Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KELOMPOK V

SCHISTOSOMA JAPONICUM

DISUSUN OLEH:

DITA (AK.18.004)

IKHSAN (AK.18.010)

NURUL AFDHALIYAH NURDIN (AK.18.021)

RISKAYANTI (AK.18.023)

SITI NASRAH (AK.18.027)

PRODI D-III ANALIS KESEHATAN

POLITEKNIK BINA HUSADA KENDARI

KENDARI

2019

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar ............................................................................................ i

Daftar isi ....................................................................................................... ii

Bab 1 Pendahuluan ...................................................................................... 1

1.1 latar belakang ........................................................................................ 1


1.2 Rumusan masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan pembahasann .............................................................................. 2

Bab 2 Pembahasan ...................................................................................... 3

1. Taksonomi Schicotoma Japonicum ................................................. 3


2. Hospes ............................................................................................ 3
3. Penyakit ........................................................................................... 3
4. Distribusi geografik .......................................................................... 4
5. Morfologi ......................................................................................... 4
6. Daur hidup ........................................................................................ 6
7. Patologi dan gejala klinis ................................................................ 7
8. Diagnosis ......................................................................................... 9
9. Epidemiologi .................................................................................... 10
10. Pencegahan ....................................................................................... 11
11. Pengobatan ...................................................................................... 12

Bab 3 Penutup

Kesimpulan ............................................................................................ 13

Saran ............................................................................................ 13

Daftar pustaka ............................................................................................ 14

ii
Kata pengantar

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya , kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah mengenai “schistoma japonicum“.

Makalah ini disusun berdasarkan refensi dari beberapa sumber dan juga
telah kami pelajari dimata kuliah Kewarganegaraan, yang mencakup ruang
lingkup pada aspek – aspek ruang lingkup tersebut, diharapkan bagi semua orang
yang membaca makalah ini, dapat menjadi terampil dan berkarakter.

Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dan bermakna


dalam proses belajar dan pembelajaran. Dari lubuk hati kami yang terdalam,
sangat disadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu kami
mohon maaf bila ada sesuatu informasi yang salah dan kurang lengkap.

Kami juga mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca mengenai
makalah ini, sehingga kami dapat membuat makalah yang lebih baik dikemuadian
hari.

Kendari, Jum’at 22 nobember 2019

Penyusun

Kelompok 5

iii
0
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Schistosomiasis japonica adalah infeksi cacing kronis pada manusia yang


disebabkan oleh Schistosoma japonicum. Telur Schistosoma japonicum disimpan
di hati, paru-paru, dan dinding usus sehingga dapat menyebabkan peradangan
granulomatosa dan fibrosis progresif ,hal ini merupakan penyebab perubahan
patologis klinis primer atauperubahan klinis yang paling utama.

Schistosomiasis merupakan penyebab penting penyakit di banyak bagian


dunia, yang paling sering terjadi di tempat dengan sanitasi yang buruk. Anak usia
sekolah yang tinggal didaerah-daerah dengan sanitasi yang buruk sangat berisiko
karena mereka cenderung menghabiskan waktu berenang atau mandi di air yang
mengandung serkaria infeksi. Hal ini juga beresiko pada orang-orang yang
melakukan perjalananan ditempat dimana ditemukan schistosomiasis dan terkena
air tawar yang telah terkontaminasi dari Schistosoma japonicum.

Lebih dari 207 juta orang di setidaknya 74 negara memiliki infeksi


schistosomal aktif. Dari populasi ini, sekitar 60% memiliki gejala penyakit,
termasuk keluhan organ tertentu dan masalah yang berkaitan dengan anemia
kronis dan kekurangan gizi akibat terinfeksi Schistosom japonicum. Lebih dari 20
juta orang mengalami sakit parah. Prevalensi penyakit adalah heterogen di daerah
yang rentan dan cenderung lebih buruk didaerah dengan sanitasi yang buruk,
peningkatan penggunaan irigasi air tawar,dan infestasi schistosomal berat pada
populasi manusia, hewan, dan / atau siput.

Tiga spesies utama yang menginfeksi manusia adalah Schistosoma


haematobium, Schistosoma japonicum, dan Schistosoma mansoni. Dua spesies
lain, yang lebih jarang kasusnya ialah Schistosoma mekongi dan Schistosos
maintercalatum.eSchistosoma japonicum banyak ditemukan di Indonesia,sebagian

1
Negara Cina danAsia Tenggara.Schistosoma japonicum merupakan
zoonosis yang juga menginfeksi berbagai inang seperti mamalia, termasuk
anjing,babi,dansapi,yang sangat mempersulit upaya pengendalian dan eliminasi.
Memahami siklus hidup schistosome antara inang (bekicot) dan host definitif
(mamalia) merupakan dasar bagi pengendalian dan penghapusan schistosomiasis
pada manusia. Perubahan lingkungan juga dapat meningkatkan atau bahkan
menurunkan transmisi. Infeksi dapat terjadi ketika kulit bersentuhan dengan air
tawar yang terkontaminasi oleh beberapa jenis siput yang membawa parasit hidup.
Air tawar menjadi terkontaminasi oleh telur Schistosoma ketika orang yang
terinfeksi buang air kecil atau buang air besar di dalam air. Selanjutnya, parasit
akan menginfeksi dan berkembang biak di dalam siput. Parasit meninggalkan
siput dan memasuki air di mana ia dapat bertahan hidup selama sekitar 48
jam.Parasit Schistosoma dapat menembus kulit orang-orang yang bersentuhan
dengan air tawar yang terkontaminasi, biasanya ketika mengarungi,berenang,
mandi, atau mencuci.Selam abeberapa minggu, parasit bermigrasi melalui
jaringan inang dan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam pembuluh darah.

Setelah matang, nantinya cacing betina akan menghasilkan telur. Sebagian


dari telur-telur ini berpindah ke kandung kemih atau usus dan masuk ke urin atau
tinja.Gejala schistosomiasis bukan disebabkan oleh cacing itu sendiri tetapi oleh
reaksi tubuh terhadap telur. Telur yang ditumpahkan oleh cacing dewasa yang
tidak keluar dari tubuh dapat tersangkut di usus atau kandung
kemih,menyebabkan peradangan atau jaringan parut. Anak-anak yang berulang
kali terinfeksi dapat mengembangkan anemia,kekurangan gizi, dan kesulitan
belajar. Setelah bertahun-tahun infeksi, parasit juga dapat merusak hati, usus,
limpa, paru-paru, dan kandung kemih. Umumnya pada kebanyakan orang tidak
memiliki gejala ketika mereka pertama kali terinfeksi.Namun, dalam beberapa
hari setelah terinfeksi dapat timbul ruam dan gatal pada kulit.Dalam1-2 bulan
infeksi,gejala dapat berkembang termasuk demam,menggigil, batuk, dan nyeri
otot. Gejala pada infeksi ini dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu gejala akut dan
kronis. Infeksi akut dapat menyebabkan demam, kelemahan, diare,sakitperutdan

2
hepatomegali.Penyakit kronis melibatkan pembentukan granuloma,peradangan
jaringan, lesi hati dan fibrosis, yang mungkin menetap setelah infeksi telah
dibersihkan.Telur jarang ditemukan di otak atau sumsum tulang belakang,apabila
ditemukan pada organ tersebut maka dapat menyebabkan kejang,kelumpuhan,
atau peradangan sumsum tulang belakang.Schistosomiasis dapat didiagnosis
melalui deteksi telur parasit dalam spesimen tinja atau urin.Sampel tinja atau urin
dapat diperiksa secara mikroskopis untuk telur parasit. Pemeriksaan feses untuk
Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum telur.

B. Rumusan Masalah
1. Taksonomi Schicotoma Japonicum
2. Hospes Schicotoma Japonicum
3. Penyakit Schicotoma Japonicum
4. Distribusi geografik Schicotoma Japonicum
5. Morfologi Schicotoma Japonicum
6. Daur hidup Schicotoma Japonicum
7. Patologi dan gejala klinis Schicotoma Japonicum
8. Diagnosis Schicotoma Japonicum
9. Epidemiologi Schicotoma Japonicum
10. Pencegahan Schicotoma Japonicum
11. Pengobatan Schicotoma Japonicum
C. Tujuan pembahasan
1. Untuk mengetahui hospes
2. Untuk mengetahui penyakit
3. Untuk mengetahui distribusi geografik
4. Untuk mengetahui morfologi
5. Untuk mengetahui daur Hidup
6. Untuk mengetahui patologi dan gejala klinis
7. Untuk mengetahui diagnosis
8. Untuk mengetahui epidemiologi
9. Untuk mengetahui pencegahan

3
BAB II

PEMBAHASAN

Taksonomi Schistosoma japonicum

 Kingdom : Animalia.
 Filum : Platyhelminthes.
 Kelas : Trematoda.
 Ordo : Strigeiformes.
 Famili : Schistosomatidae.
 Genus : Schistosoma.
 Spesies : Schistosoma japonicum.

2.1 Schistosoma Japonicum


2.1.1 Hospes
Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing,
kucing, rusa, tikus sawah (rattus), sapi, babi rusa, dan lain-lain.

2.1.2Penyakit
Schistosomiasis japonica adalah penyakit yang disebabkanoleh infeksi
salah satu species cacing trematoda darah yangdisebut Schistosoma
japonicum. Penyakit ini hanya terdapatdi daerah-daerah Timur, yaitu di
Jepang, Cina, Taiwan.Pilipina, Thailand, Laos, Malaysia dan Indonesia. Di
Indonesiapenyakit ini telah ditemukan sejak tahun 1937yaitu di daerah
danau Lindu, Sulawesi Tengah.Pada tahun 1972 telah ditemukan daerah
endemik baru, yaitudi lembah Napu, yang terletak ± 50 km di sebelah
tenggaradanau Lindu

4
2.1.3Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai,
Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia hanya ditemukan di
Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu, dan Lembah Napu.

2.1.4 Morfologi
S. japonicum berwarna kuning atau kuning-coklat. Cacing dewasa jantan
berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm. Dengan elektron
mikroskop tidak ada duri pada permukaan dorsal cacing jantan. Banyak duri
menutupi permukaan bagian dalam pengisap oral. Pengisap ventral memiliki
banyak duri yang lebih kecil daripada di pengisap oral.Cacing betina
memiliki duri lebih sedikit daripada di pengisap oral, pengisap ventral, dan
kanal gynecophoric dari cacing jantan.hidupnya di vena mesenterika
superior.Telurditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam
seperti hati, paru, dan otak.
2.1.5 Daur hidup

5
Siklus hidup Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni sangat mirip.
Secara singkat, telur dari parasit dilepaskan dalam tinja dan jika mengalami
kontak dengan air mereka menetas menjadi larva yang berenang bebas, yang
disebut miracidia . Larva kemudian harus menginfeksi keong dari genus
Oncomelania seperti jenis lindoensis Oncomelania dalam satu atau dua hari.
Di dalam keong, larva mengalami reproduksi aseksual melalui serangkaian
tahapan yang disebut sporocysts. Setelah tahap reproduksi aseksual, cercaria
yang dihasilkan dalam jumlah besar, yang kemudian meninggalkan keong
dan harus menginfeksi inang vertebrata yang cocok. Setelah cercaria
menembus kulit tuan rumah kehilangan ekornya dan menjadi sebuah
schistosomule, Cacing kemudian bermigrasi melalui sirkulasi, berakhir di
pembuluh darah mesenterika dimana mereka kawin dan mulai bertelur. Setiap
pasangan desposits sekitar 1500 - 3500 telur per hari dalam dinding usus.
Telur menyusup melalui jaringan dan terdapat dalam tinja.

2.1.6 Patologi dan Gejala Klinis


Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan
pada stadium I adalah gatal-gatal (uritikaria). Gejala intoksikasi disertai
demam hepatomegali dan eosinofilia tinggi. Pada stadium II ditemukan pula
sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis
hati dna splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi).
Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau
jaringan biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk
membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT
(Circumoval precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT
(Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA
(Enzyme linked immuno sorbent assay).

6
2.1.8 Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di
Sulawesi Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah
danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu
pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-
hewan lain sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai
spesies tikus sawah (rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, dan
anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis
Lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat
keong di daerah danau Lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai
lagi, atau di pinggir parit di antara sawah.
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.

Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah


diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman (Subdit, P2M dan PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi
dari kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah pengobatan.

2.1.9 Pencegahan

Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang


cara-cara penularan dan cara pemberantasan penyakit ini. Buang air besar
dan buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak mencapai
badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang anta-
ra.Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dil-
akukan tetapi biasanya tidak praktis.

7
Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat
keong dengan membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan
mengeringkan dan mengalirkan air.

Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya


yang tersedia mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).

Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh


gunakan sepatu bot karet).Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah
terpajan dengan air yang terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara
tidak sengaja yaitu kulit yang basah dengan air yang diduga terinfeksi dik-
eringkan segera dengan handuk.Bisa juga dengan mengoleskan alkohol 70%
segera pada kulit untuk membunuh serkaria.Persediaan air minum, air untuk
mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil dari sumber yang bebas
serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh serkariann-
ya.Obati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah
penyakit berlanjut dan mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan
telur oleh cacing.

Para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu


akan risiko penularan dan cara pencegahan

2.1. Pengobatan
- Obat Niridazol (1-Nitro-2, thiazoyl-2 imidazolidnone) (Ambilhar,
Ciba32,644,Ba)Niridazol agak lambat diserap dari traktus intestinalis dan
diuraikan di dalam hati menjadi metabolit yang tidak toksik. Pengobatan
infeksi S.japonicum dengan Niridazol telah dilakukan di Jepang, Filipina,
dan Indonesia. Dosis yang dipakai adalah 25 mg/kg berat badan/hari
selama 10 hari berturut-turut dan mendapatkan hasil 20% masih positif 2
bulan setelah pengobatan, 13% masih positif 6 bulan setelah pengobatan
21,8% positif 11 bulan setelah pengobatan. Efek samping yang pernah
dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, tidak
nafsu makan dan diare.

8
- Obat Prazikuantel diIndonesia prazikuantel dipakai untuk pertama kali sebagai
pengobatan percobaan pada infeksi S.japonicum (Joesoef dkk, 1980). Dosis
yang dipakai adalah 35 mg per kg berat badan, diberikan 2 kali dalam satu hari
sehingga dosis total adalah 70 mg/kg berat badan per hari. Efek samping
adalah mual (3,7%), pusing (6,1%), demam (2,4%) dan disentri (1,8%).Dari
hasil pengobatan yang diuraikan diatas ternyata obat ini cukup baik dengan
hasil penyembuhan cukup besar serta efek samping dapat dikatakan ringan,
sehingga prospek obat ini cukup baik untuk dipakai dalam pengobatan masal
sebagai obat anti Schistosoma di daerah Danau Lindu dan Napu, Sulawesi
Tengah.

9
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Schistosomiasis japonica adalah infeksi cacing kronis pada
manusia yangdisebabkan oleh Schistosoma japonicum. Schistosomiasis
merupakan penyebab pentingpenyakit di banyak bagian dunia, yang paling
sering terjadi di tempat dengan sanitasiyang buruk. Schistosoma japonicum
banyak ditemukan diIndonesia, sebagian NegaraCina dan Asia Tenggara.
Infeksi dapat terjadi ketika kulit bersentuhan dengan air tawaryang
terkontaminasi oleh beberapa jenis siput yang membawa parasit hidup.
Pengobatanpada seseorang yang mengalami infeksi ini dapat diberi
Praziquantel. Untuk pencegahandapat dilakukan perubahan perilaku dalam
menjaga kebersihan yang baik.

3.2 Saran

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna.diharapkan dengan


penyusanan makalah kami dapat menambah pengetahuan rekan-rekan atau
teman-teman yang membaca makalah kami mengenai cacing schistosoma
japonicum.adapun saran dan kritik kami harapkan dari teman-teman agar kami
bisa membuat makalah selanjutnya bisa lebih baik

10
Daftar Pustaka

D. G. Colley, A. L. Bustinduy, W. E. Secor, C. H. King. 2014. Human


Schistosomiasis. Health & Human Services. 383(9936): 2253–2264
Daniel G Colley, PhD., Amaya L Bustinduy, MD., W Evan Secor,PhD., and
Charles H King, MD., Human Schistosomiasis.2015.Lancet. 2014 Juni
28;383(9936):2253-2264. Doi 10.1016/S0140-6736(13)61949-2

11

Anda mungkin juga menyukai