Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI PARASITOLOGI
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PARASITOLOGI
FKH UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Oleh :

Dyah Ayu Nur Rohma, S.KH


170130100011067

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
menyelesaikan laporan Kegiatan PPDH Rotasi Diagnosa Laboratorik. Dengan
penuh hormat dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada
beberapa pihak diantaranya :
1. Dr.Ir. Sudarminto S, Yuwono, M.App.Sc,selaku Dekan FKH Universitas
Brawijaya.
2. drh. Wawid Purwatiningsih, M.Si selaku koordinator PPDH FKH UB.
3. drh. Nurina Titisari, M.Sc., sebagai Dosen Penguji I yang telah mengarahkan
dan memberi bimbingan, serta dukungan kepada penulis dalam penyusunan
dan penyempurnaan laporan ini.
4. drh. Rahadi Swastomo sebagai Dosen Penguji II yang telah mengarahkan dan
memberi bimbingan, serta dukungan kepada penulis dalam penyusunan dan
penyempurnaan laporan ini.
5. Dokter hewan pembimbing di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.
6. Alm. ayahanda Samsul Ma’arif, Ibunda Siti Mu’jizah, Kakak tercinta dr.
Syaifuddin Zuhri, dan Suami tersayang Luky Satria N beserta pangeran
kecilku Fawwaz Al Uwais N dan calon adiknya serta seluruh keluarga besar
yang telah banyak memberikan doa dan dorongan semangat kepada penulis.
7. Sahabat kelompok 6 “Asixasixjon” dalam pelaksanaan PPDH dan teman
seperjuangan PPDH gelombang X yang selalu memberi semangat dan
motivasi dalam menempuh gelar dokter hewan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, saran-saran demi
kebaikan dan pengembangan isi dari tulisan ini akan diterima dengan senang hati. Penulis
berharap laporan ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi
pembaca.
Malang, 1 april 2019
Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
LAPORAN KEGIATAN PPDH .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Tujuan .............................................................................................................. 2
1.4 Manfaat ............................................................................................................ 2
BAB II PELAKSANAAN DAN METODELOGI PEMERIKSAAN ............. 3
2.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan .................................................................. 3
2.2 Metode Pemeriksaan dan Identifikasi Helminth ........................................ 3
2.2.1 Metode Pembuatan Preparat Permanen ....... Error! Bookmark not
defined.
2.3Metode Pemeriksaan dan Identifikasi Protozoa .......................................... 5
2.3.1 Pemeriksaan Natif ........................................................................... 5
2.4 Protozoa Darah ............................................................................................... 5
2.4.1 Teknik Pembuatan Ulas Darah ....................................................... 5
2.4.2Teknik Pembuatan Ulas Darah dengan Pewarnaan Giemsa ... Error!
Bookmark not defined.
2.5 Metode Pemeriksaan dan Identifikasi Arthropoda .................................... 8
2.5.1 Pengumpulan Sampel...................................................................... 8
2.5.2 Pengawetan Basah .......................................................................... 9
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 10
3.1 Kasus Helmint ...................................................................................... 10
3.1.1 Kasus Toxocara vitulorum. ........................................................... 10
3.1.2 Kasus Moniezia expanza ............................................................... 13
3.2 Kasus Arhtropoda......................................................................................... 16
3.2.1 Kasus Sarcophaga ........................................................................ 16
3.2.2 Kasus Menopon gallinae............................................................... 20
3.3 Kasus Protozoa ............................................................................................. 23
3.3.1 Kasus Entamoeba ................................................................................. 23
3.3.2 Kasus Giardia .............................................................................. 28
BAB IV PENUTUP............................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 34

iv
v
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

3.1.Telur Toxocara vitulorum..……………………………………………..… 10


3.2.Siklus Hidup Toxocara vitulorum…………………………………………..... 11
3.3. Moniezia expansa ………………………………………………………… 12
3.4. Proglotid Moniezia expansa…………………………………..………….. 15
3.5 Siklus Hidup Moniezia expansa…………………………………………… 16
3.6 Sarcophaga haemorrhoedalis ……………………………………………... 17
3.7 Siklus Hidup Sarcophaga haemorrhoedalis ……………………………… 19
3.8 Menepon gallinae …………………………………………….…………..… 20
3.9 Menopon gallinae (tampak dorsal)………………………………………… 21
3.10 Siklus Hidup Menopon galinae ………………………………………...… 22
3.11. Entamoeba sp. …………………….………………………………………… 23
3.12 Siklus hidup Entamoeba sp………………………………………………… 26
3.13. Giardia sp………………………………………………………………...... 28
3.14. Siklus Hidup Giardia lambia……………………………………………… 30

vi
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Parasitologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
parasit. Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain
yang dikenal sebagai inang (hospes). Pada umumnya setiap hewan atau tanaman
mengandung parasite. Ilmu mengenai parasitologi mempelajari organisme parasit
yang meliputi: protozoa, helminth, arthropoda dan insekta parasit, baik yang
zoonosis ataupun anthroponosis. Cakupan parasitologi meliputi taksonomi,
morfologi, siklus hidup masing-masing parasit, serta patologi dan epidemiologi
penyakit yang ditimbulkannya. Organisme parasit adalah organisme yang
hidupnya bersifat parasitis; yaitu hidup yang selalu mrugikan organisme yang
ditempatinya (hospes).
Terdapat beberapa parasit yang bersifat zoonosis, sehingga dapat
menularkan penyakit dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Kejadian parasitosis
disebabkan oleh berbagai agen infeksius. Dokter hewan sebagai garda terdepan
dibidang medik veteriner, bertugas untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Dokter hewan dituntut untuk mampu mendiagnosa penyakit yang disebabkan oleh
beberapa agen parasit pada hewan. Peneguhan diagnosa penyakit parasit baik itu
helminth, protozoa, dan arthropoda dapat dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium karena diagnosis berdasarkan pada temuan gejala klinik kurang
dapat dipastikan. Diagnosa infestasi helminth, protozoa, dan arthropoda dilakukan
melalui pemeriksaan sampel feses, sampel darah, sampel organ, maupun sampel
kerokan kulit. Pemeriksaan feses dilakukan dengan metode natif, sedimentasi dan
apung untuk mengetahui keberadaan telur cacing atau protozoa pencernaan.
Pemeriksaan ulas darah dilakukan untuk mengetahui keberadaan protozoa darah.
Pengawetan kering dan basah pada arthropoda dilakukan untuk identifikasi jenis
astrhropoda yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk mengetahui jenis parasit
yang menyerang dan memberikan terapi yang tepat. Selain itu juga mampu untuk
memutus siklus hidup dari parasit tersebut.

1
Melalui kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Universitas
Brawijaya di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH)
Universitas Airlangga, Surabaya bertujuan agar mahasiswaPPDH mampu
mendiagnosa penyakit melalui disiplin ilmu Parasitologi sehingga dapat dilakukan
penanganan terhadap penyakit tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah metode identifikasi helminth, protozoa dan arthropoda
yang menyebabkan penyakit dalam bidang veteriner?
2. Bagaimanakah menentukan diagnosa penyakit yang diakibatkan oleh
helminth, protozoa dan arthropoda dalam bidang veteriner?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui metode identifikasi helminth, protozoa dan arthropoda yang
menyebabkan penyakit dalam bidang veteriner
2. Mengetahui menentukan diagnosa penyakit yang diakibatkan oleh
helminth, protozoa dan arthropoda dalam bidang veteriner
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan Pendidikan Profesi Dokter
Hewan (PPDH) Rotasi Laboratorium Parasitologi Veteriner yaitu mendapatkan
pengetahuan, pengalaman, wawasan dan ketrampilan khususnya dibidang
identifikasi dan diagnosa penyakit akibat terkait parasitologi sebagai bekal untuk
menentukan pencegahan dan penanganan yang tepat.

2
BAB II PELAKSANAAN DAN METODELOGI PEMERIKSAAN

2.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Pelaksanaan kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Rotasi
Parasitologi dimulai pada tanggal 16–27 April 2018 yang bertempat di
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga
Surabaya.
2.2 Metode Kegiatan
2.2.1 Prosedur Pemeriksaan Helminth

2.2.1.1 Metode Natif (Triani dkk, 2014)


- Ambil sedikit feses yang akan diperiksa
- Dihomogenkan dengan air perbandingan 1:10
- Kemudian diambil sampel feses dengan menggunakan pipet
- Diteteskan sampel pada object glass, lalu ditutupkan dengan menggunakan
cover glass dan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x

2.2.1.2 Metode Sedimentasi (Brown, 1979)


- Sampel feses sebanyak 3 gram dimasukkan dalam tabung reaksi
- Tabung reaksi diisi akuades sebanyak 30 ml dan diaduk hingga homogen
- Filtrat disaring sebanyak dua kali dengan kain kasa dan kapas dimasukkan
ke dalam tabung sentrifus
- Filtrat di sentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 3000 rpm
- Supernatan yang terbentuk dibuang dengan hati-hati dengan menyisakan
endapan
- Endapan diteteskan pada object glass dan ditetesi methylene blue kemudian
ditutup dengan kaca penutup
- Endapan diamati dibawah mikroskop

2.2.1.3 Metode Apung (Shaikenov et al., 2004)


- Sampel feses ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan dalam tabung.
Tabung diisi dengan 5 ml larutan gula/garam jenuh, dihomogenkan dan diisi
kembali dengan larutan gula/garam jenuh hingga cembung
- Didiamkan selama 30 menit atau di sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm

3
selama 3 menit
- Mulut tabung ditutup dengan kaca penutup, kemudian didiamkan beberapa
menit lalu diangkat dan diletakkan diatas object glass dan telur cacing
diamati dibawah mikroskop

2.2.1.4 Metode Pemeriksaan Saluran Pencernaan Hewan (Sosiawati dkk., 2007)


- Memisahkan dan keluarkan saluran pencernaan mulai dari esofagus sampai
dengan anus
- Melakukan pembedahan pelan-pelan organ tersebut dengan menggunakan
alat-alat bedah (gunting, scalpel dan pinset)
- Mengeluarkan isi usus dan menyayat bagian-bagian tertentu untuk
menemukan cacing
- Melakukan kerokan (scrapping) dengan scalpel untuk mencari
kemungkinan adanya skoleks cacing pita atau coccidia terutama bila
terdapat keradangan atau mukosa hiperemis
- Cacing yang ditemukan letakkan pada object glass, cacing yang ukurannya
kecil dibuat preparat permanen yang besar dimasukkan ke dalam formalin
10%
- Dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop dengan pembesaran 40x
- Lakukan identifikasi cacing yang ditemukan

2.2.1.5 Pembuatan Preparat Permanen (Pewarnaan Semichen-Acetic Carmine)


(Sosiawati dkk., 2007)
- Melakukan fiksasi cacing dengan diantara dua gelas objek, kemudian kedua
object glass diikat dengan tali rafia
- Object glass beserta cacing dimasukkan kedalam alkohol gliserin 5%
selama 24 jam
- Dilanjutkan dengan memasukkan kedalam alkohol 70% selama 5 menit

- Setelah itu, memindahkan kedalam larutan Carmine yang sudah diencerkan


dan dibiarkan selama 8 jam bergantung ketebalan kutikula cacing
- Kemudian cacing dilepas dari fiksasi (object glass) dan dimasukkan
kedalam alkohol asam selama 2 menit
- Memindahkan kedalam alkohol basa selama 2 menit

4
- Setelah itu dilakukan dehidrasi bertingkat dengan alkohol sebagai berikut:
Alkohol 70% selama 5 menit, alkohol 85% selama 5 menit, alkohol 95%
selama 5 menit
- Melakukan mounting kedalam larutan Hung’s selama 20 menit
- Kemudian cacing diambil dalam larutan Hung’s I, diletakkan pada object
glass yang dibersihkan dan diteteskan larutan Hung’s II secukupnya diatas
cacing, kemudian ditutup dengan cover glass
- Preparat permanen dikeringkan kedalam inkubator pada suhu 37ºC,
kemudian diletakkan pada suhu ruang untuk pendingin kemudian
identifikasi dibawah mikroskop
2.2.2 Prosedur Pemeriksaan Protozoa

2.2.2.1 Metode Natif (Shaikenov et al., 2004)


Metode natif adalah metode pemeriksaan sederhana, cepat, hanya dapat
menunjukkan tipe telur/ookista/larva secara langsung tetapi relatif kurang
sensitive terutama untuk infeksi endoparasit dengan derajat rendah. Metodenya
sebagai berikut:
- Dioleskan feses secukupnya pada object glass steril
- Diteteskan 1-2 tetes air atau ditambahkan lugol untuk pemeriksaan protozoa
pada object glass
- Ditutup dengan cover glass dan diperiksa dibawah mikroskop dengan
pembesaran 40-100x

2.2.2.2 Metode Apung (Gandahusada, 2000)


- Dibuat suspensi feses dengan perbandingan 1 bagian feses dan 10 bagian air
- Dilakukan penyaringan dan filtratnya dimasukkan ke dalam tabung
Sentrifus
- Dilakukan sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-5 menit
- Diulang beberapa kali sampai supernatan jernih, pelarut dibuang dan diganti
dengan larutan NaCl jenuh atau gula sampai 1 cm dari mulut tabung, lalu
dilakukan sentrifus dengan cara yang sama
- Tabung sentrifus diletakkan pada rak tabung dan pelan-pelan ditetesi

5
dengan NaCl jenuh sampai cairan terlihat cembung pada mulut tabung
sentrifuge
- Diletakkan cover glass pelan-pelan diatas tabung sentrifus, dibiarkan 1-2
menit
- Diambil cover glass dan diletakkan diatas object glass
- Diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 40-100x

2.2.2.3 Metode Swab Kerongkongan Unggas (Kurniadhi, 2009)


- Mulut unggas dibuka dengan hati-hati sampai kelihatan lubang orofaringeal
- Swab steril bisa menggunakan cotton bud yang dibasahi oleh NaCl kemudian
dimasukkan ke mulut unggas dan diusapkan di daerah orofaringeal
- Hasil swab dioleskan pada object glass kemudian dicampur dengan NaCl
- Tutup dengan cover glass kemudian bisa diamati dibawah mikroskop

2.2.2.4 Pembuatan Preparat Ulas Darah dan Pewarnaan Giemsa (Wahyuni, 2015)
- Letakkan object glass berisi darah dengan posisi mendatar diatas
meja/permukaan yang datar
- Letakkan ujung jari telunjuk kiri diatas object glass untuk memfiksasi object
glass diatas meja
- Dengan tangan kanan, letakkan object glass pendorong diatas tetesan darah
kedua, buat sudut 45º antara object glass yang berisi tetesan darah dan
object glass pendorong
- Biarkan darah menyebar keseluruh ujung gelas pendorong
- Tarik gelas pendorong kira-kira 5 mm, kemudian dorong kearah depan
dengan tetap mempertahankan sudut 45º
- Apusan yang baik adalah apusan berbentuk lidah rata dan makin mengecil
diujung
- Biarkan apusan mengering dalam suhu kamar
- Setelah mengering celup apusan darah tipis kedalam larutan metanol untuk
memfiksasi eritrosit, kemudian biarkan mengering kembali
- Teteskan air keatas apusan darah tebal untuk hemolisis eritrosit, biarkan
selama 15 menit
- Tetesi kedua object glass dengan larutan giemsa 3% dan biarkan selama 30

6
menit
- Siram dengan air mengalir sampai bersih
- Setelah bersih letakkan dalam keadaan miring dan biarkan mengering

2.2.2.5 Metode Scrapping Usus (Iskandar dkk., 2002)


- Dengan scalpel bagian tumpul, kerok bagian mukosa usus yang memiliki
lesi
- Letakkan hasil kerokan pada object glass dan tutup dengan cover glass
- Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 400-1000x

2.2.2.6 Metode Gerusan Organ (Diagnosa Protozoa Jaringan) (Iskandar dkk.,


2002)
- Letakkan potongan organ sampel pada mortir dan gerus sampai hancur,
tambahkan beberapa tetes air sehingga didapatkan kepekatan yang
diinginkan
- Ambil satu tetes hasil gerusan dan letakkan pada object glass dan tutup
dengan cover glass
- Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 400-1000x

2.2.2.7 Metode Tekan Otak (Mufasirin, 2008)


- Pemeriksaan tekan otak dilakukan dengan cara mengambil sebagian kecil
otak dan diletakkan diatas object glass
- Otak kemudian ditutup dengan gelas penutup dan selanjutnya diletakkan
object glass yang lain yang diletakkan diatas gelas penutup sehingga
berimpitan dengan object glass pertama
- Penekanan menggunakan kedua ibu jari kedua tangan dan dilihat dibawah
mikroskop dengan pembesaran 400-1000x
2.2.3 Prosedur Pemeriksaan Arthropoda

2.2.3.1 Pengumpulan Sampel (Hastutiek dkk., 2014)


- Pengumpulan lalat dan nyamuk.
Sampel lalat dan nyamuk ditangkap menggunakan jaring insekta dan
beberapa ditangkap langsung dengan tangan menggunakan kantong plastik, lalu
disimpan dibotol air minum plastik berisi chloroform

7
- Pengumpulan kutu, pinjal dan caplak.
Kutu, pinjal dan caplak didapatkan dengan menyisir dan menyibak bulu
dari hewan-hewan tersebut, kemudian diambil dengan menggunakan pinset dan
ditampung dalam wadah plastik yang diisi KOH 10%.
- Pengumpulan tungau
Sampel tungau diperoleh dari hasil scrapping kulit hewan yang terdapat
keropengnya dikerok hingga berdarah kemudian hasil kerokan dicampur KOH
10%.

2.2.3.2 Pengawetan Kering (Hastutiek dkk., 2014)


- Pinning
Pinning (penusukkan tubuh serangga dengan pin) bertujuan untuk
mengawetkan serangga yang bertubuh keras. Serangga di pin tegak lurus melalui
tubuhnya. Lalat di pin pada bagian prothorax didaerah dexter dari media tubuh
serangga, sehingga tidak merusak pangkal-pangkal kaki. Serangga yang sudah di
pin ditancapkan pada balok gabus. Setelah itu, serangga dikeringkan didalam oven
50-60ºC selama 24 jam atau langsung dibawah sinar matahari. Serangga siap
disimpan dalam kotak penyimpanan serangga. Di dalam kotak ditaburi kapur
barus untuk mencegah serangga dimakan oleh serangga lainnya (semut).
- Spreading
Serangga yang bersayap sebelum di pin dikembangkan terlebih dahulu,
kaki-kakinya dibentangkan supaya memudahkan untuk mempelajari
morfologinya. Serangga yang kecil dapat diletakkan diatas ujung kertas segitiga
dan ditempel menggunakan lem.
- Labelling
Label memberikan informasi mengenai tanggal dan lokasi spesimen dan
tambahan keterangan perlu dibubuhkan seperti nama kolektor dan habitat
serangga tersebut.

2.2.3.3 Pengawatan Basah ( Permanent Mounting ) (Hastutiek dkk., 2014)


- Permanent Mounting Tanpa Pewarnaan
- Dimasukkan serangga kedalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%
- Dipanaskan selama 5-10 menit

8
- Dehidrasi dengan direndam dalam alkohol konsentrasi yang semakin meningkat
30%, 50%, 70%, 95%, 96% masing-masing selama 3-5 menit
- Direndam dalam larutan xylol selama 1 menit
- Mounting / melekatkan pada Canada balsam
- Labelling dan identifikasi dibawah mikroskop dengan pembesaran 40-100x
- Permanaen Mounting dengan Pewarnaan
- Dimasukkan serangga kedalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%
- Dicuci dengan akuades dua kali
- Direndam dalam alkohol 95% selama 10 menit
- Direndam dalam acid fuschin selama 30 menit
- Direndam dalam alkohol 95% selama 2 menit
- Direndal alkohol 95% + xylol selama 5 menit
- Direndam dalam xylol 1 menit
- Mounting dengan melekatkan ke object glass menggunakan Canada balsam
- Labelling dan identifikasi dibawah mikroskop dengan perbesaran 40-100x

9
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kasus Helmint
3.1.1 Kasus Toxocara vitulorum
a. Signalemen
Sampel : Feses
Ras/Breed : Sapi
Asal sampel : Peternakan di Batu
Tanggal pengambilan : 18 April 2018
Tanggal pengujian : 18 April 2018
Media pengawet : Formalin 10%
b. Anamnesa
Berdasarkan keterangan dari pemilik, sapi tersebut mengalami penurunan
nafsu makan dan diare.
c. Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Sapi terlihat kurus dan lemas.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Sampel feses diperiksa dengan menggunakan metode natif
kemudian diamati dengan mikroskop. Berdasarkan hasil pengamatan
secara mikroskopis ditemukan bentukan telur bulat dengan dinding yang
tebal dengan berwarna kecoklatan (Gambar 3.1) Berdasarkan
pemeriksaan feses sapi yang didapat ditemukan telur dari Toxocara
vitulorum.

Gambar 3.1 Telur Toxocara vitulorum dengan metode natif perbesaran 100X
(dokumentasi pribadi, 2018)
e. Diagnosa

10
Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, disimpulkan bahwa pada kasus ini adalah Toxocara
vitulorum.
f. Etiologi
• Taksonomi
Toxocariasis adalah penyakit parasite yang disebabkan oleh infeksi
cacing nematode dari familie Ascradae, genus Toxocara. Cacing ini
merupakan cacing yang ditemukan pada sapi dari rumah potong hewan
peggirian. Adapun taksonomi dari cacing ini sebagai berikut (OIE, 2008) :
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Toxocara
Spesies : Ascaris vitulorum
• Morfologi
Panjang cacing jantan sampai 25 cm dengan diameter 5mm.
Sedangkan cacing betina lebih panjang dengan ukuran panjang 30 cm dan
diameter 6mm. Cacing ini berkutikula tipis, lunak dan tampak transparan.
Terdapat 3 lapisan bibir, pada bagian dasar luas dan akan menyempit di
bagian anteriornya. Vulva cacing betina terletak 1/8 dari panjang tubuh
anterior. Cacing ini memiliki telur subglobuler berwarna kecoklatan
dikelilingi lapisan albumin dan berukuran 75-95x60-75 um.
• Siklus hidup
Toxocara vitulorum memiliki siklus hidup langsung (direct life
cicle), artinya tidak memiliki host perantara. Toxocara vitulorum ini
mempunyai host definitif sapi dan kerbau. Cacing betina dewasa bertelur
di usus dari host dan akan terbawa keluar bersama feses. Cacing ini
merupakan salah satu cacing yang sangat produktif. Sapi terinfeksi cacing
ini akan menumpahkan 8 juta telur setiap hari melalui feses. Setelah di
lingkungan, telur akan berkembang menjadi larva dan dalam waktu 7 – 15
hari dengan suhu 27 derajat hingga 30 derajat celcius (suhu ideal). Namun
pertumbuhan akan berhenti ketika suhu dibawah 12 C dan akan aktif lagi

11
setelah suhu naik lagi. Telur ini infektif dan akan mencemari padang
rumput. Pada tahap ini mereka akan dapat bertahan hidup selama
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, namun sensitive terhadap sinar
matahari (Agustina, 2013)

Gambar 3.2 Siklus Hidup Toxocara vitulorum (Agustina,2013)


Ternak akan terinfeksi setelah menelan embryonated eggs. Larva
akan keluar dari telur di dalam lambung, dan akan penetrasi ke dalam
dinding lambung dan migrasi ke dalam pembuluh darah dan menuju ke
liver, paru, tracea, mulut, esophagus, dan kembali ke usus halus, dimana
usus halus adalah tempat berkembang biak dan produksi telur. Ketika larva
bermigrasi ke jaringan lain, berupa kelenjar mamae dan plasenta, cacing
ini akan berpindah ke anak sapi atau ke fetus. Larva akan bertahan di
jaringan sampai 5 bulan. Larva yang sampai di kelenjar mamae akan
dormant sampai 3 minggu. Ketika anak sapi minum susu sapi maka akan
terjadi perpindahan dari ibu ke anak (lactogenic transmission). Larva
cacing yang tertelan oleh anak sapi akan masuk terus ke intestine dan
berubah menjadi dewasa setelah 3 minggu. Lama prepatent periode atau
pertama infeksi sampai menghasilkan telur adalah 3 – 4 minggu di tubuh
anak sapi. Di sapi dewasa lamanya tergantung pada migrasi larva dan lama
periode dorman di dalam jaringan.
g. Patogenesa Penyakit
Munculnya penyakit kematian pada anak sapi adalah cacing
dewasa akan berebut makanan dengan host sehingga terjadinya malnutrisi,
diare , colic, enteritis, dan menurunkan nafsu makan dan berdampak pada

12
turunnya berat badan. Selain itu cacing dewasa juga migrasi ke saluran
empedu dan menyebabkan cholangitis (akibat tersumbat).
Pada sapi dewasa cacing ini tidak terlalu menyebabkan patologis,
namun dapat menyebabkan infeksi sekunder akibat terjadinya larva
migrant, contohnya migrasi ke paru-paru dan akan menyebabkan infeksi
sekunder akibat akumulasi bakteri.
3.1.2 Kasus Moniezia expanza
a. Signalemen
Sampel : Saluran pencernaan
Ras/Breed : Domba
Asal sampel : Peternakan di Batu
Tanggal pengambilan : 18 April 2018
Tanggal pengujian : 18 April 2018
Media pengawet : Formalin 10%
b. Anamnesa
Domba memiliki feses lembek sudah 3 minggu, pakan berupa hijauan,
dedak dan ampas ketela pohon
c. Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Gejala klinis yang nampak pada hewan adalah kurus, rambut kusam dan
kering, feses lembek dan berwarna hijau. Ditemukan cacing dalam saluran
pencernaan domba.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Sampel cacing yang didapat, buat preparat permanen helmint
dengan mengawetkan cacing dewasa untuk mengidentifikasi cacing
dengan menggunakan bantuan mikroskop cahaya. Berdasarkan
pemeriksaan cacing (Gambar 3.3) yang didapat adalah cacing Moniezia
expanza

Gambar 3.3 Moniezia expanza dengan perbesaran 400 X(dokumentasi pribadi,


2018)

13
e. Diagnose
Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratoris,
disimpulkan bahwa pada kasus ini adalah Moniezia expanza.
f. Etiologi
• Taksonomi
Moniezia expansa merupakan cacing pita golongan cestoda yang
sering ditemukan pada usus halus sapi/lembu, domba dan kambing.
Hospes intermediet dari moniezia expansa yaitu jenis tungau tanah
(Oribatidae). Klasifikasi taksonomi moniezia expansa adalah sebagai
berikut (Levine, 1994):
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Ordo : Anoplocephalidea
Family : Anoplocephalidae
Genus : Moniezia
Species : Moniezia expansa
• Morfologi
M. expansa berbentuk pipih seperti lembaran, memiliki panjang
mencapai 600 cm dengan lebar 1,6 cm dan memiliki scolex. Ukuran scolex
0,3-0,8 mm yang dilengkapi dengan 4 buah sucker. Pada sucker tidak
terdapat rostellum maupun kait. Moniezia expansa tidak memiliki alat
pencernaan, tidak memiliki mulut, anus, dan intestin sehingga hewan yang
bersifat parasit ini menyerap sari-sari makanan dari inangnya melalui
proglotid. Sucker yang terdapat pada kepalanya berfungsi sebagai alat
melekatkan diri di usus inangnya. Proglotid lebih lebar dari panjang dan
tiap-tiap proglotid mengandung 2 genital organ. Sehingga apabila
proglotid lepas, dapat tumbuh menjadi individu baru yang sempurna. Di
tepi posterior masing-masing proglotid terdapat porus genitalis. Ovarium
dan kelenjar vitelin berbentuk melingkar seperti cincin pada kedua sisi, di
sebelah medial canalis ekskretori. Testis tersebar dengan glandula
interproglotida ada di sepanjang lebar proglotid, ditengahnya terdapat

14
canalis ekskretori. Batas posterior tiap proglottid adalah barisan kelenjar
interproglotid berbentuk roset (seperti bunga mawar). Telur kadang-
kadang berbentuk triangular yang berisikan apparatus piriformis dengan
ukuran diameter 56-57 mm (Kusnoto et al., 2011).

Gambar 3.4 Proglotid moniezia expansa (Sany et al., 2004).

• Siklus hidup
Siklus hidup Moniezia expansa membutuhkan 2 inang, hewan
ruminansia sebagai inang definitif dan tungau sebagai inang intermediet.
Cacing dewasa dalam usus inang akan melepaskan segmen gravid yang
kemudian keluar secara pasif bersama feses dan terkubur di tanah,
kemudian termakan oleh tungau. Telur (proglotid) harus termakan oleh
tungau dalam waktu 1 hari setelah keluar, jika tidak mereka akan mati.
Setelah di dalam usus tungau, telur menetas dan berkembang menjadi
sistiserkus (stadium infektif) selama ± 4 bln. Sistiserkus yang telah matang
keluar dari tubuh tungau. Hospes defenitif terinfeksi karena makan tungau
bersama tumbuh-tumbuhan. Cacing ini memiliki periode prepaten selama
37-40 hari (Sany et al., 2004).

15
Gambar 3.5 Siklus Hidup Moniezia expansa (Sany et al., 2004)

g. Patogenesa Penyakit
Bentuk cysticercoid pada umumnya hanya hidup pada hewan
dibawah 6 bulan dan terlihat gejala yang timbul, meskipun cacing ini juga
terdapat pada hewan-hewan dewasa. Kelainan yang ditimbulkan pada
umumnya ringan dan tidak menciri, pada infeksi berat menyebabkan
kelemahan, diare (karena iritasi oleh proglotid cacing) atau konstivasi
(karena tersumbatnya usus oleh cacing), konvulsi (kejang-kejang). Pada
diagnosa sering dikelirukan jika dilakukan pemeriksaan bedah bangkai,
karena cacing Moniezia sp ukurannya besar maka dugaan penyebab sakit
ditimpakan kepadanya, sedangkan cacing Trichostrongylus sp yang lebih
pathogen tetapi ukurannya sangat kecil sering diabaikan (Kusnoto et al.,
2011).
3.3 Kasus Arhtropoda
3.3.1 Kasus Sarcophaga
a. Signalemen
Jenis sampel : Lalat Sarcophaga haemorrhoedalis
Asal sampel : Pasar tradisional Surabaya
Tanggal pengambilan : 25 April 2018
Tanggal pengujian : 26 April 2018
Pengawetan : Pinning menggunakan paku baja kemudian
dimasukkan ke dalam oven 50-60°C selama 24
jam.
b. Anamnesa

16
Lingkungan tempat pengambilan sampel dekat dengan tempat sampah dan
tempat penjualan daging
c. Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Tidak terdapat gejala klinis
d. Pemeriksaan Laboratorium
Pinning menggunakan paku baja kemudian, dimasukkan ke dalam oven
50-60°C selama 24 jam.

Gambar 3.6 Lalat Sarcophaga haemorrhoedalis dengan perbesaran 40X (dokumentasi


pribadi, 2018)

e. Diagnosa
Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratoris,
disimpulkan bahwa penyebab pada kasus ini adalah Sarcophaga
haemorrhoedalis.
f. Etiologi
• Taksonomi
Berdasarkan venasi sayap dan ciri morfologi, didapatkan bahwa
lalat tersebut merupakan lalat Sarcophaga haemorrhoedalis yang
memiliki taksonomi sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Sarcophaginae
Genus : Sarcophaga
• Morfologi

17
Lalat Sarcophaga haemorrhoedalis berwarna abu-abu tua, berukuran
sedang sampai besar, kira-kira 6-14 mm panjangnya. Lalat Sarcophaga
haemorrhoedalis mempunyai tiga garis gelap pada bagian dorsal thoraks dan
abdomen mempunyai corak seperti papan catur.
• Siklus hidup

Lalat Sarcophaga haemorrhoedalis bersifat viviparus dan


mengeluarkan larva hidup pada tempat perkembangbiakannya seperti
daging, bangkai, kotoran, dan sayur yang sedang membusuk. Lalat
Sarcophaga haemorrhoedalis umumnya ditemukan di pasar dan warung
terbuka. Larva lalat Sarcophaga haemorrhoedalis dapat menginvasi luka-
luka yang septik, di mana lalat ini dapat hidup dari jaringan mati sampai
jaringan sehat. Mereka dapat juga berkembang di dalam usus dan
menyebabkan miasis usus (Subronto, 2007)
Siklus hidup lalat Sarcophaga haemorrhoedalis yaitu dari telur-
larva-pupa-dewasa. Pada fase telur, telur lalat berbentuk oval panjang,
bewarna putih dan diletakkan pada bagian organik yang lembab dan tidak
langsung terpapar sinar matahari. Telur akan menetas setelah 8-30 jam
tergantung dari suhu sekitarnya. Telur yang baru menetas disebut instar
berukuran panjang 2 mm berwarna putih,tidak bermata, sangat aktif .
Setelah 1-4 hari instar I melepas kulit keluar menjadi instar II. Larva instar
II berukuran 2 kali dari instar I sampai beberapa hari dan akan mengelupas
serta keluar menjadi instar III. Larva instar III berukuran 12 mm atau
lebih. Tingkat ini larva memerlukan waktu sampai 3-9 hari.dimana larva
mencari tempat dengan temperatur yang disenangi dengan berpindah-
pindah tempat. Tahap larva makan berlangsung beberapa hari, kemudian
keluar dari tempat makannya untuk pupasi di daerah yang lebih kering.
Pada fase pupa, jaringan tubuh larva berubah menjadi jaringan tubuh
dewasa, di mana pada stadium ini berlangsung 3-9 hari. Setelah stadium
ini selesai, pupa melalui celah lingkaran pada bagian anterior akan keluar
lalat muda. Proses pematangan menjadi lalat dewasa kurang lebih dari 15
jam.

18
Gambar 3.7 Siklus hidup lalat Sarcophaga haemorrhoedalis (Subronto, 2007)

g. Patogenesa Penyakit
Patogenesa penyakit yang disebabkan oleh lalat Sarcophaga ini
dimulai dari apabila terdapat luka akibat berkelahi, sayatan benda tajam,
gigitan caplak pada seekor hewan ataupun bangkai. Luka tersebut akan
menimbulkan bau darah segar yang mengalir yang akan menarik golongan
lalat termasuk lalat Sarcophaga untuk hinggap atau pun memakan daging
bangkai dan meletakkan telurnya pada pinggiran luka tersebut. Telur-telur
tersebut memiliki daya ikat yang kuat sehingga tidak mudah untuk lepas
jatuh ke tanah. Telur tersebut akan menetas dan menjadi larva yang akan
bergerak masuk ke dalam jaringan yang luka yang mengakibatkan luka
akan semakin membesar dan dalam (Subronto, 2007)

3.3.2 Kasus Menopon gallinae


a. Signalemen
Jenis Hewan : Ayam
Ras Hewan : Ayam kampung
Warna Hewan : Coklat
Lokasi : Disekitar tangkai bulu ayam
Tempat pengambilan sampel : Perkampungan warga
b. Anamnesa
Berdasarkan keterangan dari pemilik, ayam peliharaannya sering mematuk
bagian tubuhnya, ayam tampak aktif , nafsu makan baik.

19
c. Gejala Klinis dan Hasil Pemeriksaan
Kulit pada bagian dada ayam berwarna kemerahan. Sesekali ayam tampak
mematuk-matuk bagian tubuhnya. Area sekitar kandang tampak kotor serta
terdapat rontokan bulu ayam disekitar kandang. Kandang pemeliharaan bersifat
tradisional.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Sampel diambil dari badan ayam kampung yang diambil secara langsung
dari sekitar tangkai bulu kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan
metode pengawetan basah kemudian diamati menggunakan mikroskop,
didapatkan kutu dengan bentuk pipih dorsoventral dengan panjang ±2 mm, bagian
mesothorax dan metathorax berkembang baik. Sehingga disimpulkan kutu
tersebut adalah Menopon gallinae (Gambar 3.8)

Gambar 3.8 Menepon gallinae perbesaran 400x (dokumentasi pribadi, 2018)


e. Diagnosa
Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratoris,
disimpulkan bahwa pada kasus ini adalah Menopon gallinae.
f. Etiologi
• Taksonomi
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Phthiraptera
Subordo : Amblycera
Famili : Menoponidae
Genus : Menopon
Spesies : Menopon gallinae
• Morfologi

20
Menopon gallinae merupakan salah satu dari delapan spesies Phthiraptera
yang paling sering ditemukan pada unggas (El-Aw et al, 2008) dan kutu yang
menghisap darah hospes dengan cara menusuk tangkai bulu yang baru tumbuh
atau dengan cara melukai kulit (Tabbu, 2002).

Gambar3.9 Menopon gallinae (tampak bagian dorsal). A. Betina dan B. Jantan (Tabbu,
2002).
Menopon gallinae memiliki warna kekuningan, pipih dorsoventral dengan
panjang ±2 mm. mesothorax dan metathorax berkembang baik.Pada antena
terdapat5 segmen. Bagian abdominal chaetotaxy terdapat marginal setae dan
anterior tergal setae. Perbedaan Menopon gallinae jantan dan betina yaitu pada
Menopon gallinae jantan memiliki ukuran panjang 0,95 – 1,5 mm dan lebar 0,53 -
0,73 mm dengan bagian antena yang lebih besar yang berfungsi menhan betina
selama proses perkawinan (mating). Pada bagian abdomen terdapat 8 segmen
dengan jarak yang sama. Genital jantan terletak pada bagian sentral. Sedangkan
pada Menopon gallinae betina memiliki ukuran panjang 1,44 – 1,55 mm dan lebar
0,7 – 0,8 mm, panjang ukuran kepala 0,454 – 0,046 mm dan lebar 0,45 – 0,55
mm. Marginal setae lebih panjang pada segmen terakhir (El-Aw et al, 2008). Pada
segmen ketiga di abdomen terdapat bentukan seperti duri (patch of spine)
• Siklus Hidup
Siklus hidup Menopon gallinae mengalami metamorfosis tidak sempurna.
Siklus hidup berlangsung pada hospes dengan waktu 3-5 minggu. Telur (nits)
direkatkan pada bulu hospes kemudian setelah 4-5 hari akan berkembang menjadi
nimfa yang berukuran kecil (immature nymph) 3-4 hari. Nimfa kemudian akan
tumbuh menjadi dewasa. Selama periode dewasa ± 12 hari, Menopon gallinae
betina dapat meletakkan 4 telur per hari dengan rata – rata 1-2 telur per hari.
Menopon gallinae Siklus hidup Menopon gallinae dapat dilihat pada Gambar
3.10.

21
Gambar 3.10 Siklus hidup Menopon gallinae (Tabbu, 2002).
g. Patogenesa Penyakit
Menopon gallinae merupakan kutu yang menghisap darah dengan cara
menusuk tangkai bulu yang baru tumbuh atau dengan cara melukai kulit.
Akibatnya akan muncul seperti gatal (pruritus), iritasi kulit, dan infeksi sekunder.
Apabila terjadi infestasi berat juga dapat menimbulkan penurunkan nafsu makan,
rasa ketidaknyamanan mempengaruhi produksi telur, menimbulkan infeksi
sekunder, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, pertumbuhan
terhambat, bahkan kematian. Selain itu, infestasi Menopon gallinae pada
peternakan unggas denga nsistem intensif akan menimbulkan kerugian ekonomi
(Murillo dan Gerry, 2016).
3.3 Kasus Protozoa
3.2.1 Kasus Entamoeba
a. Signalemen
Ras/breed : Tikus liar
Umur : dewasa
Jenis sampel : feses
Asal sampel : Tikus Liar
Media pengawet : Kalium bikromat
Tanggal pengambilan sampel : 25 April 2018
Tanggal pengujian : 26 April 2018
b. Anamnesa
Pada tikus liar tidak ditemukan abnormalitas, badan gemuk, terlihat aktif
dan agresif.
c. Gejala Klinis dan Pemeriksaan

22
Tidak ditemukan gejala klinis yang nampak pada tikus liar
d. Pemeriksaan Laboratorium
Dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis menggunakan
mikroskop elektron atau mikroskop cahaya dengan cara ulas sampel feses
hewan yang terkontaminasi Entamoeba sp. Pembuatan sampel ulas feses
dengan metode natif, sedimen, apung, dan pewarnaan.

Gambar 3.11 Entamoeba sp. dengan perbesaran 100X (dokumentasi pribadi,


2018)
e. Diagnosa
Amoebiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa dari
genus Entamoeba sp. Entamoeba histolytica merupakan spesies dari genus
Entamoeba sp. yang bersifat pathogen. Parasit ini dapat menyerang
manusia, kera, anjing, kucing, tikus, dan babi (Levine, 1995; Soulsy,
1986).
f. Etiologi
• Taksonomi

Filum : Sarcomastigophora
Kelas : Lobosea
Ordo : Amoebida
Famili : Endamoebidae
Genus : Entamoeba
Spesies : Entamoeba sp.
• Morfologi
Entamoeba histolytica memiliki dua bentuk utama dengan satu
bentuk peralihan, yaitu bentuk tropozoit (bentuk vegetatif atau bentuk
histolytica), bentuk prekista (bentuk peralihan sebelum menjadi kista) dan
bentuk kista. Bentuk tropozoit dapat bergerak aktif, dengan diameter

23
antara 10-60 μm, sebagian besar berukuran 15-30 μm (bandingkan dengan
eritrosit normal yang berdiameter 7 μm). Entoplasma lebar, jernih
membias cahaya terpisah jelas dengan endoplasma; Psedopodium tipis
seperti jari. Endoplasma bergranula halus kadang-kadang ditemukan sel
darah merah dengan berbagai tingkat kerusakan. Inti tunggal terletak
Ekstrentris, pada preparat yang tidak di pulas, Inti tampak samar-samar
sebagai cincin berbutir halus. Dengan pewarnaan hematoksilin besi,
membran inti jelas, sebelah dalamnya melekat butir kromatin halus, sama
besar, rata, kariosom kecil letaknya di tengah inti. Tropozoit lebih mudah
rusak daripada kista. Didalam tinja, tropozit bertahan 5 jam pada suhu
30°C, 16 jam pada 25°C dan 96 jam pada suhu 50°C.
Bentuk prekista memiliki bentuk bulat atau bujur, tidak berwarna
lebih kecil dari tropozoit lebih besar dari kista tidak mengandung
makanan. Pseudopodium dikeluarkan perlahan-lahan tidak ada gerak yang
progresif. Bentuk kista berbentuk oval atau bulat agak simetris, dinding
halus membias cahaya, tidak berwarna, ukuran 10-20 μm (rata-rata 12-13
μm). Jumlah inti 1, 2 atau 4 buah. Pada kista muda dengan satu inti terlihat
Vakuola glikogen dengan benda kromatoid seperti cerutu, biasanya dua
buah. Keduanya sebagai cadangan makanan akan berkurang sampai hilang
pada kista berinti 4 buah. Pada bentuk kista ini dikenal bentuk kista kecil
(berukuran 10 μm). Biasanya tidak patogen, disebut bentuk minuta. Kista
mati dalam 5 menit pada suhu 500C, tidak tahan kering dan pembusukan.
Dalam tinja, kista tahan 2 hari pada suhu 37°C, sekurang-kurangnya dapat
bertahan 8 hari pada suhu 28-34°C. 87 Kista dapat bertahan lebih lama
dalam suhu dingin, 40 hari pada 2-60C dan 62,5 hari pada 00C (FK
UNSYIAH, 2016).
• Siklus hidup
Siklus hidup dimulai dari hewan menelan makanan/minuman yang
terkontaminasi oleh parasit tersebut, tinggal bentuk kista yang berinti empat
(kista masak) yang tahan terhadap asam lambung masuk ke usus. Disini
karena pengaruh enzym usus yang bersifat netral dan sedikit alkalis, dinding
kista mulai melunak, ketika kista mencapai bagian bawah ileum atau caecum

24
terjadi excystasi menjadi empat amoebulae. Amoebulae tersebut bergerak
aktif, menginvasi jaringan dan membuat lesi di usus besar kemudian tumbuh
menjadi trophozoit dan mengadakan multiplikasi disitu, proses ini terutama
terjadi di caecum dan sigmoidorectal yang menjadi tempat habitatnya. Dalam
pertumbuhannya amoeba ini mengeluarkan enzym proteolytic yang
melisiskan jaringan disekitarnya kemudian jaringan yang mati tersebut
diabsorpsi dan dijadikan makanan oleh amoeba tersebut. Amoeba yang
menginvasi jaringan menjalar dari jaringan yang mati ke jaringan yang sehat,
dengan jalan ini amoeba dapat memperluas dan memperdalam lesi yang
ditimbulkannya, kemudian menyebar melalui cara percontinuitatum,
hematogen ataupun lymphogen mengadakan metastase ke organ-organ lain
dan menimbulkan amoebiasis di organ-organ tersebut . Metastase tersering
adalah di hepar terutama lewat hematogen.Setelah beberapa waktu oleh
karena beberapa keadaan, kekuatan invasi dari parasit menurun juga dengan
meningkatnya pertahanan dan toleransi dari host maka lesi mulai mengadakan
perbaikan. Untuk meneruskan kelangsungan hidupnya mereka lalu
mengadakan encystasi, membentuk kista yang mula-mula berinti satu,
membelah menjadi dua, akhirnya menjadi berinti empat kemudian
dikeluarkan bersama-sama tinja untuk membuat siklus hidup baru bila kista
tersebut tertelan oleh hewan. Parasit ini mengalami fase Trophozoit, Precyste,
Cyste, Metacyste, Metacyste Trophozoit (CDC, 2010)
Hewan mamalia lain seperti anjing dan kucing juga dapat
terinfeksi. Trophozoit yang motil berukuran 18-30 um bersifat monopodial
(satu pseudopodia besar). Cytoplasma yang terdiri dari endoplasma dan
ektoplasma, berisi vakuola makanan termasuk erytrocyt, leucocyte, sel
epithel dari hospes dan bakteria. Di dalam usus trophozoit membelah diri
secara asexual. Trophozoit menyusup masuk ke dalam mukosa usus besar di
antara sel epithel sambil mensekresi enzim proteolytik.

25
Gambar 3.12 Siklus hidup Entamoeba sp. (CDC, 2010)

Di dalam dinding usus tersebut trophozoit terbawa aliran darah


menuju hati, paru, otak dan organ lain. Hati adalah organ yang paling
sering diserang selain usus. Di dalam hati trophozoit memakan sel
parenkim hati sehingga menyebabkan kerusakan hati. Invasi amoeba selain
dalam jaringan usus disebut amoebiasis sekunder atau ekstra intestinal.
Trophozoit dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi precystic.
Bentuknya akan mengecil dan berbentuk spheric dengan ukuran 3,5-20
um. Bentuk cyste yang matang mengandung kromatoid untuk menyimpan
unsur nutrisi glycogen yang digunakan sebagai sumber energi. Cyste ini
adalah bentuk inaktif yang akan keluar melalui feses. Cyste sangat tahan
terhadap bahan kimia tertentu. Cyste dalam air akan bertahan sampai 1
bulan, sedangkan dalam feses yang mengering dapat bertahan sampai 12
hari. Bila air minum atau makanan terkontaminasi oleh cyste Entamoeba
sp., cyste akan masuk melalui saluran pencernaan menuju ileum dan
terjadi excystasi, dinding cyste robek dan keluar amoeba “multinucleus
metacystic” yang langsung membelah diri menjadi 8 uninucleat trophozoit
muda disebut “amoebulae”.
Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan
membelah diri asexual. Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini
terjadi dua kali dalam masa hidupnya yaitu: membelah diri dengan “binary
fission” dalam usus pada fase trophozoit dan pembelahan nukleus yang
diikuti dengan cytokinesis dalam cyste pada fase metacystic. Proses ini

26
menyebabkan terjadinya Amoebiasis. Hal ini disebabkan karena amoeba
yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu
dapat berubah menjadi patogen. Disamping itu carrier juga merupakan
sumber infeksi utama. Trofozoit banyak dijumpai di lumen usus besar
tanpa atau sedikit sekali menimbulkan kelainan mukosa usus. Ulkus yang
ditimbulkan hanya superficial, tidak mencapai lapisan submukosa.
Kelainan tersebut tidak menyebabkan gangguan peristaltik usus, sehingga
tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis. Oleh karena ada
kemungkinan invasi amoeba ke mukosa usus besar, maka walaupun tidak
mengakibatkan gangguan peristaltik usus. Obat yang dapat digunakan
untuk penanganan penyakit ini antara lain klorin difostat, metronidazol,
tinidazol, dan orindazol.
g. Patogenesa Penyakit
Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa
bulan. Amebiasis dapat berlangsung tanpa gejala (asimtomatis). Penderita
kronis mungkin memiliki toleransi terhadap parasit, sehingga tidak
menderita gejala penyakit lagi. Dari hal ini berkembang istilah
symptomless carrier. Protozoa intestinal Dalam peralihan bentuk trofozoit
menjadi kista, ektoplasma memendek dan di dalam sitoplasma tidak
dijumpai lagi eritrosit. Bentuk ini dikenal dengan istilah prekista (dulu
disebut minuta). Bentuk prekista dari Entamoeba histolytica sangat mirip
dengan bentuk trofozoit dari Entamoeba coli, spesies lainnya dari ameba
usus. Entamoeba histolytica tersebar sangat luas di dunia. Penularan
umumnya terjadi karena makanan atau minuman yang tercemar oleh kista
amoeba. Penularan tidak terjadi melalui bentuk trofozoit, sebab bentuk ini
akan rusak oleh asam lambung (Hemma, 2006)
3.2.2 Kasus Giardia
a. Signalemen
Bangsa : Kuda
Jenis Sampel : Feses kuda
Asal Sampel : Kenjeran
Media Pengawet : Kalium bikromat
Tanggal Pengambilan : (20-23-24 April 2018)

27
Tanggal Pengujian : 25 April 2018
b. Anamnesa
Nafsu makan hewan nampak menurun, konsistensi feses lembek
c. Gejala Klinis dan Pemeriksaan
Hewan terlihat kurus dan diare. Diare ringan berwarna, berminyak
dan bercampur dengan lendir
d. Pemeriksaan Laboratorium
Uji feses untuk deteksi tropozhoit menggunakan metode natif,
sedimen,apung dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis

Gambar 3.13 Giardia sp. dengan perbesaran 400X (dokumentasi pribadi, 2018)

e. Diagnosa
Hewan diduga menderita infeksi Giardiasis
f. Etiologi
• Taksonomi

Kingdom : Protista
Subkingdom: Protozoa
Filum : Sarcomastigophora
Subfilum : Mastigophora
Class : Zoomastgophora
Ordo : Diplomonadida
Family : Hexamitidae
Genus : Giardia
Species : lambia
• Morfologi
Giardia merupakan anggota dari filum Metamonada pada familia
Hexamitidae. Yang berkoloni dan bereproduksi dalam usus kecil dari

28
beberapa vertebrata, menyebabkan giardiasis. Saat ini terdapat lima
sampai enam morfologis spesies yang berbeda diakui Giardia lamblia (=
G. intestinalis, = G. duodenalis) yang menginfeksi manusia dan mamalia
lain, G. muris ditemukan dari mamalia lain, G. psittaci dari burung, dan G.
agilis dari amfibi.
Giardia sp. memiliki dua inti, masing-masing dengan empat kait
flagela, dan mitokondria dan aparatus golgi. Tropozoit, pada keadaan
mendatar berbentuk bilateral simetris seperti raket badminton, piriform
sampai elipsoid, buah per yang dibelah, semua alat – alat tubunya
berpasang - pasangan. Ditemukan 2 buah aksostil (batang median), 2 buah
inti dan 4 pasang flagel. Permukaan tubuh bagian dorsal cembung,
sedangkan bagian ventral cekung. Ujung bagian anterior melebar serta
membulat, sedangkan bagian posteriornya tubuh meruncing. Kista
berbentuk lonjong, berukuran panjang 12 mikron dan lebar 7 mikron , 8 -
14 mikron dan 6 – 10 mikron, mempunyai 2 - 4 buah inti (Abdel-moein,
2016).
• Siklus hidup
Giardia memiliki siklus hidup langsung. Setelah tahap kista dicerna
oleh tuan rumah yang sesuai, enkistasi terjadi di dalam duodenum. Akbari
(2018) mengungkapkan bahwa protozoa ini berkembang biak dalam
stadium trofozoit dengan pembelahan biner longitudinal. Hal ini diyakini
bahwa enkistasi terjadi sebagai akibat dari eksposur ke lambung pH
rendah di samping kontak dengan enzim pankreas seperti kimotripsin dan
tripsin. Selama enkistasi, dua binuclear trophozoites muncul dari setiap
quadrinuclear kista. Bentuk yang trophozoite perekat menggunakan disk
yang besar terletak di permukaan ventral melekat pada epitel duodenum
dan jejunum.
Dalam tinja padat ditemukan stadium kista yang berperan untuk
mempertahankan diri. Kista ini mulanya hanya memiliki 2 inti kemudian
berubah menjadi kista 4 inti. Jika kista 4 inti ini tertelan oleh manusia,
maka orang tersebut akan terinfeksi. Bila seseorang terinfeksi, maka

29
ekskistasi akan terjadi di duodenum lalu sitoplasma membelah dan dari
eksonema tumbuh flagel sehingga terbentuk 2 trofozoit.

Gambar 3.14 Siklus Hidup Giardia


g. Patogenesa Penyakit
Infeksi Giardia lamblia dimulai dengan masuknya kista melalui
saluran pencernaan, masuk ke dalam usus. Proses selanjutnya adalah
pelepasan trophozoit, yang diinisiasi di dalam perut oleh asam lambung.
Lingkungan perut yang asam (pH ≤ 2) dan pH duodenum yang mendekati
netral sangat penting untuk proses pelepasan trophozoit ini. Trophozoit
kemudian membelah dan bermigrasi ke dalam permukaan mikrovilus.
Kolonisasi trophozoit terbatas pada distal duodenum dan proksimal
jejenum. Ketika trophozoit bercampur dengan isi usus dan arus feses serta
perubahan lingkungan, akan menyebabkan trophozoit mengkista. Kista
keluar melalui feses setelah periode prepaten 6-14 hari (pada anjing).
Siklus berulang setelah kista masuk hospes yang tepat. Giardiasis
ditularkan melalui pakan dan minum yang terkontaminasi kista (Akbari,
2018).

30
BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan sampel yang telah dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan antara lain :
1. Pemeriksaan Endoparasit (Helimint)
a. Kasus 1
Hewan : Sapi
Temuan Klinis : Sapi nampak kurus dan lemas
Sampel : Feses sapi
Metode pemeriksaan : Metode natif
Hasil Pemeriksaan : Ditemukan telur cacing bulat dengan
dinding tebal berwarna kecoklatan
Diagnosa : Toxocariasis
b. Kasus 2
Hewan : Domba
Temuan Klinis : Gejala klinis yang nampak pada hewan
adalah kurus, rambut kusam dan kering,
feses lembek dan berwarna hijau
Sampel : Cacing dari saluran pencernaan domba
Metode pemeriksaan : Cacing dari saluran pencernaan domba
dibuat preparat permanen
Hasil Pemeriksaan : Pada saluran pencernaan domba
ditemukan cacing Moniezia expansa
Diagnosa : Infeksi cacing Moniezia expansa
2. Pemeriksaan Arthropoda
a. Kasus 1
Asal Sampel : Pasar tradisional Surabaya
Temuan Klinis : Lingkungan tempat pengambilan sampel
dekat dengan tempat sampah dan tempat
penjualan daging
Sampel : Lalat

31
Metode pemeriksaan : Pengawetan kering
Hasil Pemeriksaan : Metode pengawetan kering ditemukan lalat
Sarcophaga haemorrhoedalis
b. Kasus 2
Hewan : Ayam
Temuan Klinis : Ayam peliharaannya sering mematuk
bagian tubuhnya, ayam tampak aktif , nafsu
makan baik.
Sampel : Kutu ayam
Metode pemeriksaan : Pengawetan basah
Hasil Pemeriksaan : Ditemukan adanya Menopon gallinae
Diagnosa : infestasi kutu Menopon gallinae
3. Pemeriksaan Protozoa
a. Kasus 1
Hewan : Tikus
Temuan Klinis : Aktif dan agresif
Sampel : Feses
Metode pemeriksaan : Metode natif sampel feses ditemukan
Hasil Pemeriksaan : Ditemukan Entamoeba sp.
Diagnosa : Amoebiasis
b. Kasus 2
Hewan : Kuda
Temuan Klinis : Nafsu makan hewan nampak menurun,
konsistensi feses lembek, kurus
Sampel : Feses
Metode pemeriksaan : Pemeriksaan natif
Hasil Pemeriksaan : Pada sampel feses ditemukan adanya
Giardia lambia
Diagnosa : Infeksi Giardia lambia

32
DAFTAR PUSTAKA
(CDC) Center for Disease Control and Prevention. 2010. Parasite
Cryptosporidium. America serikat (US) [Internet]. [diunduh 2013 Mei 18].
Tersedia pada:http://www.cdc.gov/pa rasites/crypto.
(OIE) Office International des Epizooties Collaborating Center Iowa State
University College of Veterinary Medicine. 2004. Cryptosporidiosis.
United State (US):Iowa State University
(OIE) Office International des Epizooties. 2008. OIE Terrestrial Manual Chapter
2.9.4: Cryptosporidiosis [Internet]. [diunduh 2013 Juni 6]. Tersedia pada:
http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Healthstandards/tahm/2.09.04CRP
TO.pdf./Advanced_Field_Epi:Manual_1_Disease_Control_and_Eradicatio
n_Programs/id. Diakses 28 april 2018
Agustina, K. K, Dharmayuda, Wirata, I. W. 2013. The Prevalention of Toxocara
vitulorum on Bali Cow and Calf in Eastern Area of Bali. Buletin Veteriner
Udayana 5 (1) : 1-6
Akbari, Rizal A. 2018. Terapi Giardiasis Penyebab Diare Non Spesifik pada
Kucing.Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan,Institut Pertanian Bogor.
Bowman DD. 2009.Georgis Parasitology for Veteriner. New York : Elsevier Inc.
Coyle CM, Varughese J, Weiss LM, Tanowitz HB. Blastocystis: To treat
or not to treat. Clin Infect Dis. 2012;54(1):105110. doi:10.1093/cid/cir810.
Brown HW. 1979. Dasar Parasitologi Klinis Edisi ke 3. Jakarta: PT. Gramedia
El-Aw, M.A., Draz, K.A., Abdel-Hamed, A.E., dan Awad, M.A. Identification of
Biting Lice Species on Infected Domestic Chickens and Their Distribution
on Different Body Regions. J. Agric & Env Sci Alex Univ Egypt7 (2) :
131-144
Eldridge, B and Edman, J. 2000. Medical Entomology: A textbook on Public
Health and Veterinary Problems Caused by Arthropods. Kluwer
Academic Publishers. Netherlands.
Estuningsih, S. E. 2006. Toxocariasis pada Hewan dan Bahayanya pada Manusia
. Wartazoa 15 (3) : 136-142
Friend, M and Franson, J. 1999. Field Manual of Wildlife Diseases: General Field
Procedures and Diseases of Birds.
Gandahusada, Pribadi SW, Herry DI. 2000. Parasitologi kedokteran. Jakarta (ID):
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
Hastutiek, Poedji. 2007. Potensi Musca domestica Linn. Sebagai Vektor Beberapa
Penyakit. Jurnal. Kedokteran Universitas Brawijaya. [Hal: 125-136].

33
Hastutiek, Poedji. 2014. Ilmu Penyakit Arthropoda Veteriner. Airlangga Press:
Surabaya.
Haziqiah, F., Chandrawathani, P., Zain, M., Suresh, K.G., Hemalatha, C., dan
Premaalatha, B. 2014.A Preelinary Study of Blastocystis sp. Isolated From
Chicken in Perak and Selangor, Malaysia.Malaysian Journal of Veterinary
Research 5 (1) : 21 -25
Henry. J.G. A. 1978. Handbook of Veterinary Parasitology. Domestic Animals of
North America. Published by the University of Minnesota Press.
Iskandar, Tolibm, S. Subekti dan A. Koswadi. 2002. Isolasi Berbagai Parasit
dalam Saluran Pencrenaan Ayam Buras pada Litter di beberapa
Kabupaten di Jawa Barat. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner.
Junquera, P. 2014. Toxocara Vitulorum, Parasitic Raoundworm Of
Catlle:Biology, Prevention and Control. Neoascaris vitulorum.[diakses 31
Oktober2018]<http:??parasitipedia.net/index.php?option=com_content&vi
ew+article&&id=com_2638&Itemid=2916>
Kamaruddin M, Fahrimal Y, Hambal M, Hanafiah M. 2005. Buku Ajar
Parasitologi Veteriner. Banda Aceh (ID): Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Syah Kuala
Kurniadhi, Pudji dan Suparno. 2009. Teknik Pengambilan Sampel dari Burung
Air Liar utuk Pengujian Penyakit Flu Burung. Bogor: Pusat Penelitian
Biologi LIPI.
Kusnoto, Bendryman, S.S., Koesdarto, S, dan Sosiawati, .M. 2010. Helmintologi
Veteriner. Airlangga University Press : Surabaya
Kusnoto, Bendryman, S.S., Koesdarto, S, dan Sosiawati, .M. 2011. Ilmu Penyakit
Helminth. Airlangga University Press : Surabaya
Morgan BB. 2003. Veterinary Helminthology. Minneapolis: Burger Publishing
Company. Purwanta et al., 2009
Mufasirin, Nunuk. DR., Endang.S dan Lucia.T.S. 2016. Buku Ajar : Ilmu Penyakit
Protozoa. Unair Press. Surabaya.
Murillo, A. dan Gerry, A. 2016.Chicken
Lice.<http://veterinaryentomology.ucr.edu> [diakses 16 Oktober 2018]
Roger B, David W. 2011. Color Atlas of Diseases and Disorders of Cattle Third
Edition. Mosby Elsevier.
Setiawan, Y.Y. 2003.Efektivitas Sipermetrin terhadap Kutu Menopon gallinae
dengan Metode Penyemprotan Pada Ayam Petelur.Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of
Domesticatedanimals. Edisi ke-7. London (GB): The English Languange
Book Society. Bailiere Tindall.

34
Soulsby, E.J.L. 1986. Helminth Arthropods and Protozoa of Domestic
Animals.Bailliere Tindall and Cassell. London
Stenzel, D. J., Cassidy, M. F., and Boreham, P. F. L. 2003. Morphology of
Blastocystis sp. isolated from circus animals. International Journal for
Parasitology 23 (5): 685-687.
Subronto.2006. Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press
Subronto.2007. Ilmu Penyakit Ternak II (Mamalia) Manajemen Kesehatan Ternak
Parasitisme Gastrointestinal Dan Penyakit Metabolisme. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press.
Suwanti. L., Nunuk, D.R.L., Endang, S., dan Mufasirin. 2011. Buku Ajar
Protozoologi Veteriner. Departemen Parasitologi. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga. Surabaya
Tabbu, C. R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya.Kanasius :
Yogyakarta
Terry, J.A. 2013. The Use of Duddingtonia Flagrans for Gastrointestinal
Parasitic Nematode Control in Feces of Exotic Artiodactylids at Disney’s
Animal Kingdom. [Tesis]. Liousiana (US) : Lousiana State Univetsity
Triani, Riska, Haryono, Tjipto dan Faizah Ulfi. 2014. Identifikasi Telur
Endoparasit Saluran Pencernaan Macaca fascicularis yang Dipergunakan
pada Pertunjukan Topeng Monyet di Surabaya Melalui Pemeriksaan
Feses. LenteraBio Vol. 3 No. 3: 174–180.

35

Anda mungkin juga menyukai