Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ILMU DASAR KEPERAWATAN II

‘‘SCHISTOSOMA JAPONICUM ’’

Dosen Pengampuh

dr. Nanang Roswita Paramata, M.Kes

Disusun oleh :

KELOMPOK 2
KELAS A

1. Nova Novianti Lamangida 841420001


2. Paradiyastuti Mohamad 841420037
3. Nurmasita Dilo 841420005
4. Sity Magfirah Alimullah 841420006
5. Wahyu Pratama S. Dangkua 841420025
6. Moh. Firgiyawan Mustaki 841420043
7. Astri Hidayatullah A. Azis 841420020
8. Reka Permata Talaa 841417108
9. Rabiatul Mutia Nento 841420017
10. Novia Putri Ramdani 841420044
11. Sintia Hasan 841420009
12. Mayantika 841420011
13. Pratiwi Djibu 841420018
14. Nurmala Pakaya 841417100
15. Siti Reftiwi Permata Laima 841416135

JURUSAN KEPERAWATAN

FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya karena atas izin dan bimbingannya penulisan makalah ini dapat berjalan
dengan baik.

Penulisan makalah dengan judul “SCHISTOSOMA JAPONICUM” memiliki banyak


kendala namun dapat di atasi dengan masukan masukan dan berbagai saran yang membangun
dan mendidik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah ‘Ilmu Dasar
Keperawatan II’. Selain itu, tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang turut mengambil bagian dalam penulisan makalah ini.

Tak lepas dari itu, menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan tata bahasa
yang tedapat dalam makalah ini. karena itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari
pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dan kesalahan dari makalah ini.

Penyusunan makalah ini, kami harapkan dapat memberikan informasi dan manfaat
bagi siapapun yang membacanya.

Gorontalo, 21 Mei 2021

Penyusun

KELOMPOK 2

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusann Masalah . ................................................................................ 2
1.3 Tujuan.................... ................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
2.1 Sejarah Singkat Schistosoma Japonicum................................................... 3
2.2 Epidemiologi Schistosoma Japonicum...................................................... 3
2.3 Morfologi dan Siklus Hidup Schistosoma Japonicum............................... 4
2.4 Patogenesis dan Gejala Klinis Schistosoma Japonicum............................ 7
2.5 Faktor-Faktor Penyebab Schistosoma Japonicum..................................... 9
2.6 Diagnosa, Pencegahan, dan Pengobatan Schistosoma Japonicum............ 9
BAB III PENUTUP................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 13
3.2 Saran.......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Schistosomiasis japonica adalah infeksi cacing kronis pada manusia yang disebabkan
oleh Schistosoma japonicum. Telur Schistosoma japonicum disimpan di hati, paru-paru, dan
dinding usus sehingga dapat menyebabkan peradangan granulomatosa dan fibrosis progresif,
hal ini merupakan penyebab perubahan patologis klinis primer atau perubahan klinis yang
paling utama. Ada banyak jenis sel yang terlibat dalam melawan invasi dari Schistosoma
japonicum dan telurnya, termasuk sel Th, Natural Killer cells (NK), sel NKT, sel supresor
yang diturunkan dari myeloid (MDSCs), dan makrofag. Dengan demikian, perubahan yang
jelas dapat dideteksi di organ-organ kekebalan, seperti limpa dan kelenjar getah bening lokal.
Untuk penyebab nya sendiri Schistosomiasis dapat disebabkan oleh trematoda darah
digenetik.
Schistosomiasis merupakan penyebab penting penyakit di banyak bagian dunia, yang
paling sering terjadi di tempat dengan sanitasi yang buruk. Anak usia sekolah yang tinggal di
daerah-daerah dengan sanitasi yang buruk sangat berisiko karena mereka cenderung
menghabiskan waktu berenang atau mandi di air yang mengandung serkaria infeksi. Hal ini
juga beresiko pada orang-orang yang melakukan perjalananan ditempat dimana ditemukan
schistosomiasis dan terkena air tawar yang telah terkontaminasi dari Schistosoma japonicum.
Lebih dari 207 juta orang di setidaknya 74 negara memiliki infeksi schistosomal aktif.
Dari populasi ini, sekitar 60% memiliki gejala penyakit, termasuk keluhan organ tertentu dan
masalah yang berkaitan dengan anemia kronis dan kekurangan gizi akibat terinfeksi
Schistosoma japonicum. Lebih dari 20 juta orang mengalami sakit parah. Prevalensi penyakit
adalah heterogen di daerah yang rentan dan cenderung lebih buruk di daerah dengan sanitasi
yang buruk, peningkatan penggunaan irigasi air tawar, dan infestasi schistosomal berat pada
populasi manusia, hewan, dan / atau siput.
Schistosoma japonicum banyak ditemukan di Indonesia, sebagian Negara Cina dan Asia
Tenggara. Schistosoma japonicum merupakan zoonosis yang juga menginfeksi berbagai inang seperti
mamalia, termasuk anjing, babi, dan sapi, yang sangat mempersulit upaya pengendalian dan eliminasi.
Memahami siklus hidup schistosome antara inang (bekicot) dan host definitif (mamalia)merupakan
dasar bagi pengendalian dan penghapusan schistosomiasis pada manusia. Perubahan lingkungan juga
dapat meningkatkan atau bahkan menurunkan transmisi.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah sejarah singkat dari Schistosoma japonicum?
2. Bagaimanakah epidemiologi Schistosoma japonicum?
3. Bagaimana morfologi dan siklus hidup Schistosoma japonicum?
4. Bagaimanakah patogenesis dan gejala klinis dari Schistosoma japonicum?
5. Apa saja faktor-faktor penyebab Schistosoma japonicum?
6. Bagaimanakah diagnosa, pencegahan dan pengobatan Schistosoma japonicum?

1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dari makalah ini
adalah untuk:
1. Mengetahui sejarah singkat dari Schistosoma japonicum.
2. Mengetahui epidemiologi Schistosoma japonicum.
3. Mengetahui morfologi dan siklus hidup Schistosoma japonicum.
4. Mengetahui patogenesis dan gejala klinis dari Schistosoma japonicum.
5. Mengetahui faktor-faktor penyebab Schistosoma japonicum.
6. Mengetahui diagnosa, pencegahan dan pengobatan Schistosoma japonicum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Singkat Schistosoma Japonicum


Penyakit yang ditimbulkan oleh trematoda ini disebut sebagai skistosomiasis atau
bilharziasis schistosoma termasuk dalam filum plathyhelminthes/ cacing pipih, kelas
trematoda dan ordo Diginea. Fuijii pada tahun 1847 untuk pertama kalinya mempublikasikan
deskripsi klini dari infeksi S. Japonicum pada memoir Katayama. Pada tahun 1904,
Katsurada menjelaskan mengenai telur dan cacing dewasa yang ditemukannya pada anjing
dan kucing serta menamakan parasitnya sebagai S.Japonicum. Dikenal jga dengan istilah
“Oriental Blood Fluke”, yang infeksinya terbatas pada Negara-negara Timur jauh.
Prevalensi dari skistosomiasis di seluruh dunia sekitar 200 juta orang yang terinfeksi
dan sekitar 600 juta orang memiliki resiko untuk terinfeksi penyakit ini. Skistosomiasis
menjadi salah satu dari 10 penyakit tropis yang menjadi target control WHO, World Bank,
dan UNDP. Infeksi S. Japonicum banyak ditemukan di Negara Timur jauh yaitu, Cina,
Indonesia, Jepang dan Filipina.
Di Indonesia skistosomiasis japonicum ditemukan endemic di Sulawesi Tengah, yaitu
di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Pada tahun 1940, Sandground dan Bone
mendapatkan penderita skistosomiasis di daerah danau Lindu sekitar 53% dari 176 penduduk
yang diperiksa. Siput perantara penyakit ini yaitu O.h.lindoensis ditemukan pertama kali pada
daerah persawahan yang tidak digarap lagi. Manusia bukan satu-satunya yang terinfeksi
penyakit ini, karena pada kenyataannya terdapat beberapa mamalia yang terbukti terinfeksi
pula oleh penyakit tersebut

2.2 Epidemiologi Schistosoma Japonicum


Skistosomiosis merupakan suatu penyakit infeksi yang diderita oleh hampir 200 juta
orang yang tersebar pada 74 negara. Sekitar 120 juta orang menunjukan gejala klinis dan 20
juta orang menderita skistomiasis dengan manifestasi klinis yang berat. Skistomiasis
termasuk dalam salah satu dari 10 penyakit tropis yang menjadi target kontrol dari WHO,
Special Program for Research and Training in Tropical Disease In United Nations
Development Programs dan World Bank. Program tersebut mentargetkan minimal 75% dari
anak usia sekolah yang terinfeksi skistosomiosis dan soil dan transmitted helminths akn

3
mendapatkan terapi. Di samping itu tujuan jangka panjang dari program ini adalah
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari penyakit infeksi ini. .
Penelitian skistosomiasis di Indonesia telah dimulai pada tahun 1940, yaitu sesudah
ditemukannya kasus skistosomiasis di Tornado, dataran tinggi Lindu, kecamatan Kulawi,
kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah pada tahun 1935. Pada tahun 1940, Sandground dan
Bonne mendapatkan sekitar 53% penduduk Lindu positif 176 orang yang diperiksa. Pada
penelitian selanjutnya, Bone dkk menemukan bahwa rusa dan anjing terinfeksi juga oleh
skistosomiasis. Survei secara menyeluruh pada tahun-tahun berikutnya menemukan
prevalensi di 5 desa di dataran tinggi Lindu sebesar 57,1 % di desa Anca, 42,4% di Tornado,
30 % di desa Langko, 11,7% di desa Puroo dan di desa Owo 61,1%, Pada daerah tersebut
didapatkan siput yang bertindak sebagai hospes perantara yaitu Oncomelania hupensis
lindoensis di daerah persawahan yang tidak digarap lagi di desa Paku. Selain manusia,
ternyata terdapat beberapa hewan mamalia yang juga terinfeksi skistosomiasis yaitu sapi
(Bos sundaicus) , kerbau (Bubalus bubalis), Kuda (equus cabalus), Anjing (canis
familiaris), Babi (Sus sp), Musang (Vivera tungalunga), rusa (Cervus timorensis), dan
berbagai jenis tikus (Rattus exula, R. marmosurus, R.norvegicus, R.palellae). Selain di
daerah Lindu juga terdapat daerah lain yang menjadi daerah endemis skistosomiasis yaitu
dataran tinggi Napu. Daerah Napu mempunyai luas daerah yang jauh lebih besar daripada
daerah Lindu. Secara keseluruhan penduduk yang berisiko untuk tertular sekitar 15.000
orang.

2.3 Morfologi dan Siklus Hidup Schistosoma Japonicum


Morfologi cacing dewasa hampir mirip dengan Schistosoma, sedangkan morfologi
telur yang membedakan adalah duri/spina yang dimiliki. Bisa dilihat pada halam Trematoda
Darah.

4
Gambar 1. Telur Schistosoma japonicum

S. Japonicum termasuk dalam filum platyhelminthes (cacing pipih) yang memiliki


karakteristik secara umum sebagai berikut yaitu bentuk badan pipih, tidak mempunyai rongga
tubuh, dan tidak bersifat hemafrodit (terdapat cacing jantan dan cacing betina yang terpisah).
Filum platyhelminthes dibagi menjadi 2 kelas yaitu kelas Cestoda (cacing pita) dan kelas
Trematoda (cacing daun), S. Japonicum sendiri termasuk dalam kelas trematoda dimana
bentuk tubuh pada kelas ini biasanya berbentuk seperti daun, namun untuk S. Japonicum
bentuk tubuhnya kecil memanjang, dan tubuhnya tidak bersegmen.
Schistosoma memiliki 2 buah sucker yaitu oral sucker dan ventral sucker. Kulitnya
merupakan tegument yang terdiri dari lapisan sel-sel. Alat pencernaannya bercabang menjadi
dua sekm dan kemudia bersatu kembali menjadi satu saluran yang buntu. Sistem ekskresi
organism ini terdiri dari sel api (flamecell) beserta saluran-salurannya. Sistem reproduksinya,
cacing jantan tidak mempunyai alat kopulasi, testisnya berjumlah 4-9 buah tergantung pada
jenis spesiesnya (S. haematobium memiliki 4-5 buah testis, S. mansoni memilik 8-9 buah
testis dan S. japonicum memilik 6-8 buah testis), testis tersebut terletak di bagian dorsal
ventral sucker. Pada uterus cacing betina didapatkan beberapa buah telur dengan spina atau
duri yang bentuknya khas untuk masing-masing spesies (telur S. haematobium memiliki
terminal spine, telur S. mansoni memiliki lateral spine dan telur S. Japonicum memiliki
lateral knob).
Cacing Dewasa
Cacing jantan dewasa S. Japonicum bentuk tubuhnya seperti daun yang terlipar dan
berukuran lebih besar tetapi lebih pendek daripada cacing betinanya yaitu sekitar 12-20 mm.
Tuberkel kulit cacing dewasa halus tidak didapatkan adanya kutikula. Pada bagia caudal dari
ventral sucker didapatkan canalis gynecophorus, merupakan seluaran tempat cacing betina
berada selama cacing jantan dan cacing betina mengadakan kopulasi. Jumlah testis S.
Japonicum 6-8 buah testi, yang terlerak di bagian dorsal ventral sucker.

Cacing betina bentuk tubuhnya langsing dan panjang, panjang tubuhnya dapat
mencapai 26 mm, serta memiliki uterus yang berisi telur dengan bentuk yang khas.
Telur
Telur S. japonicum berbentuk bulat dan berukuran 70-100 x 50-65 mikron, lebih kecil
daripada ukuran telur spesies yang lain. Ciri khas dari telur organisme tersebut memiliki
spina yang rudimenter (knob) pada bagian lateral. Tidak memiliki operculum dan ketika telur

5
keluar dari tubuh hostnya bersama feses telah berisi embrio sempurna larva stadium pertama
(mirasidium) yang berambut getar (cilia).
Jumlah telur yang diproduksi S.japonicum lebih banyak dibandingkan dengan spesies
yang lain yaitu sekitar 1500-3000 telur setiap hari.
Hospes Perantara
Dalam siklus hidup schistosoma memerlukan satu hospes perantara. Hospes perantara
skistosomiasis ini adalah keong, dimana setiap spesies dari Schistosoma memiliki hospes
perantara keong yang berbeda-beda spesies. Hospes perantara dari S.mansoni adalah siput air
tawar yaitu berbagai spesies dari Biomphalaria spp dan Australorbis spp, S. haematobium
dan hospes perantaranya adalah siput air tawar Bulinus spp dan Physopsis spp.
S.intercalatum hospes perantaranya Bulinus spp. S. mekongi hospes perantaranya adalah
Tricula aperta. Dan hospes perantara S.japonicum adalah berbagai subspecies Ocomelania
yang merupakan siput amphibious (hidup di habitat yang basah dan terlindung dari sinar
matahari ). Hospes perantara S, Japonicum di Cina adalah Oncomelania hupensis hupensis,
di Jepang O.h. nosophora, di Filipina O.h. quadrasi sedangkan di Indonesia adalah O.h.
lindoensis.
Siklus Hidup

Gambar 2. Siklus Hidup S. japonicum

Cacing dewasa hidup di vena mesenterica inferior di sekitar intestinum tenue → telur
menembus jaringan submukosa intestinum → masuk ke dalam lumen usus dan keluar dari
tubuh bersama tinja → di dalam air telur menetas → keluar mirasidium → masuk ke hospes

6
perantara →  berkembang menjadi sporokista → keluar dari hospes perantara → menjadi
cercaria → penetrasi ke kulit manusia → ikut sirkulasi darah → menuju jantung, paru-paru,
kembali ke jantung → masuk sirkulasi darah arteri → menjadi dewasa di vena mesenterica.
Cacing dewasa dapat berumur 5 – 6 tahun.

2.4 Patogenesis dan Gejala Klinis Schistosoma Japonicum


Gejala klinis orang yang menderita skistosomiasis bervariasi ada yang menampakkan
gejala/simptomatik dan ada pula yang tidak menampakkan gejala /asimptomatik bergantung
pada stadium infeksinya, pemaparan parasit ini sebelumnya pada hospes, jumlah cacing
(sedikit/infeksi ringan jika 1-100 telur/gram, sedang/moderate infection jika >400
telur/gram), dan respon imun dari hospes.
Pada dasarnya, gejala yang dialami hospes merupakan akibat respon imun hospes
untuk mengeliminasi trematoda ini. Stadium dewasa dari parasit ini tidak merangsang respon
imun hospes sebesar rangsangan yang ditimbulkan stadium telurnya. Hal ini disebabkan
cacing dewasa memiliki antigen masking properties.
Gejala klinis skistosomiasis jika dibagi berdasarkan stadium infeksinya maka akan
terdapat 3 stadium yaitu:
1) Masa Tunas Biologi merupakan waktu antara serkaria menembus kulit sampai
menjadi dewasa. Gejala yang timbul sebagian dapat diakibatkan oleh sensitisasi
hospes sebelumnya. Pada pemaparan pertama kali, manifestasinya sedikit/tidak
tampak adanya gejala. Namun, pada pemaparan berikutnya akan terbentuk respon
imun humoral dan seluler, sehingga akan tampak minifestasi klinik yang lebih nyata.
2) Stadium Akut/Demam Katayama, dimulai ketika cacing betina mulai
memproduksi telur. Pada stadium ini, gejala yang timbul diakibatkan telur dan
trematoda ini, sehingga berat ringannya gejala dipengaruhi oleh jumlah telur yang
diproduksi, yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing betina.
3) Stadium Kronis/Menahun, terjadi penyembuhan jaringan dengan terbentuknya
jaringan fibrosis atau jaringan ikat. Gejala-gejala serebral sering didapatkan pada
infeksi S. japonicum, hal ini dikarenakan adanya anastomosis antara vena mesenterika
(habitat S. japonicum dewasa) dengan vena pelvis dan spinal sehingga baik cacing
dewasa maupun telur dapat mencapai SSP lebih cepat.
Stadium inkubasi (4 – 7 minggu), yakni saat penetrasi cercaria melalui kulit kemudian
migrasi melalui sirkulasi darah sampai tumbuh menjadi cacing dewasa. Gejalanya dapat
berupa:

7
 Pada kulit : hanya reaksi lokal yang ringan, pada jaringan kulit terjadi infiltrasi
selluler. Spesies non manusia dapat menimbulkan dermatitis cercaria (swimmer’s
itch).
 Pada paru-paru : terjadi rangsang traumatis dan infiltrasi, kadang-kadang dengan
haemorrhage, gejala batuk-batuk, dan nyeri di dada.
 Pada hati : dapat timbul hepatitis akut selama larva mengalami pertumbuhan di
dalam cabang-cabang vena portae dalam hepar. Pada stadium sistemik ini akan
terjadi gejala panas, menggigil, sakit kepala, leukositosis, dan eosinophilia.
Stadium Oviposition, yakni apabila telur sudah cukup banyak dikeluarkan cacing betina
migrasi ke cabang-cabang vena mesenterica yang lain. Penimbunan telur dalam jaringan
selama 1-18 bulan disebut katayama disease atau katayama syndrom. Telur dapat terbawa
oleh sirkulasi darah sampai ke vena portae di dalam hati dan dapat menembus keluar
pembuluh darah masuk ke jaringan hati dan menyebabkan pseudo abses. Gejalanya dapat
berupa panas, lemah, sakit kepala, urticaria, berat badan menurun, sakit di daerah hati,
hepatomegali, diare dengan darah atau lendir.
Stadium proliferasi dan penyembuhan (> 1,5 tahun), yakni dengan terbentuknya
pseudo abses dan pseudo tubercle di sekitar telur, terbentuklah proliferasi jaringan
pengikat sehingga terjadi fibrosis yang menyebabkan sirosis hepatis hingga dapat terjadi
asites dan varises di oesophagus dan lain-lain.
Gejala Kulit dan Alergi, yakni gejala yang tampak antara lain petekie dengan udema
dan pruritus, ruam makulopapular (swimmer itch) dapat timhul selama 36 jam atau lebih.
Bila jumlah sekaria yang menembus kulit banyak, maka dapat terjadi dermatitis serkarial.
Dermatitis serkarial lebih banyak ditemukan pada infeksi S. Japonicum dibandingkan
dengan spesies yang lain. Selain itu dapat terjadireaksi alergi yang disebabkan oleh hasil
metabolik skistosomula atau cacing dewasa atau dari protein asing yang disebabkan
adanya cacing dewasa yang mati. Manifestasi klinisnya dapat berupa urtikaria atau edema
angioneurotik dan dapat disertai demam. Kira-kira 22 % penderita menunjukkan gejala
urtikaria dan 18% menunjukan edema angioneurotik kira-kira 10 hari setelah timbul
demam.
Gejala Paru, yakni gejala bentuk yang terkadang disertai dengan pengeluaran dahak
yang produktif, bahkan pada beberapa kasus dapat disertai dengan darah. Gejala batuk ini
sering ditemukan dan pada orang yang rentan dapat terjadi serang asma.
Gejala Toksemia, yakni manifestasi toksik tampak antara minggu ke-2 sampai minggu
ke-8 setelah infeksi. Berat gejala tergantung dari banyaknya serkaria yang masuk. Infeksi

8
yang berat dapat terjadi apabila banykak serkaria yang masuk. Pada infeksi yang berat
dan infeksi yang berulang dapat timbul gejala toksemia yang erat disertai dengan demam
tinggi. Gejala lain yang tampak pada fase ini antara lain lemah, malaise, penurunan nafsu
makan, mual dan muntah, sakit kepala, nyeri tubuh, sakit perut, tenesmus, hati-limpa
membesar serta nyeri jika diraba dan diare karena reaksi hipersensitif terhadap cacing.
Pada kasus yang berat, gejala tersebut dapat bertahan sampai 3 bulan.

2.5 Faktor-Faktor Penyebab Schistosoma Japonicum


Penyebaran penyakit ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain distribusi
hospes perantaranya (keong) dan kesempatannya untuk menginfeksi manusia dan keong.
Skistosomiasis dapat terus berlangsung jika manusia yang menderita penyakit ini buang air
besar dan kencing pada daerah yang dekat dengan perairan dimana terdapat hospes perantara
penyakit tersebut yaitu keong yang sesuai.
Faktor yang juga berpengaruh adalah keberadaan hospes reservoir dalam penularan
penyakit ini pada manusia, hospes reservoir ini berbeda dari satu daerah dengan daerah lain
serta tergantung dari spesies Schistosoma-nya. Faktor lainnya adalah peranan orang yang
terinfeksi berat oleh trematoda ini yang memiliki kesempatan lebih besar dibandingkan orang
yang terinfeksi ringan dalam penularan penyakit infeksi pada populasi manusia atau hewan
mamalia lainnya. Infeksi pada manusia dapat menetap untuk jangka waktu yang tidak
terbatas. Sebagian besar orang terinfeksi dengan jumlah cacing yang sedikit/light infection
(1-100 telur/gram) namun sebagian kecil orang terinfeksi sangat berat/heavy infection (> 400
telur/gram).
Proyek pembangunan sumber air juga salah satu faktor yang meningkatkan prevalensi
skistosomiasi. Migrasi dari orang-orang yang terinfeksi penyakt ini ke daerah yang belum
terinfeksi di mana terdapat keong-keong yang bertindak sebagai hospes perantara yang sesuai
juga menjadi faktor yang berpengaruh pada penyebaran penyakit skistosomiasi ini.
Peningkatan panas bumi (global worming) dapat menjadi faktor yang menyebabkan
peningkatan populasi siput pada daerah lain yang dulunya tidak didapatkan siput penular.
Ketiga faktor terakhir ini menimbulkan kesulitan dalam program pengendaliannya.

2.6 Diagnosa, Pencegahan, dan Pengobatan Schistosoma Japonicum


a) Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan melalui hal-hal berikut ini :
Pemeriksaan mikroskopik sampel feses/tinja

9
Penemuan telur pada pemeriksaan feses hanya mungkin terjadijika cacing betina telah
menghasilkan telur, hal ini dapat terjadi kira-kira 5 minggu setelah infeksi. Kemudahan untuk
mendapatkan telur pada feses dipengaruhi oleh jumlah cacing dan lamanya infeksi. Kadang-
kadang telur cacing S. japonicum dapat ditemukan pada pemeriksaan urin. Pada kasus kronik,
telur mungkin sulit didapatkan pada tinja. Sampel tinja yang diperiksa merupakan tinja yang
dikumpulkan selama 24 jam dan setelah setelah terkumpul sampel tersebut harus
dihomogenkan sebelum diperiksa.
Metode pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan pemeriksaan langsung maupun
dengan dikonsentrasikan terlebih dulu. Pemeriksaan secara langsung dengan mikroskop
kurang sensitif untuk menemukan telur cacing namun berguna untuk screening. Metode
konsentrasi zinc-sulfat tidak dianjurkan untuk telur Schistosoma, karna telur akan pecah dan
tidak mengapung.
Tehnik Kato
Tehnik sediaan tebal “kato” yang dimodifikasi oleh Martin dan Beaver (1968) serta
Siongok (1976) merupakan tehnik yang sederhana, sensitif, dan murah untuk digunakan di
lapangan. Metode ini bertujuan untuk menghitung jumlah telur pada feses. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa jumlah telur yang terdapat pada feses berkaitan dengan
derajat keparahan skistosomiasis. Namun penelitian mengenai intensitas infeksi S. japonicum
di Filipina yang menggunakan tehnik Kato-Katz sebagai screening, menyatakan bahwa
teknik tersebut memiliki intensitas dan spesifisitas yang rendah. Tehnik Kato-Katz tidak
dapat mendiagnosa penderita skistosomiasis dengan derajat infeksi yang ringan (terdapat 1-
100 telur/gram).
Biopsi rektal
Biopsi rektal sangat membantu untuk menemukan telur pada infeksi yang ringan dan
kronis. Jaringan biopsi dihancurkan diantara 2 kaca objek. Cara ini lebih efektif daripada
pemeriksaan histologis, karena akan mempermudah penentuan spesies telur dan viabilitas
telurnya. Cara pemeriksaan viabilitas telur dengan memperhatikan mirasidium dalam telur
tersebut. Telur pada jaringan biopsi dapat ditemukan dengan cara mencernakan jaringan
biopsi dengan KOH 4% pada suhu 37° C selama 6-18 jam dan kemudian diperiksa
sedimennya.
Tes serologis
Banyak tes serologis yang digunakan untuk diagnosa skistosomiasis. Kelemahan
pemeriksaan ini adalah terjadinya reaksi silang dengan infeksi cacing lainnya, dan titernya
tetap pada waktu yang lama setelah pengobatan berhasil serta lambatnya respon imun dari

10
hospes. Tes serologis yang sering dilakukan adalah COPT (Circumoval Precipitin Test),
CHR (Cercaria Hullen Reaction), dan IFA (Indirect Fluorescent Antibody). Pemeriksaan
serologis ini berguna pada daerah dengan tingkat endemisitas rendah, pada infeksi yang
ringan dimana jumlah telur sangat sedikit atau tidak ada tapi menunjukkan gejala yang khas
skistosomiasis. Namun, pemeriksaan serologis pada antibody yang spesifik terhadap masing-
masing spesies menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Pemeriksaan PCR
Suatu penelitian yang menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk
mendeteksi serkaria S. japonicum dari sample air yang menunjukkan hasil yang memuaskan.
Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menemukan cara pemeriksaan yang efisien dan
akurat dalam menentukan apakah sumber air telah tercemar dengan serkaria Schistosoma atau
tidak. PCR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, dimana tidak diperlukan
konsentrasi serkaria yang tinggi untuk mendapatkan hasil yang positif. Di samping itu, PCR
hanya sedikit menunjukkan adanya reaksi silang dibandingkan pemeriksaan immunologi.
Sehingga PCR merupakan alat diagnostik yang akurat dalam mendeteksi pencemaran sumber
air oleh serkaria.
Terapi
Sebagai usaha pemberantasan penyakit infeksi dilakukan melalui 4 pendekatan, yaitu
dengan pengobatan massal, pengendalian siput sebagai hospes perantara skistosomiasis,
perbaikan sanitasi dan yang terakhir adalah pendidikan/penyuluhan kesehatan pada
masyarakat.

b) Pencegahan
Pencegahan infeksi yang disebabkan oleh Schistosoma japonicum dapat dilakukan
dengan penyuluhan dan pendidikan terhadap pasien dan masyarakat umumnya tentang infeksi
ini serta diagnosis dan penanganan yang tepat pada pasangan penderita skistosomiasis.
Sementara itu, hindarilah berenang di sungai/danau air tawar terutama di daerah yang banyak
terjadi kasus schistosomiasis. Berenang di laut atau di kolam renang yang sudah sudah diberi
kaporit atau klorin aman dari schistosomiasis. Tidak buang air besar sembarangan terutama di
sungai, memasak air sampai matang sebelum diminum, dan melakukan pengobatan pada
penderita untuk mencegah terjadinya siklus hidup. Selain itu, dengan adanya pemberantasan
siput yang menjadi hospes perantara, perbaikan sanitasi, vaksin, dan monitoring juga dapat
mencegah tertularnya infeksi Schistosoma japonicum ini.

11
c) Pengobatan
Tujuan dari pengobatan ini adalah mencegah dan mengurangi kesakitan, serta
mengurangi sumber penularan. Sebelum ditemukannya obat yang efektif, obat-obatan yang
biasanya digunakan untuk terapi penderita skistosomiasis adalah emetin, fuadin, stibofen,
reprodal, neoantimosan, astiban TW 56, lucanthone HCl, niridazol, dsb. Namun, obat-obatan
tersebut tidak efektif karena bersifat toksik pada hospes meskipun dapat menurunkan
produksi telur cacing akan tetapi, obat-obatan tersebut tidak menyembuhkan.
Sejak dtemukannya prazikuantel, suatu pirazinokuinolin, yakni obat pilihan utama
untuk terapi skistosomiasis. Cara kerja obat ini adalah merangsang masuknya ion calcium ke
dalam tubuh parasit tersebut, sehingga tegumennya akan menggelembung dan pecah. Dengan
hilangnya tegumen parasit maka respon imun akan mengenali parasit itu sebagai antigen dan
berusaha untuk menghancurkannya. Kelebihan obat ini adalah dapat digunakan secara per
oral dengan dosis tunggal, sangat efektif untuk ketiga spesies Schistosoma sp, dapat
digunakan di berbagai fase skistosomiasis (fase akut dan fase kronis) maupun pada kasus
skistosomiasis dengan splenomegali dan disertai dengan komplikasi lain, dan selain itu, obat
ini ditoleransi dengan baik oleh hospes. Efek samping yang timbul ringan dan hanya bersifat
sementara. Efek yang sering dikeluhkan adalah rasa tidak enak pada abdomen, pusing,
mengantuk, sakit kepala, demam, dan berkeringat. Keluhan tersebut biasanya hilang dalam
48 jam. Angka kesembuhan dengan prazikuantel berkisar antara 70-95%. Hanya diperlukan
satu dosis/single dose prazikuantel yaitu 60 mg/Kg BB yang terbagi menjadi dua kali minum
dengan interval waktu 4-6 jam.
Mencegah terjadinya resistensi obat, terdapat beberapa obat lain yang memiliki
efektivitas yang sama dengan prazikuantel yang dapat digunakan sebagai terapi
skistosomiasis yaitu oxamniquine (infeksi S. mansoni) dan metrifonate (infeksi S.
haematobium). Suatu penelitian di Cina menunjukkan bahwa obat anti malaria, artemether
dapat digunakan sebagai profilaksis infeksi S. japonicum dan S. mansoni. Gabungan
prazikuantel dengan artemether dapat meningkatkan kerja prazikuantel, sehingga dapat
menjadi alternatif pengobatan skistosomiasis untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap
prazikuantel.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Schistosomiasis japonica adalah infeksi cacing kronis pada manusia yang disebabkan
oleh Schistosoma japonicum. Schistosomiasis merupakan penyebab penting penyakit di
banyak bagian dunia, yang paling sering terjadi di tempat dengan sanitasi yang buruk.
Schistosoma japonicum banyak ditemukan di Indonesia, sebagian Negara Cina dan Asia
Tenggara. Infeksi dapat terjadi ketika kulit bersentuhan dengan air tawar yang terkontaminasi
oleh beberapa jenis siput yang membawa parasit hidup. Pengobatan pada seseorang yang
mengalami infeksi ini dapat diberi Praziquantel. Untuk pencegahan dapat dilakukan
perubahan perilaku dalam menjaga kebersihan yang baik.

3.2 Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, kami akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://www.researchgate.net/publication/329176035_Schistosoma_Japonicum Diakses 28
Mei 2021 pukul 17.24.

Puji lestyaningsih dan Myrtati D artaria. Schistosoma Japonicum Hang tuah Medical Journal.
Vol 6, No 3, September 2008.

Andi Tri Atmojo. Indonesian Medical Laboratory, Schistosoma Japonicum Di akses pada 28
Mei 2021 dari
https://medlab.id/schistosoma-japonicum/

14

Anda mungkin juga menyukai