Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PARASITOLOGI

CACING SCHISTOSOMA JAPONICUM

Disusun oleh:
Rizkyah Putri Amalia (P21345119071)
Tingkat 1D3-B

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN


POLITEKNIK KESEHATAN JAKARTA II
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
Jakarta, 2020
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta’ala yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah
mata kuliah Parasitologi dengan baik tepat pada waktunya. Sholawat serta salam kami
haturkan kepada Nabi Besar Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beserta
keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Parasitologi Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut serta
dalam pembuatan makalah ini.

Selain itu, kami sadar bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak yang
harus diperbaiki, maka dari itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat kami
harapkan agar kedepannya bisa lebih baik lagi.

Jakarta, Maret 2020

Penulis

2
Daftar Isi
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................1

1.3. Tujuan...........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1. sejarah Schistosoma japonicum..................................................3

2.2. definisi Schistosoma japonicum.................................................4

2.3. habitat Schistosoma japonicum.................................................4

2.4. penyebaran Schistosoma japonicum........................................4

2.5. taksonomi Schistosoma japonicum...........................................4

2.6. morfologi Schistosoma japonicum.............................................5

2.7. siklus hidup Schistosoma japonicum........................................6

2.8. gejala klinis Schistosoma japonicum........................................7

2.9. pengobatan Schistosoma japonicum..........................................7

2.10. pencegahan Schistosoma japonicum........................................8

BAB III PENUTUP..............................................................................................11


3.1. Kesimpulan.................................................................................11

3.2. Saran............................................................................................11

Daftar Pustaka......................................................................................................12

3
BAB I PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
      Masalah kecacingan sering dianggap remeh oleh masyarakat kita. Padahal 
kalau kita kaji lebih dalam, penyakit yang ditimbulkan akan berakibat fatal. Apabila
Cacing telah masuk ke dalam tubuh kita, dia akan merusak organ-organ kita.
Manusia yang menderita kecacingan menjadi kurus, perut buncit, tidak nafsu
makan, prestasi menurun dan tidak bergairah dalam bekerja. Keadaan tersebut
lama-kelamaan juga berakitan kematian.

Di negara berkembang seperti Indonesia, masalah cacing masih banyak kita


jumpai, hanya saja karena sifatnya yang asumtif, terkadang kita kesulitan untuk
menegakkan diagnosa.

Hal-hal yang mempengaruhi cacing masuk kedalam tubuh kita antara lain,
kurangnya kesadaran akan pentingnya hidup bersih dan sehat. Higiene dan
sanitasi perorang yang masih rendah. Cacing terutama menyerang anak-anak,
diantaranya tidak cuci tangan sebelum makan, mandi dan mencuci pakaian yang
telah kotor. Jangan sampai manusia yang harusnya berkarya dan berprestasi,
harus gagal hanya karena cacing.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah berkembangnya Schistosoma japonicum
2. Bagaimana definisi Schistosoma japonicum?
3. Bagaimana taksonomi Schistosoma japonicum?
4. Bagaimana anatomi dan morfologi Schistosoma japonicum?
5. Bagaimana habitat Schistosoma japonicum?
6. Bagaimana siklus hidup Schistosoma japonicum?
7. Bagaimana cara penularan Schistosoma japonicum?
8. Bagaimana gejala klinis yang disebabkan Schistosoma japonicum?
9. Bagaimana pengobatan penyakit akibat Schistosoma japonicum?
10.Bagaimana pencegahan penyakit akibat Schistosoma japonicum?

4
C.     TUJUAN
1.      Mengetahui sejarah Schistosoma japonicum
2.      Mengetahui definisi Schistosoma japonicum
3.      Mengetahui habitat Schistosoma japonicum
4.      Mengetahui penyebaran Schistosoma japonicum
5.      Mengetahui taksonomi Schistosoma japonicum
6.      Mengetahui morfologi Schistosoma japonicum
7.      Mengetahui siklus hidup Schistosoma japonicum
8.      Mengetahui gejala klinis Schistosoma japonicum
9.      Mengetahui pengobatan Schistosoma japonicum
10.   Mengetahui pencegahan Schistosoma japonicum

5
BAB II PEMBAHASAN

1.      SEJARAH SCHISTOSOMA JAPONICUM


Pada sebuah penggalian situs prasejarah antara tahun 1971-1974,
telur S.japonicum ditemukan di usus sebuah mummi. S.japonicum sudah ada di
China 2100 tahun yang lalu
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemic di dua daerah di Sulawesi Tengah
,yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit
ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Schistosomiasis japonica adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi salah satu
species cacing trematoda darah yang disebut Schistosoma japonicum

Sejarah penemuan Schistosoma japonicum
Tahun 1883 : Gejala Schistosomiasis japonicum pertama kali disebut Fujii
Tahun 1888 :Masima menemukan telur dalam jaringan hati mayat
Tahun 1904 :Fujinami menemukan cacing betina pada vena porta
Tahun 1904:Cacing dewasa padaanjing dipertelakan Katsurada sebagai
Schistosoma japonicum  
Tahun 1912 :Miyagawa menemukan serkaria
Tahun 1913 :Memastikan keong sebagai hospes perantara S. japonicum

Penemuan Schistosomiasis di Indonesia


 Di Indonesia, penyakit Schistosomiasis hanya ditemukan di Dataran Tinggi
Napu (± 5000 HA) dan Lindu (±30.000 Ha)
 Ditemukan oleh dr.Muller  and  dr.Tesch (1937) pada seorang  laki-
laki umur 35  tahun  yang meninggal  dunia  di  RS Palu
 Daerah endemis pertama ditemukan oleh dr. Brug & dr. Tesch di desa
Tomado, Dataran Tinggi Lindu (1937)
 Daerah endemis kedua ditemukan oleh Carney, dkk. di Dataran Tinggi
Napu (1972)

6
2.      DEFINISI SCHISTOSOMA JAPONICUM
Cacing Schistosoma termasuk ke dalam class Trematoda dalam phylum
Platyhelminthes. Pada manusia ditemukan 3 spesies penting Schistosoma yaitu,
Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni dan schistosoma haematobium.
Schystosoma japonicum atau disebut juga dengan  Cacing darah
yang  merupakan anggota dari Trematoda (Platyhelminthes). Disebut cacing
darah karena hidup di dalam pembuluh darah balik atau vena
pada manusia, kucing, babi, sapi, biri-biri, anjing, dan binatang pengerat. Banyak
dijumpai di daerah Sulawesi.

3.      HABITAT DAN HOSPES


Habitat pada vena mesentrica inferior yang mengalirkan darah dari usus besar
dan segmen posterior ileum. Telur ditimbun pada venule di submukosa usus,
sebagai hospes definitif, disamping pada manusia  juga pada kera dan rodensia.
Sedangkan sebagai hospes perantara siput air tawar genus Biomphalaria,
Australorbis, Tropicobis, terutama Biomphalaria glabrata dan Biomphalaria
alexandrina.
·         Hospes reservoir : rusa, babi hutan, sapi, anting dan tikus sawah
·         Hospes perantara : keong air (Oncomelania hupensis linduensis)

4.      PENYEBARAN SCHISTOSOMA JAPONICUM


Untuk cacing S.japonicum, hospes perantaranya adalah keong air
jenis Oncomelania hupensis lindoensis. Cercaria kemudian meninggalkan keong
air, berenang dan mencari hospes definitifnya yaitu manusia dan binatang.

5.      TAKSONOMI SCHISTOSOMA JAPONICUM


Sub filum : Animalia
Filum         : Platyhelminthes
Kelas         : Trematoda
Sub kelas   : Digenea
Ordo          : Strigeidida
Familia      : Schistosoma
Genus        : S. japonicum

7
  
6.      MORFOLOGI SCHISTOSOMA JAPONICUM
Cacing dewasa menyerupai Schistosoma mansoni dan S.
haematobiumakan tetapi tidak memiliki integumentary tuberculation.  Cacing
jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm, integument ditutupi duri-duri
sangat halus dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan kanalis
ginekoporik, memiliki (6-8) buah testis. Cacing betina, panjang ± 26 mm dengan
diameter ± 0,3 mm. Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar
vitellaria terbatas di daerah lateral ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan
saluran yang panjang dan urus berisi 50-100 butir telur.
              Telur berhialin, subsperis atau oval dilihat dari lateral, dekat salah satu
kutub terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter
(tombol); berukuran  (70-100) × (50-65) m. khas sekali, telur diletakkan dengan
memusatkannya pada vena kecil pada submukosa atau mukosa organ yang
berdekatan. Tempat telur s. japonicum biasa pada percabangan vena
mesenterika superior yang mengalirkan darah dari usus halus (Natadisastra,
2005).
               Telur-telur cacing Schistosoma japonicum lebih besar dan lebih bulat
disbanding jenis lainnya, berukuran panjang 70 – 100 mm dan lebarnya 55 – 64
mm. Tulang belakang di telur S. japonicum lebih kecil dan kurang mencolok
dibandingkan spesies lainnya.

7.      SIKLUS HIDUP SCHISTOSOMA JAPONICUM

Untuk cacing S.japonicum, hospes perantaranya adalah keong air


jenis Oncomelania hupensis lindoensis. Miracidium kemudian menembus masuk
ke dalam tubuh keong air dan berkembang menjadi sporokista I.kemudian
sporokista II, dan terakhir dibentuk cercaria.
Cercaria kemudian meninggalkan keong air, berenang dan mencari hospes
definitifnya yaitu manusia dan binatang. Bila tidak dapat menemukan hospesnya,
maka dalam waktu 48 - 72 jam, cercaria akan mati.
Infeksi pada manusia dan binatang terjadi dengan cara cercaria menembus kulit.
Dalam tubuh hospes definitif cercaria berubah menjadi schistosomulum, masuk ke
dalam pembuluh darah atau saluran limfe, lalu pergi ke jantung ka-nan, paru,
jantung kiri dan selanjutnya melalui peredaran darah besar ke vena usus dan
menjadi dewasa di dalam venaporta.
Cacing Schistosoma Japonicum hidupnya terutama di dalam vena porta dan vena
mesenterica superior. Cacing betina mengeluarkan telur didalam pembuluh darah,

8
dan telur tersebut dapat menembus keluar dari pembuluh darah, masuk ke dalam
jaringan sekitarnya.
Selanjutnya telur dapat masuk ke dalam lumen usus dan ditemukan di dalam tinja.
Sebagian telur yang terjerat di dalam jaringan akan menimbulkan kelainan berupa
pembentukan pseudoabsces di sekitar telur dan kemudian dibentuk
pseudotubercle.
Sebagian telur akan mengalir dengan aliran darah dan masuk  ke alat-alat tubuh,
terutama hati, dan menimbulkan kelainan di dalam hati atau alat-alat lain.
Telur yang terdapat di dalam tinja akan menetas di dalam air. Dan keluarlah larva
yang disebutmiracidium. Larva ini bercilia, dapat berenang di dalam air, dan akan
mencari hospes perantaranya.

8.      GEJALA KLINIS PENYAKIT SCHISTOSOMA JAPONICUM


Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium
I adalah gatal-gatal (uritikaria). Gejala intoksikasi disertai demam hepatomegali
dan eosinofilia  tinggi.
Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium
menahun ditemukan sirosis hati dna splenomegali; biasanya penderita menjadi
lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.

9.      PENGOBATAN SCHISTOSOMA JAPONICUM


S. japonicum lebih pathogen dan lebih resisten terhadap pengobatan 
dibanding S. mansonia dan S. haematobium. Agar pengobatan schistosomiasis
japonica berhasil dengan baik, dianjurkan untuk memperhatikan beberapa hal:
1.      Penderita diusahakan dalam stadium awal dari penyakit sebelum
menyerang hati dengan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki ataupun
menyerang organ-organ vital.
2.      Mencegah terjadinya reinfeksi.
3.      Meningkatkan daya tahan tubuh misalkan dengan pemberian makanan
dengan gizi tinggi.
4.      Dapat diberikan pengobatan dengan tartar emetik serta pengobatan ulang
pada kekambuhan ringan. Karena tartar emetik bersifat hepatotoksik, selama
pengobatan dianjurkan untuk dilakukan tes fungsi hati. Pemberian tartar emetik
(kalium antimonium tartrat) dengan suntikan intravena serta dalam waktu lama
merupakan obat efektif dan obat pilihan pada pengobatan penyakit ini.
9
10.  PENCEGAH SCHISTOSOMA JAPONICUM
Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara
penularan dan cara pemberantasan penyakit ini.
1-      Buang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing
tidak mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang
antara. Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan
tetapi biasanya tidak praktis.
2-      Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong
dengan membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan
dan mengalirkan air.
3-      Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang
tersedia mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).
4-      Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh :
gunakan sepatu bot karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan
dengan air yang terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja
yaitu kulit yang basah dengan air yang diduga terinfeksi dikeringkan segera
dengan handuk. Bisa juga dengan mengoleskan alkohol 70% segera pada kulit
untuk membunuh serkaria.
5-      Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya
diambil dari sumber yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk
membunuh serkariannya.
6-      Obati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah
penyakit berlanjut dan mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan telur
oleh cacing.
7-      Para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan
risiko penularan dan cara pencegahan

10
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Schystosoma japonicum atau disebut juga dengan  Cacing darah
yang  merupakan anggota dari Trematoda (Platyhelminthes). Disebut cacing
darah karena hidup di dalam pembuluh darah balik atau vena
pada manusia, kucing, babi, sapi, biri-biri, anjing, dan binatang pengerat. Banyak
dijumpai di daerah Sulawesi.

B. SARAN
Masyarakat harus bisa menyadari akan pentingnya berpola hidup sehat, dan
untuk menghindari resiko terkena penyakit ini salah satunya yaitu dengan cara
Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil
dari sumber yang bebas serkaria, Untuk membunuh serkaria yaitu dengan
menggunakan kertas saring. Membiarkan air selama 48-72 jam sebelum
digunakan ini dianggap cukup efektif.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://catatanoce.blogspot.co.id/2010/12/schistosomiasis-japonicum.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Schistosoma_japonicum
http://mazzaguz.blogspot.co.id/2012/03/makalah-schistosoma-japonikum.html

12

Anda mungkin juga menyukai