Anda di halaman 1dari 74

PROPOSAL SKRIPSI

UJI EFEKTIFITAS EKSTRAK ETANOL 90% DAUN KATUK

(Saurapus androgynus) SEBAGAI ANTIHIPERTENSI

TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN GALUR SPRAGUE-

DAWLEY

Di susun oleh:

SANDY PRATAMA P.N

(15040072)

SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH

TANGERANG

2018
PROPOSAL SKRIPSI

UJI EFEKTIFITAS EKSTRAK ETANOL 90% DAUN KATUK

(Saurapus androgynus) SEBAGAI ANTIHIPERTENSI

TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN GALUR SPRAGUE-

DAWLEY

Di susun oleh:

SANDY PRATAMA P.N

(15040072)

SEKOLAH TINGGI FARMASI MUHAMMADIYAH

TANGERANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN

UJI EFEKTIFITAS EKSTRAK ETANOL 90% DAUN KATUK

(Saurapus androgynus) SEBAGAI ANTIHIPERTENSI

TERHADAP TIKUS PUTIH GALUR SPRAGUE-DAWLEY

Di susun oleh:

SANDY PRATAMA P.N

(15040072)

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Nur’aini,S.Si.,M.Farm.,Apt Sefi Megawati, S.Farm., M.Sc., Apt.

NIDN :0424098202 NIDN: 0418098903

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan proposal

yang berjudul Uji Efektivitas anti hipertesi ekstrak etanol 90 % daun katuk (Saurapus

androgynus) terhadap tikus putih jantan galur sprague-dawley dapat diselesaikan dengan

baik.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan metopen ini banyak

mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai

pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi

tersebut dapat diatasi. proposal ini disusun untuk melengkapi persyaratan nilai

dari matakuliah metopen di Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang.

Penulisan proposal ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dengan

kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimah kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Nita Rusdiana,S.Farm.,M.Sc.,Apt selaku Ketua Sekolah Tinggi Farmasi

Muhammadiyah Tangerang.

2. Dina Pratiwi,S.Farm.,M.Si selaku Ketua Program Studi S1 Farmasi Sekolah

Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang.

3. Nur’aini,S.Si.,M.Farm.,Apt. Selaku pembingbing utama Sekolah Tinggi

Farmasi Muhammadiyah Tangerang sekaligus pembimbing yang dengan

sabar memberikan bimbingan dan masukan sehingga penulisan proposal ini

dapat diselesaikan.

ii
4. Sefi Megawati,S.Farm.,M.Sc.,Apt. Selaku pembingbing kedua Sekolah

Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang sekaligus pembimbing yang

dengan sabar memberikan bimbingan dan masukan sehingga penulisan

proposal ini dapat diselesaikan.

5. Kedua Orang tua, adik dan keluarga. Terimakasih untuk cinta, kasih sayang

dukungan baik motivasi maupun materi yang tak pernah usai.

6. Teman-teman seperjuangan yang penulis sayangi yang telah memberikan

dukungan dan semangat dalam menyelesaikan proposal ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan oleh penulis satu persatu yang telah

membantu menyelesaikan proposal ini.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan,

dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun. Namun besar harapan penulis semoga proposal ini berguna

bagi penulis dan semua yang membacannya.

Tangerang, 06 November 2017

Penyusun

Sandy Pratama P.N

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
I.1 Latar Belakang ....... .................................................................. 1
I.2 Rumusan Masalah .................................................................... 3
I.3 Tujuan Penelitian .. .................................................................... 4
I.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .. ........................................................ 5
II.1 Klasifikasi Tanaman Daun Katuk ........................................... 5
II.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol 90% Daun Katuk .............. 9
II.3 Kandungan Senyawa Kimia .................................................... 9
II.4 Hipertensi .............................................................................. 12
II.5 Pengobatan Hipertertensi ...................................................... 14
II.6 Tikus Putih (rattus norvegicus) ............................................. 19
II.7 Tahap Pembuatan Simplisia .. ................................................. 21
II.8 Ekstraksi .... ............................................................................. 33
II.9 Etanol 90% ............................................................................ 41
II.10 Penelitian Relevan................................................................ 44
II.11 Kerangka Konsep ................................................................ 44
II.12 Hipotesis . ............................................................................. 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................... 45
III.1 Deskripsi Objek Penelitian .................................................. 45
III.2 Alat dan Bahan .................................................................... 46
III.3 Variabel Penelitian ............................................................... 47
III.4 Rancangan Penelitian ............................................................ 48

iv
III.5 Cara Kerja ........................................................................... 48
III.6 Teknik Pengumpulan Data .................................................. 57
III.7 Teknik Analisis Data ........................................................... 58
III.8 Rencana Penelitian ............................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 60

v
DAFTAR TABEL

III.5.9 Tabel Operasional ................................................................... 57

III.8 Rencana Penelitian ..................................................................... 59

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Daun Katuk .................................................................... 5

Gambar II.3.1 Struktur flavonoid ...................................................... 10

Gambar II.3.3 Struktur tanin ............................................................ 11

Gambar II.3.4 Senyawa terpenoid ..................................................... 12

Gambar II.6 Tikus Putih .................................................................... 19

vii
DAFTAR SINGKATAN

ACE : Angiotensin – Converting Enzyme

ARB : Angiotensin II Reseptor Blocker

ANOVA : Analysis of Varian

BM : Berat molekul

BMI : Body Mass Index

cm : centi meter

COPD : Obstruktif Pulmonary Kronis

DASH : Dietary Approahos tustop hypertension

dkk : dan kawan- kawan

dpl : diatas permukaan laut

FIDC : Food Technology Development Center

GFR : Glomerular Filtration Rate

g : gram

Hg : Hekto gram

Kg : Kilogram

KoA : Ko enzime

L : Liter

m : meter

mm : milimeter

mmol : millimoles

mean : rata-rata

viii
NaCl : Natrium Klorida

Na : Natrium

n : jumlah sampel per kelompok perlakuan

RAL : Rancangan Acak Lengkap

SV : Stroke Volume

t : kelompok perlakuan

ix
1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman

hayati terkarya kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar

25.000 – 30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman

di Asia. Spesies tanaman yang beraneka ragam tersebut sebagian besar

mempunyai potensi untuk di manfaat kan sebagai tanama industri,tanaman

buah-buahan,tanaman rempah-rempah dan obat-obatan (Santoso, 2013).

Salah satu tanaman obat yang di gunakan adalah daun katuk. Daun

katuk memiiki manfaat dan kegunaan yang besar bagi manusia. Daun

katuk (Saurapus androgynus). Telah di gunakan dalam bidang kesehatan

untuk mencegah dan mengobati penyakit (Santoso, 2013).

Daun katuk (Sauropus androgynus) mempunyai banyak manfaat

dalam kehidupan sehari-hari. Kandungan kimia dalam daun katuk

berkhasiat untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin

C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik alami.

Fungsi lainnya yaitu berperan langsung sebagai antibiotik dengan

mengganggu fungsi mikroorganisme seperti bakteri atau virus dan juga

dapat meningkatkan imunitas tubuh. Untuk mengetahui kandungan kimia

yang terkandung pada daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr.) Daun

katuk dapat berfungsi sebagai menurunkan tekanan darah, merendahkan

frekwensi dan amplitude denyut jantung, mengkontraksi usus dan uterus,


2

aborvatium dan menurunkan suhu badan. Selain itu untuk membersihkan

darah kotor (Santoso, 2013).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu kondisi

medis yang ditandai dengan meningkatnya konstriksi pembuluh darah

arteri sehingga terjadi resistensi aliran darah yang meningkatkan tekanan

darah terhadap dinding pembuluh darah. Hipertensi terjadi apabila tekanan

darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan diastolik lebih dari 95 mmHg.

Hipertensi sering disebut sebagai silent killer atau pembunuh diam–diam

karena terjadi tanpa gejala. Hipertensi yang dianggap ada penyebabnya

disebut sebagai hipertensi sekunder (H.V, 2010).

Menurut penelitian Prof. Dr.Ir. Urip Santoso, M.Sc. (2013) bahwa

katuk mengandung berbagai macam zat gizi dan senyawa metabolik

sekunder. Oleh karena itu, sangat logis jika katuk mempunyai banyak

manfaat baik bagi pemenuhan zat gizi maupun bagi pencegahan dan

pengobatan berbagai macam penyakit. Daun katuk dapat digunakan untuk

meningkatkan produktivitas dan kualitas produk pada berbagai ternak.

Selain itu daun katuk juga berperan sebagai antihipertensi, antioksidan,

anti jamur, antibakteri, antilipidemia, antikanker dan berbagai manfaat

lainnya. Katuk sudah dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat baik di

Indonesia maupun di beberapa negara lain. Selain dikonsumsi sebagai

sayuran, katuk juga dimanfaatkan sebagai obat herbal untuk pelancar air

susu ibu (ASI) dan sebagai obat pelangsing.


3

Penelitian yang telah dilakukan oleh dengan judul Aktivitas

Antiobesitas Ekstrak Daun Katuk (Sauropus Androgynus L.Merr) Pada

Model Mencit Obesitas. Hasil menunjukan terdapar perbedaan yang

signifikan dalam penurunan bobot badan badan antara kelompok hewan

yang menerima ekstrak daun katuk terhadap kelompok induksi (p<0,05)

disimpulkan bahwa ekstrak daun katuk mempunyai aktivitas antiobesitas,

dan ekstrak terbaik dalam menurunkan berat badan adalah ekstrak daun

katuk 400 mg/kg. Kandungan flavonoid dalam daun katuk dapat

menurunkan bobot badan, melalui mekanismekerja menurunkan intake

makanan, menurunkan akumulasi lipid dihati.

Melihat potensi yang di miliki daun katuk (saurapus androgynus)

sebagai antihipertensi, maka di lakuakan penelitian untuk menguji aktifitas

daun katuk (Saurapus androgynus) sebagai anthihipertensi yang di ujikan

pada tikus putih (Rattus novergicus)

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah

terhadap penelitian ini adalah :

I.2.1 Apakah ekstrak daun katuk (Saurapus androgynus) dapat

menurunkan tekanan darah tikus putih jantan galur spague-dawley

yang di kondisikan hipertensi ?

I.2.2 Berapa dosis ekstak daun katuk (Saurapus androgynus) yang

optimal dalam menurunkan tekanan darah tikus putih jantan galur

spague-dawley ?
4

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

I.3.1 Untuk mengetahui aktivitas ekstrak daun katuk (Saurapus

androgynus) terhadap penurunan tekanan darah tikus putih jantan

galur spague-dawley.

I.3.2 Untuk mengetahui dosis ekstrak daun katuk (Saurapus androgynus)

yang efektif dalam menurunkankan tekanan darah tikus putih

jantan galur spague-dawley.

I.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian bermanfaat untuk :

I.4.1 Institusi

Memberikan informasi terhadap instansi kampus tentang khasiat

penggunaan daun katuk dapat menurunkan tekanan darah atau

tidak.

I.4.2 Peneliti

Memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu farmasi terutama

dalam pengembangan dan penelitian obat-obatan baru..


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Klasifikasi Tanaman Daun Katuk

Katuk memiliki beberapa nama daerah antara lain: mamata

(Melayu), simani (Minangkabau), katuk (Sunda), babing, katukan, katu

(Jawa), kerakur (Madura), katuk (Bengkulu), cekur manis (Malaysia),

kayu manis (Bali), binahian (Filipina/Tagalog), ngub (Kamboja) (Santoso,

2013).

II.1.1 Taksonomi

Katuk mempunyai taksonomi sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malpighiales

Family : Phyllanthaceae

Genus : Sauropus

5
6

Spesies : Sauropus Androgynus

(Santoso, 2013).

II.1.2 Ekologi Dan Penyebaran

Katuk tersebar di berbagai daerah di India, Malaysia dan

Indonesia. Tumbuhan ini dapat tumbuh pada tempat yang cukup air

dan agak teduh, dari dataran rendah sampai dengan pegunungan.

Dapat tumbuh berkelompok atau secara individu. Di Jawa katuk

dapat tumbuh hingga 1300 dpl. Selain di Jawa, budidaya katuk

juga ada di Kalimantan Barat Sumatera Utara, Bengkulu dan lain-

lain. Ditanam terutama sebagai tanaman pagar dan pembatas

kebun. Namun pada berbagai daerah terutama di pulau Jawa, katuk

telah dibudidayakan walaupun masih sederhana. Tumbuh baik

pada ketinggian 5-1300 m dpl. Asal katuk tidak diketahui, tetapi

terdapat di India dan Sri Langka ke Cina Selatan dan Indo-Cina

dan Asia Tenggara. Melaporkan bahwa hasil pencatatan distribusi

geografi pada material herbarium, penyebaran katuk di Indonesia

dijumpai di Jawa (Banyuwangi, Pekalongan, Rembang, Semarang,

Purwokerto, Kediri, Pasuruan, Surakarta, Bogor, Situbondo,

Malang, Jepara, Tulungagung, Madiun, Pulau Bawean, Madura);

Sumatera (Jambi, Palembang, Sibolangit, Padang, Lampung,

Bangka, Pulau Enggano); Kalimantan (Aramba, Natuna, Pulau

Bunguran); Kepulauan Sumba (Sumbawa, Timor) dan Moluccas

(Maluku, Ternate, Ambon) (Santoso, 2013).


7

II.1.3. Morfologi

Semak kecil, tingginya sampai dengan 3 meter. Batang

yang muda berwarna hijaua dan yang tua coklat. Batang memiliki

alur-alur dengan kulit yang agak licin. Daun menyusun selang

seling pada satu tangkai, seolah-olah terdiri dari daun majemuk

padahal sesungguhnya daun tunggal dengan jumlah daun per

cabang 11-21 helai, bentuk helaian daun lonjong sampai bundar.

Kadang-kadang lanset permukaan atasnya berwarna hijau gelap

dan permukaan bawah berwarna hijau muda dengan tampak

pertulangan daun yang jelas, panjang helai 2,5 cm, lebar 1,25-3

cm; tangkai pendek 2-4 mm, berdaun penumpu, panjang 1,75-3

mm. Daun yang di pangkal cabang berbentuk bulat telur berukuran

lebar 1,5-2,5 cm, panjang 2,5-4,5 cm, sedangkan yang di tengah

dan ujung berbentuk jorong berukuran lebar 2,2-3,1 cm, panjang

4,3-8,5 cm (Sukendar, 1997). Bunga tunggal atau berkelompok 3,

keluar di ketiak daun atau diantara satu daun dengan daun lainnya.

Bunga sempurna mempunyai helaian kelopak berbentuk bundar,

warna merah gelap atau merah dengan bintik-bintik kuning, lebar

3-3,5 mm, tinggi putik 0,75 mm, lebar 1,75 mm, cabang dari

tangkai putik berwarna merah, tepi kelopak bunga berombak atau

berkuncup 6, panjang tangkai 6-7,5 mm. Bunga jantan bentuk

seperti giwang, kelopak dan mahkotanya serupa, berwarna merah

kecoklatan, masing-masing berjumlah 3, saling berdekatan, tebal


8

dan berdaging, berwarna hijau kemerahan. Benangsari 6, dengan

serbuk sari berwarna putih kekuningan (Sukendar, 1997).

Selanjutnya dinyatakan bahwa bunga betina kelopak dan

mahkotanya serupa, berwarna merah kecoklatan, masing-masing

berjumlah 3, tipis berlepasan, tidak mudah luruh dan tetap

menempel pada buah. Berbunga sepanjang tahun. Buang

bertangkai, panjang tangkai 1,25 cm, diameter bunga jantan 6-11

mm (Susila et al., 2012).

II.1.4 Manfaat

Manfaat daun katuk adalah bahwa ekstrak daun katuk dapat

menurunkan tekanan darah, merendahkan frekwensi dan amplitude

denyut jantung, mengkontraksi usus dan uterus, aborvatium dan

menurunkan suhu badan. Selain itu untuk membersihkan darah

kotor (Santoso, 2013).

Daun dan akar katuk mempunyai fungsi sebagai pelancar

air seni. Diuretika adalah obat yang bekerja untuk mempercepat

diuresis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infuse akar katuk

mempunyai efek antipiretik pada merpati, dan pada pengamatan

fisik ada indikasi diuresis. menemukan bahwa pemberian infus

akar katuk meningkatkan volume air kencing. Meskipun demikian

cara kerja infus katuk pada proses diuresis belum diketahui.

Akarnya jika direbus juga dapat dijadikan obat demam, dan

sebagai obat luar terhadap frambusia (Santoso, 2013).


9

Selain itu, daun katuk juga digunakan untuk pewarna

makanan, menurunkan demam. Jus daun katuk dapat digunakan

untuk menyembuhkan penyakit mata. Penggunaan jus daun katuk

untuk penyakit mata tertentu adalah wajar, karena daun katuk kaya

akan β-carotene yang merupakan provitamin A. Vitamin A sangat

(Santoso, 2013).

II.2. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol 90% Daun Katuk

Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol 90%

daun katuk mengandung senyawa golongan alkaloid, triterpenoid, saponin,

tanin, polifenol, glikosida dan flavonoid (Susanti et al., 2015) .

II.3 Kandungan Senyawa Kimia

II.3.1 Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang

memiliki struktur inti C6 –C3-C6 yaitu dua cincin aromatik yang

dihubungkan dengan 3 atom C, biasanya dengan ikatan atom O

yang berupa ikatan oksigen heterosiklik. Senyawa ini dapat

dimasukkan sebagai senyawa polifenol karena mengandung dua

atau lebih gugus hidroksil, bersifat agak asam sehingga dapat larut

dalam basa. Umumnya flavonoid ditemukan berkaitan dengan gula

membentuk glikosida dan menyebabkan senyawa ini lebih mudah

larut dalam pelarut polar, seperti metanol, etanol, butanol etil

asetat. Bentuk glikosida memiliki warna yang lebih pucat

dibandingkan dengan aglikon, dalam bentuk aglikon, sifatnya


10

kurang polar, cenderung lebih mudah larut dalam pelarut

kloroform dan eter (Hanani, 2016).

Gambar II.III.1 Struktur Flavonoid

[sumber : Hanani, 2016]

II.3.2 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang

mengandung unsur nitrogen (N) biasanya pada cincin heterosiklik

dan bersifat basa (Hanani, 2016). Senyawa alkaloid kebanyakan

yang terdapat pada tumbuhan yang biasa dijumpai pada bagian

daun, ranting, biji, dan kulit batang. Alkaloid mempunyai efek

dalam bidang kesehatan berupa pemicu sistem saraf, menaikan

tekanan darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang,

obat penyakit jantung dan lain- lain (Marjoni, 2016).

II.3.3 Tanin

Tanin merupakan suatu substansi yang banyak dan tersebar,

sehingga sering ditemukan dalam tanaman. Tanin diketahui

mempunyai beberapa khasiat, yaitu sebagai astringen, anti diare,

anti bakteri dan antioksidan. Istilah tanin sendiri berasal dari

bahasa Perancis, yaitu “tanning”. Pada mulanya senyawa tannin

Lebih dikenal sebagai “tanning substance” dalam proses


11

penyamakan kulit hewan untuk dibuat sebagai kerajinan tangan.

Pada umumnya tanin merupakan senyawa polifenol yang memiliki

berat molekul (BM) yang cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat

membentuk kompleks dengan protein. Berdasarkan strukturnya,

tanin diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu tanin terhidrolisis

dan tanin terkondensasi (Hanani, 2016).

Gambar II.IV Struktur Tanin

[sumber : Hanani, 2016]

II.3.4 Terpenoid

Terpenoid merupakan komponen yang biasa ditemukan

dalam minyak atsiri. Sebagian besar terpenoid mengandung atom

karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Terpenoid

mempunyai kerangka karbon yang terdiri dari dua atau lebih unit

C5 yang disebut unit isopren. Berdasarkan jumlah atom C yang

terdapat pada kerangkanya, terpenoid dapat dibagi menjadi

hemiterpen dengan 5 atom C, monoterpen dengan 10 atom C,

seskuiterpen dengan 15 atom C, diterpen dengan 20 atom C,

triterpen dengan 30 atom C, dan seterusnya sampai dengan

politerpen dengan atom C lebih dari 40 (Hanani, 2016).


12

Gambar II.3.4 Contoh Senyawa Terpenoid: Monoterpen (A), S

eskuiterpen (B), Diterpen (C), dan Triterpen (D)

[sumber : Hanani, 2016]

II.3.6 Saponin

Saponin merupakan suatu senyawa yang memiliki bobot

molekul tinggi atau besar, tersebar dalam beberapa tumbuhan

merupakan bentuk glikosida dengan molekul gula yang terikat

dengan aglikon triterpen atau steroid.

II.4. Hipertensi

Hipertensi di definisikan dengan meningkatnya tekanan darah

arteri yang persisten. The seventh joint national committee

mengklasifikasikan tekanan darah pada orang deawasa (Sukandar et al.,

2008)

Penderita dengan tekanan darah diastolik (TTD) kurang dari 90

mm Hg dan tekanan darah sistolik (TDS) lebih besar sama dengan 140mm

Hg mengalami hipertensi sistolik terisolasi (Sukandar et al., 2008).


13

Krisis hipertensi (tekanan darah di atas 180/120 mm Hg) dapat di

katagorikan sebagai hipertensi darurat (meningkatnya tekanandarah akut

atau di sertai kerusakan organ) atau hipertensi gawat (beberapa tekanan

darah meningkat tidak akut) (Sukandar et al., 2008).

Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat di sebabkan

oleh penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme

patofisiologi yang tidak di ketahui penyebabnya (hipertensi primer atau

esensial). Hipertensi sekunder bernilai kurang dari 10% kasusu hipertensi,

pada umumnya kasus kasus tersebut di sebabkan oleh penyakit ginjal

kronik atau renovascular. Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipertensi

sekunder antara lain pheochromocytoma, sindrom cushing, hiperteroid,

hiperparatiroid, aldosteron primer, kehamilan, obsruksi sleep apnea, dan

kerusakan aorta. Beberapa oabt yang dapat meningkatkan tekanan darah

adalah kortikosteroid, esterogen, AINS (anti inflamasi non steroid),

ampethamine, sibutramin, sisklosporin, tacrolimus, erythropoietin, dan

venlafaxine (Sukandar et al., 2008).

Mulifaktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer adalah :

a. Ketidak normalan humoral meliputi sistem renin-angiotensin-

aldosteron, hormaom natriuretik,atau hiperinsulinemia.

b. Masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut saraf otonom,

volume plasma, dankonstriksi arteriol.

c. Defisiensi sintesi lokal vasodilator pada endotelium vas kular,

misalnya prostasiklin, bradikinin,dan nitrit oksida, atau terjadinya


14

peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor seperti angiotensin II

dan endotelin I.

d. Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon natriuretik

yang menginhibisi transpor natrium intraseluler, menghasilkan

peningkatan reaktivitas vaskuler dan tekanan darah.

e. Peningkatan konsentrasi kalsium intraselular, memicu perubahan

vaskular, fungsi otot halus dan peningkatanresistensi vaskular perifer.

Penyebab utama kematian pada hipertensi adalah serebrovaskular, kardio

vaskular, dan gagal ginjal. Kemungkinan kematian prematur ada

kolerasinya dengan meningkatnya tekanan darah (Sukandar et al., 2008).

Penderita hipertensi primer yang sederhana pada umumnya tidak

disertai gejala. Penderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala suatu

penyakit. Penderita feokromisitoma dapat mengalami sakit kepala

paroksimal, berkeringat, takikardia, palpitasi, dan hipotensi ortostatik.

Pada aldosteroemia primer yang mungkin terjadi adalah gejala

hipokalemia keram otot dan kelelahan. Penderita hipertensi sekunder pada

sindrom cushing dapat terjado peningkatan berat badan, poliuria, edema,

iregular menstruasi, jerawat, atau kelelahan otot (Sukandar et al., 2008).

II.5. Pengobatan Hipertensi

Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah

mengurangi morbiditas dan kematian. Target nilai tekanan darahnya

adalah kurang dari 140/90 untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang

dari 130/80 untuk penderita diabetes mellitus serta ginjal kronik. Tekanan
15

darah sistol merupakan indikasi yang baik untuk resiko kardiovaskular

daripada tekanan darah diastol dan seharusnya dijadikan tanda klinik

primer dalam mengontrol hipertensi (H.V, 2010).

II.5.1 Terapi Non-Farmakologi

Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan

untuk memodifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan

jika kelebihan berat badan, melakukan perencanaan diet makanan

menurut DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension),

mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan 2,4 g/

hari (6g/hariNaCl),melakukan aktivitas fisik, mengurangikonsumsi

alkohol dan menghentikan kebiasaan merokok (H.V, 2010).

II.5.2 Terapi Farmakologi

Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya

tekanan darah dan adanya indikasi penyerta. Sebagian penderita

hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan diuretik thiazid.

Penderita hipertensi tahap 2 pada umumnya diberikan terapi

kombinasi dengan satu obat golongan diuretik thiazid. Obat-obat

yang biasanya dikombinasi dengan tiazid adalah þ blocker,

inhibitor Angiotensin- Converting Enzyme (ACE), Angiotensin II

Receptor Blocker (ARB) (H.V, 2010).

a. Diuretik

Thiazid merupakan diuretik yang menjadi pilihan utama untuk

menangani hipertensi dan golongan tiazid lainnya juga efektif untuk


16

menurunkan tekanan darah. Thiazid merupakan agen diuretik yang

paling efektif untuk menurunkan tekanan darah untuk penderita fungsi

ginjal yang kurang baik (GFR > 30 ml /menit). Dengan menurunnya

fungsi ginjal, natrium dan cairan akan terakumulasi maka diuretik jerat

Henle perlu digunakan untuk mengatasi efek dari peningkatan volume

dan natrium tersebut. Hal ini akan mempengaruhi tekanan darah arteri

(H.V, 2010).

Diuretik hemat kalium merupakan antihipertensi yang lemah

jika digunakan tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretik

dikombinasikan dengan diuretik hemat kalium thiazid atau jerat Henle.

Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium dan

natrium yang disebabkan oleh diuretik lain. Antagonis aldosteron

merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi lebih berpotensi sebagai

antihipertensi dengan onset aksi yang lama (H.V, 2010).

Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan

diuresis. Pengurangan volume plasma dan stroke volume (SV)

berhubungan dengan diuresis dalam penurunan curah jantung (cardiac

output) dan akhirnya terjadi penurunan tekanan darah. Penurunan awal

curah jantung menyebabkan meningkatnya tekanan darah perifer

pembuluh darah. Dengan terapi diuretik kronik, volume cairan

ekstrasel dan volume plasma dapat hampir kembali ke level

sebelumnya dan tekanan perifer pembuluh darah turun sampai dibawah


17

nilai sebelumnya. Penurunan tekanan perifer pembuluh darah ini yang

menyebabkan terjadinya efek hipotensif jangka panjang (H.V, 2010).

b. Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)

ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting

dalam regulasi tekanan darah arteri). ACE didistribusikan ke sebagian

besar jaringan dan terdapat pada beberapa tipe sel yang berbeda tetapi

lokasi utamanya pada sel endothelial. Oleh sebab itu tempat utama

penghasil angiotensin II adalah pembuluh darah. Inhibitor ACE

mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. Inhibitor

ACE juga mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis

senyawa vasodilator yang termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin.

Pada kenyataannya,inhibitorACE menurunkan tekanan darah pada

penderita dengan aktivitas rennin plasma normal, bradikinin, dan

produksi jaringan ACE yang penting dalam hipertensi (H.V, 2010).

c. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)

Angiotensin II didegradasikan melalui jalur renin-angiotensin

(termasuk ACE) dan jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain

seperti chymases. Inhibitor ACE hanya menutup jalur rennin-

angiotensin, ARB menahan langsung reseptor angiotensin tipe I (AT1),

reseptor yang memperantarai efek angiotensin II (vasokonstriksi,

pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon

antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen glomerulus) (H.V, 2010).

d. Calcium blocker
18

Untuk kontraksi otot jantung dan sel otot polos dibutuhkan

peningkatan kalsium intraselular dari cairan ekstraselular. Ketika

jantung dirangsang, kanal pada sel membran terbuka dan kalsium

masuk ke dalam sel. Influks dari kalsium ekstraselular ke dalam sel

merangsang pelepasan kalsium yang disimpan pada retikulum

sarkoplasma. Peningkatan konsentrasi kalsium intraselular dapat

mengikat protein dan kalmodulin yang akan mengaktifkan miosin

kinase. Pengaktifan ini memungkinkan myosin berinteraksi dengan

aktin untuk menginduksi kontraksi. Calcium blocker menyebabkan

relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat kanal yang

sensitif kalsium yang dapat menurunkan pemasukan kalium

ekstraselular ke dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan

vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Contoh obat : Amlodipin,

Nifedipin, Diltiazem, Verapamil (H.V, 2010).

e. þ-Bloker

Mekanisme hipotensif þ-bloker tidak diketahui tetapi

kemungkinan melibatkan menurunnya curah jantung melalui

kronotropik negatif dan efek inotropik jantung dan inhibisi pelepasan

rennin dari ginjal. Meskipun perbedaan farmakodinamik dan

farmakokinetik penting diantara variasi þ- bloker, tidak ada perbedaan

efikasi klinik hipertensi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol dan metoprolol

merupakan kardioselektif pada dosis rendah dan mengikat baik pada

reseptor þ1 daripada reseptor þ2. Obat-obat tersebut kurang


19

merangsang bronkospasmus dan vasokonstriksi serta lebih aman dari

non selektif þ- bloker pada penderita asma, penyakit obstruktif

pulmonary kronis (COPD), diabetes dan penyakit arterial perifer.

Kardioselektifitas merupakan fenomena dosis ketergantungan dan efek

akan hilang jika dosis tinggi (H.V, 2010).

f. Vasodilatasi

Obat-obat yang bersifat vasodilator merelaksasi otot polos

arteriol secara langsung. Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan reaksi

kompensasi yang kuat berupa peningkatan denyut jantung,

peningkatan renin plasma, dan retensi cairan yang akan melawan efek

hipotensi obat. Vasodilator menurunkan tekanan darah diastolik lebih

besar daripada tekanan sistolik. Contoh obat : Minoxidil, Hidralazin

(H.V, 2010).

II.6 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Gambar II.II Tikus Putih (Rattus norvegicus)

[Sumber : Akbar,2010]

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan

sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk


20

penelitian, dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas

mamalia, sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme

biokimianya, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi

menyerupai manusia. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah

Rattus novergicus berumur kurang lebih 3 bulan (Akbar, 2010).

Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai

hewan uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai

ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang

banyak. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino,

kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya,

pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi,

dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar, 2010).

II.5.2 Klasifikasi

Menurut Akbar (2010), taksonomi tikus adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Subkelas : Theria

Ordo : Rodensia

Subordo : Sciurognathi

Famili : Muridae

Subfamili : Murinae
21

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

II.5.3 Jenis

Tikus galur Sprague dawley memiliki ciri-ciri albino putih,

berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus

galur Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang

lebih pendek sedangkan galur Long Evans memiliki ciri badan berukuran

lebih kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian kepala dan tubuh

bagian depan. Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan tikus yang

paling sering digunakan untuk percobaan. Tikus ini memiliki temperamen

yang tenang sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat

badan Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah 10.5 gram. Berat badan

dewasa adalah 250−300 gram untuk betina, dan 450−520 gram untuk

jantan. Tikus ini jarang hidup lebih dari 3 tahun (Akbar, 2010).

II.7 Tahap Pembuatan Simplisia

II.7.1 Pengumpulan Bahan Baku

Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda

antara lain tergantung pada :

a. Bagian tanaman yang digunakan.

b. Umur tanaman yang digunakan.

c. Waktu panen.

d. Lingkungan tempat tumbuh.


22

Waktu panen sangat erat hubungannya dengan

pembentukan senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan

dipanen. Waktu panen yang tepat pada saat bagian tanaman

tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar

(Prasetyo et al, 2013).

II.7.2 Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-

kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia.

Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman

obat, bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang,

daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus

dibuang. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba dalam

jurnlah yang tinggi, oleh karena itu pembersihan simplisia dari

tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal dapat

dikurangi jumlahnya (Prasetyo et al, 2013).

II.7.3 Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan

pengotoran lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian

dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air sumur

atau air PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat yang

mudah larut di dalam air yang mengalir, pencucian agar

dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. pembersihan

atau pencucian mengikuti prinsip sanitasi yang baik, baik dari segi
23

sarana prasarana pencucian maupun pekerjaanya. Pencucian bahan

baku (tanaman maupun bagian tanaman) menggunakan air bersih

dan mengalir. Kualitas air pencuci dan pekerja perlu diperhatikan

karena pencucian yang tidak benar dapat menyebabkan tingginya

kontaminasi. Tangan pekerja hendaknya dicuci terlebih dahulu

dengan sabun atau larutan desinfektan yang diijinkan. Apabila

bahan baku tersebut akar atau rimpang yang diperoleh dari dalam

tanah dan logam berat (fisika dan kimia) juga sangat berbahaya

adalah kontaminan spora bakteri. Spora bakteri dalam tanah yang

telah diketahui beberapa tahan panas, sehingga perlakuan

peendahuluan berupa pencucian yang benar merupakan syarat

utama. Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan

jumlah mikroba awal simplisia. Bakteri yang banyak terkandung

dalam air pencuci bahan simplisia antara lain : Pseudomonas,

Proteus,Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter dan

Escherishia. Pada simplisia akar, batang atau buah dapat pula

dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah

mikroba awal karena sebagian besar jumlah mikroba biasanya

terdapat pada permukaan bahan simplisia (Prasetyo et al, 2013).

II.7.4. Perajangan

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses

perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk

mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan


24

penggilingan. Tanaman yang baru diambil jangan langsung

dirajang tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama 1 hari.

Perajangan dapat dilakukan dengan pisau, dengan alat mesin

perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan

dengan ukuran yang dikehendaki. Semakin tipis bahan yang akan

dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga mempercepat

waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis juga

dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat

yang mudah menguap. Sehingga mempengaruhi komposisi bau

dan rasa yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia

seperti temulawak, temu giring, jahe, kencur dan bahan sejenis

lainnya dihindari perajangan yang terlalu tipis untuk mencegah

berkurangnya kadar minyak atsiri. Selama perajangan seharusnya

jumlah mikroba tidak bertambah. Penjemuran sebelum

perajangan diperlukan untuk mengurangi pewarnaan akibat

reaksi antara bahan dan logam pisau. Pengeringan dilakukan

dengan sinar matahari selama satu hari (Prasetyo et al, 2013).

II.7.5 Pengeringan

Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia

yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu

yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan

reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan

simplisia. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar


25

tertentu dapat merupakan media pertumbuhan kapang dan jasad

renik lainnya. Enzim tertentu dalam sel,masih dapat bekerja,

menguraikan senyawa aktif sesaat setelah sel mati dan selama

bahan simplisia tersebut masih mengandung kadar air tertentu.

Pada tumbuhan yang masih hidup pertumbuhan kapang dan reaksi

enzimatik yang merusak itu tidak terjadi karena adanya

keseimbangan antara proses-proses metabolisme, yakni proses

sintesis, transformasi dan penggunaan isi sel. Keseimbangan ini

hilang segera setelah sel tumbuhan mati. Sebelum tahun 1950,

sebelum bahan dikeringkan, terhadap bahan simplisia tersebut

lebih dahulu dilakukan proses stabilisasi yaitu proses untuk

menghentikan reaksi enzimatik. Cara yang lazim dilakukan pada

saat itu, merendam bahan simplisia dengan etanol 70 % atau

dengan mengaliri uap panas. Dari hasil penelitian selanjutnya

diketahui bahwa reaksi enzimatik tidak berlangsung bila kadar

air dalam simplisia kurang dari 10% (Prasetyo et al, 2013).

Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan

sinar matahari atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-ha1

yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu

pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, Waktu pengeringan

dan luas permukaan bahan. Pada pengeringan bahan simplisia tidak

dianjurkan rnenggunakan alat dari plastik. Selama proses

pengeringan bahan simplisia, faktor-faktor tersebut harus


26

diperhatikan sehingga diperoleh simplisia kering yang tidak mudah

mengalami kerusakan selama penyimpanan. Cara pengeringan

yang salah dapat mengakibatkan terjadinya "Face hardening",

yakni bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya

masih basah. Hal ini dapat disebabkan oleh irisan bahan simplisia

yang terlalu tebal, suhu pengeringan yang terlalu tinggi, atau oleh

suatu keadaan lain yang menyebabkan penguapan air permukaan

bahan jauh lebih cepat daripada difusi air dari dalam ke permukaan

tersebut, sehingga permukaan bahan menjadi keras dan

menghambat pengeringan selanjutnya. "Face hardening" dapat

mengakibatkan kerusakan atau kebusukan di bagian dalarn bahan

yang dikeringkan (Prasetyo et al, 2013).

Suhu pengeringan tergantung kepada bahan simplisia dan

cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu

300 sampai 90°C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi

60°C. Bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang tidak

tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu

serendah mungkin, misalnya 300 sampai 450 C, atau dengan cara

pengeringan vakum yaitu dengan mengurangi tekanan udara di

dalam ruang atau lemari pengeringan, sehingga tekanan kira-kira 5

mm Hg. Kelembaban juga tergantung pada bahan simplisia,cara

pengeringan, dan tahap tahap selama pengeringan. Kelembaban

akan menurun selama berlangsungnya proses pengeringan.


27

Berbagai cara pengeringan telah dikenal dan digunakan orang

(Prasetyo et al, 2013).

Menurut Prasetyo et al, (2013) pada dasarnya dikenal dua

cara pengeringan yaitu pengeringan secara alamiah dan buatan.

a. Pengeringan Alamiah

Tergantung dari senyawa aktif yang dikandung

dalam bagian tanaman yang dikeringkan, dapat dilakukan

dua cara pengeringan :

1. Dengan panas sinar matahari langsung.

Cara ini dilakukan untuk mengeringkan bagian

tanaman yang relatif keras seperti kayu, kulit kayu, biji

dan sebagainya, dan rnengandung senyawa aktif yang

relatif stabil. Pengeringan dengan sinar matahari yang

banyak dipraktekkan di Indonesia merupakan suatu cara

yang mudah dan murah, yang dilakukan dengan cara

membiarkan bagian yang telah dipotong-potong di

udara terbuka di atas tampah-tampah tanpa kondisi

yang terkontrol seperti suhu, kelembaban dan aliran

udara. Dengan cara ini kecepatan pengeringan sangat

tergantung kepada keadaan iklim, sehingga cara ini

hanya baik dilakukan di daerah yang udaranya panas

atau kelembabannya rendah, serta tidak turun hujan.

Hujan atau cuaca yang mendung dapat memperpanjang


28

waktu pengeringan sehingga memberi kesempatan pada

kapang atau mikroba lainnya untuk tumbuh sebelum

simplisia tersebut kering. FIDC (Food Technology

Development Center IPB) telah merancang dan

membuat suatu alat pengering dengan menggunakan

sinar matahari, sinar matahari tersebut ditampung pada

permukaan yang gelap dengan sudut kemiringan

tertentu. Panas ini kemudian dialirkan keatas rak-rak

pengering yang diberi atap tembus cahaya di atasnya

sehingga rnencegah bahan menjadi basah jika tiba-tiba

turun hujan. Alat ini telah digunakan untuk

mengeringkan singkong yang telah dirajang dengan

demikian dapat pula digunakan untuk mengeringkan

simplisia.

2. Dengan diangin-anginkan dan tidak dipanaskan dengan

sinar matahari langsung.

Cara ini terutama digunakan untuk

mengeringkan bagian tanaman yang lunak seperti

bunga, daun, dan sebagainya dan mengandung senyawa

aktif mudah menguap (Prasetyo et al, 2013).

b. Pengeringan Buatan

Kerugian yang mungkin terjadi jika melakukan

pengeringan dengan sinar matahari dapat diatasi jika


29

melakukan pengeringan buatan, yaitu dengan menggunakan

suatu alat atau mesin pengering yang suhu kelembaban,

tekanan dan aliran udaranya dapat diatur. Prinsip

pengeringan buatan adalah sebagai berikut: “udara

dipanaskan oleh suatu sumber panas seperti lampu,

kompor, mesin disel atau listrik, udara panas dialirkan

dengan kipas ke dalam ruangan atau lemari yang berisi

bahan yang akan dikeringkan yang telah disebarkan di atas

rak-rak pengering”. Dengan prinsip ini dapat diciptakan

suatu alat pengering yang sederhana, praktis dan murah

dengan hasil yang cukup baik (Prasetyo et al, 2013).

Dengan menggunakan pengeringan buatan dapat

diperoleh simplisia dengan mutu yang lebih baik karena

pengeringan akan lebih merata dan waktu pengeringan

akan lebih cepat, tanpa dipengaruhi oleh keadaan cuaca.

Sebagai contoh misalnya jika kita membutuhkan waktu 2

sampai 3 hari untuk penjemuran dengan sinar matahari

sehingga diperoleh simplisia kering dengan kadar air 10%

sampai 12%, dengan menggunakan suatu alat pengering

dapat diperoleh simplisia dengan kadar air yang sama

dalam waktu 6 sampai 8 jam (Prasetyo et al, 2013).

Daya tahan suatu simplisia selama penyimpanan

sangat tergantung pada jenis simplisia, kadar airnya dan


30

cara penyimpanannya. Beberapa simplisia yang dapat

tahan lama dalam penyimpanan jika kadar airnya

diturunkan 4 sampai 8%, sedangkan simplisia lainnya

rnungkin masih dapat tahan selama penyimpanan dengan

kadar air 10 sampai 12% (Prasetyo et al, 2013).

II.7.6 Sortasi Kering

Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap

akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan

benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak

diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masill ada dan

tertinggal pada sirnplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum

sirnplisia dibungkus untuk kernudian disimpan. Seperti halnya

pada sortasi awal, sortasi disini dapat dilakukan dengan atau

secara mekanik. Pada simplisia bentuk rimpang sering jurnlah akar

yang melekat pada rimpang terlampau besar dan harus dibuang.

Demikian pula adanya partikel-partikel pasir, besi dan benda-

benda tanah lain yang tertinggal harus dibuang sebelum simplisia

dibungkus (Prasetyo et al, 2013).

II.7.7 Penyimpanan dan Pengepakan

Simplisia dapat rusak, mundur atau berubah mutunya

karena berbagai faktor luar dan dalam antara lain :


31

a. Cahaya

Sinar dari panjang gelombang tertentu dapat

menimbulkan perubahan kimia pada simplisia, misalnya

isomerisasi, polimerisasi, rasemisasi dan sebagainya (Iswantini

et al, 2009).

b. Oksigen udara

Senyawa tertentu dalam simplisia dapat mengalami

perubahan kimiawi oleh pengaruh oksigen udara terjadi

oksidasi dan perubahan ini dapat berpengaruh pada bentuk

simplisia, misalnya, yang semula cair dapat berubah menjadi

kental atau padat, berbutir-butir dan sebagainya (Iswantini et al,

2009).

c. Reaksi kimia intern

Perubahan kimiawi dalam simplisia yang dapat

disebabkan oleh reaksi kimia intern, misalnya oleh enzim,

polimerisasi, oto-oksidasi dan sebagainya (Iswantini et al,

2009).

d. Dehidrasi

Apabila kelembaban luar lebih rendah dari simplisia,

maka simplisia secara perlahan-lahan akan kehilangan sebagian

airnya sehingga rnakin lama makin mengecil (kisut) (Iswantini

et al, 2009).

e. Penyerapan air
32

Simplisia yang higroskopik, misalnya agar-agar, bila

disimpan dalam wadah yang terbuka akan menyerap lengas

udara sehingga menjadi kempal basah atau mencair (Iswantini

et al, 2009).

f. Pengotoran

Pengotoran pada simplisia dapat disebabkan oleh

berbagai sumber, misalnya debu atau pasir, ekskresi hewan,

bahan-bahan asing (misalnya minyak yang tertumpah) dan

fragmen wadah (karung goni) (Iswantini et al, 2009).

g. Serangga

Serangga dapat menitnbulkan kerusakan dan

pengotoran pada simplisia, baik oleh bentuk ulatnya maupin

oleh bentuk dewasanya. Pengotoran tidak hanya berupa

kotoran serangga, tetapi juga sisa-sisa metamorfosa seperti

cangkang telur, bekas kepompong, anyaman benang bungkus

kepompong, bekas kulit serangga dan sebagainya. (Iswantini et

al, 2009).

h. Kapang

Bila kadar air dalam simplisia terlalu tinggi, maka

simplisia dapat berkapang. Kerusakan yang timbul tidak hanya

terbatas pada jaringan simplisia, tetapi juga akan merusak

susunan kimia zat yang dikandung dan malahan dari


33

kapangnya dapat mengeluarkan toksin yang dapat mengganggu

kesehatan (Iswantini et al, 2009).

II.8. Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses penyarian zat aktif dari bagian

tanaman obat yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang

terdapat dalam bagian tanaman obat tersebut (Marjoni et al, 2016).

Proses ekstraksi pada dasarnya adalah proses perpindahan massa

dari komponen zat padat yang terdapat pada simplisisa ke dalam pelarut

organik yang digunakan. Pelarut organik akan menembus dinding sel dan

selanjutnya akan masuk kedalam rongga sel tumbuhan yang mengandung

zat aktif. Zat aktif akan terlarut dalam pelarut organik pada bagian luar sel

untuk selanjutnya akan berdifusi masuk kedalam pelaru. Proses ini terus

berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif diluar sel

(Marjoni et al, 2016).

Menurut Marjoni et al (2016), terdapat beberapa metode ekstraksi

secara dingin dan ekstraksi secara panas yaitu :

II.8.1 Ekstraksi secara dingin

Menurut Marjoni et al (2016), metode ekstraksi secara

dingin bertujuan untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang

terdapat dalam simplisia yang tidak tahan terhadap panas atau

bersifat thermolabil. Ekstrak secara dingin dapat dilakukan dengan

beberapa cara sebagai berikut :

A. Metode maserasi
34

Maserasi berasal dari bahasa latin “macerare” yang

berarti merendam, sehinggga maserasi dapat diartikan sebagai

suatu sediaan cair yang dibuat dengan cara merendam bahan

nabati menggunakan pelarut bukan air atau pelaarut setengah

air seperti etanol encer selama waktu tertentu (Marjoni et al,

2016).

Maserasi adalah proses ekstrak sederhana yang

dilakukan hanya dengan cara merendam simplisia dalam satu

atau campuran pelarut selama waktu tertentu pada temperatur

kamar dan terlindung dari cahaya (Marjoni et al, 2016).

Kelebihan dan kekurangan metode maserasi menurut,

Marjoni et al (2016) yaitu :

a. Kelebihan dari ekstraksi dengan metode maserasi adalah

1) Peralatan yang digunakan sangat sederhana

2) Teknik pengerjaan relatif sedehana dan mudah

dilakukan

3) Biaya operasional relatif rendah

4) Dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa

yang bersifat termolabil karena maserasin

dilakukan tanpa pemanasan.

5) Proses ekstrasi lebih hemat penyari.

b. Kelemahan dari ekstraksi dengan metode maserasi

adalah
35

1) Memerlukan banyak waktu

2) Proses penyariannya tidak sempurna, karena zat

aktif hanya mampu terekstraksi sebesar 50% saja

3) Pelarut yang digunakan cukup banyak

4) Kemungkinan besar ada beberapa senyawa yang

hilang saat ekstraksi

5) Beberapa senyawa sulit diekstraksi pada suhu

kamar.

6) Penggunaan pelarut air akan membutuhkan bahan

tambahan seperti pengawet yang diberikan pada

awal ekstraksi. Penambahan pengawet

dimaksudkan untuk mencegah pertumbuhan

bakteri dan kapang .

B. Metode perkolasi

Menurut Marjoni (2016), perkolasi adalah proses penyarian

zat aktif secara dingin dengan cara mengalirkan pelarut secara

kontinu pada simplisia selama waktu tertentu. Adapun Kentungan

dan Kerugian Perkolas menurut, Marjoni (2016) yaitu :

a. Keuntungan dari metode perkolasi adalah:

1) Tidak memerlukan langkah tambahan.

2) Tidak membutuhkan panas sehingga tehnik perkolasi ini

sangat cocok untuk substansi yang bersifat termolabil.

3) Sampel selalu dialiri oleh pelarut baru.


36

4) Pelarut dialirkan melalui sampel sehingga proses

penyaringan lebih sempurnah.

b. Kerugian metode perkolasi :

1) Kontak antara sampel padat dengan pelarut tidak merata

dan terbatas.

2) Pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga

tidak melarutkan komponen secara efisien.

3) Apabila sampel dalam perkolator tidak homogen maka

pelarut akan sulit menjangkau seluruh area.

4) Metode ini membutuhkan banyak pelarut dan memakan

banyak waktu.

5) Membutuhkan pelarut yang relatip banyak.

II.8.2 Ekstraksi secara panas

Menurut Marjoni et al (2016), metode panas digunakan

apabila senyawa-senyawa yang terkandung dalam simplisia sudah

dipastikan tahan panas. Metode ekstraksi secara panas diantaranya:

a. Metode Soxhletasi

Soxhletasi merupakan prosess ekstraksi panas

menggunakan alat khusus berupa ekstraktor soxhlet. Suhu yang

digunakan lebih rendah dibandingkan dengan suhu pada

metode refluks (Marjoni et al, 2016).

Metode Soxhletasi memiliki kelebihan dan kekurangan

pada proses ekstraksi menurut, Marjoni et al (2016) yaitu :


37

a. Keuntungan metode soxhletasi :

1) Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang

lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara

langsung.

2) Sampel dapat diekstraksi dengan sempurna karena

langsung

3) Pelarut lebih sedikit dibandingkan dengan metode

maserasi atau perkolasi.

4) Pelarut yang digunakan tidak akan habis, karena selalu

maserasi atau perkolasi.digunakan lagi setelah hasil

isolasin dipisahkan.

5) Waktu yang digunakan lebih efisien

6) Proses sokletasi berlangsung cepat

7) Jumlah sempel yang digunakan sedikit

8) Pelarut organik dapat mengambil senyawa organik

berulang kali.

b. Kekurangan Metode Soxhletasi :

1) Tidak baik dipakai untuk mengekstraksi bahan-bahan

tumbuhan yang mudah rusak dengan adanya

pemanasan karena dapat menyebabkan penguraian

contoh : beta karoten

2) Terjadinya reaksi penguraian akibat proses daur ulang

pelarut. Ekstrak yang terkumpul pada bagian bawah


38

wadah akan terus dipanaskan sehingga dapat

menyebabkan reaksi peruraian oleh panas.

3) Harus dilakuakan identifikasi setelah penyarian, dengan

menggunakan preaksi mayer, Na, wagner, dan reagen

reagen lainnya.

4) Pelarut yang diguanakan mempunyai titik didih rendah,

sehingga mudah menguap.

5) Jumlah total senyawa-senyawa yang diekstraksi akan

melampaui kelarutannya dalam pelarut tertentu

sehingga dapat mengendap dalam wadah dan sehingga

dapat mengendap dalam wadah dan untuk

melarutkannya.

6) Bila soxhletasi dilakukan dalam skala besar, mungkin

tidak cocok untuk menggunakan pelarut dengan titik

didih yang terlalu tinggi, seperti metanol dan air.

7) Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni

atau campuran azeotropik dan tidak dapat digunakan

untuk ekstraksi menggunakan campuran pelarut karena

uap pelarut mempunyai komposisi yang berbeda dalam

pelarut cair.

b. Metode Refluks

Metode Refluks adalah proses ekstraksi dengan pelarut

pada titik didih pelarut selama waktu dan jumlah pelarut tertentu
39

dengan adanya pendingin balik (kondensor). Proses ini umumnya

dilakukan 3-5 kali pengulangan pada residu pertama, sehingga

termasuk proses ekstraksi yang cukup sempurna (Marjoni et al,

2016).

Kelebihan dan Kekurangan Metode Refluks menurut

Marjoni et al (2016) yaitu Kelebihan dari metode refluks adalah

digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai

tekstur kasar, dan tahan pemanasan langsung. Kekurangan dari

metode refluks adalah membutuhkan volume total pelarut yang

besar,dan Sejumlah manipulasi dari operator.

c. Metode Digestasi

Digestasi adalah proses ekstraksi yang cara kerjanya

hampir sama dengan maserasi, hanya saja digesti menggunakan

pemanasan rendah pada suhu 30-40o C. Metode ini biasanya

digunakan untuk simplisia yang tersari baik pada suhu baiasa

(Marjoni et al, 2016).

d. Metode Infusa

Menurut Marjoni et al (2016), Infusa merupakan sedian cair

yang dibuat dengan cara menyari simplisia nabati dengan air pada

suhu 900C selama 15 menit. Kecuali dinyatakan lain, infusa

dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Simplisia dengan derajat kehalusan tertentu dimasukan

kedalam panci infusa, kemudian ditambahkan air secukupnya.


40

b. Panaskan campuran diatas penangas air selama 15 menit,

dihitung mulai suhu 900C sambil sekali-sekali diaduk.

Serkaiselagi panas menggunakan kain flanel, tambahkan air

panas secukupnya melalui ampas sehingga diperoleh volume

infus yang dikehendaki.

Menurut Marjoni et al (2016), Keuntungan Dan kekurangan

Metode Infusa yaitu :

a. Keuntungan metode infusa

1) Unit alat yang dipakai sederhana.

2) Biaya operasionalnya relatif rendah

b. Kerugian Metode infusa

1) Zat-zat yang tertarik kemungkinan sebagian akan

mengendap kembali,apabila kelarutannya sudah

mendingin (lewat jenuh).

2) Hilangnya zat-zat atsiri.

3) Adanya zat yang tidak tahan panas lama,dismping

itu simplisia yang mengandung zat-zat albumin

tentunya zat ini akan menggumpal dan

menyukarkan penarikan zat- zat berkhasiat

tersebut.
41

II.9. Etanol 90%

II.9.1 Sifat Kimia Fisika Etanol

Sifat kimia fisika etanol menurut Farmakope Edisi V

(2014) : Rumus Bangun :

Nama resmi :Aethanolum Dilutum

Nama lain : Etanol Encer

Berat Molekul : 46,07 gr/grmol

Titik Lebur : -1120 C

Titik didih : 78,40C

BJ : 0,8860 - 0,8883

Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah

menguap dan mudah bergerak, bau

khas, rasa panas.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air,

dalam kloroform P dan dalam

eter P

Khasiat dan penggunaan : Zat tambahan

II.9.2 Definisi Etanol 90 %

Etanol merupakan pelarut yang berbeda dengan air yang

dapat melarutkan berbagai macam zat aktif, etanol hanya dapat

melarutkan zat-zat tertentu saja seperti alkaloida, glikosida, damar-

damar dan minyak atsiri. Etanol tidak bisa digunakan untuk

mengekstraksi bahan dari jenis-jenis gom, gula, dan albumin.


42

Selain itu etanol dapat menghambat kerja dari enzim, menghalangi

pertumbuhan jamur dan kebanyakan bakteri. Keuntungan dari

penggunaan etanol sebagai pelarut adalah ekstrak yang dihasilkan

lebih spesifi, dapat bertahan lama karena disamping sebagi pelarut,

etanol juga berfungsi sebagai pengawet (Marjoni et al, 2016).

Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan

rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Ia merupakan

isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat

menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari gugus etil

(C2H5). Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-

bahan kimia yang ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan

manusia. Contohnya adalah pada parfum, perasa, pewarna

makanan, dan obat-obatan. Dalam kimia, etanol adalah pelarut

yang penting sekaligus sebagai stok umpan untuk sintesis senyawa

kimia lainnya. Dalam sejarahnya etanol telah lama digunakan

sebagai bahan bakar.

Etanol 90% adalah caampuran dua bahan pelarut yaitu

etanol dan air dengan kadar etanol 90%. Etanol tidak menyebabkan

pembengkakan pada membran sel dan memperbaiki stabilitas

bahan obat terlarut. Keuntungan lainnya adalah sifatnya yang

mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim.

Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah

campuranbahan pelarut yang berlainan. Khususnya campuran


43

etanol-air. Etanol 90% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah

bahan aktif yang optimal, dimana bahan penganggu hanya skala

kecil yang turut ke dalam cairan pengekstraksi. Fungsi etanol 90%

adalah digunakan dalam proses maserasi. Etanol 90% dapat

mengikat semua ekstrak yang terkandung dalam sampel yang telah

dihaluskan baik yang bersifat nonpolar maupun bersifat polar

karena kadar airnya yang cukup tinggi (Voight,1995).

II.10 Penelitian Relevan

Penelitian Yang Telah Di Lakukan Oleh (Patonah et al,

2017). Aktivitas Antiobesitas Ekstrak Daun Katuk (Sauropus

Androgynus L.Merr) Pada Model Mencit Obesitas, Hasil

menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan dalam penurunan

bobot badan antara kelompok hewan yang menerima ekstrak daun

katuk terhadap kelompok induksi (p<0,05) disimpulkan bahwa

ekstrak daun katuk mempunyai aktivitas antiobesitas, dan ekstrak

terbaik dalam menurunkan berat badan adalah ekstrak daun katuk

400 mg/kg. (Lestari et al, 2016) Pengaruh Ekstrak Daun Dewa

(Gynura Segetum (Lour) Merr) Sebagai Antihipertensi Pada Tikus

Jantan (Spague-Dawleyhasil) hasil penelitian menunjukan,

pemberian ekstrak 70%, daun dewa tidak dapat menurunkan

tekanan darah yang signifikan. (Zuhra et al, 2008) Aktifitas

Antioksidan Senyawa Flavonoid Dari Daun Katuk (Sauropus

Androgynus L.Merr ) hasil penelitiannya menghasilkan penurunan


44

absorbansi dari larutan uji dibandingkan solution control dengan

nilai IC50 dengan 80,69µg/ml .

II.11 Kerangka Konsep

Independent Dependent
Uji efektifitas ekstrak Efektivitas ekstrak etanol
etanol 90% daun katuk 90% daun katuk (saurapus
sebagai antihipertensi androgynus) terhadap
terhadap tikus putih jantan tekanan darah tikus putih
galur sprague-dawley jantan galur sprague-dawley
Kontrol negatif: Aquadest hipertensi tekanan darah
Kontrol positip: Catopril tikus putih jantan galur
F1: dosis ekstrak etanol sprague-dawley yang di
90% daun katuk 9 mg/200g induksi NaCL & dosis
BB optimal ekstrak etanol 90%
F2: dosis ekstrak etanol daun katuk (saurapus
90% daun katuk 18 androgynus) yang terhadap
mg/200g BB penurunan tekanan darah
F3: dosis ekstrak etanol darah terhadap tikus putih
90% daun katuk 36 jantan galur sprague-dawley
mg/200g BB

II.12 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka maka dapat


dibuat hipotesis bahwa ekstrak etanol 90% daun katuk (saurapus
androgynus) berpotensi sebagai antihipertensi. Dosis optimal ekstrak
etanol 90% daun katuk adalah 36 mg/200g BB.
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi objek penalitian

III.1.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimental karena penelitian

ini berhubungan langsung dengan bahan uji yaitu tikus putih jantan

galur sprague-dawley dan ekstrak etanol 90% daun katuk

(Saurapus androgynus).

III.1.2 Objek Penelitian

Objek yang digunakan pada penelitian adalah ekstrak

etanol 90% daun katuk (Saurapus androgynus).

III.1.3 Subjek Penelitian

Subjek yang di gunakan pada penelitian ini adalah tikus

putih tikus putih jantan galur sprague-dawley.

III.1.4 Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi

Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang, Rumah sakit

hewan pendidikan fakultas kedokteran hewan IPB, LIPI (Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia), BALITRO (balai penelitian obat

dan aromatik).

47
48

III.2 Alat Dan Bahan

III.2.1 Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang

tikus, tempat makanan tikus dan minuman tikus, sonde lambung,

spuit 1 ml, dan 3 ml, non invasif CODA, timbangan digital,

pengayak no 20, pengaduk, erlenmeyer, kain flanel, rotary

evapurator, masker, sarung tangan, pisau, refluks, cawan penguap,

tampah, watherbath, selang, kondestor, tabung reaksi, gelas ukur,

mortil, stamper, krus silika, botol.

III.2.2 Bahan Penelitian

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus

putih jantan galur sprague-dawley dengan berat badan 200-300 g

yang berjumlah 25 ekor dan berumur 3-5 bulan.

Bahan uji yang digunakan adalah daun katuk yang di

peroleh dari desa Sodong RT 002 RW 003, Kecamatan Tigaraksa,

Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

Bahan kimia yang di gunakan dalam penelitian ini adalah

aquadest, etanol 90%, catopril, NaCl 4,5%, dragendroff, wagner,

mayer, metanol, HCl 2 N, air suling, timbal asetat, FeCl netral

1%, eter, pb asetat, kloroform, minyak zaitun.


49

III.3 Variabel Penelitian

III.3.1 Variabel Bebas (independent)

Variabel bebas (independent variabel) adalah tipe

variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi variabel

yang lain. Variabel independen dalam penelitian ini adalah

dosis ekstrak etanol daun katuk 90% yaitu kelompok 1

yaitu 9 mg/200g BB, kelompok 2 daun katuk 18 mg/200g

BB, kelompok 3 yaitu 36 mg/200g BB.

III.3.2 Variabel Terikat (Dependent)

Varibel terikat (dependent variabel) dalam

penelitian ini adalah efek antihipertensi ekstrak daun katuk

(Saurapus androgynus) pada tikus putih jantan galur

sprague-dawley yang diinduksi NaCl 4,5%.

III.3.3 Variabel Terkendali

III.3.3.1 Dapat Dikendalikan

Variabel yang dapat di kendalikan dari penelitian ini

adalah jenis makanan, jenis kelamin, umur, berat badan

tikus, lingkungan dan aktivitas gerak.

III.3.3.2 Tidak Dapat Dikendalikan

Variabel luar yang tidak dapat di kendalika dari

penelitian ini adalah variasi kepekaan obat yang di

gunakan, adanya zat inhibisi pirogen, zat perangsang

pirogen endogen dan keadaan lambung pada tikus putih.


50

III.4 Rancangan Penelitian

III.4.1 Pengajuan judul

Penelitian terlebih dahulu mengajukan judul penelitian

kepada pihak kampus.

III.4.2 Studi Literatur

Setelah judul penelitian disetujui, penelitian melakukan

studi literatur dari buku-buku dan jurnal penelitian yang relevan

dengan judul penelitian.

III.4.3 Pembuatan Proposal

Penelitian melakukan pembuatan proposal berdasarkan

ketentuan yang ada dalam panduan penyusun tugas akhir Sekolah

Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang dengan melakukan

bimbingan proposal kepada dosen pembimbing.

III.5 Izin Penelitian

Sebelum melakukan penelitian. Terlebih dahulu mengajukan izin

untuk melakukan penelitian yang akan di laksanakan di Laboraturium

Farmakologi Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Tangerang, Banten

III.6 Cara Kerja

III.6.1 Determinasi Tanaman

Bahan yang digunakan adalah daun katuk yang di peroleh

dari desa Sodong, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang,

Provinsi Banten. Sebelum dilakukan penelitian, tumbuhan di

determinasi terlebih dahulu untuk mengindentifikasi jenis dan


51

memastikan kebenaran tumbuhan yang akan di gunakan untuk

penelitian. Determinasi dilakukan di LIPI Cibinong Bogor.

III.6.2 Penyiapan Bahan Yang Digunakan

Bahan yang di butuhkan dalam penelitian di kumpulkan,

untuk pembuatan simplisia, setelah bahan sudah terkumpul

selanjutnya dicuci bersih terlebih dahulu, lalu ditiriskan dan di

rajang. Kemudian dikeringkan dan dihaluskan hingga menjadi

serbuk. Serbuk yang telah jadi selanjutnya diayak, disimpan dalam

wadah bersih dan tertutup rapat.

III.6.3 Pembuatan ekstrak etanol 90% daun katuk

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode maserasi

sebanyak 1000 g serbuk simplisia dalam pelarut etanol 90%

dengan perbandingan 1 : 3 (simplisia : pelarut etanol 90%).

Dengan metode maserasi selama 5 hari. Kemudian disaring

menggunakan kertas saring. Setelah itu residu yang diperoleh lalu

diremaserasi sebanyak 2 kali dengan menggunakan masing-masing

2000 mL etanol 90%. Filtrat yang diperoleh digabungkan, pelarut

diuapkan menggunakan vaccum rotary evaporator pada suhu 40˚C

kemudian dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu yang

sama hingga terbentuk ekstrak kental. Ekstrak kental yang

diperoleh kemudian ditimbang.


52

III.6.4 Uji Parameter Mutu Ekstrak

III.6.4.1 Parameter Spesifik

a. Indentitas

Deskripsi tata nama, bagian

tumbuhan yang digunakan dan senyawa

identitas.

b. Organoleptis

Penggunaan pancaindera untuk

mendeskripsikan bentuk (padat, serbuk,

kental, cair), warna, bau dan rasa.

III.6.4.2 Parameter Non Spesifik

a. Penetapan susut

Pengeringan ditimbang ekstrak

sebanyak 1 g dan dimasukkan kedalam kurs

porselin tertutup yang sebelumnya telah

dipanaskan pada suhu 100-105C selama 30

menit dan telah ditera. Sebelum ditimbang,

ekstrak diratakan dalam kurs porselin,

dengan menggoyangkan kurs hingga

membentuk lapisan setebal 5–10 mm.

Masukkan kedalam oven, buka tutupnya,

keringkan pada suhu 5C dan 10C hingga


53

bobot tetap. Dinginkan dalam eksikator.

Lakukan replikasi sebanyak 3 kali kemudian

dihitung persentasenya (Anonim, 2000).

b. Kadar Abu

Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang

seksama dimasukkan dalam kurs yang

sebelumnya telah ditimbang. Setelah itu

ekstrak dipijar dengan menggunakan oven

hingga mendapatkan bobot konstan.

Kemudian ditimbang hingga bobot yang

tepat. penetapan kadar abu yang tidak larut

dalam asam, Abu yang diperoleh pada

penetapan kadar abu didihkan dengan 25 ml

asam sulfat encer selama 5 menit,

kumpulkan bagian yang tidak larut asam

kemudian disaring dengan kertas saring

bebas abu yang sebelumnya telah ditimbang

dan residunya dibilas dengan air panas. Abu

yang tersaring dengan kertas saring

dimasukkan kembali kedalam kurs yang

sama. kemudian di masukkan kedalam oven

hingga mendapatkan bobot yang tepat

(Anonim, 2000).
54

c. Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan

dengan cara destilasi toluen. Toluen yang

digunakan dijenuhkan dengan air terlebih

dahulu. Kemudian ditimbang seksama

ekstrak sebanyak 2 g dan dimasukkan

kedalam labu alas bulat dan ditambahkan

toluen yang telah dijenuhkan. Labu

dipanaskan hati-hati selama 15 menit,

setelah toluen mulai mendidih, penyulingan

diatur 2 tetes/detik, lalu 4 tetes/detik. Setelah

semua air tersuling dilanjutkan pemanasan

selam 5 menit. Biarkan tabung penerima

dingin hingga suhu kamar. Volume air

dibaca sesudah toluen dan air memisah

sempurna. Lakukan replikasi sebanyak tiga

kali kemudian dihitung persentasenya

(Anonim, 2000).

III.6.5 Uji Penampisan Fitokimia

III.6.5.1 Uji Flavonoid

Ekstrak daun katuk di masukkan ke dalam tabung

reaksi, ditambahkan kloroform masing-masing 5 ml, lalu


55

dikocok kuat dan dibiarkan beberapa saat sampai terbentuk

dua lapisan yaitu lapisan air dan lapisan kloroform. Lapisan

air ditambahkan dengan HCl 0,1 ml dan beberapa butir

logam Mg, reaksi positif jika terjadi warna merah muda

sampai merah (Sarifudin dkk, 2010).

III.6.5.2 Uji Saponin

Ekstrak daun katuk dimasukkan kedalam tabung

reaksi. Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok

menggunakan vortex. Timbulnya busa sampai selang waktu

10 menit menunjukkan adanya saponin setinggi 1-10 cm.

Pada penambahan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, apabila

buih tidak hilang menunjukan adanya saponin (Depkes RI,

1995).

III.6.5.3 Uji Alkoloid

Ekstrak daun katuk di masukkan ke dalam tabung

reaksi ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air

suling, dipanaskan diatas tangasair selama 2 menit,

didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan

yaitu diambil 3 tetes filtrat lalu ditambahkan 2 tetes

pereaksi mayer menghasilkan endapan putih atau kuning,

pereaksi bourchardat menghasilkan endapan coklat-hitam,

pereaksi dragendrof menghasilkan endapan merah bata.

(Sarifudin dkk, 2010).


56

III.6.6 Penetapan Dosis

III.6.6.1 Penetapan Dosis Ekstrak Etanol 90% Daun Katuk

Kelompok perlakuan tikus terdiri dari: Ekstrak

Etanol 90% daun katuk (saurapus androgynus) dosis I yaitu

9 mg/200 g BB, Ekstrak etanol 90% daun katuk dosis II

yaitu 18 mg/200 g BB, Ekstrak etanol 90% daun katuk III

yaitu 36 mg/200 g BB tikus.

Cara pembuatan suspensi ekstrak etanol 90% daun


katuk dosis I dengan cara siapkan ekstrak etanol 90% daun
katuk kemudian timbang ekstrak etanol 90% daun katuk
seberat 0,18 g, tambahkan sedikit Na CMC 0,5%, lalu di
campurkan hingga homogen. Dituangkan ke dalam labu
ukur 50 ml, ditambahkan Na CMC 0,5% sampai batas.
Cara pembuatan suspensi ekstrak etanol 90% daun
katuk dosis II dengan cara siapkan ekstrak etanol 90% daun
katuk kemudian timbang ekstrak etanol 90% daun katuk
seberat 0,36 g, tambahkan sedikit Na CMC 0,5% , lalu di
campurkan hingga homogen. Dituangkan ke dalam labu
ukur 50 ml, ditambahkan Na CMC 0,5% sampai batas.
Cara pembuatan suspensi ekstrak etanol 90% daun
katuk dosis III dengan cara siapkan ekstrak etanol 90%
daun katuk kemudian timbang ekstrak etanol 90% daun
katuk seberat 0,72 g, tambahkan sedikit Na CMC 0,5% ,
lalu di campurkan hingga homogen. Dituangkan ke dalam
labu ukur 50 ml, ditambahkan Na CMC 0,5% sampai
batas.
57

III.6.6.2 Dosis Catopril

Dosis catopril yang biasa digunakan untuk manusia

adalah 25-50 mg. Konversi dosis dari manusia ke hewan

pada tikus putih dengan berat badan 200 g adalah 0,018,

jadi dosis yang di berikan pada tikus putih jantan galur

sprague-dawley (25 mg x 0,018) = 0,45 mg/1ml.

Catopril dibuat suspensi dengan cara menyiapkan 1

tablet catopril 25 mg kemudian di timbang bobot tablet dan

hitung dengan cara (9mg / 25mg x bobot tablet) sesudah

dihitung timbang tablet dengan ukuran yang telah dihitung,

sesudah di timbang tambahkan sedikit Na CMC 0,5% lalu

di campurkan sampai homogen. Dituangkan ke dalam labu

ukur 50 ml, ditambahkan Na CMC 0,5% sampai batas.

III.6.6.3 Penentuan Dosis NaCl

Menurut jurnal (lestari dkk), dosis pemberian NaCl

sebagai induksi hipertensi adalah 2 ml NaCl 4,5 %

III.6.6.4 Pembuatan Suspensi Na CMC 0,5%

Sebanyak 0,5 g Na CMC di timbang lalu di

taburkan dalam lumpang yang 100 ml aquadest yang telah

dipanaskan, kemudian digerus sampai homogen, maka akan

didapatkan konsenterasi suspensi Na CMC.


58

III.6.7 Uji Antihipertensi

1. Pengujian dilakukan pada 5 kelompok tikus putih yang sehat

dan beraktifitas normal. Pengelompokan tersebut dipilih secara

acak dan masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus.

Semua Perlakuan diinduksi dengan NaCl 4,5% selama 10 hari

Kelompok perlakuan tikus terdiri dari:

Kelompok I : Kontrol negatif, kelompok diberikan dengan

Larutan aquadest sebanyak 2 ml

Kelompok II : Kontrol positif, kelompok yang diberikan

pembanding catopril dengan dosis 0,45 mg/

200g BB.

Kelompok III : Diberikan ekstrak etanol 90% daun katuk 9

mg/200g BB tikus.

Kelompok IV : Diberikan ekstrak etanol 90% daun katuk 18

mg/200g BB tikus. .

Kelompok V : Diberikan ekstrak etanol 90% daun katuk 36

mg/200g BB tikus.

2. Tiap-tiap tikus putih di lakukan secara oral di berikan NaCL

4,5% pada bagian mulut sebanyak 2 ml

3. 10 hari setelah pemberian NaCL 4,5% dilakukan pengukuran

tekana darah, kemudian masing-masing kelompok diberi

perlakuan dangan cara oral setiap hari 1 kali


59

4. Setiap 3 hari di lakukan pengukuran tekanan darah tikus pada

masing-masing kelompok sampai tekanan darah normal selama

30 hari.

Skematis Anti Hipertensi

Persiapan hewan uji 25 ekor tikus putih jantan galur sprague-

Tikus putih jantan galur sprague-dawley sebelumnya


diaklimatisasi terlebih dahulu di dalam ruang kandang hewan
selama kurang lebih 7 hari. Sesudah itu diukur tekanan darah
tikus

Tikus diinduksi dengan NaCl 4,5% setiap hari secara oral


selama 10 hari sampai kondisi tikus menjadi hipertensi.
Kemuadian di ukur kembali untuk meastikan sih tikus itu
benar-benar hipertensi

Setelah tikus hipertensi maka akan diberi Pemberian sampel setiap


hari 1 kali secara oral selama 13 hari

Kelompok0,168
I ml Kelompok II Kelompok III Kelompok IV KelompokV
Kontrol negatif, Kontrol Diberikan Diberikan Diberikan
kelompok positif, ekstrak etanol ekstrak etanol ekstraketanol
diberikan dengan kelompok 90% daun 90% daun katuk 90% daun
Larutan aquadest diberikan katuk 9 18 mg/200g BB katuk 36
pembandingan mg/200g BB tikus. mg/200g BB
catopril tikus. tikus.
.

q
Setiap 3 hari di lakukan pengukuran tekanan darah tikus putih jantan galur sprague-
dawley pada masing-masing kelompok sampai tekanan darah normal selama 13 hari u
Gambar III.1.
dan Skematis antianalisis
di lakukan hiperlipidemi
a

s
60

III.7 Teknik Pengumpulan Data

Tikus di ukur tekanan darah sebelem di induksi NaCl 4,5%,

lalu di catat. Tekanan darah menunjukkan normal. Setelah itu, tikus

di induksi dengan menggunakan NaCl 4,5%. setelah 10 hari

mengalami kenaikan tekanan darah. Tekanan darah di catat

kemudian di berikan perlakuan. Tekanan darah di ukur setelah 3

hari perlakuan, berikut seterusnya satiap 3 hari sekali sampai 13

hari.

III.8 Teknik Analisis Data

Data yang di peroleh dari penelitian ini di analisis secara

stastistik menggunakan aplikasi SPSS one way anova dan uji pos

hoc. Uji anova adalah uji untuk membandingkan perbedaan mean

lebih dari dua ke lompok. Namun pada uji normalitas kolmogorov

smirnov, data tidak berdistribusi normar, sehingga alternatif anova

adalah uji kruskal wallis untuk mengetahui ada terkaitan antara

variabel bebas dan variabel terikat atau tidak. Uji pos hoc adalah

uji untuk membandingkan perbedaan mean antara 2 kelompok.


61

III.9 Definisi Operasional

III.5.9 Tabel Operasional

No Variabel Definisi Kategori Skala


Operasional

1. Ekstrak etanol Daun katuk Dosis 9 mg/200g BB Nominal


90 % daun yang telah Dosis 18 mg/200g BB
katuk diekstraksi Dosis 36 mg/200g BB
dengan metode
maserasi dan
menggunakan
pelarut etanol
90 %

2. Efek Pengaruh Setelah perlakuan hari ke 10 Nominal


Antihipertensi pemberian
sediaan
antihipertensi
berupa Ekstrak
etanol 90 %
daun katuk
3. Usia Usia tikus putih 3-5 bulan Interval
(Rattus
norvegicus)

4. Bobot Bobot tikus 200-300 gram Interval


putih ( Rattus
norvegicus )

5. Spesies Satuan dasar Rattus norvegicus Ordinal


klasifikasi
biologi atau
jenis tikus yang
digunakan
6. Jenis kelamin Jenis kelamin Jantan dan betina Nominal
dari hewan uji
(tikus putih)
yang
dipergunakan
62

III.10 Rencana Penelitian

Tabel III.8 Rencana Penelitian

Kegiatan Bulan

Tahun (2018) Tahun (2019)

Okt Des Ja n Feb Mar Apri

Pengajuan Judul 

Penyusunan Proposal  

Sidang Proposal  

Penelitian 

Pengumpulan Data 

Pengolahan Data 

Penyusunan Pembahasan 

Sidang Skripsi
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, B. (2010) No TitleTumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang


Berpotensi Sebagai Bahan Antifertilitas. Adabia Press.

H.V, L. R. (2010) ‘Uji Efektifitas Anthipertensi Ekstrak Etanol Daun Alpukat


(Persea americana, Mill) Pada Tikus Putih Yang di Buat Hipertensi’,
in. Depok: Universitas Indonesia.

Lestari, S. and Yuliawiendarlina, I. (2016) ‘PENGARUH EKSTRAK DAUN


DEWA (Gynura segetum (Lour) Merr.) sebagai ANTIHIPERTENSI
pada TIKUS PUTIH JANTAN (Sprague-Dawley)’.

Patonah, Susilawati, E. and Riduan, A. (2017) ‘AKTIVITAS ANTIOBESITAS


EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus L.Merr) PADA
MODEL MENCIT OBESITAS ANTIOBESITY’, 14(2), pp. 137–152.

Prasetyo and Inoriah, E. (2013) ‘PENGELOLAAN BUDIDAYA TANAMAN


OBAT-OBATAN (Bahan Simplisia)’, in. Bengkulu: Badan Penerbitan
Fakultas Pertanian UNIB.

Santoso, U. (2013) Katuk , Tumbuhan Multi Khasiat KATUK. Bengkulu: Badan


Penerbit Fakultas Pertanian (BPFP) Unib.

Sukandar, E. Y. et al. (2008) ‘Iso farmakoterapi’, in. Jakarta Barat: PT.ISFI, pp.
119–128.

Susanti, Budiman and Warditiani (2015) ‘Skrining Fitokimia Ektrak Etanol 90 %


Daun Katuk ( Sauropus androgynus ( L .) Merr .)’, Repository
Universitas Udayana, pp. 83–86.

Susila, A. D. et al. (2012) ‘Koleksi dan indentifikasi Tanaman sayuran


indigenous’.

Zuhra, C. F., Tarigan, J. B. and Sihotang, H. (2008) ‘Aktivitas Antioksidan


Senyawa Flavonoid Dari Daun Katuk ( Sauropus androgunus ( L )
Merr .)’, 3(1), pp. 10–13.

Hanani, P.(2015). Analis Fitokimia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

63
Iswantini, D et al. (2009). Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia Dari
Tumbuhan Hutan Untuk. Ke Unggulan Bangsa Dan Negara.
Kementrian Kehutanan, Bogor.

Marjoni, R.W et al. (2016). Dasar-Dasar Fitokimia Untuk Diploma III Farmasi.
Jakarta: Trans Info Media.

Sarifudin,A et al. (2010) : Kajian Metode Pengeringan Dan Metode Analisis Daun
Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L) Terhadap Kadar Tanin.

64

Anda mungkin juga menyukai