Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“Neglected Tropical Disease (NTD)”


FILARIASIS
Dosen Pengampu : Nur Hikmah Buchair, S.KM., M.Kes.

DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 4 :

DHEA PRAVITA SARI P101 21 119


DIAN RIDFANTI P101 21 126
FADLUN P101 21 133
ANDI REZKI NURUL AULIAH P101 21 149
AYUB ANTORINDO P101 21 162
FAHRIYATUL MUNAWWARAH P101 21 163

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga kami panjatkan kehadirat Illahi
Rabbi, atas berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah sebagai salah satu agenda
kegiatan akademis yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa/mahasiswi dalam
menyelesaikan studi di tingkat perkuliahan semester III (Tiga), adapun judul
dalam makalah ini adalah mengenai “Neglected Tropical Disease (NTD)”.

Dalam proses penyusunan makalah ini, kami banyak mendapatkan


bantuan, dukungan,serta do’a dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah
didalam kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih dengan penuh rasa
hormat serta dengan segala ketulusan hati kepada:

1) Kedua orang tua, atas curahan kasih sayang yang tiada henti, yang senantiasa
mendukung secara moril & materiil serta yang selalu mendo’akan kami
didalam menempuh pendidikan ini.
2) Dosen mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang dengan segala
keikhlasannya telah memberikan bimbingan, arahan, serta nasehat kepada kami
hingga terselesaikannya makalah  ini.

Sangatlah disadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan didalam


penyusunannya dan jauh dari kesempurnaan. Akhir kata semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat khususnya bagi kita semua.

                                                                            Palu, 24 November 2022

Kelompok 4
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu negara dikatakan baik apabila memperhatikan tiga aspek
kebutuhan dasar keberlangsungan kehidupan negaranya. Tiga aspek tersebut
yaitu pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Oleh karena kesehatan termasuk
kebutuhan dasar manusia dan menjadi prioritas bagi kehidupan pembangunan
maka negara harus membuat suatu hukum atau undangundang dalam
pelaksanaannya. Adanya undang-undang No. 36 Tahun 2009 yang mengatur
tentang kesehatan di Indonesia, 1 semakin membuktikan bahwa begitu
pentingnya kesehatan bagi masyarakat sehingga pemerintah pusat maupun
daerah berkewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penduduk
di wilayahnya. Satu dari beberapa penyakit tular vektor yang endemis saat ini
adalah filariasis (Marissa, et al., 2019).
Indonesia termasuk dalam 53 negara di dunia yang merupakan
wilayah endemis filariasis, dan satu-satunya negara di dunia yang
ditemukannya tiga spesies cacing filaria pada manusia yaitu: Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Filariasis atau penyakit kaki
gajah merupakan penyakit menular menahun oleh cacing filaria yang
menyerang saluran dan kelenjar getah bening, dan tergolong penyakit
neglected tropical diseases yaitu penyakit tropis yang terabaikan namun
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai belahan dunia
(Marissa, et al., 2019).
Filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit zoonosis menular
yang banyak ditemukan di wilayah tropika seluruh dunia. Di Indonesia,
filariasis merupakan salah satu penyakit endemis. Tingkat endemisitas di
Indonesia berkisar antara 0%-40%. Dengan endemisitas setiap provinsi dan
kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas dilakukan survey
darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Berdasarkan data dari
Subdit Filariasis Kementerian Kesehatan RI menunjukkan dari total 514
kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 278 kabupaten/kota (54%) yang tidak
endemis filariasis dan terdapat 236 kabupaten/kota (46%) yang endemis
filaria. Berdasarkan survey yang telah dilakukan didapatkan 162
kabupaten/kota telah selesai Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM)
dan masih ada 74 kabupaten/kota sementara melakukan POPM. Dari total 162
kabupaten/kota selesai POPM terdapat 30 kabupaten/kota telah menerima
sertifikat eliminasi sedangkan 132 kabupaten/kota lainnya pada tahap Pre-
TAS, TAS dan Surveilans (Afsahyana, et al., 2021).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi penyakit filariasis ?
2. Bagaimana epidemiologi penyakit filariasis ?
3. Bagaimana riwayat alamiah penyakit filariasis ?
4. Bagaimana mekanisme penularan penyakit filariasis ?
5. Apa saja upaya pencegahan dan pengendalian penyakit filariasis ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari penyakit filariasis.
2. Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit filariasis.
3. Untuk mengetahui riwayat alamiah penyakit filariasis.
4. Untuk mengetahui mekanisme penularan penyakit filariasis.
5. Untuk mengetahui upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
filariasis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Penyakit Filariasis
Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan infeksi cacing
filarial yang hidup di kelenjar getah bening (limfe) dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk. Di Indonesia, diketahui 3 spesies cacing filaria yaitu :
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyakit ini
menyerang saluran dan kelenjar getah bening dan kemudian dapat merusak
sistem limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula
mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup serta stigma sosial
bagi penderita dan keluarganya (Yuziani, et al., 2021).
Penyakit filariasis bersifat menahun (kronis) dan jarang
menimbulkan kematian pada penderitanya, tetapi dapat menurunkan
produktivas penderitanya karena timbulnya gangguan fisik dan akan
bergantung kepada orang lain dalam menjalankan aktivitasnya sehingga
menjadi beban keluarga dan menimbulkan kerugian ekonomi (Wahyudin, et
al., 2021).
2.2 Epidemiologi Penyakit Filariasis
Dalam epidemiologi ada tiga faktor yang dapat menerangkan
penyebaran (distribusi) penyakit atau masalah kesehatan yaitu orang (person),
tempat (place), dan waktu (time). Informasi ini dapat digunakan untuk
menggambarkan adanya perbedaan keterpaparan dan kerentanan. Perbedaan
ini bisa digunakan sebagi petunjuk tentang sumber, agen yang bertanggung
jawab, transisi, dan penyebaran suatu penyakit. Berikut akan dijelaskan
bagaimana kaitan penyakit filariasis berdasarkan orang, tempat, dan waktu
(Irwan, 2017).
1. Epidemiologi Berdasarkan Orang
Perbedaan sifat atau karakteristik orang secara tidak langsung
dapat memberikan perbedaan pada risiko terpapar penyakit. Penyakit
Filariasis ini dapat menyerang semua kelompok umur, dalam arti setiap
orang dapat tertular penyakit Filariasis ini apabila sering tergigit nyamuk
yang mengandung larva L3. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular
filariasis yang disebabkan oleh nyamuk infektif. Namun, tidak semua
orang dapat terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi
menunjukkan gejala klinis. Orang yang terinfeksi filariasis namun belum
menunjukkan gejala klinis umumnya sudah mengalami gangguan di
dalam tubuhnya.
2. Epidemiologi Berdasarkan Tempat
Lingkungan dapat memberikan pengaruh terhadap sekitar tempat
hidup organism sehingga dapat mempengaruhi distribusi kasus filariasis
dan mata rantai penularan filariasis. Daerah cakupan filariasis umumnya
sekitar hutan rawa, sungai-sungai yang ditumbuhi tanaman air, dan
genangan air kotor sebagai habitat dari vector yaitu nyamuk culex
quinquefasciatus.
3. Epidemiologi Berdasarkan Waktu
Waktu dapat mempengaruhi masa inkubasi, harapan hidup pejamu atau
agen dan durasi perjalanan penyakit. Misal pada Infeksi yang disebabkan
oleh cacing nematode Wuchereria bancrofti, Cacing betina menghasilkan
mikrofilaria yang dapat mencapai aliran darah dalam 6–12 bulan setelah
infeksi. mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari
(periodisitas nokturnal) dengan konsentrasi maksimal pada pukul 22.00
hingga 02.00.
2.3 Riwayat Alamiah Penyakit Filariasis
1. Prepatogenesis
Pada filariasis, fase ini terjadi ketika seseorang digigit nyamuk
yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya mengandung
larva stadium 3 (L3). Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif
sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya
sebagian saja dari penduduk di daerah endemik yang menjadi
mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak semua
kemudian menunjukkan gejala klinis. Nyamuk sendiri mendapat mikro
filarial karena menghisap darah penderita atau dari hewan yang
mengandung mikrofilaria. Nyamuk sebagai vektor menghisap darah
penderita (mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut
terhisap bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh
nyamuk microfilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk
dalam beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3, karenanya
diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi. Didalam tubuh
manusia larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi
cacing dewasa jantan atau betina serta bekembang biak. Di sini faktor
penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai
meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit.
2. Patogenesis
a) Fase Inkubasi
Fase ini disebut juga dengan pre-symtomatic, dimana
perubahan system dalam tubuh manusia (proses terjadinya sakit) telah
terjadi, namun perubahan tersebut tidak cukup kuat untuk
menimbulkan keluhan sakit dan pada umumnya pencarian pengobatan
belum dilakukan. Akan tetapi jika dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan alat-alat kesehatan seperti pemeriksaan mikroskopis
darah pada waktu malam hari, maka akan ditemukan mikrofilaria
dalam tubuh mereka. Begitu pula jika meminum obat Diethyl
Carbamazine Citrate (DEC) yang sedang digalakkan oleh pemerintah
dalam program eliminasi penyakit kaki gajah, akan timbul efek
samping seperti sakit kepala, sakit tulang atau otot, pusing, anoreksia,
muntah, demam, dan alergi yang menandakan terdapat microfilaria
dalam tubuh mereka.
b) Fase Klinis
Pada fase ini perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan
tubuh telah cukup untuk memunculkan gejala-gejala dan tanda-tanda
penyakit. Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
 Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila
istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.
 Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah
lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas
dan sakit.
 Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit
yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung
(retrograde lymphangitis).
 Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar
getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
 Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat
agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema) Sedangkan
gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran
yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada,
buah zakar (elephantiasis skroti).
c) Pasca Patogenesis
Merupakan tahap akhir dari fase klinis yang dapat berupa
fase konvalesens (penyembuhan) dan meninggal. Fase konvalesens
dapat berkembang menjadi sembuh total, sembuh dengan cacat atau
gejala sisa (disabilitas atau sekuele). Filariasis dapat disembuhkan jika
diobati sedini mungkin, namun jika tidak mendapatkan pengobatan
dapat mengakibatkan Disabilitas (kecacatan/ketidakmampuan) karena
terjadi penurunan fungsi sebagian struktur/organ tubuh, yaitu berupa
pembesaran kaki, lengan, glandula mammae, dan alat kelamin laki-
laki sehingga menurunkan fungsi aktivitas seseorang secara
keseluruhan.
2.4 Mekanisme Penularan Penyakit Filariasis
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila
orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung
larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil
(mikrofilaria) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria
atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan
penyakit kaki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh
nyamuk (vector) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia
(hospes) dan reservoir. Reservoir adalah manusia yang darahnya mengandung
mikrofilaria W. bancrofti, B. malayi (periodik) dan B. timori (Irwan, 2017).
Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang
didapatkannya ketika menggigit penderita filariasis), akan melepaskan
selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus perut tengah lalu
berpindah tempat menuju otot dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I
(L1).L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang membutuhkan waktu
12–14 hari.L3 kemudian bergerak menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk
yang mengandung L3 tersebut menggigit manusia, maka terjadi infeksi
mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut. Setelah tertular L3, pada tahap
selanjutnya di dalam tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana
L3 akan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan berkembangbiak menghasilkan
mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria
dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Aliran sekresi
kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk di suatu lokasi. Akibatnya
terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada daerah kaki, lengan
maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi
dan bakteri karena kurang terawatnya bagian lipatan-lipatan kulit yang
mengalami pembengkakan tersebut (R.N, 2018).
2.5 Upaya Pencegahan dan Pengendalian Filariasis
1. Pencegahan
Pencegahan penyakit Filariasis adalah dengan melakukan
penyuluhan (promosi kesehatan), tentunya hal ini dilakukan dengan
memberikan pendidikan kesehatan dan intervensi langsung pada
lingkungannya mengenai penyakit filariasis dan berusaha menghindarkan
diri dari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vector) misalnya
dengan menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah
dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau obat
nyamuk bakar, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara
memberantas nyamuk ; dengan membersihkan tanaman air pada rawa-
rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun,
mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan
nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah (Irwan, 2017).
2. Pengendalian
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun
2014 tentang Pencegahan Filariasis, pelaksanaan pengendalian filariasis
limfatik dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Pengendalian penyakit filariasis
limfatik dapat dilakukan dengan cara pemberian obat cacing dalam skala
besar (mass drug administration) di daerah endemis pemberian obat ini
harus secara adil dan merata disetiap wilayah. Pengobatan ini dapat
mengurangi jumlah parasit yang bersirkulasi di dalam darah penderita,
sehingga kemungkinan penyebaran penyakit menurun (Firmansyah, et al.,
2021).
Secara massal dilakukan didaeah endemis dengan menggunakan
obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan
Albenzol sekali setahun selama 5-10 tahun, untuk mencegah reaksi
samping seperti demam, diberikan Parasetamol ; dosis obat untuk sekali
minum adalah, DEC 6 mg/kg/berat badan, Albenzol 400 mg albenzol (1
tablet ) ; pengobatan missal dihentikan apabila microfilaria rate sudah
mencapai < 1 % ; secara individual / selektif; dilakukan pada kasus klinis,
baik stadium dini maupun stadium lanjut, jenis dan obat tergantung dari
keadaan kasus (Irwan, 2017).
Selain itu, terdapat strategi pengendalian nyamuk alternatif
berbasis komponen herbal yang ramah lingkungan, aman, dan tahan lama,
pengendalian ini menggunakan tanaman lokal sebagai pengusir nyamuk
yang efektif. Beberapa tumbuhan alami yang dijelaskan dalam layanan ini
memiliki senyawa kimia yang diketahui memiliki dampak fisiologis dan
perilaku, seperti racun, penolak, pencegah makan, pemikat, pengatur
perkembangan serangga, dan hormon. Bahan aktif dalam tanaman
tersebut akan mengganggu kemampuan nyamuk untuk mengenali zat
penarik manusia dengan menghalangi fungsi sensorik. Akibatnya, itu
akan melindungi individu dari gigitan nyamuk. Misalnya, minyak atsiri
yang diekstraksi dari berbagai tanaman telah terbukti sebagai penolak
yang efektif terhadap berbagai arthropoda hematofag, terutama nyamuk,
dan dengan demikian dianggap lebih ramah daripada senyawa sintetis
seperti piretroid. Beberapa tumbuhan lokal lainnya seperti Serai
(Cymbopogon citratus); Sereh (Cymbopogon nardus), Bawang Putih
(Allium sativum), Kemangi (Ocimum sanctum), dan Jeruk (Citrus
senesis), temuan tersebut menunjukkan kegunaan produk alami dalam
menekan nyamuk dan fitur kematiannya karena dianggap sebagai
pendekatan yang dapat diterima lingkungan dan ramah lingkungan untuk
program pengendalian nyamuk. Budidaya tanaman pengusir nyamuk ini
diproyeksikan dapat membawa manfaat multiguna, sebagai tanaman obat
dan sebagai tanaman pengusir nyamuk (Gelolodo, et al., 2022).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit kaki gajah / filariasis adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh cacing filarial yang ditularkan melalui berbagai jenis
nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan
pengobatan akan mengakibatkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,
tangan, glandula mammae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup
serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya.
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis yang disebabkan
oleh nyamuk infektif. Namun, tidak semua orang dapat terinfeksi filariasis
dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Orang yang
terinfeksi filariasis namun belum menunjukkan gejala klinis umumnya sudah
mengalami gangguan di dalam tubuhnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014
tentang Pencegahan Filariasis, pelaksanaan pengendalian filariasis limfatik
dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan melibatkan
peran serta masyarakat. Pengendalian penyakit filariasis limfatik dapat
dilakukan dengan cara pemberian obat cacing dalam skala besar (mass drug
administration) di daerah endemis pemberian obat ini harus secara adil dan
merata disetiap wilayah.

3.2 Saran
Di perlukan penyuluhan sedini mungkin kepada masyarakat sebagai
upaya pencegahan kejadian penyakit. Diharapkan pemerintah dan masyarakat
lebih serius dalam menangani kasus filariasis karena penyakit ini dapat
membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi beban
keluarga, masyarakat, dan negara. Kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat kami butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Afsahyana, Amisra, Hidayat, T. & Rohma, Y., 2021. Survei Evaluasi POPM
Filariasis di Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pancasakti Journal of Public Health Science and Research, 1(2), pp. 93-
94.

Firmansyah, Y. W. et al., 2021. Region-Based Lymphatic Filariasis Elimination in


Indonesia: A Review of the Bounce Back Case in Pekalongan Regency.
Jurnal Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan, 6(2), pp. 302-303.

Gelolodo, M. A., Almet, J. & Detha, A. I., 2022. Lymphatic Filariasis Control:
School-based One Health Initiative on The Usage of Local Plants as
Alternative Mosquito Repellants in Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara
Timur. INTERNATIONAL JOURNAL OF COMMUNITY SERVICE
LEARNING, 6(2), p. 180.

Irwan., 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. 1 ed. Yogyakarta: CV.


ABSOLUTE MEDIA.

Maulidah, R.N., 2018. FILARIASIS, Semarang: Unismuh Press.

Wahyudin, A., Ratianingsih, R. & Nacong, N., 2021. ANALISIS KESTABILAN


MODEL SEAK PADA PENYEBARAN PENYAKIT FILARIASIS.
Jurnal Ilmiah Matematika dan Terapan, 18(1), p. 118.

Yulindar. et al., 2019. EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN FILARIASIS


DARI ASPEK MANAJEMEN DI KABUPATEN ACEH JAYA
PROVINSI ACEH. Jurnal Penelitian Kesehatan , 6(2), pp. 102-103.

Yuziani, Rahayu, M. S. & Mellaratna, W. P., 2021. HUBUNGAN TINGKAT


PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN MASSAL
FILARIASISDI KECAMATAN BAKTIYA ACEH UTARA. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh, 7(1), pp. 96-97.

Anda mungkin juga menyukai