KELOMPOK
Abstrak
1
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris
lumbricoides). Angka kejadian Ascariasis tertinggi ditemukan pada negara berkembang
dengan lingkungan yang buruk serta di daerah tropis seperti Indonesia. Sebagai
penunjang perkembang biakan cacing gelang adalah sanitasi tanah yang buruk serta
pembuangan limbah organic dan non organic yang tidak pada tempatnya. Salah satu
terapi farmakologi sebagai penanggulangan penyakit Ascariasis adalah dengan
pemberian obat antelmintik secara teratur. Ekstrak daun katuk juga memiliki efektivitas
tinggi dalam pemusnahan cacing jenis ini. Pengobatan Ascariasis yang tidak tepat
sasaran dan tidak teratur dapat memicu munculnya penyakit Sindroma Loefller.
Kata Kunci : Ascariasis, Cacing Gelang, Ekstrak Daun Katuk, Sindroma Loeffler
KATA PENGANTAR
2
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul ” ASCARIASIS OLEH ASCARIS
LUMBRICOIDES AKIBAT PENCEMARAN TANAH ” tepat pada waktunya. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya
Tulis Ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skrip Karya Tulis Ilmiah
ini dapat diselesaikan, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Guru Pembimbing dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
2. Seluruh siswa SMK Farmasi Saraswati 3 Denpasar yang membantu, mendukung serta
memotivasi penulis.
3. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnan,
maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan dalam
penyempurnaan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Akhir kata semoga Karya Tulis Ilmiah ini
dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
3
DAFTAR ISI
5
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Table 2.1 Klasifikasi intensitas infeksi cacing menurut WHO...........................20
6
DAFTAR SKEMA
Skema 3.1 Penelitian Pendahuluan ....................................................................26
7
BAB I
PENDAHULUAN
8
Infeksi kecacingan sering dijumpai pada anak usia sekolah dasar dimana pada
usia ini anak-anak masih sering kontak dengan tanah. Salah satu cacing yang
penularannya melalui tanah adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
(Mardiana; Djarismawati, 2008). Berdasarkan data World Health Organization
(WHO) pada tahun 2008 didapatkan sekitar 800 juta sampai dengan 1 milyar
penduduk di dunia terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 700 juta sampai 900
juta penduduk dunia terinfeksi cacing tambang (Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale), 500 juta penduduk terinfeksi Trichuris trichiura, dan
300 juta penduduk dunia terinfeksi Oxyuris vermicularis. Data WHO (2013) pada
bulan Juni, didapatkan lebih dari 1,5 milyar atau 24% dari populasi penduduk di
dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths.
Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan golongan cacing yang bentuk
penularan penyakit cacing itu sendiri membutuhkan tanah sebagai media
perkembangbiakannya dengan didukung oleh kondisi tertentu. Kondisi yang dapat
mendukung perkembangbiakan cacing tersebut tergantung dari jenis cacing itu
sendiri. Cacing yang masuk dalam golongan STH yakni Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, dan
Strongyloides stercoralis (Sutanto dkk, 2008). Infeksi cacing A. lumbricoides
merupakan kejadian terbanyak yang ditemukan di dunia yaitu dengan prevalensi
sekitar 807 juta jiwa dan populasi yang berisiko sekitar 4,2 milyar jiwa. Risiko
tertinggi untuk terinfeksi cacing A. lumbricoides ialah di daerah benua Asia, Sub
Sahara, India, China, Amerika Latin, dan Kepulauan Pasifik (Hotez dkk, 2011).
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan tinja yang dilakukan pada 8 provinsi di
Indonesia tahun 2008, didapat angka prevalensi kecacingan yang tinggi, yakni
Banten 60,7%, Nanggroe Aceh Darussalam 59,2%, Nusa Tenggara Timur 27,7%,
Kalimantan barat 26,2%, Sumatera Barat 10,1%, Jawa Barat 6,7%, Sulawesi
Utara 6,7%, dan Kalimantan Tenggah 5,6% ( Ditjen PPL-RI Depkes RI, 2009).
Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2010 melaporkan bahwa infeksi
kecacingan merupakan urutan kelima penyakit yang menyerang balita, dengan
urutan penyakit tersering lainnya ialah Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA),
penyakit infeksi kulit, diare, dan demam. Penelitian epidemiologi telah
dilakukan di seluruh provinsi Indonesia terutama pada anak sekolah. Selain
9
penggolongan Ascariasis berdasarkan usia, menurut Higgins (2011) angka
kejadian Ascariasis banyak ditemukan pada wanita dari pada pria di Pulau
Sumatera.
Hasil penelitian oleh Gusta (2008) didapatakan bahwa 59,8% murid SDN 19
Kampung Manggis Kota Padang Panjang menderita Ascariasis. Kejadian
Ascariasis ini dapat ditemukan pada berbagai jenis usia. Prevalensi tertinggi
didapatkan pada anak golongan usia sekolah dasar yaitu pada usia 5-9
tahun karena ada hubungannya dengan kebiasaan anak-anak yang sering
bermain di tanah yang terkontaminasi cacing sehingga lebih mudah terinfeksi
(Manganelli dkk, 2012; Hotez dkk, 2011).
Gejala yang ditimbulkan pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh
cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada
di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan di alveolus dan timbul
gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia (Sutanto dkk.,
2008).
Eosinofilia bukan merupakan gejala suatu penyakit, tetapi merupakan respons
imunitas sesorang terhadap suatu penyakit. Peningkatan jumlah eosinofil dalam
darah biasanya menunjukkan respons terhadap adanya infeksi parasit atau bahan-
bahan penyebab reaksi alergi (Balqis U, 2007).
Respons pejamu (host) terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks
oleh karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan
terhadap infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Apabila seseorang
terinfeksi cacing maka cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-
4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan
dan aktifasi eosinofil. Kemudian IgE yang berikatan dengan permukaan cacing
diikat oleh eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granula
enzim yang menghancurkan parasit ( Bratawidjaja K; Rengganis I, 2009).
Eosinofil yang telah berikatan dengan IgE akan mendegranulasi dan melepaskan
kandungan granulanya di atas permukaan kutikula cacing (Balqis U, 2007). Hasil
penelitian Fulanda A (2014) di SDN 014 Olo Ladang Kota Padang dari 63
sampel yang diambil secara acak didapatkan 36,5% siswa SDN 014 Olo
10
Ladang yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides. Berdasarkan penelitian
Julika D, (2014) yang dilakukan di sekitar pinggiran rel Kelurahan Banten,
Kecamatan Medan Tembung dari 20 sampel anak yang terinfeksi cacing
didapatkan jumlah eosinofil meningkat 90% (18 anak) dan eosinofil yang normal
sebanyak 10% (2 orang anak). Hasil penelitian Silalahi Reggy Harahap Baringin,
dkk, (2014) hasil adanya perbedaan jumlah eosinofil darah yang bermakna antara
kecacingan dengan yang tidak kecacingan.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian karena
ingin mengetahui jumlah eosinofil pada anak yang menderita Ascariasis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka didapatkan rumusan masalah,
yaitu:
1. Bagaimana cara pengobatan non farmakologi dan farmakologi
dari penyakit Ascariasis ? ”
2. Apa jenis senyawa polutan dari pencemaran tanah yang menyebabkan
terjadinya pertumbuhan Ascaris Lumbricoides penyebab Ascariasis.
3. Apa gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi Ascaris Lumbricoides
( Cacing Gelang ) terhadap tubuh manusia ?
4.Apa dampak lebih lanjut akibat Ascariasis pada tubuh manusia?
11
12
12
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ascariasis
13
14
2.1.2 Taksonomi A. lumbricoides
Phylum : Nemathelminthes
Sub phylum :Ascaridoidea
Ordo : Ascaridida
Family : Ascaridae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris lumbricoides (Jefrey, 1983)
2.1.3 Epidemiologi
14
15
2.1.4 Morfologi
15
16
Cacing dewasa hidup dalam jangka waktu ±10 – 24 bulan . Cacing
dewasa dilindungi oleh pembungkus keras yang kaya akan kolagen dan
lipid serta menghasilkan enzim protease inhibitor yang berfungsi untuk
melindungi cacing agar tidak tercerna di sistem pencernaan manusia
(Satoskar, 2009). Cacing ini juga memiliki sel-sel otot somatik yang besar
dan memanjang sehingga mampu mempertahankan posisinya di dalam usus
kecil. Jika otot somatik tersebut lumpuh oleh obat cacing, maka cacing akan
mudah keluar melalui anus karena gerakan peristaltic di usus (Zaman,
2008). Cacing betina mampu bertahan hidup selama 1- 2 tahun dan
memproduksi 26 juta telur selama hidupnya dengan 100.000 – 200.000
butir telur per hari yang terdiri dari telur yang telah dibuahi (fertilized),
yang tidak dibuahi (unfertilized), maupun telur dekortikasi (Brown dkk,
1994). Telur dekortikasi adalah telur A.lumbricoides yang telah dibuahi tapi
kehilangan lapisan albuminoid (Natadisastra, 2012).
17
18
2.1.7 Diagnosis
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Sauropus
Spesies : Sauropus androgunus(L.) Merr. (Tjitrosoepomo, 2002)
2.2.1 Morfologi
20
21
BAB III
METODE PENULISAN
21
22
1. Penelitian yang kami gunakan dalam karya tulis ilmiah kali ini
adalah penelitian melalui studi pustaka. Literature yang kami
gunakan ialah Jurnal Penelitian Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Penelitian ini merupakan penelitian jenis
eksperimental laboratorik dengan rancangan the post test only
controlled group design (Taufiqurahman, 2004).
3.4Teknik
Sampling
3. Variabel Perancu
23
24
a. Variabel Perancu Terkendali
1) Ukuran cacing
Ukuran cacing adalah panjang rata-rata untuk cacing gelang babi dewasa,
diukur dalam satuan sentimeter (cm). Cacing yang digunakan dalam
penelitian ini berukuran 15-35 cm, tanpa membedakan jenis kelamin
cacing.
2) Suhu Percobaan
Suhu percobaan dikendalikan dengan inkubator pada suhu37°C
karena menyerupai dengan kondisi lingkungan dalam tubuh inang.
1) Umur cacing
Peneliti tidak dapat mengetahui sejak kapan cacing hidup di usus babi,
serta tidak mengetahui waktu pasti telur menetas menjadi dewasa.
Sehingga umur cacing merupakan variabel yang tidak dapat
dikendalikan
24
25
1. Penelitian pendahuluan
Ascaris
lumbricoides
25
26
26
3.7 Alat dan Bahan Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Pengambilan Bahan
Zat basa ini sangat efektif terhadap Oxyuris dan Ascaris berdasarkan
perintangan penerusan-impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan
untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerakan peristaltik usus. Efek
sampingnya jarang terjadi, pada overdose timbul gatal-gatal (urticaria),
kesemutan (paresthesia) dan gejala neurotoksis (rasa kantuk, pikiran kacau
konvulsi, dll). Dosis terhadap Ascaris 75 mg/kg berat badan atau dosis
tunggal dari 3 g selama 2 hari (Tjay dan Rahardja, 2007).
5) Levamisol
Derivat-imidazol ini sangat efektif untuk Ascaris dan cacing tambang dengan
jalan melumpuhkannya. Khasiat lainnya yang penting adalah stimulasi
sistem-imunologi tubuh. Efek sampingnya. jarang terjadi, yakni reaksi alergi
(rash), granulocytopenia dan kelainan darah lainnya. Dosis untuk askariasis
pada orang dewasa dengan berat badan lebih dari 40 kg adalah 150 mg
d.c (garam HCl), anak-anak 10-19 kg: 50 mg, 20-39 kg: 100 mg (Tjay dan
Rahardja, 2007).
6) Praziquantel
Obat ini digunakan sebagai obat satu-satunya pada schistosomiasis dan juga
dianjurkan pada taeniasis. Khasiatnya berdasarkan pemicuan kontraksi cepat
pada cacing dan desintegrasi kulitnya, untuk kemudian dikeluarkan dari
tubuh. Dosis 600 mg setelah makan malam. Untuk taeniasis dosis tunggal
10 mg/kg (Tjay dan Rahardja, 2007).
4.3 Polutan
Tanah merupakan bagian tertipis dari seluruh lapisan bumi, tetapi
pengaruhnya terhadap kehidupan sangat besar (Slamet, 1996). Tanah
merupakan tempat tinggal bagi keragaman hayati dengan perkiraan yang
menyatakan bahwa 25% dari spesies bumi tinggal di tanah. Tanah adalah
tempat produksi sebagian besar makanan bagi makluk hidup. Selain itu,
tanah dapat berfungsi untuk menyediakan ekosistem melalui berbagai
interaksi yang kompleks antara organisme dalam tanah dan tanah itu
sendiri. Interaksi tersebut dapat berupa seperti pembentukan tanah,
penyaringan air, maupun penyediaan senyawa yang berguna seperti
antibiotik yang diisolasi dari organisme tanah (Slamet,1996 & Jeffery, dkk,
2011). Tanah secara langsung dapat mempengaruhi kesehatan dalam
bentuk penyakit bawaan tanah (soil-borne).
Sebagianbesar organisme hidup adalah mikroba yang banyak
ditemukan di tanah. Beberapa mikroba di dalam tanah bersifat patogen
bagi manusia, termasuk protozoa, jamur, bakteri, dan juga virus,
beberapa mikroorganisme tersebut beberapa memerlukan inang/host
untukkelangsungan hidupnya (Sellinus, 2005). Soil-borne disease telah
memberikan dampakburuk pada manusia mulai dari penderitaan,
kecacatan, kebutaan, hingga kematian di seluruh dunia. Misal, berdasarkan
Vaccine-Preventable Disease Monitoring System 2012, tahun 2011 pada
kawasan SEARO, Indonesia menempati urutan kedua terbesar dengan 114
kasus Tetanus Neonatorum yang menyerang bayi baru lahir yang
disebabkan spora Clostridium tetani. Selain itu penyakit diare yang
diakibatkan oleh mikroba yang masuk ke dalam tanah melalui limbah tinja
masih menjadi perhatian serius di negara-negara berkembang terutama
Indonesia. Laporan Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit
Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan
pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur
merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%)(Kemenkes,
2012). Soil-borne disease juga dipengaruhi oleh zat-zat yang
terkandung dalam tanah baik yang berasal dari tanah itu sendiri maupun
berasal dari luar tanah sebagai akibat pengotoran ataupun pencemaran.
Tanah dapat menjadi vektor dan sumber dari agen penyakit pada manusia
yang penting. Hal ini diketahui karena tanah adalah penerima limbah
padat yang dapat mengandung patogen dalam konsentrasi tinggi (Slamet,
1996 & Santamaria, dkk, 2003).
Banyaknya permasalahan kesehatan yang muncul diakibatkan
adanya penyakit bawaan tanah, perlu upaya dalam penanggulangan
penyakit bawaan tanah. Artikel ini disusun untuk menjelaskan tentang
peran tanah sebagai reservoir penyakit, patogen yang terdapat dalam tanah,
penyakit bawaan tanah, upaya penanggulangan penyakit bawaan tanah.
Penyebab Terjadinya Kontaminasi Tanah yaitu:
1. Kontaminasi tanah oleh polutan organik dananorganik Seiring dengan pesatnya
pertumbuhan industrialisasi berdampak pada buangan limbah industri yang
tidak terkendali. Limbah ini dibuang ke tanah baik secara langsung maupun
setelah pengolahan. Limbah-limbah yang dibuang dari hasil kegiatan industri,
kegiatan perkotaan, kegiatan domestik, maupun kegiatan pertambangan sering
mengandung polutan bahan anorganik (logam berat, nitrat,sianida, fosfat, dll)
maupun polutan bahan organic (pestisida, herbisida, fungisida) dalam
konsentrasi tinggi. Jika bahan-bahan polutan tersebut tidak terkandung dalam
tanah, bahan-bahan polutan ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
rantai makanan, aerosol, debu, air irigasi, air tanah, dan air minum. Tanah yang
menerima limbah akan menjadi reservoir bahan kimia yang akhirnya dapat
berpengaruh terhadap kesehatan manusia (Ganeshamurthy, dkk, 2008).
2. Kontaminasi tanah oleh mikroorganisme pathogen Tanah adalah reservoir
patogen manusia dan parasit. Tanah yang menjadi penerima dari semua jenis
limbah, dapat mengandung mikroorganisme seperti cacing, bakteri, virus, dan
jamur patogen dalam konsentrasi tinggi. Manusia dapat kontak dengan tanah
secara permanen baik secara langsung atau tidak langsung melalui makanan,
air, dan udara. Oleh karena itu tanah bertindak sebagai vector utama dan
berfungsi sebagai sumber utama agen penyebab penyakit pada manusia
(Ganeshamurthy,dkk, 2008). Berdasarkan asal agen etiologi penyakit pada
manusia yang berhubungan dengan tanah dapat diklasifikasikan menjadi empat
kategori (Weissman, dkk, (1976) yaitu: (1). Penyakit bawaan tanah yang
disebabkan oleh patogen oportunistik atau muncul dari mikroorganisme biota
tanah (misalnya Aspergillus fumigatus, jamur yang umum terdapat di tanah
yang dapat menginfeksi paru-paru melalui inhalasi spora); (2). Penyakit
bawaan tanah yang menyebabkan keracunan akibat konsumsi makanan yang
terkontaminasi dengan entero atau neurotoksin (misalnya Clostridium
botulinum, C. perfrigens,dan Bacillus cereus); (3). Penyakit bawaan tanah yang
disebabkan oleh endemik patogen ke tanah (misalnya Clostridium tatani, C.
perfringens dan Bacillus anthracis); (4). Penyakit bawaan tanah yang
disebabkan oleh masuknya patogen ke dalam tanah melalui ekskreta (buangan)
dari hewan dan manusia termasuk bakteri, virus, protozoa, dan cacing.
5.1 KESIMPULAN
a. Tanah sangat potensial sebagai reservoir penyakit ke manusia di mana tanah
dapat membawa dan sebagaitempat hidup berbagai macam mikroorganisme
pathogen serta tanah dapat menyimpan berbagai sumber polutan berbahaya akibat
kontaminasi tanah. Perlu upaya penanggulangan untuk menghindari penyebaran
penyakit ke manusia.
5.2 SARAN
1) Perlu diadakannya studi lebih lanjut tentang keakuratan dan
ektifitas ekstrak daun katuk sebagai pembunuh.
2) Perlu diadakannya penyuluhan lebih lanjut kepada para masyarakat
untuk penggunaan jamban pada kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA