‘‘SCHISTOSOMA JAPONICUM ’’
Dosen Pengampuh
Disusun oleh :
KELOMPOK 2
KELAS A
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya karena atas izin dan bimbingannya penulisan makalah ini dapat berjalan
dengan baik.
Tak lepas dari itu, menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan tata bahasa
yang tedapat dalam makalah ini. karena itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari
pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.
Penyusunan makalah ini, kami harapkan dapat memberikan informasi dan manfaat
bagi siapapun yang membacanya.
Penyusun
KELOMPOK 2
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusann Masalah . ................................................................................ 2
1.3 Tujuan.................... ................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
2.1 Sejarah Singkat Schistosoma Japonicum................................................... 3
2.2 Epidemiologi Schistosoma Japonicum...................................................... 3
2.3 Morfologi dan Siklus Hidup Schistosoma Japonicum............................... 4
2.4 Patogenesis dan Gejala Klinis Schistosoma Japonicum............................ 7
2.5 Faktor-Faktor Penyebab Schistosoma Japonicum..................................... 9
2.6 Diagnosa, Pencegahan, dan Pengobatan Schistosoma Japonicum............ 9
BAB III PENUTUP................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 13
3.2 Saran.......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah sejarah singkat dari Schistosoma japonicum?
2. Bagaimanakah epidemiologi Schistosoma japonicum?
3. Bagaimana morfologi dan siklus hidup Schistosoma japonicum?
4. Bagaimanakah patogenesis dan gejala klinis dari Schistosoma japonicum?
5. Apa saja faktor-faktor penyebab Schistosoma japonicum?
6. Bagaimanakah diagnosa, pencegahan dan pengobatan Schistosoma japonicum?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dari makalah ini
adalah untuk:
1. Mengetahui sejarah singkat dari Schistosoma japonicum.
2. Mengetahui epidemiologi Schistosoma japonicum.
3. Mengetahui morfologi dan siklus hidup Schistosoma japonicum.
4. Mengetahui patogenesis dan gejala klinis dari Schistosoma japonicum.
5. Mengetahui faktor-faktor penyebab Schistosoma japonicum.
6. Mengetahui diagnosa, pencegahan dan pengobatan Schistosoma japonicum.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
mendapatkan terapi. Di samping itu tujuan jangka panjang dari program ini adalah
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari penyakit infeksi ini. .
Penelitian skistosomiasis di Indonesia telah dimulai pada tahun 1940, yaitu sesudah
ditemukannya kasus skistosomiasis di Tornado, dataran tinggi Lindu, kecamatan Kulawi,
kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada tahun 1935. Pada tahun 1940, Sandground dan
Bonne mendapatkan sekitar 53% penduduk Lindu positif 176 orang yang diperiksa. Pada
penelitian selanjutnya, Bone dkk menemukan bahwa rusa dan anjing terinfeksi juga oleh
skistosomiasis. Survei secara menyeluruh pada tahun-tahun berikutnya menemukan
prevalensi di 5 desa di dataran tinggi Lindu sebesar 57,1 % di desa Anca, 42,4% di Tornado,
30 % di desa Langko, 11,7% di desa Puroo dan di desa Owo 61,1%, Pada daerah tersebut
didapatkan siput yang bertindak sebagai hospes perantara yaitu Oncomelania hupensis
lindoensis di daerah persawahan yang tidak digarap lagi di desa Paku. Selain manusia,
ternyata terdapat beberapa hewan mamalia yang juga terinfeksi skistosomiasis yaitu sapi
(Bos sundaicus) , kerbau (Bubalus bubalis), Kuda (equus cabalus), Anjing (canis
familiaris), Babi (Sus sp), Musang (Vivera tungalunga), rusa (Cervus timorensis), dan
berbagai jenis tikus (Rattus exula, R. marmosurus, R.norvegicus, R.palellae). Selain di
daerah Lindu juga terdapat daerah lain yang menjadi daerah endemis skistosomiasis yaitu
dataran tinggi Napu. Daerah Napu mempunyai luas daerah yang jauh lebih besar daripada
daerah Lindu. Secara keseluruhan penduduk yang berisiko untuk tertular sekitar 15.000
orang.
4
Gambar 1. Telur Schistosoma japonicum
Cacing betina bentuk tubuhnya langsing dan panjang, panjang tubuhnya dapat
mencapai 26 mm, serta memiliki uterus yang berisi telur dengan bentuk yang khas.
Telur
Telur S. japonicum berbentuk bulat dan berukuran 70-100 x 50-65 mikron, lebih kecil
daripada ukuran telur spesies yang lain. Ciri khas dari telur organisme tersebut memiliki
spina yang rudimenter (knob) pada bagian lateral. Tidak memiliki operculum dan ketika telur
5
keluar dari tubuh hostnya bersama feses telah berisi embrio sempurna larva stadium pertama
(mirasidium) yang berambut getar (cilia).
Jumlah telur yang diproduksi S.japonicum lebih banyak dibandingkan dengan spesies
yang lain yaitu sekitar 1500-3000 telur setiap hari.
Hospes Perantara
Dalam siklus hidup schistosoma memerlukan satu hospes perantara. Hospes perantara
skistosomiasis ini adalah keong, dimana setiap spesies dari Schistosoma memiliki hospes
perantara keong yang berbeda-beda spesies. Hospes perantara dari S.mansoni adalah siput air
tawar yaitu berbagai spesies dari Biomphalaria spp dan Australorbis spp, S. haematobium
dan hospes perantaranya adalah siput air tawar Bulinus spp dan Physopsis spp.
S.intercalatum hospes perantaranya Bulinus spp. S. mekongi hospes perantaranya adalah
Tricula aperta. Dan hospes perantara S.japonicum adalah berbagai subspecies Ocomelania
yang merupakan siput amphibious (hidup di habitat yang basah dan terlindung dari sinar
matahari ). Hospes perantara S, Japonicum di Cina adalah Oncomelania hupensis hupensis,
di Jepang O.h. nosophora, di Filipina O.h. quadrasi sedangkan di Indonesia adalah O.h.
lindoensis.
Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup di vena mesenterica inferior di sekitar intestinum tenue → telur
menembus jaringan submukosa intestinum → masuk ke dalam lumen usus dan keluar dari
tubuh bersama tinja → di dalam air telur menetas → keluar mirasidium → masuk ke hospes
6
perantara → berkembang menjadi sporokista → keluar dari hospes perantara → menjadi
cercaria → penetrasi ke kulit manusia → ikut sirkulasi darah → menuju jantung, paru-paru,
kembali ke jantung → masuk sirkulasi darah arteri → menjadi dewasa di vena mesenterica.
Cacing dewasa dapat berumur 5 – 6 tahun.
7
Pada kulit : hanya reaksi lokal yang ringan, pada jaringan kulit terjadi infiltrasi
selluler. Spesies non manusia dapat menimbulkan dermatitis cercaria (swimmer’s
itch).
Pada paru-paru : terjadi rangsang traumatis dan infiltrasi, kadang-kadang dengan
haemorrhage, gejala batuk-batuk, dan nyeri di dada.
Pada hati : dapat timbul hepatitis akut selama larva mengalami pertumbuhan di
dalam cabang-cabang vena portae dalam hepar. Pada stadium sistemik ini akan
terjadi gejala panas, menggigil, sakit kepala, leukositosis, dan eosinophilia.
Stadium Oviposition, yakni apabila telur sudah cukup banyak dikeluarkan cacing betina
migrasi ke cabang-cabang vena mesenterica yang lain. Penimbunan telur dalam jaringan
selama 1-18 bulan disebut katayama disease atau katayama syndrom. Telur dapat terbawa
oleh sirkulasi darah sampai ke vena portae di dalam hati dan dapat menembus keluar
pembuluh darah masuk ke jaringan hati dan menyebabkan pseudo abses. Gejalanya dapat
berupa panas, lemah, sakit kepala, urticaria, berat badan menurun, sakit di daerah hati,
hepatomegali, diare dengan darah atau lendir.
Stadium proliferasi dan penyembuhan (> 1,5 tahun), yakni dengan terbentuknya
pseudo abses dan pseudo tubercle di sekitar telur, terbentuklah proliferasi jaringan
pengikat sehingga terjadi fibrosis yang menyebabkan sirosis hepatis hingga dapat terjadi
asites dan varises di oesophagus dan lain-lain.
Gejala Kulit dan Alergi, yakni gejala yang tampak antara lain petekie dengan udema
dan pruritus, ruam makulopapular (swimmer itch) dapat timhul selama 36 jam atau lebih.
Bila jumlah sekaria yang menembus kulit banyak, maka dapat terjadi dermatitis serkarial.
Dermatitis serkarial lebih banyak ditemukan pada infeksi S. Japonicum dibandingkan
dengan spesies yang lain. Selain itu dapat terjadireaksi alergi yang disebabkan oleh hasil
metabolik skistosomula atau cacing dewasa atau dari protein asing yang disebabkan
adanya cacing dewasa yang mati. Manifestasi klinisnya dapat berupa urtikaria atau edema
angioneurotik dan dapat disertai demam. Kira-kira 22 % penderita menunjukkan gejala
urtikaria dan 18% menunjukan edema angioneurotik kira-kira 10 hari setelah timbul
demam.
Gejala Paru, yakni gejala bentuk yang terkadang disertai dengan pengeluaran dahak
yang produktif, bahkan pada beberapa kasus dapat disertai dengan darah. Gejala batuk ini
sering ditemukan dan pada orang yang rentan dapat terjadi serang asma.
Gejala Toksemia, yakni manifestasi toksik tampak antara minggu ke-2 sampai minggu
ke-8 setelah infeksi. Berat gejala tergantung dari banyaknya serkaria yang masuk. Infeksi
8
yang berat dapat terjadi apabila banykak serkaria yang masuk. Pada infeksi yang berat
dan infeksi yang berulang dapat timbul gejala toksemia yang erat disertai dengan demam
tinggi. Gejala lain yang tampak pada fase ini antara lain lemah, malaise, penurunan nafsu
makan, mual dan muntah, sakit kepala, nyeri tubuh, sakit perut, tenesmus, hati-limpa
membesar serta nyeri jika diraba dan diare karena reaksi hipersensitif terhadap cacing.
Pada kasus yang berat, gejala tersebut dapat bertahan sampai 3 bulan.
9
Penemuan telur pada pemeriksaan feses hanya mungkin terjadijika cacing betina telah
menghasilkan telur, hal ini dapat terjadi kira-kira 5 minggu setelah infeksi. Kemudahan untuk
mendapatkan telur pada feses dipengaruhi oleh jumlah cacing dan lamanya infeksi. Kadang-
kadang telur cacing S. japonicum dapat ditemukan pada pemeriksaan urin. Pada kasus kronik,
telur mungkin sulit didapatkan pada tinja. Sampel tinja yang diperiksa merupakan tinja yang
dikumpulkan selama 24 jam dan setelah setelah terkumpul sampel tersebut harus
dihomogenkan sebelum diperiksa.
Metode pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan pemeriksaan langsung maupun
dengan dikonsentrasikan terlebih dulu. Pemeriksaan secara langsung dengan mikroskop
kurang sensitif untuk menemukan telur cacing namun berguna untuk screening. Metode
konsentrasi zinc-sulfat tidak dianjurkan untuk telur Schistosoma, karna telur akan pecah dan
tidak mengapung.
Tehnik Kato
Tehnik sediaan tebal “kato” yang dimodifikasi oleh Martin dan Beaver (1968) serta
Siongok (1976) merupakan tehnik yang sederhana, sensitif, dan murah untuk digunakan di
lapangan. Metode ini bertujuan untuk menghitung jumlah telur pada feses. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa jumlah telur yang terdapat pada feses berkaitan dengan
derajat keparahan skistosomiasis. Namun penelitian mengenai intensitas infeksi S. japonicum
di Filipina yang menggunakan tehnik Kato-Katz sebagai screening, menyatakan bahwa
teknik tersebut memiliki intensitas dan spesifisitas yang rendah. Tehnik Kato-Katz tidak
dapat mendiagnosa penderita skistosomiasis dengan derajat infeksi yang ringan (terdapat 1-
100 telur/gram).
Biopsi rektal
Biopsi rektal sangat membantu untuk menemukan telur pada infeksi yang ringan dan
kronis. Jaringan biopsi dihancurkan diantara 2 kaca objek. Cara ini lebih efektif daripada
pemeriksaan histologis, karena akan mempermudah penentuan spesies telur dan viabilitas
telurnya. Cara pemeriksaan viabilitas telur dengan memperhatikan mirasidium dalam telur
tersebut. Telur pada jaringan biopsi dapat ditemukan dengan cara mencernakan jaringan
biopsi dengan KOH 4% pada suhu 37° C selama 6-18 jam dan kemudian diperiksa
sedimennya.
Tes serologis
Banyak tes serologis yang digunakan untuk diagnosa skistosomiasis. Kelemahan
pemeriksaan ini adalah terjadinya reaksi silang dengan infeksi cacing lainnya, dan titernya
tetap pada waktu yang lama setelah pengobatan berhasil serta lambatnya respon imun dari
10
hospes. Tes serologis yang sering dilakukan adalah COPT (Circumoval Precipitin Test),
CHR (Cercaria Hullen Reaction), dan IFA (Indirect Fluorescent Antibody). Pemeriksaan
serologis ini berguna pada daerah dengan tingkat endemisitas rendah, pada infeksi yang
ringan dimana jumlah telur sangat sedikit atau tidak ada tapi menunjukkan gejala yang khas
skistosomiasis. Namun, pemeriksaan serologis pada antibody yang spesifik terhadap masing-
masing spesies menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Pemeriksaan PCR
Suatu penelitian yang menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk
mendeteksi serkaria S. japonicum dari sample air yang menunjukkan hasil yang memuaskan.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menemukan cara pemeriksaan yang efisien dan
akurat dalam menentukan apakah sumber air telah tercemar dengan serkaria Schistosoma atau
tidak. PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, dimana tidak diperlukan
konsentrasi serkaria yang tinggi untuk mendapatkan hasil yang positif. Di samping itu, PCR
hanya sedikit menunjukkan adanya reaksi silang dibandingkan pemeriksaan immunologi.
Sehingga PCR merupakan alat diagnostik yang akurat dalam mendeteksi pencemaran sumber
air oleh serkaria.
Terapi
Sebagai usaha pemberantasan penyakit infeksi dilakukan melalui 4 pendekatan, yaitu
dengan pengobatan massal, pengendalian siput sebagai hospes perantara skistosomiasis,
perbaikan sanitasi dan yang terakhir adalah pendidikan/penyuluhan kesehatan pada
masyarakat.
b) Pencegahan
Pencegahan infeksi yang disebabkan oleh Schistosoma japonicum dapat dilakukan
dengan penyuluhan dan pendidikan terhadap pasien dan masyarakat umumnya tentang infeksi
ini serta diagnosis dan penanganan yang tepat pada pasangan penderita skistosomiasis.
Sementara itu, hindarilah berenang di sungai/danau air tawar terutama di daerah yang banyak
terjadi kasus schistosomiasis. Berenang di laut atau di kolam renang yang sudah sudah diberi
kaporit atau klorin aman dari schistosomiasis. Tidak buang air besar sembarangan terutama di
sungai, memasak air sampai matang sebelum diminum, dan melakukan pengobatan pada
penderita untuk mencegah terjadinya siklus hidup. Selain itu, dengan adanya pemberantasan
siput yang menjadi hospes perantara, perbaikan sanitasi, vaksin, dan monitoring juga dapat
mencegah tertularnya infeksi Schistosoma japonicum ini.
11
c) Pengobatan
Tujuan dari pengobatan ini adalah mencegah dan mengurangi kesakitan, serta
mengurangi sumber penularan. Sebelum ditemukannya obat yang efektif, obat-obatan yang
biasanya digunakan untuk terapi penderita skistosomiasis adalah emetin, fuadin, stibofen,
reprodal, neoantimosan, astiban TW 56, lucanthone HCl, niridazol, dsb. Namun, obat-obatan
tersebut tidak efektif karena bersifat toksik pada hospes meskipun dapat menurunkan
produksi telur cacing akan tetapi, obat-obatan tersebut tidak menyembuhkan.
Sejak dtemukannya prazikuantel, suatu pirazinokuinolin, yakni obat pilihan utama
untuk terapi skistosomiasis. Cara kerja obat ini adalah merangsang masuknya ion calcium ke
dalam tubuh parasit tersebut, sehingga tegumennya akan menggelembung dan pecah. Dengan
hilangnya tegumen parasit maka respon imun akan mengenali parasit itu sebagai antigen dan
berusaha untuk menghancurkannya. Kelebihan obat ini adalah dapat digunakan secara per
oral dengan dosis tunggal, sangat efektif untuk ketiga spesies Schistosoma sp, dapat
digunakan di berbagai fase skistosomiasis (fase akut dan fase kronis) maupun pada kasus
skistosomiasis dengan splenomegali dan disertai dengan komplikasi lain, dan selain itu, obat
ini ditoleransi dengan baik oleh hospes. Efek samping yang timbul ringan dan hanya bersifat
sementara. Efek yang sering dikeluhkan adalah rasa tidak enak pada abdomen, pusing,
mengantuk, sakit kepala, demam, dan berkeringat. Keluhan tersebut biasanya hilang dalam
48 jam. Angka kesembuhan dengan prazikuantel berkisar antara 70-95%. Hanya diperlukan
satu dosis/single dose prazikuantel yaitu 60 mg/Kg BB yang terbagi menjadi dua kali minum
dengan interval waktu 4-6 jam.
Mencegah terjadinya resistensi obat, terdapat beberapa obat lain yang memiliki
efektivitas yang sama dengan prazikuantel yang dapat digunakan sebagai terapi
skistosomiasis yaitu oxamniquine (infeksi S. mansoni) dan metrifonate (infeksi S.
haematobium). Suatu penelitian di Cina menunjukkan bahwa obat anti malaria, artemether
dapat digunakan sebagai profilaksis infeksi S. japonicum dan S. mansoni. Gabungan
prazikuantel dengan artemether dapat meningkatkan kerja prazikuantel, sehingga dapat
menjadi alternatif pengobatan skistosomiasis untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap
prazikuantel.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Schistosomiasis japonica adalah infeksi cacing kronis pada manusia yang disebabkan
oleh Schistosoma japonicum. Schistosomiasis merupakan penyebab penting penyakit di
banyak bagian dunia, yang paling sering terjadi di tempat dengan sanitasi yang buruk.
Schistosoma japonicum banyak ditemukan di Indonesia, sebagian Negara Cina dan Asia
Tenggara. Infeksi dapat terjadi ketika kulit bersentuhan dengan air tawar yang terkontaminasi
oleh beberapa jenis siput yang membawa parasit hidup. Pengobatan pada seseorang yang
mengalami infeksi ini dapat diberi Praziquantel. Untuk pencegahan dapat dilakukan
perubahan perilaku dalam menjaga kebersihan yang baik.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, kami akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
13
DAFTAR PUSTAKA
https://www.researchgate.net/publication/329176035_Schistosoma_Japonicum Diakses 28
Mei 2021 pukul 17.24.
Puji lestyaningsih dan Myrtati D artaria. Schistosoma Japonicum Hang tuah Medical Journal.
Vol 6, No 3, September 2008.
Andi Tri Atmojo. Indonesian Medical Laboratory, Schistosoma Japonicum Di akses pada 28
Mei 2021 dari
https://medlab.id/schistosoma-japonicum/
14