Anda di halaman 1dari 42

ASCARIASIS OLEH ASCARIS LUMBRICOIDES AKIBAT PENCEMARAN TANAH

KELOMPOK

Gita Marisa Octavia Siregar (16)


Mutya Leviani Putri (19)
I Pt Praditya Indra.K. (21)
Ayu Putu Putri Handayani (22)
Ni Putu Sinthya Devi Widyarini (26)
Ni Luh Putu Winda Sari (34)

Abstrak
1
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris
lumbricoides). Angka kejadian Ascariasis tertinggi ditemukan pada negara berkembang
dengan lingkungan yang buruk serta di daerah tropis seperti Indonesia. Sebagai
penunjang perkembang biakan cacing gelang adalah sanitasi tanah yang buruk serta
pembuangan limbah organic dan non organic yang tidak pada tempatnya. Salah satu
terapi farmakologi sebagai penanggulangan penyakit Ascariasis adalah dengan
pemberian obat antelmintik secara teratur. Ekstrak daun katuk juga memiliki efektivitas
tinggi dalam pemusnahan cacing jenis ini. Pengobatan Ascariasis yang tidak tepat
sasaran dan tidak teratur dapat memicu munculnya penyakit Sindroma Loefller.

Kata Kunci : Ascariasis, Cacing Gelang, Ekstrak Daun Katuk, Sindroma Loeffler

KATA PENGANTAR
2
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul ” ASCARIASIS OLEH ASCARIS
LUMBRICOIDES AKIBAT PENCEMARAN TANAH ” tepat pada waktunya. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya
Tulis Ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skrip Karya Tulis Ilmiah
ini dapat diselesaikan, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Guru Pembimbing dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
2. Seluruh siswa SMK Farmasi Saraswati 3 Denpasar yang membantu, mendukung serta
memotivasi penulis.
3. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnan,
maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan dalam
penyempurnaan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Akhir kata semoga Karya Tulis Ilmiah ini
dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan.

Denpasar, Agustus 2015

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... 1


ABSTRAK ......................................................................................................... 2
KATA PENGANTAR.......................................................................................... 3
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 4
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... 6
DAFTAR TABEL ............................................................................................... 7
DAFTAR SKEMA.............................................................................................. 8
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................ 9
1.2. Rumusan Masalah....................................................................... 12
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................ 12
1.4. Manfaat Penulisan ...................................................................... 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... X
2.1. Ascariasis ................................................................................... 14
2.1.1 Definisi Ascariasis.............................................................. 14
2.1.2 Taksonomi Ascariasis Lumbricoides.................................. 15
2.1.3 Epidemiologi.......................................................................15
2.1.4 Morfologi.............................................................................16
2.1.5 Siklus Hidup........................................................................18
2.1.6 Cara Penularan.....................................................................20
2.1.7 Diagnosis.............................................................................20
2.2 Taksonomi daun katuk......................................................................21
2.2.1 Morfologi............................................................................ 21
BAB III. METODE PENULISAN.................................................................... X
3.1. Jenis Penelitian............................................................................ 23
3.2. Lokasi Penelitian......................................................................... 23
3.3. Subjek Penelitian......................................................................... 23
3.4. Teknik Sampling.........................................................................23
3.5. Definisi Operasional Variabel Penelitian ...................................24
3.6. Rancangan penelitian.................................................................26
3.7. Alat dan bahan ............................................................................27
3.8. Cara kerja penelitian...................................................................27
BAB IV. PEMBAHASAN................................................................................. X
4.1. Pengobatan ascariasis secara non farmakologi........................... 31
4.2. Obat-obat yang digunakan untuk terapi ascariasis ..................... 32
4.3. Polutan ....................................................................................... 33
4.4. Gejala klinis................................................................................36
4.5. Dampak lanjutan ascariasis.........................................................38
4
BAB V. PENUTUP.......................................................................................... X
5.1. Kesimpulan................................................................................. 40
5.2. Saran............................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 41

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Cacing A. lumbricoides betina dan jantan....................................... 16


Gambar 2.2 Telur cacing A.lumbricoidesfertilized dan unfertilized................... 17
Gambar 2.3 Siklus hidup A.Lumbricoides.......................................................... 19
Gambar 2.4 Daun Katuk (Saropus androgyrus(L.).Merr.).................................. 22

DAFTAR TABEL
Table 2.1 Klasifikasi intensitas infeksi cacing menurut WHO...........................20

6
DAFTAR SKEMA
Skema 3.1 Penelitian Pendahuluan ....................................................................26

7
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Ascaris


lumbricoides. Angka kejadian Ascariasis tertinggi ditemukan pada negara
berkembang dengan lingkungan yang buruk serta di daerah tropis seperti
Indonesia (Rampengan, 2005; Sutanto dkk, 2008). Penyakit kecacingan ini dapat
mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
produktifitas penderita (KEPMENKES RI No.424/2006).
Prevalensi penyakit kecacingan ini sangat tinggi terutama di daerah tropis
dan subtropis (Suryani, 2012). Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia ini
masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dari
segi ekonomi. Pada kelompok ekonomi lemah mempunyai risiko tinggi
terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam
menjaga higiene dan sanitasi lingkungan (Sumanto D, 2010). Natadisastra
(2012) mengatakan faktor pendukung tingginya prevalensi kecacingan di
Indonesia meliputi sosiodemografi (pendidikan dan pendapatan), rendahnya
prilaku sanitasi pribadi maupun lingkungan di sekitar masyarakat.

8
Infeksi kecacingan sering dijumpai pada anak usia sekolah dasar dimana pada
usia ini anak-anak masih sering kontak dengan tanah. Salah satu cacing yang
penularannya melalui tanah adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
(Mardiana; Djarismawati, 2008). Berdasarkan data World Health Organization
(WHO) pada tahun 2008 didapatkan sekitar 800 juta sampai dengan 1 milyar
penduduk di dunia terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 700 juta sampai 900
juta penduduk dunia terinfeksi cacing tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale), 500 juta penduduk terinfeksi Trichuris trichiura, dan
300 juta penduduk dunia terinfeksi Oxyuris vermicularis. Data WHO (2013) pada
bulan Juni, didapatkan lebih dari 1,5 milyar atau 24% dari populasi penduduk di
dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths.
Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan golongan cacing yang bentuk
penularan penyakit cacing itu sendiri membutuhkan tanah sebagai media
perkembangbiakannya dengan didukung oleh kondisi tertentu. Kondisi yang dapat
mendukung perkembangbiakan cacing tersebut tergantung dari jenis cacing itu
sendiri. Cacing yang masuk dalam golongan STH yakni Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, dan
Strongyloides stercoralis (Sutanto dkk, 2008). Infeksi cacing A. lumbricoides
merupakan kejadian terbanyak yang ditemukan di dunia yaitu dengan prevalensi
sekitar 807 juta jiwa dan populasi yang berisiko sekitar 4,2 milyar jiwa. Risiko
tertinggi untuk terinfeksi cacing A. lumbricoides ialah di daerah benua Asia, Sub
Sahara, India, China, Amerika Latin, dan Kepulauan Pasifik (Hotez dkk, 2011).
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan pada 8 provinsi di
Indonesia tahun 2008, didapat angka prevalensi kecacingan yang tinggi, yakni
Banten 60,7%, Nanggroe Aceh Darussalam 59,2%, Nusa Tenggara Timur 27,7%,
Kalimantan barat 26,2%, Sumatera Barat 10,1%, Jawa Barat 6,7%, Sulawesi
Utara 6,7%, dan Kalimantan Tenggah 5,6% ( Ditjen PPL-RI Depkes RI, 2009).
Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2010 melaporkan bahwa infeksi
kecacingan merupakan urutan kelima penyakit yang menyerang balita, dengan
urutan penyakit tersering lainnya ialah Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA),
penyakit infeksi kulit, diare, dan demam. Penelitian epidemiologi telah
dilakukan di seluruh provinsi Indonesia terutama pada anak sekolah. Selain
9
penggolongan Ascariasis berdasarkan usia, menurut Higgins (2011) angka
kejadian Ascariasis banyak ditemukan pada wanita dari pada pria di Pulau
Sumatera.
Hasil penelitian oleh Gusta (2008) didapatakan bahwa 59,8% murid SDN 19
Kampung Manggis Kota Padang Panjang menderita Ascariasis. Kejadian
Ascariasis ini dapat ditemukan pada berbagai jenis usia. Prevalensi tertinggi
didapatkan pada anak golongan usia sekolah dasar yaitu pada usia 5-9
tahun karena ada hubungannya dengan kebiasaan anak-anak yang sering
bermain di tanah yang terkontaminasi cacing sehingga lebih mudah terinfeksi
(Manganelli dkk, 2012; Hotez dkk, 2011).
Gejala yang ditimbulkan pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh
cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada
di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan di alveolus dan timbul
gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia (Sutanto dkk.,
2008).
Eosinofilia bukan merupakan gejala suatu penyakit, tetapi merupakan respons
imunitas sesorang terhadap suatu penyakit. Peningkatan jumlah eosinofil dalam
darah biasanya menunjukkan respons terhadap adanya infeksi parasit atau bahan-
bahan penyebab reaksi alergi (Balqis U, 2007).
Respons pejamu (host) terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks
oleh karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan
terhadap infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Apabila seseorang
terinfeksi cacing maka cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-

4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan
dan aktifasi eosinofil. Kemudian IgE yang berikatan dengan permukaan cacing
diikat oleh eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granula
enzim yang menghancurkan parasit ( Bratawidjaja K; Rengganis I, 2009).
Eosinofil yang telah berikatan dengan IgE akan mendegranulasi dan melepaskan
kandungan granulanya di atas permukaan kutikula cacing (Balqis U, 2007). Hasil
penelitian Fulanda A (2014) di SDN 014 Olo Ladang Kota Padang dari 63
sampel yang diambil secara acak didapatkan 36,5% siswa SDN 014 Olo
10
Ladang yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides. Berdasarkan penelitian
Julika D, (2014) yang dilakukan di sekitar pinggiran rel Kelurahan Banten,
Kecamatan Medan Tembung dari 20 sampel anak yang terinfeksi cacing
didapatkan jumlah eosinofil meningkat 90% (18 anak) dan eosinofil yang normal
sebanyak 10% (2 orang anak). Hasil penelitian Silalahi Reggy Harahap Baringin,
dkk, (2014) hasil adanya perbedaan jumlah eosinofil darah yang bermakna antara
kecacingan dengan yang tidak kecacingan.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian karena
ingin mengetahui jumlah eosinofil pada anak yang menderita Ascariasis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka didapatkan rumusan masalah,
yaitu:
1. Bagaimana cara pengobatan non farmakologi dan farmakologi
dari penyakit Ascariasis ? ”
2. Apa jenis senyawa polutan dari pencemaran tanah yang menyebabkan
terjadinya pertumbuhan Ascaris Lumbricoides penyebab Ascariasis.
3. Apa gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi Ascaris Lumbricoides
( Cacing Gelang ) terhadap tubuh manusia ?
4.Apa dampak lebih lanjut akibat Ascariasis pada tubuh manusia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui bagaimana cara pengobatan non farmakologi dan
farmakologi dari penyakit Ascariasis ? ”
2. Mengetahui jenis senyawa polutan dari pencemaran tanah yang
menyebabkan terjadinya pertumbuhan Ascaris Lumbricoides penyebab
Ascariasis.
3. Mengetahui gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi Ascaris
Lumbricoides ( Cacing Gelang ) terhadap tubuh manusia ?
4. Mengetahui dampak lebih lanjut akibat Ascariasis pada tubuh manusia?

11
12

1.4 Manfaat Penulisan

1. Manfaat bagi peneliti


Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman
penelitian dibidang penelitian kesehatan.
2. Manfaat bagi pihak sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan kepada staf
pengajar di sekolah dasar tersebut agar dapat memberikan pengarahan
atau penyuluhan tentang pencegahan penyakit kecacingan dan juga
sebagai informasi tentang gambaran eosinofil pada penderita
Ascariasis.

12
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ascariasis

2.1.1 Definisi Ascariasis

Ascariasis adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing


Ascaris lumbricoides. Ascariasis sendiri termasuk penyakit cacing yang
paling besar prevalensinya diantara penyakit cacing lainnya yang
menginfeksi tubuh manusia. Manusia merupakan satu-satunya hospes
untuk A.lumbricoides (Yamaguchi,
1981; Sutanto dkk, 2008).

Cacing A.lumbricoides merupakan golongan nematoda. Nematoda


berasal dari kata nematos yang berarti benang dan oidos yang berarti
bentuk, sehingga cacing ini sering disebut cacing gilik ataupun cacing
gelang. Nematoda itu sendiri dibagi menjadi 2 jenis yakni nematoda usus
dan nematoda jaringan. Manusia merupakan hospes untuk beberapa
nematoda usus yang dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia (Sutanto dkk, 2008). Diantara nematoda usus yang ada
terdapat beberapa spesies yang membutuhkan tanah untuk
pematangannya dari bentuk non infektif menjadi bentuk infektif yang
disebut Soil Transmitted Helminths (STH) (Natadisastra, 2012). Cacing
yang termasuk golongan STH adalah A.lumbricoides, Trichuris trichiura,
Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercoralis,
dan beberapa spesies Trichostrongylus (Sutanto dkk, 2008).

13
14
2.1.2 Taksonomi A. lumbricoides
Phylum : Nemathelminthes
Sub phylum :Ascaridoidea
Ordo : Ascaridida
Family : Ascaridae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides (Jefrey, 1983)

2.1.3 Epidemiologi

A. lumbricoides merupakan jenis cacing terbanyak yang menyebabkan


infeksi pada manusia. Angka kejadian infeksi A.lumbricoides ini cukup
tinggi di negara berkembang seperti Indonesia dibandingkan dengan
negara maju (Rampengan, 2005). Tingginya angka kejadian Ascariasis ini
terutama disebabkan oleh karena banyaknya telur disertai dengan daya
tahan larva cacing pada keadaan tanah kondusif. Parasit ini lebih banyak
ditemukan pada tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu 25°- 30°C
sehingga sangat baik untuk menunjang perkembangan telur cacing
A.lumbricoides tersebut (Sutanto dkk, 2008).
Telur A. lumbricoides mudah mati pada suhu diatas 40° C sedangkan
dalam suhu dingin tidak mempengaruhinya (Rampengan, 2005). Telur
cacing tersebut tahan terhadap desinfektan dan rendaman yang bersifat
sementara pada berbagai bahan kimiawi keras (Brown dkk, 1994).
Infeksi A. lumbricoides dapat terjadi pada semua usia, namun cacing ini
terutama menyerang anak usia 5-9 tahun dengan frekuensi kejadian sama
antara laki-laki dan perempuan (Natadisastra, 2012). Bayi yang menderita
Ascariasis kemungkinan terinfeksi telur Ascariasis dari tangan ibunya yang
telah tercemar oleh larva infektif . Prevalensi A. lumbricoides ditemukan
tinggi di beberapa pulau di Indonesia yaitu di pulau Sumatera (78%),
Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%), dan Jawa
Barat (90%) (Sutanto, 2008).

14
15
2.1.4 Morfologi

Secara umum dapat dilihat bahwa cacing A. lumbricoides berwarna


merah berbentuk silinder. Cacing jantan lebih kecil ukurannya daripada
cacing betina. Pada stadium dewasa, cacing ini akan hidup dan berkembang
didalam rongga usus kecil (Sutanto dkk, 2008).

Gambar 2.1 Cacing A. lumbricoides betina dan


jantan

Dikutip : Atlas Berwarna Parasitologi Klinik (Yamaghuci,


1981)

Cacing jantan berukuran 15-25 cm x 3 mm disertai ujung


posteriornya yang melengkung ke arah ventral dan diikuti adanya
penonjolan spikula yang berukuran sekitar 2 mm. Selain itu, di bagian
ujung posterior cacing juga terdapat banyak papil-papil kecil (Soedarto,
2009). Cacing betina berukuran 25-35 cm x 4 mm dengan ujung
posteriornya yang lurus. Cacing ini memiliki 3 buah bibir, masing-masing
satu dibagian dorsal dan dua lagi dibagian ventrolateral (Satoskar,
2009).

15
16
Cacing dewasa hidup dalam jangka waktu ±10 – 24 bulan . Cacing
dewasa dilindungi oleh pembungkus keras yang kaya akan kolagen dan
lipid serta menghasilkan enzim protease inhibitor yang berfungsi untuk
melindungi cacing agar tidak tercerna di sistem pencernaan manusia
(Satoskar, 2009). Cacing ini juga memiliki sel-sel otot somatik yang besar
dan memanjang sehingga mampu mempertahankan posisinya di dalam usus
kecil. Jika otot somatik tersebut lumpuh oleh obat cacing, maka cacing akan
mudah keluar melalui anus karena gerakan peristaltic di usus (Zaman,
2008). Cacing betina mampu bertahan hidup selama 1- 2 tahun dan
memproduksi 26 juta telur selama hidupnya dengan 100.000 – 200.000
butir telur per hari yang terdiri dari telur yang telah dibuahi (fertilized),
yang tidak dibuahi (unfertilized), maupun telur dekortikasi (Brown dkk,
1994). Telur dekortikasi adalah telur A.lumbricoides yang telah dibuahi tapi
kehilangan lapisan albuminoid (Natadisastra, 2012).

Gambar 2.2 Telur cacing A. lumbricoidesfertilized dan unfertilized

Dikutip : Buku Medical Parasitology (Satoskar,


2009)

Telur yang telah dibuahi berbentuk bulat atau oval dengan


permukaaan tidak teratur, memiliki lapisan yang tebal, dan berwarna
kuning kecoklatan dengan ukuran 60 - 45µm. Pada telur ini, terdapat
lapisan tebal albumin dan lapisan dalamnya yang terdapat selubung vitelin
tipis namun cukup kuat. Kedua lapisan tersebut berfungsi sebagai
pelindung terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai sehingga telur
16
17
dapat bertahan hidup di tanah sampai dengan berbulan- bulan bahkan
bertahun-tahun (Widoyono, 2011).
Telur yang telah dibuahi ini berisikan embrio regular yang
tidak bersegmen. Dalam lingkungan yang sesuai yakni di tanah liat, dengan
kelembaban tinggi, dan suhu yang sesuai, dapat terjadi pematangan telur
atau larva dari bentuk yang tidak infektif menjadi infektif (Natadisastra,
2012). Kedua kutub pada telur ini juga terdapat rongga yang tampak
sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit (Soedarto, 2009).
Telur yang tidak dibuahi adalah telur yang dihasilkan oleh cacing
betina yang tidak subur ataupun terlalu cepat dikeluarkan oleh cacing
betina yang subur, telur tersebut berbentuk memanjang, terkadang segitiga
dengan lapisan yang tipis dan berwarna coklat, lalu berukuran 90–40 πm
(Natadisasta, 2012). Telur yang berwarna kecoklatan ini akibat pengaruh
dari pigmen empedu di saluran cerna dan tidak terdapatnya rongga udara
(Zaman, 2008).

2.1.5 Siklus Hidup

Siklus hidup A. lumbricoides terjadi dalam 3 stadium yaitu stadium


telur, larva, dan dewasa. Siklus ini biasanya membutuhkan fase di luar
tubuh manusia (hospes) dengan atau tanpa tuan rumah perantara
(Natadisastra, 2012).
Telur cacing yang telah dibuahi dan keluar bersama tinja penderita
akan berkembang menjadi infektif jika terdapat di tanah yang lembab dan
suhu yang optimal dalam waktu kurang lebih 3 bulan. Seseorang akan
terinfeksi A.lumbricoides apabila masuknya telur A. lumbricoides yang
infektif kedalam mulut bersamaan dengan makanan atau minuman yang
terkontaminasi tanah yang mengandung tinja penderita Ascariasis (Sutanto
dkk, 2008)

17
18

Gambar 2.3 Siklus hidup A. lumbricoides

Dikutip : Buku Medical Parasitology (Satoskar, 2009)

Telur infektif yang tertelan oleh manusia akan melewati lambung


tanpa terjadi kerusakan oleh asam lambung akibat proteksi yang tebal
pada lapisan telur tersebut dan akan menetas di dalam usus halus.
Kemudian larvanya akan secara aktif menembus dinding usus halus menuju
vena porta hati dan pembuluh limfe. Bersama dengan aliran vena, larva A.
Lumbricoides akan beredar menuju jantung kanan dan berhenti di paru
(Soedarto, 2009). Saat di dalam paru-paru larva yang berdiameter 0,02
mm akan masuk kedalam kapiler paru yang hanya berukuran 0,01 mm
maka kapiler tersebut akan pecah dan larva akan masuk ke alveolus
kemudian larva berganti kulit. Larva tersebut akan ke alveoli lalu naik ke
trakea melalui bronkiolus dan bronkus setelah dari kapiler paru.
Selanjutnya mengarah ke faring dan terjadi refleks batuk hingga tertelan
untuk kedua kalinya sampai ke usus halus. Masa migrasi ini berlangsung
selama 10 – 15 hari. Cacing akan berkembang menjadi dewasa, kawin,
dan bertelur di usus halus dalam waktu 6 –10 minggu (Brown dkk, 1994).

2.1.6 Cara Penularan


18
19

Cara penularan Ascariasis terjadi melalui beberapa jalan yakni


telur infektif A.lumbricoides yang masuk ke dalam mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi, melalui tangan yang
kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif yang terhirup udara
bersamaan dengan debu. Pada keadaan telur infektif yang terhirup oleh
pernapasan, telur tersebut akan menetas di mukosa alat pernapasan
bagian atas dan larva akan segera menembus pembuluh darah dan
beredar bersama aliran darah (Soedarto, 2009). Cara penularan
Ascariasis juga dapat terjadi melalui sayuran dan buah karena tinja
yang dijadikan pupuk untuk tanaman sayur-mayur maupun buah-buahan
(Sutanto dkk., 2008; Duc dkk, 2013).

2.1.7 Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis Ascariasis biasanya melalui


pemeriksaan laboratorium karena gejala klinis dari penyakit ini tidak
spesifik. Secara garis besar Ascariasis dapat ditegakkan berdasarkan
kriteria sebagai berikut:
1. Ditemukannya telur A. lumbricoides fertilized, unfertilized,
maupun dekortikasi di dalam tinja seseorang.
2. Ditemukannya larva A. lumbricoides di dalam sputum seseorang.
3. Ditemukannya cacing dewasa keluar melalui anus ataupun bersama
dengan muntahan (Gillespie dkk, 2001; Rampengan, 2008).
Jika terjadi Ascariasis oleh cacing jantan, di tinja tidak
ditemukan telur sehingga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto
thorak (Natadisastra, 2012). Kriteria tingkat infeksi penderita Ascariasis
menurut WHO 2012 adalah:

Table 2.1 Klasifikasi intensitas infeksi cacing menurut WHO


Cacing Tingkat Infeksi Jumlah telur/ Gram tinja
Ringan 1-4999
Ascaris limbricoides Sedang 5000-49.999
Berat ≥50.000

2.2 Taksonomi Daun Katuk


19
20
a. Klasifikasi

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Sauropus
Spesies : Sauropus androgunus(L.) Merr. (Tjitrosoepomo, 2002)

2.2.1 Morfologi

Katuk memiliki beberapa nama yang berbeda di setiap daerah di


Indonesia antara lain sekop manis (Melayu), simami (Minangkabau), sibabing,
katu, katukan (Jawa), katuk (Sunda) dan kerakur (Madura). Di beberapa negara,
katuk dikenal dengan nama antara lain cekur manis, sayur manis (Malaysia), puk
waan (Thailand), sweet leaf bush/ star gooseberry (Inggris) dan so kun mu (Cina)
(Agoes, 2010).Tanaman katuk merupakan tumbuhan perdu dengan ketinggian
tanaman mencapai 500 cm. Susunan morfologi tanaman katuk terdiri atas akar,
batang, daun, bunga, buah dan biji. Daun katuk berbentuk bulat telur,
berujung tumpul dengan ukuran panjang 2-7,5 cm. Bunga tanaman katuk
berwarna merah gelap atau kuning dengan bercak merah gelap. Buahnya
berbentuk bulat dengan diameter 1,5 cm (Bunawan et al.,2015).
Sistem perakaran tanaman katuk menyebar ke segala arah dan dapat
mencapai kedalaman antara 30-50 cm. Batang tanaman tumbuh tegak dan
berkayu. Pada stadium muda, batang tanaman berwarna hijau dan setelah tua
berubah menjadi kelabu keputih-putihan. Tanaman katuk tumbuh baik pada
daerah dengan ketinggian 5-1300 m di atas permukaan laut (dpl) dengan rataan
curah hujan antara 200 dan 300 mm per tahun pada tanah jenis latosol.
Tanaman ini dapat tumbuh di negara Malaysia, Indonesia, Cina, dan Taiwan
(Rukmana dan Harahap, 2003).

20
21

Gambar 2.4. Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)


(Christi, 2014)

BAB III
METODE PENULISAN

21
22

3.1 Jenis Penelitian

1. Penelitian yang kami gunakan dalam karya tulis ilmiah kali ini
adalah penelitian melalui studi pustaka. Literature yang kami
gunakan ialah Jurnal Penelitian Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Penelitian ini merupakan penelitian jenis
eksperimental laboratorik dengan rancangan the post test only
controlled group design (Taufiqurahman, 2004).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi dan Mikologi


Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3.3 Subyek Penelitian

Sampel penelitian ini berupa cacing Ascaris lumbricoides.

3.4Teknik
Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive sampling.


Purposive sampling adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara
memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti
(tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakli
karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Taufiqurahman, 2004).

3.5 Definisi Operasional Variabel Penelitian


22
23

1. Variabel Bebas: Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Katuk (Sauropus


androgynus (L.) Merr.)
Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) diambil dari
perkebunan yang terdapat di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Daun dipetik
pada waktu tanaman tersebut sedang berbunga (Wijono, 2003).
Ekstrak daun katuk adalah serbuk daun katuk yang diekstraksi
menggunakan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70 % yang
hasil akhirnya berbentuk ekstrak kental dan konsentrasinya dianggap 100 %.
Ekstraksi daun katuk dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian
Terpadu Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Konsentrasi ekstrak daun katuk adalah konsentrasi yang dibuat
dengan cara melarutkan ekstrak daun katuk yang didapatkan melalui metode
maserasi ke dalam larutan NaCl 0,9 % hingga tercapai konsentrasi yang
diinginkan. Uji penelitian ini menggunakan konsentrasi ekstrak etanol daun
katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) sebesar 40%; 42,5%; 45%; 47,5%;
dan 50% yang ditentukan melalui penelitian pendahuluan terlebih dahulu.
Skala pengukuran variabel ini adalah skala interval.

2. Variabel Terikat: Waktu Kematian Cacing


Waktu kematian cacing adalah waktu matinya semua cacing dalam
tiap rendaman setelah pemberian perlakuan dalam satuan menit.
Pengamatan dilakukan hingga semua cacing mati selama waktu maksimal
pengamatan. Waktu maksimal pengamatan diketahui melalui pengamatan
pada kontrol negatif pada penelitian pendahuluan. Cacing yang dianggap
mati adalah cacing yang tidak bergerak atau tidak berespon ketika disentuh
dengan pinset anatomis.Skala pengukuran variabel ini adalah skala rasio.

3. Variabel Perancu

23
24
a. Variabel Perancu Terkendali
1) Ukuran cacing
Ukuran cacing adalah panjang rata-rata untuk cacing gelang babi dewasa,
diukur dalam satuan sentimeter (cm). Cacing yang digunakan dalam
penelitian ini berukuran 15-35 cm, tanpa membedakan jenis kelamin
cacing.
2) Suhu Percobaan
Suhu percobaan dikendalikan dengan inkubator pada suhu37°C
karena menyerupai dengan kondisi lingkungan dalam tubuh inang.

b. Variabel Perancu Tidak Terkendali

1) Umur cacing
Peneliti tidak dapat mengetahui sejak kapan cacing hidup di usus babi,
serta tidak mengetahui waktu pasti telur menetas menjadi dewasa.
Sehingga umur cacing merupakan variabel yang tidak dapat
dikendalikan

24
25

3.6 Rancangan Penelitian

1. Penelitian pendahuluan

Ascaris
lumbricoides

25
26

Direndam Direndam dalam larutan ekstrak Direndam dalam larutan


dalam larutan NaCl 0,9% dengan konsentrasi pirantel pamoate 5 mg/ml

30%, 40%, dan 50%

Inkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit

Pengamatan tepat setelah perlakuan hingga cacing mati

Dicatat lama waktu kematian tiap cacing

Hasil digunakan sebagai Hasil digunakan sebagai Hasil yang diperoleh


acuan waktu maksimal acuan pemilihan konsentrasi digunakan sebagai
pengamatan pada penelitian
pada penelitian akhir control positif
akhir

Skema 3.1 Penelitian Pendahuluan

26
3.7 Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah stoples dengan


diameter 15 cm, pengaduk kaca, labu takar, gelas ukur, pinset anatomis,
inkubator, sarung tangan, timbangan elektrik, stoples, stopwatch, penggaris,
alat tulis, pemanas, dan kamera digital.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cacing
Ascaris Lumbricoides, larutan NaCl 0,9%, ekstrak daun katuk dan pirantel
pamoate 250 mg.

3.8 Cara Kerja Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Pengambilan Bahan

Daun katuk yang akan diekstrak didapatkan dari perkebunan di


Sukabumi, Jawa Barat. Daun katuk dicuci bersih pada air mengalir, untuk
menghilangkan kotoran yang melekat. Kemudian, daun dikeringkan
dalam almari pengering pada suhu 40°C sampai kering untuk mencegah
pembusukan oleh bakteri. Daun katuk kering selanjutnya dihaluskan
menjadi serbuk, diayak dan ditimbang (Christi, 2014).
b. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Katuk (Sauropus androgynus (L.)
Merr.)
Pembuatan ekstrak dilakukan oleh tenaga ahli Laboratorium
Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada
(LPPT UGM) Yogyakarta. Metode ekstraksi yang digunakan
adalah maserasi dengan pelarut etanol 70%.

- Prosedur maserasi antara lain sebagai berikut:

1) Serbuk kering daun katuk sebanyak 2000 g ditambahkan pelarut


etanol 70% dengan volume 5 liter, kemudian diaduk selama 30 menit
dan didiamkan 24 jam. Campuran kemudian disaring.
2) Proses pencampuran dan penyaringan diulang sebanyak dua kali. Dari
penyaringan terakhir didapatkan filtrat dan residu (ampas).
3) Filtrat kemudian diuapkan dengan vacuum rotary evaporator pada
suhu 70°C. Dari penguapan didapatkan ekstrak kental.
4) Ekstrak kental daun katuk dituang dalam cawan porselen dan
dipanaskan dengan waterbath suhu 70°C sambil terus diaduk.
c. Penentuan Konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Katuk (Sauropus
androgynus (L.) Merr.)
Konsentrasi larutan ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L.)
Merr.) yang digunakan dalam uji penelitian adalah sebagai berikut:
Konsentrasi I (40%) : 40 g ekstrak ditambahkan NaCl 0,9%

sampai didapatkan volume 100 ml

Konsentrasi II (42,5%) : 42,5 g ekstrak ditambahkan NaCl 0,9%

sampai didapatkan volume 100 ml

Konsentrasi III (45%) : 45 g ekstrak ditambahkan NaCl 0,9%

sampai didapatkan volume 100 ml

Konsentrasi IV (47,5%) : 47,5 g ekstrak ditambahkan NaCl 0,9%

sampai didapatkan volume 100 ml

Konsentrasi V (50%) : 50 g ekstrak ditambahkan NaCl 0,9%

sampai didapatkan volume 100 ml


d. Pembuatan Larutan Pirantel Pamoat
Penelitian ini menggunakan kontrol positif pirantel pamoat
dengan nama dagang Combantrin yang diproduksi oleh PT. Pfizer
Indonesia. Bentuk sediaan obat berupa Combantrin tablet 250 mg. Cara
membuat larutan pirantel pamoat 5 mg/ml adalah dengan melarutkan 1
tablet Combantrin 250 mg dalam 50 ml aquades.
2. Tahap Penelitian
a. Penelitian Pendahuluan
1) 5 buah stoples yang telah disiapkan, masing-masing diisi 50 ml
larutan uji yang terlebih dahulu dihangatkan dalam inkubator pada
suhu 37°C selama 15 menit. Larutan uji terdiri dari larutan NaCl 0,9%
(kontrol negatif), larutan pirantel pamoat 5 mg/ml (kontrol positif),
larutan ekstrak etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.)
dengan konsentrasi 30%, 40%, dan 50%.
2) Cacing Ascaris Lumbricoides sebanyak 4 ekor dimasukkan pada
masing-masing stoples.
3) Cacing di dalam stoples diinkubasi pada suhu 37°C.
4) Pengamatan dilakukan tepat setelah perlakuan hingga semua cacing
mati. Cacing tersebut disentuh dengan pinset anatomis dan dinyatakan
mati apabila sudah tidak bergerak.
5) Penelitian dilakukan dengan 2 kali replikasi.
6) Hasil yang dicatat berupa waktu kematian setiap cacing.
7) Pengamatan dihentikan setelah seluruh cacing dalam kelompok
perlakuan mengalami kematian.
b. Uji Penelitian

1) 7 buah stoples disiapkan, masing-masing berisi 50 ml larutan uji yang


terlebih dahulu dihangatkan dalam inkubator pada suhu 37°C selama
15 menit. Larutan uji terdiri dari larutan NaCl 0,9% (kontrol negatif),
larutan pirantel pamoat 5 mg/ml (kontrol positif), larutan ekstrak
etanol daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) dengan
konsentrasi 40%; 42,5%;45%; 47,5%; dan 50%.
2) Cacing Ascaris Lumbricoides sebanyak 4 ekor dimasukkan pada
masing-masing stoples.
3) Cacing di dalam stoples diinkubasi pada suhu 37°C.
4) Pengamatan dilakukan tepat setelah perlakuan hingga semua cacing
mati. Cacing tersebut disentuh dengan pinset anatomis dan dinyatakan
mati apabila sudah tidak bergerak.
5) Penelitian dilakukan dengan 4 kali replikasi.
6) Hasil yang dicatat berupa waktu kematian setiap cacing
7) Pengamatan dilakukan hingga waktu maksimal pengamatan
berdasarkan hasil penelitian pendahuluan.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Pengobatan Ascariasis Secara Non Farmakologi


Pengobatan Ascariasis secara non farmakologi biasanya menggunakan Efek
farmakologis dari daun Katuk. Tanaman katuk (Sauropus androgunus (L.)
Merr) telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, baik sebagai obat tradisional,
sebagai sayuran atau pewarna makanan. Kandungan nutrisi tanaman katuk
sangat tinggi antara lain protein sebesar 7,6 g/100 g, lemak 1,8 g/100 g,
karbohidrat 6,9 g/100 g, dan serat 1,9 g/100 g. Daun katuk yang segar
merupakan sumber provitamin A carotenoid, vitamin B, vitamin C,
protein dan mineral yang sangat baik. Selain kaya akan kandungan
nutrisi, katuk juga mengandung senyawa metabolit sekunder (Sanjayasari dan
Pliliang, 2011). Metabolit sekunder adalah senyawa kimia bermolekul
kecil yang terkandung dalam tumbuhan. Tumbuhan menghasilkan senyawa
metabolit sekunder berfungsi untuk melindungi tumbuhan dari serangan
serangga, bakteri, jamur dan jenis patogen lainnya (Sarker et al., 2006).
Berdasarkan skrining fitokimia, daun katuk mengandung senyawa metabolit
sekunder antara lain steroid, tanin, saponin, alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan
fenol (Selvi dan Basker, 2012). Beberapa penelitian yang dilakukan para ahli
menyebutkan bahwa daun katuk memiliki efek meningkatkan produksi
ASI (Sa’roni et al.,2004), perbaikan jaringan pada penyembuhan luka
(Bhaskar et al., 2009), menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL-k) (Agoes,
2010), aktivitas antioksidan (Zuhra et al., 2008), dan antibakteri (Paul dan
Anto, 2011).
4.2 . Obat-obat yang digunakan untuk terapi Askariasis secara Farmakologi
adalah:
1) Pirantel pamoat

Derivat pirimidin ini berkhasiat terhadap Ascaris, Oxyuris, dan cacing


tambang, tetapi tidak efektif terhadap Trichiuris. Mekanisme kerjanya
berdasarkan pelumpuhan cacing dengan jalan menghambat penerusan impuls
neuromuskular. Lalu parasit dikeluarkan oleh peristaltik usus tanpa
memerlukan laksans. Efek sampingnya ringan berupa gangguan saluran
cerna dan kadang sakit kepala. Dosis yang diberikan pada cacing kermi dan
gelang adalah 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak 1½-2 tablet sesuai usia
(10mg/kg). Pada cacing cambuk dosisnya sama selama 3 hari (Tjay dan
Rahardja, 2007).
2) Mebendazol

Ester-metil dari benzimidazol ini adalah antihelmintikum berspektrum luas


yang sangat efektif terhadap cacing kermi, gelang, pita, cambuk dan
tambang. Mekanisme kerjanya melalui perintangan pemasukan glukosa dan
mempercepat penggunaannya (glikogen) pada cacing. Tidak perlu diberikan
laksans. Efek sampingnya jarang terjadi dan berupa gangguan saluran cerna
seperti sakit perut dan diare. Dosis dewasa dan anak-anak sama,yakni pada
infeksi cacing gelang, tambang, benang, pita dan
cambuk 2 dd 100 mg selama 3 hari, bila perlu diulang setelah 3 minggu
(Tjay dan Rahardja, 2007).
3) Albendazol

Derivat karbamat dari benzimidazol ini berspektrum luas terhadap Ascaris,


Oxyuris, Taenia, Ancylostoma, Strongyloides dan Trichiuris. Efek
sampingnya berupa gangguan lambung-usus, demam, dan rontok rambut.
Dosis pada ascariasis, enterobiasis, ancylostomiasis, trichuriasis anak dan
dewasa single dose 400 mg d.c, pada strongyloidiasis 1 dd 400 mg d.c
selama 3 hari (Tjay dan Rahardja, 2007).
4) Piperazin

Zat basa ini sangat efektif terhadap Oxyuris dan Ascaris berdasarkan
perintangan penerusan-impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan
untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerakan peristaltik usus. Efek
sampingnya jarang terjadi, pada overdose timbul gatal-gatal (urticaria),
kesemutan (paresthesia) dan gejala neurotoksis (rasa kantuk, pikiran kacau
konvulsi, dll). Dosis terhadap Ascaris 75 mg/kg berat badan atau dosis
tunggal dari 3 g selama 2 hari (Tjay dan Rahardja, 2007).
5) Levamisol

Derivat-imidazol ini sangat efektif untuk Ascaris dan cacing tambang dengan
jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang penting adalah stimulasi
sistem-imunologi tubuh. Efek sampingnya. jarang terjadi, yakni reaksi alergi
(rash), granulocytopenia dan kelainan darah lainnya. Dosis untuk askariasis
pada orang dewasa dengan berat badan lebih dari 40 kg adalah 150 mg
d.c (garam HCl), anak-anak 10-19 kg: 50 mg, 20-39 kg: 100 mg (Tjay dan
Rahardja, 2007).

6) Praziquantel

Obat ini digunakan sebagai obat satu-satunya pada schistosomiasis dan juga
dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya berdasarkan pemicuan kontraksi cepat
pada cacing dan desintegrasi kulitnya, untuk kemudian dikeluarkan dari
tubuh. Dosis 600 mg setelah makan malam. Untuk taeniasis dosis tunggal
10 mg/kg (Tjay dan Rahardja, 2007).
4.3 Polutan
Tanah merupakan bagian tertipis dari seluruh lapisan bumi, tetapi
pengaruhnya terhadap kehidupan sangat besar (Slamet, 1996). Tanah
merupakan tempat tinggal bagi keragaman hayati dengan perkiraan yang
menyatakan bahwa 25% dari spesies bumi tinggal di tanah. Tanah adalah
tempat produksi sebagian besar makanan bagi makluk hidup. Selain itu,
tanah dapat berfungsi untuk menyediakan ekosistem melalui berbagai
interaksi yang kompleks antara organisme dalam tanah dan tanah itu
sendiri. Interaksi tersebut dapat berupa seperti pembentukan tanah,
penyaringan air, maupun penyediaan senyawa yang berguna seperti
antibiotik yang diisolasi dari organisme tanah (Slamet,1996 & Jeffery, dkk,
2011). Tanah secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan dalam
bentuk penyakit bawaan tanah (soil-borne).
Sebagianbesar organisme hidup adalah mikroba yang banyak
ditemukan di tanah. Beberapa mikroba di dalam tanah bersifat patogen
bagi manusia, termasuk protozoa, jamur, bakteri, dan juga virus,
beberapa mikroorganisme tersebut beberapa memerlukan inang/host
untukkelangsungan hidupnya (Sellinus, 2005). Soil-borne disease telah
memberikan dampakburuk pada manusia mulai dari penderitaan,
kecacatan, kebutaan, hingga kematian di seluruh dunia. Misal, berdasarkan
Vaccine-Preventable Disease Monitoring System 2012, tahun 2011 pada
kawasan SEARO, Indonesia menempati urutan kedua terbesar dengan 114
kasus Tetanus Neonatorum yang menyerang bayi baru lahir yang
disebabkan spora Clostridium tetani. Selain itu penyakit diare yang
diakibatkan oleh mikroba yang masuk ke dalam tanah melalui limbah tinja
masih menjadi perhatian serius di negara-negara berkembang terutama
Indonesia. Laporan Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit
Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan
pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur
merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%)(Kemenkes,
2012). Soil-borne disease juga dipengaruhi oleh zat-zat yang
terkandung dalam tanah baik yang berasal dari tanah itu sendiri maupun
berasal dari luar tanah sebagai akibat pengotoran ataupun pencemaran.
Tanah dapat menjadi vektor dan sumber dari agen penyakit pada manusia
yang penting. Hal ini diketahui karena tanah adalah penerima limbah
padat yang dapat mengandung patogen dalam konsentrasi tinggi (Slamet,
1996 & Santamaria, dkk, 2003).
Banyaknya permasalahan kesehatan yang muncul diakibatkan
adanya penyakit bawaan tanah, perlu upaya dalam penanggulangan
penyakit bawaan tanah. Artikel ini disusun untuk menjelaskan tentang
peran tanah sebagai reservoir penyakit, patogen yang terdapat dalam tanah,
penyakit bawaan tanah, upaya penanggulangan penyakit bawaan tanah.
Penyebab Terjadinya Kontaminasi Tanah yaitu:
1. Kontaminasi tanah oleh polutan organik dananorganik Seiring dengan pesatnya
pertumbuhan industrialisasi berdampak pada buangan limbah industri yang
tidak terkendali. Limbah ini dibuang ke tanah baik secara langsung maupun
setelah pengolahan. Limbah-limbah yang dibuang dari hasil kegiatan industri,
kegiatan perkotaan, kegiatan domestik, maupun kegiatan pertambangan sering
mengandung polutan bahan anorganik (logam berat, nitrat,sianida, fosfat, dll)
maupun polutan bahan organic (pestisida, herbisida, fungisida) dalam
konsentrasi tinggi. Jika bahan-bahan polutan tersebut tidak terkandung dalam
tanah, bahan-bahan polutan ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
rantai makanan, aerosol, debu, air irigasi, air tanah, dan air minum. Tanah yang
menerima limbah akan menjadi reservoir bahan kimia yang akhirnya dapat
berpengaruh terhadap kesehatan manusia (Ganeshamurthy, dkk, 2008).
2. Kontaminasi tanah oleh mikroorganisme pathogen Tanah adalah reservoir
patogen manusia dan parasit. Tanah yang menjadi penerima dari semua jenis
limbah, dapat mengandung mikroorganisme seperti cacing, bakteri, virus, dan
jamur patogen dalam konsentrasi tinggi. Manusia dapat kontak dengan tanah
secara permanen baik secara langsung atau tidak langsung melalui makanan,
air, dan udara. Oleh karena itu tanah bertindak sebagai vector utama dan
berfungsi sebagai sumber utama agen penyebab penyakit pada manusia
(Ganeshamurthy,dkk, 2008). Berdasarkan asal agen etiologi penyakit pada
manusia yang berhubungan dengan tanah dapat diklasifikasikan menjadi empat
kategori (Weissman, dkk, (1976) yaitu: (1). Penyakit bawaan tanah yang
disebabkan oleh patogen oportunistik atau muncul dari mikroorganisme biota
tanah (misalnya Aspergillus fumigatus, jamur yang umum terdapat di tanah
yang dapat menginfeksi paru-paru melalui inhalasi spora); (2). Penyakit
bawaan tanah yang menyebabkan keracunan akibat konsumsi makanan yang
terkontaminasi dengan entero atau neurotoksin (misalnya Clostridium
botulinum, C. perfrigens,dan Bacillus cereus); (3). Penyakit bawaan tanah yang
disebabkan oleh endemik patogen ke tanah (misalnya Clostridium tatani, C.
perfringens dan Bacillus anthracis); (4). Penyakit bawaan tanah yang
disebabkan oleh masuknya patogen ke dalam tanah melalui ekskreta (buangan)
dari hewan dan manusia termasuk bakteri, virus, protozoa, dan cacing.

4.4 Gejala Klinis


Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari
beratnya infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan
kerentanan penderita terhadap infeksi cacing ini (Natadisastra,
2012). Penderita Ascariasis tidak akan merasakan gejala dari
infeksi ini (asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-20 ekor
didalam tubuh manusia sehingga baru dapat diketahui jika ada
pemeriksaan tinja rutin ataupun keluarnya cacing dewasa bersama
dengan tinja. Gejala klinis yang timbul bervariasi, bisa dimulai dari
gejala yang ringan seperti batuk sampai dengan yang berat seperti
sesak nafas dan perdarahan. Gejala yang timbul pada penderita

Ascariasis berdasarkan migrasi larva dan perkembangbiakan cacing


dewasa, yaitu:
1. Gejala akibat migrasi larva A. lumbricoides

Selama fase migrasi, larva A. lumbricoides di paru


penderita akan membuat perdarahan kecil di dinding alveolus
dan timbul gangguan batuk dan demam. Pada foto thorak
penderita Ascariasis akan tampak infiltrat yaitu tanda terjadi
pneumonia dan eosinophilia di daerah perifer yang disebut
sebagai sindrom Loeffler. Gambaran tersebut akan
menghilang dalam waktu
3 minggu (Southwick dkk, 2007).

2. Gejala akibat cacing dewasa


Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala utamanya
berasal dari dalam usus atau migrasi ke dalam lumen usus
yang lain atau perforasi ke dalam peritoneum (Rampengan,
2008). Cacing dewasa yang tinggal dilipatan mukosa usus
halus dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual, muntah,
dan sakit perut. Perforasi cacing dewasa A. lumbricoides ke
dalam peritoneum biasanya menuju ke umbilikus pada
anak sedangkan pada dewasa mengarah ke inguinal. Cacing
dewasa A. lumbricoides juga dapat menyebabkan obstruksi
diberbagai tempat termasuk didaerah apendiks (terjadi
apendisitis), di ampula vateri (terjadi pancreatitis
haemoragis), dan di duktus choleduchus terjadi cholesistitis
(Zapata dkk, 2007). Anak yang menderita Ascariasis akan
mengalami gangguan gizi akibat malabsorpsi yang
disebabkan oleh cacing dewasa. A. lumbricoides perhari
dapat menyerap 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein,
sehingga pada anak- anak dapat memperlihatkan gejala
berupa perut buncit, pucat, lesu, dan rambut yang jarang
(Natadisastra, 2012; Manganelli dkk, 2012).
Penderita Ascariasis juga dapat mengalami alergi yang
berhubungan dengan pelepasan antigen oleh A. lumbricoides
dalam darah dan kemudian merangsang sistem imunologis
tubuh sebagai defence mechanism dengan gejala berupa asma
bronkial, urtikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler
(Alcantara dkk, 2010).
4.5 Dampak lanjutan Ascariasis
Pneumonia Eosinofilik Simplek (Sindroma LOeffler)
ditandai dengan hasil rontgen dada yang abnormal, yang disertai
dengan peningkatan jumlah eosinofil di dalam darah. Penyakit ini
biasanya akan sembuh dengan sendirinya sehingga tidak perlu
dilakukan pengobatan. Sindroma Loeffler tampaknya terjadi akibat
suatu reaksi alergi. Penyebab yang umum adalah migrasi dari cacing
parasit Ascaris Lumbricoides ke dalam saluran pernafasan. Reaksi
alergi kemungkinan dirangsang oleh protein yang terdapat di
permukaan tubuh cacing.
Parasit lainnya dari keluarga Ascaris juga bisa menyebabkan terjadinya
sindroma LOeffler . Penyebab lainnya adalah alergi terhadap obat-
obatan (misalnya antibiotik sulfonamid).

Gejalanya terdiri dari:


- merasa tidak enak badan,
- demam,
- batuk kering,
- nyeri dada,
- sesak nafas,
- mengi/bengek,
- pernafasan yang cepat, dan
- ruam kulit.

Pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar


suara ronki, yang menunjukkan adanya peradangan pada jaringan paru.
Bronkoskopi bisa menunjukkan adanya sejumlah besar eosinofilia.
Pada dahak, hasil cucian bronkus dan hasil kuras lambung bisa
ditemukan larva dari cacing Ascaris. Hitung jenis darah menunjukkan
adanya peningkatan sel darah putih, terutama eosinofil. Rontgen dada
biasanya menunjukkan adanya bayangan abnormal (infiltrasi), yang
lama kelamaan akan menghilang atau muncul kembali di bagian paru
yang berbeda. Bentuk yang lebih berat adalah pneumonia eosinofilik
kronik, dan jika tidak diobati sering bertambah buruk. Bisa timbul
sesak nafas yang bisa berakibat fatal.
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
a. Tanah sangat potensial sebagai reservoir penyakit ke manusia di mana tanah
dapat membawa dan sebagaitempat hidup berbagai macam mikroorganisme
pathogen serta tanah dapat menyimpan berbagai sumber polutan berbahaya akibat
kontaminasi tanah. Perlu upaya penanggulangan untuk menghindari penyebaran
penyakit ke manusia.

b. formula antelmetik sebagai pembunuh atau penghambat pertumbuhan cacing


gelang (askariasis lumbricoides) dinyatakan efektif sesuai dengan jurnal penelitian
yg sudah dicantumkan

c. penggunaan jamban yg belum terealisasikan keseluruh masyarakat


menyebabkan terjadinya pencemaran tanah akibat senyawa organic yakni tinja
manusia. Ini menjadi salah satu penyumbang

5.2 SARAN
1) Perlu diadakannya studi lebih lanjut tentang keakuratan dan
ektifitas ekstrak daun katuk sebagai pembunuh.
2) Perlu diadakannya penyuluhan lebih lanjut kepada para masyarakat
untuk penggunaan jamban pada kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Boxton, A. dan Fraser. 1977. Animal Microbiology. Blackwell Scientific


Publication. Oxford-LondonEdinburgh-Melbourne dalam Asep Ajit
Kusnadi, 1985, Skripsi : Penyakit-Penyakit Bakteria
Pada Hewan Ternak Yang Ditularkan Melalui Tanah, Fakultas
Kedokteran Hewan : ITB, hal 25-34
Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Barat Ditjen Tata Perkotaan dan Tata
Perdesaan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003.
Fitoremidiasi, Media Mengolah Air Limbah Dengan Media Tanaman
dalam http://digilibampl.net/file/pdf/fitoremediasi.pdf akses tanggal 19
maret 2013
Ganeshamurthy, A.N., Varalakshmi, L.R and Sumangala,
H.P. 2008. Environmental risks associated with heavy metal
contamination in soil, water and plants in urban and periurban agriculture.
Journal of Horticultural Science 3: 1-30 dalam An.Ganeshamurthy.
Linking Human Health to Soil Health. Indian Institute of Horticultural
Reseaqrch
Jeffery, S. And W.H. van der Putten, 2011, Soil Borne
Diseases of Humans, Luxembourg : Publications
Officeof the European Union, hal. 6-9
Kementerian Kesehatan. 2012. Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2011. Kementeria Kesehatan : Jakarta
Pencemaran tanah dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pencemaran_tanah. akses
tanggal 5 maret 2013
Santamaria, Johanna and Gary A. Toranzos, 2003, Enteric Pathogens and Soil : A
shot Review, Springer-Verlag and SEM
Seddon, H.R. 1965.Bacterial Diseases. 2nd ed.Diseases of Domestic in Australia,
Commonwealth of Australia, Department of Health, part 5,vol. 1,
pp. 12-82 dalam Asep Ajit Kusnadi, 1985, Skripsi:
Penyakit-Penyakit Bakterial Pada Hewan Ternak Yang Ditularkan Melalui
Tanah, Fakultas Kedokteran Hewan : ITB, hal. 25-26
Seifert, H.S. H. 1976.Specific Vaccination Against Soil-Borne Infection. Animal
Research andDevelopment. Vol. 5, pp. 7-13 dalam Asep
Ajit Kusnadi,1985, Skripsi : Penyakit-Penyakit Bakterial Pada
Hewan Ternak Yang Ditularkan Melalui Tanah, Fakultas Kedokteran
Hewan : ITB, hal 25-26
Sellinus, Olle, et. Al(ed.).2005. Essentials of Medical Geology,
Impact of The Natural Environment OnPublic Health. Elsevier : United
States. Hal. 486487
Slamet, Juli Soemirat. 1996. Kesehatan Lingkungan.Gadjah Mada University
Press : Yogyakarta
Soedarto,1995. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta dalam
Yohandromeda Syamsu. Ascariasis, Respons IgE dan Upaya
Penanggulangannya. Program Studi Imunologi Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga.
Van Ness, G.B., dan C. D.Stein.1956 Soil Favorable for Anthrax. Journal
American Vetenary Medicine

Anda mungkin juga menyukai