data RISKESDAS tahun
2017, pneumonia merupakan penyebab kematian karena penyakit menular
terbesar ke 2 setelah diare, baik pada bayi (23.8%) maupun Balita (15.5%).
Sementara itu menurut data Sistem Registrasi Sampel Indonesia 2016, Badan
Litbangkes Kementerian Kesehatan, pneumonia merupakan penyebab 10%
kematian pada balita. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan
penyakit ini yaitu dengan meningkatkan penemuan pneumonia pada balita.

Surveilans influenza sangat penting untuk memantau tren aktivitas


influenza di Indonesia. Surveilans ini juga berfungsi untuk mendeteksi penyakit
secara dini dan merespon tren influenza yang tidak biasa yang menunjukkan
virus novel influenza dengan potensi pandemi. Surveilans Influenza di
Indonesia dilaksanakan melalui Surveilans Influenza Like Illness (ILI) yang
dilaksanakan di 31 puskesmas (di 26 provinsi) dan Surveilans Severe Acute
Respiratory Infection (SARI)/ Surveilans ISPA Berat Indonesia (SIBI) yang
dilaksanakan di 14 rumah sakit (di 10 provinsi) sebagai bagian dari GISRS.
Kegiatan surveilans influenza ini adalah kontribusi Indonesia dalam
monitoring dan risk assesment influenza global, asesmen untuk kandidat
vaksin global dengan pengiriman spesimen isolat influenza dari National
Influenza Centre (NIC) ke WHO CC melalui jejaring GISRS.

Tabel 1.6 Target Dan Capaian Program ISPA Tahun 2019-2021


Indikator 2019 2020 2021

Target Capaian Target Capaian Target Capaian

Persentase 60 % 47,82 % 50 % 60,70 % 52 % 64,40 %


Kabupaten Kota
yang 50%
Puskesmasnya
melaksanakan
Tatalaksana
Pneumonia sesuai
standar
(MTBS/Program
ISPA

Cakupan 90 % 52,90 % 60 % 34,81 % 65 % 31,41 %


penemuan kasus
Pneumonia Balita

22 | P a g e
Indikator Renstra yang digunakan pada tahun 2021 yaitu persentase
kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya melaksanakan pemeriksaan dan
tatalaksana standar pneumonia sesuai standar sebesar 52%, baik melalui
pendekatan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit), maupun program
Pencegahan dan Pengendalian ISPA. Pada tahun 2021 Persentase
kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya melakukan tatalaksana standar
pneumonia sebesar 64,4% yang berarti sudah mencapai target renstra tahun
2021 yaitu sebesar 52%.

Grafik Target dan Capaian Persentase Kabupaten/Kota yang 50%


puskesmasnya melaksanakan tatalaksana standar Tahun 2021
120,00

100,00

80,00
64,40
60,00

40,00

20,00

0,00

Persertase Capaian Tatalaksana Target 52%

Gambar 1.15 Target dan Capaian Indikator Tahun 2021

Tahun 2021 terdapat tujuh provinsi yang puskesmas di seluruh


kabupaten/kotanya melakukan pemeriksaan dan tatalaksana standar
pneumonia yaitu Jambi, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Kalimantan Utara,
Sulawesi Tengah, Bali, NTB.

Selain pneumonia Balita, Pengedalian ISPA juga dihadapkan dengan


kesiapsiagaan dan respon terhadap penyakit saluran pernapasan lain yang
perlu mendapat perhatian global (Public Health Emergency International
Concern – PHEIC) seperti Pandemi Influenza dengan melaksanakan surveilans
influenza like illness (ILI) di 31 site sentinel/puskesmas dan Surveillance Acute
Respiratory Infection (SARI) di 14 Site Sentinel Rumah Sakit. Surveilans
influenza sangat penting untuk memantau tren aktivitas influenza di Indonesia.
Surveilans ini juga berfungsi untuk mendeteksi penyakit secara dini dan
merespon tren influenza yang tidak biasa yang menunjukkan virus novel
influenza dengan potensi pandemi.. Kegiatan surveilans influenza ini adalah

23 | P a g e
kontribusi Indonesia dalam monitoring dan risk assesment influenza global,
asesmen untuk kandidat vaksin global dengan pengiriman spesimen isolat
influenza dari National Influenza Centre (NIC) ke WHO CC melalui jejaring
GISRS.

6. Kondisi umum Hepatitis


Hasil evaluasi persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini
Hepatitis B dan C pada populasi berisiko pada tahun 2019 sebesar 89,1%,
tahun 2021 sebesar 91,4 % dan Tahun 2021 sebesar 93,0%.

7. Kondisi Umum DBD dan Arbovirosis lainnya


Data kasus DBD dalam tiga tahun terakhir secara kumulatif di Indonesia
mengalami penurunan namun fluktuatif di tiap provinsinya. Kasus DBD tahun
2019 ialah 138.127 kasus, tahun 2020 ialah 108.303 kasus, dan tahun 2021
ialah 73.518 kasus. Dalam tiga tahun tersebut Provinsi Jawa Barat selalu
menempati urutan pertama kasus DBD tertinggi di Indonesia.

Grafik kasus DBD tahun 2019 – 2021 :

30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
-

Kasus 2019 Kasus 2020 Kasus 2021

Gambar 1.16 Jumlah Kasus DBD Tahun 2019 - 2021

Indikator program DBD yakni persentase kab/kota dengan IR DBD ≤ 10 per


100.000 penduduk di mana IR dihitung dari jumlah kasus dibagi dengan
jumlah penduduk dikali 100.000. Berikut data IR DBD tiap provinsi di
Indonesia tahun 2019 – 2021 :

24 | P a g e
IR DBD tahun 2019 - 2021
300,0
200,0
100,0
0,0

IR DBD 2019 IR DBD 2020 IR DBD 2021

Gambar 1.17 Data Insiden Rate DBD per Provinsi Tahun 2019 - 2021

Dari grafik di atas secara kumulatif IR DBD di Indonesia selama tiga tahun
terakhir mengalami fluktualisi. Sebagian besar provinsi belum mencapai
indikator IR DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk. Dalam lingkup kabupaten/kota
terdapat rincian 10 kabupaten/kota dengan IR tertinggi di Indonesia
diantaranya:

Tabel 1.7 Kabupaten/Kota dengan IR tertinggi Tahun 2019 - 2022

2019 2020 2021


Kab/Kota IR Kab/Kota IR Kab/Kota IR
KOTA BONTANG 385,43 SIKKA 562,8 KOTA BONTANG 321,69
SUMBA TIMUR 342,38 BULELENG 512,4 KOTA KUPANG 320,65
KOTA TEBING TINGGI 313,26 KLUNGKUNG 453,0 MANGGARAI BARAT 263,21
PRINGSEWU 293,86 KOTA KUPANG 414,8 Kt Tj PINANG 225,73
KOTA TARAKAN 272,43 BADUNG 377,5 KARIMUN 225,07
HALMAHERA UTARA 266,70 BELU 366,5 SIDENRENG RAPPANG 201,70
KEPAHIANG 260,95 GIANYAR 338,1 KOTA SAMARINDA 158,83
LOMBOK UTARA 249,08 PRINGSEWU 255,3 BULELENG 152,90
KOTA SUKABUMI 239,14 ALOR 228,7 KOTA PALOPO 151,33
KOTA BALIKPAPAN 237,19 LOMBOK BARAT 228,2 DOMPU 147,50

Tabel di atas menggambarkan bahwa capaian IR DBD di kab/kota masih


sangat jauh dari target indikator program. Sehingga masih diperlukan upaya –
upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD untuk menekan angka
kesakitan akibat DBD.

Penyakit Arbovirosis lainnya diantaranya Chikungunya, Japanese


Encephalitis (JE) dan Zika. Tren kasus Chikungunya di Indonesia mengalami

25 | P a g e
fluktuasi dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2021 suspek
Chikungunya di Indonesia sebanyak 4.872. hal ini meningkat jika
dibandingkan dengan tahun 2020 sebanyak 1.689 kasus. Kondisi JE di
Indonesia mengerucut di beberapa provinsi saja. Pemeriksaan JE dilakukan
dengan pemeriksaan spesimen AES. Pada tahun 2020 dari 171 spesimen yang
terkumpul, terdapat 7 kasus positif JE yang tersebar di Provinsi Bali dan
Kalimantan Barat. Pada tahun 2021 dari 170 spesimen yang terkumpul,
terdapat 13 kasus positif JE yang tersebar di Provinsi Bali dan Kalimantan
Barat.

8. Kondisi Umum Zoonosis


Penyakit Zoonosa (Zoonosis) yang ditangani sampai saat ini seperti Rabies,
Flu Burung, Antraks, Leptospirosis dan Pes. Adapun kondisi dari tiap penyakit
tersebut sebagai berikut :

Rabies. Periode Januari - Desember 2021 tercatat ada 56.873 kasus gigitan
HPR yang dilaporkan, 42.453 di antaranya diberi Vaksin Anti Rabies (74,65 %).
Sebanyak 62 kasus kematian dilaporkan dari 11 provinsi yaitu Provinsi
Kalimantan Barat sebanyak 13 kematian, Nusa Tenggara Barat sebanyak 10
kematian, Sulawesi Utara sebanyak 9 kematian, Sulawesi Selatan sebanyak 7
kematian, Maluku dan Gorontalo masing-masing 6 kematian, Nusa Tenggara
Timur sebanyak 4 kematian, Sumatera Utara sebanyak 3 kematian, Sumatera
Selatan sebanyak 3 kematian, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat masing-
masing sebanyak 1 kematian.

Selama periode 3 (tiga) tahun terakhir yakni tahun 2019-2021, diketahui


bahwa jumlah kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia sebanyak
244.777 kasus, atau rata-rata sebanyak 81.592 dalam setahun, dengan rata-
rata kematian sebanyak 69 kasus. Dan dari 311 kabupaten kota endemis
rabies maka terdapat 263 kabupaten kota yang telah eliminasi rabies Tahun
2022 sesuai Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Program Zoonosis. Adapun
eliminasi yang dimaksud adalah tidak adanya kasus kematian karena rabies
pada manusia dan tidak adanya specimen positif pada hewan penular rabies
selama 2 (dua) tahun terakhir yakni Tahun 2020 – 2021 di kabupaten kota
endemis rabies.

Flu Burung. Secara kumulatif jumlah penderita Flu Burung di Indonesia


sejak akhir Juni 2005 – Juli 2022 adalah sebanyak 200 orang dan 168 orang
diantaranya meninggal dengan angka kematian (CFR) 84%. Satu Kasus
konfirmasi terakhir terjadi di Kabupaten Klunkung Provinsi Bali pada Bulan
September 2017. Penyakit FB ini tidak termasuk dalam IKK Program Zoonosis.

Antraks. Adapun data kasus Antraks Tahun 2019 – 2021 semakin menurun.
Tahun 2019 dilaporkan sebanyak 71 kasus, Tahun 2020 dilaporkan sebanyak
47 kasus dan Tahun 2021 dilaporkan sebanyak 15 kasus dari 3 (tiga) provinsi

26 | P a g e
yakni Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Semua kasus Antraks
tersebut termasuk jenis Antraks Kulit dan dalam 3 (tiga) tahun terakhir tidak
ada laporan kematiannya. Penyakit Antraks ini tidak termasuk dalam IKK
Program Zoonosis.

Leptospirosis. Adapun data kasus Leptospirosis Tahun 2019 – 2021


berfluktuatif. Tahun 2019 dilaporkan sebanyak 921 kasus dengan kematian
sebanyak 122 kasus (Case Fatality Rate – CFR = 13,25 %), Naik di Tahun 2020
sebanyak 1.170 kasus dengan kematian menurun menjadi 106 kasus (CFR =
9,06 %) dan Menurun Tahun 2021 sebanyak 693 kasus dengan kematian
sebanyak 79 kasus (CFR = 11,4 %. Penyakit Leptospirosis ini tidak termasuk
dalam IKK Program Zoonosis.

Pes. Kasus konfirmasi Pes terkahir terjadi di Kabupaten Pasuruan – Jawa


Timur Tahun 2007 dan hingga Juli 2022 tidak ada laporan kasus konfirmasi
Pes di Indonesia. Berdasarkan Assessment Pes oleh WHO pada Januari 2019
dinyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah low endemis dan terlokalisir.
Penyakit Pes ini tidak termasuk dalam IKK Program Zoonosis.

Gigitan Hewan Berbisa dan Tanaman Beracun. Indonesia merupakan


negara dengan jenis hewan berbisa dan tanaman beracun yang cukup banyak.
Terdapat 370 jenis ular dan 77 di antaranya merupakan ular berbisa di
Indonesia antara lain ular laut, ular Elapid (Ular Australia, Ular Cobra, King
Cobra, Weling Welang, Calliophis, Trimeresurus sp, Daboia sp, Calloselesma sp,
Rhabdophis sp dan lain lain. Sementara negara lain seperti Taiwan 6, Malaysia
20, Thailand 40 dan Australia 60 jenis ular berbisa. Sedangkan untuk jenis
Hymenopterans Sting (hewan penyengat) ada Tawon, Lebah, Semut, Centipedes,
Millipedes, Toads, Scorpion, Caterpillar, Spider. Hewan laut yang memiliki racun
ada beberapa spesies seperti Ubur ubur, Bintang laut, Bulu babi, Cone snail,
Blue ringed octopus, Lionfish, Scorpionfish, Stonefish, Stingray, Pufferfish,
Parrotfish, Horseshoe crabs, Sea anemones, Corals.moray eel yang memiliki
berbagai spesies yang hidup di Indonesia. Sedangkan Tanaman beracun yang
dapat mengancam kehidupan manusia seperti jamur dan tanaman lain banyak
terdapat di Indonesia.

Kasus kejadian akibat gigitan ular maupun hewan berbisa lainnya sangat
tinggi di Indonesia. Dalam satu tahun kasus gigitan ular mencapai 135.000
kasus tersebar di 34 propinsi dengan kematian 10% dari insiden atau sekitar
50 -100 orang tiap tahunnya dari yang dilaporkan ke Indonesia Toxinology
Society yang mengumpulkan data ini selama 2012 sampai 2021 sekitar 500-
1000 kasus Data yang berhasil dikumpulkan Indonesia Toxinology society
menunjukkan untuk tahun 2021 Aceh 250 kasus, Sumatera Utara 400 kasus,
Sumatera Barat 100 kasus, Jambi 30 kasus, Bengkulu 20 kasus, Sumatera
Selatan 50, Bangka Belitung 10 kasus, lampung 30 kasus, Kepulauan Riau 20
kasus, DKI Jakarta 60 kasus, Banten 120 kasus, Jawa Barat 350 kasus, Jawa

27 | P a g e
Timur 400 kasus, DIY 100 kasus,Kalimantan Barat 100 kasus, Kalimantan
Tengah 50 kasus, Kalimantan selatan 30 kasus, Kalimantan timur 20 kasus,
Kalimantan Utara 10 kasus, Sulawesi Utara 50 kasus, Gorontalo 30 kasus,
Sulawesi Tengah 25 kasus, Sulawesi Barat 30 kasus, Sulawesi Selatan 100
kasus ,Sulawesi Tenggara 50 kasus, NTB 10 kasus, NTT 22 kasus, Papua 29
kasus, papua barat 13 kasus, maluku 11 kasus, Maluku Utara 10 kasus, dan
Maluku tenggara 1 kasus.Tapi data ini adalah data yang tidak bisa
menggambarkan keadaan yang sebenarnya karean hanya berdasarkan laporan
dari para klinisi di lapangan yaitu dari rumah sakit dan puskesmas serta dari
masyarakat dan belum dikumpulkan secara resmi oleh kementria kesehatan.

Kasus kejadian akibat hewan hewan laut yang berbisa sangat banyak, salah
satu yang telah diteliti dan menimbulkan banyak kejadian luar biasa di
Indonesia adalah ubur ubur biru atau blue bottle jellyfish atau portugese man
of war. Indonesia Toksinology Society mencatat data tertinggi adalah akibat
ubur ubur biru dimana jumlah korbannya tinggi setiap tahun, namun racun
Physalia physalis di Indonesia secara ilmiah tidak banyak diketahui. Kejadian
tahunan ini terjadi terutama di pantai selatan Jawa dan Kepulauan Bali Timur,
yang adalah tujuan wisata yang paling. Periode Juni – Juni tahun 2019
dilaporkan pasien sebanyak 773 sedang 2020 sebanyak 514 pasien, data
pasien menurut jenis kelamin tahun 2019 tidak tidak didapatkan sedang 2020
didapatkan ratio jenis kelamin adalah 1,44. Pada tahun 2019 gambaran klinis
yang dialami meliputi dispnea, mual, muntah, nyeri, sefalgia, edema: 2 (0,25%)
dan tahun 2020 gejala klinis yang dialami oleh penderita adalah nyeri, edema:
514 (100%). Penderita ditatalaksana di faskes dengan rawat inap, baik di tahun
2019 maupun 2020. Gejala klinis berupa tanda dermal, nyeri lokal rata-rata
(skor: 2-8), untuk kasus box jellyfish dengan jenis yang tidak diketahui
dilaporkan beberapa kasus memang masih dibawah 50 kasus karena
kurangnya pelaporan dari tempat tempat terjadinya sengatan ubur ubur dan
karena angka fasilitas yang tinggi (Maharani & Karim, 2021).

Stone fish beberapa kejadian di Bali dan Rajaampat terjadi di pantai dan di
dapur restoran hal ini menandakan perlunya pengetahuan akan hewan berbisa
yang dibuat makanan, kasus fatalitas akibat makanan ikan buntal di Maumere
dan juga di banyak tempat lain juga memberikan informasi akan kurangnya
pengetahuan akan toksin hewan hewan ini. blue octopus, seaurchin, lionfish,
scorpionfish dan banyak hewan berbisa lainnya data nya memang belum
dikumpulkan dengan baik sehingga meskipun sangat tinggi kejadian dan
fatalitas karena diagnosis dan penegakannya sulit dilakukan sulit di
identifikasi, hal ini menyebabkan sebagaian besar tenaga medis tidak dapat
melakukan tatalaksana dengan baik dan sesuai standar. Data ini adalah data
yang belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya
berdasarkan laporan dari para klinisi di lapangan yaitu dari rumah sakit dan

28 | P a g e
puskesmas serta dari masyarakat dan belum dikumpulkan secara resmi oleh
kementrian kesehatan. (policy brief Maharani, 2022).

Kasus kejadian akibat sengatan hewan Hymenopterans tersebar di beberapa


wilayah di Indonesia. Pada tahun 2017 terlaporkan 32 kasus sengatan tawon
dengan 11 meninggal, tahun 2018 ada 27 kasus dengan 5 orang meninggal,
tahun 2019 terlaporkan 39 kasus dengan 3 meninggal, tahun 2020 terdapat 15
kasus dengan 2 meninggal, dan sampai bulan Juli 2022 sudah terlaporkan di
Toksinologi Indonesia sebanyak 12 kasus sengatan tawon dan 2 orang
meninggal (Tri Maharani, 2022).

B. Potensi dan Tantangan


I. Potensi
a. Dukungan Lintas Program, Lintas Sektor dan Organisasi

Dalam menjalankan tugas dan fungsi Direktorat Pencegahan dan


Pengendalian Penyakit Menular diperlukan adanya dukungan baik lintas
program, lintas sector, organisasi maupun pihak-pihak lainnya. Dukungan
dari Kementerian/Lembaga lain pada program Penanggulangan
Tuberkulosis sesuai amanat Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 yaitu
Kemenko PMK, Kemenkominfo, dan Kemendikbudristek dalam edukasi
TBC ke masyarakat. Dukungan dari lintas sektor dan organisasi pada level
pusat, kegiatan dilakukan melalui kerja sama dengan mitra yang tergabung
ke wadah kemitraan penanggulangan TBC (WKPTB) bidang edukasi
masyarakat, yang terdiri dari lintas sektor seperti dari komunitas yakni
STPI, Yayasan KNCV Indonesia, POP TB Indonesia, dan Konsorsium
Penabulu STPI, selain itu partner lainnya seperti WHO Indonesia dan
USAID TBPS. Ada juga keterlibatan dunia usaha seperti Jhonson n
Jhonson.

Pihak yang bekerja sama dalam kegiatan sosialisasi/edukasi terkait TBC


pada level kabupaten/kota:

1) Dinas Pendidikan: Kegiatan sosialisasi TB pada siswa di lingkungan


sekolah termasuk sekolah berasrama
2) Dinas Ketenagakerjaan: Kegiatan sosialisasi TB di lingkup disnaker,
termasuk di perusahaan
3) Dinas Sosial: Kegiatan sosialisasi dan skrining TBC di RS jiwa, panti
rehabilitasi sosial/panti. jompo/panti asuhan, barak pengungsi
4) Dinas Komunikasi dan Informasi: Sosialisasi TBC ke media massa
cetak, media elektronik dan online secara rutin.
5) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan
Pemberdayaan Masyarakat: Keterlibatan PKK, gabungan organisasi
wanita dalam penyuluhan dan pendampingan pasien TBC, serta
pelibatan kader posyandu terkait edukasi pencegahan TBC.

29 | P a g e
6) Dinas PKP2R: Melakukan sosialisasi rumah yang sehat kepada
kelurahan.
7) Organisasi masyarakat seperti: Aisyiyah, Yayasan PETA, REKAT,
YAMALI TB, KAREBA BAJI (CSO Makassar), PESAT, Perdhaki Medan,
Yahbisa (Surabaya), YSKI, Yayasan Mitra Husada dan YMMA (CSO
Medan): Melakukan edukasi pada masyarakat dan pasien serta
keluarganya, pelibatan tokoh masyarakat setempat dalam melakukan
penyuluhan
8) BAZNAZ level kota: Sosialisasi TB kepada pemimpin agama
9) BPJS level kota: Melaksanakan kegiatan sosialisasi/diseminasi
Program TB (pemutaran video Edukasi TB di ruang tunggu faskes)
10) Badan usaha seperti Bank Sumut, PERTAMINA, Kimia Farma, HIPMI,
Ottimo International, BPD Sulselbar: Sosialisasi TB dan skrining TB
secara internal
11) Philantropy: HIPMI, Lion clubs, Harley Davidson Club, Seribu Senyum.
12) APINDO: Sosialisasi tentang TBC ke perusahaan calon CSR.
13) Asosiasi Profesi (IDI, PDPI, KOPI TB): Memasukkan informasi TBC di
dalam kegiatan Pengayaan berkala 4/tahun untuk dokter dokter baru.
Narasumber untuk memberikan informasi terbaru/penyegaran
pengetahuan (coaching) penanganan TBC kepada tenaga kesehatan di
RS dan klinik oleh dokter-dokter spesialis. Sebagai tenaga ahli di rumah
sakit menjadi motivator, fasilitator, pelaksana pelayanan kesehatan
dan mendorong terbentuknya jejaring internal layanan TBC yang
sinergis

Strategi nasional dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV AIDS


dan PIMS, di antaranya melalui penguatan komitmen dari
kementerian/lembaga yang terkait di tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota serta penguatan kemitraan dan peran serta masyarakat
termasuk pihak swasta, dunia usaha, dan multisektor lainnya baik di
tingkat nasional maupun internasional.

Dalam lingkup kementerian kesehatan sendiri, dukungan lintas program


pada manajemen program HIV AIDS sangat beragam di antaranya berupa
perumusan kebijakan, penyediaan alat dan bahan penegakan diagnosis
HIV, melakukan fasilitasi penyusunan regulasi serta pengalokasian
anggaran, dan penelitian serta pengembangan aspek pencegahan dan
pengendalian HIV AIDS.

Dukungan lintas sektor dari kementerian/Lembaga non-kesehatan


dalam pencegahan dan pengendalian HIV AIDS meliputi kegiatan
pembinaan dan pengawasan pada jajaran pemerintah daerah. Seperti peran
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yaitu melakukan pembinaan dan

30 | P a g e
pengawasan pada jajaran pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota
dalam pencapaian target SPM.

Penguatan kemitraan dan peran serta masyarakat sangat besar dalam


upaya mengurangi stigma dan diskriminasi masyarakat. Selain itu,
keterlibatan masyarakat dan organisasi juga mampu mencapai akselerasi
eliminasi epidemi HIV AIDS di 2030 sebab organisasi masyarakat memiliki
peran untuk terlibat secara aktif dalam pemberian layanan HIV.
Keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam upaya pencegahan dan
pengendalian program HIV AIDS dan IMS semakin meningkat, salah
satunya ditandai dengan penunjukan Yayasan Spiritia sebagai salah satu
penerima dana hibah GFATM dengan portofolio program yang meliputi
penyediaan layanan pencegahan, dukungan, perawatan, dan pengobatan
HIV AIDS.

Untuk mengoptimalkan upaya penanggulangan malaria tidak hanya


urusan sektor kesehatan, tetapi melibatkan lintas program, lintas sektor
baik sektor pemerintah atau pun swasta sebagai bentuk pengarusutamaan
health in all policies. Berikut adalah identifikasi dan keterlibatan lintas
program, lintas sektor pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat dalam
penanggulangan malaria.

Tabel 1.8 Keterlibatan Lintas Program dalam Penanggulangan


Malaria

Nama Unit Lintas


Peran
Program
1. Kesehatan keluarga
a. Pelayanan Program Malaria Dalam Kehamilan
dalam ANC terpadu
b. Pelayanan malaria pada balita sakit dalam
program MTBS.
2. Promosi kesehatan
a. Upaya promosi kesehatan (advokasi, perubahan
Ditjen Kesehatan
KAP dan pemberdayaan masyarakat) untuk
Masyarakat
malaria termasuk kerjasama dengan lintas sector
(KEMENDES).
3. Kesehatan lingkungan
a. Perbaikan sanitasi dan lingkungan di daerah
endemis malaria
b. Pemanfaatan sanitarian untuk membantu
pengendalian vektor
1. Pelayanan kesehatan malaria sesuai standar di
fasyankes dan jaringannya termasuk fasyankes
swasta
Ditjen Pelayanan 2. Penyediaan logistik dan pemantapan mutu
Kesehatan laboratorium malaria
3. Pelaporan kasus kesakitan dan kematian malaria
dari fasyankes termasuk RS swasta dan yankes
mandiri

31 | P a g e
Nama Unit Lintas
Peran
Program
4. Monitoring alat dan bahan laboratorium malaria,
melalui aplikasi ASPAK (Aplikasi untuk monitoring
Sarana Prasarana dan Peralatan Kesehatan)
1. Biro Perencanaan: Pembiayaan program malaria
2. Pusdatin: Pengembangan dan penguatan sistem
informasi malaria
3. Pusat Krisis Kesehatan: Pencegahan dan
pengendalian malaria pada pasca bencana
Sekretariat
4. P2JK:
Jenderal
a. Sharing data kesakitan dan kematian malaria
dari data BPJS
b. Fasilitasi mekanisme rujukan kasus malaria di
daerah pemeliharaan
c. Pembiayaan program malaria
1. Menjamin ketersediaan obat malaria di layanan
kesehatan
2. Pengembangan sistem informasi kefarmasian (e-
Kefarmasian dan
logistik) sehingga bisa memantau stok obat, RDT dan
Alkes
kelambu sampai tingkat puskesmas
3. Penyediaan RDT
4. Post market surveillance (RDT & reagen malaria)
1. Pelatihan tenaga entomolog/asisten entomolog/co
asisten entomology
2. Penambahan program studi entomologi
3. Pelatihan dan sertifikasi petugas mikroskopis
4. Pelatihan diagnosis dan tatalaksana malaria jarak
BPPSDM
jauh (blended course)
5. Pengembangan strategi ketenagaan malaria di
daerah
6. Pelatihan program manajemen untuk pengelola
program di Pusat, Provinsi dan kabupaten/kota
1. Penelitian operasional penanggulangan malaria
Litbangkes
2. Rujukan nasional konfirmasi spesies malaria
1. Penarikan dan pengawasan peredaran obat malaria
yang tidak standar dan pengaturan agar obat
malaria tidak dijual bebas.
Badan POM
2. Post marketing surveillance obat malaria (kualitas
obat)
3. Quality control OAM

Tabel 1.9 Keterlibatan Lintas Sektor yang Terlibat dalam


Penanggulangan Malaria

Nama Lintas
Peran
Sektor
Membahas dan menyepakati malaria sebagai program
Bappenas
prioritas nasional
Sekretariat
Penerbitan peraturan presiden eliminasi malaria
Kabinet

32 | P a g e
Nama Lintas
Peran
Sektor
Penerbitan Permendagri dan regulasi turunannya
Kementerian
tentang penyusunan anggaran daerah dalam
Dalam Negeri
penanggulangan penyakit malaria
Koordinasi dan harmonisasi penyelenggaraan
Kemenko PMK
pemerintahan terkait penanggulangan penyakit malaria
• Penyediaan regulasi pengalokasian dana desa dan
pemanfaatan tenaga pendamping desa untuk
Kementerian pembiayaan kegiatan desa dalam penanggulangan
Desa malaria.
• Menyediakan infrastruktur masyarakat desa (MCK,
saluran air, dsb)
Memfasilitasi pendampingan untuk menghentikan
Kementerian
penularan malaria di lokasi Pemberdayaan Komunitas
Sosial
Adat Terpencil (KAT).
Memfasilitasi:
• Pengembangan kurikulum lokal tentang malaria
Kemendikbud • Partisipasi siswa dalam upaya pencegahan malaria
dan Kemenag • Menyampaikan informasi tentang pencegahan dan
penanggulangan malaria ke masyarakat melalui
pendekatan keagamaan
• Pembuatan/perbaikan saluran air sehingga tidak
menyebabkan genangan
Kementerian
• Penimbunan tempat perkembangbiakan nyamuk
Pekerjaan
malaria
Umum
• Membuat konstruksi (kanal) untuk pencampuran air
payau dengan air tawar atau air laut
• Pengaturan penanaman padi sawah agar dilakukan
secara serentak
• Pengaturan irigasi dengan pengeringan sawah secara
Kementerian berkala
Pertanian • Menyebarkan ikan di persawahan (mina padi) yang
berperan sebagai pemakan larva/jentik nyamuk
malaria
• Perijinan dan pengawasan peredaran insektisida
• Memberikan informasi kepada para wisatawan
tentang pencegahan malaria
Kementerian
• Mendorong pelaku pariwisata agar membebaskan
Pariwisata
area wisata dan perimeternya dari perindukan jentik
& nyamuk malaria
Penegakan hukum di tambang ilegal baik legal maupun
Kementerian
illegal dalam rangka pencegahan penularan malaria pada
ESDM
para pekerja tambang illegal
Mendukung kegiatan surveilans migrasi kepada
Kementerian
pengunjung, pekerja dan masyarakat yang tinggal di
Lingkungan
sekitar hutan; penegakan hukum pada pembalakan liar,
Hidup
perkebunan dan peladangan ilegal dalam rangka
dan Kehutanan
pencegahan penularan malaria
Kementerian Mendorong reboisasi bakau, surveillans migrasi pada
Kelautan dan nelayan, penebaran ikan dalam pengendalian jentik
Perikanan (biological control).

33 | P a g e
Nama Lintas
Peran
Sektor
Kementerian Semua bandara dan pelabuhan bebas tempat perindukan
Perhubungan nyamuk, penyediaan materi edukasi malaria
KOMINFO Diseminasi media dan informasi malaria
TNI/POLRI Kerja sama surveillans migrasi

Partisipasi sektor swasta juga membantu dalam penanggulangan dan


percepatan eliminasi malaria melalui mobilisasi sumber daya dan
kemitraan di hulu dan di hilir. Di hulu, sektor swasta dapat berperan dalam
pencegahan dan deteksi dini malaria melalui manajemen lingkungan untuk
mencegah timbulnya perindukan nyamuk akibat aktivitas usaha mereka;
memberikan perlindungan pada pekerja dan masyarakat sekitar tempat
usaha mereka dari gigitan vektor malaria; terlibat dalam kampanye
kesadaran dan perubahan perilaku. Sedangkan di hilir, sektor swasta dapat
membantu dalam pengobatan dan pelaporan malaria bagi pekerja
dan masyarakat. Untuk sektor swastamemberikan/memiliki fasilitas
layanan kesehatan, diharapkan mereka dapat bekerja sama dengan dinas
kesehatan untuk mengembangkan public private mix.

Tabel 1.10 Peran Sektor Swasta dalam Penanggulangan Malaria

Tipe Aktivitas
Motivasi Keterlibatan
Usaha
• Menyediakan dana atau
• Mencegah kesakitan dan
sumber daya tenaga/
kematian akibat malaria
logistik untuk pencegahan
pada pekerja.
dan pengobatan malaria di
• Meningkatkan
tempat usaha dan
produktivitas pekerja.
masyarakat sekitar.
• Menciptakan lingkungan
• Memberikan sponsor
Industri Padat yang sehat untuk
untuk aktivitas
Karya, pekerja, keluarga
pencegahan dan
Perkebunan, pekerja dan masyarakat
pengobatan malaria di
Pertambangan sekitar.
komunitas.
• Menjaga citra baik
• Penyebaran pesan
perusahaan.
malaria di tempat usaha
• Menarik investasi.
dan sekitarnya.
• Memperkuat iklim
• Mencegah terbentuknya
bisnis daerah dan
tempat perindukan
nasional.
nyamuk vektor malaria
• Mengurangi • Penyampaian pesan
Telekomunikasi,
pengeluaran masyarakat malaria dalam rangka
Jasa Keuangan,
akibat kesakitan malaria Kampanye Kewaspadaan
Jasa transportasi,
• Meningkatkan daya beli dan Komunikasi
Retail
masyarakat Perubahan Perilaku
Pariwisata: Hotel, • Melindungi pekerja dan
• Melatih pekerja dalam
restoran, wahana pelanggan dari
pencegahan malaria.
wisata kesakitan dan kematian

34 | P a g e
Tipe Aktivitas
Motivasi Keterlibatan
Usaha
akibat • Mencegah terbentuknya
malaria tempat perindukan
• Menjaga citra baik nyamuk dalam perimeter
tempat pariwisata tempat usaha mereka
(radius 300 meter).
Layanan
Kesehatan Pembentukan Public Private
• Memberikan pelayanan
Swasta: rumah Mix yang disahkan melalui
pengobatan malaria
sakit/klinik MoU/Perjanjian Kerja Sama
sesuai standar Nasional.
swasta, dokter dan layanan kesehatan
• Mendapatkan obat
praktek mandiri, swasta memberikan laporan
malaria secara gratis
laboratorium kasus secara rutin)
swasta

Organisasi masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)


memiliki peranan menggerakkan masyarakat untuk memperkuat dan
memperluas pencegahan dan pengobatan malaria di komunitas, terutama
di daerah endemis tinggi malaria dengan sumber daya kesehatannya relatif
lemah. Organisasi masyarakat dan LSM diharapkan dapat memperkuat
sistem kesehatan di wilayah kerja mereka dengan peran sebagai berikut:

• Peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam


mencegah dan perilaku pencarian pengobatan. Peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap malaria melalui mobilisasi
masyarakat.
• Advokasi kepada pemangku kepentingan
• Membangun dan memperkuat kemitraan dan partisipasi lintas sektor,
lembaga kemasyarakatan, organisasi kemasyarakatan, dan swasta
• Peningkatan pemanfaatan potensi dan sumber daya lokal untuk
pencegahan dan pengendalian malaria; dan
• Pengintegrasian program, kegiatan, atau lembaga pemberdayaan
masyarakat yang sudah untuk berkegiatan dan bekerja sama untuk
pencegahan dan pengendalian malaria.

Beberapa organisasi masyarakat dan LSM yang telah diidentifikasi


dalam pencegahan dan pengendalian malaria adalah Aisyiyah, Nahdlatul
Ulama, Wahana Visi Indonesia, Perdhaki dan Save the children.

Penyakit infeksi saluran pencernaan (diare, demam tifoid, hepatitis A dan


E serta HFMD) sangat terkait dengan sektor dan program lain. Banyak
faktor risiko serta pencegahan yang hulunya ada di program dan sektor
lain, seperti penyehatan lingkungan, air bersih, sanitasi, imunisasi, gizi,
kesehatan anak serta surveilans terkait sistem kewaspadaan dini KLB.
Selain itu, dalam penanggulangan kusta, dukungan dari Lintas Program,
Lintas Sektor dan Organisasi yaitu kerjasama NGO (Mitra) WHO dan NLR.

35 | P a g e
Kesuksesan pencegahan dan pengendalian ISPA sangat tergantung pada
kinerja fasilitas pelayanan kesehatan yang didukung oleh sumber daya
yang cukup, tenaga kesehatan yang berkomitmen serta strategi dan
kebijakan yang dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif dan
berkesinambungan. Upaya penanggulangan ISPA memerlukan upaya
bersama secara lintas unit kerja di Kementerian Kesehatan, lintas sektor
terkait yang didukung dengan keterlibatan masyarakat, termasuk
akademisi, profesional dan dunia usaha, dengan dukungan politis.
Penanggulangan masalah ini perlu dilakukan secara komprehensif mulai
dari upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.

Program Penanggulangan Zoonosis bekerjasama dengan Lintas Sektor


seperti Kementerian Koordinator Pembangunan dan Manusia dan
Kebudayaan Kemenko PMK), Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, TNI – Polri, Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota. Kerjasama Lintas Program juga dilakukan
dengan Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Direktorat Kesehatan Lingkungan, Direktorat Pelayanan Kesehatan Dasar
dan Rujukan, Direktorat Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan,
Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan Pengendalian Penyakit di seluruh Indonesia. Organisasi Profesi
di bidang Kedokteran dan epidemiologi serta Organisasi Dunia seperti WHO
dan FAO pun kerap membantu Program Penanggulangan Zoonosis.

Program Penanganan kasus Penyakit Akibat Gigitan/Sengatan Hewan


Berbisa dan Tanaman Beracun masih belum terkoordinir dalam program,
sehingga perlu membuat program baru dalam pencegahan dan
pengendaliannya, perencanaan program dan langkah - langkah yang harus
dilakukan seperti belum adanya Permenkes dan NSPK yang menjadi
pedoman pengelola di daerah maupun pusat serta masih terbatasnya
produk Antivenom dalam merupakan salah satu tatalakasan dalam
penangana kasus Gigitan maupun sengatan hewan berbisa dan tanaman
beracun.

b. Perkembangan Teknologi Digital

Kondisi pandemic COVID-19 berdampak cukup banyak terhadap


berbagai aspek termasuk dalam upaya pencegahan dan pengendalian
penyakit menular. Pembatasan bepergian untuk menekan penularan virus
COVID-19 menuntut adanya peningkatan kemampuan dalam
mengembangkan teknologi digital. Perkembangan teknologi akan
menjadikan upaya yang lebih responsif dalam memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan esensial seluruh masyarakat Indonesia.

36 | P a g e
Dalam rangka akselerasi pencapaian three zero HIV AIDS, digunakan
pendekatan perubahan program yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu
dan teknologi. Salah satunya ialah dengan mengupayakan penggunaan alat
dan teknologi mutakhir dalam mengevaluasi pengobatan. Sejak tahun
2012, telah digunakan Sistem Informasi HIV AIDS (SIHA) sebagai media
pencatatan dan pelaporan kasus yang dilaporkan langsung oleh petugas
layanan pada satu sistem. Saat ini, tengah dilakukan pengembangan SIHA
dari SIHA versi 1.7 dimana metode pencatatan dilakukan secara offline dan
pelaporan online menjadi segala proses transaksi dilakukan secara online
pada SIHA versi 2.1. Pada sistem versi baru ini, tersedia pula menu logistik
yang terintegrasi dari pusat ke layanan dengan perhitungan pemenuhan
kebutuhan logistik dapat disesuaikan dengan jumlah pasien pada layanan
tersebut serta permintaan dan alokasi kebutuhan logistik dapat dilakukan
terintegrasi dari pusat ke tingkat di bawahnya.

Keberadaan SIHA 2.1 merupakan suatu potensi terbentuknya data yang


akurat, real time, dan reliable sebagai dasar pengambilan keputusan yang
berbasis data (evidence based). Selanjutnya, pelaksanaan monitoring dan
evaluasi program yang berasal dari data yang tepat dan valid akan
mendukung tercapainya ending AIDS di tahun 2030.

Sejak adanya pandemi COVID-19 terjadi penurunan yang drastis pada


treatment outcome. Peralihan dari Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis
(SITT) yang penginputan datanya dapat dilakukan secara luar jaringan
(luring/ offline) menjadi Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) yang
penginputan datanya dilakukan secara dalam jaringan (daring/ online)
sudah dimulai sejak akhir tahun 2019. Namun demikian masih terdapat
kendala terutama pada daerah-daerah sulit seperti pelosok, daerah
kepulauan dan perbatasan.

Inovasi digital health dinilai dapat menjadi salah satu alternatif solusi
untuk mengidentifikasi lebih cepat orang yang memiliki gejala TBC, selain
hal tersebut dapat menjadi alat telekonsultasi yang dapat digunakan oleh
pasien tanpa harus melakukan mobilisasi.

Dalam mendukung hal tersebut, Tim Kerja TBC ISPA akan


mengembangkan layanan telekonsultasi berbentuk chatbot yang
harapannya akan lebih mempermudah masyarakat dalam mendapatkan
informasi terkait Tuberkulosis (TBC), menangkap lebih banyak orang
dengan gejala TBC, dan mempermudah konsultasi pasien TBC sehingga
dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan dan mengurangi pasien
mangkir. Layanan telekonsultasi chatbot ini juga diharapkan akan memuat
seluruh informasi sederhana tentang TBC dan bagaimana mengakses
layanan kesehatan jika memiliki gejala TBC. Layanan ini juga sesuai

37 | P a g e
dengan People-centered approach yang digunakan dalam Strategi Nasional
Penanggulangan TBC 2020 – 2024 di Indonesia.

Pengembangan/pemeliharaan sistem informasi dalam upaya


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Malaria dilaksanakan dalam
rangka percepatan eliminasi malaria serta upaya pencegahan dan
pengendalian malaria sesuai yang telah ditetapkan. Oleh karena itu,
diperlukan Sistem Informasi Surveilans Malaria (SISMAL) yang merupakan
sistem pencatatan dan pelaporan malaria. Pencatatan dan pelaporan
merupakan salah satu hal penting untuk mendukung terselenggaranya
sistem Surveilans yang baik. Salah satu upaya untuk meningkatkan
validitas dan kelengkapan dalam pelaporan data malaria maka pada tahun
2010 telah dikembangkan software e-SISMAL Versi 1 yang berupa aplikasi
excel based. Kemudian pada tahun 2018 telah dikembangkan SISMAL V2
yang diinput oleh fasyankes dalam bentuk excel terstandar dan diupload
ke SISMAL web. Di tahun 2022 ini sedang dikembangkan kembali SISMAL
Versi 3 yang dapat lebih memudahkan pengguna dalam melakukan
pencatatan dan pelaporan karena dapat digunakan secara daring dan
luring, penginputan data secara langsung tidak melalui excel lagi dan dapat
mendukung untuk digunakan di system android.

Dalam mengoptimalkan pemantauan dan evaluasi pengendalian


filariasis dan schistosomiasis, digunakan system informasi eFilca. Program
Pengendalian Kusta dan frambusia selama ini telah menggunakan sistem
pencatatan dan pelaporan elektronik. Sistem Informasi Pencatatan dan
Pelaporan Kusta (SIPK) berbasis excel yang digunakan oleh pengelola
kabupaten/kota dan provinsi dalam pencatatan dan pelaporan data
penyakit kusta. Sedangkan untuk pencatatan dan pelaporan data
frambusia telah berbasis web, yaitu pencatatan dan pelaporan bulanan
online frambusia yang dapat diakses di https://s.id/laporframbusia.
Kemudian saat ini telah dikembangkan Sistem Informasi Kusta dan
Frambusia (SITASIA) yang akan mengakomodir pencatatan dan pelaporan
data kusta dan frambusia secara online dan realtime hingga di tingkat
individu.

Selain penyampaian data dengan menggunakan teknologi digital,


pelatihan kusta bagi pengelola program juga telah menggunakan metode
hybrid (daring-luring).

Sistem informasi program ISPA yang kuat akan menghasilkan data yang
Pencatatan dan pelaporan program ISPA terdiri atas pelaporan rutin
berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke Kementerian
Kesehatan setiap bulan. Kondisi saat ini sistem pencatatan dan pelaporan
ISPA jauh dari kriteria standar, dimana pelaporan hanya bersumber dari
puskesmas saja dan masih menggunakan sistem pencatatan sederhana

38 | P a g e
berbasis data agregat dengan menggunakan microsoft excel. Hal ini sangat
jauh dari harapan yang ingin dicapai oleh Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular, dimana data ISPA seharusnya akurat,
konsisten, tepat waktu dan berkesinambungan. Selain itu, data ISPA yang
dikumpulkan hanya berupa data pneumonia balita saja sebagai laporan
pencapaian indikator program ISPA sedangkan seharusnya data ISPA
terdiri atas data pneumonia semua golongan umur dan kasus ISPA non-
pneumonia, sehingga belum dapat menggambarkan beban penyakit ISPA
di masyarakat.

Pada tahun 2022 Kementerian Kesehatan telah melakukan revisi


terhadap rencana strategi 2022 — 2024 dimana berdampak pada
perubahan indikator ISPA sendiri yang semula hanya menitik beratkan
pada upaya penemuan kasus pneumonia balita di FKTP menjadi penemuan
dan pengobatan sesuai standar kasus pneumonia balita di fasilitas
pelayanan kesehatan. Dampak pada perubahan tersebut menyebabkan
perubahan pada pencatatan dan pelaporan ISPA yang mana beberapa
variabel data menyesuaikan dengan indikator baru yaitu pengobatan
kasus, dan juga penambahan variabel mengenai kasus penyakit ISPA
nonpneumonia yang menjadi perhatian bersama terkait dengan indikator
lintas program. Perubahan tersebut juga mengisyaratkan bahwa
pencatatan dan pelaporan ISPA seharusnya juga melingkupi semua
fasilitas pelayanan kesehatan tidak hanya puskesmas tetapi juga rumah
sakit, klinik dan dokter praktik swasta walaupun di lapangan data ISPA
masih bersumber data laporan puskesmas. Sistem pencatatan dan
pelaporan ISPA masih ditemukan banyak kesalahan dalam pengisian dan
kendala dalam pelaporan sehingga pencatatan dan pelaporan ISPA menjadi
tidak efektif dan sulit untuk dilakukan validasi dan monitoring data. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu sistem informasi pencatatan dan pelaporan
data rutin ISPA yang terbaru yang dapat melingkupi variabel dan
perubahan yang terbaru yang berbasis web.

Sistem informasi program ISPA yang kuat akan menghasilkan data yang
akurat, konsisten, tepat waktu dan berkesinambungan. Data yang
dihasilkan dari sistem informasi tersebut akan membantu pengelola
program untuk mendapatkan informasi guna memfcrmulasikan strategi
dan kebijakan maupun dalam pengambilan-pengambilan keputLsan
operasional pada upaya pencegahan dan pengendalian ISPA di setiap
tingkatan administrasi. Selain itu, data yang dihasilkan dapat digunakan
untuk mengukur kinerja serta menjadi bahan pembinaan teknis dan
manajemen di setiap jenjang tingkatan administrasi. Diharækan dengan
penguatan sistem informasi yang sistematis dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi, pencatatan dan pelaporan data rutin ISPA
akan menjadi relatif mudah dilaksanakan oleh petugas dan dapat

39 | P a g e
menjamin ketersediaan data yang berkualitas dari pengumpulan data
tersebut.

Dalam rangka peningkatan upaya pencegahan dan pengendalian


zoonosis pada manusia, Kementerian Kesehatan khususnya pada tim
Zoonosis bersama dengan tim HIS UGM dan didukung oleh WHO telah
mengembangkan sistem surveilans berbasis elektronik untuk pencatatan
kasus zoonosis. Sistem informasi surveilans zoonosis yang kemudian
disebut dengan sistem informasi eZoonosis dikembangkan dan dirancang
menggunakan platform DHIS2. Pengembangan sistem informasi eZoonosis
ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas data. Selain itu kedepannya
sistem informasi eZoonosis dapat mendukung upaya integrasi data
zoonosis pada sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan
satwa liar.

Sistem informasi eZoonosis dikonfigurasi untuk mengumpulkan data


berbasis kasus langsung, dapat menangkap data pasien yang terperinci
mengenai lokasi, klasifikasi penyakit, riwayat vaksinasi, gejala, status
perawatan pasien, dan jenis informasi lainnya. Sistem informasi eZoonosis
dikembangkan untuk mengakomodasi tujuh jenis kasus zoonosis dengan
konsep Event-Based Surveillance (EBS), diantaranya kasus rabies (GHPR),
flu burung, leptospirosis, antraks, pes, taeniasis/sistiserkosis dan nipah.

Program Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (diare, demam tifoid,


hepatitis A dan E serta HFMD) juga mengembangkan media KIE berbasis
digital berupa video. Kegiatan-kegiatan program juga dapat diakses melalui
beberapa platform seperti chanel Youtube.

c. Potensi lain

Pandemi COVID-19, selain sebagai salah satu faktor penyebab


terhambat capaian program, bagi Program Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan (diare, demam tifoid, hepatitis A dan E serta HFMD) juga dapat
menjadi potensi dalam menurunkan kasus serta angka kesakitan dan
kematian serta potensi KLB penyakit infeksi saluran pencernaan
dikarenakan pencegahan dari COVID-19 sama dengan pencegahan
penyakit infeksi saluran pencernaan yaitu perilaku hidup bersih dan sehat.
Adanya pembatasan bepergian dan himbauan cuci tangan dengan sabun
untuk mencegah penularan COVID-19 juga merupakan upaya pencegahan
penyakit menular sehingga hal ini berdampak pada penurunan kasus
penyakit infeksi saluran pencernaan. Dengan kata lain, dengan adanya
pandemic COVID-19 berkorelasi dengan menurunnya penyakit infeksi
saluran pencernaan.

40 | P a g e
Hal lain yang merupakan potensi dalam program pencegahan dan
pengendalian penyakit menular, khususnya penyakit tropis terabaikan
seperti filariasis, kusta dan frambusia di antaranya adalah Akselerasi
eliminasi Filariasis melalui Pelaksanaan POPM Filariasis dengan
menggunakan Regimen 3 obat IDA (Ivermectin, DEC, dan Albendazole).
Adanya payung hukum di tingkat nasional seperti Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 8 Tahun 2017 tentang eradikasi frambusia, Peraturan
Menteri Kesehatan nomor 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta,
Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/308/2019
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta yang
didukung oleh pedoman dan petunjuk teknis. Peraturan daerah terkait
kusta juga telah terwujud di beberapa kabupaten kota. Keterlibatan WHO
dan NGO seperti NLR, kader, Orang yang Pernah Mengalami Kusta, serta
lintas sektor dan lintas program yang aktif mendukung kegiatan
pencegahan dan pengendalian penyakit kusta dan frambusia, juga
merupakan peluang yang dapat digunakan oleh program dalam
mengoptimalkan upaya pencapaian target eliminasi kusta dan eradikasi
frambusia.

II. Tantangan Umum


a. Pembiayaan

Pandemi COVID-19 memberi tekanan besar pada ruang fiskal bagi


belanja kesehatan. Krisis multi-dimensi yang disertai meningkatnya
kebutuhan kesehatan yang sangat tidak menentu, memperburuk sistem
kesehatan Indonesia yang selama beberapa dekade terkendala rendahnya
pengeluaran kesehatan, bahkan termasuk yang terendah dari negara-
negara sedang berkembang berpenghasilan menengah-bawah. Pemerintah
Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan mengantisipasi dampak
sosial, ekonomi, dan kesehatan sebagai penanggulangan pandemi, yang
salah satunya adalah refokusing dan realokasi anggaran. Meskipun
anggaran total kesehatan meningkat pada tahun 2020, sebagian besar
anggaran diperuntukkan sebagai penanganan pandemi, sehingga
berdampak pada penurunan anggaran berbagai program dan kegiatan
rutin maupun pengembangan lainnya.

Pendanaan Penanggulangan HIV AIDS dan PIMS bersumber dari


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, dan/atau sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. JKN merupakan salah satu sumber pembiayaan
penting untuk program pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik.
Layanan HIV lainnya dibiayai dari JKN dan anggaran pemerintah, termasuk
di dalamnya ialah pengadaan obat ARV yang dibiayai oleh kementerian

41 | P a g e
kesehatan. Selain bersumber dari APBN dan APBD, pembiayaan HIV AIDS
disumbangkan oleh Global Fund (GF).

Sebagian besar pasien ODHA berasal dari kelompok masyarakat rentan


dan memerlukan perlindungan finansial untuk mengakses layanan
kesehatan. Perlu diperhatikan kapasitas dan kesediaan antarkota dan
antarprovinsi untuk membiayai aktivitas program HIV. Pada daerah dengan
kemampuan fiscal yang lebih mapan, diharapkan memiliki besaran
kontribusi yang lebih tinggi sehingga sistem pembayaran transfer (transfer
payment) dapat diprioritaskan pada daerah atau kabupaten/kota dengan
pendapatan rendah supaya dapat mendukung aktivitas pengendalian HIV.
Keterbatasan anggaran akan menjadi tantangan besar bagi daerah dengan
kemampuan fiscal tergolong rendah.

Kebutuhan pendanaan strategis program malaria dihitung dengan


pendekatan budgeting, yaitu menyusun dan menyepakati penganggaran
program/kegiatan intervensi strategis program malaria yang akan
dilaksanakan dalam lima tahun ke depan. Terdapat tiga tujuan khusus dan
4 strategi yang akan diimplementasikan sesuai yang gambaran pada bab 3.
Di setiap intervensi tersebut, disusun intervensi kunci dan serangkaian
kegiatan yang akan dilaksanakan, lalu di setiap kegiatan dihitung unit cost
dan volumenya. Unit cost dilakukan penyesuaian setiap tahun dengan
angka inflasi sebesar 3,5% per tahun.

Total rencana kebutuhan pendanaan strategis program malaria


cenderung menurun dalam periode 2020-2024. Penurunan pendanaan
diasumsikan dapat terjadi bila jumlah daerah yang telah mencapai target
eliminasi program malaria semakin bertambah setiap tahunnya dari 285
pada tahun 2018 menjadi 405 pada tahun 2024, sehingga kebutuhan
pendanaannya semakin berkurang. Berdasarkan tujuan khusus, proporsi
pembiayaan program malaria terbagi secara merata dengan prosentase 31-
35% untuk setiap tujuan. Tujuan 1 mencakup 61 wilayah endemis tinggi
malaria dengan API>1 per 1000 penduduk dimana mayoritas kegiatannya
mencakup akses universal pada intervensi kasus malaria. Sedangkan
untuk tujuan 2 dan 3 mencakup 141 dan 325 wilayah endemis rendah
(API<1 per 1000) dan bebas malaria dimana kegiatan berpusat pada
surveilans sebagai intervensi inti.

Pada tujuan 1, kegiatan kampanye pembagian kelambu memiliki


proporsi pembiayaan yang cukup tinggi pada setiap tahun pelaksanaan
(2020, 2022, dan 2024), yakni lebih dari 20%. Namun, seiring dengan
perubahan tingkat endemisitas dari tahun ke tahun, sasaran kampanye
pembagian kelambu semakin berkurang dan berimplikasi pada
berkurangnya kebutuhan. Pada tujuan 2, prioritas kegiatan ada pada
penguatan surveilans dan prioritas-nya meningkat setiap tahun. Namun,

42 | P a g e
pembiayaan akan terus menurun akibat penurunan jumlah sasaran
menjadi 96 kab/kota. Selain itu, proporsi pembiayaan pada tujuan 3 akan
semakin bertambah dengan adanya penambahan wilayah sasaran menjadi
405 kab/kota pada tahun 2024.

Program malaria sebagian besar dialokasikan untuk mentransformasi


surveilans malaria menjadi inti intervensi eliminasi malaria. Namun, seiring
waktu pembiayaan akan semakin menurun sejalan dengan penurunan
kasus malaria. Pendanaan kedua terbesar untuk program adalah untuk
memastikan akses universal pada pencegahan, diagnosis, dan pengobatan
malaria, dimana pengendalian vektor menjadi beban pembiayaan yang
besar terutama pada implementasi pembagian kelambu secara massal pada
tahun 2020, 2022, dan 2024.

Pada kegiatan penguatan surveilans, pembiayaan cenderung stabil


dikarenakan seluruh wilayah dengan API<1 per 1000 penduduk, termasuk
daerah bebas malaria, akan memiliki kecenderungan yang sama dalam
aktivitas. Pada strategi Komunikasi Perubahan Perilaku, pembiayaan akan
meningkat pada tahun sebelum pelaksanaan kampanye kelambu massal.
Namun, dengan semakin menurunnya jumlah sasaran, strategi ini akan
berfokus pada kegiatan advokasi untuk mobilisasi pendanaan program
malaria di daerah.

Pendanaan program P2 kusta dan frambusia sejak dinyatakan pandemi


COVID-19 mulai tahun 2020 lebih difocuskan kepada penanganan COVID-
19, anggaran untuk program di efisiensi sehingga berdampak pada kinerja
program di provinsi dan kabupaten/kota dalam penemuan dan deteksi dini
serta surveilans P2 kusta . Hal ini berdampak pada capaian target eliminasi
kusta dan eradikasi frambusia, tidak sesuai roadmap yang sudah
ditetapkan.

Pada masa pandemic COVID-19, Kegiatan di daerah lebih difokuskan


pada mensukseskan pelaksanaan imunisasi COVID-19, sehingga terjadi
penurunan pelayanan yang ada di puskesmas. Dari pelaporan diketahui
pada tahun 2020 jumlah kunjungan balita dengan gejala batuk atau
kesukaran bernapas sebanyak 4,964,224 kunjungan turun menjadi
4,338,210 kunjungan pada tahun 2021 atau terjadi penurunan sebesar
12.61%, turunnya kunjungan juga berdampak pada turunnya angka
penemuan kasus pneumonia pada balita dimana sampai akhir tahun baru
dilaporkan sebanyak 277,831 kasus pneumonia balita atau hanya 89.66%
dari tahun sebelumnya sebesar 309,843 pneumonia balita.

Dalam membantu upaya penanggulangan zoonosis, pemanfaatan Dana


Desa, Coorporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan atau dunia
usaha pun turut berperan meringankan beban pembiayaan tersebut. Ada

43 | P a g e
juga pembiayaan jika terjadi Kejadian Luar Biasa yang disediakan masing-
masing pemerintah daerah, Kementerian Dalam Negeri dengan Biaya Tak
Terduga-nya dan BNPD dengan Dana Siap Pakai jika terjadi situasi
kegawatdaruratan (bencana non alam seperti KLB/Wabah Zoonosis).

b. Kondisi Geografis

Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dan geografis yang luas
menyebabkan terbukanya perpindahan penduduk yang dapat
menyebabkan cepatnya proses penularan penyakit. Kondisi geografis
Indonesia yang merupakan negara kepulauan juga menjadi tantangan bagi
pencegahan dan pengendalian penyakit menular karena keterjangkauan
antar wilayah berbeda.

HIV/AIDS. Luasnya wilayah Indonesia menjadikan kemajuan kemajuan


implementasi program sangat bervariasi antarprovinsi, ditandai dengan
cakupan skrining HIV pada ibu hamil kurang dari 50% dan hanya
dilaporkan oleh 450 kabupaten/kota dari 514 daerah yang ada (87,5%).

Pola penyebaran HIV AIDS di Indonesia tergolong sebagai epidemi


terkonsentrasi di sebagian wilayah dan epidemi meluas tingkat rendah di
Papua. Tanah Papua terdiri dari dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat.
Indonesia mengembangkan strategi khusus untuk Tanah Papua, karena
mempunyai situasi epidemi yang berbeda dibandingkan wilayah lain di
Indonesia. Keadaan topografis serta kompleksitas lingkungan sosial
budaya, dan keamanan yang lemah memberikan kendala tersendiri dalam
penanggulangan HIV.

Berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya, tanah Papua mengalami


epidemi HIV meluas tingkat rendah dengan jumlah perempuan yang
terinfeksi lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Tingginya kasus HIV di tanah
papua disebabkan oleh masih banyaknya perilaku seks beresiko yang
terjadi, seperti melakukan hubungan seks dengan pasangan tidak tetap
pada satu tahun terakhir, termasuk dengan pasangan seks yang diberikan
imbalan. Pekerja Seks Perempuan (PSP) di Tanah Papua memiliki
prevalensi HIV yang lebih tinggi dibandingkan di wilayah Indonesia lainnya.
Disamping itu, angka tes HIV di Tanah Papua masih tergolong rendah. Hal
yang sama terjadi pada akses pengobatan HIV. Pada beberapa wilayah
pelosok, akses ke pelayanan kesehatan turut menjadi tantangan dalam
upaya pengobatan HIV AIDS. Pada wilayah tersebut, kualitas layanan
kesehatan masih rendah, stigma tinggi, dan biaya transportasi yang mahal.
Diperlukan waktu tempuh yang cukup lama untuk mencapai layanan
kesehatan akibat medan geografis yang sulit untuk dilalui.

44 | P a g e
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung dari
manusia ke manusia yang dapat menular melalui udara jika terkena
percikan/ droplet yang terdapat bakteri Mycobacterium Tuberculosis.
Sebaran kasus dan penularan pada seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

Malaria. Peta persebaran endemisitas malaria per kabupaten/Kota


dapat dilihat dalam gambar dibawah, terlihat bahwa kabupaten/kota
endemis tinggi malaria masih terkonsentrasi di kawasan timur Indonesia
yaitu di Provinsi Papua, Papua Barat dan NTT dan hanya 1 Provinsi di luar
wilayah timur yang masih memiliki kabupaten endemis tinggi yaitu Provinsi
Kalimantan Timur di Kabupaten Penajam Paser Utara.

Gambar 1.18 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2021

Dalam upaya pengendalian penyakit malaria terdapat tantangan kondisi


geografis terutama dalam penemuan kasus dan pengendalian vektor
malaria. Masih banyaknya kasus malaria yang diderita oleh populasi
khusus yang tinggal di wilayah perbatasan, pedalaman, dan wilayah
lainnya yang sulit dijangkau menjadi tantangan dalam penemuan kasus
dan tata laksana kasus malaria yang ada di lapangan. Selain itu, perbedaan
kondisi geografis setiap wilayah membuat upaya penanganan terhadap
vektor malaria di setiap daerah perlu dilakukan secara spesifik dan berbeda
sesuai kondisi geografis setiap daerah.

Filariasis. Sebagian daerah endemis filariasis kondisi geografisnya


merupakan daerah yang sulit terjangkau. Kegiatan POPM Filariasis
dilaksanakan untuk seluruh penduduk usia 2-70 tahun di kabupaten/kota
endemis Filariasis, dimana beberapa daerah tersebut merupakan daerah
terpencil dan kepulauan yang sulit aksesnya, sehingga pelaksanaan POPM
Filariasis di daerah tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama
di desa-desa terpencil. Selain factor geografis, kondisi keamanan

45 | P a g e
menyebabkan cakupan POPM Filariasis di Papua juga rendah, serta
pelaksanaan survei evaluasi Filariasis tidak dapat dilaksanakan.

Kusta. Pada tahun 2021 sebanyak dua puluh delapan provinsi telah
mencapai eliminasi kusta, adapun provinsi yang belum mencapai eliminasi
pada tahun 2021 yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara,
Papua Barat, dan Papua. Demikian juga halnya dengan frambusia, kasus
yang dilaporkan masih terdapat di NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua dan
Papua Barat. Persebaran yang sebagian besar berada di wilayah Indonesia
bagian tengah dan Indonseia bagian Timur tersebut memberikan beban
leboih dalam pencapaian eliminasi baik provinsi ataupun kabupaten
dikarenakan geografis yang sulit terjangkau.

ISPA. Indonesia, yang terletak di daerah tropis dan membentang di garis


khatulistiwa, dengan keanekaragaman hayati ditambah dengan interaksi
manusia-hewan rentan terhadap H5N1 di dalam negeri serta masuknya
kasus potensial Pandemi Influenza dari negara lain. Selain itu, lokasi
strategis Indonesia juga yang merupakan hubungan transportasi
Internasional juga menyebabkan rentan terpapar ancaman Pandemi
influenza yang berasal dari luar negara Indonesia sedangkan untuk
penyebaran kasus pneumonia tidak terkait dengan kondisi geografis.

Demam Berdarah Dengue. Jumlah kumulatif kasus DBD di Indonesia


yang diterima dan terlaporkan kumulatif tahun 2021 sebanyak 59.251
kasus (IR 21,56/100.000 penduduk) dan 569 kematian (CFR 0,96 %) yang
tersebar di 463 kab/kota dari 34 provinsi.

Gambar 1.19 Peta Sebaran Kasus DBD di Indonesia Tahun 2021

46 | P a g e
Terdapat 9 provinsi dengan kasus tinggi DBD yaitu Provinsi Sumatera
Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara dan
Sebagian Besar wilayah Pulau Jawa.

Hepatitis dan Penyakit Saluran Pencernaan. Sebaran penyakit infeksi


saluran pencernaan cukup merata mengingat sebagian besar masyarakat
Indonesia masih hidup dengan kondisi sanitasi dan hiegenis yang belum
optimal.

Rabies. Daerah endemis Rabies terdapat pada 26 provinsi dan hanya 8


provinsi yang masih bebas rabies. Daerah yang bebas rabies yakni Provinsi
Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Papua dan Papua Barat.

Flu Burung (FB). Daerah endemis Flu Burung ada di 15 Provinsi sebagai
berikut Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Selatan,
Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan, Bali, D.I. Yogyakarta, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat.

Antraks. Daerah endemis Antraks ada di 13 Provinsi seperti Sumatera


Barat, Jambi, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Selatan.

Leptospirosis.Daerah endemis Leptospirosis ada di 11 Provinsi seperti


Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I.
Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan dan Maluku.

Pes. Daerah endemis Pes terdapat di 4 Provinsi seperti Jawa Barat


(Kabupaten Bandung), Jawa Tengah (Kabupaten Boyolali), D.I. Yogyakarta
(Kabupaten Sleman) dan Jawa Timur (Kabupaten Pasusruan.

Gigitan Hewan Berbisa dan Tanaman Beracun. Daerah kasus gigitan


ular tersebar di 34 Propinsi dengan kematian 10% dari insiden atau sekitar
50 -100 orang tiap tahunnya dari yang dilaporkan ke Indonesia Toxinology
Society dari Aceh sampai Papua. Kejadian kasus sengatan hewan laut
tahunan ini terjadi terutama di pantai selatan Jawa dan Kepulauan Bali
Timur. Untuk stone fish beberapa kejadian di Bali dan Rajaampat terjadi di
pantai dan di dapur restoran hal ini menandakan perlunya pengetahuan
akan hewan berbisa yang dibuat makanan, kasus fatalitas akibat makanan
ikan buntal di Maumere dan juga di banyak tempat lain juga memberikan
informasi akan kurangnya pengetahuan akan toksin hewan hewan ini.

c. Fasilitas Kesehatan

47 | P a g e
Penyebaran penyakit menular di Indonesia dengan wilayah yang luas
menyebabkan tidak meratanya fasilitas Kesehatan. Tingginya disparitas
kapasitas maupun kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, dihadapkan
pada beban ganda, baik dalam penanganan pandemi COVID-19 serta
menjamin terlaksananya pelayanan kesehatan esensial.

Indonesia memiliki 2.301 layanan Pengobatan, Dukungan, dan


Perawatan (PDP) HIV dengan 1.613 (70%) diantaranya aktif melapor pada
tahun 2021. Sedangkan layanan tes HIV yang aktif melapor pada SIHA di
tahun yang sama, yaitu sebanyak 9.001. Dari sisi fasilitas kesehatan,
tantangan yang dihadapi dalam pencegahan dan pengendalian HIV AIDS,
yaitu belum semua layanan mampu untuk menjadi layanan PDP sehingga
dalam proses pengobatan ODHIV kerap dilakukan sistem rujuk. Hal ini
menimbulkan potensi pasien menunda pengobatan pada ODHIV yang baru
ditemukan dan hendak memulai pengobatan.

Salah satu upaya mengatasi tantangan tersebut ialah dngan melibatkan


organisasi masyarakat sipil dalam memberikan layanan HIV. Layanan-
layanan tertentu terkait pencegahan, kepatuhan pengobatan, dan
penjangkauan banyak disediakan oleh organisasi masyarakat sipil yang
hampir seluruhnya didanai oleh GFATM, termasuk pembiayaan
penjangkauan populasi kunci yang masih bergantung sepenuhnya pada
mitra pembangunan internasional. Tantangan pembiayaan akan dihadapi
Indonesia setelah berakhirnya masa pendanaan GFATM. Kebergantungan
pada dana internasional akan mempengaruhi jalannya program dalam
mempertahankan respon HIV. Untuk itu, perlu dilakukan perluasan
layanan PDP untuk mengendalikan kasus HIV AIDS dan menekan angka
penularan hingga serendah mungkin.

Program penanggulangan TBC dilaksanakan di seluruh provinsi dan


kabupaten/ kota yang ada di Indonesia. Adapun pemetaan/ mapping
layanan TBC sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.11 Mapping layanan TBC di Indonesia Tahun 2021

Jumlah
Jumlah
Nama Fasyankes Fasyankes %
Fasyankes
Melapor
Puskesmas 10,293 9,449 92%
RS Pemerintah 1,151 856 74%
RS Swasta 1,969 1,183 60%
BBKPM/BKPM/BP4 18 16 89%
Lapas/Rutan 526 138 26%
DPM/Klinik 7,451 188 3%

48 | P a g e
Berdasarkan hasil mapping layanan TBC yang terbesar adalah
Puskesmas 92%, kemudian Rumah Sakit pemerintah dan Swasta.

Pengendalian penyakit malaria di tingkat fasilitas kesehatan diperlukan


sumber daya manusia yang kompeten untuk mendukung pencapaian
eliminasi malaria. Adapun SDM yang dibutuhkan dalam program malaria
adalah pengelola program, dokter, bidan, perawat, tenaga terlatih
analis/mikroskopis, tenaga terlatih entomologi, promosi kesehatan,
surveilans, dan farmasi. Selain itu, diperlukan juga sumber daya
pendukung di fasilitas pelayanan kesehatan berupa alat dan bahan untuk
menunjang pemeriksaan malaria baik pemeriksaan diagnosis cepat/Rapid
Diagnostic Test maupun pemeriksaan secara mikroskopis.

Terjadinya wabah COVID-19 yang melanda dunia dan juga Indonesia


berdampak pada semua program kesehatan tidak terkecuali Program
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA khususnya penemuan kasus
pneumonia balita di fasilitas pelayanan kesehatan. Sampai data terakhir
yang telah dikumpulkan, terjadi penurunan yang sangat tajam dari kasus
pneumonia yang ditemukan. Oleh karena itu, perlu usaha untuk kembali
mensosialisasikan kegiatan penemuan kasus pneumonia balita di fasilitas
pelayanan kesehatan khususnya puskesmas.

Seiring bertambahnya jaringan fasilitas kesehatan (Rumah Sakit) dan


Laboratorium yang dapat melayani pemeriksaan laboratorium dan
perawatan kasus COVID-19 maka jejaring tersebut dapat juga berfungsi
untuk merawat dan memeriksa sampel untuk kasus-kasus zoonosis
tertentu seperti Flu Burung dan Leptospirosis. Sedangkan terkait
pemeriksaan laboratorium sampel penyakit Antraks masih memanfaatkan
Balai Besar/Balai Veteriner milik Kementerian Pertanian.

d. Responsibilitas Daerah

Pencegahan dan pengendalian penyakit menular tidak terlepas dari


keterlibatan berbagai pihak termasuk daerah. Dalam upaya mencapai
eliminasi HIV AIDS tahun 2030, provinsi memiliki peran sebagai berikut:

1) Memastikan Program HIV AIDS dan PIMS masuk dalam indikator


RPJMD dan Renstra untuk Pengendalian HIV AIDS dan PIMS.
2) Memastikan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penanggulangan
HIV AIDS dan PIMS oleh kabupaten/kota melalui monitoring dan
bimbingan teknis.
3) Melaksanakan ketetapan kebijakan dan strategi program pencegahan
dan penanggulangan HIV AIDS dan PIMS sesuai tugas dan fungsi.

49 | P a g e
4) Menyediakan kebutuhan perbekalan kesehatan, reagensia dan
penunjang laboratorium lain untuk penegakan diagnosis TB sebagai
penyangga kegiatan atau buffer.
5) Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan
untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS dan PIMS
dengan institusi terkait di tingkat provinsi.
6) Mendorong ketersediaan dan peningkatan kemampuan tenaga
kesehatan untuk pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS dan
PIMS.
7) Melakukan pemantauan dan pemantapan mutu atau quality assurance
untuk pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnosis HIV
AIDS dan PIMS.
8) Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan
Pengendalian HIV AIDS dan PIMS, pemantapan surveilans epidemiologi
HIV AIDS dan PIMS di tingkat kabupaten/kota.
9) Menyediakan dana untuk kegiatan operasional pencegahan dan
penanggulangan HIV AIDS dan PIMS yang terkait dengan tugas pokok
dan fungsi.

Sedangkan peran dari kabupaten/kota dalam program pencegahan dan


pengendalian HIV AIDS, yaitu:

1) Memastikan Program HIV AIDS dan PIMS masuk dalam indikator


RPJMD dan Renstra untuk Penanggulangan HIV AIDS dan PIMS.
2) Melaksanakan ketetapan kebijakan dan strategi program Pencegahan
dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS yang telah diterbitkan oleh
Kementerian.
3) Menjamin pelaksanaan penanggulangan HIV AIDS dan PIMS.
4) Menyediakan kebutuhan perbekalan kesehatan dan bahan pendukung
diagnosis.
5) Menyediakan kebutuhan pendanaan untuk operasional program
Penanggulangan HIV AIDS dan PIMS.
6) Melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor serta jejaring
kemitraan untuk kegiatan Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan
PIMS dengan institusi terkait di tingkat kabupaten.
7) Menyediakan kebutuhan Pendanaan kegiatan peningkatan SDM
Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di wilayahnya.
8) Menyediakan bahan untuk promosi HIV AIDS dan PIMS.

Kontribusi daerah dalam pengendalian HIV AIDS selain bergantung pada


ketersediaan dana juga dipengaruhi oleh kemauan politik daerah tersebut
dan sikap pembuat kebijakan terhadap HIV serta populasi kunci, atau
tingkat epidemi HIV setempat. Pada daerah dengan kasus HIV rendah akan
cenderung memprioritaskan penanggulangan penyakit menular lainnya.

50 | P a g e
Untuk itu hal ini menjadi tantangan tersendiri yang mempengaruhi besaran
sumber daya setempat yang dialokasikan untuk respon HIV.

Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, Kesehatan menjadi salah satu


kewenangan wajib yang sudah diserahkan ke daerah, dalam hal ini
Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Program penanggulangan TBC
dilaksanakan di seluruh provinsi dan kabupaten/ kota yang ada di
Indonesia. Maka setiap provinsi dan kabupaten/ kota wajib melaksanakan
penanggulangan TBC. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2018 Tentang Standar Pelayanan Minimal serta Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 59 Tahun 2021 Tentang Penerapan Standar Pelayanan
Minimal, Program Tuberkulosis menjadi salah satu program yang harus
dilaksanakan di seluruh kabupaten/ kota dengan adanya target SPM.
Selain itu, dengan adanya Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang
Penanggulangan TBC, maka Multi Sektor yang ada di setiap provinsi dan
kabupaten/ kota juga diharapkan berperan aktif dalam penanggulangan
TBC.

Dalam melakukan eliminasi malaria, pemerintah provinsi dan


kabupaten wajib mendukung dan membantu setiap daerahnya untuk bisa
mempersiapkan daerahnya agar mampu dan siap untuk dilakukan
assessment eliminasi malaria agar tercapai target eliminasi malaria tahun
2030.

Dalam bidang penyakit menular setiap jenjang pemerintahan


berkoordinasi dan bertanggung jawab dalam mencegah, mengendalikan
dan menanggulangi penyakit menular sesuai determinan sosial dan faktor
risiko yang telah dipetakan masing-masing program/pelayanan kesehatan.
Indonesia sebagai negara tropis, menghadapi masalah penyakit tropis yang
unik dan laten karena kondisi geografis archipelago dan social budaya
masyarakat yang sangat beragam, sehingga memerlukan upaya yang
cerdas, integratif, komprehensif, konsisten dan sustainabel. Dukungan
antar jenjang pemerintahan, antar lembaga dan antar institusi mengikuti
ketentuan yang berlaku.

Penyakit tropis seperti cacingan, kusta, filariasis/kaki gajah, frambusia


dan lainnya memerlukan sinergitas penganggaran, pembiayaan dan
pelaksanaan agar dapat dilakukan sesuai beban masing-masing
kabupaten/kota dan provinsi agar saling mengisi, tidak tumpang tindih
dan atau dobel pembiayaan. Integrasi pelaksanaan program/pelayanan
kesehatan lintas program dan lintas sektor perlu diperkuat demikian pula
upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat perlu dihimpun untuk
mengatasi masalah kesehatan terkait penyakit tropis dan menghilangkan
stigma dan diskriminasi berkaitan masalah kesehatan.

51 | P a g e
Dalam pelaksanaan program penanggulangan penyakit menular di
daerah masih ditemukan berbagai tantangan termasuk responsibilitas
daerah. Program akan berjalan dengan baik jika ada pembagian
kewenangan antara pusat dan daerah. Melalui pembagian kewenangan,
pemangku kepentingan akan dapat mengambil keputusan, menetapkan
kebijakan dalam pelaksanaan program mulai dari penugasan SDM,
peningkatan kapasitas berkala, monitoring evaluasi sampai pendanaan
program. Program ISPA di daerah memiliki ketergantungan yang sangat
kuat kepada pusat. Sebagian besar program ISPA masih menghadapi
masalah turn-over petugas yang tinggi, tidak tersedianya dana operasional
program baik yang bersumber APBD maupun DAK non fisik, keterbatasan
alat untuk deteksi dini dan media KIE. Ada pula permasalahan lain dalam
penanggulangan penyakit menular di mana tidak semua daerah
mengalokasikan dana yang memadai seperti penanggulangan zoonosis.

e. Stigma Masyarakat terhadap Penyakit Menular

Dalam upaya penanggulangan penyakit HIV AIDS dan IMS, terdapat


permasalahan akut yang secara langsung maupun tidak langsung
menghambat laju respon HIV, yaitu stigma dan diskriminasi. Berdasarkan
pengkajian WHO di tahun 2017, didapatkan bahwa tingkat stigma dan
diskriminasi di Indonesia terhadap ODHA tidak berangsur membaik. ODHA
lebih memilih untuk menyembunyikan statusnya apabila terdiagnosa
positif HIV dari anggota keluarga dan sekitar karena takut dihakimi atau
didiskriminasi. Stigma ini tidak hanya diperoleh dari individu lain, tetapi
juga berasal dari diri sendiri atau yang dikenal dengan stigma diri (self-
stigma) pada ODHA, yang berdampak pada keengganan ODHA untuk
terbuka mengenai status pada keluarganya.

Keadaan ini berpengaruh pada keengganan ODHIV untuk berobat ke


fasilitas pelayanan kesehatan sehingga berdampak pada penghambatan
rantai penularan HIV AIDS terutama pada individu yang memiliki perilaku
seks beresiko. Keberadaan stigma dan diskriminasi masih menjadi
tantangan di berbagai daerah dalam upaya akses pelayanan kesehatan.
Kebanyakan ODHA dan populasi kunci enggan untuk mengakses layanan
pada puskesmas di domisili mereka guna melindungi privasinya. Dalam
proses pendaftaran berobat, banyak yang tidak bersedia atau tidak mampu
untuk menunjukkan kartu identitasnya. Meskipun terdapat tren kenaikan
diskriminasi dan stigma, tidak dapat diverifikasi secara objektif kejadian
tersebut sebab belum adanya pengukuran yang sistematis di lingkup
masyarakat dan lingkup fasyankes.

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular langsung dari


manusia ke manusia. Namun di masyarakat masih terdapat stigma karena
masih dianggap sebagai penyakit kutukan ataupun disebabkan oleh guna-

52 | P a g e
guna karena banyak pasien TBC yang batuk berdarah. Selain itu, TBC juga
dianggap sebagai penyakit keturunan karena sering ditemukan pasien TBC
beberapa orang pada satu keluarga. Oleh karena itu masih ditemukan
pasien TBC yang enggan berobat karena takut ketahuan terkena TBC, atau
pun tidak mau berobat ke fasilitas Kesehatan terdekat dari tempat
tinggalnya karena malu jika tetangga tahu jika mereka pergi berobat karena
TBC.

Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun


yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan melalui nyamuk.
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu:
Wucheria Bancrofti, Brugia Malayi dan Brugia Timori. Vektor penular di
Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan
sebagai vektor penular penyakit kaki gajah.

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit Neglected Tropical Diseases


(NTDs) yang masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di
Indonesia. Kecacatan seumur hidup yang disebabkan oleh Filariasis juga
menimbulkan stigma sosial bagi penderita dan keluarganya sehingga
seringkali pasien tidak mengakses layanan kesehatan dan tidak
mengetahui bagaimana tata laksana perawatan mandiri pada kasus kronis
yang sudah mulai mengalami kecacatan.

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Bahkan


sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit keturunan dan kutukan. Hal ini menyebabkan timbulnya stigma
baik stigma dari pasien kusta sendiri ataupun stigma dari masyarakat.
Kondisi ini diperburuk dengan adanya kecacatan akibat kusta yang terjadi
karena keterlambatan penatalaksanaan pasien. Dengan adanya cacat,
muncul diskriminasi pada sebagian masyarakat.

III. Tantangan Khusus

Dengan adanya pandemi COVID-19 mempengaruhi pelaksanaan program


pencegahan dan pengendalian penyakit menular khususnya TBC terutama
dalam hal sebagai berikut:

▪ Pemberian terapi pencegahan TBC (TPT) belum terlaksana dengan maksimal


karena adanya pembatasan mobilisasi masyarakat dan ketakutan warga
untuk mendatangi fasilitas kesehatan
▪ Terganggunya keberlangsungan pengobatan karena pasien tidak datang
mengambil obat

53 | P a g e
▪ Terganggunya monitoring pengobatan pasien karena pasien tidak
mengumpulkan dahak dan ada kendala pengiriman spesimen.
▪ Beberapa laboratorium berhenti melakukan pemeriksaan terduga TBC
▪ Pengawasan minum obat terganggu
▪ Enabler tidak bisa diberikan secara rutin
▪ Beberapa fasyankes berhenti memberikan layanan TBCRO karena
ruangannya dialihkan untuk perawatan Covid-19.

Selain tantangan masa pandemic COVID-19, kondisi geografis beberapa


wilayah di Indonesia sulit terjangkau. Kegiatan POPM Filariasis dilaksanakan
untuk seluruh penduduk usia 2-70 tahun di kabupaten/kota endemis
Filariasis, di mana beberapa daerah tersebut merupakan daerah terpencil dan
kepulauan yang sulit aksesnya, sehingga pelaksanaan POPM Filariasis di
daerah tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama di desa-desa
terpencil.

Kendala lainnya dalam upaya pencegahan dan pengendalian filariasis yakni


distribus obat donasi terlambat sehingga POPM terlaksana tidak tepat waktu
atau tertunda. Kondisi keamanan menyebabkan cakupan POPM Filariasis di
Papua rendah, serta pelaksanaan survei evaluasi Filariasis tidak dapat
dilaksanakan.

Tantangan yang harus dihadapi dalam penanggulangan kusta adalah


adanya perubahan target global terhadap eliminasi kusta, termasuk dalam
perubahan regimen untuk kusta PB yang menggunakan regimen MB yang
belum dapat diadop di Indonesia. Adanya karakteristik dari kusta (masa
inkubasi yang panjang 2-5 tahun, pengaruh dari kekebalan seluler, variasi dari
tanda dan gejala), adanya stigma dan diskriminasi dari kusta sangat
mempengaruhi dalam penanggulangan kusta di Indonesia. Disamping itu
keterbatasan anggaran yang kurang menjadi prioritas namun menjadi
indikator sasaran strategi dan target kinerja kemenkes (RPJMN).

Secara garis besar tantangan yang dihadapi Program Pencegahan dan


Pengendalian ISPA meliputi deteksi dini dan tata laksana kasus, pelaksanaan
program Pada deteksi dan tata laksana kasus ditemukan penerapan
pendekatan MTBS dalam upaya deteksi dini pneumonia di puskesmas belum
optimal dan masih rendahnya kapasitas petugas di FKTP dalam menegakkan
diagnosa pneumonia sehingga terjadi under-diagnosed yang akhirnya under-
reported dalam hal ini juga ditemukan rendahnya komitmen petugas
puskesmas untuk menghitung napas dan memeriksa TDDK (Tarikan Dinding
Dada Bagian Bawah ke Dalam). Lebih jauh lagi masih ditemukan terapi
antibiotika dan obat simptomatik yang tidak rasional. Selain itu koordinasi
petugas (ISPA, MTBS/ KIA) yang masih belum optimal

54 | P a g e
Pada pelaksanaan program ISPA terutama di daerah masih menghadapi
masalah turn-over petugas yang tinggi, tidak tersedianya dana operasional
program baik yang bersumber APBD maupun DAK non fisik (hal ini juga
berlaku di pusat dimana dana APBN maupun PHLN sangat terbatas),
keterbatasan alat untuk deteksi dini dan media KIE. Ketergantungan daerah
kepada pusat dalam penyediaan alat penunjang diagnosis, media KIE dan
peningkatan kapasitas tenaga Kesehatan. Pada pencatatan pelaporan, masih
menggunakan format excel sederhana dan pencatatan pelaporan masih dalam
ruang lingkup puskesmas saja, untuk rumah sakit dan praktek swasta masih
belum terlaksana dengan baik.

Masih banyaknya masyarakat yang kurang memiliki pengetahuan tentang


penyakit zoonosa menjadikan masyarakat sering kali menganggap penyakitnya
merupakan penyakit biasa sehingga enggan untuk berobat dan atau
melaporkan kasus-kasus zoonosis ke petugas kesehatan terdekat sehingga
kasus-kasus tersebut sudah terlambat untuk ditolong. Hal ini menjadi
tantangan khusus dalam program penanggulangan zoonosis.

Untuk penanganan kasus gigitan hewan berbisa terutama ular memiliki


tantangan dari bermacam-macamnya jenis ular yang ada di Indonesia, ada
yang sama dan berbeda satu daerah dengan daerah lain, sehingga penggunaan
antivenomnya sangat tergantung dari jenis ular yang menggigit. Dimana
diketahui bahwa Indonesia memiliki 370 jenis ular dengan 77 jenis berbisa.

C. Tugas Pokok dan Fungsi

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular mempunyai


tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma,
standar, prosedur, dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi,
evaluasi, dan pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit menular.

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Direktorat Pencegahan dan


Pengendalian Penyakit Menular menyelenggarakan fungsi:

1. penyiapan perumusan kebijakan di bidang surveilans, deteksi dini,


pengendalian faktor risiko, dan koordinasi upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit menular;
2. pelaksanaan kebijakan di bidang surveilans, deteksi dini, pengendalian faktor
risiko, dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
3. penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
surveilans, deteksi dini, pengendalian faktor risiko, dan koordinasi upaya
pencegahan dan pengendalian penyakit menular;

55 | P a g e
4. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang surveilans, deteksi dini,
pengendalian faktor risiko, dan koordinasi upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit menular;
5. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan
6. pelaksanaan urusan administrasi Direktorat.

56 | P a g e
BAB II
VISI MISI, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS

A. Visi dan Misi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular


I. Visi

Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan


makmur sesuai dengan RPJPN 2005-2025, Presiden terpilih sebagaimana
tertuang dalam RPJMN 2020-2024 telah menetapkan Visi Presiden 2020-2024:
“Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian,
Berlandaskan Gotong Royong”.

Sejalan dengan visi Presiden 2020 – 2024 dan Visi Kementerian Kesehatan
2020 – 2024 yaitu “Menciptakan Manusia yang Sehat, Produktif, Mandiri dan
Berkeadilan”, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah
menetapkan visi yaitu “Mewujudkan Masyarakat Bebas Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan yang berkualitas”.

Sebagai upaya dukungan terhadap visi Direktorat Jenderal Pencegahan


dan Pengendalian Penyakit, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular menetapkan visi “Mewujudkan Masyarakat Bebas Penyakit Menular
yang Berkualitas”.

II. Misi

Visi Presiden 2020-2024 yakni “Terwujudnya Indonesia Maju yang


Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, Berlandaskan Gotong Royong” akan
dapat tercapai dengan didukung adanya penetapan 9 (Sembilan) misi Presiden
2020 -2024, di antaranya:

1. Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia;


2. Penguatan Struktur Ekonomi yang Produktif, Mandiri dan Berdaya Saing;
3. Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan;
4. Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan;
5. Kemajuan Budaya yang Mencerminkan Kepribadian Bangsa;
6. Penegakan Sistem Hukum yang Bebas Korupsi, Bermartabat, dan
Terpercaya;
7. Perlindungan bagi Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman pada
Seluruh Warga;
8. Pengelolaan Pemerintahan yang Bersih, Efektif, dan Terpercaya;
9. Sinergi Pemerintah Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan.

57 | P a g e
Guna mendukung peningkatan kualitas manusia Indonesia, termasuk
penguatan struktur ekonomi yang produktif, mandiri dan berdaya saing
khususnya di bidang farmasi dan alat kesehatan, Kementerian Kesehatan telah
menjabarkan misi sebagai berikut:

1. Meningkatkan Kesehatan Reproduksi, Ibu, Anak, dan Remaja;


2. Perbaikan Gizi Masyarakat;
3. Meningkatkan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit;
4. Pembudayaan GERMAS;
5. Memperkuat Sistem Kesehatan.

Untuk mewujudkan tercapainya visi dan Misi Presiden dan Kemenkes,


Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menetapkan
misi tahun 2022-2024 yakni:

1. Peningkatan Deteksi, Pencegahan dan Respon Penyakit;


2. Perbaikan Kualitas Lingkungan;
3. Penguatan sistem surveilans berbasis laboratorium penyakit dan faktor
risiko;
4. Penguatan sistem tata kelola kesehatan.

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular sebagai


satuan kerja yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, menetapkan visi “Mewujudkan Masyarakat Bebas
Penyakit Menular yang Berkualitas”, dengan misi 2020 – 2024 sebagai berikut:

1. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit menular yang


berkelanjutan
2. Meningkatkan penemuan kasus penyakit menular
3. Meningkatkan pengobatan penyakit yang berkualitas
4. Meningkatkan sumber daya

B. Tujuan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Tujuan Kementerian Kesehatan tahun 2020 – 2024 dalam mewujudkan visi


dan melaksanakan misinya yaitu sebagai berikut”:

1. Terwujudnya Pelayanan Kesehatan Primer yang Komprehensif dan Berkualitas,


serta Penguatan Pemberdayaan Masyarakat;
2. Tersedianya Pelayanan Kesehatan Rujukan yang Berkualitas;
3. Terciptanya Sistem Ketahanan Kesehatan yang Tangguh;
4. Terciptanya Sistem Pembiayaan Kesehatan yang Efektif, Efisien dan
Berkeadilan;
5. Terpenuhinya SDM Kesehatan yang Kompeten dan Berkeadilan;
6. Terbangunnya Tata Kelola, Inovasi, dan Teknologi Kesehatan yang Berkualitas
dan Efektif.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit merupakan unit
utama di bawah Kementerian Kesehatan. Untuk mendukung tujuan Kementerian

58 | P a g e
Kesehatan, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah
menetapkan tujuan sebagai berikut:

1. Terwujudnya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit yang komprehensif dan


berkualitas serta penguatan pemberdayaan masyarakat.
2. Terwujudnya Kabupaten/Kota Sehat.
3. Terciptanya sistem surveilans berbasis laboratorium penyakit dan faktor risiko
diwilayah dan pintu masuk.
4. Terbangunnya tata kelola program yang baik, transparan, partisipatif dan
akuntabel.

Selaras dengan tujuan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit, untuk mewujudkan tercapainya visi dan misi Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular, maka ditetapkan tujuan yang akan dicapai pada
tahun 2022 – 2024 yaitu “Terwujudnya pencegahan, penemuan dan pengobatan
penyakit menular yang berkualitas”

C. Sasaran Strategis Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Dalam rangka mewujudkan tujuan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Menular menetapkan sasaran strategis sebagai berikut:

1. Meningkatnya penemuan dan pengobatan HIV


2. Meningkatnya penemuan dan pengobatan TB
3. Meningkatkan jumlah Kab/Kota dengan API<1/1000 penduduk
4. Meningkatnya proporsi kasus kusta baru tanpa cacat
5. Meningkatnya pencegahan dan pengendalian penyakit menular

D. Indikator Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Indikator Kinerja Program (IKP) Direktorat Jenderal Pencegahan dan


Pengendalian Penyakit yang merupakan program dari Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular yaitu sebagai berikut:

1. Persentase cakupan penemuan dan pengobatan kasus HIV (ODHA on ART)


sebesar 60% pada akhir tahun 2024, dengan strategi pencapaian:
a. 90% orang dengan HIV AIDS mengetahui status HIV nya
b. 90% ODHIV mendapatkan pengobatan ARV
c. 90% ODHIV mendapatkan pengobatan tersupresi virusnya

2. Cakupan penemuan dan pengobatan kasus tuberkulosis sebesar 90% pada


akhir tahun 2024, dengan strategi pencapaian:
a. Akselerasi penemuan kasus Tuberkulosis sebesar 90%
b. Peningkatan angka keberhasilan pengobatan tuberkulosis sebesar 90%
c. Akselerasi dan optimalisasi pemberian terapi pencegahan tuberkulosis
(TPT) pada kontak serumah sebesar 68%

59 | P a g e
3. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai API < 1/1000 penduduk sebesar 500
kab / kota pada akhir tahun 2024, dengan strategi pencapaian:
a. Akselerasi Kab/Kota endemis tinggi API>5 per 1000 penduduk.
b. Intensifikasi Kab/Kota endemis sedang API 1-5 per 1000 penduduk.
c. Pembebasan Kab/Kota endemis rendah API<1 per 1000 penduduk
d. Pemeliharaan Kab/Kota bebas malaria untuk mencegah munculnya
penularan malaria kembali

4. Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat sebesar 90% pada akhir tahun 2024,
dengan strategi pencapaian:
a. Penghapusan Stigma kusta.
b. Pengobatan dengan regimen MDT tepat waktu (RFT)
c. Kemoprofilaksis
d. Surveilans Kusta

5. Persentase pengobatan penyakit menular pada balita sebesar 90% pada akhir
tahun 2024. Indikator ini merupakan indicator gabungan yang terdiri dari 2
indikator yakni Persentase pengobatan kasus diare sesuai standard dan
Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar.

Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar, dengan strategi


pencapaian:
a. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk berperilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) sehingga terhindar dari diare
b. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran serta
masyarakat untuk penyebar luasan informasi kepada masyarakat tentang
pengendalian diare
c. Mengembangkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) yang efektif dan efisien
terutama bagi masyarakat yang berisiko.
d. Meningkatkan pengetahuan petugas dan menerapkan pelaksanaan
tatalaksana Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan secara standar disemua
fasilitas kesehatan.
e. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia dan penguatan
institusi, serta standarisasi pelayanan.
f. Meningkatkan Surveilans epidemiologi penyakit diare di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan.
g. Mengembangkan jejaring kemitraan secara multi disiplin lintas program
dan lintas sektor di semua jenjang baik pemerintah maupun swasta.
Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar, dengan strategi
pencapaian pencapaian:
a. Deteksi dini dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita di FKTP
b. Pengendalian Faktor Risiko Pneumonia

6. Persentase skrining penyakit menular pada kelompok beresiko sebesar 100%


pada akhir tahun 2024. Skrining penyakit menular pada kelompok beresiko
diukur berdasarkan deteksi dini penyakit Hepatitis B dan C yakni

60 | P a g e
Persentase Kab/kota melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan atau C pada
populasi berisiko.

Strategi pencapaian indicator tersebut adalah:


a. Penguatan Regulasi
b. Advokasi dan sosialissi Pencegahan dan pengendalian Hepatitis
c. Peningkatan akses Layanan
d. Peningkatan Peran serta Masyarakat
e. Penguatan surveilans dengan Sistem Catpor yang elektonik

7. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi penyakit tropis terabaikan


sebesar 316 kab / kota pada akhir tahun 2024. Ada 3 Penyakit tropis
terabaikan yang digunakan untuk mengukur indikator ini yakni Frambusia,
Rabies dan Filariasis.

1). Eradikasi frambusia (jumlah kab/kota tersertifikasi bebas frambusia),


dengan strategi pencapaian:
a. advokasi dan sosialisasi eradikasi frambusia.
b. koordinasi LS/LP terkait PHBS dan Sarana Air bersih dalam pengendalian
faktor risiko.
c. POPM frambusia.
d. Surveilans dan Sertifikasi bebas frambusia

2). Eliminasi Rabies (Jumlah Kab/kota eliminasi Rabies), dengan strategi


pencapaian:
a. Penguatan komitmen dan kerjasama LP/ LS dalam Penanggulangan Rabies
secara terintegrasi dengan pendekatan One Health melalui koordinasi,
kolaborasi dan komunikasi
b. penguatan peran serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam
penanggulangan Rabies;
c. peningkatan kegiatan Penanggulangan Rabies;
d. peningkatan akses dan mutu pelayanan serta sumber daya yang digunakan
dalam Penanggulangan Rabies;
e. Penguatan pelaksanaan monitoring dan evaluasi;
f. Peningkatan penelitian dan pengembangan serta inovasi dalam
Penanggulangan Rabies

3) Eliminasi Filariasis (Jumlah Kab/kota eliminasi Filariasis), dengan strategi


pencapaian:
a. Koordinasi LP/LS dalam rangka pengutan komitmen penanggulangan
Program
b. Sosialisasi dan advokasi program filariasis
c. Monitoring evaluasi dan supervisi program filariasis
d. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dan kecacingan
e. Surveilans dan deteksi dini filariasis pasca POPM
f. Penguatan monitoring dan evaluasi program melalui validasi data capaian
g. Penyediaan Sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian filariasis
h. Peningkatan Kapasitas Petugas program filariasis

61 | P a g e
Untuk dapat melaksanakan tujuan dan sasaran strategis Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, maka Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular merumuskan kegiatan berdasarkan struktur
organisasi terbaru. Berikut ini adalah rumusan Indikator Kinerja Kegiatan
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Tahun 2022 – 2024:

1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem


kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV

Indikator ini merupakan upaya untuk menemukan orang dengan HIV yang
merupakan poin pertama dari strategi pencapaian ending AIDS di tahun 2030,
yaitu 90% orang dengan HIV AIDS mengetahui statusnya.

2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan


pengobatan ART

Indikator ini merupakan upaya untuk mendukung test and treat dan
mengukur kinerja layanan kesehatan dalam upaya pencegahan dan
pengendalian HIV AIDS dan PIMS.

3. Angka keberhasilan pengobatan TBC

Persentase angka keberhasilan pengobatan TBC/ Success Rate merupakan


indikator yang memberikan gambaran kualitas pengobatan TBC yaitu
seberapa besar keberhasilan pengobatan pada pasien TBC yang sudah
mendapat pengobatan dan dilaporkan. Angka ini menggambarkan besaran
pasien TBC yang berhasil dalam pengobatannya baik dengan kategori sembuh
maupun kategori pengobatan lengkap.

4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) < 5%

Indikator ini ada untuk melihat jumlah kasus positif dibagi jumlah seluruh
kasus yang diperiksa. Hal ini berarti Semakin besar jumlah kasus yang
diperiksa (nilai ABER /Annual Blood Examination Rate semakin besar),
harapannya nilai positivity rate (PR) yang diperoleh semakin sedikit.

5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat


waktu

Indikator ini diperoleh dari angka kesembuhan atau Release From Treatment
(RFT) MB dan PB yang terdapat pada pencatatan dan pelaporan
kabupaten/kota. Angka ini sangat penting dalam menilai kualitas tata
laksana penderita dan kepatuhan Penderita Kusta dalam minum obat yang
berpengaruh terhadap pencapaian program dalam memutuskan mata rantai
penularan kusta.

62 | P a g e
6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar

Pengendalian ISPA dititik beratkan pada pengendalian penyakit pneumonia,


karena penyakit pneumonia yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap
angka kesakitan dan kematian Balita. Kegiatannya meliputi deteksi dini dan
tatalaksana kasus pneumonia pada balita dengan pendekatan MTBS.

Balita yang datang atau berobat dengan keluhan batuk atau kesukaran
bernapas harus diberikan tatalaksana pneumonia, dengan menghitung napas
selama 1 menit penuh dan melihat ada tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian
bawah Kedalam (TDDK), baru kemudian di klasifikasi menjadi pneumonia,
pneumonia berat dan batuk bukan pneumonia, serta diberikan pengobatan
dengan antibiotik sesuai standar.

7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar

Diare merupakan salah satu penyebab tertinggi kasus kematian balita serta
salah satu faktor determinan stunting. Untuk mencegah terjadinya kematian
dan stunting pada balita, salah satu strateginya adalah tatalaksana sesuai
standar pada balita diare. Berdasarkan Riskesdas 2018, cakupan pemberian
oralit baru sebesar 34,8% dan cakupan pemberian zinc baru sebesar 26,1%.
Dalam dokumen Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018 –
2024, pengobatan diare pada balita dengan pemberian zinc merupakan salah
satu intervensi gizi spesifik.

8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan


C pada populasi berisiko

Hepatitis B dan C merupakan penyebab terbesar penyakit hepatitis , sirosis


dan kematian dan merupakan salah satu penyakit katastropik. Data
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi Hepatitis B (HBsAg Reaktif)
sebesar 7,1% dan pada Balita sebesar 4,2%.

Pengendalian Hepatitis B dan C akan sangat efektif bila dilakukan pemutusan


dan pencegahan penularan pada kelompok berisiko (seperti Pasien ODHA,
pengguna narkoba suntik, warga binaan pemasyarakatan) dan ibu hamil
sejak dini dengan melakukan deteksi dini hepatitis B dan atau C di seluruh
kabupaten/kota yang ada di Indonesia sehingga bisa segera dilakukan
tindakan pencegahan dan pengobatan.

9. Persentase pasien sifilis yang diobati

Sifilis merupkan salah satu penyakit infeksi menular seksual dengan


prevalensi tinggi dan saat ini menjadi goal untuk triple eliminasi pada ibu
hamil dalam upaya membatasi penularan ke anak yang dikandungnya. Untuk
itu, keberadaan indikator ini bertujuan mengukur capaian pengobatan dalam

63 | P a g e
upaya mencapai triple eliminasi dan memutus rantai penularan dari ibu ke
anak.

10. Jumlah desa endemis schitomiasis yang mencapai eliminasi

Lokasi endemik schistosomiasis japonica tersebar di 28 desa dengan total


penduduk rentan terinfeksi (berumur diatas 2 tahun) mencapai 28.451 jiwa.
Dari 28 desa endemik tersebut, 23 diantaranya berada di Kabupaten Poso
yang tersebar di 5 kecamatan, dan 5 desa lainnya berada di Kabupaten Sigi
yang terkonsentrasi di Kecamatan Lindu. Sebanyak 21 dari 28 desa ini
merupakan desa penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sampai tahun
2021 ada 14 desa endemis schistosomiasis yang mencapai prevalensi 0% pada
manusia.

11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies

Sebaran Rabies merupakan penyakit zoonosis yang paling luas dibandingkan


penyakit zoonosis lainnya. Di Indonesia, terdapat 311 kabupaten/kota yang
dinyatakan sebagai daerah endemis rabies. Dengan tercapainya penurunan
jumlah kabupaten/kota endemis rabies maka akan meningkatkan eliminasi
rabies. Pencapaian kabupaten/kota eliminasi rabies tahun 2022 sebanyak
263 kabupaten/kota eliminasi rabies dari 311 kabupaten/kota endemis
rabies di Indonesia. Angka ini melihat data kasus kematian rabies pada
manusia dan spesimen positif pada hewan dalam 2 (dua) tahun terakhir yakni
data Tahun 2020 dan 2021.

12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000
peduduk

Insiden Rate (IR) DBD merupakan indikator untuk mengetahui seberapa besar
angka kesakitan akibat DBD di suatu daerah. Indikator ini tercantum dalam
revisi renstra Kementerian Kesehatan 2020 – 2024. Dengan menerapkan dan
mencapai indikator tersebut maka IR DBD di Indonesia akan menurun serta
dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia.

13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka


mikrofilaria < 1%

Untuk melihat efektifitas Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM)


Filariasis perlu di lakukan pemeriksaan Mf Rate setelah kabupaten
melaksanakan POPM selama minimal 5 tahun dengan cakupan minimal 65%
dari jumlah penduduk minum obat pencegahan filariasis. Sampai tahun 2021
sudah ada 190 kabupaten/kota yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria
< 1%.

64 | P a g e
14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi

Untuk mempercepat terwujudnya eliminasi filariasis di Indonesia, perlu


dilakukan upaya strategis yang mampu meningkatkan cakupan Pemberian
Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis. Dasar untuk memutuskan
penghentian POPM dan transisi ke surveilans pasca POPM perlu dilaksanakan
evaluasi penilaian penularan untuk menilai apakah kabupaten/kota endemis
filariasis dinyatakan eliminasi. Sampai tahun 2021 sudah 72 kabupaten/kota
endemis filariasis yang mencapai eliminasi.

E. Arah Kebijakan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular


Dalam rencana pembangunan nasional, arah kebijakan bidang kesehatan
merujuk pada agenda pembangunan “Meningkatkan Sumber Daya Manusia
Berkualitas dan Berdaya Saing”. Restruktur organisasi di dalam Kementerian
Kesehatan dan arahan Presiden RI terkait transformasi kesehatan mengubah arah
kebijakan Kementerian Kesehatan dengan rumusan: “Menguatkan sistem
kesehatan dengan meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan menuju
cakupan kesehatan semesta, dengan penekanan pada penguatan pelayanan
kesehatan dasar (Primary Health Care), melalui penyediaan pelayanan kesehatan
primer dan sekunder yang berkualitas, sistem ketahanan kesehatan yang tangguh,
SDM kesehatan yang kompeten, sistem pembiayaan kesehatan yang efektif, serta
penyelenggaraan kesehatan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, didukung
oleh inovasi dan pemanfaatan teknologi”

Selaras dengan arah kebijakan Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menetapkan arah kebijakan “Menguatkan
Deteksi, Pencegahan dan Respon Penyakit - Faktor Risiko untuk mendukung
Sistem Kesehatan yang tangguh, dengan Penekanan pada Perluasan dan
Penambahan jenis vaksinasi, Penemuan dan Tatalaksana Kasus Penyakit Menular
di Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan (primer dan rujukan), Meningkatkan
Skrining dan Tatalaksana Penyakit Tidak Menular di Pelayana Primer, Surveilans
berbasis laboratorium dan Peningkatan kualitas Lingkungan serta
penyelenggaraan kesehatan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, didukung
oleh inovasi dan pemanfaatan teknologi”.

Sebagai upaya dalam mendukung arah kebijakan Direktorat Jenderal


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular menetapkan arah kebijakan sebagai berikut:

1. Meningkatkan Penguatan penemuan kasus di masyarakat dan FKTP


2. Meningkatkan Penguatan tata laksana kasus
3. Meningkatkan Pemberdayaan masyarat dan lintas sektor
4. Meningkatkan Penggunaan teknologi informasi

65 | P a g e
F. Strategi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
1. Strategi Umum
Sebagai upaya menjalankan arah kebijakan, Kementerian Kesehatan
telah menentukan strategi tahun 2022 – 2024 sebagai berikut:
a. Transformasi pelayanan kesehatan primer menuju penguatan dan
peningkatan pelayanan yang lebih berkualitas
b. Transformasi pelayanan kesehatan rujukan dalam rangka penyediaan
layanan rujukan yang lebih berkualitas
c. Transformasi menuju ke sistem ketahanan kesehatan yang tangguh
d. Transformasi pembiayaan kesehatan dilakukan untuk menuju pembiayaan
kesehatan yang lebih terintegrasi untuk mewujudkan ketersediaan,
kecukupan, keberlanjutan, keadilan serta efektivitas dan efisiensi pada
penyelenggaraan pembiayaan
e. Transformasi SDM kesehatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan SDM
kesehatan yang kompeten, merata serta berkeadilan, sehingga tidak ada lagi
puskesmas yang tanpa dokter, serta ada peningkatan yang signifikan dari
persentase puskesmas dengan tenaga kesehatan sesuai standar dan
persentase RSUD kabupaten/kota yang memiliki 4 (empat) dokter spesialis
dasar dan 3 (tiga) dokter spesialis lainnya
f. Transformasi teknologi kesehatan menuju pada digitalisasi kesehatan dan
pemanfaatan teknologi yang lebih luas pada sektor kesehatan
g. Penguatan tata kelola pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan
kebijakan di bidang kesehatan oleh Kementerian Kesehatan

Pembangunan kesehatan memerlukan adanya sinergi dalam menentukan


arah kebijakan dan strategi sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai
dengan optimal. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dalam
upaya mencapai indikator kinerja program dilakukan melalui:
1) Persentase cakupan penemuan dan pengobatan kasus HIV (ODHA on ART)
sebesar 60% pada akhir tahun 2024
Strategi pencapaian:
a. 90% orang dengan HIV AIDS mengetahui status HIV nya
b. 90% ODHIV mendapatkan pengobatan ARV
c. 90% ODHIV mendapatkan pengobatan tersupresi virusnya

2) Cakupan penemuan dan pengobatan kasus tuberkulosis sebesar 90% pada


akhir tahun 2024
Strategi pencapaian:
a. Akselerasi penemuan kasus Tuberkulosis sebesar 90%
b. Peningkatan angka keberhasilan pengobatan tuberkulosis sebesar 90%
c. Akselerasi dan optimalisasi pemberian terapi pencegahan tuberkulosis
(TPT) pada kontak serumah sebesar 68%

66 | P a g e
3) Jumlah kabupaten/kota yang mencapai API < 1/1000 penduduk sebesar 500
kab / kota pada akhir tahun 2024
Strategi pencapaian:
a. Akselerasi Kab/Kota endemis tinggi API>5 per 1000 penduduk.
b. Intensifikasi Kab/Kota endemis sedang API 1-5 per 1000 penduduk.
c. Pembebasan Kab/Kota endemis rendah API<1 per 1000 penduduk
d. Pemeliharaan Kab/Kota bebas malaria untuk mencegah munculnya
penularan malaria kembali

4) Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat sebesar 90% pada akhir tahun 2024
Strategi pencapaian:
a. Penghapusan Stigma kusta.
b. Pengobatan dengan regimen MDT tepat waktu (RFT)
c. Kemoprofilaksis
d. Surveilans Kusta

5) Persentase pengobatan penyakit menular pada balita sebesar 90% pada akhir
tahun 2024. Indikator ini merupakan indicator gabungan yang terdiri dari 2
indikator yakni Persentase pengobatan kasus diare sesuai standard dan
Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar

Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar.


Strategi pencapaian:
a. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk berperilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) sehingga terhindar dari diare
b. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran serta
masyarakat untuk penyebar luasan informasi kepada masyarakat tentang
pengendalian diare
c. Mengembangkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) yang efektif dan efisien
terutama bagi masyarakat yang berisiko.
d. Meningkatkan pengetahuan petugas dan menerapkan pelaksanaan
tatalaksana Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan secara standar disemua
fasilitas kesehatan.
e. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia dan penguatan
institusi, serta standarisasi pelayanan.
f. Meningkatkan Surveilans epidemiologi penyakit diare di seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan.
g. Mengembangkan jejaring kemitraan secara multi disiplin lintas program
dan lintas sektor di semua jenjang baik pemerintah maupun swasta.
Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar
Strategi pencapaian pencapaian:
a. Deteksi dini dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita di FKTP dengan
pendekatan MTBS
b. Pengendalian Faktor Risiko Pneumonia

6) Persentase skrining penyakit menular pada kelompok beresiko sebesar 100%


pada akhir tahun 2024. Skrining penyakit menular pada kelompok beresiko
diukur berdasarkan deteksi dini penyakit Hepatitis B dan C yakni Persentase

67 | P a g e
Kab/kota melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan atau C pada populasi
berisiko.
Strategi pencapaian:
a. Penguatan Regulasi
b. Advokasi dan sosialissi P2 Hepatitis
c. Peningkatan akses Layanan
d. Peningkatan Peran serta Masyarakat
e. Penguatan surveilans dengan Sistem Catpor yang elektonik

7) Jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi penyakit tropis terabaikan


sebesar 316 kab / kota pada akhir tahun 2024. Ada 3 Penyakit tropis
terabaikan yang digunakan untuk mengukur indikator ini yakni Frambusia,
Rabies dan Filariasis.
Eradikasi frambusia (jumlah kab/kota tersertifikasi bebas frambusia)

Strategi pencapaian:
a. advokasi dan sosialisasi eradikasi frambusia.
b. koordinasi LS/LP terkait PHBS dan Sarana Air bersih dalam pengendalian
faktor risiko.
c. POPM frambusia.
d. Surveilans dan Sertifikasi bebas frambusia

Rabies (jumlah kab/kota eliminasi Rabies)


Strategi pencapaian:
a. Penguatan komitmen dan kerjasama LP/ LS dalam Penanggulangan Rabies
secara terintegrasi dengan pendekatan One Health melalui koordinasi,
kolaborasi dan komunikasi
b. penguatan peran serta masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam
penanggulangan Rabies;
c. peningkatan kegiatan Penanggulangan Rabies;
d. peningkatan akses dan mutu pelayanan serta sumber daya yang digunakan
dalam Penanggulangan Rabies;
e. Penguatan pelaksanaan monitoring dan evaluasi;
f. Peningkatan penelitian dan pengembangan serta inovasi dalam
Penanggulangan Rabies

Filariasis (jumlah kab/kota eliminasi Filariasis)


Strategi pencapaian:
a. Koordinasi LP/LS dalam rangka pengutan komitmen penanggulangan
Program
b. Sosialisasi dan advokasi program filariasis
c. Monitoring evaluasi dan supervisi program filariasis
d. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis dan kecacingan
e. Surveilans dan deteksi dini filariasis pasca POPM
f. Penguatan monitoring dan evaluasi program melalui validasi data capaian
g. Penyediaan Sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian filariasis
h. Peningkatan Kapasitas Petugas program filariasis

68 | P a g e
2. Strategi Khusus

Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS, PIMS, Hepatitis dan Penyakit


Infeksi Saluran Pencernaan

Strategi Khusus HIV/AIDS dan PIMS:

1) Peningkatan cakupan skrining HIV pada ibu hamil menjadi 60%


2) Meningkatkan jumlah fasyankes yang melapor NPA menjadi 700 Fasyankes
3) Peningkatan Notifikasi Pasangan dan anak di 242 kab/kota sebanyak 40.000
sasaran melalui NPA
4) Penyediaan reagen tes HIV sebanyak 4.000.000 untuk diagnostic
5) Penambahan 500 layanan mampu tes dan pengobatan HIV dan PIMS
6) Penyegaran tenaga kesehatan dalam penanganan ODHIV secara daring tiap
2 pekan
7) Peningkatan cakupan pemeriksaan VL menjadi 30%
8) Edukasi penggunaan kondom sebagai alat pencegahan pada populasi kunci
9) Penyediaan kondom bagi ODHIV dan pasangan

Strategi Khusus Hepatitis dan PISP:

1) Peningkatan kapasitas Pengelola program dalam tatalaksana termasuk


dalam pencatatan dan pelaporan.
2) Penguatan surveilans aktif dan penemuan kasus aktif (active surveillans dan
active case finding)
3) Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam tatalaksana penyakit.
4) Pemanfaatan teknologi informasi untuk penguatan kapasitas, bimbingan
teknis, monitoring dan evaluasi program pada masa pandemi ini
5) Optimalisasi sumber daya yang ada dalam rangka percepatan pencapaian
target
6) Optimalisasi integrasi lintas program
7) Integrasi data angka kesakitan dan kematian balita lintas program
8) Optimalisasi kemitraan dengan LSM, akademisi, mitra dalam dan luar
negeri, ahli serta lintas program dan lintas sektor.
9) Pengendalian faktor risiko merupakan prioritas untuk mencegah terjadinya
penyakit menular
10) Peningkatan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa penyakit
menular
11) Meningkatkan Deteksi Dini Hepatitis B pada ibu hamil terintegrasi dengan
kegiatan ANC terpadu
12) Mengoptimalkan teknologi seperti aplikasi ZOOM, Youtube, WhatsApp dalam
meningkatkan komunikasi (koordinasi dan kerjasama) dengan Lintas
Program, sektor maupun Daerah

69 | P a g e
13) Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan baik dalam tatalaksanan
Hepatitis dan PISP maupun dalam pencatatan dan pelaporan
14) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani
dalam pengendalian hepatitis melalui kerjasama lokal, nasional dan regional
dan global
15) Meningkatkan kolaborasi dengan Lintas Program seperti KIA, HIV-AIDS,
Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan dan lain sebagainya untuk
Mengembangkan kegiatan Hepatitis dan PISP
16) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia dan penguatan
institusi, serta standarisasi pelayanan
17) Meningkatkan surveilans epidemiologi Hepatitis dan PISP diseluruh fasilitas
pelayanan kesehatan

Pencegahan dan Pengendalian Tuberkulosis dan ISPA

Strategi Khusus Tuberkulosis:

Untuk mencapai target, Program TBC melaksanakan kegiatan yang berdasarkan


6 strategi yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TBC di Kabupaten/Kota
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program
2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TBC” yang Bermutu
- Peningkatan jejaring layanan TBC melalui PPM (public-private mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TBC-HIV, TBC-DM, MTBS, PAL,
dan lain sebagainya
- Inovasi diagnosis TBC sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan
Layanan Semesta (universal health coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TBC.
- Memaksimalkan penemuan TBC secara dini, mempertahankan cakupan
dan keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TBC

70 | P a g e
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di daerah
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TBC
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan
masyarakat.
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan
dukungan pengobatan TBC.
- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TBC di upaya kesehatan
berbasis keluarga dan masyarakat.
6) Penguatan Sistem kesehatan
- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.
- Mengelola logistik secara efektif.
- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.
- Memperkuat Sistem Informasi Strategis, surveilans proaktif termasuk
kewajiban melaporkan (mandatory notification).
- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.

Strategi Khusus ISPA:

1) Koordinasi Pelaksanaan P2 Penyakit ISPA


2) Advokasi dan Sosialisasi Program P2 Penyakit ISPA
3) Media Komunikasi, Informasi, edukasi Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit ISPA
4) Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit ISPA
5) Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA
1) Workshop deteksi dini pneumonia balita dalam rangka Hari Pneumonia
Sedunia
2) Orientasi Penemuan dan Tata Laksana Kasus Pneumonia untuk Petugas
Puskesmas secara Daring
6) Supervisi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tropis Terabaikan

Strategi Khusus Filariasis:

1) Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis menggunakan


regimen DA (diethylcarbamazine citrate dan Albendazole) maupun regimen
IDA (Ivermectine, Diethylcarbamazine citrate dan Albendazole)
2) Tatlaksana kasus kronis filariasis

71 | P a g e
3) Evaluasi penilaian penularan pada kabupaten kota endemis yang sudah
selesai melaksanakan POPM minimal 5 tahun berturut dengan cakupan
minum obat diatas 65% dari total jumlah penduduk setiap tahunnya.

Strategi Khusus Schistosomiasis:

1) Pengobatan selektif pada daerah dengan prevelensi rendah dilakukan pada


mereka yang terinfeksi cacing, dan Pengobatan massal, Pengobatan obat
massal dilakukan melalui pemberian obat praziquantel pada kelompok
berisiko (anak usia sekolah, usia prasekolah) anak-anak, masyarakat di
daerah endemis tinggi, orang dewasa dalam pekerjaan melibatkan kontak
dengan air yang terinfeksi)
2) Peningkatan sarana water, sanitation and hygiene (WASH) bertujuan untuk
memutuskan penularan telur cacing ke keong.
3) Pengendalian keong bertujuan untuk menghilangkan keong hospes
perantara untuk memutus rantai penularan, melalui metode pengendalian
lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian kimia dan lain lain.
4) Kolaborasi antar pemangku kepentingan lintas tingkat dan sektor dengan
akuntabilitas yang jelas untuk memastikan pendekatan yang efektif dan
sinergis dalam memberikan intervensi.

Strategi Khusus Kusta:

Strategi dalam penanggulangan kusta untuk mencapai eliminasi di tahun 2024


adalah dengan melakukan pencegahan, deteksi dini dan managemen kasus
kusta.
1) Tindakan pencegahan dilakukan dengan cara pemberdayaan masyarakat,
seperti kader, tokoh masyarakat, LSM setempat dll untuk terlibat dalam
kegiatan penanggulangan kusta. Menghilangkan stigma di masyarakat,
dengan cara salah satunya seperti melakukan sosialisasi terhadap kusta di
masyarakat, pemberdayaan OYPMK dalam memberikan informasi dan
memantau pasien kusta yang dalam pengobatan serta melakukan
kemoprofilaksis dengan menggunakan obat Rifampisin dosis tunggal
kepada masyarakat yang kontak dengan kasus kusta, dengan kriteria
tertentu juga dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan kusta.
2) Deteksi dini kusta dapat dilakukan dengan melakukan investigasi kontak
secara aktif di masyarakat, melakukan pemeriksaan anak sekolah dengan
bekerja sama dengan program UKS di Puskesmas, melakukan survei di
desa, melakukan intensifikasi penemuan kasus kusta, serta diikuti dengan
adanya bimbingan teknis, supervisi secara berkala oleh dinas kesehatan

72 | P a g e
dan tidak kalah penting adanya peningkatan kompetensi dari petugas
kesehatan di fasyankes sehingga dapat mendeteksi secara cepat dan tepat,
melakukan pengobatan sampai sembuh serta pemantauan terhadap reaksi
kusta diserta tatalaksananya
3) Managemen kasus kusta sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan
penanggulangan kusta, yaitu adanya distribusi dari MDT kusta,
pencegahan terhadap disabilitas, peningkatan kompetensi terhadap
pengelola program, pengelolaan terhadap pencatatan dan pelaporan yang
berbasis elektronik, serta dapat melakukan surveilans resistensi obat.

Strategi Khusus Frambusia:

Adapun Strategi penanggulangan frambusia untuk mencapai Eradikasi


Frambusia tahun 2024 diantaranya yaitu :
1. Melakukan advokasi dan sosialisasi kepada pemangku kebijakan untuk
mendapatkan dukungan dalam pencapaian Eradikasi Frambusia. Serta
penyebarluasan informasi dengan melakiukan sosialisasi kepada nakes ,
LP/LS dan masyarakat dan penyebaran media Komunikasi, Informasi
dan Edukasi.
2. Promosi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yang merupakan fraktor
resiko terhadap penularan frambusia yaitu dengan mengendaliikan
terhadap faktor resiko penularan diantaranya memakai pakaian yang
sama atau jarang berganti pakaian, dan higiene sanitasi yang buruk.
3. Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Frambusia jika ditemukan
minimal 1 kasus frambusia guna mencegah penularan dan melakukan
POPM Pengobatan kasus kontak pada kasus dan kontaknya minimal 30
orang.
4. Memperkuat sistem surveilans melalui kegiatan penemuan kasus pasif di
fasyankes dan penemuan kasus aktif melalui kegiatan di puskesmas
keliling, dan pemeriksaan anak sekolah serta kegiatan integrasi lainnya

73 | P a g e
Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis dan Penyakit Akibat Gigitan Hewan
Berbisa Dan Tanaman Beracun

Terdapat 9 (Sembilan) strategi penanggulangan zoonosis pada manusia sebagai


berikut :
1) Penguatan surveilans vektor dan kasus berbasis laboratorium
2) Mengedepankan pencegahan dan promotif
3) Penemuan kasus dini dan penguatan tata laksana diseluruh fasyankes
4) Pengendalian faktor risiko secara terpadu
5) Peningkatan sistem kewaspadaan dini dan respon cepat penanggulangan
KLB
6) Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM P2P Zoonosis
7) Perencanaan logistik sesuai kebutuhan
8) Peningkatan komitmen, koordinasi, kolaborasi, kontribusi dan sinergi
multisektor
9) Dukungan Regulasi

Langkah - langkah yang direncanakan dalam memperkuat program Penyakit


Akibat Gigitan Hewan Berbisa Dan Tanaman Beracun ini adalah sebagai berikut:
1) Penyusunan NSPK (Pedoman Pencegahan dan Pengendalian),
2) Penyusunan Permenkes
3) Orientasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Akibat Bisa Hewan dan
Tanaman Beracun,
4) Sosialisasi First Aid pada Penanganan Kasus Akibat Hewan Berbisa dan
Tanaman Beracun kepada Pengelola Zoonosis ,Tenaga Kesehatan dan Non
Kesehatan
5) Pendampingan penanganan kegawatdaruratan pada kasus akibat bisa
hewan/tanaman beracun,
6) Koordinasi Lintas Program dan Sektor terkait dalam rangka penanganan
Kasus Akibat Hewan Berbisa dan Tanaman Beracun,
7) Pelaksanaan Pengadaan Media KIE,
8) Pengadaan Alat dan Bahan (Snake Bite Kit, deteksi kit jenis ular , Antivenom
dan Anticolinesterase)

74 | P a g e
9) Serta proses tranportasi cepat berupa kolaborasi dengan PSC 119
Kementerian Kesehatan.
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor

Strategi Khusus Malaria:

Untuk kelompok populasi khusus diperlukan pengembangan strategi


khusus bagi komunitas suku adat terpencil untuk menjangkau dan memberikan
pelayanan malaria, antara lain kegiatan penemuan, pengobatan dan promosi
kesehatan yang melibatkan Kementerian Sosial dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Program Malaria tetap menyediakan dan membagikan
kelambu LLIN kepada populasi khusus yang tinggal di wilayah yang sulit, pekerja
hutan tanpa membedakan apakah status pekerjaan mereka illegal atau legal dan
kelompok pengungsi.

TNI dan POLRI menghadapi tantangan dalam penempatan personil


mereka di wilayah endemis malaria. Misalnya, penempatan pasukan dari daerah
non-endemis di pulau Jawa ke wilayah perbatasan di Papua beresiko terhadap
infeksi malaria. Infeksi oleh P. falciparum dapat mengakibatkan kejadian malaria
berat ataupun kematian jika pasien lambat tertangani. Sedangkan infeksi oleh
P. vivax apabila pengobatan tidak tuntas dapat mengakibatkan kejadian infeksi
berulang berbulan-bulan ketika mereka sudah kembali ke daerah asal. Untuk
mengatasi hal tersebut, Kementerian Kesehatan telah membuat perjanjian
kerjasama dengan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia meliputi upaya
pencegahan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, peningkatan
kualitas pemeriksaan dan cakupan pengobatan.

Strategi Khusus Arbovirosis:

Strategi khusus pencegahan dan pengendalian arbovirosis tercantum


dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021 – 2025.
Terdapat enam strategi yang ada di antaranya ialah :

1) Penguatan manajemen vektor yang efektif, aman, dan berkesinambungan


Strategi yang pertama mencakup :
• Penguatan sistem surveilans vektor
• Implementasi panduan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengendalian vektor
• Kolaborasi dengan institusi pendidikan dan tempat kerja
• Resistensi vektor terhadap insektisida
• Pemanfaatan teknologi tepat guna pencegahan dengue
2) Peningkatan akses dan mutu tata laksana Dengue
Strategi kedua mencakup :
• Meningkatkan ketepatan rujukan kasus dengue

75 | P a g e
• Meningkatkan mutu diagnosis dan penanganan kasus dengue
• Meningkatkan ketersediaan dan kompetensi – keterampilan klinis tenaga
kesehatan dalam menerapkan panduan penatalaksanaan dengue di
fasilitas kesehatan
• Meningkatkan kapasitas dan kepatuhan tenaga kesehatan dalam
pelaporan kasus
3) Penguatan surveilans Dengue yang komprehensif serta manajemen KLB
yang responsif
Strategi ketiga mencakup :
• Meningkatkan kelengkapan sarana dan prasarana diagnostik dengue di
fasilitas kesehatan tingkat pertama
• Penguatan kewaspadaan dini dengue
• Penguatan sistem data dengue yang terintegrasi
• Peningkatan kapasitas daerah untuk manajemen KLB yang responsif
4) Peningkatan pelibatan masyarakat yang berkesinambungan
Strategi keempat mencakup :
• Meningkatkan pelibatan masyarakat yang berkesinambungan
• Menjalin kolaborasi dengan LSM peduli lingkungan, organisasi
masyarakat, dan komunitas
• Menguatkan peran media dalam mengedukasi masyarakat
5) Penguatan komitmen pemerintah, kebijakan manajemen program, dan
kemitraan
Strategi kelima mencakup :
• Penguatan komitmen pemerintah pusat dan daerah, kebijakan, regulasi,
dan manajemen program penanggulangan dengue dengan dukungan
sistem kesehatan
• Peningkatan kolaborasi dan koordinasi lintas program-sektor serta
kemitraan
• Peningkatan pembiayaan pemerintah daerah, lintas program-sektor dan
multi-pihak melalui komunikasi dan advokasi
6) Pengambangan kajian, invensi, inovasi, dan riset sebagai dasar kebijakan
dan manajemen program berbasis bukti
• Identifikasi kebutuhan kajian, invensi, inovasi, dan riset dan
pelaksanaannya
• Pengembangan kajian, adopsi hasil invensi, inovasi, dan riset dalam
program penanggulangan dengue
• Pemanfaatan data yang berkualitas serta integrasi sistem informasi
untuk pengambilan keputusan dalam program penanggulangan dengue

76 | P a g e
BAB III
RENCANA AKSI KEGIATAN

A. Kerangka Logis
Dalam mendukung pembangunan kesehatan, Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular sebagai penyelenggara program di bawah
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah menetapkan
metode tahapan pengelolaan program untuk dapat mengoptimalkan capaian tujuan
Kementerian Kesehatan. Metode pengelolaan program tersebut tertuang dalam
kerangka logis (logical frame) sebagai berikut:

Logical Frame Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

VISI Mewujudkan Masyarakat Bebas Penyakit Menular yang Berkualitas

MISI 1. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit menular yang


berkelanjutan
2. Meningkatkan penemuan kasus penyakit menular
3. Meningkatkan pengobatan penyakit yang berkualitas
4. Meningkatkan sumber daya

Terwujudnya pencegahan, penemuan dan pengobatan penyakit menular


TUJUAN
yang berkualitas

SASARAN INDIKATOR

1. Meningkatnya penemuan a. Persentase orang dengan risiko


dan pengobatan HIV terinfeksi virus yang melemahkan
sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV

b. Persentase Orang dengan HIV


(ODHIV) baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART

2. Meningkatnya penemuan
Angka keberhasilan pengobatan TBC
dan pengobatan TBC

3. Meningkatkan jumlah Kab/ Jumlah kabupaten/kota yang


Kota dengan API<1/1000 mencapai positivity rate (PR) < 5%
penduduk

77 | P a g e
4. Meningkatnya proporsi Persentase penderita kusta yang
kasus kusta baru tanpa menyelesaikan pengobatan kusta tepat
cacat waktu

5. Meningkatnya pencegahan a. Persentase pengobatan kasus


dan pengendalian penyakit pneumonia sesuai standar
Menular penduduk
b. Persentase pengobatan kasus diare
sesuai standar

c. Persentase kabupaten/kota yang


melaksanakan deteksi dini Hepatitis
B dan C pada populasi berisiko

d. Persentase pasien sifilis yang diobati

e. Jumlah desa endemis schitomiasis


yang mencapai eliminasi

f. Jumlah kabupaten/kota eliminasi


rabies

g. Persentase kabupaten/kota dengan


Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per
100.000 penduduk

h. Jumlah kabupaten/kota endemis


filariasis berhasil menurunkan
angka mikrofilaria < 1%

i. Jumlah kabupaten/kota endemis


filariasis yang mencapai eliminasi

Gambar 3.1 Logical Frame Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

Indikator Kinerja Kegiatan yang telah ditetapkan sebagaimana dalam bagan


di atas merupakan penjabaran dari Indikator Kinerja Program Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit sebagai berikut:

78 | P a g e
SASARAN PROGRAM DAN INDIKATOR KINERJA PROGRAM

Menurunnya Meningkatnya Meningkatnya Meningkatnya


Menurunnya kabupaten/ kota kabupaten/kota pencegahan dan
Infeksi penyakit
Insiden TBC yang mencapai yang mencapai pengendalian
HIV
eliminasi malaria eliminasi kusta penyakit menular

Persentase Cakupan Jumlah Proporsi kasus kusta 1. Persentase


cakupan penemuan dan kabupaten/kota baru tanpa cacat pengobatan
penemuan dan pengobatan yang mencapai API < penyakit menular
pengobatan kasus kasus TBC 1/1000 penduduk pada Balita
HIV (ODHA on 2. Persentase
ART) skreening penyakit
menular pada
kelompok berisiko
3. Jumlah
kabupaten/kota
yang mencapai
eliminasi peyakit
tropis terabaikan

SASARAN KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA KEGIATAN

Meningkatnya Meningkatnya Meningkatkan Meningkatnya Meningkatnya


penemuan dan penemuan dan jumlah Kab/ Kota proporsi kasus pencegahan dan
pengobatan HIV pengobatan dengan API<1/1000 kusta baru pengendalian penyakit
TBC penduduk tanpa cacat Menular penduduk

1. Persentase orang Angka Jumlah Persentase penderita 1. Persentase pengobatan


dengan risiko keberhasilan kabupaten/kota yang kusta yang kasus pneumonia sesuai
terinfeksi virus pengobatan TBC mencapai positivity menyelesaikan standar
yang rate (PR) < 5% pengobatan kusta 2. Persentase pengobatan
melemahkan tepat waktu kasus diare sesuai
sistem standar
kekebalan tubuh 3. Persentase
manusia yang kabupaten/kota yang
mendapatkan melaksanakan deteksi
skrining HIV dini Hepatitis B dan C
2. Persentase pada populasi berisiko
Orang dengan 4. Persentase pasien sifilis
HIV (ODHIV) yang diobati
baru ditemukan 5. Jumlah desa endemis
mendapatkan schitomiasis yang
pengobatan ART mencapai eliminasi
6. Jumlah kabupaten/kota
eliminasi rabies
7. Persentase
kabupaten/kota dengan
Insiden Rate (IR) DBD ≤
10 per 100.000
penduduk
8. Jumlah kabupaten/kota
endemis filariasis
berhasil menurunkan
angka mikrofilaria < 1%
9. Jumlah kabupaten/kota
endemis filariasis yang
mencapai eliminasi

Gambar 3.2 Cascading Indikator Kinerja Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Menular

79 | P a g e
B. Rencana Kegiatan
Arahan Presiden RI kepada Kementerian Kesehatan yang salah satunya
merupakan arahan terhadap transformasi sector kesehatan, yang kemudian
diterjemahkan sebagai reformasi system kesehatan nasional. Perubahan strategi
dalam Renstra Kementerian Kesehatan tahun 2020 – 2024 mencakup 6 (enam) hal
prinsip atau disebut sebagai pilar transformasi kesehatan, yakni :

1. Transformasi Layanan Primer;


2. Transformasi Layanan Rujukan;
3. Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan;
4. Transformasi Pembiayaan Kesehatan;
5. Transformasi SDM Kesehatan; dan
6. Transformasi Teknologi Kesehatan.

Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit berkontribusi pada


pelayanan kesehatan primer dan sistem ketahanan Kesehatan, dengan
menetapkan target kinerja. Selanjutnya berdasarkan target kinerja program
tersebut menjadi dasar bagi unit kerja di bawah unit utama untuk menetapkan
target kinerja kegiatan.

Tahun 2022, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular


terbentuk karena adanya restrukturisasi organisasi Kementerian Kesehatan sesuai
tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Adanya perubahan struktur
organisasi dan upaya menyelaraskan target kinerja sesuai dengan arah
transformasi kesehatan, maka Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular di mana kegiatan di dalamnya merupakan Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular Langsung dan sebagian kegiatan Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik telah
menetapkan target kinerja kegiatan sebagai berikut :

Tabel 3.1 Target Indikator Kinerja Kegiatan Direktorat Pencegahan dan


Pengendalian Penyakit Menular Tahun 2022 – 2024

SASARAN KEGIATAN/ TARGET


NO
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2022 2023 2024
Kegiatan : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular
1. Meningkatnya Penemuan dan pengobatan kasus
HIV
1.1 Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus 80 85 90
yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV
Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru 85 90 90
1.2 ditemukan mendapatkan pengobatan ART

80 | P a g e
SASARAN KEGIATAN/ TARGET
NO
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2022 2023 2024
Kegiatan : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular
Meningkatnya Penemuan dan pengobatan kasus
2
TBC
Angka keberhasilan pengobatan TBC 90 90 90
2.1
Meningkatnya jumah kab/ Kota dengan API <
3
1/1000 penduduk
Jumlah kabupaten/kota yang mencapai 374 394 414
3.1
positivity rate (PR) < 5%
Meningkatnya Porporsi kasus kusta baru tanpa
4
cacat
Persentase penderita kusta yang 90 90 90
4.1
menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu
Meningkatnya Pencegahan dan pengendalian
5
penyakit menular
Persentase pengobatan kasus pneumonia 50 70 95
5.1
sesuai standar
Persentase pengobatan kasus diare sesuai 50 70 85
5.2
standar
Persentase kabupaten/kota yang 95 100 100
5.3 melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C
pada populasi berisiko
Persentase pasien sifilis yang diobati 75 85 90
5.4
Jumlah desa endemis schitomiasis yang 19 24 28
5.5
mencapai eliminasi
Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies 211 236 261
5.6
Persentase kabupaten/kota dengan Insiden 80 85 95
5.7
Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 peduduk
Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 207 220 236
5.8
berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 106 150 190
5.9
yang mencapai eliminasi

Kegiatan yang dilakukan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Menular dalam rangka mencapai target indicator di atas yakni sebagai berikut:

1. Meningkatnya Penemuan dan pengobatan kasus HIV. Sebagai upaya dalam


mencapai indicator tersebut maka dilakukan kegiatan yakni:
a. Koordinasi
1) Koordinasi Persiapan Pelaksanaan Program HIV AIDS dan PIMS
Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit HIV
AIDS merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka pencegahan dan
pengendalian HIV AIDS berupa koordinasi internal, lintas program dan
sektor yang terkait dengan pencegahan dan pengendalian penyakit HIV
AIDS. Pencapaian program HIV AIDS dan PIMS sangat berkaitan
dengan berbagai lintas program maupun lintas sektor sehingga

81 | P a g e
diperlukan koordinasi yang lebih intensif. Adapun kegiatan koordinasi
ini dilakukan secara hybrid sebanyak 5 kali yang mengundang
Kementerian/Lembaga/Lintas Program/Lintas sektor lainnya dan
secara online minimal 1 kali dalam sebulan.

2) Koordinasi Lintas Sektor/Lintas Program HIV AIDS dan PIMS


Koordinasi Lintas Sektor/Lintas Program HIV AIDS dan PIMS
merupakan serangkaian kegiatan koordinasi dengan Lintas
Sektor/Lintas Program terkait pencegahan dan pengendalian penyakit
HIV AIDS dan IMS. Pelaksanaan kegiatan koordinasi dilakukan melalui
pertemuan dengan Lintas Sektor/Lintas Program HIV AIDS dan PIMS
serta pertemuan kelompok kerja HIV AIDS dan panel ahli untuk
membahas update program IMS.

b. Sosialisasi dan Diseminasi Program HIV AIDS dan PIMS


1) Sosialisasi Program HIV AIDS dan Sifilis dan IMS
Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit HIV AIDS dan IMS
merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka mensosialisasikan
pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan IMS berupa sosialisasi
kepada masyarakat dan petugas layanan terkait HIV AIDS dan IMS.
Sosialisasi program HIV AIDS dilaksanakan melalui kegiatan GERMAS
dengan mitra kementerian/Lembaga di 8 kab/kota serta sosialisasi dan
deteksi HIV secara masif di 3 prov/kab/kota. Sedangkan sosialisasi
program IMS dilaksanakan melalui sosialisasi program sifilis dan IMS
di 10 provinsi/kab/kota.

c. Norma, standar, prosedur dan kriteria


1) NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit HIV AIDS
Dalam upaya mendukung pelaksanaan program pencegahan dan
pengendalian penyakit HIV AIDS di daerah, perlu adanya NSPK yang
sesuai dan memadai bagi pencegahan dan pengendalian penyakit HIV
AIDS. NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit HIV AIDS
merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka menyediakan NSPK
terkait pencegahan dan pengendalian HIV AIDS berupa pertemuan
persiapan sampai finalisasi. Kegiatan berupa pertemuan petunjuk
teknis program HIV yang melibatkan Lintas Sektor/Lintas Program dan
panel ahli.

d. Pelayanan Publik kepada Masyarakat


1) Pemeriksaan viral load dan diagnosis bayi bumil dengan HIV
Kegiatan pemeriksaan viral load dan diagnosis bayi bumil dengan HIV
bertujuan untuk mendukung indikator 95 terakhir, yaitu 95% ODHIV
on ARV yang mendapatkan pengobatan tersupresi viral loadnya melalui
upaya transportasi spesimen dan jasa pemeriksaan viral load serta bayi

82 | P a g e
dan ibu hamil dengan HIV. Kegiatan ini juga untuk mendukung
skrining HIV pada bayi melalui pemeriksaan EID.

2) Penanganan Kasus ODHIV


Kegiatan penanganan kasus ODHIV bertujuan untuk mendukung
indikator 95 kedua, yaitu 95% orang yang mengetahui status HIV nya
mendapatkan pengobatan ARV. Adapun kegiatan ini terdiri dari
monitoring dan evaluasi, pendampingan ODHIV, layanan extra hour,
dan penjangkauan bagi ODHIV loss to follow up.

e. Pelayanan Publik lainnya


1) Penemuan aktif Kasus HIV dengan Pelaksanaan Mobile Tes
Pelaksanaan kegiatan penemuan aktif kasus HIV terdiri dari upaya
penemuan kasus dengan pelaksanaan mobile tes, tracing loss to follow
up ODHIV on ARV, dan distribusi logistik. Penemuan kasus HIV dengan
mobile tes dan tracing loss to follow up dilaksanakan oleh petugas
kesehatan, kader, dan LSM untuk populasi kunci. Adapun distribusi
logistik dilaksanakan untuk stok buffer yang dikirimkan ke provinsi.
2) Surveilans Faktor Risiko terkait HIV dan IMS
Surveilans faktor resiko terkait HIV dan IMS merupakan serangkaian
kegiatan surveilans yang terdiri dari pemetaan, surveilans estimasi
ODHIV, dan sentinel. Adapun kegiatan surveilans meliputi kegiatan
pelaksanaan sero survei yang dilakukan di 34 provinsi, surveilans
resistensi, infeksi oportunistik, dan komorbid dalam rangka
pemantauan minum obat dalam bentuk diseminasi hasil surveilans HIV
kepada Lintas Program/Lintas Sektor, serta pelaksanaan surveilans
pendukung untuk penyakit HIV dan IMS seperti Survei Terpadu
Biologis dan Perilaku (STBP) dan pemetaan populasi kunci.
3) Penguatan Kualitas Layanan HIV dan IMS
Penguatan kualitas layanan HIV dan IMS merupakan kegiatan untuk
mendukung layanan tes dan pengobatan HIV serta laboratorium
pemeriksaan HIV dan IMS. Kegiatan ini berupa monitoring dan evaluasi
yang dilaksanakan secara online pada layanan Perawatan, Dukungan,
dan Pengobatan (PDP) serta layanan laboratorium HIV dan IMS.

f. Data dan Informasi Publik


1) Penyebaran informasi terkait Penyakit HIV AIDS dan IMS
Penyebaran informasi terkait penyakit HIV AIDS dan IMS dilakukan
melalui penyediaan media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan
dan pengendalian HIV AIDS yang dapat digunakan dalam rangka
penyampaian informasi dan edukasi dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit HIV AIDS. Penyediaan media tersebut berupa

83 | P a g e
pengadaan buku saku dan buku pedoman HIV AIDS yang digunakan
oleh dinas kesehatan dan layanan.

g. Sarana Bidang Kesehatan


1) Pemenuhan Alat, Reagen untuk Skrining, Diagnostik dan Pemantauan
Pengobatatan HIV AIDS dan PIMS
Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit HIV merupakan kegiatan penyediaan alat dan bahan
kesehatan terkait pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan PIMS.
Kegiatan ini berupa pengadaaan reagen rapid (1,2,3), reagen duo HIV
sifilis, reagen kuantitatif viral load tipe 1, reagen kualitatif viral load tipe
1, reagen viral load type 2 TCM, reagen CD4 mobile dan reagen control
CD4. Kebutuhan rapid HIV merupakan kebutuhan untuk diagnostik
untuk seluruh populasi yaitu ibu hamil, populasi kunci, pasien TBC,
pasien IMS, dan pasien hepatitis. Adapun pengadaan untuk program
IMS berupa pengadaan reagen sifilis dan RPR. Pengadaan reagen sifilis
ditujukan untuk kebutuhan diagnostik bagi seluruh populasi.
2) Pemeliharaan sistem informasi penyakit pencegahan dan pengendalian
penyakit HIV AIDS dan PIMS
Pemeliharaan sistem informasi penyakit pencegahan dan
pengendalian penyakit HIV AIDS dan PIMS merupakan kegiatan yang
mendukung penyediaan pengembangan/pemeliharaan sistem
informasi pencegahan dan pengendalian penyakit HIV AIDS dan IMS.
Sistem Informasi HIV AIDS atau yang dikenal dengan nama SIHA
adalah Sistem Informasi yang dimiliki oleh Subdit HIV AIDS,
Kementerian Kesehatan RI. SIHA merupakan sistem pencatatan dan
pelaporan HIV AIDS dan IMS yang telah diimplementasikan di seluruh
kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Dengan adanya aplikasi
SIHA, memungkinkan Indonesia menerapkan sistem pencatatan dan
pelaporan HIV AIDS secara terpadu.

h. Pelatihan
1) Workshop/orientasi penambahan akses layanan tes dan pengobatan
HIV dan IMS
Kegiatan workshop/orientasi penambahan akses layanan tes dan
pengobatan HIV dan IMS merupakan kegiatan penambahan layanan
tes dan pengobatan HIV dan IMS baru di Indonesia.

i. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah


1) Pendampingan/Fasilitatif Program HIV dan IMS
Pendampingan/fasilitatif program HIV dan IMS dilaksanakan dalam
bentuk bimbingan teknis pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan

84 | P a g e
IMS. Kegiatan ini terdiri dari rangkaian kegiatan dalam rangka
pembinaan daerah melalui bimbingan teknis terkait pencegahan dan
pengendalian HIV AIDS. Bimbingan teknis dilaksanakan terhadap
provinsi/kab/kota yang terdapat kendala dalam pelaksanaan program
HIV AIDS. Disamping itu, dilakukan juga pendampingan pelatihan di
daerah. Kegiatan pendampingan kepada provinsi yang melaksanakan
pelatihan sehingga melalui pelatihan tersebut, informasi program
terbaru dapat tersampaikan kepada provinsi/kabupaten/kota/
layanan.

2. Meningkatnya Penemuan dan pengobatan kasus TBC. Sebagai upaya dalam


mencapai indicator tersebut maka dilakukan kegiatan yakni:
a. Koordinasi
1) Koordinasi Program Pencegahan dan Pengendalian TBC
Koordinasi Program Pencegahan dan Pengendalian TBC adalah
kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka koordinasi dengan lintas
program, lintas sector dan organisasi yang mendukung ataupun dapat
bekerja sama dalam penanggulangan TBC sebagaimana amanat dari
Perpres No. 67 Tahun 2021 Tentang Penanggulangan TBC.

b. Norma, standar, prosedur dan kriteria


1) NSPK Pencegahan dan Pengendalian TBC
NSPK Pencegahan dan Pengendalian TBC, yaitu penyusunan Norma,
Standar dan Prosedur pelaksanaan kegiatan penanggulangan TBC
sesuai dengan peraturan ataupun panduan yang dikeluarkan oleh
WHO.

c. Pelayanan Publik kepada Masyarakat


1) Penemuan Kasus TBC Aktif Berbasis Masyarakat
Penemuan Kasus TBC Aktif Berbasis Masyarakat adalah penemuan
kasus TBC yang dilaksanakan oleh masyarakat seperti kader dan
komunitas pendukung program penanggulangan TBC.

d. Pelayanan Publik lainnya


1) Distribusi Logistik dalam Pengendalian TBC
Distribusi Logistik dalam Pengendalian TBC yaitu distribusi logistik
OAT dan non-OAT dari Pusat ke Provinsi yang dilaksankan oleh pihak
ke- 3.
2) Surveilans aktif P2 TBC
Surveilans aktif P2 TBC yaitu pelaksanaan pencatatn dan pelaporan,
penyisiran kasus dan validasi data pada fasilitas pelayanan kesehatan
yang melayani pengobatan TBC.

e. Data dan Informasi Publik


1) Media KIE P2 TBC

85 | P a g e
Media KIE P2 TBC yaitu pengadaan media komunikasi, informasi dan
edukasi yang dapat dipergunakan dalam kampanye secara rutin yang
tujuannya untuk menyebarluaskan informasi yang tepat mengenai TBC
ke masyarakat dan meningkatkan kesadaran untuk masyarakat
memeriksakan diri ke layanan kesehatan jika memiliki gejala TBC,
serta memberikan informasi tentang pentingnya terapi pencegahan
TBC untuk mencegah penularan pada kontak serumah atau orang yang
memiliki risiko tinggi tertular TBC.
2) Media KIE Pnemonia
Media KIE merupakan salah satu hal yang dibutuhkan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit ISPA.
Informasi yang disajikan dalam bentuk ringkas, tepat, jelas, padat
dan tampilan yang menarik diharapkan ikut memberi edukasi
kepada masyarakat sehingga kesadaran akan penyakit ISPA bisa
meningkat, preventif yang semakin baik dan deteksi dini bisa
dilakukan sehingga angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
ISPA bisa ditekan.

f. Sarana Bidang Kesehatan


1) Sarana dan Prasarana P2 TBC
Sarana dan Prasarana P2 TBC yaitu pengadaan sarana diagnosa TBC
seperti pengadaan alat tes cepat molekuler (TCM), pengadaan freezer
reagen TBC, serta prasarana pendukungnya seperti kartrid TCM, pot
dahak, masker dan tuberculin.

g. Pelatihan
1) Workshop Skrining dan Deteksi Dini pada Kelompok Berisiko untuk
Pengendalian TBC dalam Pelaksanaan SPM TBC
Workshop Skrining dan Deteksi Dini pada Kelompok Berisiko untuk
Pengendalian TBC dalam Pelaksanaan SPM TBC yaitu pelatihan yang
diberikan kepada petugas Kesehatan yang dilaksanakan di Pusat
agar dapat melaksanakan Skrining dan Deteksi Dini pada Kelompok
Berisiko untuk Pengendalian TBC dalam Pelaksanaan SPM TBC
terutama bagi pengelola program TB pada kabupaten/ kota dengan
capaian SPM rendah.

h. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah


1) Monitoring dan Supervisi Program P2 TBC
Monitoring dan Supervisi Program P2 TBC adalah pelaksanaan
monitoring dan supervisi program ke daerah dalam rangka
memperbaiki factor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program
di daerah. Pelaksanaan supervisi dari pusat ke level di bawahnya
merupakan penerapan fungsi pengawasan dan pembinaan kepada
dinas Kesehatan di provinsi dan kabupaten/ kota dalam pelaksanaan
program TBC secara nasional. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi
role model bagi dinas Kesehatan di tingkat kabupaten/ kota dalam
menerapkan fungsi pengawasan terhadap fasilitas layanan kesehatan
yang ada pada kabupaten/ kota masing-masing.

86 | P a g e
3. Meningkatnya jumah kab/ Kota dengan API < 1/1000 penduduk. Sebagai
upaya dalam mencapai indicator tersebut maka dilakukan kegiatan yakni:
a. Koordinasi
1) Koordinasi Percepatan Eliminasi Malaria
Koordinasi Percepatan Eliminasi Malaria adalah jumlah koordinasi
yang dilakukan dengan lintas program dan lintas sektor (LS/LP) baik
di pusat maupun di daerah yang dilaksanakan dalam rangka
percepatan eliminasi malaria serta upaya pencegahan dan
pengendalian malaria sesuai yang telah ditetapkan. Adapun kegiatan
koordinasi LS/LP eliminasi malaria yang akan dilakukan, yaitu:
a) Koordinasi POKJA Diagnosis dan Pengobatan Malaria
b) Koordinasi LS/LP Public Private Mix Malaria
c) Koordinasi LS/LP Malaria Center
d) Validasi data pencatatan dan pelaporan SISMAL
e) Koordinasi Pelaksanaan Eliminasi Malaria
f) Bimbingan Eliminasi Malaria
g) dan lain-lain

b. Sosialisasi dan Diseminasi


1) Sosialisasi GERMAS menuju Eliminasi Malaria
Kegiatan Gerakan Masyarakat "GERMAS" dan dukungan lintas
sektor/lintas progam menuju eliminasi malaria dimaksudkan untuk
meningkatkan pengetahuan, kepedulian (awareness) masyarakat
terhadap penyakit malaria sehingga masyarakat mampu melakukan
kegiatan pengendalain dan pencegahan penularan malaria dan pada
akhirnya mampu meningkatkan derajat kesehatan.
Kegiatan sosialisasi protokol layanan kesehatan malaria di masa
adaptasi kebiasaan baru juga mendukung penanggulangan COVID-
19 dimaksudkan untuk koordinasi dan integrasi program malaria
dengan LS/LP lainnya. Percepatan eliminasi malaria memberikan
input positif dalam penanggulangan wabah COVID-19 di Indonesia.
Integrasi ini dapat meningkatkan pengetahuan, kepedulian
(awareness) masyarakat terhadap penyakit malaria sehingga
masyarakat mampu melakukan kegiatan pengendalain dan
pencegahan penularan malaria dan pada akhirnya mampu
meningkatkan derajat kesehatan. Penguatan kemitraan (forum
gebrak Malaria) dan kemandirian/gerakan masyarakat (GERMAS)
dalam upaya percepatan eliminasi malaria dan mendukung
penanggulangan COVID-19. Kegiatan sosialisasi protokol layanan
kesehatan malaria guna menetapkan kembali kegiatan-kegiatan
akselerasi yang harus dilakukan berkaitan dengan permasalahan
COVID-19 yang dapat mempengaruhi kinerja percepatan eliminasi
malaria. Rekomendasi yang dikeluarkan dari kegiatan sosialisasi ini
oleh program dapat diambil sebagai dasar untuk membuat suatu
kebijakan ataupun menjalankan suatu strategi bahkan mejnjawab
permasalahan atapun kendala yang ada berdasarkan bukti ataupun
lokal spesifik.
2) Hari Malaria Sedunia
Peringatan Hari Malaria Sedunia (HMS) setiap tahunnya dilakukan
sebagai wadah sosialisasi dan pengingat perjuangan pemberantasan

87 | P a g e
malaria di Indonesia. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia adalah membebaskan masyarakat dari malaria
karena malaria merupakan salah satu penyakit menular yang
berdampak kepada penurunan kualitas sumber daya manusia, dapat
menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi bahkan
berpengaruh terhadap ketahanan nasional. Oleh karena penyebaran
malaria tidak mengenal batas wilayah administrasi, maka
membebaskan masyarakat dari malaria (eliminasi malaria)
memerlukan komitmen global, regional dan nasional.
Hari Malaria Sedunia, merupakan kegiatan tahunan yang bertujuan
untuk menyoroti kebutuhan akan upaya yang intensif, investasi yang
terus menerus, dan komitmen politik yang berkelanjutan terhadap
pencegahan dan pengendalian yang mengarah pada eliminasi malaria
di antara para pemangku kepentingan untuk mempercepat eliminasi
malaria. Para pimpinan dan pemangku kepentingan juga didorong
untuk meningkatkan upaya untuk tetap memasukkan malaria ke
dalam agenda politis, memobilisasi sumber daya tambahan dan
mendayagunakan masyarakat untuk pengelolaan program
pencegahan dan perawatan malaria.
Acara puncak Hari Malaria Sedunia biasanya diselenggarakan pada
tanggal 25 April. Kegiatan tersebut perlu dilakukan sosialisasi dalam
bentuk pemutaran video malaria saat acara puncak dan pemasangan
media KIE (Spanduk, Giant Banner dan umbul-umbul) di lingkungan
Kementerian Kesehatan, seluruh wilayah endemis dan daerah bebas
malaria. Hari Malaria Sedunia juga akan dilakukan penyerahan
sertifikat eliminasi malaria yang diberikan oleh Menteri Kesehatan
kepada Kepala Daerah Kab/Kota yang telah mencapai target
eliminasi malaria.

c. Norma, standar, prosedur dan kriteria


1) NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Malaria
Penyusunan NSPK pencegahan dan pengendalian malaria bertujuan
untuk menyusun buku pedoman atau petunjuk teknis pelaksanaan
program pengendalian malaria yang digunakan menjadi acuan
pelaksanaan kegiatan oleh semua petugas malaria atau pihal lain
yang terkait.

d. Pelayanan Publik kepada Masyarakat


1) Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi Malaria
2) Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi Malaria
tingkat provinsi
3) Intensifikasi penemuan kasus baru dalam rangka eliminasi Malaria
provinsi Papua dan Papua Barat
4) IRS/Indoor Residual Spraying
5) Survei Darah Massal Malaria
6) Survei Sentinel Malaria Knowlesi

e. Data dan Informasi Publik


1) Media KIE Pencegahan dan Pengendalian Malaria

88 | P a g e
Pelaksanaan Pengadaan Media KIE Pencegahan dan Pengendalian
Malaria dilaksanakan dalam bentuk pengadaan media Komunikasi,
Informasi dan Edukasi pencegahan dan pengendalian malaria. Media
KIE tersebut berupa:
• Lembar Balik Pencegahan dan Pengendalian Malaria. Lembar
balik yang berisi informasi mengenai penyakit malaria, mulai dari
penyebab, penularan, pemeriksaan dan pengobatan samapai
dengan kegiatan pencegahan dan pengendaliannya. Materi
disampaikan dalam bentuk ilustrasi/gambar dan sedikit
keterangan yang mudah dipahami karena akan digunakan oleh
kader atau tenaga Kesehatan untuk melakukan kegiatan edukasi
kepada masyarakat.
• Buku Saku Tatalaksana Malaria adalah ringkasan mengenai
tatalaksana malaria yang didasarkan/bersumber pada KMK No.
HK.01.07 /MENKES/556/2019 mengenai Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tatalkasana Malaria. Buku ini dijadikan
acuan Nakes dalam memberikan tatalaksana pengobatan malaria
• Buku Pedoman Surveilans Malaria. Merupan pedoman mengenai
surveilans malaria dan digunakan oleh pengeloal program malaria
dalam melaksanakan program kegiatan surveilans malaria.
• Buku Pedoman Pengendalian Vektor Malaria adalah buku
pedoman menganai factor risiko penularan malaria terutama yang
berasal dari vektor malaria dan cara pencegahan dan
pengendalian Vektor Malaria. Dijadikan sebagai pedoman oleh
pengelola program di tingkat puskesmas sampai dinkes provinsi.
• Kit Eliminasi Malaria, Berupa alat dan bahan yang digunakan
untuk membantu kelancaran kegiatan assessment eliminasi
malaria. Kit ini diberikan kepada tim yang melaksanakan uji petik
eliminasi malaria di Lapangan.
• Banner Pencegahan dan Pengendalian Malaria. Merupakan
sarana komunikasi dan edukasi untuk memberikan informasi
pencegahan dan pengendalian malaria kepada masyarakat.

f. Sarana Bidang Kesehatan


1) Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian malaria
Pengadaan alat dah bahan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor adalah jumlah pengadaan alat dan bahan pencegahan
dan pengendalian penyakit malaria yang dilaksanakan dalam rangka
percepatan eliminasi malaria serta upaya pencegahan dan
pengendalian malaria sesuai yang telah ditetapkan. Adapun alat dan
bahan yang diperlukan dalam kegiatan pengendalian malaria, yaitu
mikroskop trinokuler berkamera, spray can, mist blower, APD IRS,
larvasida malaria, insektisida malaria, RDT malaria, kelambu anti
nyamuk malaria, bahan lab malaria, dan alat bahan lainnya.
2) Pemeliharaan SISMAL
Sistem informasi surveilans malaria (Sismal) merupakan sistem
pencatatan dan pelaporan malaria. Saat ini surveilans menjadi salah
satu syarat eliminasi. Pencatatan dan Pelaporan merupakan salah
satu hal penting untuk mendukung terselenggaranya sistem

89 | P a g e
Surveilans yang baik. Salah satu upaya untuk meningkatkan
validitas dan kelengkapan dalam pelaporan data malaria maka pada
tahun 2010 telah dikembangkan software e-SISMAL Versi 1 yang
berupa aplikasi excel based, kemudian berkembang menjadi SISMAL
versi 2 di tahun 2017. Sistem pencatatan dan pelaporan dengan
menggunakan e-SISMAL excel masih memerlukan banyak
penyesuaian karena masih terdapat beberapa kekurangan oleh
karena itu perlu dikembangkan e-SISMAL excel based menjadi online
sistem, hal tersebut merupakan cara untuk meningkatkan fungsi e-
sismal sebagai sistem pencatatan dan pelaporan data malaria.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan Pengembangan dan
Pemeliharaan Sistem Informasi Surveilans Malaria (SISMAL) dengan
melibatkan pihak yang berkompeten guna melakukan pemutakhiran
fitur yang sudah ada di SISMAL sebelumnya.
Sistem informasi ini digunakan oleh Puskesmas dalam untuk
melaporkan kasus malaria dan pengendalian vektor. Pencatatan dan
pelaporan malaria dilakukan secara berjenjang dari tingkat
puskesmas, kab/kota, provinsi sampai ke pusat secara online.
Kelancaran dalam penggunaan sismal sangat diperlukan untuk
mendukung kegiatan surveilans malaria, termasuk didalamnya
pencatatan dan pelaporan. Pemeliharaan dimaksudkan untuk
menyesuikan perkembangan teknologi (upgrade teknologi) dan
mengatasi adanya masalah (bug).
Pada Tahun 2018 telah dikembangkan SISMAL V2 yang diinput
oleh fasyankes dalam bentuk excel terstandar dan diupload ke
SISMAL web. Untuk tahun 2022 ini sedang dikembangkan Sismal V3
yang mengupgrade sesuai kebutuhan saat ini, yaitu tidak perlu lagi
menggunakan Ms. Excel, dapat digunakan secara daring dan luring,
serta sudah kompetibel untuk digunakan di versi android.

g. Pelatihan
1) Pelatihan SDM Malaria
Pelatihan SDM Malaria adalah jumlah Sumber Daya Manusia (SDM)
yang mendapatkan/menjadi target mendapatkan peningkatan
kapasitas dalam pencegahan dan pengendalian malaria, baik melalui
kegiatan workshop maupun pelatihan terakreditasi. Kegiatan
pelatihan SDM yang dilakukan diantaranya, yaitu Workshop
Pengelola Sistem Informasi Surveilans Malaria (SISMAL), Workshop
Surveilans dan Faktor Risiko Malaria, Pelatihan Diagnosis dan
Tatalaksana Malaria, Plelatihan Manajemen Dasar Program Malaria,
kegiatan pelatihan lainnya.

h. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah


1) Monitoring Evaluasi dan Supervisi Pencegahan dan Pengendalian
Malaria
• Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana malaria
Diagnosis merupakan awal dari kegiatan pengobatan penyakit
malaria. Pemeriksaan/Dianosa dilakukan pada suspek malaria
(yaitu masyarakat yang dicurigai/disangka mengidap malaria).
Pemeriksaan malaria dilakukan dengan memeriksan sediaan

90 | P a g e
darah menggunakan RDT Combo Malaria atau Mikroskop Malaria.
Akurasi dan kecepatan diagnosis menentukan keberhasilan
pengobatan malaria. Kegiatan selanjutnya adalah pemberian obat
anti malaria berdasarkan hasil pemeriksaan/diagnosa. Jenis dan
jumlah obat harus mengacu pada pedoman tatalaksana yang
sudah ditetapkan. Kegiatan supervisi dan bimtek dimaksudkan
untuk memastikan diagnosis dan tatalaksana sudah dilakukan
sesuai standar. Dinkes yang menjadi target adalah daerah
endemis malaria yang kegiatan diagnosis dan pengobatannya
kurang baik. Penilaian bisa dialkukan berdasarkan laporan
analisi bulanan yang dikirimkan melalui sismal atau laporan
terkait lainnya.
• Bimbingan Teknis Akselerasi Eliminasi Malaria
Kegiatan bimbingan teknis akselerasi eliminasi malaria bertujuan
untuk mempercepat capaian penurunan kasus malaria sehingga
target kegiatan adalah daerah endemis malaria. Pada daerah
rendah bimbingan ditujukan untuk mempercepat penghilangan
penularan kasus malaria setempat.
• Monev On-site Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat pada
Populasi Khusus Risiko Malaria
Kasus malaria pada populasi khusus membutuhkan perhatian
diprioritaskan, daerah ini biasanya merupakan daerah endemis
rendah yang stagnan dan mempunyai risiko penularan yang sulit
dikendalikan misal daerah pertambangan, perkebunan,
perambah hutan atau daerah adat terpencil. Kegiatan monev
dimaksudkan untuk mengidentifikasi lebih tajam dan mendorong
pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan
penularan malaria baik secara mandiri maupun kolaborasi
denagn lintas sektor dan lintas program terkait. Selain itu, juga
dilakukan upaya intervensi dalam menghilangkan penularan
malaria pada daerah tersebut.

4. Meningkatnya Porporsi kasus kusta baru tanpa cacat. Sebagai upaya


dalam mencapai indicator tersebut maka dilakukan kegiatan yakni:
a. Koordinasi
1) Koordinasi pencapaian eliminasi eradikasi penyakit tropis
terabaikan

b. Sosialisasi dan Diseminasi


1) Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan

c. Norma, standar, prosedur dan kriteria


1) NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Filariasis dan
kecacingan

d. Pelayanan Publik lainnya


1) Surveilans dan deteksi dini penyakit tropis terabaikan
2) Assessment Eliminasi Kusta dan Eradikasi Frambusia
Pelaksanaan assessmen verifikasi eliminasi kusta merupakan
kegiatan penilaian terhadap validasi data kusta, SDM tenaga

91 | P a g e
kesehatan, komitmen pemerintah serta kegiatan-kegiatan yang
mendukung terkait pencapaian eliminasi kusta suatu daerah.
Kegiatan assesment eliminasi kusta ini baru tahun ini dilaksanakan
untuk penilaian langsung di lapangan dan sekaligus untuk uji coba
tools di kabupaten/kota yang merupakan target kabupaten/kota
eliminasi kusta dimana capaian indikator prevalensi kusta sudah
mendekati angka < 1/10.000 penduduk Kegiatan ini melibatkan tim
pusat dan provinsi. tim pusat sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2
orang program kusta dan 1 orang komite ahli eliminasi kusta, Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

e. Data dan Informasi Publik


1) Media KIE P2 Kusta dan Frambusia
Kegiatan ini merupakan penyediaan atau pengadaan bahan media
yang digunakan dalam rangka peningkatan upaya komunikasi,
informasi dan edukasi program pencegahan dan pengendalian
penyakit kusta dan frambusia.

f. Sarana Bidang Kesehatan


1) Pemenuhan RDT dan RPR untuk Evaluasi endemisitas dan
surveilans aktif Frambusia
Kegiatan penyediaan RDT dan RPR Frambusia diperuntukan bagi
pelaksanaan survei evaluasi penularan frambusia (survei serologi
frambusia) di daerah riwayat/endemis frambusia.dan untuk kegiatan
surveilans aktif penemuan kasus frambusia di masyarakat

g. Pelatihan
1) Workshop P2 Kusta dan Frambusia bagi tenaga Kesehatan
Kegiatan ini berbentuk orientasi untuk dokter yang akan ditunjuk
menjadi dokter rujukan di Kab/Kota masing-masing dalam
pencegahan dan pengendalian penyakit kusta. Dokter yang akan
mengikuti orientasi berjumlah 34 orang dari kab/kota seluruh
Provinsi Metode yang digunakan merupakan metode luring .
2) Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Kusta Bagi Pengelola
Program Kusta
Pelatihan terkareditasi PPSDM ini dilaksanakan menggunakan
metode blended (daring dan luring) dimana untuk seluruh materi
disampaikan melalui daring dan praktek lapangan (luring). Pelatihan
ini dilaksanakan selama 6 atau 7 hari daring dan 7 atau 8 hari luring.
Jumlah hari disesuaikan dengan jumlah JPL sesuai kurikulum.
Pelatihan dilaksanakan sebanyak 4 angkatan dengan masing-masing
peserta sebanyak 20 orang/angkatan. Peserta merupakan pengelola
program kusta dari dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota
yang belum pernah mengikuti pelatihan

h. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah


1) Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program P2
Kusta dan Frambusia
Terdiri dari kegiatan

92 | P a g e
a) Supervisi dan Monitoring Program P2 Kusta dan Frambusia
termasuk Data Surveilans dan Logistik
Kegiatan monitoring dan evaluasi program P2 kusta dan frambusia
secara menyeluruh. Kegiatan dilaksanakn di 34 provinsi dengan
fokus provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta dan provinsi
dengan kab/kota yang menjadi target eliminasi. Kegiatan
dilaksanakan selama 4 hari dengan jumlah petugas daei pusat
sebanyak 2 orang. Teknis kegiatan pelaksanaan sesuai dengan daftar
tilik yang telah disusun untuk program kusta dan frambusia.
b) Pendampingan Kegiatan Program P2 Kusta dan Frambusia
Kegiatan ini merupakan kegiatan pendampingan pusat ke
provinsi/kab/kota dalam pelaksanaan kegiatan program P2 Kusta
dan Frambusia. Selain itu kegiatan ini jg dilakukan dalam rangka
pendampingan pusat pada saat provinsi melaksanakan kegiatan
dekon yaitu Pendampingan assessment eradikasi frambusia di
20provinsi dan pendampingan assessment eliminasikusta di 24
provinsi.

5. Meningkatnya Pencegahan dan pengendalian penyakit menular. Sebagai


upaya dalam mencapai indicator tersebut maka dilakukan kegiatan yakni:
a. Koordinasi
1) Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit
DBD dan Arbovirosis Lainnya
Koordinasi LS/LP Pengendalian DBD dan arbovirosis lainnya
dilakukan bersama lintas sektor, lintas program, serta para ahli
sebagai usaha untuk mencapai indikator program. Kegiatan ini
dilaksanakan secara daring dan luring. Kegiatan secara daring
mengundang narasumber dari pakar organisasi profesi atau lintas
sektor terkait. Sementara untuk kegiatan koordinasi LS/LP
Pengendalian DBD dan arbovirosis lainnya yang dilakukan secara
langsung diantaranya ialah untuk kegiatan dengan undangan dari
instansi atau lintas program lintas sektor lain.
2) Koordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian penyakit
zoonosis
Pertemuan Koordinasi Lintas Sektor/Lintas Program rutin
dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan Kemenko PMK,
Kemendagri, Kementan, KLHK, BNPD, TNI-Polri.
3) Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Diare dan
Penyakit ISP
Koordinasi dilaksanakan dengan melakukan pertemuan LS dan LP
yang terkait dengan penyakit infeksi saluran pencernaan. Koordinasi
perlu dilakukan agar apa yang menjadi tujuan bersama dapat lebih
fokus dan berdampak dalam keberhasilan program. Dengan
kordinasi dapat dipetakan sumber daya yang tersedia di LP dan LS
serta dapat dipetakan juga peran dan fungsi dari masing-masing LP
dan LS dalam pencegahan dan pengendalian diara dan penyakit ISP
4) Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia
Kegiatan koordinasi guna mendukung program kesehatan secara
umum dan secara khusus dalam peningkatan capaian program P2

93 | P a g e
ISPA. Koordinasi dilakukan dengan ahli terkait, lintas program dan
lintas sektor terkait Program Pencegahan dan Penanggulangan ISPA
5) Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Filariasis
dan Kecacingan
Kegiatan ini merupakan kegiatan koordinasi lintas program/lintas
sektor dalam rangka penguatan program pencegahan dan
pengendalian filariasis dan Kecacingan. Kegiatan dilakukan dalam
rangka sinkroniasis memastikan kebijakan program
penanggulangan filariasis dan kecacingan yang telah dibuat dapat
berjalan dengan baik atau dapat diintegrasikan dengan program
yang lokus dan sasarannya sesuai sehingga lebih efektif dan efisien
serta tepat sasaran. Kegiatan koordinasi dilaksanakan juga dalam
rangka penyusunan dan sinkronisasi perencanaan program baik di
pusat maupun di daerah. Selain itu, kegiatan ini dilakukan untuk
koordinasi dan konsultasi dengan para komite ahli Filariasis,
Cacingan dan schistosomiasis sehingga Para Pokja/Komite Ahli serta
pakar yang ahli dibidangnya dapat memahami situasi dan
pengembangan terkini program filariasis dan kecacingan untuk
dapat memberikan masukan atau rekomendasi sesuai kebutuhan,
permasalahan dan tantangan yang dihadapi program dalam upaya
eliminasi filariasis dan reduksi cacingan serta tindaklanjut yang
perlu dilakukan baik pusat maupun daerah.
6) Koordinasi dan Reviu Implentasi Kegiatan dalam Rangka Eliminasi
Schistosomiasis Lintas Kementerian dan Lembaga
Merupakan kegiatan koordinasi akan dilaksanakan di dengan
melibatkan lintas kementerian dan lembaga terkait pengendalian
Schistosomiasis mulai dari penyusunan rencana kegiatan serta
monitoring dan evaluasi pasca pelaksanaan kegiatan rangka
eliminasi schitosomasis. Selain itu, juga berupa review dan update
progres implementasi kegiatan terpadu lintas sektor/KL dalam
rangka eliminasi Schistosomiasis dilaksanakan sesuai pembagian
keweangan berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing
kementerian/Lembaga terkait telah tertuang dalam roadmap
eradikasi schistosomiasis termasuk rincian lokus, bentuk kegiatan
dan alokasi pembiayaan.

b. Sosialisasi dan Diseminasi


1) Sosialisasi dan Diseminasi pencegahan dan pengendalian penyakit
DBD dan Arbovirosis Lain
Sosialisasi dan diseminasi pencegahan dan pengendalian DBD dan
arbovirosis lainnya terdiri dari beberapa kegiatan. Yang pertama
ialah sosialisasi pedoman pengendalian DBD dan arbovirosis lainnya
berisikan sosialisasi tentang NSPK yang telah ada di substansi
Arbovirosis dan akan disebarluaskan. Yang kedua ialah
pemberdayaan masyarakat mengenai pencegahan dan pengendalian
penyakit DBD dan arbovirosis lainnya merupakan kegiatan yang
dilaksanakan bersama dengan melibatkan mitra Kementerian
Kesehatan melalui kegiatan Gerakan Mayarakat hidup Sehat
(GERMAS) serta yang ketiga ialah peringatan hari Dengue se Asia
Tenggara.

94 | P a g e
2) Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
Upaya sosialisasi pencegahan dan pengendalian zoonosis dilakukan
kepada petugas kesehatan dan masyarakat luas melalui kegiatan
Gerakan Masyarakat dalam rangka Pencegahan dan Pengendalian
Zoonosis yang disertai dengan kegiatan vaksinasi Covid-19 di 7
lokus.
3) Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
4) Sosialisasi Pengobatan Diare
Sosialisasi dilakukan melalui kegiatan pertemuan serta
pendampingan langsung ke daerah untuk meningkatkan kepedulian
semua pemangku kepentingan terkait pentingnya dalam pencegahan
dan pengendalian diara dan penyakit ISP.

5) Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pneumonia


Kegiatan ini dilaksanakan dengan bentuk swakelola. Kegiatan yang
dilakukan berupa pertemuan advokasi dan sosialisasi terkait ISPA
kepada pemangku kepentingan lokal bekerjasama dengan Pejabat
Lintas Sektor.
6) Sosialisasi pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mensosialisasikan program
Kesehatan dan meningkatkan pengetahuan serta partisipasi
masyarakat untuk mendukung upaya program penanggulangan
penyakit tropis terabaikan antara lain penyakit filariasis, cacingan,
kusta serta frambusia melalui kegiatan Gerakan Masyarakat Sehat
(Germas). Melalui kegiatan ini juga dilakukan sosialisasi dalam
rangka peringatan hari khusus seperti Hari Kusta yang diharapkan
dapat menjadi momentum untuk mengingatkan kembali serta
menyebarluaskan kepada masyarakat tentang pemahaman yang
benar tentang penyakit tropis terabaikan salah satunya penyakit
kusta.

c. Norma, standar, prosedur dan kriteria


1) NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit DBD dan Arbovirosis
lainnya
Kegiatan ini merupakan kegiatan untuk penyusunan pedoman DBD
dan Arbovirosis lainnya. Dilaksanakan secara daring dengan
mengundang narasumber lintas sektor, lintas program, serta para
ahli terkait.
2) NSPK pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis
Penyediaan NSPK telah diterbitkan seperti Pedoman Pengendaliasn
Rabies, FB, Antraks, Leptospirosis, Pes, Taeniasis dan Modul-modul
pelatihan penanggulangan zoonosis dengan pendekatan One Health.
3) NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit IMS
NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit IMS merupakan
rangkaian kegiatan dalam rangka menyediakan NSPK terkait
pencegahan dan pengendalian IMS berupa pertemuan persiapan
sampai finalisasi dan pencetakan NSPK
4) NSPK Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
5) NSPK Pencegahan dan Pengendalian Diare dan Penyakit ISP

95 | P a g e
Dilakukan kegiatan pembaharuan pedoman yang telah ada
menyesuaikan dengan perkembangan terkini keilmuan terkait dalam
pencegahan dan pengendalian diara dan penyakit ISP. Kegiatan
dilaksanakan dengan mengundang narasumber yang kompeten
serta juga melibatkan LP dan LS serta komite ahli
6) NSPK Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia
Kegiatan berupa Penyusunan Revisi Pedoman Tatalaksana
Pneumonia Balita
7) NSPK Pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Cacingan
Penyusunan NSPK Filariasis dan Kecacingan Finalisasi dilakukan
dalam rangka memberikan pedoman pada petugas Kesehatan terkait
peraturan, pedoman atau petunjuk teknis tentang penyelenggarakan
program penanggulangan filariasis dan kecacingan serta modul-
modul pembelajaran bagi peningkatan kapasitas petugas pelaksana
program di daerah.

d. Pelayanan Publik lainnya


1) Investigasi Peningkatan Kasus dan Kejadan Luar Biasa penyakit
DBD dan arbovirosis lain
Kegiatan Investigasi Peningkatan Kasus dan Kejadan Luar Biasa
penyakit DBD dan arbovirosis lain dilaksanakan ke daerah yang
berpotensi mengalami peningkatan kasus dan KLB DBD dan
Arbovirosis lainnya sesuai dengan Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian DBD di Indonesia. Selain itu juga dilaksanakan
penyelidikan epidemiologi kasus sehingga tidak sampai terjadi KLB.
2) Pelaksanaan POPM Filariasis dan Kecacingan
Kegiatan berupa pendampingan daerah intervensi khusus
Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis. Kegiatan
dilaksanakan dalam rangka penyiapan teknis daerah untuk
memastikan daerah yang menjadi target lokus POPM mampu
melaksanakan POPM filariasis dengan baik termasuk bagi daerah
dengan intervensi khusus yaitu menggunakan regimen tiga obat.
Pendampingan dilaksanakan dalam rangka persiapan dengan
adanya koordinasi tim, pemantauan pelaksanaan dan uji petik
capaian cakupan pengobatan. Kegiatan ini dilaksanakan juga untuk
pendampingan POPM cacingan terutama pada daerah yang
cakupannya rendah atau adanya penolakan dari masyarakat serta
daerah yang pemdanya belum optimal dalam mendukung
pencapaian target program. Selain itu, kegiatan ini termasuk di
dalamnya memastikan kesiapan dan distribusi logistik serta obat
untuk pelaksanaan POPM di daerah.
3) Surveilans Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
Dalam upaya pengembangan Surveilans berbasis laboratorium
dilaksanakan dengan Surveilans Sentinel Leptospirosis yang
didukung oleh B/BTKL PP seluruh Indonesia dan akan
melaksanakan Surveilans Sentinel Antraks di tahun 2023.
4) Distribusi Logistik dalam Pengendalian Hepatitis
5) Skrining dan Deteksi Dini P2 Hepatitis
6) Respon Cepat KLB Penyakit Diare dan Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan Lainnya yang Berpotensi KLB

96 | P a g e
Kegiatan dilaksanakan dalam rangka pengendalian KLB di lokasi
terjadinya KLB serta advokasi dan sosialisasi SKD KLB pada daerah
yang pernah dan berpotensi terjadi KLB.
7) Renkon Pandemi Influenza
Kegiatan ini untuk memperkuat kesiapsiagaan dan respon Pandemi
Influenza di Indonesia terutama di Provinsi berisiko tinggi
8) Surveilans dan deteksi dini penyakit Tropis Terabaikan
Kegiatan ini berupa pendampingan untuk pencegahan
dini/penanggulangan kejadian ikutan pasca Pemberian Obat
Pencegahan Massal, supervisi dan survei evaluasi prevalensi
cacingan untuk memperoleh angka prevalensi pasca POPM serta
surveilans kasus klinis/kronis filariasis untuk verifikasi kasus dan
memantu progress tatalaksana kasus filariasis di daerah.

e. Data dan Informasi Publik


1) Media KIE DBD dan penyakit Arbovirosis lainnya
Kegiatan ini merupakan kegiatan penyediaan media promosi dan
media KIE penyakit DBD dan Arbovirosis lainnya. Media promosi
berbentuk kit promosi untuk mempromosikan pencegahan dan
pengendalian DBD dan arbovirosis lainnya. Sedangkan media KIE
berupa cetakan pedoman atau buku pedoman program.
2) Media KIE Penyakit Tropis Terabaikan
Berupa media komunikasi, infomasi, edukasi bagi masyarakat agar
dapat mengetahui upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
tropis terabaikan.
3) Media komunikasi, informasi, edukasi pencegahan dan
pengendalian penyakit zoonosis
Media KIE dalam pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis di
antaranya Rollbanner, Lembar Balik, Leaflet, Poster dan Komik
untuk penyakit Rabies, Flu Burung, Leptospirosis dan Antraks,
Permainan Penanggulangan Zoonosis, Papan Cerdas Rabies serta
kami menyediakan Video Animasi untuk penyakit zoonosa tersebut.
4) Media Komunikasi, Informasi, Edukasi dan Promosi P2 Hepatitis
5) Media Komunikasi, Informasi, Edukasi dan Promosi P2 Diare dan
Penyakit ISP
Kegiatan berupa pembuatan dan pencetakan media KIE dan di
distribusikan ke daerah melalui dinas Kesehatan provinsi.

f. Sarana Bidang Kesehatan


1) Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit
DBD dan Arbovirosis lainnya
Kegiatan ini merupakan penyediaan alat dan bahan kesehatan
untuk mendukung pelaksanaan pencegahan dan pengendalian DBD
dan arbovirosis lainnya berupa insektisida DBD, larvasida DBD, RDT
DBD, RDT Chikungunya, APD Penyemprot, Jumantik Kit, serta
mesin fogging.
2) Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit
Filariasis dan Kecacingan
Berupa penyediaan bahan test diagnotik cepat (Rapid diagnostic
test/RDT) untuk mendeteksi adanya antigen atau antibodi filariasis

97 | P a g e
dalam tubuh, penyediaan bahan pendukung dalam rangka kegiatan
surveilans seperti Kato katz kit, lancet, tabung micotainer, bahan
kontak surveilans filariasis, kit POPM, serta buku register POPM.
Bahan pendukung tersebut diperlukan dalam rangka kegiatan
pencegahan dan pengendalian filariasis dan cacingan termasuk
untuk kegiatan penilaian eliminasi atau evaluasi program.
3) Alat dan bahan kesehatan pencegahan dan pengendalian penyakit
zoonosis
Upaya yang dilakukan yakni penyediaan alat dan bahan
pengambilan dan pemeriksan sampel Leptospirosis dan Antraks
yang akan diserahkan kepada BBTKL PP Yogyakarta dan Surabaya
untuk mendukung Surveilans Sentinel Leptospirosis dan Antraks.

4) Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


IMS
Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit IMS merupakan kegiatan penyediaan alat dan bahan
kesehatan terkait pencegahan dan pengendalian penyakit IMS.
Kegiatan ini berupa pengadaan reagen sifilis dan RPR. Adapun
pengadaan reagen sifilis digunakan untuk kebutuhan diagnostik
bagi seluruh populasi. Tahapan pelaksanaan kegiatan ini dimulai
dari mempersiapkan detail pengajuan pengadaan, daftar distribusi
berdasarkan permintaan atau perhitungan dari dinas kesehatan
provinsi. Kemudian dilakukan proses pengadaan oleh
pejabat/panitia pengadaan. Terakhir, dilaksanakan distribusi ke
dinas kesehatan provinsi dan pusat
5) Pemenuhan alat dan bahan untuk Skrining, Diagnostik P2 Hepatitis
6) Pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Arbovirosis (SIARVI)
Kegiatan ini merupakan pemeliharaan sistim informasi Arbovirosis
yang dilakukan bersama dengan penyedia aplikasi untuk
pelaksanaan maintenance aplikasi untuk tetap meningkatkan
performanya.
7) Pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian
penyakit filariasis dan kecacingan (EFILCA)
Berupa pemeliharaan sistim informasi pencatatan dan pelaporan
elektronik program filariasis dan cacingan sehingga tetap dapat
berfungsi, mudah di akses dan digunakan oleh user baik di pusat
maupun daerah sehingga memperoleh data program yang lebih
update.
8) Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit ISPA
Penyediaan logistik kesehatan berupa alat dan bahan sangat penting
untuk pelaksanaan program P2P di lapangan. Terkait Program P2P
ISPA alat kesehatan dibutuhkan berupa ARI Sound Timer dan Pulse
Oximeter diperlukan dalam deteksi dini untuk penegakan diagnose
pneumonia

g. Pelatihan

98 | P a g e
1) Pelatihan petugas dan pengelola program DBD dan Arbovirosis
lainnya
Pelatihan ini disasarkan pada pengelola program DBD di provinsi,
kab/kota, hingga ke puskesmas yang dilaksanakan secara daring
dan luring (blended). Kegiatan secara daring dengan mengundang
narasumber lintas sektor/program atau pakar yang tepat untuk
meningkatkan kapasitas pengelola program DBD yang tepat
khususnya di daerah endemis DBD. Serta pelaksanaan luringnya
secara praktik sesuai dengan materi yang telah disampaikan.
2) Pelatihan SDM Pencegahan dan Pengendalian Filariasis, Kecacingan,
dan Schistosomiasis
Berupa kegiatan pelatihan TOT surveyor cacingan maupun kegiatan
pelatihan surveyor cacingan sehingga diperoleh SDM yang mampu
melaksanakan survei evaluasi prevalensi sesuai standar. Selain itu,
kegiatan workshop tatalaksana kasus atau orientasi petugas
surveilans schistosomiasis juga perlu dilaksanakan sehingga
petugas di daerah mampu dan terlatih dalam melaksanakan
pelayanan di masyarakat.
3) Workshop Pencegahan dan Pengendalian penyakit Zoonosis
Peningkatan kapasitas petugas pengelola zoonosis dilakukan dengan
berbagai cara seperti orientasi petugas sentinel leptospirosis dan
antraks, workshop peningkatan pengetahuan program
penanggulangan zoonosis yang dilakukan dalam 3 (tiga) regional dan
pelatihan bagi pelatih pada pelatihan penanggulangan zoonosis bagi
pengelola zoonosis di tingkat provinsi/kabupaten/kota yang
bekerjasama dengan Bapelkes Ciloto, Yogyakarta dan Cikarang.
4) Workshop Pedoman IMS kepada Tenaga Kesehatan
Peningkatan Kapasitas SDM Program Penyakit IMS merupakan
seluruh kegiatan peningkatan kapasitas SDM terkait pencegahan
dan pengendalian IMS baik berupa orientasi, workshop, pelatihan
atau pun ToT. Kegiatan ini dilaksanakan secara online di 34 provinsi.
5) Orientasi P2 Hepatitis
6) Orientasi P2 Diare dan Penyakit ISP
Tujuan dari kegiatan ini adalah setelah mengikuti kegiatan, peserta
mengetahui dan mampu melakukan tata laksana diare sesuai
standar dalam upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit infeksi saluran pencernaan bagi. Kegiatan
dilaksanakan dengan mengundang narasumber yang kompeten
seperti organisasi profesi, LP serta komite ahli.
7) Workshop P2 Pneumonia
Untuk meningkatkan penemuan kasus pneumonia Balita di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) khususnya puskesmas, tenaga
kesehatan diharapkan mampu untuk mengenali tanda dan gejala
Balita sakit yang memiliki kemungkinan menderita pneumonia.
Selain pneumonia Balita, tenaga kesehatan di puskesmas juga perlu
mengetahui tanda dan gejala pneumonia dewasa, faktor risiko dan
tata laksananya.

h. Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah Daerah

99 | P a g e
1) Monitoring Evaluasi dan Supervisi Surveilans DBD dan penyakit
Arbovirosis lainnya
Monitoring dan evaluasi dan supervisi surveilans DBD dan
arbovirosis lainnya sangat diperlukan untuk mengamati atau
mengetahui perkembangan dan kemajuan, mengidentifikasi
permasalahan serta antisipasinya dalam upaya pemecahan masalah
atau kendala pelaksanaan sistem Surveilans Arbovirosis ini sehingga
dari hasil tersebut diharapakan dapat mengevalusi kegiatan
surveilans Arbovirosis ini dengan cara menilai tingkat kinerja secara
sistematis, menginvestigasi efektifitas kegiatan menilai kebutuhan
perbaikan, kelanjutan atau perluasan kegiatan sehingga muncul
suatu solusi ataupun rekomendasi untuk perbaikan. Pelaksanaan
kegiatan ini dengan turun ke daerah untuk menilai atau memonev
sesuai dengan form monev program arbovirosis.

2) Monev dan Supervisi Filariasis dan Kecacingan


Kegiatan berupa supervise/pendampingan persiapan atau
pelaksanaan survei penilaian penularan filariasis yang dilaksanakan
di daerah lokus target eliminasi. Selain itu, berupa kegiatan
assement persiapan validasi eliminasi berupa penyiapan dosier pada
kabupaten/kota eliminasi sehingga tersedia data yang lengkap pada
saat verifikasi WHO.
3) Monev dan Supervisi Eliminasi Schistosomiasis
Kegiatan berupa pendampingan kegiatan intervensi yang
dilaksanakan oleh daerah serta kegiatan assement eliminasi
schistosomiasis di desa-desa endemis yang memenuhi kriteria
eliminasi.
4) Monev dan Supervisi pencegahan dan pengendalian penyakit
zoonosis
Dalam monitoring dan evaluasi serta supervise dilakukan melalui
kegiatan Assessment Rabies Center, Maonitoring Kewaspadaan
Dini/KLB Zoonosis serta pertemuan evaluasi secara daring untuk
cek ricek terkait data penyakit zoonosis secara berkala.
5) Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program P2
Hepatitis
6) Monitoring dan supervisi P2 Diare dan Penyakit ISP
Kegiatan dilaksanakan dalam rangka mengetahui sejauh mana
capaian program, hambatan serta tantangan yang di hadapi daerah
dalam pencegahan dan pengendalian diare dan penyakit ISP.
7) Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program
Pneumonia
kegiatan Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program
P2 ISPA kepada petugas baik di Provinsi, Kabupaten/Kota,
Puskesmas yang berkesinambungan, diharapkan implementasi
program P2 ISPA disemua level berjalan sesuai dengan arah
kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan standar operasional
prosedur (SOP) yang ada.

100 | P a g e
C. Kerangka Kelembagaan
Kerangka kelembagaan telah disusun sesuai peta proses bisnis Kementerian
Kesehatan. Dalam peta proses bisnis menggambarkan pelaksanaan tugas dan
fungsi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular.

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022, Direktorat


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular berada di bawah Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Pasal 84, susunan organisasi
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terdiri atas Subbagian
Administrasi Umum dan Kelompok Jabatan Fungsional. Dalam kelompok jabatan
fungsional ini dibagi ke dalam tim kerja. Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit telah menetapkan Keputusan Nomor
HK.02.02/C/1955/2022 tentang Tim Kerja di Lingkungan Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular dengan susunan sebagai berikut:

Susunan Tim Kerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

DIREKTUR

Subbag
Administrasi
Umum

Tim Kerja Tim Kerja HIV, Tim Kerja Tim Kerja Tim Kerja
Tuberkulosis PIMS, Penyakit Zoonosis dan Penyakit Tular
dan ISPA Hepatitis, PISP Tropis Penyakit Vektor
Terabaikan Akibat Gigitan
Hewan
Berbisa dan
Tanaman
Beracun

Gambar 3.3 Susunan Organisasi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Menular

D. Kerangka Regulasi
Dalam upaya mencapai sasaran strategis penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan bidang kesehatan diperlukan unsur pendukung berupa regulasi
atau perundang-undangan. Dukungan regulasi yang baik dan tepat memerlukan
system perencanaan yang matang dalam bentuk kerangka regulasi. Perumusan
regulasi kesehatan selayaknya dirumuskan dengan jelas, tegas, sinkron, dan
konsisten sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau berlaku efektif dan efisien
serta memprioritaskan kualitas dibandingkan kuantitas, hal ini dimaksudkan agar

101 | P a g e
tidak menyulitkan setiap pihak untuk menerapkan dan mematuhinya sehingga
dapat dilakukan simplifikasi terhadap peraturan yang telah ada.

Sebagaimana UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional (UU SPPN) mengamanatkan kerangka regulasi menjadi bagian dari
dokumen perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Pengelolaan kerangka
regulasi dalam dokumen perencanaan sektor kesehatan bertujuan untuk:

1. Mengarahkan proses perencanaan pembentukan peraturan perundang-


undangan sesuai kebutuhan program pemerintahan dan pembangunan bidang
kesehatan;
2. Meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan dalam rangka
mendukung pencapaian prioritas pembangunan kesehatan; dan
3. Meningkatkan efisiensi pengalokasian anggaran untuk keperluan
pembentukan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan.

Saat ini sudah terdapat beberapa regulasi dalam upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit menular, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005- 2025
3. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 124 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 Tentang Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2021 tentang
Penanggulangan TBC
7. Instruksi Presiden No. Tahun 2019 Tentang Peningkatan Kemampuan Dalam
Mencegah, Mendeteksi dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global dan
Kedaruratan Nuklir, Biologi dan Kimia.
8. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis
Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya
Penanggulangan.
9. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang Pedoman
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 tahun 2013 tentang Eliminasi
Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari Ibu ke Anak
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 57 tahun 2013 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadona

102 | P a g e
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2014
Tentang Penanggulangan Filariasis
15. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2015
tentang Pedoman Jejaring dan Pemantapan Mutu Laboratorium Malaria
16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2016
Tentang Pembebasan Biaya Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016 tentang
Penanggulangan TBC
18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2017 tentang
Eradikasi Frambusia
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Imunisasi
20. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2018
tentang Pelaksanaan Deteksi Dini dan Pemberian Obat Anti Malaria oleh Kader
Malaria pada Daerah dengan Situasi Khusus
21. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019
tentang Penanggulangan Kusta
22. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020 – 2024
23. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020
tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020 – 2024
24. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
25. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare
26. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1537A/MENKES/SK/XII/2002 tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Penanggulangan Pneumonia Pada Balita.
27. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1190/MENKES/SK/X/2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) dan Obat Anti Retro Viral (ARV) untuk HIV/AIDS
28. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid
29. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 300/MENKES/SK/IV/2009 tentang
Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza
30. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 311/MENKES/SK/V/2009 Tentang
Penetapan Penyakit Flu Baru H1N1 (Mexican Strain) Sebagai Penyakit Yang
Dapat Menimbulkan Wabah
31. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1278/MENKES/SK/XII/2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV

103 | P a g e
32. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 451/MENKES/SK/XII/2012 tentang
Rumah Sakit Rujukan bagi Orang Dengan HIV dan AIDS
33. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/90/2019 Tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV
34. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 308 tahun 2019 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta
35. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/556/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Malaria
36. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/9845/2020 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata laksana Infeksi Dengue pada Dewasa
37. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/4636/2021 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata laksana Infeksi Dengue Anak dan Remaja
38. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/445/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Obat
Pencegahan Massal Filariasis Regimen Ivermectin, Diethylcarbamazine Citrate,
dan Albendazole di Kabupaten Mamuju, Kabupaten Biak Numfor, Kota Sorong,
dan Kota Pekalogan.
39. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/5659/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Obat
Pencegahan Massal Filariasis Regimen Ivermectin, Diethylcarbamazine Citrate,
dan Albendazole di Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Manowari Selatan.
40. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/1231/2022
tentang Pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis Regimen
Ivermectin, Diethylcarbamazine Citrate, dan Albendazole di Kabupaten
Kotawaringin Timur, Kabupaten Bintan, Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Asmat, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Sarmi, dan Kabupaten Belitung
41. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 443.41/465/SJ Tahun 2010 tentang
pelaksanaan Program Eliminasi Malaria di Indonesia
42. Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/MENKES/37/2017
tentang Pelaksanaan Eliminasi Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B dari Ibu
ke Anak di Indonesia
43. Surat Edaran Menteri Kesehatan No HK.02.01/Menkes/584/2018 tentang
Percepatan Penurunan Malaria di Wilayah Endemis Malaria
44. Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Nomor HK.02.02/I/1564/2018 tentang Penatalaksanaan ODHA untuk
Eliminasi HIV AIDS Tahun 2030
45. Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan
HK.02.02/II/1739/2018 tentang Dukungan Eliminasi Penularan HIV

104 | P a g e
46. Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Nomor PR.01.05/I/1822/2019 tentang Akselerasi ART
47. Keputusan Direktur Jenderal P2P Nomer HK.01.07/1/2348/2021 tentang
Pelaksanaan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis Regimen
Ivermectin, Diethylcarbamazine Citrate, dan Albendazole di Kabupaten
Mamuju, Kabupaten Biak Numfor, Kota Sorong, dan Kota Pekalongan

Untuk mewujudkan regulasi yang berkualitas, efektif dan efisien, serta tepat
sasaran sesuai kebutuhan, dibutuhkan upaya penguatan regulasi baik terhadap
regulasi yang telah ada (existing regulation) maupun regulasi yang akan dibentuk
(future regulation). Berdasarkan kebutuhan dalam rangka mengoptimalkan capaian
sasaran dalam Rencana Aksi Kegiatan ini, maka kerangka regulasi yang
dibutuhkan/perlu dibentuk yaitu sebagaimana berikut:

1. Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang


Penanggulangan Malaria
2. Revisi Permenkes No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC
3. Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang
Penanggulangan Zoonosis
4. Rencana Penyusunan Rancangan Aksi Nasional Kusta dan Frambusia
bekerja sama dengan UGM
5. Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan

E. Kerangka Pendanaan
Sebagai upaya mencapai target indicator kegiatan Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular didukung dengan pendanaan sebagaimana
berikut:

ALOKASI ANGGARAN (dalam ribu)


NO
SASARAN KEGIATAN/
2022 2023 2024
INDIKATOR KINERJA
KEGIATAN (isi pagu (isi pagu (isi sesuai KPJM)
existing) indikatif)
Kegiatan : Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular
1. Meningkatnya Penemuan dan 417.033.852,0 276.958.930 304.654.823
pengobatan kasus HIV
1.1 Persentase orang dengan
risiko terinfeksi virus
yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh

105 | P a g e
manusia yang
mendapatkan skrining
HIV
Persentase Orang dengan
HIV (ODHIV) baru
1.2
ditemukan mendapatkan
pengobatan ART
Meningkatnya Penemuan dan 712.275.519,0 34.509.288.000,- 11.835.075.790.000,-
2
pengobatan kasus TBC
Angka keberhasilan
2.1
pengobatan TBC
Meningkatnya jumah kab/ Kota 13.686.686,0 41.036.860,0 104.486.819,6
3
dengan API < 1/1000 penduduk
Jumlah kabupaten/kota
3.1 yang mencapai positivity
rate (PR) < 5%
Meningkatnya Porporsi kasus 10.486.222,0
4
kusta baru tanpa cacat
Persentase penderita
kusta yang
4.1 menyelesaikan
pengobatan kusta tepat
waktu
Meningkatnya Pencegahan dan 394.483.957,0
5
pengendalian penyakit menular
Persentase pengobatan 12.329.712 17.931.681 19.231.471
5.1 kasus pneumonia sesuai
standar
Persentase pengobatan
5.2 kasus diare sesuai
standar
Persentase
kabupaten/kota yang
5.3 melaksanakan deteksi
dini Hepatitis B dan C
pada populasi berisiko
Persentase pasien sifilis
5.4
yang diobati
Jumlah desa endemis 1.045.680,0 1.376.124,0 4.589.500,0
5.5 schitomiasis yang
mencapai eliminasi
Jumlah kabupaten/kota 9.640.824,0 14.500.000,0
5.6
eliminasi rabies
Persentase 92.072.920,0 90.747.340,0
kabupaten/kota dengan
5.7
Insiden Rate (IR) DBD ≤
10 per 100.000 peduduk
Jumlah kabupaten/kota 5.160.854,0 7.571.192,0 10.881.331,2
endemis filariasis berhasil
5.8
menurunkan angka
mikrofilaria < 1%
Jumlah kabupaten/kota 17.161.640,0 24.505.290,0 64.868.500,0
5.9 endemis filariasis yang
mencapai eliminasi

Sumber Data : Renja 2022

106 | P a g e
BAB IV
PEMANTAUAN, EVALUASI DAN PENGENDALIAN PROGRAM

A. Pemantauan
Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana
pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul
dan/atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin.

Bisnis Proses pemantauan

1. Perencanaan/ penganggaran
Termasuk didalamnya adalah terkait siklus perencanaan dan penganggaran.
Perencanaan disusun secara sistematik oleh K/L dan Bappenas
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan program dan kegiatan ((Renja-K/L) oleh Kementerian Lembaga
dan seluruh satuan kerja yang tersebar di seluruh Indonesia
3. Pemantauan
Pemantauan dilaksanakan oleh pelaksana Renja K/L secara berjenjang (Satker,
UKE-2, UKE-1, K/L). Data realisasi hasil pemantauan kemudian dilaporkan
melalui aplikasi e-Monev untuk kebutuhan pemantauan intervensi pemerintah
dalam kerangka pelaksanaan RKP
4. Pengendalian
Data realisasi hasil pemantauan digunakan sebagai informasi untuk
pengendalian pelaksanaan, baik dalam kerangka percepatan maupun kerangka
perbaikan tata Kelola pelaksanaan kedepannya
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan atas pelaksanaan Renja-K/L (intervensi pemerintah).
Evaluasi dilakukan untuk melihat sejauh mana intervensi pemerintah
berkontribusi pada pencapaian sasaran pembangunan Hasil evaluasi juga
digunakan untuk memperbaiki perencanaan dan tata Kelola pelaksanaan
mendatang

107 | P a g e
Pemantauan kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
dilakukan dengan menggunakan aplikasi e-Monev Bappenas, Smart DJA dan E-
performance.

Aplikasi e -Monev merupakan aplikasi yang mendukung pelaksanaan PP nomor 39


tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan, dimana Aplikasi e -Monev menekankan pada pelaporan data
pelaksanaan Renja -K/L guna mendukung pemantauan (meta), pengendalian, dan
evaluasi. Aplikasi e -Monev menghimpun data dengan pendekatan entri data yang
berpedoman pada kerangka logika, dan kerangka result/outcome, User entri data
diminta memahami bisnis proses, lingstra, tupoksi dan wewenang, sehingga data
yang dilaporkan mencerminkan pelaksanaan riil di lapangan. Aplikasi e -Monev
adalah aplikasi khusus untuk pelaksana Renja -K/L dan bukan merupakan
aplikasi yang ditujukan untuk khalayak publik /umum.

Bisnis Proses Aplikasi e-Monev

1. Pemantauan dilaksanakan selama tahun berjalan/tahun pelaksanaan Renja-


K/L
2. Pelaporan data realisasi kedalam aplikasi e-Monev di masing-masing bulan
selama tahun pelaksanaan
3. Verifikasi pelaporan data realisasi didalam aplikasi e-Monev oleh Biro
Perencanaan (mewakili kementerian /Lembaga) setiap triwulan

Pendekatan entri data aplikasi e-Monev

Output
Input Proses Outcome
(Rincian
(Komponen) (Komponen) (IKK dan IKP)
Output)

Gambar 4.1 Proses monitoring dan evaluasi

Aplikasi e-Monev menggunakan pendekatan kerangka logika dimana data yang


dientrikan di level komponen, RO dan indicator kinerja digunakan untuk menilai:

1. Apakah input sejalan dengan prosesnya;


2. Apakah proses mendukung pencapaian output; dan

108 | P a g e
3. Apakah output berkontribusi pada pencapaian outcome (indikator kinerja)

Entri data target/volume komponen ini dapat dilakukan dengan merujuk kepada:

1. Target/volume Rincian Output, baik rincian output (RO) Renja-K/L maupun


rincian output satker (RO Satker)
2. Jenis/karateristik pekerjaan dalam kerangka pencapaian RO
3. Pahami pekerjaan, apakah relasi RO komponen berupa tahapan atau bukan.

Informasi mekanisme pelaksanaan dan penerima manfaat (serta lokasi penerima


manfaat) merupakan informasi baru yang harus di entrikan oleh operator emonev
Bappenas dilakukan secara berkala bulanan dan di validasi oleh Operator level Unit
Utama di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan.

B. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam membandingkan
hasil yang dicapai dengan tolak ukur atau kriteria yang telah ditetapkan kemudian
dibuat suatu kesimpulan dan penyusunan saran pada setiap tahap dari
pelaksanaan program (Azwar, 1996). Evaluasi adalah

a. Cara sistematis untuk belajar dari pengalaman¬pengalaman yang dimiliki


dalam meningkatkan perencanaan yang baik dengan melakukan seleksi yang
cermat terhadap alternatif yang akan diambil;
b. Merupakan proses berlanjut dengan tujuan kegiatan pelayanan kesehatan
menjadi lebih relevan, efisien dan efektif;
c. Proses menentukan suatu keberhasilan atau mengukur pencapaian suatu
tujuan dengan membandingkan terhadap standar/ indikator menggunakan
kriteria nilai yang sudah ditentukan;
d. Didukung oleh oleh informasi yang sahih, relevan dan peka (WHO, 1990).

Tujuan evaluasi adalah meningkatkan mutu program, memberikan justifikasi atau


penggunaan sumber-sumber yang ada dalam kegiatan, memberikan kepuasan
dalam pekerjaan dan menelaah setiap hasil yang telah direncanakan. Tujuan
evaluasi antara lain:

a. Sebagai alat untuk memperbaiki dan perencanaan program yang akan datang;
b. untuk memperbaiki alokasi sumber dana, daya dan manajemen saat ini serta
dimasa yang akan datang;
c. memperbaiki pelaksanaan dan dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
program perencanaan kembali suatu program melalui kegiatan mengecek
kembali relevansi dari program dalam hal perubahan kecil yang terus-menerus
dan mengukur kemajuan target yang direncanakan.

109 | P a g e
Evaluasi secara umum dibedakan atas :

a. Evaluasi formatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat merencanakan


suatu program dengan tujuan menghasilkan informasi yang akan
dipergunakan untuk mengembangkan program agar program sesuai dengan
masalah atau kebutuhan masyarakat.
b. Evaluasi proses adalah proses yang memberikan gambaran tentang apa yang
sedang berlangsung dalam suatu program dan memastikan keterjangkauan
elemen fisik dan struktural dari program tersebut.
c. Evaluasi sumatif yaitu memberikan pernyataan efektif suatu program selama
kurun waktu tertentu dan dimulai setelah program berjalan
d. Evaluasi dampak program yaitu menilai keseluruhan efektifitas program
dalam menghasilkan target sasaran.
e. Evaluasi hasil yaitu menilai perubahan-perubahan atau perbaikan dalam hal
morbiditas, mortalitas atau indikator status kesehatan lainnya untuk
sekelompok penduduk tertentu.

Evaluasi dilakukan atas pelaksanaan Rencana Aksi Kegiatan Direktorat


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular berkontribusi pada pencapaian
sasaran program dan sasaran kinerja. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular dilakukan secara berkala setiap tiga bulanan
dilakukan dengan mengundang lintas sektor seperti Tim Kerja Program dan
Informasi Sekretariat Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
Biro Perencanaan dan Anggaran Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dan hasil evaluasi tersebut dapat digunakan
dalam perbaikan perencanaan dan tata kelola pelaksanaan kegiatan selanjutnya.

C. Pengendalian Program
Proses pengendalian manajemen adalah sebuah proses di mana semua tingkatan
Pimpinan menjamin bahwa orang-orang yang mereka pimpin telah menjalankan
strategi yang mereka maksud. Proses pengendalian manajemen memerlukan
perencanaan secara sadar (tidak otomatis) dan melibatkan interaksi di antara
pegawai.

Proses pengendalian terdiri atas tiga langkah yang meliputi mengukur kinerja
sebenarnya, membandingkan kinerja sebenarnya dengan standar, dan mengambil
tindakan manajerial untuk membetulkan penyimpangan atau standar yang tidak
memadai.

110 | P a g e
Dalam pelaksanaan pengendalian Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular mempunyai
peran untuk:

▪ Melakukan pemantauan terhadap pencapaian target kinerja Direktorat


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular;
▪ Melaporkan pencapaian target kinerja Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular;
▪ Melakukan analisis manajemen risiko pelaksanaan kegiatan di Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular;
▪ Melakukan identifikasi dan pengembangan pengandalian manajemen di
lingkungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular;
Secara umum pengendalian yang efektif mempunyai karakteristik sebagai berikut:

• Akurat (Accurate) Informasi atas kinerja harus akurat.


• Tepat Waktu (Timely) Informasi harus dihimpun, diarahkan, dan segera
dievaluasi jika akan diambil tindakan tepat pada waktunya guna menghasilkan
perbaikan.
• Objektif dan Komprehensif (Objective and Comprehensible) Informasi dalam
suatu sistem pengendalian harus mudah dipahami dan dianggap objektif oleh
individu yang menggunakannya.
• Dipusatkan pada Tempat Pengendalian Strategis (Focused on Strategic Control
Points) Sistem pengendalian strategis sebaiknya dipusatkan pada bidang yang
paling banyak kemungkinan akan terjadi penyimpangan dari standar, atau
yang akan menimbulkan kerugian yang paling besar. Selain itu, sistem
pengendalian strategis sebaiknya dipusatkan pada tempat di mana tindakan
perbaikan dapat dilaksanakan seefektif mungkin.
• Secara Ekonomi Realistik (Economically Realistic) Pengeluaran biaya untuk
implementasi harus ditekan seminimum mungkin sehingga terhindar dari
pemborosan yang tidak berguna. Usaha untuk meminimumkan pengeluaran
yang tidak produktif adalah dengan cara mengeluarkan biaya paling minimum
yang diperlukan untuk memastikan bahwa aktivitas yang dipantau akan
mencapai tujuan.
• Secara Organisasi Realistik (Organizationally Realistic) Sistem pengendalian
harus dapat digabungkan dengan realitas organisasi. Misalnya, individu harus
dapat melihat hubungan antara tingkat kinerja yang harus dicapainya dan
imbalan yang akan menyusul kemudian.
• Dikoordinasikan dengan Arus Pekerjaan Organisasi (Coordinated with the
Organization’s Work Flow)

111 | P a g e
BAB V
PENUTUP

Rencana Aksi Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Pennyakit Menular Tahun


2022 – 2024 merupakan Rencana Aksi Kegiatan yang disusun berdasarkan susunan
organisasi baru Kementerian Kesehatan, Renstra Revisi 2022 -2024 dan RAP Revisi
2022-2024. Rencana Aksi Kegiatan ini merupakan dokumen yang akan menjadi acuan
dalam perencanaan program, pelaksanaan dan evaluasi Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular.

Penyusunan dokumen ini melibatkan semua komponen di Direktorat


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular. Oleh karena itu kepada semua pihak
yang telah berkontribusi disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Harapan kami melalui penyusunan Rencana Aksi Kegiatan (RAK) Direktorat


Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, upaya dukungan manajemen
memberikan kontribusi yang bermakna dalam Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
khususnya dan umumnya pembangunan kesehatan.

112 | P a g e
LAMPIRAN

Lampiran I. Kerangka Logis Program

Metode pengelolaan program Direktorat Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Menular tertuang dalam kerangka logis (logical frame) sebagai berikut:

Logical Frame program Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Menular

VISI Mewujudkan Masyarakat Bebas Penyakit Menular yang Berkualitas

MISI 5. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit menular yang


berkelanjutan
6. Meningkatkan penemuan kasus penyakit menular
7. Meningkatkan pengobatan penyakit yang berkualitas
8. Meningkatkan sumber daya

Terwujudnya pencegahan, penemuan dan pengobatan penyakit menular


TUJUAN
yang berkualitas

SASARAN INDIKATOR

1. Meningkatnya penemuan a. Persentase orang dengan risiko


dan pengobatan HIV terinfeksi virus yang melemahkan
sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV

b. Persentase Orang dengan HIV


(ODHIV) baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART

2. Meningkatnya penemuan
Angka keberhasilan pengobatan TBC
dan pengobatan TBC

3. Meningkatkan jumlah Kab/ Jumlah kabupaten/kota yang mencapai


Kota dengan API<1/1000 positivity rate (PR) < 5%
penduduk

4. Meningkatnya proporsi Persentase penderita kusta yang


kasus kusta baru tanpa menyelesaikan pengobatan kusta tepat
cacat waktu

113 | P a g e
5. Meningkatnya pencegahan a. Persentase pengobatan kasus
dan pengendalian penyakit pneumonia sesuai standar
Menular penduduk
b. Persentase pengobatan kasus diare
sesuai standar

c. Persentase kabupaten/kota yang


melaksanakan deteksi dini Hepatitis
B dan C pada populasi berisiko

d. Persentase pasien sifilis yang diobati

e. Jumlah desa endemis schitomiasis


yang mencapai eliminasi

f. Jumlah kabupaten/kota eliminasi


rabies

g. Persentase kabupaten/kota dengan


Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per
100.000 penduduk

h. Jumlah kabupaten/kota endemis


filariasis berhasil menurunkan angka
mikrofilaria < 1%

i. Jumlah kabupaten/kota endemis


filariasis yang mencapai eliminasi

Lampiran II. Matriks Target Kinerja Dan Pendanaan


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, struktur organisasi
Kementerian Kesehatan mengalami restrukturisasi. Salah satu satuan kerja
yang terdampak dalam restrukturisasi tersebut yaitu Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik dan Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung.
Target kinerja program Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit yang merupakan program Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Langsung dan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik yakni:

114 | P a g e
Tabel Target Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2020-2024

TARGET
INDIKATOR PELAKSANA KETERANGAN
KINERJA 2020 2021 2022 2023 2024
PROGRAM
Menurunnya penyakit menular, penyakit tidak menular
serta meningkatnya kesehatan jiwa
1. Persentase 40 45 50 55 60 Direktorat Lanjut 2022 –
Orang Dengan Jenderal 2024
HIV-AIDS yang Pencegahan
menjalani Terapi dan
ARV (ODHA on Pengendalian
ART) Penyakit –

Direktorat
P2PML
2. Persentase 90 90 90 90 90 Direktorat Lanjut 2022 –
angka Jenderal 2024
keberhasilan Pencegahan
pengobatan TBC dan
(TBC succes Pengendalian
rate) Penyakit –
Direktorat
P2PML
3. Jumlah 325 345 365 385 405 Direktorat Berhenti
kabupaten/kota Jenderal
yang mencapai Pencegahan
eliminasi dan
malaria Pengendalian
Penyakit –

Direktorat
P2PTVZ

4. Jumlah 416 436 458 482 514 Direktorat Berhenti


kabupaten/kota Jenderal
dengan eliminasi Pencegahan
kusta dan
Pengendalian
Penyakit –

Direktorat
P2PML

5. Jumlah 80 93 106 150 190 Direktorat Berubah


kabupaten/kota Jenderal
endemis Pencegahan
filariasis yang dan

115 | P a g e
TARGET
INDIKATOR PELAKSANA KETERANGAN
KINERJA 2020 2021 2022 2023 2024
PROGRAM
mencapai Pengendalian
eliminasi Penyakit –

Direktorat
P2PTVZ

6. Jumlah 42 172 283 383 472 Direktorat Berubah


kabupaten/kota Jenderal
yang mencapai Pencegahan
eliminasi dan
penyakit infeksi Pengendalian
tropis Penyakit –
terabaikan
Direktorat
P2PML

Sejalan dengan arahan Presiden RI kepada Kementerian Kesehatan yang salah


satunya merupakan arahan terhadap transformasi sector kesehatan, yang
kemudian diterjemahkan sebagai reformasi system kesehatan nasional. Pada
tahun 2022, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
menetapkan target kinerja program yang telah disesuaikan berdasarkan
transformasi Kesehatan dan perubahan organisasi dan tata kerja Kementerian
Kesehatan. Penetapan target kinerja program Direktorat Jenderal Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit yang merupakan program Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular yaitu:

Tabel Target Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


Tahun 2022-2024

Sasaran Program Target Pelaksana


No (Outcome)/Sasaran Kegiatan Lokasi
(Output)/Indikator
2022 2023 2024

1 Sasaran Program: Menurunnya 34 Direktorat


Infeksi penyakit HIV Provinsi Jenderal
Pencegahan dan
Pengendalian
1 Persentase cakupan penemuan 45 50 60 Penyakit –
dan pengobatan kasus HIV Direktorat P2PM
(ODHA on ART)

2 Sasaran Program: Menurunnya 34 Direktorat


Insiden TBC Provinsi Jenderal
Pencegahan dan

116 | P a g e
Sasaran Program Target Pelaksana
No (Outcome)/Sasaran Kegiatan Lokasi
(Output)/Indikator
2022 2023 2024

1 Cakupan penemuan dan 90 90 90 Pengendalian


pengobatan kasus TBC Penyakit –
Direktorat P2PM
3 Sasaran Program: Meningkatnya 34 Direktorat
kabupaten/ kota yang mencapai Provinsi Jenderal
eliminasi malaria Pencegahan dan
Pengendalian
1 Jumlah kabupaten/kota yang 484 495 500 Penyakit –
mencapai API < 1/1000 Direktorat P2PM
penduduk

4 Sasaran Program: Meningkatnya 34 Direktorat


kabupaten/kota yang mencapai Provinsi Jenderal
eliminasi kusta Pencegahan dan
Pengendalian
1 Proporsi kasus kusta baru tanpa 89 90 90 Penyakit –
cacat Direktorat P2PM
5 Sasaran Program: Meningkatnya 34 Direktorat
pencegahan dan pengendalian Provinsi Jenderal
penyakit menular Pencegahan dan
Pengendalian
1 Persentase pengobatan penyakit 50 70 90 Penyakit –
menular pada Balita Direktorat P2PM
2 Persentase skreening penyakit 95 100 100
menular pada kelompok berisiko
3 Jumlah kabupaten/kota yang
mencapai eliminasi peyakit tropis 166 236 316
terabaikan

Dengan adanya perubahan struktur organisasi dan upaya menyelaraskan


target kinerja sesuai dengan arah transformasi kesehatan, maka Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular yang merupakan peleburan
kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan
Zoonotik dan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Langsung mempunyai target kinerja semula sebagai berikut:

117 | P a g e
Tabel Target Kinerja Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor dan Zoonotik Tahun 2020-2024

TARGET
NO INDIKATOR KINERJA
2020 2021 2022 2023 2024

I Meningkatnya Pencegahan dan Pengendalian


Tular Vektor dan Zoonotik
1 Jumlah kabupaten/kota yang mencapai API < 466 475 484 495 500
1/1.000 penduduk
2 Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 136 190 207 220 236
berhasil menurunkan angka mikrofilaria <1%
3 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥20% 55 73 110 147 184
puskesmas rujukan Rabies Center (RC)
4 Persentase kabupaten/kota yang mempunyai 70 75 80 85 90
IR DBD ≤ 49 per 100.000 penduduk
5 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki 25% 40 80 120 160 200
puskesmas yang melaksanakan surveilans
vector
6 Jumlah desa endemis schistosomiasis yang 11 15 19 24 28
mencapai eliminasi
II Meningkatnya tata kelola Manajemen
7 Nilai Kinerja Anggaran 80 83 85 88 90

8 Nilai Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran 90 93 94 96 98

9 Kinerja Implementasi WBK satker 70 72 75 77 80

Persentase Peningkatan kapasitas ASN 80% 45 80 85 90 95


10
sebanyak 20 JPL

Tabel Target Kinerja Kegiatan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Menular Langsung Tahun 2020-2024

TARGET
NO INDIKATOR KINERJA
2020 2021 2022 2023 2024

Menurunnya angka kesakitan dan


kematian akibat penyakit menular
langsung
1. Cakupan Penemuan dan Pengobatan 80 85 90 90 90
TBC (TBC Treatment Coverage)
2. Proporsi Kasus Kusta Baru tanpa Cacat
87 88 89 90 >90

3. Persentase ODHA Baru ditemukan 77 80 85 90 95


yang memulai pengobatan ARV

118 | P a g e
TARGET
NO INDIKATOR KINERJA
2020 2021 2022 2023 2024

4. Persentase kabupaten/kota yang 50%


puskesmasnya melakukan tatalaksana 50 52 55 57 60
Pneumonia
5. Persentase kabupaten/kota 80%
Puskesmasnya melaksanakan tatalaksana 51 58 66 73 80
diare sesuai standar
6. Persentase kabupaten/kota yang
melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan 85 90 95 100 100
atau C pada populasi berisiko
7. Jumlah kabupaten/kota dengan eradikasi
frambusia 42 172 283 393 514

Meningkatnya tata kelola Manajemen

Nilai Kinerja Anggaran 80 83 85 88 90

Nilai Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran 90 93 94 96 98

Kinerja Implementasi WBK satker 70 72 75 77 80

Persentase Peningkatan kapasitas ASN 80% , 45 80 85 90 95


sebanyak 20 JPL

Tahun 2022 Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular


terbentuk sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Karena itu Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular menetapkan target kinerja
dengan dasar indicator kinerja program pencegahan dan pengendalian penyakit
dan beberapa indicator kinerja kegiatan Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik dan Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung. Berikut target kinerja Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular beserta pendanaannya:

119 | P a g e
Tabel Target Indikator Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Tahun 2022 -2024
ANGGARAN
TARGET
NO
SASARAN KEGIATAN/
2022
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2022
2023 2024 (dalam ribu) 2023 2024
Kegiatan : Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular
1. Meningkatnya Penemuan dan 417.033.852,0 276.958.930 304.654.823
pengobatan kasus HIV
1.1 Persentase orang dengan risiko 80 85 90
terinfeksi virus yang
melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV
Persentase Orang dengan HIV 85 90 90
1.2 (ODHIV) baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART
Meningkatnya Penemuan dan 712.275.519,0 34.509.288.000,- 11.835.075.790.000,-
2
pengobatan kasus TBC
Angka keberhasilan 90 90 90
2.1
pengobatan TBC
Meningkatnya jumah kab/ Kota 13.686.686.000 41.036.860.000 104.486.819.600
3
dengan API < 1/1000 penduduk
Jumlah kabupaten/kota yang 374 394 414
3.1 mencapai positivity rate (PR) <
5%
Meningkatnya Porporsi kasus kusta 10.486.222,0
4
baru tanpa cacat
Persentase penderita kusta 90 90 90
4.1 yang menyelesaikan
pengobatan kusta tepat waktu
Meningkatnya Pencegahan dan 394.483.957,0
5
pengendalian penyakit menular
Persentase pengobatan kasus 50 70 95 12.329.712,0 17.931.681,0 19.231.471,0
5.1
pneumonia sesuai standar
Persentase pengobatan kasus 50 70 85
5.2
diare sesuai standar
Persentase kabupaten/kota 95 100 100
5.3
yang melaksanakan deteksi

120 | P a g e
ANGGARAN
TARGET
NO
SASARAN KEGIATAN/
2022
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2022
2023 2024 (dalam ribu) 2023 2024
dini Hepatitis B dan C pada
populasi berisiko
Persentase pasien sifilis yang 75 85 90
5.4
diobati
Jumlah desa endemis 19 24 28 1.045.680.000 1.376.124.000 4.589.500.000
5.5 schitomiasis yang mencapai
eliminasi
Jumlah kabupaten/kota 211 236 261 9.640.824,0 14.500.000,0
5.6
eliminasi rabies
Persentase kabupaten/kota 80 85 95 92.072.920,0 90.747.340,0
5.7 dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤
10 per 100.000 peduduk
Jumlah kabupaten/kota 207 220 236 5.160.854.000 7.571.192.000 10.881.331.200
endemis filariasis berhasil
5.8
menurunkan angka
mikrofilaria < 1%
Jumlah kabupaten/kota 106 150 190 17.161.640.000 24.505.290.000 64.868.500.000
5.9 endemis filariasis yang
mencapai eliminasi

121 | P a g e
Lampiran III. Indikator Kinerja, Definisi Operasional, Cara Perhitungan Per Indikator Dan Sumber Data

NO SASARAN KEGIATAN/ DEFINISI OPERASIONAL CARA PERHITUNGAN SUMBER


INDIKATOR KINERJA KEGIATAN
DATA
Kegiatan : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular
1. Meningkatnya Penemuan dan pengobatan
kasus HIV
1.1 Persentase orang dengan risiko Jumlah orang dengan risiko (Ibu Jumlah orang dengan risiko Guidance GAM
terinfeksi virus yang melemahkan hamil, pasien IMS, pasien TBC, WPS, terinfeksi virus yang 2022
sistem kekebalan tubuh manusia yang LSL, Penasun, WBP dan waria), melemahkan sistem kekebalan
mendapatkan skrining HIV terinfeksi virus yang melemahkan tubuh manusia yang
sistem kekebalan tubuh manusia mendapatkan skrining HIV
yang mendapatkan skrining HIV. dibagi target skrining orang
Angka ini menggambarkan orang yang berisiko yang ditetapkan
yang berisiko mengetahui status oleh Kabupaten/kota dan/atau
terinfeksi HIV secara dini. kementerian kesehatan pada
waktu tertentu di kali 100.

Jika target skrining


kementerian berbeda dengan
yang ditetapkan
kabupaten/kota, maka yang
akan digunakan adalah target
dari kabupaten/kota

Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) Jumlah orang dengan HIV yang baru Jumlah orang dengan HIV yang Laporan
baru ditemukan mendapatkan ditemukan masuk dalam layanan tes baru ditemukan masuk dalam PDP/Pengobat
pengobatan ART dan pengobatan yang memulai terapi layanan tes dan pengobatan an ARV (SIHA)
Antiretro virus (ART). Angka ini yang memulai terapi Antiretro
menggambarkan temuan kasus HIV virus (ART) dibagi jumlah orang
1.2 disuatu wilayah pada waktu tertentu dengan HIV yang baru
ditemukan masuk dalam
layanan tes dan pengobatan
dalam kurun waktu tertentu di
kali 100

Meningkatnya Penemuan dan pengobatan


2
kasus TBC

122 | P a g e
NO SASARAN KEGIATAN/ DEFINISI OPERASIONAL CARA PERHITUNGAN SUMBER
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN
DATA
Angka keberhasilan pengobatan TBC Jumlah semua kasus TBC yang Jumlah semua kasus TBC yang SITB
sembuh dan pengobatan lengkap di sembuh dan pengobatan
antara semua kasus TBC yang diobati lengkap dibagi semua kasus
2.1 dan dilaporkan dalam satu tahun. TBC yang diobati dan
dilaporkan dalam satu tahun
dikali 100 persen.

Meningkatnya jumah kab/ Kota dengan API <


3
1/1000 penduduk
Jumlah kabupaten/kota yang Hasil dari semua jenis pemeriksaan (n) Jumlah kasus yang positif Data Rutin/
mencapai positivity rate (PR) < 5% yang positif dibagi jumlah yang (d) Jumlah yang diperiksa
3.1 SISMAL
diperiksa

Meningkatnya Porporsi kasus kusta baru


4
tanpa cacat
Persentase penderita kusta yang Jumlah Penderita Kusta baru MB/PB Jumlah kasus baru MB/PB SIPK Kab/Kota
menyelesaikan pengobatan kusta tepat dari periode kohort 1 (satu) tahun yang menyelesaikan 12 dosis
waktu yang sama yang menyelesaikan dalam 12-18 bulan untuk MB
pengobatan tepat waktu dan 6 dosis dalam 6 – 9 bulan
untuk PB dibagi jumlah
4.1 (MB: 12 dosis dalam 12-18 bulan; PB seluruh kasus baru MB/PB
6 dosis dalam 6 – 9 bulan) dinyatakan
dalam persentase yang memulai MDT pada
periode kohort tahun yang
sama

Meningkatnya Pencegahan dan pengendalian


5
penyakit menular
Persentase pengobatan kasus Persentase kasus Pneumonia Balita Persentase kasus pneumonia PMK No.13
pneumonia sesuai standar yang ditemukan dan diberikan balita yang diberikan antibiotik Tahun 2022
pengobatan antibiotik = Jumlah kasus pneumonia tentang
5.1
balita yang diobati dengan Renstra
antibiotik dibagi dengan total Kemenkes

123 | P a g e
NO SASARAN KEGIATAN/ DEFINISI OPERASIONAL CARA PERHITUNGAN SUMBER
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN
DATA
kasus pneumonia balita yang Tahun 2022-
ditemukan di FKTP dikali 100 2024

Persentase pengobatan kasus diare Persentase balita diare yang Jumlah balita diare yang Laporan rutin
sesuai standar mendapat tatalaksana standar diobati sesuai standar dibagi Dinkes Prov
dengan pemberian oralit dan zinc seluruh balita diare yang
5.2
berkunjung ke fasyankes dikali
100

Persentase kabupaten/kota yang Persentase kabupaten/kota yang Jumlah Kabupaten/Kota yang


melaksanakan deteksi dini Hepatitis B melaksanakan kegiatan deteksi dini telah melaksanakan kegiatan
dan C pada populasi berisiko hepatitis B dan atau C pada kelompok deteksi dini hepatitis B dan
5.3 berisiko dalam kurun waktu 1(satu) atau C dibagi jumlah seluruh
tahun. kabupaten/kota yang ada di
Indonesia dikali 100

Persentase pasien sifilis yang diobati Jumlah pasien sifilis yang Jumlah pasien sifilis yang Lampiran
mendapatkan pengobatan sesuai mendapatkan pengobatan Proposal TA
dengan standar. Angka ini sesuai dengan standar dibagi Mentor 2022-
menggambarkan penemuan dan jumlah pasien sifilis yang 2023
5.4
pemutusan penularan sifilis pada ditemukan pada periode waktu
kelompok yang berisiko terinfeksi tertentu dikali 100
sifilis

Jumlah desa endemis schitomiasis Jumlah desa endemis Kumulatif jumlah desa Laporan hasil
yang mencapai eliminasi schistosomiasis yang berhasil endemis schistosomiasis yang survei
menurunkan prevalensi pada berhasil menurunkan pervalensi
5.5
manusia menjadi 0% prevalensi pada manusia Kementerian
menjadi 0% Kesehatan

Jumlah kabupaten/kota eliminasi Kabupaten/Kota yang tidak ada (Angka absolut) dari jumlah Laporan kasus
rabies kematian Rabies pada manusia dan kabupaten/kota yang tidak ada rabies pada
5.6 spesimen positif pada hewan dalam 2 kematian Rabies pada manusia manusia dan
(dua) tahun terakhir dan spesimen positif pada spesimen
positif hewan

124 | P a g e
NO SASARAN KEGIATAN/ DEFINISI OPERASIONAL CARA PERHITUNGAN SUMBER
INDIKATOR KINERJA KEGIATAN
DATA
hewan dalam 2 (dua) tahun dalam 2 tahun
terakhir terakhir dari
26 provinsi
endemis
rabies.

Persentase kabupaten/kota dengan IR DBD ialah indikator untuk menilai Jumlah kab/kota yang
Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 angka kesakitan akibat DBD dengan memiliki IR DBD ≤ 10 per
peduduk menghitung persentase 100.000 penduduk dibagi
kabupaten/kota yang mempunyai jumlah kab/kota di Indonesia
5.7
insidens rate (IR) DBD ≤ 10 per dikali 100%
100.000 penduduk pada satu kurun
waktu yang sama

Jumlah kabupaten/kota endemis Jumlah Kab/kota endemis yang telah Kumulatif jumlah Kab/kota Laporan Hasil
filariasis berhasil menurunkan angka melaksanakan POPM filariasis selama endemis yang telah survei evaluasi
mikrofilaria < 1% minimal 5 tahun dan berhasil melaksanakan POPM filariasis Prevalensi
menurunkan angka mikrofilaria <1% selama minimal 5 tahun dan angka
berhasil menurunkan angka Mikrofilari
mikrofilaria <1% (Pre-
5.8
Transmission
Assesment
Survey)
Kemterian
Kesehatan

Jumlah kabupaten/kota endemis Jumlah Kab/kota endemis yang telah Kumulatif Jumlah Kab/kota Laporan Hasil
filariasis yang mencapai eliminasi lulus survei evaluasi Penularan endemis yang telah lulus survei survei evaluasi
(Transmission Assesment Survey) evaluasi Penularan Penularan
5.9
tahap kedua (Transmission Assesment Kementerian
Survey) tahap kedua Kesehatan

125 | P a g e
Lampiran IV. Matriks Strategi Pencapaian Indikator
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
Kegiatan : Pencegahan
dan Pengendalian
Penyakit Menular
1. Meningkatnya 1. Peningkatan cakupan skrining HIV 2022 : 34 1.Koordinasi 2022 :
Penemuan dan pada ibu hamil menjadi 60% prov (514 1.1. Koordinasi Persiapan 417.033.852.000
34 Prov
pengobatan kasus HIV 2. Meningkatkan jumlah fasyankes kab/kota) Pelaksanaan
1.1 Persentase orang Program HIV AIDS 2023 :
yang melapor NPA menjadi 700 (514
dengan risiko 2023 : 34 dan PIMS 276.958.930.000
Fasyankes kab/kota)
terinfeksi virus prov (514 1.2. Koordinasi Lintas
yang 3. Peningkatan Notifikasi Pasangan kab/kota) Sektor/Lintas 2024 :
melemahkan dan anak di 242 kab/kota Program HIV AIDS 304.654.823.000
sistem kekebalan sebanyak 40.000 sasaran melalui 2024 : 34 dan PIMS
tubuh manusia NPA prov (514 2. Sosialisasi dan
yang kab/kota) Diseminasi Program HIV
4. Penyediaan reagen tes HIV
mendapatkan AIDS dan PIMS
sebanyak 4.000.000 untuk
skrining HIV 2.1. Sosialisasi Program
diagnostic HIV AIDS dan Sifilis
Persentase
Orang dengan 5. Penambahan 500 layanan mampu dan IMS
HIV (ODHIV) tes dan pengobatan HIV dan PIMS 3. Norma, standar,
baru ditemukan 6. Penyegaran tenaga kesehatan prosedur dan kriteria
mendapatkan dalam penanganan ODHIV secara 3.1. NSPK Pencegahan
pengobatan ART daring tiap 2 pekan dan Pengendalian
Penyakit HIV AIDS
7. Peningkatan cakupan
4. Pelayanan Publik kepada
pemeriksaan VL menjadi 30% Masyarakat
1.2 8. Edukasi penggunaan kondom 4.1. Pemeriksaan viral
sebagai alat pencegahan pada load dandiagnosis
populasi kunci bayi bumil dengan
9. Penyediaan kondom bagi ODHIV HIV
dan pasangan 4.2. Penanganan Kasus
ODHIV
5. Pelayanan Publik lainnya
5.1. Penemuan aktif
Kasus HIV dengan

126 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
Pelaksanaan Mobile
Tes
5.2. Surveilans Faktor
Risiko terkait HIV
dan IMS
5.3. Penguatan Kualitas
Layanan HIV dan
IMS
6. Data dan Informasi
Publik
6.1. Penyebaran
informasi terkait
Penyakit HIV AIDS
dan IMS
7. Sarana Bidang
Kesehatan
7.1 Pemenuhan Alat,
Reagen untuk
Skrining,
Diagnostik dan
Pemantauan
Pengobatatan HIV
AIDS dan PIMS
7.2 Pemeliharaan system
informasi penyakit
pencegahan dan
pengendalian
penyakit HIV AIDS
dan PIMS
8. Pelatihan
8.1 Workshop/orientasi
penambahan akses
layanan tes dan
pengobatan HIV dan
IMS
9. Fasilitasi dan Pembinaan
Pemerintah Daerah

127 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
Pendampingan/Fasilitatif
Program HIV dan IMS

Meningkatnya 1) Penguatan Kepemimpinan 1. Koordinasi 2022:


2 Penemuan dan Program TBC di Kabupaten/Kota 1.1. Koordinasi Program 711.426.119
pengobatan kasus TBC Pencegahan dan
Angka 2) Peningkatan Akses Layanan Pengendalian TBC
keberhasilan “TOSS-TBC” yang Bermutu 2. Norma, standar,
pengobatan TBC prosedur dan kriteria
3) Pengendalian Faktor Risiko 2.1. NSPK Pencegahan
4) Peningkatan Kemitraan melalui dan Pengendalian
Forum Koordinasi TBC TBC
3. Pelayanan Publik
5) Peningkatan Kemandirian kepada Masyarakat
Masyarakat dalam 3.1. Penemuan Kasus
TBC Aktif Berbasis
Penanggulangan TBC
Masyarakat
6) Penguatan Sistem kesehatan 4. Pelayanan Publik
lainnya
4.1. Distribusi Logistik
dalam Pengendalian
TBC
2.1
4.2. Surveilans aktif P2
TBC
5. Data dan Informasi
Publik
5.1. Media KIE P2 TBC
5.2. Media KIE Pnemonia
6. Sarana Bidang
Kesehatan
6.1. Sarana dan
Prasarana P2 TBC
7. Pelatihan
7.1. Workshop Skrining
dan Deteksi Dini
pada Kelompok
Berisiko untuk
Pengenddalian TBC

128 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
dalam Pelaksanaan
SPM TBC
8. Fasilitasi dan
Pembinaan Pemerintah
Daerah
8.1 Monitoring dan
Supervisi Program P2
TBC
Meningkatnya jumah 2022 : 18 1. Koordinasi 2022:
3 kab/ Kota dengan API < kab/kota 1.1. Koordinasi 13.686.686.000
48
1/1000 penduduk Percepatan Eliminasi
Jumlah kab/kota 2023 : 20 Malaria 2023:
kabupaten/kota kab/kota 2. Sosialisasi dan 41.036.860.000
yang mencapai Diseminasi
positivity rate 2024 : 20 2.1. Sosialisasi GERMAS 2024:
(PR) < 5% kab/kota menuju Eliminasi 104.486.819.600
Malaria
3. Norma, standar,
prosedur dan kriteria
3.1. NSPK Pencegahan
dan Pengendalian
Penyakit Malaria
4. Pelayanan Publik
kepada Masyarakat
3.1 4.1. Intensifikasi
penemuan kasus
baru dalam rangka
eliminasi Malaria
4.2. Intensifikasi
penemuan kasus
baru dalam rangka
eliminasi Malaria
tingkat provinsi
4.3. Intensifikasi
penemuan kasus
baru dalam rangka
eliminasi Malaria
provinsi Papua dan
Papua Barat

129 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
4.4. IRS/Indoor Residual
Spraying
4.5. Survei Darah Massal
Malaria
4.6. Survei Sentinel
Malaria Knowlesi
5. Data dan Informasi
Publik
5.1. Media KIE
Pencegahan dan
Pengendalian Malaria
6. Sarana Bidang
Kesehatan
6.1. Alat dan bahan
kesehatan
pencegahan dan
pengendalian
malaria
6.2. Pemeliharaan
SISMAL
7. Pelatihan
7.1. Pelatihan SDM
Malaria
8. Fasilitasi dan
Pembinaan Pemerintah
Daerah
8.1. Monitoring Evaluasi
dan Supervisi
Pencegahan dan
Pengendalian Malaria

Meningkatnya Porporsi 1. Penguatan Advokasi dan 514 2022 : 1. Koordinasi 2022:


4 kasus kusta baru tanpa Koordinasi Lintas Program dan Kabupaten 458 1.1. Koordinasi 9.186.722.000
cacat Lintas Sektor /Kota Kab/Kota pencapaian eliminasi
Persentase eradikasi penyakit
penderita kusta 2. Penguatan Peran Serta Masyarakat 2023 : tropis terabaikan
yang 2. Sosialisasi dan
4.1 dan Organisasi Kemasyarakatan 482
menyelesaikan Diseminasi
pengobatan Kab/Kota 2.1. Sosialisasi
pencegahan dan

130 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
kusta tepat 3. Penyediaan SDM 2024 : pengendalian
waktu 514 penyakit tropis
4. Penguatan Sistem Surveilans serta Kab/Kota terabaikan
3. Norma, standar,
5. Pemantauan dan Evaluasi prosedur dan kriteria
3.1. NSPK Pencegahan
dan Pengendalian
Penyakit Filariasis
dan kecacingan
4. Pelayanan Publik lainnya
4.1. Surveilans dan
deteksi dini penyakit
tropis terabaikan
4.2. Assessment
Eliminasi Kusta dan
Eradikasi Frambusia
5. Data dan Informasi
Publik
5.1. Media KIE P2 Kusta
dan Frambusia
6. Sarana Bidang
Kesehatan
6.1. Pemenuhan RDT
dan RPR untuk
Evaluasi
endemisitas dan
surveilans aktif
Frambusia
7. Pelatihan
7.1. Workshop P2 Kusta
dan Frambusia bagi
tenaga kesehatan
7.2. Pelatihan
Pencegahan dan
Pengendalian Kusta
Bagi Pengelola
Program Kusta
8. Fasilitasi dan Pembinaan
Pemerintah Daerah

131 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
8.1. Pendampingan,
Supervisi dan
Monitoring Evaluasi
Program P2 Kusta
dan Frambusia
Meningkatnya 1. Koordinasi
Pencegahan dan 1.1. Koordinasi
5 pelaksanaan
pengendalian penyakit
menular pencegahan dan
Persentase 1) Koordinasi Pelaksanaan P2 pengendalian 2022:
pengobatan Penyakit ISPA penyakit DBD dan 12.914.712.000
kasus Arbovirosis Lainnya
2) Advokasi dan Sosialisasi Program
pneumonia 1.2. Koordinasi
P2 Penyakit ISPA pelaksanaan
sesuai standar
3) Media Komunikasi, Informasi, pencegahan dan
edukasi Pencegahan dan pengendalian
Pengendalian Penyakit ISPA penyakit zoonosis
5.1 1.3. Koordinasi
4) Pengadaan Alat dan Bahan
Pelaksanaan
Kesehatan Pencegahan dan
Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit ISPA Pengendalian Diare
5) Pendidikan dan Pelatihan dan Penyakit ISP
Pencegahan dan Pengendalian 1.4. Koordinasi
Penyakit ISPA Pelaksanaan
Pencegahan dan
Persentase Pengendalian 2022: 2.012.710.000
pengobatan Pneumonia
5.2 2. Sosialisasi dan
kasus diare
sesuai standar Diseminasi
Persentase 1) Peningkatan kapasitas Pengelola 2.1. Sosialisasi dan 2022:
kabupaten/kota program dalam tatalaksana Diseminasi 226.610.138.000
yang pencegahan dan
termasuk dalam pencatatan dan
melaksanakan pengendalian
pelaporan. penyakit DBD dan
deteksi dini
5.3 Hepatitis B dan C 2) Penguatan surveilans aktif dan Arbovirosis Lain
pada populasi penemuan kasus aktif 2.2. Sosialisasi
berisiko 3) Peningkatan kapasitas tenaga Pencegahan dan
kesehatan dalam tatalaksana Pengendalian
Zoonosis
penyakit

132 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
4) Pemanfaatan teknologi informasi 2.3. Sosialisasi
5) Optimalisasi integrasi lintas Pencegahan dan
program Pengendalian
Hepatitis
2.4. Sosialisasi
Persentase 2022:
Pengobatan Diare
5.4 pasien sifilis 38.327.642.000
2.5. Sosialisasi
yang diobati
Pencegahan dan
Jumlah desa 1) Pengobatan selektif pada daerah Pengendalian 2022: 4.883.222.000
endemis dengan prevelensi rendah Penyakit
schitomiasis dilakukan pada mereka yang Pneumonia
yang mencapai 3. Norma, standar,
terinfeksi cacing, dan Pengobatan
eliminasi prosedur dan kriteria
massal, Pengobatan obat massal
3.1. NSPK pencegahan
dilakukan melalui pemberian obat
dan pengendalian
praziquantel pada kelompok penyakit DBD dan
berisiko (anak usia sekolah, usia Arbovirosis lainnya
prasekolah) anak-anak, 3.2. NSPK pencegahan
masyarakat di daerah endemis dan pengendalian
tinggi, orang dewasa dalam penyakit zoonosis
3.3. NSPK Pencegahan
pekerjaan melibatkan kontak
dan Pengendalian
dengan air yang terinfeksi)
Penyakit IMS
2) Peningkatan sarana water, 3.4. NSPK Pencegahan
5.5
sanitation and hygiene (WASH) dan Pengendalian
bertujuan untuk memutuskan Hepatitis
penularan telur cacing ke keong. 3.5. NSPK Pencegahan
3) Pengendalian keong bertujuan dan Pengendalian
Diare dan Penyakit
untuk menghilangkan keong
ISP
hospes perantara untuk memutus 3.6. NSPK Pencegahan
rantai penularan, melalui metode dan Pengendalian
pengendalian lingkungan, Pneumonia
pengendalian biologis, 4. Pelayanan Publik
pengendalian kimia dan lain lain. lainnya
4) Kolaborasi antar pemangku 4.1. Investigasi
Peningkatan Kasus
kepentingan lintas tingkat dan
dan Kejadan Luar
sektor dengan akuntabilitas yang
jelas untuk memastikan

133 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
pendekatan yang efektif dan Biasa penyakit DBD
sinergis dalam memberikan dan arbovirosis lain
intervensi. 4.2. Pelaksanaan POPM
Filariasis dan
Kecacingan
Jumlah 1) Penguatan surveilans vektor dan 4.3. Surveilans
2022: 10.086.595
kabupaten/kota kasus berbasis laboratorium Pencegahan dan
eliminasi rabies 2) Mengedepankan pencegahan dan Pengendalian
promotif Zoonosis
3) Penemuan kasus dini dan 4.4. Distribusi Logistik
penguatan tata laksana diseluruh dalam Pengendalian
fasyankes Hepatitis
4) Pengendalian faktor risiko secara 4.5. Skrining dan Deteksi
terpadu Dini P2 Hepatitis
5.6 5) Peningkatan sistem kewaspadaan 4.6. Respon Cepat KLB
dini dan respon cepat Penyakit Diare dan
penanggulangan KLB Penyakit Infeksi
6) Peningkatan kualitas dan Saluran Pencernaan
kuantitas SDM P2P Zoonosis Lainnya yang
7) Perencanaan logistik sesuai Berpotensi KLB
kebutuhan 4.7. Renkon Pandemi
8) Peningkatan komitmen, Influenza
koordinasi, kolaborasi, kontribusi 5. Data dan Informasi
dan sinergi multisektor Publik
9) Dukungan Regulasi 5.1. Media KIE DBD dan
Persentase 1) Penguatan manajemen vektor yang 34 Tahun penyakit Arbovirosis 2022 :
kabupaten/kota efektif, aman, dan Provinsi 2022 : 34 lainnya
dengan Insiden berkesinambungan Provinsi 5.2. Media KIE Penyakit 92.072.920,0
Rate (IR) DBD ≤ 514 kab / Tropis Terabaikan
2) Peningkatan akses dan mutu tata
10 per 100.000 kota Tahun 5.3. Media komunikasi, 2023 :
peduduk laksana Dengue
2023 : 34 informasi, edukasi
3) Penguatan surveilans Dengue yang
Provinsi pencegahan dan 90.747.930,0
5.7 komprehensif serta manajemen pengendalian
KLB yang responsif penyakit zoonosis 2024 :
4) Peningkatan pelibatan masyarakat Tahun
5.4. Media Komunikasi,
yang berkesinambungan 2024 : 34 Informasi, Edukasi
5) Penguatan komitmen pemerintah, Provinsi dan Promosi P2
kebijakan manajemen program, Hepatitis
dan kemitraan

134 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
6) Pengembangan kajian, invensi, 5.5. Media Komunikasi,
inovasi, dan riset sebagai dasar Informasi, Edukasi
kebijakan dan manajemen dan Promosi P2
Diare dan Penyakit
program berbasis bukti
ISP
6. Sarana Bidang
Kesehatan
6.1. Alat dan bahan
Jumlah kesehatan 2022: 22.740.170
kabupaten/kota pencegahan dan
endemis pengendalian
5.8 filariasis berhasil penyakit DBD dan
menurunkan Arbovirosis lainnya
angka 6.2. Alat dan bahan
mikrofilaria < 1% kesehatan
Jumlah 1) Pemberian Obat Pencegahan pencegahan dan 2022: 22.740.170
kabupaten/kota Massal (POPM) Filariasis pengendalian
endemis menggunakan regimen DA penyakit Filariasis
filariasis yang dan Kecacingan
(diethylcarbamazine citrate dan
mencapai 6.3. Alat dan bahan
eliminasi Albendazole) maupun regimen IDA
kesehatan
(Ivermectine, Diethylcarbamazine
pencegahan dan
citrate dan Albendazole) pengendalian
2) Tatalaksana kasus kronis filariasis penyakit zoonosis
3) Evaluasi penilaian penularan pada 6.4. Alat dan Bahan
kabupaten kota endemis yang Kesehatan
5.9 sudah selesai melaksanakan POPM Pencegahan dan
minimal 5 tahun berturut dengan Pengendalian
Penyakit IMS
cakupan minum obat diatas 65%
6.5. Pemenuhan alat dan
dari total jumlah penduduk setiap bahan untuk
tahunnya. Skrining, Diagnostik
P2 Hepatitis
6.6. Pemeliharaan Sistim
Informasi
Pencegahan dan
Pengendalian
Penyakit Arbovirosis
(SIARVI)

135 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
6.7. Pemeliharaan Sistim
Informasi
Pencegahan dan
Pengendalian
penyakit filariasis
dan kecacingan
(EFILCA)
7. Pelatihan
7.1. Pelatihan petugas
dan pengelola
program DBD dan
Arbovirosis lainnya
7.2. Pelatihan SDM
Pencegahan dan
Pengendalian
Filariasis,
Kecacingan, dan
Schistosomiasis
7.3. Workshop
Pencegahan dan
Pengendalian
penyakit Zoonosis
7.4. Workshop Pedoman
IMS kepada Tenaga
Kesehatan
7.5. Orientasi P2
Hepatitis
7.6. Orientasi P2 Diare
dan Penyakit ISP
7.7. Workshop P2
Pneumonia
8. Fasilitasi dan Pembinaan
Pemerintah Daerah
8.1. Monitoring Evaluasi
dan Supervisi
Surveilans DBD dan
penyakit Arbovirosis
lainnya

136 | P a g e
LOKUS TAHUN
SASARAN KEGIATAN/
N STRATEGI PENCAPAIAN PELAKSA KEGIATAN ANGGARAN
INDIKATOR KINERJA (Provinsi/
O NAAN
KEGIATAN Kab/Kota)
8.2. Monev dan Supervisi
Filariasis dan
Kecacingan
8.3. Monev dan Supervisi
Eliminasi
Schistosomiasis
8.4. Monev dan Supervisi
pencegahan dan
pengendalian
penyakit zoonosis
8.5. Pendampingan,
Supervisi dan
Monitoring Evaluasi
Program P2 Hepatitis
8.6. Monitoring dan
supervisi P2 Diare
dan Penyakit ISP
8.7. Pendampingan,
Supervisi dan
Monitoring Evaluasi
Program Pneumonia

137 | P a g e
TIM PENYUSUN
RENCANA AKSI KEGIATAN
DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR
TAHUN 2022 – 2024

Penanggung Jawab : Plt. Direktur P2PM


(dr. Tiffany Tiara Pakasi)
Koordinator : Kepala Subbag Administrasi Umum
(Bunga Mayung Datu Linggi, SKM, M. Kes)
Anggota : 1. Alan Dwi Krisnandi, SKM
2. Bella Agustina Noor Artiarini, SKM
3. Ratna Dilliana Sagala, SKM, MPH
4. dr. Febby Mayangsari
5. Lasmaria Marpaung, SKM, M.Kes
6. Anggun Lathifah Asmi, SKM
7. Anzala Khoirun Nisa, SKM
8. Nurul Muhafilah, SKM
9. Yatinawati, SKM, M.Epid
10. Femmy Imelia Pical, SKM
11. Johanes Eko Kristiyadi, SKM, MKM
12. drh. Zainal Khoirudin

138 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai