PROPOSAL PENELITIAN
Oleh:
ROSI AMANDA
1708109010010
Oleh:
Menyetujui:
Mengetahui:
i
KATA PENGANTAR
1. Ibu Lydia Septa Desiyana M. Si., Apt, selaku Ketua Jurusan Farmasi
Universitas Syiah Kuala.
2. Ibu Misrahanum, S. Si., M. Kes., selaku Koordinator Tugas Akhir jurusan
Farmasi.
3. Bapak Dr.rer.nat. Khairan, S. Si., M. Si, selaku pembimbing I dan Ibu Prof.
Dr. Kartini Hasballah, M.S, Apt, selaku pembimbing II yang telah
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
Proposal Penelitian ini.
4. Kedua orang tua saya, Ayahanda Munzir Usman dan Ibunda Murniati yang
selalu memberikan dukungan dan doa.
5. Bapak Tedy Kurniawan Bakri, M. Farm., Apt, selaku dosen perwalian
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Farmasi yang telah mendidik penulis saat
masa studi hingga penyusunan proposal penelitian ini selesai.
7. Rekan seperjuangan Farmasi 2017 yang telah setia bersama menjalani suka
duka sejak awal hingga akhir masa studi.
8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penyusunan proposal penelitian ini.
ii
Penulis menyadari bahwa penyusunan proposal ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis berharap atas kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga tujuan dari pembuatan proposal ini dapat
tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Rosi Amanda
1708109010010
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .............................................................................................................. i
Halaman Pengesahan ....................................................................................................i
Kata Pengantar..............................................................................................................ii
Daftar Isi ...................................................................................................................... iiv
Daftar Tabel ................................................................................................................. vi
Daftar Gambar ............................................................................................................ vii
Daftar Lampiran ..................................................................................................... viiviii
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 3
iv
2.5.2 Morfologi ............................................................................................. 16
2.5.3 Perilaku kawin ..................................................................................... 17
2.5.3.1 Perilaku kawin tikus jantan .............................................................. 17
2.5.3.2 Perilaku Kawin Tikus Betina .............................................................. 19
2.5.4 Organ Reproduksi Tikus ...................................................................... 20
LAMPIRAN ......................................................................................................... 34
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
nilam memiliki aktivitas biologi sebagai antitioksidan, analgesik, antiplatelet,
antitrombotik, afrodisiak dan antiemetik. Kandungan kimia yang terdapat pada
tumbuhan nilam yaitu monoterpenoid, triterpenoid, seskuiterpenoid, pitosterol,
flavonoid, asam organik, lignin, glikosida, alkohol dan aldehida. Kandungan yang
diduga memiliki potensi sebagai afrodisiak yaitu alkaloid dan flavonoid (Swamy,
2015). Yetman (2020), menyebutkan bahwa metabolit sekunder seperti alkaloid dan
derivat isoflavonoid berperan dalam menghambat PDE-5 (phosphodiesterase-5
inhibitor). Phosphodiesterase-5 inhibitor adalah jenis obat yang sering kali
digunakan untuk memicu ereksi pada penis, sehingga sering kali digunakan untuk
menangani disfungsi ereksi (Tzoumas N, 2019).
Penggunaan obat konvensional tidak sedikit yang menimbulkan efek samping
membahayakan tubuh sehingga kini masyarakat mulai beralih untuk melakukan
pengobatan dengan bahan alam (Dorland, 2002). Potensi nilam yang begitu besar
dapat dikembangkan sebagai alternatif dari obat sintesis yang lebih aman dari efek
samping dan dapat menekan biaya pengobatan. Afrodisiak didefinisikan sebagai
bahan atau obat-obatan yang memiliki efek membangkitkan naluri seksual, gairah,
perilaku, kinerja atau kesenangan seksual (Cherry, 2021). Afrodisiak memiliki
mekanisme kerja yang serupa dengan obat-obatan PDE5-I sehingga diduga dapat
berpotensi menangani masalah disfungsi ereksi. Pada penelitian sebelumnya,
Gumellangsari (2010) menggunakan hewan coba mencit yang diberikan aromaterapi
minyak nilam 1% dan diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
dalam peningkatan libido. Namun demikian, diperlukan penelitian lebih mendalam
terhadap nilam sebagai afrodisiak. Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) dikarenakan adanya pengamatan pada bagian organ. Tikus
lebih dipilih karena ukuran organ tikus lebih besar daripada mencit (Suckow et al.,
2006).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pada penelitian ini akan
ditentukan efek atau pengaruh ekstrak daun nilam (Pogostemon cablin Benth.)
sebagai afrodisiak terhadap tikus jantan galur wistar (Rattus norvegicus).
2
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Apakah ekstrak daun nilam (Pogostemon cablin Benth.) mempunyai efek
afrodisiak terhadap tikus jantan galur wistar (Rattus norvegicus)?
2. Jenis pelarut ekstrak manakah yang lebih menunjukkan efektivitas
afrodisiak terhadap tikus jantan galur wistar (Rattus norvegicus)?
3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
4
2.1.2 Morfologi
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan tanaman semak
tropis perdu yang tumbuh tegak, memiliki banyak percabangan, dan bertingkat-
tingkat. Secara alami tanaman nilam dapat mencapai ketinggian antara 0,5 - 1,0 m.
Nilam memiliki batang yang bercabang, padat, dan bersudut. Daun tanaman nilam
berbentuk bulat telur sampai bulat panjang (lonjong) dan memiliki panjang antara 5 -
11 cm, tipis, berwarna hijau tidak kaku, dan berbulu pada permukan bagian atas.
Nilam memiliki kedudukan daun yang saling berhadapan, permukaan daun kasar
dengan tepi bergerigi, ujung daun tumpul, daun urat daun menonjol keluar. Tanaman
nilam jarang berbunga. Bunga nilam tumbuh di ujung tangkai, bergerombol, dan
memiliki karateristik warna ungu kemerahan. Tangkai bunga memiliki panjang
antara 2 - 8 cm dengan diameter antara 1 - 1,5 cm. Mahkota bunga berukuran 8 mm
(Rukmana, 2003).
5
2.2 SIKLUS RESPON SEKSUAL NORMAL
Siklus respon seksual terbagi dalam empat fase yang berbeda:
1. Fase Keinginan
Fase ini melibatkan fantasi seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual
2. Fase Perangsangan
Fase ini melibatkan perubahan fisik dan perasaan nikmat yang muncul saat
proses rangsangan seksual. Perangsangan seksual melibatkan refleks seksual berupa
ereksi pada pria dan lubrikasi vagina pada wanita. Ereksi terjadi ketika pembuluh
darah dalam jaringan yang ada di dalam penis membesar untuk memungkinkan aliran
darah yang meningkat memperbesar jaringan. Sementara pada wanita, terjadi
perubahan seperti payudara akan membesar, puting susu membesar, klitoris
membesar, vagina melebar dan membesar serta terjadi lubrikasi pada daerah vagina
akibat pembesaran pembuluh darah yang mendorongr cairan keluar melalui
membrane kapiler.
3. Fase Orgasme
Orgasme merupakan pencapaian tegangan seksual dan dilepaskan melalui
kontraksi ritmik involunter dari otot pelvis disertai perasaan nikmat. Orgasme
merupakan suatu refleks yang dirasakan pada pria maupun wanita. Orgasme terjadi
pada pria ketika kontraksi dari otot pelvis mendorong cairan mani untuk keluar
menuju ujung penis pada saat ejakulasi. Pada wanita, otot pelvis yag mengelilingi
lapisan luar ketiga dari vagina berkontraksi secara refleks. Pada pria dan wanita,
kontraksi pertama adalah yag terkuat dan berjarak interval 0,8 detik. Sementara
kontraksi selanjutnya cenderung lebih lemah dan terjadi dalam rentang wak tu yang
lebih lama.
4. Fase Resolusi
Fase resolusi ditandai dengan terjadinya relaksasi dan perasaan nyaman. Pada
tahap ini, pria secara fisiologis tidak mampu mencapai ereksi dan orgasme untuk
suatu periode waktu tertentu. Berbeda dengan wanita yang mampu mempertahankan
rangsangan seksual pada tingkat tinggi jika stimulasi ditingkatkan dan mengalami
orgasme ganda dalam suatu rangkaian yang cepat (Nevid, Rathus, & Greene, 2003).
6
2.2.1 Ereksi
Ereksi penis adalah peristiwa neurovaskuler yang dimodulasi oleh faktor
psikologis dan status hormonal. Ereksi penis terjadi ketika arteri di penis
mengalami dilatasi dan jaringan erektil (korpura kavernosus dan korpura
spongiosum) mengalami relaksasi (Wespes dkk., 2012). Secara hemodinamika,
telah diketahui beberapa fase ereksi sebagai berikut:
1. Fase flaksid (lemas)
Pada fase ini otot polos trabekular berkontraksi, aliran darah arteri berkurang,
dan aliran darah vena meningkat. Tekanan dalam korpura kavernosus kurang
lebih sama dengan tekanan vena.
2. Fase pengisian awal
Pada stimulasi seksual, impuls saraf menyebabkan pelepasan neurotransmitter
dari saraf kavernosus terminal dan faktor relaksasi dari sel-sel endotel di
penis, sehingga terjadi relaksasi otot polos arteri dan arteriol yang memasok
jaringan ereksi dan peningkatan beberapa kali lipat aliran darah penis. Pada
saat yang sama, relaksasi dari otot trabekular halus meningkatkan kepatuhan
dari sinusoid, memfasilitasi pengisian cepat dan perluasan sistem sinusoidal.
3. Fase tumesensi
Pada fase ini tekanan interkavernosus mulai meningkat dan ukuran penis
terus bertambah. Aliran arteri perlahan-lahan mulai berkurang sampai terjadi
fase ereksi penuh.
4. Fase ereksi penuh
Selanjutnya terjadi kompresi pada pleksus venular subtunika antara trabekula
dan tunika albugenia, sehingga menyebabkan oklusi hampir total dari aliran
vena. Peristiwa ini menjebak darah di dalam korpus kavernosa dan
menegakkan penis dari posisi tergantung, dengan tekanan intrakavernosus
(fase ereksi penuh).
5. Fase ereksi kaku
Selama hubungan seksual yang memicu reflex bulbokavernosus, otot-otot
ischiokavernosus dengan kuat menekan dasar korpura bulbokavernosus yang
dipenuhi darah dan penis menjadi lebih keras lagi, dengan tekanan
7
intrakavernosus mencapai beberapa ratus millimeter air raksa. Selama fase
ini, arus masuk dan keluar darah berhenti sementara.
6. Fase detumesensi
Detumesensi (ukuran yang mengecil) dapat dihasilkan dari penghentian
pelepasan neurotrasmiter, pemecahan messenger kedua oleh fosfodiesterase,
atau pelepasan simpatik saat ejakulasi. Kontraksi otot polos trabekula
membuka kembali saluran vena, darah yang terperangkap dikeluarkan, dan
kembali ke keadaan flaksid (Wespes dkk., 2006).
Gambar 2.2 Perbedaan kondisi penis pada saat flaksid dan ereksi (Sumber:
lpurological.com, 2021).
8
darah tertentu di penis untuk membesar sehingga darah dapat terisi. Sementara itu,
pembuluh darah lain menyempit sehingga darah terperangkap di dalamnya. Disfungsi
ereksi meliputi beberapa gejala persisten seperti kesulitan ereksi, kesulitan
mempertahankan ereksi dan berkurangnya minat seksual (niddk.nih.gov, 2021).
2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi disfungsi ereksi pada tahun 1995 diestimasikan sebesar 152 juta
laki-laki di seluruh dunia. Pada tahun 2025 prevalensi disfungsi ereksi diproyeksikan
terjadi peningkatan sebanyak 170 juta sehingga akan menjadi 322 juta laki-laki.
Kondisi difungsi ereksi ini meningkat pada negara-negara berkembang seperti
Afrika, Asia dan Amerika selatan (Aytaç, 1999).
9
al., 2007). Prevalensi disfungsi ereksi di Indonesia yaitu sekitar 35,6%. Hal-hal yang
terakait secara signifikan dengan disfungsi ereksi yaitu usia, hipertensi, stroke,
riwayat penyakit jantung, diabetes, penyakit ginjal, riwayat operasi prostat dan stres
interpersonal (Birowo, 2019).
2.3.3 Faktor Resiko
Berbagai faktor risiko yang dapat berkontribusi pada disfungsi ereksi, yaitu:
a. Kondisi medis, terutama penyakit diabetes atau jantung
b. Penggunaan tembakau, yang membatasi aliran darah ke pembuluh darah
dan arteri, seiring waktu dapat menyebabkan kondisi kesehatan kronis yang
menyebabkan disfungsi ereksi.
c. Kelebihan berat badan, terutama jika Anda mengalami obesitas
d. Perawatan medis tertentu, seperti operasi prostat atau perawatan radiasi
untuk kanker
e. Cedera, terutama jika merusak saraf atau arteri yang mengontrol ereksi
f. Obat-obatan, termasuk antidepresan, antihistamin, dan obat-obatan untuk
mengobati tekanan darah tinggi, nyeri, atau kondisi prostat
g. Kondisi psikologis, seperti stres, kecemasan atau depresi
h. Penggunaan narkoba dan alkohol, terutama jika Anda adalah pengguna
narkoba jangka panjang atau peminum berat (mayoclinic.org, 2021).
2.3.4 Patofisiologi
Penis tetap dalam keadaan flasid saat otot polos berkontraksi. Kontraksi otot
polos diatur oleh kombinasi kontrol adrenergik (noradrenalin), kontrol miogenik
intrinsik dan faktor kontraksi yang diturunkan dari endotel (prostaglandin dan
endotelin). Setelah rangsangan seksual, ereksi terjadi saat oksida nitrat (NO)
dilepaskan dari serabut saraf non-adrenergik nonkolinergik (NANC) dan asetilkolin
dilepaskan dari serabut saraf kolinergik parasimpatis. Hasil dari jalur pensinyalan
berikutnya adalah peningkatan konsentrasi GMP siklik (cGMP), penurunan kadar
Ca2+ intraseluler dan relaksasi sel otot polos. Saat otot polos rileks, darah dapat
mengisi ruang lacunar di corpora cavernosa, menyebabkan kompresi venula subtunis,
sehingga menghalangi aliran darah untuk keluar vena sehingga menyebabkan
sumbatan pada vena (veno-oklusi). Disfungsi ereksi dapat terjadi jika salah satu dari
10
proses ini terganggu (Yafi, 2016). Adapun mekanisme patofisiologi disfungsi ereksi
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Gambar 2.3 Kontraksi otot polos penis (keadaan flaksid) (Sumber: Yafi et al., 2016).
a. Masuknya Ca2+ ke dalam sel diatur oleh pensinyalan noradrenalin dan kadar
inositol-1,4,5-trisphosphate (Ins(1,4,5)P3, yang dihasilkan dari phosphatidylinositol-
4,5-biphosphate (PtdIns(4,5)P2) oleh fosfolipase C di dalam sel. Peningkatan Ca2+
intraseluler mengikat calmodulin, memfasilitasi pembentukan calmodulin-myosin
light chain kinase (MLCK) kompleks. Hal ini menyebabkan fosforilasi MLC,
menghasilkan kontraksi otot polos dan penis yang flaksid. Pensinyalan noradrenalin
juga menghambat adenilat siklase dan memodulasi jalur protein kinase (ROCK)
terkait RHO, yang meningkatkan sensitivitas MLC menjadi Ca2+, suatu proses yang
diatur secara negatif oleh testosteron. Endotelin dan prostaglandin dari endotel juga
memicu peningkatan Ca2+ intraseluler untuk kontraksi otot polos.
b. Ketika otot polos berkontraksi, aliran darah masuk melalui arteri kavernosa
minimal, dan darah keluar dengan bebas melalui subtunical pleksus venula. RE,
retikulum endoplasma; MLCP, fosfatase rantai ringan miosin (Yafi et al., 2016).
11
Gambar 2.4 Kontraksi otot polos penis (keadaan kontraksi) (Sumber: Yafi et al.,
2016).
a. Setelah adanya rangsangan seksual, terjadi ereksi setelah pelepasan oksida nitrat
(NO) dari serabut saraf non-adrenergik non-kolinergik (NANC) yang menyebabkan
aktivasi guanilat siklase sehingga meningkatkan konsentrasi GMP siklik. Setelah
kolinergik serabut saraf parasimpatis melepaskan asetilkolin, adenilat siklase menjadi
aktif untuk meningkatkan kadar AMP siklik. Jalur pensinyalan yang dipicu
menurunkan kadar Ca2+ intraseluler dan menyebabkan relaksasi sel otot polos.
b. Saat otot polos berelaksasi darah terisi pada ruang lakunar di kavernosa dan
menyebabkan kompresi venula subtunical, sehingga menghalangi aliran keluar vena.
Prosesnya dibalik karena cGMP dihidrolisis oleh fosfodiesterase tipe 5 (PDE5). RE,
retikulum endoplasma; InsP3, inositol trisphosphate; NOS, NO sintase;
PtdIns(4,5)P2, fosfatidilinositol 4,5 bifosfat (Yafi et al., 2016).
12
faktor resiko yang berkaitan dengan obat-obatan. Penatalaksanaan disfungsi ereksi
dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan pengobatan disfungsi organik atau
psikoseksual. Pasien dan pasangannya diberikan informasi terhadap keefektivitasan
obat, risiko dan manfaat dari perawatan yang tepat, dengan mempertimbangkan
preferensi dan harapan. Kegagalan terapi oral seringkali dapat diselamatkan dengan
edukasi ulang pasien tentang penggunaan inhibitor PDE5 I dan optimalisasi dosis
(mayoclinic.org, 2018).
Manajemen disfungsi ereksi dapat dibagi menjadi terapi non bedah dan
bedah. Terapi non bedah meliputi terapi lini pertama sampai ketiga. 43 Terapi lini
pertama yakni farmakoterapi oral misalnya sildenafil citrate (Viagra), vardenafil,
Tadalafil yang digunakan untuk menghambat enzim Phospodiesterase (PDE-5).
Terapi lini kedua yang dapat digunakan yakni injeksi intrakavernosa untuk
mrnghambat adrenoreseptor dan prostaglandin sehingga menyebabkan relaksasi otot
polos pembuluh darah dan kavernosa, pengobatan kerusakan vena, pengobatan
hormonal, terapi external vacuum. Terapi lini ketiga yakni terapi bedah untuk
mengoreksi DE seperti implantasi prostese penis, revaskularisasi penis, dan
pembedahan untuk Corporal Veno Occlusive Dysfunction (CVOD). Pembedahan
dipertimbangkan pada kasus yang gagal terapi medikamentosa (CUA Guideline,
2015)
2.4 AFRODISIAK
Afrodisiak (aphrodisiac) adalah bahan atau obat yang membangkitkan gairah
seksual atau libido (Dorland, 2002). Berasal dari kata Aphrodite, yaitu nama dewi
cinta dalam mitologi Yunani kuno. Dalam kurun waktu belakangan ini, di Indonesia
mulai banyak masyarakat terutama kaum pria yang mulai mencari obat-obatan
semacam ini untuk meningkatkan gairah seksualnya. Hal ini mungkin berkaitan
dengan data dalam kongres Urologi Asia IV di Singapura. Pada data tersebut
dinyatakan bahwa 14 % dari pria berusia di atas 18 tahun yang menjalani rawat jalan
di Asia ternyata menderita gangguan kemampuan ereksi, dan dari jumlah itu, yang
terbanyak mengalami gangguan impotensi adalah pria perkotaan Cina 25 %, disusul
pria-pria Indonesia 21 % (urutan kedua).
13
Menurut (Bruce et al, 2002) mekanisme yang terlibat dalam potensi
afrodisiak meliputi:
a. Afrodisiak sebagai sumber nutrisi.
Beberapa afrodisiak hanya bersifat sebagai sumber nutrisi yang
meningkatkan kesehatan penggunanya sehingga mengakibatkan
meningkatnya kinerja seksual dan libido.
b. Afrodisiak yang mempengaruhi fisiologis
Terdapat afrodisiak yang diklaim memiliki pengaruh fisiologis yang lebih
spesifik tetapi tidak aktif secara psikologis. Mereka dapat mempengaruhi
aliran darah, tingkatkan durasi aktivitas seksual.
c. Afrodisiak yang mempengaruhi psikofarmakologis,
Afrodisiak jenis ini mampu melintasi penghalang darah otak dan
merangsang beberapa area gairah seksual. Kategori ini mencakup
berbagai neurotransmiter, hormon, feromon, dan obat-obatan yang
mengganggu fungsi normal molekul-molekul ini.
Mekanisme kerja dari tanaman yang memiliki efek afrodisiak dibedakan
menjadi mekanisme aksi berbasis oksida nitrat (NO) dan mekanisme aksi berbasis
androgen.
a. Mekanisme Neurotransmitter (NO)
Neurotransmitter mendorong relaksasi pembuluh darah penis dan otot polos
trabekuler yang berperan penting dalam ereksi penis. Relaksasi otot polos
trabekuler korpus kavernosa menyebabkan penurunan resistensi vaskular dan
peningkatan aliran darah ke penis. Penurunan aliran darah dijamin oleh kompresi
venula subtunis. Keduanya meningkatkan darah masuk dan menyebabkan
pembengkakan penis sehingga dapat melakukan ereksi. Vasolidasi dimediasi oleh
NO dari endotel vaskular dari sinusoid dan saraf nonadrenergik, nonkolinergik dan
kavernosus
b. Mekanisme Androgen
Androgen seperti testosteron memainkan peran penting dalam perkembangan
karakter seksual sekunder seperti epididimis, vas deferens, vesikula seminalis,
prostat dan penis. Konversi testosteron menjadi estradiol di hipotalamus
meningkatkan fungsi seksual. Ereksi penis juga disebabkan oleh jalur siklik
14
adenosin monofosfat (cAMP) melalui mediasi otot polos kopral dan masing-masing
enzim serta protein seperti prostalglandin dan protein G-kinase. Oleh karenanya,
akan terjadi relaksasi otot polos dan juga peningkatan konsentrasi Ca2+ yang
menginduksi hilangnya tonus kontraktil otot polos penis dan meningkatkan darah
mengalir di tubuh sehingga menghasilkan ereksi (Enema, 2018).
2.5.1 Taksonomi
Berdasarkan animaldiversity.org (2021), tikus putih galur wistar
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
15
2.5.2 Morfologi
Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan berkaki empat yang
besar dari famili tikus pada umumnya. Hewan ini memiliki kepala, badan, ekor,
sepasang daun telinga, mata, bibir kecil dan lentur, di sekitar hidung tikus terdapat
misae. Panjang tikus dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ujung ekor.
Berat badan tikus putih dapat mencapai hingga 500 gram.
Adapun data biologi tikus putih dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
16
10 Kematangan seksual 7 minggu
Parameter reproduksi tikus jantan
1 Usia kawin 8-10 minggu
2 Berat saat kawin 250-300 gram
Parameter reproduksi tikus betina
1 Usia kawin 8-10 minggu
2 Berat saat kawin 180-225 gram
3 Lamanya siklus estrus 4-5 hari
4 Durasi estrus 10-20 jam
5 Waktu ovulasi 8-11 jam setelah onset
estrus
6 Menopause 15-18 bulan
7 Waktu sperma dapat terdeteksi di vagina Hari ke-1
8 Masa kehamilan 12-23 hari
(Sumber: Sengupta, 2013)
Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan
coba diantaranya galur Sprague-Dawley, galur Wistar dan galur Long Evans. Tikus
putih galur Sprague-Dawley memiliki kepala kecil, berwarna albino putih dan
ekornya lebih Panjang daripada badannya. Tikus galur Wistar memiliki kepala besar
dan ekor yang lebih pendek. Sementara tikus galur Long Evans memiliki ukuran
yang lebih kecil daripada kedua varietas lainnya, berwarna hitam pada kepala dan
bagian tubuh bagian depan (Malole dan Pramono, 1989). Pada penelitian ini, tikus
putih alur wistar lebih dipilih karena sifatnya yang mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan lebih mudah ditangani.
17
jantan akan terlebih dahulu terlibat dalam persaingan untuk menarik perhatian dari
tikus betina dan untuk mempertahankan wilayahnya dari tikus jantan lainnya. Dalam
mempertahankan wilayahnya, sering terjadi perkelahian antar jantan. Setelah berhail
mendapatkan perhatian dari tikus betina, tikus jantan akan memulai untuk mencumbu
tikus betina kemudian melakukan pendekatan untuk melakukan kopulasi.
Spermatogenesis dan pematangan spermatozoa yang dikontrol oleh hormon
testosteron melalui sel leydig dapat mempengaruhi sistem saraf pusat termasuk
pengaruhnya terhadap libido atau dorongan seksual dan perilaku seksual,
merangsang metabolisme tubuh khususnya yang berhubungan dengan sintesis
protein dan pertumbuhan otot, serta mempengaruhi karakteristik seks sekunder
(Martini, 2001).
Perilaku tikus jantan dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku
prekopulasi dan perilaku kopulasi. Perilaku prekopulasi merupakan tahap
percumbuan dengan menunjukkan perilaku mengendus bau yang dikeluarkan oleh
betina (Yakubu and Akanji, 2010). Tikus jantan akan terangsang apabila betina
mensekresikan pheromon yang dihasilkan oleh kelenjar preputial yang diekskresikan
melalui urin sehingga dapat menyebabkan jantan memeriksa daerah 17 genital betina
dan merangsang jantan untuk melakukan kissing vagina pada betina (Nainggolan dan
Simanjuntak, 2005). Setelah melakukan percumbuan, tikus memperlihatkan perilaku
kopulasi yang terdiri dari beberapa seri ejakulasi. Satu seri ejakulasi terdiri dari
mount, intromission dan ejakulasi. Mount merupakan perilaku dimana jantan
mengambil posisi kopulasi pada punggung betina dan memegang panggul betina
serta melakukan pelvic thrusting. Intromission merupakan perilaku jantan dimana
jantan mengambil posisi kopulasi pada punggung betina dan memegang panggul
betina, pelvic thrusting dan penetrasi betina. Ejakulasi adalah pengeluaran sekresi
dari kelenjar prostat, vesikula seminalis, kelenjar koagulum dan sperma. Sekret ini
akan menggumpal dan membentuk copulatory plug atau sumbat vagina (Kenyon,
2000). Motivasi seksual merupakan kecenderungan jantan untuk mencari dan
mendapatkan betina yang akan diajak kawin (Pfaus, 1996). Motivasi seksual pada
jantan berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mount dan intromission.
Semakin tinggi motivasi seksual akan ditunjukkan dengan waktu mount dan
intromission yang semakin singkat (Sudwan et al, 2006). Kopulasi untuk
18
mendapatkan gambaran tentang libido pada hewan percobaan dapat dilihat dengan
banyaknya jumlah pendekatan (introduction) dan penunggangan (climbing). Perilaku
pendekatan (introduction) pada tikus diperlihatkan dengan mencium kelamin tikus
betina (kissing vagina). Munculnya gairah seksual pada tikus jantan dapat
dipengaruhi oleh faktor hormonal, kondisi tubuh, umur, dan non hormonal termasuk
suhu, ketinggian, cahaya, luas kandang dan faktor tikus betina (Arthur, 1996).
19
bertujuan untuk merangsang tikus jantan untuk mengejar betina dan melakukan
kopulasi. Perilaku reseptif adalah perilaku yang menunjukkan kemampuan betina
untuk melakukan kopulasi (Kenyon, 2000). Perilaku reseptif ditunjukkan dengan
postur tubuh lordosis pada mencit betina. Postur tubuh lordosis terjadi ketika jantan
melakukan posisi kopulasi pada betina yang bersifat reseptif. Kopulasi tejadi saat
tikus betina pada siklus estrus. Periode estrus pada tikus betina terjadi selam 9-15
jam yang ditandai dengan peningkatan aktifitas, telinga bergetar saat digoyangkan
punggungnya, stimulasi pada pelvic akan menyebabkan posisi tikus menjadi lordosis,
vulva membengkak dan berwarna merah serta pada apusan vagina didapat gambaran
100% sel epitel menanduk (Arthur, 1996). Tahap estrus merupakan masa keinginan
kawin, yang ditandai dengan perilaku kopulasi atau lordosis. Pada fase ini estrogen
mencapai konsentrasi tertinggi pada waktu terbentuknya folikel de graaf yang berisi
ovum sehingga merangsang hipofisis anterior mensekresikan LH yang diperlukan
untuk ovulasi (Turner dan Bagnara, 1988).
20
Gambar 2.6 Sistem urogenital pada tikus Rattus norvegicus laki-laki
(Sumber: Meghna 2021).
21
BAB III
METODE PENELITIAN
22
diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan
sampel secara non-random (tidak acak) untuk menetapkan ciri-ciri khusus dimana
daun nilam yang dipilih adalah daun dalam kondisi tidak terlalu muda, memiliki
bentuk daun yang sempurna dan terbebas dari hama.
23
ekor tikus. Untuk menghindari terjadinya drop out, maka tikus dilebihkan menjadi 1
ekor per 1 kelompok uji coba. Pada penelitian ini menggunakan sebanyak 66 ekor
tikus jantan galur wistar dan 66 ekor tikus betina galur wistar sebagai pasangan tikus
jantan. Tikus diberi makan dan minum ad libitum. Makanan yang diberikan berupa
makanan khusus tikus dan minuman air mineral. Hewan coba ini juga dikandangkan
secara individual dan diadaptasikan terlebih dahulu dalam suasana laboratorium
selama 7 hari.
24
kelompok III-V dosis yang diberikan adalah 10; 25; dan 50 mg/kg BB pada tabel
sebagai berikut:
25
Tabel 3.1 Tabel pengamatan Jumlah introduction tikus putih jantan terhadap tikus putih betina (n=5) setelah perlakuan
Dosis Jumlah Perlakuan
(mg/kg
Kelompok Uji BB) Pengulangan hari ke-
1 2 3 4 5 6 7
A Introduction
Kontrol Negatif (Na-CMC 5%) 50
Positif (Sildenafil) 5
Fraksi B (n-heksana) Kelompok III 10
Kelompok IV 25
Kelompok V 50
Fraksi C (etil asetat) Kelompok VI 10
Kelompok VII 25
Kelompok VIII 50
Fraksi D (etanol) Kelompok IX 10
Kelompok X 25
Kelompok XI 50
26
Tabel 3.2 Tabel pengamatan Jumlah climbing tikus putih jantan terhadap tikus putih betina (n=5) setelah perlakuan
Dosis Jumlah Perlakuan
(mg/kg
Kelompok Uji BB) Pengulangan hari ke-
1 2 3 4 5 6 7
B Climbing
Kontrol Negatif (Na-CMC 5%) 50
Positif (Sildenafil) 5
Fraksi B (n-heksan) Kelompok III 10
Kelompok IV 25
Kelompok V 50
Fraksi C (etil asetat) Kelompok VI 10
Kelompok VII 25
Kelompok VIII 50
Fraksi D (etanol) Kelompok IX 10
Kelompok X 25
Kelompok XI 50
27
Tabel 3.3 Tabel pengamatan Jumlah coitus tikus putih jantan terhadap tikus putih betina (n=5) setelah perlakuan
Dosis Jumlah Perlakuan
(mg/kg
Kelompok Uji BB) Pengulangan hari ke-
1 2 3 4 5 6 7
C Coitus
Kontrol Negatif (Na-CMC 5%) 50
Positif (Sildenafil) 5
Fraksi B (n-heksan) Kelompok III 10
Kelompok IV 25
Kelompok V 50
Fraksi C (etil asetat) Kelompok VI 10
Kelompok VII 25
Kelompok VIII 50
Fraksi D (etanol Kelompok IX 10
Kelompok X 25
Kelompok XI 50
28
Pemberian bahan uji dilakukan pada hari ke-1 sampai hari ke-7 dengan pengulangan
untuk masing-masing perlakuan. Perlakuan dihitung setelah 1-3 jam setelah
pemberian bahan uji. Masing-masing dosis diberikan secara per-oral pada tikus putih
jantan. Setelah tikus putih jantan diberikan-treatment, 5 menit kemudian tikus betina
(fase estrus) dimasukan ke dalam kandang. Perilaku tikus jantan diamati sebagai
introduction phase (tikus jantan mendekati tikus betina), climbing phase (tikus jantan
menaiki tikus betina) dan coitus phase (terjadi senggama antara tikus jantan dan
betina). Jumlah introduction, climbing dan coitus dihitung dalam kurun waktu 1-3
jam pada tiap dosis uji. Perbedaan efek (%) introduction, climbing dan coitus, pada
setiap perlakuan dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata dibandingkan dengan
kontrol (-) dan kontrol (+) sehingga dapat dihitung dengan rumus dibawah ini. Data
efek (%) yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan tingkat kepercayaan 95%.
Keterangan:
rtl = rata-rata tingkah laku (introduction, climbing dan coitus)
rkp = rata-rata kontrol positif
rkn = rata-rata kontrol negatif
29
3.5 ANALISIS DATA
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara statistik
menggunakan aplikasi Statistical Product and Service Solutions (SPSS). Sebaran
data frekuensi pengamatan proses perkenalan, penunggangan dan senggama akan
dianalisis menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk. Kemudian data yang didapat
akan diuji menggunakan uji Mann-Whitney untuk melihat letak perbedaan yang
bermakna antar kelompok perlakuan.
30
DAFTAR PUSTAKA
Alom, M., Ziegelmann, M., Avant, R., Bole, R., Kohler., T., dan Trost, L. (2018).
The Impact of Sexual Dysfunction on Sexual Relationship. The Journal of
Sexual Medicine: an Official Journal of The International Society for Sexual
Medicine. 15, 16.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric
Publishing.
Armitage, David. (2021). Rattus norvegicus. Animal Diversity Web.
https://animaldiversity.org/accounts/Rattus_norvegicus/. Diakses pada 20
Juni 2021.
Aytaç, I. A., McKinlay, J. B., dan Krane, E. J. (1999). The likely worldwide increase
in erectile dysfunction between 1995 and 2025 and some possible policy
consequences. BJU International. Vol: 84. 50-56.
Bella, A. J., Lee, J. C., Carrier, S., Bénard, F., & Brock, G. B. (2015). 2015 CUA
Practice guidelines for erectile dysfunction. Canadian Urological
Association Journal, 9(1-2), 23–9. https://doi.org/10.5489/cuaj.2699
Bruce. A. A., John, E. D., Linda, L. B., Gary, H. G., Ari, S., Mary, L.P. Tom, F.
L., Scott, W. A. (2002). Brain activation and arousal in healthy
heterosexual males. Brain. Vol 125: 1014-1023.
Chaqiqi, Firman. (2013). Efek Pemberian Ekstrak Etanol Daun Sisik Naga
(Drymoglossum piloselloides) terhadap berta dan histologi testis. Skripsi.
Malang: UIN Malang.
Cherry, Kendra. (2021). What is an Aphrodisiac? Verrywell mind Web.
https://www.verywellmind.com/what-is-an-aphrodisiac-5072422. .
Diterbitkan 17 April 2021.
Davison, G. C., Neale, J. M., dan Kring, A.M. (2012). Psikologi Abnormal. Rajawali
Press, Jakarta.
Dhaliwal, Armaan., dan Gupta. M. (2021). PDE5-Inibitor. StatPearls.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549843/ . Diterbitkan pada 25 Juni
2021.
Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. Diterjemahkan oeh Setiawan,
A., Banni, A.P., Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D.,
dkk.). Jakarta: EGC.
Enema, O.J., Umoh, U. F., Umoh, R. A., Ekpo, E. G., Adesina, S. K., dan Esyenim,
O. A. (2018). Chemistry and Pharmacology of Aphrodisiac : A review.
Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. 10 (7): 70-98.
Gumellangsari, Lindi. (2010). Aromaterapi minyak nilam (Patchouli, Pogostemon
cablin Benth) terhadap peningkatan libido mencit jantan dengan alat
libidometer aromaterapi. Skripsi. Surabaya: Universitas Surabaya.
Heidelbaugh, Joel. J. (2010). Management of erectile dysfunction. Am Fam
Physician. 1;81(3):305-12.
Hidayat, D dan Hardiansyah, G. (2012). Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
Obat di Kawasan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Camp Tontang
Kabupaten Sintang. 8(2): 61-68.
31
Hughes, IA., Acerini, CL. (2008). Factors controlling testis descent. European
Journal of Endocrinology. 75 – 82.
Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi III. Penerbit. Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Lpurological.com. (2021). Impotence (Erectile Dysfunction). Laplata Urological.
https://www.lpurological.com/portfolio-items/impotence-erectile-
dysfunction/. Diakses pada 2021.
Mangun., Waluyo, H. (2012). Nilam. Penebar Swadaya, Jakarta.
Meghna. G. (2021). Reproductive Organs of Rattus Norvegicus (With Diagram).
Zoology. https://www.notesonzoology.com/mammalia/reproductive-organs-
of-rattus-norvegicus-with-diagram-zoology/3808. Diakses pada 2021.
Nainggolan, O dan JW Simanjuntak. 2005. Pengaruh Estrak Ethanol Akar Pasak
Bumi Terhadap Perilaku Seksual Mencit Putih. Cermin Dunia
Kedokteran,146:147.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2003). Abnormal Psychology in a
Changing World. Erlangga, Jakarta.
NIDDK.NIH.GOV. (2021). Erectile Dysfunction (ED). National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease. https://www.niddk.nih.gov/health-
information/urologic-diseases/erectile-dysfunction. Diakses pada 2021.
Pfaus, J.G. and L.A. Scepkowski. (2005). The Biologic Basis for Libido. Current
Sexual Health Reports.
Plantamor Web. (2021). Nilam Aceh (Pogostemon Cablin Benth). Plantamor.
http://plantamor.com/species/info/pogostemon/cablin. Diakses pada 23 Juli
2021.
Rukmana, R. (2003). Nilam: Prospek Agribisnis dan Teknik Budidaya. Kanisius.
Yogyakarta.
Sengupta, P. (2013). The laboratory rat: Relating its age with human's.
International Journal of Preventive Medicine 4(6): 624–630.
Swamy, M. K., dan Sinniah, U. R (2015). A Comprehensive Review on the
Phytochemical Constituents and Pharmacological Activities of Pogostemon
cablin Benth.: An Aromatic Medicinal Plant of Industrial Importance.
Molecules. 2015 May 12;20(5):8521-4. doi: 10.3390/molecules20058521.
Turner dan Bagnara. (1988). Endokrinologi Umum edisi keenam, Airlangga
University Press, Surabaya.
Tzoumas, N., Farrah, T. E., Dhaun, N.,dan Webb D. J. (2020). Established and
emerging therapeutic uses of PDE type 5 inhibitors in cardiovascular
disease. Br J Pharmacol. 2020 Dec;177(24):5467-5488. doi:
10.1111/bph.14920.
Wespes E et al. (2012). Guidelines on Erectile Dysfunction. European Association
Of Urology. 1-47.
Widowati, R., Handayani, S., & Iqba, L. (2019). Aktivitas Antibakteri Minyak Nilam
(Pogostemon cablin) Terhadap Beberapa Spesies Bakteri Uji. Jurnal Pro-
Life, 6(3).
Yakubu, M.T., Akanji, M.A., Oladiji, A.T. & Adesokan, A.A. (2008). Androgenic
potentials of aqueous extract of Massularia acuminate (G. Don) bullock ex
Hoyl. stem in male Wistar rats. Journal of Ethnopharmacology 118(3): 508-
513.
32
Yetman, Daniel. (2020). What are the most common PDE5 Inhibitor? Healthline.
https://www.healthline.com/health/pde5-inhibitors. Diterbitkan pada 20
November 2020.
Turner dan Bagnara (1988), Endokrinologi Umum, edisi keenam, Airlangga
University Press, Surabaya.
33
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Penelitian
5 ekor tikus 5 ekor tikus 15 ekor tikus 15 ekor tikus 15 ekor tikus
(Kontrol negatif) (Kontrol positif) (fraksi n-hexane) (fraksi etil asetat) (fraksi etanol)
Analisis data
Penulisan skripsi
34
Lampiran 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Bulan ke-
No Kegiatan
1 2 3 4 5 6
1 Tahap awal
Persiapan proposal
penelitian
Seminar proposal
2 Pelaksanaan
Persiapan alat dan bahan
Persiapan hewan coba
Pengujian aktivitas ekstrak
Pengamatan reaksi seksual
pada hewan coba
3 Pengolahan Data
Analisis data
Interpretasi data
4 Tahap Akhir
Penulisan skripsi
Seminar hasil dan sidang
tugas akhir
Perbaikan skripsi
35
Lampiran 3. Rincian Biaya Penelitian
36