Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

JENIS-JENIS KECACINGAN DAN


PENATALAKSANAANNYA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing : dr. Musrifah Budi Utami Sp. PD

Diajukan Oleh:
Fernando Yudha Kusuma S.Ked
J 510185121

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
2

HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT
JENIS-JENIS KECACINGAN DAN PENATALAKSANAANNYA

Diajukan Oleh :
Fernando Yudha Kusuma, S.Ked
J 510185121

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari………………….

Pembimbing :
dr. Musrifah Budi Utami, Sp.P.D (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Musrifah Budi Utami, Sp.P.D (.....................................)

2
3

DAFTAR ISI

Halaman Judul...........................................................................................................1

Halaman Pengesahan.................................................................................................2

Daftar isi......................................................................................................................3

BAB I

Pendahuluan................................................................................................................4

BAB II

Askariasis....................................................................................................................6

Ankilostomiasis.........................................................................................................10

Oxyuriasis..................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................17

3
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
parasit berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat
sehingga sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan
gangguan kesehatan, tetapi dalam keadaan infeksi berat atau keadaan yang
luar biasa, kecacingan cenderung memberikan analisa keliru ke arah
penyakit lain dan tidak jarang berakibat fatal. (Margono, 2008)
Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai
infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan
nematoda usus. Diantara Nematoda usus ada sejumlah spesies yang
penularannya melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis STH
yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Trichuris trichuira dan
Ancylostoma duodenale (Margono et al 2006). Kecacingan ini umumnya
ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Penyakit ini biasanya
menyerang kelompok masyarakat ekonomi rendah dan ditemukan pada
semua golongan usia (WHO, 2011).
Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris,
mempunyaki saluran cerna yang berfungsi penuh, biasanya berbentuk
silindris serta panjangnya bervariasi dari beberapa milimeter hingga lebih
dari satu meter. Nematoda usus biasanya matang dalam usus halus, dimana
sebagian besar cacing dewasa melekat dengan kait oral atau lempeng
pemotong. Cacing ini menyebabkan penyakit karena dapat menyebabkan
kehilangan darah dan iritasi (Margono, 2008).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara membedakan jenis-jenis kecacingan?
2. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan pada kecacingan?

C. Tujuan Referat
Mengetahui berbagai macam jenis kecacingan dan cara
pengobatan yang tepat
D. Manfaat Referat

4
5

1. Peneliti dan pembaca dapat mengerti berbagai jenis kecacingan.


2. Peneliti dan pembaca dapat mengerti jenis obat yang tepat untuk
berbagai jenis kecacingan

BAB II
JENIS-JENIS KECACINGAN DAN TATALAKSANANYA

1. Askariasis
A. Definisi
Infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbrocoides yang
merupakan nematoda terbesar (panjang 20-40 cm)
B. Morfologi
Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara
Nematoda lainnya. Cacing betina memiliki ukuran besar dan panjang.
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan
berukuran 10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, kadang-
kadang sampai 39 cm dengan diameter 3-6 mm. Pada stadium dewasa

5
6

hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai


100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur
yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi
tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.
Ascaris lumbricoides memiliki 4 macam telur yang dapat dijumpai
dalam feses yaitu telur fertil (telur yang dibuahi), infertil (telur yang
tidak dibuahi), decorticated (telur yang sudah dibuahi tetapi
kehilangan lapisan albuminnya) dan telur infektif (telur yang
megandung larva) (Prianto et al., 2006).

C. Patofisiologi
Telur yang dikeluarkan di usus keluar bersama tinja, di lingkungan
embrio dalam telur berubah menjadi larva yang infektif. Apabila

6
7

manusia memakan telur yang infektif, larva akan keluar di duodenum


dan menembus dinding usus halus menuju v. Mesenterika, masuk ke
sirkulasi portal jantung kanan  paru ke jaringan alveolar 
bermigrasi ke saluran nafas atas hingga tertelan turun ke esofagus dan
menjadi dewasa di usus. Siklus hidup 2-3 bulan. Umur cacing 1 tahun.
Cacing memakan produk pencernaan dari penjamu  defisiensi zat
gizi

D. Manifestasi Klinis
gejala disebabkan karena:
1. Migrasi Larva (6-9 hari setelah memakan larva)
Organ yang paling sering dikenai adalah paru, hal ini disebabkan
karena proses patologis dan reaksi alergi berupa peningkatan
temperatur sampai 39-40o C, pernafasan cepat dan dangkal (tipe
asmatik), batuk kering atau berdahak (ditandai dengan kristal
charcot leyden), ronkhi atau whezing tanpa krepitasi (1-2 minggu)
ringan (petechial hemorrhage), berat menyebabkan edema 
pneumonitis ascaris. Lab: eosinofilia transien.
2. Cacing dewasa
a. Umum: demam, rasa tidak enak di perut, kolik akut pada
daerah epigastrium, penurunan nafsu makan, mual, diare atau

7
8

konstipasi akibat terjadinya peradangan dinding usus. Bisa


malabsorbsi usus dan obstruksi: apabila menggumpal
b. Hasil metabolisme cacing  dapat menimbulkan fenomena
sensitisasi seperti urtikaria, asma bronkial, conjungtivitis akut,
fotofobia kadang hematuri.
c. Apabila cacing migrasi ke organ lain dapat menimbulkan
obstruksi: saluran empedu (biliary kolik, kolesistitis,
kolangitis), apendiks, bronkus, liver (abses) esofagus (muntah,
cacing paling ditakuti karena bisa menyebabkan obstruksi
jalan nafas.

E. Penegakan Diagnosis
Ditemukan cacing atau telur cacing pada feses. Beratnya infeksi
dapat dinilai berdasarkan jumlah telur dalam feses dengan metode
kato-katz. WHO mendefinisikan infeksi berat bila ditemukan > 50.000
telur/gram feses. Pada stadium larva didapatkan kadar eosinofil yang
tinggi.

F. Penatalaksanaan
Obat pilihan adalah albendazol 400 mg atau mebendazol 500 mg
dosis tunggal. Obat alternatif adalah levamisol 2,5 mg/kg atau pirantel
pamoat 10 mg/kg dosis tunggal. Penanganan komplikasi meliputi
pemberian prednisolon pada loffler’s syndrome, pada obstruksi
intestinal dilakukan pemasangan nasogastric tube, cairan intravena,
analgesik dan bila gagal diperlukan intervensi bedah.

G. Prognosis
Bonam, sejauh ini tidak ada cacing dewasa yang bermigrasi. Tanpa
pengobatan dapat sembuh sendiri dalam 1,5 tahun.

H. Konseling dan Edukasi


1. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
2. Menutup makanan
3. Memiliki jamban keluarga
4. Tidak menggunakan tinja manusia sebagai pupuk
5. Kondisi rumah dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab
6. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah

8
9

2. Ankilostomiasis
A. Definisi
Penyakit cacing tambang pada manusia disebabkan oleh Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale. A. Duodenale ukuran cacing
lebih besar menghasilkan telur 10.000-25.000 telur/hai, sedangkan N.
Americanus 10.000-20.000 telur/hari. Telur cacing tambang terdiri
atas satu dinding tipis dan adanya ruang yang jelas antara dinding dan
sel didalamnya.

B. Morfologi
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua
spesies cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di
rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan 10.000-25.000 butir
telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing
jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau
C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing
akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur
tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3
hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus
kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah.
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron,
berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat
beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron,
sedangkan larv filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron.
Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke
paru-paru.
Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus
lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk
ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila
larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan

9
10

C. Patofisiologi
Dalam kondisi yang optimal (23-33) telur akan menetas di tempat
yang lembab dan basah, dalam 2 hari menjadi larva Rhabditiform,
setelah 2 kali perubahan akan membentuk larva Filariform. (telur 
filari: 5-10 hari). Larva menembus kulit manusia dan masuk ke
sirkulasi melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli.
Bermigrasi ke saluran nafas atas hingga tertelan dan menjadi dewasa
di usus halus. Infeksi Filariform bisa menembus melalui kulit
(Necator americanus) atau tertelan (Ancylostoma duodenale). Yang
tertelan tidak punya siklus paru. Hookworm akan menempel ke
dinding usus menggunakan buccal teeth (Ancylostoma duodenale)
atau cutting plates (Necator americanus. Masa hidup: 6-8 tahun
(Ancylostoma duodenale) dan 2-5 tahun (Necator americanus).

D. Manifestasi Klinik
1. Migrasi Larva
Sewaktu menembus kulit, bakteri pyogenik dapat ikut masuk,
menimbulkan rasa gatal pada kulit (ground itch) dan

10
11

makulopapular dermatitis. Creeping eruption (cutaneus larva


migrans).
2. Cacing dewasa
Umumnya hidup pada 1/3 usus halus. Gangguan klinis yang sering
terjadi tergantung berat ringannya gejala.
1. Gangguan gastrointestinal pada daerah disekitar duodenum,
jejenum dan ileum. Gangguan: nyeri epigastrium, inflammatory
diare
2. Akibat infeksi kronik: anemia hipokromik mikrositik dan
hipoproteinemia, pada pemeriksaan intake Fe kurang, lemah
dan sesak
Bila penyakit berlangsung kronik  timbul anemia,
hipoalbuminemia dan edema. Hb rendah dihubukan dengan gagal
jantung dan kematian tiba-tiba. Kehilangan darah: Necator
americanus 0,05 ml/cacing/hari dan Ancyloma duodenale 0,16-
0,34/cacing/hari

E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis berdasarkan ditemukan telur yang khas pada feses.
Dengan metode kato-katz atau McMaster, dapat diperkirakan beratnya
infeksi dengan menghitung banyaknya telur per gram feses pada
sampel yang diambil selama beberapa hari. Infeksi berat bila
didapatkan > 4000 telur per gram feses.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksaan ditunjukkan untuk eliminasi parasit dan mengatasi
anemia. Albendazol 400 mg dosis tunggal menghasilkan kesembuhan
80% dan dosis 200 mg/hari selama 3 hari memberikan kesembuhan
100%. Alternatif lain adalah mebendazol 500 mg dosis tunggal
pirantel pamoat 10 mg/kg selama 3 hari. Penanganan anemia dengan
memberika ferous sulfat atau ferous glukonat per oral 200 mg 3x1 dan
dilanjutkan setial 3 bulan setelah kadar hb normal dicapai untuk
mempertahankan cadangan besi. Pada kebanyakan kasus kada hb
meningkat 1 gram per minggu. Perlu juga diberikan asam folat 5 mg
per hari selama 1 bulan.

11
12

G. Prognosis
Bonam

H. Konseling dan Edukasi


1. Pemberantasan sumber infeksi pada populasi
2. Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi/lingkunan
3. Mencegah terjadinya kontak dengan larva

3. Oxyuriasis
A. Definisi
Infeksi yang disebabkan oleh cacing Oxyuris vermicularis,
Enterobius vermicularis, Thread pin, atau Seat worm. Infeksi ini lebih
sering ditemukan pada anak-anak dan banyak terjadi dalam satu
keluarga atau institusi seperti sekolah. Panjang cacing betina 8-13 mm
dan cacing jantan 2-5 mm. Cacing betina dapat bertelur 11.000 telur.

B. Morfologi
Telur lonjong, salah satu sisi datar, sisi lainnya melengkung,
50x25μ, dinding 2 lapis, warna bening, isi : embrio/larva. cacing
kepala mempunyai cephalic alae, bulbus esofagus besar. Jantan p=2-5
mm, ekor melingkar ke ventral, spikulum (+). Betina p=10 mm, ekor
runcing seperti jarum

12
13

C. Manifestasi Klinis
1. Rasa gatal di sekitar anus
2. Rasa gatal di malam hari sehingga mengganggu waktu tidur
3. Nafsu makan berkurang, berat badan menurun
4. Kulit di sekitar anus menjadi lecet atau infeksi (biasanya akibat
garukan)

D. Patofisiologi
Manusia memakan tekur infektif (yang telah dibuahi)  menetas
di sekum dan berkembang menjadi cacing dewasa. Siklus hidup 1
bulan. Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan mati dan
dikeluarkan bersama tinja. Cacing betina gravid umumnya malam hari
akan turun ke bagian bawah kolon dan keluar melalui anus. Telur akan
diletakkan di perianal dan kulit perineum. Kadang cacing betina dapat
bermigrasi ke vagina. Setelah meletakkan telur, cacing kembali ke
dalam usus.
Terdapat 4 cara infeksi:
1. Langsung dari anus ke mulut melalui tangan
2. Melalui tempat atau alat di sekitar penderita (bantal, guling, sprei,
dll)

13
14

3. Melalui udara, telur di udara terhirup saat membersihkan tempat


tidur
4. Retroinfection, cacing menetas di sekitar anus dan larva yang
keluar masuk kembali ke dalam usus melalui anus

E. Penegakan Diagnosis
Dari anamnesis
1. Rasa gatal di sekitar anus
2. Penurunan nafsu makan, aoreksia, badan kurus
3. Vaginitis pada perempuan
4. Cacing dewasa: nyeri perit, mual, muntah, diare
Pemeriksan:
1. Anal swab pada pagi hari sebelum BAB, periksa di mikroskop
2. Melihat anus di malam hari  menemukan cacing dewasa sedang
keluar untuk bertelur
3. Ditemukan telur yang khas di dalam feses

F. Penatalaksanaan
Obat pilihan pertama adalah albendazol 400 mg dosis tunggal. Dapat
pula diberikan mebendazol 100 mg atau pirantel pamoat 10 mg/kg
berat badan dosis tunggal. Terapi dapat diulang setiap 6 minggu
sampai lingkungan bersih dan semua anggota keluarga sebaiknya
diterapi untuk mencegah re infeksi.

G. Prognosis
Bonam

H. Konseling dan Edukasi


1. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
2. Menutup makanan
3. Memiliki jamban keluarga
4. Tidak menggunakan tinja manusia sebagai pupuk
5. Kondisi rumah dijaga agar tetap bersih dan tidak lembab
6. Menggunakan sarung tangan jika mengelola limbah

14
15

DAFTAR PUSTAKA

1. Brooker S, Bundy DAP. Soil-transmitted helminths (geohelminths). In:


cook GC, zumla al (eds). Manson’s Tropical Diseases. 22nd ed.
Philadephia: Saunders Elsevier. 2009. P. 1515-48.

2. Alelign T, Degarege A, Erko B. 2015. Soil-transmitted helminth infections


and associated risk factors among schoolchildren in Durbete Town
Northwestern Ethiopia. J Parasitol. 2015(March 2010):1–6.

3. Bianucci R, Torres EJL, Santiago JMFD, Ferreira LF, Nerlich AG, Souza
SMMD, et al. 2015. Trichuris trichiura in a post-colonial Brazilian
mummy. Mem Inst Oswaldo Cruz. 110(1):145–147.

4. Freeman MC, Chard AN, Nikolay B, Garm JV, Okoyo C, Kihara J, et al.
2015. Associations between school- and household-level water, sanitation
and hygiene conditions and soil-transmitted helminth infection among
Kenyan school children. Parasites & Vectors. 8(1):412.

5. Gabrie JA, Rueda MM, Canales M, Gyorkos TW, Sanchez AL. 2014.
School hygiene and deworming are key protective factors for reduce
transmission of soil transmitted helminths among schoolchildren in
Honduras. Parasit &Vektors.7:354.

6. Graham SR, Carlton C, Jamison B. 2011. The benefit of using geographic


information systems as a community assessment tool. Public Health Rep.
126(2):298-303.

7. Hairani B, Waris L, Juhairiyah. 2014. Prevalensi Soil Transmitted


helminth (STH) pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Malinau Kota
Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Buski. 5(1): 43-48.

8. Kattula D, Sarkar R, Ajjampur SSR, Minz S, Levecke B, Muliyil J, et al.


2014. Prevalence & risk factors for soil transmitted helminth infection
among school children in south India. Indian J. Med. Res. 139(1):76-82.

9. Kemenkes RI. 2014. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas


pelayanan kesehatan primer. Jakarta: Depkes RI.

15
16

10. Safar R. 2010. Parasitologi kedokteran protozoologi, helmintologi,


entomologi. Bandung: Yrama Widya.

11. Siswanto, Susila, Suyanto. 2013. Metodologi penelitian kesehatan dan


kedokteran. Yogyakarta: Bursa Ilmu.

12. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. 2012. Buku ajar
infeksi & pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI.

13. WHO. 2011. Manual of basic techniques for a health laboratory (2nd).
Geneva: WHO.

16

Anda mungkin juga menyukai